Professional Documents
Culture Documents
Material of Hydroxyapatite-Based Bioceramics From Tuna Fishbone
Material of Hydroxyapatite-Based Bioceramics From Tuna Fishbone
Abstract
Material of hydroxyapatite-based bioceramics have a new prospect in industrial electronics and
microtechnology in future. Hydroxyapatite with natural raw material sources is a great potential, especially
tuna fish bone which was still categorized as waste. In addition, synthesis technology still not effective and
also the characterization of these material has not been developed yet. This study aimed for this materials was
to synthesize and determine the bioceramic material characteristics based on tuna fish bone-hydroxyapatite.
Extraction method for tuna fish bone hydroxyapatite used high temperature heating (sintering). Through
a sintering temperature of 700C produced bioceramic material based on tuna fish bone-hydroxyapatite
with the highest yield was (65.612.21)% and white in colour. The higher sintering temperature yielded the
higher degree of crystallinity, whereas the SEM showed the particles size was 0.050 m up to 0.803 m and
resembles a hexagonal crystal form. The capacitance values decreased with the increasing frequency given,
with the highest value was 0.0061 nF, while the conductivity values increased with the increasing frequency
with the lowest value was 7.73 x 10-5 S/m.
Abstrak
Material biokeramik berbasis hidroksiapatit memiliki prospek baru dalam industri elektronika dan
mikroteknologi masa depan. Hidroksiapatit dengan sumber bahan baku alami merupakan potensi besar,
terlebih pemanfaatan limbah tulang ikan tuna yang masih belum dilakukan dengan baik. Teknologi sintesis
yang ada juga belum efektif serta karakterisasi materialnya belum banyak dikembangkan. Penelitian
ini bertujuan mensintesis dan mengetahui karakteristik material biokeramik berbasis hidroksiapatit
tulang ikan tuna. Metode yang digunakan dalam pengekstraksian hidroksiapatit tulang ikan tuna adalah
dengan pemanasan suhu tinggi (sintering). Melalui suhu sintering 700C telah dapat dihasilkan material
biokeramik berbasis hidroksiapatit dari tulang ikan tuna dengan rendemen tertinggi (65,612,21)% dan
berwarna putih. Semakin tinggi suhu sintering, semakin tinggi derajat kristalinitasnya, sedangkan dengan
SEM memperlihatkan partikel penyusunnya berukuran 0,050 m sampai 0,803 m dan menyerupai
bentuk kristal heksagonal. Nilai kapasitansi mengalami penurunan dengan bertambahnya frekuensi yang
diberikan, dengan nilai tertinggi 0,0061 nF, sedangkan nilai konduktivitas mengalami kenaikan seiring
dengan bertambahnya frekuensi dengan nilai terendah 7,73 x 10-5 S/m.
(perbesaran 10.000, 20.000 dan 40.000 dengan ikan tuna ke dalam cawan porselen, kemudian
tegangan 20 kV) serta pengukuran kelistrikan dipanaskan pada furnace dengan kenaikan
menggunakan induktansi (L), kapasitansi (C) pemanasan 10C per menit, setelah pencapaian
dan resistansi (R)-LCR meter Hitester 3522- pemanasan suhu sintering, bahan didiamkan
50 (tegangan 1 V, arus 2A, frekuensi 1-10.000 hingga suhu turun kembali mencapai suhu
Hz) dan 2 plat printed circuit boards (PCB) ruang (28C). Produk serbuk hidroksiapatit
berukuran (2,0x2,0x0,2) cm3. dari tulang ikan tuna yang diperoleh dikemas
dalam plastik dan disimpan pada suhu ruang
Metode Penelitian untuk pengujian.
Preparasi Tulang Ikan Tuna (Juraida et al. 2011)
Preparasi bertujuan menghilangkan Karakterisasi Material Biokeramik Berbasis
sisa-sisa daging yang masih menempel. Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna
Preparasi diawali dengan merebus tulang Karakteristik material biokeramik berbasis
ikan sebanyak 2 kg. Perebusan dilakukan hidroksiapatit tulang ikan tuna mengacu
pada suhu 80C selama 30 menit. Setelah pada Ivankovic et al. (2010) yang meliputi uji
itu dilakukan pembersihan terhadap daging Fourier Transform Infra Red (FTIR) (Palella
yang masih menempel dan pencucian dengan et al. 2011), uji X-Ray Diffraction (XRD)
air dan terakhir pencucian dengan aquades. (Venkatesan dan Kim 2010), uji Scanning
Kemudian dilakukan perendaman dengan Electron Microscopy (SEM) (Venkatesan dan
larutan aseton (perbandingan tulang ikan Kim 2010), dan karakteristik kelistrikan yaitu
dan aseton adalah 1:2) selama 24 jam, untuk konduktivitas dan kapasitansi (Nuwair 2009).
menghilangkan berbagai kotoran lainnya. Rendemen dan warna hidroksiapatit diamati
secara deskriptif (Venkatesan dan Kim 2010).
Pengekstrasian Hidroksiapatit dari Serbuk
Tulang Ikan Tuna (Venkatesan dan Kim 2010) Spektroskopi Fourier Transform Infra Red
Pengekstraksian diawali dengan pengeringan (FTIR) (Palella et al. 2011)
dan penggilingan tulang ikan tuna yang telah Pengukuran spektroskopi FTIR dilakukan
dipreparasi. Pengeringan tulang ikan tuna untuk menentukan gugus fungsi dari sampel
dilakukan pada suhu 160C selama 48 jam, hidroksiapatit dan kemungkinan interaksi
dengan tujuannya untuk memudahkan proses diantara komponen-komponennya. Serbuk
penggilingan (Pallela et al. 2011). Penggilingan hidroksiapatit 2 mg dicampur dengan 100 mg
dilakukan dengan hammer mill (Fritsch KBr, dibuat pellet, diukur menggunakan
Pelverisette) yang selanjutnya dilakukan spektrofotometer FTIR pada jangkauan
penyaringan dengan pengayak/penyaring gelombang 400-4000 cm-1.
(Retsch Sieve and Shaker AS 200 basic). Hasil
serbuk dengan mesh berukuran 100 mm Scanning Electron Microscopy (SEM)
diperoleh melalui proses penggilingan dan (Venkatesan dan Kim 2010)
pengayakan yang dilakukan sebanyak 3 kali. Analisis SEM dilakukan untuk
Teknik ekstraksi dilakukan dengan metode menentukan morfologi hidroksiapatit yang
sintering (pemanasan dengan suhu tinggi). Variasi telah dibuat. Serbuk hidroksiapatit diambil
suhu sintering yang digunakan adalah 600C, sebanyak 2 g, diletakkan pada plat logam
700C, 800C, dan 900C selama 5 jam (mengacu tembaga yang berbentuk bulat (sample
Vankatesan dan Kim (2010), Juraida et al. (2011) holder), dilakukan proses pelapisan atau
dan Palella et al. (2011)). Data yang diperoleh coating dengan lapisan emas agar sampel
dianalisis secara deskriptif. memiliki sifat konduktif. Mikrostruktur
Proses sintering diawali dengan hidroksiapatit diamati menggunakan SEM
penimbangan sebanyak 3 g serbuk tulang perbesaran 10.000, 20.000, dan 40.000.
Proses pengukuran dilakukan pada akselerasi Rendemen dan warna serbuk hidroksiapatit
tegangan 20 kV. tulang ikan tuna (Venkatesan dan Kim 2010)
Rendemen serbuk hidroksiapatit tulang ikan
X-Ray Diffraction (XRD) (Venkatesan dan tuna merupakan bobot relatif serbuk tulang ikan
Kim 2010) setelah proses sintering terhadap bobot serbuk
Jenis fase dan kristalisasi hidroksiapatit
dianalisis menggunakan perangkat X-ray
Diffractometer Merek SHIMADZU tipe XD-
610 dengan sumber CuK ( = 1,5405 ).
Sampel disiapkan sebanyak 2 mg ditempatkan tulang ikan sebelum dilakukan proses sintering.
di dalam holder yang berukuran (2x2) cm2 Rendemen dihitung dengan membandingkan
pada difraktometer. Tegangan yang digunakan berat akhir sampel dengan berat awal sampel
adalah 40 kV dan arus generatornya sebesar kemudian dikalikan dengan 100%.
30 mA. Sudut awal diambil pada 5 dan Warna serbuk hidroksiapatit tulang ikan
sudut akhir pada 80 dengan kecepatan baca tuna diidentifikasi dengan cara visual yang
4/menit. Hasilnya berupa grafik fase yang mengacu Venkatesan dan Kim (2010) dengan
teridentifikasi berdasarkan intensitas dan membandingkan sampel serbuk tulang ikan
sudut 2 theta yang terbentuk. Penentuan fase sebelum proses sintering dan setelah proses sintering.
yang muncul mengacu pada Joint Committee
on Powder Diffraction Standard. HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen dan Warna Hidroksiapatit
Karakterisasi Sifat Listrik Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna
(Nuwair 2009) Hasil pengamatan menunjukkan
LCR meter merupakan perlengkapan uji sifat bahwa semakin tinggi suhu sintering,
listrik yang digunakan untuk mengukur induktansi rendemen yang dihasilkan semakin kecil.
(L), kapasitansi (C) dan resistansi (R). Analisis sifat Sintering 900C menghasilkan rendemen
listrik didapatkan nilai kapasitansi (C) dan (56,630,86)%, sintering 800C dihasilkan
konduktansi (G) dengan satuan Siement (S) rendemen sebesar (60,520,79)% dan 700C
dan untuk mendapatkan nilai konduktivitas rendemen yang dihasilkan (65,612,21)%.
listriknya () S/m digunakan persamaan: Sintering 600C menghasilkan rendemen
yang lebih banyak yaitu (69,953,72)%
dengan warna serbuk abu-abu. Kondisi ini
menunjukkan bahwa serbuk tersebut masih
terdapat komponen-komponen organik dan
Keterangan: belum memperlihatkan tingkat kemurnian
= nilai kondukstivitas listrik (S/m) yang tinggi. Venkatesan dan Kim (2010);
G = konduktivitas (S) Lokapuspita et al. (2012) menyatakan bahwa
L = tebal bahan (m) penggunaan suhu sintering 600C pada
A = luas penampang lintang (m2) serbuk tulang ikan tuna masih berwarna
abu-abu. Venkatesan dan Kim (2010) juga
Serbuk hidroksiapatit ditempatkan menyebutkan bahwa nilai rendemen pada
pada plat PCB dengan ukuran (2x2) cm2 kisaran 60% atau kurang akan berwarna putih
dan ketebalan 2 mm. Plat PCB dihubungkan yang mengindikasikan hidroksiapatit yang
dengan alat LCR meter dan diukur nilai lebih murni (Tabel 1).
kapasitansi dan konduktansinya dengan Penurunan rendemen pada proses
rentang frekuensi 1-10.000 Hz (mode V: 1 volt, sintering diduga karena hilangnya kandungan
speed: normal, delay: 0,10 s). air dan bahan organik yang terdapat pada
bahan serbuk tulang ikan (Al-Sokanee et al. suhu yang digunakan (Venkatesan dan Kim
2009). Menurut Venkatesan dan Kim (2010), 2010). Berdasarkan hasil penelitian diketahui
dua titik infleksi pada serbuk tulang ikan bahwa pada suhu sintering 600C serbuk
tuna adalah pada suhu 100,5C dan 365,6C tulang ikan hasil sintering berwarna abu-abu
yang mengindikasikan titik kehilangan air dan pada suhu 700C, 800C, dan 900C serbuk
dan bahan organik. Palella et al. (2011) tulang ikan berwarna putih (Gambar 1).
menyatakan bahwa titik infleksi pada suhu Warna abu-abu pada sampel suhu sintering
365,6C mengindikasikan kehilangan kolagen rendah (600C) disebabkan masih adanya sisa
dan bahan organik lainnya. Proses sintering senyawa organik berupa karbon yang terdapat
pada suhu antara (200-300)C terjadi sedikit pada tulang ikan. Komponen organik dalam
kehilangan berat komponen gabungan antara ikan meliputi 30% materialnya, sedangkan
bahan air dan bahan organik. Kehilangan 60-70% bagian berupa kalsium fosfat dan
bobot akan terjadi secara drastis pada suhu hidroksiapatit (Kim dan Mendis 2006). Ozawa et
sintering (300-500)C, karena terjadi proses al. (2007) menyatakan sampel yang di sintering
dekomposisi bahan-bahan organik yaitu suhu tinggi (700-1.000)C akan berwarna putih
kolagen, lemak dan protein yang berhubungan yang menandakan proses degradasi material
dengan komponen lain pada tulang. Senyawa organik sudah tidak terjadi lagi.
yang tersisa pada suhu sintering 600C hanya
kalsium fosfat. Karakteristik Biokeramik dari Hidroksiapatit
Penurunan sampel pada suhu sintering Tulang Ikan Tuna
antara (600-800)C berkisar antara 30- Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR)
40%, hal ini disebabkan keterikatan antara Spektrum FTIR pada sampel dengan variasi
komponen kolagen, jaringan lemak, dan suhu sintering (700, 800, dan 900)C disajikan
protein. Venkatesan dan Kim (2010) pada Gambar 2. Spektrum untuk sampel dengan
melaporkan bahwa tidak adanya penurunan berbagai variasi suhu sintering menunjukkan
berat sampel yang signifikan yang diamati adanya pita absorpsi gugus OH- pada bilangan
antara 600C dan 900C. Penghilangan secara gelombang 3.571 cm-1. Mondal et al. (2012)
total bahan organik yaitu kolagen, lipida, menyatakan bahwa gugus OH- terdeteksi
kondroitin sulfat, dan senyawa keratin sulfat pada kisaran bilangan gelombang 3.497 cm-1.
di bawah suhu 600C. Venkatesan dan Kim (2010) menjelaskan bahwa
Warna dari serbuk tulang ikan tuna puncak yang terdeteksi pada bilangan gelombang
sebelum sintering kuning. Warna kuning 3.300-3.600 cm-1 merupakan indikasi adanya
menandakan keberadaan gugus organik gugus hidroksil. Karakterisasi dengan FTIR
dengan hidroksiapatit (Pallela et al. 2011). bertujuan mengidentifikasi gugus/komponen
Warna kuning pada serbuk tulang ikan ini akan tertentu dalam sampel yang ditunjukkan dengan
berubah menjadi hitam, sawo matang, abu- adanya puncak pada suatu bilangan gelombang
abu serta putih seiring dengan meningkatnya tertentu. Karakterisasi ini dilakukan untuk
Tabel 1 Rendemen dan warna hidroksiapatit dari tulang ikan tuna hasil proses sintering
Suhu sintering Waktu Berat awal Berat akhir Rendemen
Sampel Warna
(oC) tahan (jam) (g) (g) (%)
A 900 5 3,000,01 1,700,02 56,630,86 Putih
B 800 5 3,010,01 1,820,03 60,520,79 Putih
C 700 5 3,000,01 1,970,07 65,612,21 Putih
D 600 5 3,010,01 2,100,12 69,953,72 Abu-abu
E Tulang ikan - - - - Kuning
Ket: Ttd = Tidak terdeteksi
Gambar 1 Perubahan warna serbuk tulang ikan sebelum proses sintering (E) dan setelah proses sintering
dengan berbagai variasi suhu (A, B, C, D).
mendapatkan informasi yang valid mengenai terjadi seiring dengan kenaikan temperatur yang
vibrasi/getaran dari senyawa fosfat, karbonat digunakan. Pita serapan bilangan gelombang
dan senyawa amida untuk memastikan (1.400-1.500) cm-1 menunjukkan adanya gugus
pembuatan senyawa hidroksiapatit (HAp) karbonat pada sampel (Mondal et al. 2012).
tanpa asosiasi dari gugus organic (Venkatesan Setiap molekul memiliki energi tertentu
dan Kim 2010). Hidroksiapatit memiliki dalam bervibrasi, hal ini tergantung pada
kandungan gugus OH-, gugus CO32- dan gugus atom-atom dan kekuatan ikatan yang
PO43- (Prabarakan dan Rajeswari 2006). menghubungkannya. Gugus PO4 memiliki
Pita absorpsi gugus fosfat (PO43-) 4 mode vibrasi yaitu (1) Vibrasi stretching
bervibrasi asimetri stretching ketiga hasil (V1), bilangan gelombang sekitar 956 cm-1. Pita
sintesis tampak pada bilangan gelombang absorpsi V1 ini dapat dilihat pada bilangan
1.041 cm-1 sampai 1.095 cm-1. Pita absorpsi gelombang 960 cm-1; (2) Vibrasi bending
gugus PO43- juga bervibrasi asimetri bending (V2), bilangan gelombang sekitar 363 cm-1;
pada bilangan gelombang 570 cm-1 dan 601 (3) Vibrasi asimetri stretching (V3), bilangan
cm-1 untuk semua perlakuan. Pita serapan gelombang sekitar (1.040-1.090) cm-1. Pita
fosfat yang terbentuk bersifat tidak simetri, absorpsi V3 ini mempunyai dua puncak
hal ini menunjukkan hidroksiapatit pada maksimum yaitu pada bilangan gelombang
sampel berbentuk kristal. Mondal et al. (2012) 1.090 cm-1 dan 1.030 cm-1; (4) vibrasi
menyebutkan indikasi pertama pembentukan antisimetri bending (V4), bilangan gelombang
senyawa hidroksiapatit adalah terbentuknya sekitar (575-610) cm-1.
komplek pada bilangan gelombang 1.000- Suhu sintering yang tinggi menyebabkan
1.100 cm-1 bervibrasi asimetri stretching nilai transmitansi yang tinggi. Peningkatan
untuk grup fosfat (PO4) dan bervibrasi simetri temperatur akan meningkatkan jumlah
bending pada bilangan gelombang 576,30 cm-1. atau intensitas puncak yang terdeteksi dan
Pita serapan karbonat (CO32-) hasil tajam serta akan mengurangi lebar puncak
sintesis dengan suhu 700C terdeteksi pada yang mengindikasikan proses penghilangan
bilangan gelombang 1.419 cm-1 dan 1.458 cm-1 kandungan bahan organik (Venkatesan dan
yang merupakan pita serapan vibrasi asimetri Kim 2010). Tulang ikan yang belum mengalami
stretching. Pita serapan karbonat suhu 800C proses pemanasan akan menghasilkan puncak
terdeteksi pada bilangan gelombang 1.458 cm-1 yang lebar dengan intensitas yang rendah
dan 1.542 cm-1, sedangkan pada suhu 900C pita yang disebabkan adanya matrik ekstraseluler
serapan karbonat tidak terdeteksi. Venkatesan dan serabut protein.
dan Kim (2010) menyatakan bahwa pita serapan
yang terdeteksi pada bilangan gelombang 1.414 Analisis X-ray Diffraction (XRD)
cm-1 dan 1.457 cm-1 merupakan gugus karbonat. Terdapat empat fase yang terkandung
Prabarakan dan Rajeswari (2006) menyatakan pada tulang ikan awal yaitu apatit
bahwa penurunan puncak ion gugus karbonat karbonat tipe A (AKA) dengan rumus
-
OH
2-
CO3
3-
3-
PO4
PO4
Transmitan (%)
- 2-
OH CO3
3-
PO4
3-
PO4
-
OH
3-
3- PO4
PO4
tertinggi pada pola difraksi sampel dengan mengandung hidroksiapatit dengan tingkat
suhu sintering 900C ini terdapat pada sudut kristalinitas yang sangat rendah. Tulang ikan
2=32,9. Hidroksiapatit yang terbentuk akan berubah menjadi hidroksiapatit dengan
masih terdapat fase lain yaitu AKA, AKB, kristalinitas yang tinggi pada suhu pemanasan
OKF, dan TKF. Fase AKA dapat terbentuk (800-1.200)C.
pada suhu tinggi dan menggantikan posisi Ozawa dan suzuki (2002) menjelaskan
OH- dalam struktur Hap, sedangkan fase AKB bahwa mikrostruktur dari hidroksiapatit
dapat terbentuk pada suhu lebih rendah dengan memiliki ukuran yang beragam dan
menggantikan ion (PO4)3-. dipengaruhi oleh suhu perlakuan yang
digunakan. Pallela et al. (2011) menyebutkan
Scanning Electron Microscopy (SEM) bahwa morfologi hidroksiapatit yang telah
Hidroksiapatit pada umumnya dibuat mengalami proses pemanasan berbentuk
dalam bentuk serbuk dan jika diamati kristal dan kristalnya bercerai-berai/tidak
secara visual akan tampak bahwa serbuk teratur, diduga bahwa ukuran kristal akan
hidroksiapatit tersebut tersusun atas butiran- meningkat seiring dengan peningkatan
butiran halus. Hasil SEM hidroksiapatit pada temperatur yang digunakan (Venkatesan dan
suhu sintering 700C, 800C, dan 900C Kim 2010). Sampel dengan suhu sintering
dengan berbagai perbesaran dapat dilihat pada 700C memiliki ukuran granule partikel
Gambar 4. Karakterisasi SEM menunjukkan bervariasi antara 0,050 m hingga 0,174 m.
bahwa partikel penyusun sampel serbuk Sampel dengan suhu sintering 800C ukuran
hidroksiapatit tidak berbentuk bulat, bentuk granule partikelnya 0,070 m hingga 0,192 m,
partikelnya bervariasi dan menyerupai sedangkan sampel dengan suhu sintering
bentuk kristal. Susunan dan jarak partikel 900C cenderung memiliki ukuran granule
penyusun sampel hidroksiapatit tersebut juga partikel yang lebih besar yaitu 0,148 m
tidak teratur. Mikrokristal yang terdapat pada hingga 0,803 m.
tulang ikan berukuran sangat kecil, dengan Perbedaan ukuran granule diduga
ukuran partikel kristal 5-10 m (Ozawa dan disebabkan akibat proses sintering
Suzuki 2002). Tulang ikan secara umum yang dilakukan. Sintering adalah proses
Gambar 3 Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna suhu sintering 600C, 700C, 900C.
Gambar 4 Analisis morfologi hidroksiapatit tulang ikan tuna pada suhu sintering (700, 800, dan
900)C dengan berbagai perbesaran.
(a1) (b1)
(a2) (b2)
(a3) (b3)
Gambar 5 Hasil pengukuran kapasitansi hidroksiapatit tulang ikan tuna (a1) 700C, (a2) 800C, (a3) 900C
dan pengukuran konduktivitas listrik hidroksiapatit tulang ikan tuna (b1) 700C, (b2) 800C, (b3) 900C.
maka sebagian elektron di pita valensi naik ke sintering 700C dengan karakteristik sebagai
pita konduksi dengan meninggalkan tempat berikut: rendemen tertinggi (65,612,21)%,
kosong (hole) di pita valensi. Elektron yang berwarna putih, memiliki gugus OH-, CO32-,
telah berada di pita valensi akan bertindak dan PO43-, bentuk kristal heksagonal dengan
sebagai pembawa muatan untuk terjadinya ukuran 0,050 m sampai 0,803 m. Nilai
arus listrik. Mekanisme proses konduksi kapasitansi mengalami penurunan dengan
pada senyawa hidroksiapatit umumnya diduga bertambahnya frekuensi yang diberikan
disebabkan oleh proses konduksi ion, yang dengan nilai tertinggi 0,0061 nF, sedangkan
meliputi proton (H+), ion oksida (O2-) atau ion nilai konduktivitas mengalami kenaikan seiring
hidroksil (OH-), sedangkan ion Ca2+ dan PO43- dengan bertambahnya frekuensi dengan nilai
tidak berperan dalam sifat konduktivitas listrik terendah 7,73x10-5 S/m.
pada senyawa hidroksiapatit (Gittings et al. 2009).
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN Al-Sokanee ZN, Toabi AAH, Al-Assadi MJ,
Material biokeramik berbasis hidroksiapatit Al-Assadi EA. 2009. The drug release
tulang ikan tuna dapat dihasilkan pada suhu study of cefiriaxone from porous
by wet chemichal precipitation route. heavy metal ions from aqueous solutions.
Journal of Metals, Materials and Minerals Journal Materials Science 31:1231-1241.
18(1): 15-20. Rivera-Munoz EM. 2011. Hydroxyapatite-Based
Noto CR. 2011. Hierarchical control of Materials: Synthesis and Characterization,
terrestrial vertebrate taphonomy over space Biomedical Engineering - Frontiers and
and time: discussion of mechanism and Challenges, Fazel R, editor. In Tech,
implications for vertebrate paleobiology. Available from: http://www.intechopen.com/
In: Allison P.A Bottjer, D.J. Taphonomy: books/biomedical-engineering-frontiers-and
Process and Blas through Time. Dordrecht: challenges/hydroxyapatite-based-materials-
Springer. 287-336. synthesis-and-characterization.
Nuwair. 2009. Kajian impedansi dan Salman S, Soundararajan S, Safina G, Satoh I,
kapasitansi listrik pada membran telur Danielsson B. 2008. Hydroxyapatite as a
ayam ras [skripsi]. Bogor: Fakultas novel reversible in situ adsorption matrix
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, for enzyme thermistor-based FIA. Journal
Institut Pertanian Bogor. Talanta 77: 490-493.
Ozawa M, Hattori M, Satake K. 2007. Waste Szpak P. 2011. Fish bone chemistry and
management and application of fish bone ultrastructure: implications for taphonomy
hydroxyapatite for waste water treatment. and stable isotope analysis. Journal of
Proceedings of International Symposium Archaeological Science 38: 3358-3372.
on Ecotopia Science. Tippler PA. 1991. Fisika Untuk Sains dan
Ozawa M, Suzuki S. 2002. Microstructural Teknik Jilid 2 Edisi Ketiga. Soegijono B,
development of natural hydroxyapatite penerjemah. Physics for Scientist and
originated from fish-bone waste through Engineer, Third Edition, Worth Publiser,
heat treatment. Journal American Ceramic inc. Jakarta: Erlangga.
Society 85: 1315-1317. Trilaksani W, Salamah E, Nabil M. 2006.
Pallela R, Venkatesan J, Kim SK. 2011. Polymer Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna
assisted isolation of hydroxyapatite from (Thunnus sp) sebagai sumber kalsium
Thunnus obesus bone. Journal Ceramics dengan metode hidrolisis protein. Buletin
International 37: 3489-3497. Teknologi Hasil Perikanan IX(2): 34-45.
Pasteris JD, Wopenka B, Freeman J, Rogers Toppe J, Albrektsen S, Hope B, Aksnes A.
K, Valsami-Jones E, van der Houwen 2007. Chemical composition, mineral
JA, Silvia MJ. 2004. Lack of OH in content and amino acid and lipid profiles
nanocrystalline apatite as a function of in bones from various fish species. Journal
degree of atomic order: implications Comparative Biochemistry and Physiology
for bone and biomaterials. Journal Part B 146: 395-401.
Biomaterials 25(2): 38-229. Tseng Y, Kuo C, Li Y, Huang C. 2009. Polymer-
Prabarakan K, Rajeswari S. 2006. Development assisted synthesis of hydroxyapatite
of hydroxyapatite from natural fish bone nanoparticle. Journal Materials Science
though heat treatment. Trends Biomaterials and Engineering 29: 819-822.
Artificial Organs 20(1): 20-23. Veljovic D, Hajneman RJ, Balac I, Jokic B,
Ramlan, Bama AA. 2011. Pengaruh suhu dan Putic S, Petrovic R, Janackovic D. 2011.
waktu sintering terhadap sifat bahan The effect of the shape and shize of the
porselen untuk bahan elektrolit padat pores ion the mechanichal properties of
(komponen elektronik). Jurnal Penelitian porous HAP-based bioceramics. Journal
Sains 14(3B): 14305-14308. Ceramics International 37: 471-479.
Reichert J, Binner J. 1996. An evaluation of Venkatesan J, Kim SK. 2010. Effect
hydroxyapatite-based filters for removal of of temperature on isolation and