You are on page 1of 11

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor.
Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja
dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam
beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa
menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-
kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan.
Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil.
Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan
segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan
menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan,
perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya
tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran.
Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.”
Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan
kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena keikhlasan sebagian orang dari umat ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ص ََل ِت ِه ْم َو ِإ ْخ ََل‬
‫ص ِه ْم‬ َ ‫ّللاُ َه ِذ ِه ْاْل ُ َّمةَ ِب‬
َ ‫ض ِعي ِف َها ِبدَع َْو ِت ِه ْم َو‬ ُ ‫ِإنَّ َما َي ْن‬
َّ ‫ص ُر‬
“Allah akan menolong umat ini karena sebab orang miskin, karena do’a orang miskin tersebut,
karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka dalam beramal.”[1] HR. An Nasa-i no.
3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut harus
sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan jadi sia-sia belaka.
Ibnul Qayyim dalam Al Fawa-id memberikan nasehat yang sangat indah tentang ikhlas, “Amalan
yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya
memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa.”

Perintah untuk Ikhlas


Setiap amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫إنَّ َما اْل َ ْع َما ُل ِب‬
‫ َو ِإنَّ َما ِل ُك ِل ا ْم ِرئ َما ن ََوى‬،ِ‫النيَّات‬
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang
dia niatkan.”[2] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Khattab.

Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
‫الزكَاة َ َوذَلِكَ ِدينُ ْالقَيِِّ َم ِة َو َما أ ُ ِم ُروا إِال ِليَ ْعبُد ُوا‬ َّ ‫صينَ لَهُ ال ِدِّينَ ُحنَفَا َء َويُ ِقي ُموا ال‬
َّ ‫صالة َ َويُؤْ تُوا‬ ِ ‫َللاَ ُم ْخ ِل‬
َّ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala berfirman,
َّ ُ‫ُور ُك ْم أ َ ْو ت ُ ْبدُوهُ َي ْع َل ْمه‬
ُ‫ّللا‬ ِ ‫صد‬ُ ‫قُ ْل ِإ ْن ت ُ ْخفُوا َما ِفي‬
“Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
melahirkannya, pasti Allah mengetahui”.” (QS. Ali Imran: 29)
Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari
ikhlas- dalam firman-Nya,
َ ‫لَئِ ْن أ َ ْش َر ْكتَ لَ َيحْ َب‬
َ‫ط َّن َع َملُك‬
“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َاء‬ ُّ ‫اركَ َوتَعَالَى أَنَا أَ ْغنَى ال‬
ِ ‫ش َرك‬ َّ ‫ش ِْر ِك َم ْن َع ِم َل َع َمالا أ َ ْش َركَ فِي ِه َم ِعى َغي ِْرى ت ََر ْكتُهُ َو ِش ْر َكهُ قَا َل‬
َ َ‫َللاُ تَب‬ ِّ ‫َع ِن ال‬
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam
perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan
syiriknya.”[3] HR. Muslim no. 2985, dari Abu Hurairah.

An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan
batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.”[4] Syarh Muslim, An
Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al Islam.

Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫ف ْال َج َّن ِة َي ْو َم‬
َ ‫يب ِب ِه َع َرضاا ِمنَ الدُّ ْن َيا لَ ْم َي ِج ْد َع ْر‬ َّ ُ‫َم ْن ت َ َعلَّ َم ِع ْل اما ِم َّما يُ ْبتَغَى ِب ِه َوجْ ه‬
ِ ‫َللاِ َع َّز َو َج َّل الَ َيتَ َعلَّ ُمهُ ِإالَّ ِلي‬
َ ‫ُص‬
‫ْال ِقيَا َم ِة‬
“Barangsiapa yang menutut ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap
wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak
akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti.”[5] HR. Abu Daud no. 3644 dan Ibnu
Majah no. 252, dari Abu Hurairah.

Pengertian Ikhlas Menurut Para Ulama


Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya hakikatnya sama.
dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An Nawawi.
Berikut perkataan ulama-ulama tersebut.[6]
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam
melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan
baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada
Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin
mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan
seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Hudzaifah Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara
zhohir (lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya’. Riya’ adalah amalan zhohir (yang
tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya
adalah sama antara lahiriyah dan batin.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam telah
bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta
kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.
Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan
semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan
tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata :
“Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka
memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai
memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat
kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara
lahir dan batin”.
Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan
beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari
keduanya”.[1]
Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala
individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah
dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan
kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau
karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang,
karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak,
mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan
lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini
merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari
perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita
bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu,
orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka
tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak
akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila
seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai
tempat kemuliaanNya.

Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:


1. Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
2. Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
3. Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’.
Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan
dari dua hal tadi.”
Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas.
1. Meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah.
2. Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
3. Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.
4. Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.

Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika
tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam
beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah
seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali
dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang
berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang
paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar,
maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga,
amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika
dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-
Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau
berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka),
maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah
Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa
keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi
tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal,
maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa
keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Ciri Orang Yang Ikhlas


Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau
bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,
“Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan
banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika
dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal.
Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang
akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang
munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam
cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut)
berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang
dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh
dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku
datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah
menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu,
dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka
adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia.
Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri
atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah
Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan
terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika
terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka
senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan
mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat
Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

IKHLAS ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMAL


Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan
dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan
meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal.
Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah,
kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah;
yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya
tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini
ditunjukan dalam firmanNya:
َ ‫احد ٌ فَ َم ْن َكانَ يَ ْر ُجوا ِلقَآ َء َربِِّ ِه فَ ْليَ ْع َم ْل َع َمالا‬
‫صا ِل احا َوالَيُ ْش ِركُ ِب ِعبَادَةِ َربِِّ ِه أَ َحداا‬ ِ ‫َو‬
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal
shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai
dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar
orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak
menghendaki selainNya.[13]
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan amalan yang
diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”.
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi
mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga
kali, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-
apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ ‫ِإ َّن هللاَ الَ َي ْق َب ُل ِمنَ ال َع َم ِل ِإالَّ َما َكانَ لَهُ خَا ِلصا ا َو ا ْبت ُ ِغ‬
ُ‫ي ِب ِه َوجْ ُهه‬
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan
dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-
nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9.
Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8].

HUKUM BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN


LAIN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah
kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.
Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan untuk
mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya dan termasuk
syirik, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:
ْ ‫ َم ْن َع ِم َل َع َمالا أ َ ْش َركَ فِ ْي ِه َم ِعي َغي ِْر‬، ‫ش ِْر ِك‬
ُ‫ي ت ََر ْكتُهُ َو ِش ْر َكه‬ ِّ ‫َاء َع ِن ال‬ ُّ ‫أ َنَا أ َ ْغنَى ال‬
ِ ‫ش َرك‬
Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan yang
lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202
dari sahabat Abu Hurairah].
Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi
pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub kepada Allah.
Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
َ ِ‫ار َو َحب‬
‫ط‬ َ ‫ف إِلَ ْي ِه ْم أ َ ْع َمالَ ُه ْم فِي َها َو ُه ْم فِي َها الَيُ ْب َخسُونَ أ ُ ْولَئِكَ الَّذِينَ لَي‬
َ َّ‫ْس لَ ُه ْم فِي اْأل َ ِخ َرةِ إِالَّ الن‬ ِ ِّ ‫َمن َكانَ ي ُِريد ُ ْال َحيَاة َ الدُّ ْنيَا َو ِزينَت َ َها نُ َو‬
َ‫اط ٌل َّماكَانُوا َي ْع َملُون‬ ِ َ‫صنَعُوا فِي َها َوب‬ َ ‫َما‬
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia tidak
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan. [Hud : 15-16].
Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar
mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak bermaksud
agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan
sanjungan manusia karena perbuatannya.
Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah sekaligus untuk
tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk
membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan
ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah niat
ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak menyeret pada
dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan dalam KitabNya:[10]
ْ َ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْبتَغُوا ف‬
‫ضالا ِِّمن َّر ِبِّ ُك ْم‬ َ ‫لَي‬
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].
Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh
ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan dikhawatirkan akan
menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan
yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Keadaan seperti itu difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ُ ‫ط ْوا ِم ْن َهآ ِإذَا ُه ْم يَ ْس َخ‬
َ‫طون‬ ُ ‫ت فَإ ِ ْن أ ُ ْع‬
َ ‫طوا ِم ْن َها َرضُوا َو ِإن لَّ ْم يُ ْع‬ َّ ‫َو ِم ْن ُهم َّمن يَ ْل ِم ُزكَ فِي ال‬
ِ ‫صدَقَا‬
Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian
darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta
mereka menjadi marah. [At Taubah : 58].
Dalam Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang bertanya:
“Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Seseorang ingin berjihad di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan) dunia?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada pahala baginya,” orang itu mengulangi lagi pertanyaannya
sampai tiga kali, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”
Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar bin
Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ ‫ أَ ِو ا ْم َرأَةٍ يَ ْن ِك ُح َها فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَى َما ه‬، ‫ُص ْيبُ َها‬
‫َاج َر ِإلَ ْي ِه‬ ِ ‫َت هِجْ َرتُهُ ِلد ُ ْنيَا ي‬
ْ ‫َم ْن كَان‬
Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang
wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.
Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan
lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama. Pendapat yang
lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada
golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak yang
berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia
belaka.
Apabila ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam
golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”
Jawaban kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja,
berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk
ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat pahala”.
Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting.
Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan
dengan niatnya.
Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling berat atas diriku,
melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam niat
dan dibereskan seluruh amal” [12].

You might also like