Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Septy Lisdamayanti Ritonga
Pembimbing:
dr. Jusram, Sp. PD
dr. Erva Anggriana
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,
hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“Demam Tifoid dan ISK ”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan Laporan Kasus ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Nurmin Baso M, Sp. Rad , selaku direktur RSUD dr. Abdul Rivai Berau.
2. dr. Jusram, Sp. PD selaku pembimbing ilmu penyakit dalam.
3. dr. Erva Anggriana, selaku koordinator pembimbing internsip Kab. Berau Periode Mei
2017.
4. dr. Widia Narulita dan dr. Datik, selaku pembimbing internsip Kab Berau Periode Mei
2017.
5. Rekan sejawat dokter internsip angkatan 2017 yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
6. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka diri
untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
5 Oktober, 2017
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Pasien masuk RS pada tanggal 12 September 2017 melalui Instalasi Gawat Darurat
RSUD dr. Abdul Rivai. Masuk ke Ruangan Dahlia tanggal 12 September 2017.
Identitas:
Nama : Nn. NA
Umur : 15 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Teluk Bayur
Tanggal masuk : 12 September 2017 pukul 13.35 WITA
Tanggal keluar : 22 September 2017
No. RM : 202195
A. RESUME IGD
Subyektif:
Pasien mengalami demam sekitar 1 minggu, disertai mual muntah dan nyeri saat BAK.
Obyektif:
1. Tanda-tanda vital : TD : 110/70 MmHg
Nadi : 100x/menit,
RR : 24x/menit
T : 38 C
2. Kesadaran : GCS E4V5M6
3. Kepala : Rambut kering, Konjungtiva anemis (-|-) , Sklera ikterik (-|-),
sianosis (-), mukosa bibir kering, Lidah Kotor (+)
4. Thorax : Simetris, vesikuler(+), whe (-|-), rho (-|-)
5. Abdomen : Supel, BU(+)N, timpani, Nyeri Tekan epigastrium (+), Nyeri
tekan suprapubik (+)
6. Ekstremitas : Ekstremitas superior dan inferior akral hangat, CRT <2 detik.
edema (-)
Assesment:
Susp. Demam Tifoid
5
Planning:
1. IVFD RL 20 tpm
2. Inj Norages 1 Amp/ 8 jam
3. Inj Ceftriaxone 1gr/ 12 jam
Penunjang:
Laboratorium darah lengkap
Widal
Urine Lengkap
B. RESUME RUANGAN
Anamnesis:
1. Keluhan Utama
Demam 1 Minggu
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh demam sejak 7 hari SMRS. Demam dirasakan terutama saat
sore hari. Sudah pernah minum obat penurun panas yang dibeli sendiri namun belum ada
perbaikan. Keluhan demam ini juga disertai dengan mual, muntah, sakit kepala serta
nyeri pada ulu hati. Pasien juga mengeluhkan rasa perih saat buang air kecil
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga serumah atau sekitar lingkungan rumah dengan gejala serupa
disangkal
5. Riwayat Lingkungan dan kebiasaan
Pasien tinggal bersama saudaranya. Ayah bekerja diluar kota dan ibu sudah
meninggal. Pasien merupakan siswi SMP kelas VII yang terbilang cukup aktif dan jarang
berada di rumah. Sehari-hari pasien makan dan jajan di sekolah atau di penjual-penjual
pinggir jalan bersama teman-temannya.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda-tanda vital
Frekuensi Nadi : 100x /menit Tekanan Darah : 110/70 MmHg
6
Frekuensi Nafas : 24 x/menit Suhu : 380 C
Status generalisata
Kepala
Bentuk : Normochepali, rambut kering
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
Mulut : Mukosa bibir kering, Lidah kotor : (+)
Leher
KGB : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : gerakan napas sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (-/-), Ronchi (-/-),
bunyi jantung I & II normal, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : bentuk normal, simetris, datar, scar (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), Nyeri tekan Suprapubik (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas
Superior & Inferior : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-)
Pemeriksaan Penunjang:
1. Darah lengkap
12/09/2017
Lab Value
Haemoglobin 11,7 11-15,0 g/dl
Leukosit 5.800 4000-10000/µ
Trombosit 191.000 150000-450000/µ
7
Hematokrit 35,6 37,0-47,0 %
18/09/2017
Lab Value
Haemoglobin 11,2 11-15,0 g/dl
Leukosit 6.100 4000-10000/µ
Trombosit 190.000 150000-450000/µ
Hematokrit 34,6 37,0-47,0 %
2. Widal Test
Widal Test 1/80 1/160 1/320
Typhi O + + +
Typhi H + + +
Paratyphi A Neg Neg Neg
Paratyphi B + + +
3. Urine Lengkap
Berat Jenis : 1,020
pH : 6,0
Eritrosit : 5-10 /Lpb
Lekosit : 10-20/Lpb
Penatalaksanaan:
1. IVFD RL 20 tpm
2. Inj Norages 1 Amp/ 8 jam
3. Inj Ceftriaxone 1gr/ 12 jam
Prognosa
Dubia ad Bonam
8
Follow up harian
9
K/L : CA (-/-), SI (-/-) - Inj Ranitidine 1 amp/
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-) 12 jam
S1S2 tunggal regular
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan beberapa (+) Inj Norages 1 amp jika
kuadran abdomen, demam (Ekstra)
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“
Diagnosis : Demam Tifoid
ISK
16 Sept 2017 KU : Lemah - Bed Rest
Keluhan : Demam (+) H11, Nyeri perut (+) , - IVFD RL 20 Tpm
Nyeri saat BAK (-) - Inj Levofloxacin
Perawatan
Pemeriksaan Fisik 500mg/ 24 jam (4)
Hari ke - 4
TD : 90/60 mmHg N : 90x /i lemah - Sanmol Flash 1gr/ 12
RR : 26 x/i , T : 38 oC, jam
K/L : CA (-/-), SI (-/-) - Inj Ranitidine 1 amp/
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-) 12 jam
S1S2 tunggal regular a.
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan beberapa
kuadran abdomen
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“
Diagnosis : Demam Tifoid
ISK
17 Sept 2017 KU : Lemah - Bed Rest
Keluhan : Demam (+) H12, Nyeri perut (+) , - IVFD RL 20 Tpm
Nyeri saat BAK (-), Belum BAB sejak dirawat - Inj Levofloxacin
Perawatan
Pemeriksaan Fisik 500mg/ 24 jam (5)
Hari ke - 5
TD : 90/60 mmHg N : 78x /i lemah - Sanmol Flash 1gr/ 12
RR : 20 x/i , T : 38 oC, jam
K/L : CA (-/-), SI (-/-) - Inj Ranitidine 1 amp/
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-) 12 jam
S1S2 tunggal regular
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan (+)
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“
Diagnosis : Demam Tifoid
ISK
18 Sept 2017 KU : Lemah - Bed Rest
Keluhan : Demam (+) H13, Nyeri perut (+) - IVFD RL 20 Tpm
10
Pemeriksaan Fisik - Inj Levofloxacin
TD : 90/60 mmHg N : 80x /i lemah 500mg/ 24 jam (6)
Perawatan RR : 26 x/i , T : 38 oC, Stop
Hari ke - 6 K/L : CA (-/-), SI (-/-) - Inj Ceftriaxone 1gr/ 12
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-) jam (1)
S1S2 tunggal regular - Sanmol Flash 1gr/ 12
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan (+) jam
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“ - Inj Ranitidine 1 amp/
Diagnosis : Demam Tifoid 12 jam
ISK
19 Sept 2017 KU : Lemah - Bed Rest
Perawatan Keluhan : Demam (+) H14, Nyeri perut (+) - IVFD RL 20 Tpm
Hari ke - 7 Badan terasa pegal-pegal - Inj Ceftriaxone 1gr/ 12
Pemeriksaan Fisik jam Stop
TD : 90/60 mmHg N : 82x /i lemah - Inj Levofloxacin
RR : 24 x/i , T : 39,2 oC, 500mg/ 24 jam (6)
K/L : CA (-/-), SI (-/-) - Sanmol Flash 1gr/ 12
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-) jam
S1S2 tunggal regular - Inj Ranitidine 1 amp/
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan (+) 12 jam
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“
Diagnosis : Demam Tifoid
ISK
20 Sept 2017 KU : Membaik - Aff Infus
Perawatan Keluhan : Demam (-), Nyeri perut (-), BAB dbn,
Hari ke - 8 BAK dbn Terapi Oral :
Pemeriksaan Fisik - Sanmol 3 x 500 mg
TD : 100/60 mmHg N : 80x /i lemah - Levofloxacin 1x 500
RR : 20 x/i , T : 37 oC, mg
K/L : CA (-/-), SI (-/-) - Domperidone 3 x 10
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-) mg
S1S2 tunggal regular - Lansoprazole 2 x 30 mg
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“
Diagnosis : Demam Tifoid
ISK
11
21 Sept 2017 KU : Baik - Sanmol 3 x 500 mg
Perawatan Keluhan : - - Levofloxacin 1x 500
Hari ke - 9 Pemeriksaan Fisik mg
TD : 100/60 mmHg N : 78x /i lemah - Domperidone 3 x 10
RR : 20 x/i , T : 37oC, mg
K/L : CA (-/-), SI (-/-) - Lansoprazole 2 x 30 mg
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-)
S1S2 tunggal regular
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“
Diagnosis : Demam Tifoid
ISK
22 Sept 2017 KU : Baik - Rawat Jalan
Perawatan Keluhan : - - Kontrol Poli Penyakit
Hari ke - 10 Pemeriksaan Fisik Dalam
TD : 90/60 mmHg N : 80x /i lemah
RR : 20 x/i , T : 36,8 oC,
K/L : CA (-/-), SI (-/-)
Thoraks : sesak (-) Rho (-/-) Whz (-/-)
S1S2 tunggal regular
Abdomen : Soefl, BU (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-), CRT < 2“
Diagnosis : Demam Tifoid
ISK
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3 Patogenesis13
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
13
Bila respon imun kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama
sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ
ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
14
Salmonella Typhi pada permukaan batu empedu manusia (gambar a). Flagel bakteri
berinteraksi dengan dinding kolesterol, menyebabkan perlekatan koloni membentuk
lapisan biofil (gambar b). Mekanisme lain yang diteliti adalah adanya replikasi bakteri
dalam epitel kandung empedu, yang pada akhir tahapan diakhiri dengan pelepasan bakteri
ke cairan empedu yang akan mengikuti aliran pencernaan (gambar c).13
15
sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah, sedang tepi dan ujungnya
kemerahan13.
Demam dapat meningkat sehingga plateau yang tinggi dan dapat terjadi pembesaran
limpa dan hati. Meskipun jarang pada beberapa kasus, namun bisa terlihat bintik-bintik merah
atau red spots yang timbul sebentar di bagian abdomen atau dada. Sebelum pemberian
antibiotik, komplikasi utama adalah pendarahan dan perforasi usus.
Sekitar 10-15% penyakit demam tifoid dapat menjadi parah13. Demam yang meningkat
sehingga plateau yang tinggi terjadi pada minggu kedua. Hal ini dapat bertahan sehingga 4
minggu jika tidak ditangani diikuti dengan kembalinya kepada suhu normal. Gejala indikator
pada saat ini adalah bradikardi relatif meskipun ini bukan temuan universal14.
Bagi dewasa sering mengalami sembelit tetapi bagi anak-anak lebih sering dijumpai
gejala diare. Pada pemeriksaan fisik, pasien juga dijumpai dengan tender pada abdomen,
hepatomegali dan splenomegali13.
Pada gambaran darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik yang
terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit
rendah, namun jarang di bawah 3000/ uL3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah
leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/uL3. Trombositopenia sering dijumpai,
kadang-kadang berlangsung beberapa minggu13.
Selain itu manifestasi klinis demam tifoid dapat pula berupa :
a. Akut non-komplikasi
Demam tifoid akut ditandai dengan demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus
(sembelit pada orang dewasa, diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise dan anoreksia.
Batuk bronkitis adalah gejala umum dalam tahap awal penyakit. Selama periode demam,
hingga 25% dari pasien menunjukkan exanthem (mawar bintik-bintik), di dada, perut dan
punggung.
b. Dengan Komplikasi
Demam tifoid akut bisa berat. Tergantung pada pengaturan klinis dan kualitas
perawatan medis yang tersedia, hingga 10% dari pasien tifoid dapat berkembang ke
komplikasi yang serius, karena jaringan limfoid usus terkait
menunjukkan kelainan yang menonjol, pada 10-20% pasien ditemukan adanya darah
mikroskopis pada tinja dan hingga 3% pasien mungkin memiliki melena. Perforasi usus
juga telah dilaporkan hingga 3% dari kasus dirawat di rumah sakit. Rasa tidak nyaman
pada perut akan berkembang dan meningkat. Hal ini sering terbatas pada kuadran kanan
bawah tetapi bisa juga menyebar. Gejala dan tanda-tanda perforasi usus dan peritonitis
16
kadang-kadang mengikuti, disertai dengan kenaikan tiba-tiba denyut nadi, hipotensi,
ditandai dengan nyeri perut, nyeri lepas, dan selanjutnya kekakuan perut. Peningkatan
jumlah sel darah putih dengan pergeseran kiri dan udara bebas pada radiografi abdomen
biasanya terlihat.
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan sindroma klinis tifoid dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat demam
(>380C) lebih dari 3 hari, disertai malaise, nyeri abdomen difusm, diare dan atau
konstipasi
. Demam muncul di sore hari, terus menetap hingga malam hari dan menurun di
pagi hari. Demam yang muncul mencapai puncaknya 39-400C. Pada pagi hari anak masih
dapat beraktivitas secara normal. Pada minggu pertama muncul gejala gastrointestinal
seperti nyeri perut, mual dan muntah diakibatkan pendesakan hepatomegali dan
peregangan saluran pencernaan. Inflamasi pada Plak Peyeri usus halus menyebabkan
obstruksi saluran pencernaan sehingga terjadi konstipasi. Nyeri kepala, gangguan
kesadaran delirium hingga sopor dapat terjadi akibat demam yang sangat tinggi. Pada
akhir minggu pertama akan muncul makulopapul merah muda di trunkus (roseola spot)
yang umumnya hilang dalam 2 – 5 hari. Papul tersebut berisi emboli bakteri yang
terdeposit ke dermis.2,14,15,16
Pada minggu kedua masih dijumpai gejala‐gejala gastrointestinal, dan abdomen
mengalami distensi akibat hepatomegali/splenomegali. Pada minggu ketiga penderita
dapat mengalami diare tifoid yang berbau, warna kuning kehijauan (Pea soup diarrhea),
kondisi ensefalopati tifoid dapat dialami mulai dari apatis, delirium hingga psikosis tifoid.
Nekrosis Plak Peyer yang terjadi dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna dan
peritonitis. Pada minggu keempat demam dan kondisi delirium bisa membaik, beberapa
penderita menjadi karier kronik bakteri.
17
ini (S.typhi dan S.paratyphi), karena hanya patogen ini dapat tumbuh di atasnya. Dalam
laboratorium diagnostik umum, dimana patogen lainnya yang diduga, medium kultur
darah umum harus digunakan. Lebih dari 80% pasien dengan demam tifoid memiliki
organisme penyebab dalam darah mereka.
Kegagalan untuk mengisolasi organisme mungkin disebabkan oleh beberapa faktor:
(i) keterbatasan media laboratorium; (ii) adanya antibiotik; (iii) volume spesimen yang di
kultur; atau (iv) waktu koleksi, pasien dengan riwayat demams elama 7-10 hari menjadi
lebih mungkin dibandingkan orang lain untuk memiliki kultur darah positif.
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik,
imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis),
menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta
timbulnya penyulit13.
1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus
atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau
tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED (Laju Endap
Darah): Meningkat. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
2. Urinalis
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam). Leukosit dan eritrosit
normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis akut.
4. Imunologi
a. Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di dalam
darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi/paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test
kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana
penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat
segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi
jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif
palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain
18
pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp),
reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu
dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika,
waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk,
dan adanya penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid/ Paratifoid dinyatakan bila titer O=1/160, bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini
endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal diatas maka
permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang
tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit
saat itu tetapi dari kontak sebelumnya. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
b. Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru,yang dianggap lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid.
Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera diketahui. Diagnosis Demam
Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan (1) bila lgM positif menandakan infeksi akut; (2) jika lgG
positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik.
5. Mikrobiologi
a. Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/
paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/
Paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena
hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah
darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam media Gall
(darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika dan
sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu
untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari,bila belum ada pertumbuhan
koloni ditunggu sampai 7hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit
19
adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.
6. Biologi molekular.
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara
ini dilakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe
yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan
dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
2.1.8 Penatalaksanaan
Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik serta
asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain
pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam
tifoid,yaitu:
1. Istirahat dan Perawatan13
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi, buang
air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan.
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7hari bebas demam atau kurang
lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya
harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-
kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. Managemen Nutrisi15
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi, antara lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
20
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan
makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa
sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna.
Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya
komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa
rendah adalah:
a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
maksimal 8gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi
perorangan
f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan
toleransi perorangan.
g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam
dan berbumbu tajam.
h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu
panas dan dingin
i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet
perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau
makanan parenteral.
3. Tata laksana Farmakologi16
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang
dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila
lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lava sedeng anglistering. Obat bentuk
laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun
perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya
pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan
demam.
21
A. Pemberian antimikroba
Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
a. Kloramfenikol
Di era pre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%.
Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit,
menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 3-5hari.
Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena, sampai 7
hari bebas demam. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester
tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan
untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun1970.
Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier
kronik, toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di
beberapa negara berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan
dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah
4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-6 sampai ke-6.
c. Ampisilin dan Kotrimoksazol
Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.
Ampicilin dan Trimetoprim - Sulfametoksazol (TPM-SMZ) menjadi pengobatan yang
utama. Munculnya strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan
kotrimoksazol telah mengurangi kemanjuran obat ini. Pada tahun 1989, muncul MDR
S.Typhi. Bakteri ini resisten terhadap kloramfenikol, ampicilin, Trimetoprim-
Sulfametoksazol (TPM-SMZ), streptomycin, sulfonamid dan tertacyklin. Di daerah dengan
prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia Tenggara, dan Afrika), seluruh pasien
diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau sefalosporin generas III hingga hasil
kultur dan tersensitive aster sedia.
d. Quinolon
Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif
penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu, dan
memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid.
Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tinggi, tidak ada karier S.Typhi yang
22
muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk menggunakan antibiotik
quinolon.
Ciprofloksasin juga telah ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain S.typhi dan
S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul khususnya di daerah
India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan pefloxacin, terbukti efektif dalam
percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan ofloxacin (10-15mg/kg dibagi dua
selama 2-3hari) muncul lebih simpel, aman dan efektif dalam terapi inkomplit MDR demam
tifoid. Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
e. Sefalosporin Generasi 1
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam
tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat
yang diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon
selama 5-7 hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini
sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan diberikan untuk 10-14
hari.
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam tifoid dengan
aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan lebih efektif dari pada
kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektifdi Malaysia
terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik makrolida
baru diberikan dengan dosis1gr sekali sehari selama 5hari juga bermanfaat untuk pengobatan
demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan azitromycin adalah kedua
obat ini dapat digunakan pada anak-anak,ibu hamildan menyusui.
B. Penggunaan Glukokortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan gangguan
kesadaran (delirium, stupor, koma, syok). Dexametason diberikan dengan dosis awal 3mg/kg
IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian. Selain itu, juga
diberikan kepada pasien dengan demam yang tidak turun-turun.
Hari ke 1: Kortison 3 x 100 mg im atau Prednison 3 x 10 mg oral
Hari ke 2: Kortison 2 x 100 mg im atau Prednison 2 x 10 mg oral
Hari ke 3: Kortison 3 x 50 mg im atau Prednison 3 x 5 mg oral
Hari ke 4: Kortison 2 x 50 mg im atau Prednison 2 x 5 mg oral
Hari ke 5: Kortison 1 x 50 mg im atau Prednison 1 x 5 mg oral
23
C. Antipiretik
Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya
tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan
darah (bradikardi relatif).
2.1.8 Komplikasi16
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun dan bahkan sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.
24
2.2 Infeksi Saluran Kemih
2.2.1 Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml urin > 105, dan lekositouria
>10 per lapangan pandang besar, disertai manifestasi klinik4. ISK akhir-akhir ini juga
didefinisikan sebagai suatu respon inflamasi tubuh terhadap invasi mikroorganisme pada
urothelium3,6.
2.2.2 Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemukan di
praktik umum. Kejadian ISK dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, gender, prevalensi
bakteriuria, dan faktor predisposisi yang mengakibatkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. ISK cenderung terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. ISK berulang
pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai factor predisposisi1.
Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami ISK
selama hidupnya. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada
perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (School girls) 1% meningkat menjadi 5 %
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%
pada laki-laki dan perempuan jika disertai faktor predisposisi1.
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK di tempat praktik
umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada perempuan muda yang masih aktif secara
seksual dan jarang pada laki-laki <50 tahun5. Insiden ISK pada laki-laki yang belum
disirkumsisi lebih tinggi (1,12%) dibandingkan pada laki-laki yang sudah disirkumsisi
(0,11%)3.
25
2.2.3 Etiologi
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti:1
Eschericia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan ISK
simtomatik maupun asimtomatik
Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak
laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase negatif
Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai, kecuali pasca
kateterisasi
2.2.4 Patogenesis
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik tergantung dari
patogenitas bakteri sebagai agent, status pasien sebagai host dan cara bakteri masuk ke
saluran kemih (bacterial entry) 1,3.
a. Peranan Patogenisitas Bakteri (agent)
Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat pada jaringan saluran kemih.
Bakteri tersering yang menginfeksi saluran kemih adalah E.coli yang bersifat
uropathogen.1,3,7,8. Strain bakteri E. coli hidup atau berkoloni di usus besar atau kolon
manusia. Beberapa strain bakteri E. coli dapat berkoloni di daerah periuretra dan masuk ke
vesika urinaria. Strain E. coli yang masuk ke saluran kemih dan tidak memberikan gejala
klinis memiliki strain yang sama dengan strain E. coli pada usus (fecal E.coli), sedangkan
strain E. coli yang masuk ke saluran kemih manusia dan mengakibatkan timbulnya
manifestasi klinis adalah beberapa strain bakteri E. coli yang bersifat uropatogenik dan
berbeda dari sebagian besar E.coli di usus manusia (fecal E.coli). Strain bakteri E.coli ini
merupakan uropatogenik E.coli (UPEC) yang memiliki faktor virulensi8.
26
Selain itu urin juga memiliki karakter spesifik (osmolalitas urin, konsentrasi urin,
konsentrasi asam organik dan pH) yang dapat menghambat pertumbuhan dan kolonisasi
bakteri pada mukosa saluran kemih. Menurut penelitian urin juga mengandung faktor
penghambat perlekatan bakteri yakni Tamm-Horsfall glycoprotein, dikatakan bahwa
bakteriuria dan tingkat inflamasi di saluran kemih meningkat pada defisit THG. THG
membantu mengeliminasi infeksi bakteri pada saluran kemih dan berperan sebagai salah satu
mekanisme pertahanan tubuh3.
Retensi urin, stasis, dan refluks urin ke saluran cerna bagian atas juga dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri dan infeksi. Selain itu, abnormalitas anatomi dan
fungsional saluran kemih yang dapat menganggu aliran urin dapat meningkatkan kerentanan
host terhadap ISK1,3. Keberadaan benda asing seperti adanya batu, kateter, stent dapat
membantu bakteri untuk bersembunyi dari mekanisme pertahanan host3,9
27
area jaringan yang terinvasi. Selain itu, ginjal juga memproduksi antibodi untuk opsonisasi
dan fagositosis bakteri serta untuk mencegah perlekatan bakteri. Mekanisme imunitas seluler
dan humoral ini berperan dalam pencegahan ISK, oleh karena itu imunitas host berperan
penting dalam kejadian ISK3,4
2.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:
Infeksi Saluran Kemih Atas
Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis terbagi
menjadi pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah pielonefritis lebih
sering dipakai dari pada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak
pernah ditemukan di klinik4.
Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh radang
jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat mengenai kapiler
glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa ditemukan kelainan radiologik3,4.
28
PNA ditemukan pada semua umur dan jenis kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada
wanita dan anak-anak. Pada laki-laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat4.
Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan sekunder
mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri (immediate
atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu disertai kelainan-kelainan radiologi.
PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut PNK fase inaktif. Bakteriuria yang ditemukan
pada seorang penderita mungkin berasal dari pielonefritis kronik fase aktif atau bakteriuria
tersebut bukan penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih bagian bawah
yang sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria asimtomatik. Jadi diagnosis
PNK harus mempunyai dua kriteria yakni telah terbukti mempunyai kelainan-kelainan faal
dan anatomi serta kelainan-kelainan tersebut mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri.
Dari semua faktor predisposisi ISK, nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih memegang
peranan penting dalam patogenesis PNK4. Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari
infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga sering
ditemukan pembentukan jaringan ikat parenkim1.
29
mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa SUA disebabkan oleh
MO anaerobik1,4.
Lokal Sistemik
Disuria Panas badan sampai
Polakisuria menggigil
Stranguria Septicemia dan syok
Tenesmus
Nokturia Perubahan urinalisis
Enuresis nocturnal Hematuria
Prostatismus Piuria
Inkontinesia Chylusuria
Nyeri uretra Pneumaturia
Nyeri kandung kemih
Nyeri kolik
Nyeri ginjal
30
Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari keluhan-
keluhan ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan urin rutin.
Presentasi klinik PNK dapat berupa proteinuria asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut,
hipertensi, dan gagal ginjal kronik (GGK)4.
Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik seperti
polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang dengan hematuria.
Keluhan sistemik seperti panas menggigil jarang ditemukan, kecuali bila disertai penyulit
PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48 jam setelah melakukan senggama,
dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki, prostatitis yang terselubung setelah senggama
atau minum alkohol dapat menyebabkan sistitis sekunder1,4.
Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena rangsangan
yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan nyeri tekan di
daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari hidronefrosis dan distensi vesika
urinaria4. Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan sistitis.
Gejalanya sangat miskin, biasanya hanya disuri dan sering kencing1.
31
positif. Sensitivitas sebesar 85 % dan spesifisitas sebesar 60 % untuk 1 PMN atau
mikroorganisme per HPF. Namun pemeriksaan ini juga dapat mendapatkan hasil positif palsu
sebesar 10%10.
b. Uji Biokimia
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit dari
bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya sebagai uji saring
(skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat menentukan tipe bakteriuria.
c. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin.
Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut selama
pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria asimtomatik
selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus dibiakan lurang dari 2 jam
pada suhu kamar atau disimpan pada lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin
tengah kencing (UTK), aspirasi suprapubik selektif.
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml >105 (2x)
berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai lekositouria > 10 per ml
tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai gejala klinis ISK, atau CFU per ml >105
dari aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni CFU per ml >105 (3x) berturut-turut
dari UTK.
2.2.8 Terapi
a. Infeksi Saluran Kemih Atas
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap untuk
memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat
inap pada PNA antara lain kegagalan dalam mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat jalan,
diperlukan investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta komorbiditas
seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative
terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil kepekaan
biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosporin
spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
32
b. Infeksi saluran kemih bawah
Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan intake cairan, pemberian
antibiotik yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin dengan
natrium bikarbonat 16-20 gram per hari1,4
Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin, ampisilin,
penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid cukup efektif tetapi tidak
ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan nitrofurantoin dan sulfonamid sebagai
pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil bakteriogram4.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan
ISK tipe berkomplikasi (complicated).
a. ISK sederhana (uncomplicated)
ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada perempuan hamil pada
umumnya merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak menyebablan akibat
lanjut jangka lama.
b. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
ISK tipe berkomplikasi biasanya terjadi pada perempuan hamil dan pasien dengan diabetes
mellitus. Selain itu basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti
penurun laju filtrasi glomerulus (LFG).
Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies kandida dan infeksi
gram negatif lainnya dapat dijumpai pada pasien DM. Pielonefritis emfisematosa disebabkan
oleh MO pembentuk gas seperti E.coli, Candida spp, dan klostridium tidak jarang dijumpai
pada pasien DM. Pembentukan gas sangant intensif pada parenkim ginjal dan jaringan
nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering disertai syok septik
dan nefropati akut vasomotor.
Abses perinefritik merupakan komplikasi ISK pada pasien DM (47%), nefrolitiasis (41%),
dan obstruksi ureter (20%).
2.2.10 Prognosis4
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan penyembuhan
100% secara klinik maupun bakteriologi bila terapi antibiotika yang diberikan sesuai. Bila
terdapat faktor predisposisi yang tidak diketahui atau sulit dikoreksi maka 40% pasien PNA
dapat menjadi kronik atau PNK. Pada pasien Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis
33
terlambat dan kedua ginjal telah mengisut, pengobatan konservatif hanya semata-mata untuk
mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan transplantasi dapat
merupakan pilihan utama.
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna, kecuali bila
terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan. Bila terdapat infeksi yang
sering kambuh, harus dicari faktor-faktor predisposisi. Prognosis sistitis kronik baik bila
diberikan antibiotik yang intensif dan tepat serta faktor predisposisi mudah dikenal dan
diberantas.
34
BAB 3
ANALISA KASUS
ANAMNESIS
DEMAM TIFOID
35
ISK
ISK cenderung terjadi pada Perempuan usia 15 tahun
perempuan dibandingkan laki- Nyeri saat BAK
laki Demam sekitar 1 minggu
ISK dibagi menjagi gejala-
gejala lokal, sistemik dan
perubahan urinalisis
Gejala cardinal seperti disuria,
polakisuria, dan urgensi sering
ditemukan pada hampir 90%
pasien dengan ISK akut
Sementara gejala sistemik
dapat pula panas badan sampai
menggigil serta septicemia dan
syok
PEMERIKSAAN FISIK
DEMAM TIFOID
Bakterimia pada demam tifoid Suhu tubuh 38-40oC
ditandai dengan gejala Rambut tampak kering
penyakit infeksi sitemik Mukosa bibir kering
seperti demam, malaise, Lidah kotor
mialgia, sakit kepala dan sakit Nyeri perut
perut Konstipasi
Dimulai dengan demam ringan Sakit kepala
tetapi akan progresif dan sering
berkelanjutan sehingga 39 °C Mialgia
sampai 40 °C
Saat demam sudah tinggi, pada
kasus demam tifoid dapat
disertai gejala sistem saraf
pusat, seperti kesadaran
berkabut atau delirium atau
36
penurunan kesadaran, mulai
apatis sampai koma
Gejala gastointestinal pada
kasus demam tifoid sangat
bervariasi. Pasien dapat
mengeluh diare, obstipasi, atau
obstipasi kemudian kemudian
disusul episode diare. Pada
sebagian pasien lidah tampak
kotor dengan putih di tengah,
sedang tepi dan ujungnya
kemerahan
ISK
ISK atas :
Fever
Rigors
Loin pain
Vomiting Nyeri saat BAK
Scoliosis Nyeri tekan suprapubik
Weight loss
Suhu tubuh 38-40o C
ISK Bawah
Suprapubik Pain
Disuria
Frekuensi
Hematuria
Urgency
Stranguria
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DEMAM TIFOID
Mikrobiologi Widal :
a. Kultur (Gall culture/ Biakan Widal Test 1/80 1/160 1/320
Typhi O + + +
empedu) Typhi H + + +
Merupakan baku emas (gold Paratyphi A Neg Neg Neg
Paratyphi B + + +
standard) untuk pemeriksaan
Demam Typhoid/ paratyphoid.
37
Interpretasi hasil: jika hasil positif
maka diagnosis pasti untuk Demam
Tifoid/ Paratifoid. Sebaliknya jika
hasil negatif, belum tentu bukan
Demam Tifoid/ Paratifoid
Imunologi
a. Widal. Demam Tifoid dinyatakan
bila titer O=1/160, bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut
harus lebih tinggi mengingat
penyakit demam tifoid ini endemis
di Indonesia. Titer O yang tinggi
( > 160) menunjukkan adanya
infeksi akut.
b. Elisa Salmonella typhi/ paratyphi
lgG dan lgM. Diagnosis Demam
Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan
(1) bila lgM positif menandakan
infeksi akut; (2) jika lgG positif
menandakan pernah kontak/ pernah
terinfeksi/ reinfeksi/ daerah
endemik.
Biologi molecular
PCR (Polymerase Chain Reaction).
Cara ini dilakukan perbanyakan
DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe
yang spesifik
38
ISK
Analisis urin rutin
Analisis urin rutin ditemukan
colony forming units per mL
Urine Lengkap
CFU/ ml urin > 105, dan
Berat Jenis : 1,020
lekositouria >10 per lapangan
pH : 6,0
pandang besar
Eritrosit : 5-10 /Lpb
Uji Biokimia
Lekosit : 10-20/Lpb
- Didasari oleh pemakaian glukosa
dan reduksi nitrat menjadi nitrit
dari bakteriuria terutama golongan
Enterobacteriaceae.
Mikrobiologi (Kultur Urin)
Renal Imaging Procedure
DIAGNOSIS
DEMAM TIFOID
Anamnesis Anamnesis
- - Didapatkan adanya riwayat demam - Demam sekitar 1 minggu
(>380C) lebih dari 3 hari, biasanya disertai mual, muntah, nyeri
meningkat saat sore hingga malam hari perut, konstipasi
disertai malaise, nyeri abdomen difusm,
diare dan atau konstipasi
39
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
- Pada sebagian pasien lidah tampak - Suhu tubuh 38-40oC
kotor dengan putih di tengah, - Rambut kering
sedang tepi dan ujungnya - Mukosa bibir kering
kemerahan - Lidah kotor
- Pada minggu pertama muncul gejala - Nyeri tekan abdomen
gastrointestinal seperti nyeri perut,
mual dan muntah diakibatkan
pendesakan hepatomegali dan
peregangan saluran pencernaan.
Inflamasi pada Plak Peyeri usus
halus menyebabkan obstruksi
saluran pencernaan sehingga terjadi
konstipasi
- Nyeri kepala, gangguan kesadaran
delirium hingga sopor dapat terjadi
akibat demam yang sangat tinggi
40
ISK Anamnesis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan - Nyeri saat BAK
anamnesis, pemeriksaan fisik dan - Demam
pemeriksaan penunjang - Nyeri perut
Pemeriksaan Fisik
- Nyeri tekan suprapubik
- Demam 38-40o
Pemeriksaan Penunjang
- Urine Lengkap
Lekosit : 10-20/Lpb
PENATALAKSANAAN
DEMAM TIFOID
1. Istirahat dan Perawatan Terapi Rawat Inap
41
ISK
- Satu dari tiga alternatif terapi antibiotik IV
sebagai terapi awal selama 48-72 jam,
sebelum adanya hasil kepekaan biakan
yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan
atau tanpa ampisilin dan sefalosporin
spektrum luas dengan atau tanpa
aminoglikosida.
- Meningkatkan intake cairan
- Eradikasi infeksi akut, Antibiotik berdasar
hasil kultur urin dan uji sensitivitas
- Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi
dan fungsional pada ginjal dan saluran
kemih
- Deteksi dan mencegah infeksi berulang
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. 2009:1008-
1014.
2. Anonim. Urinary Tract Infections (Acute Urinary Tract Infection: Urethritis,
Cystitis, and Pyelonephritis). In Kasper, et all ed. Harrison’s Manual of
Medicine16th Edition. Newyork: Mc Graw Hill Medical Publishing
Division. 2005:724
3. Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho E.
& McAninch J.W. ed. Smith’s General urology 17th edition. Newyork:
Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2008: 193-195
4. Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan Ginjal. In
Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
(PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 2006: 29-72
5. Scanlon, V.C & Sanders, T. Essential of Anatomy and Physiology 5th edition.
Philadelpia: FA Davis Company. 2007: 420-432
6. Macfarlane, M.T. Urinary Tract Infections. In, Brown B, et all ed. 4th
Urology. California: Lippincott Williams & Wilkins. 2006: 83-16
7. Ronald A.R & Nicollé L.E. Infections of the Upper Urinary Tract. In Schrier
R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary Tract 7th edition Vol.1.
Newyork: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001: 1687
8. Weissman, S.J, et all. Host-Pathogen Interactions and Host Defense
Mechanisms. In In Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary
Tract 8th edition Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. 2007: 817-826
9. Abdelmalak, J.B, et all. Urinary Tract Infections in Adults. In Potts J.M, ed.
Essential Urology, A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana
Press. 2004:183-189
10. Anonim. Pyelonephritis Acute. In Williamson, M.A & Snyder L.M. Wallach’s
Interpretation of Diagnostic Test 9th. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins a Wolters Kluwer Publishers. 2011: 730-731
43
11. Mastroeni P, Grant A, Restif O, Maskell D. A dynamic view of the spread and
intracellular distribution of Salmonella enterica. Nat Rev Microbiol
2009;(7):73--‐80
12. Escobedo GG, Marshall JM, Gunn JS. Chronic and acute infection of the gall
bladder by Salmonella Typhi: understanding the carrier state. Nat Rev
Microbiol 2011;(9):9--‐14
13. Jong EC Enteric Fever in Netter’s Infectious Diseases. 2012. Philadelphia
Elsevier Saunders;394--‐98
14. Feasey NA, Gordon MA (Enteric fever) in Farrar J et al. Manson’s Tropical
Diseases 23rd Edition. 2014. Elsevier Saunders; 338--‐43
15. Brusch JL, et al. Typhoid Fever. [updated April 4 2014] Available from
http://emedicine.medscape.com/article/231135--‐clinical
16. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis Edisi ke-2. 2008. UKK Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta
44