Setiyono, dk. 1969, Difteri Pada Anak 5
DIFTERI PADA ANAK-~ FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KEMATIAN
Setiyono, R.Scetrisno, Djzuhar Ismail, Budi Stisatya,
Y¥.E, Sudiantoro, Agus Partatmo dan
durusan Iu Kedokteran Klinik Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Setiyono, R. Seetrisno, Djauhar Ismail, Budi Susatya, YE. Sudiantoro, Agus
Partatmo & Ismangun. Diphtheria in children-factors influencing mortality. Berita
Kedokleran Masyarakat V(I): 5-12.
Diphtheria is stilt one of the endemic diseases in Youyakarta and the mortality
rate remains high. There were 94 cases admited to the Dr. Sardjito Hospital during
period April 1982-December 1983 and the case fatality rate was 20.2%.
‘Mortality was influenced by clinical manifestation, immunization status
nutrition, institution of treatment and occurence of the complications
Key words : diphtheria, immunization, Anti Diphtheria Serum, Myocarditis,
” tracheostomy.
PENDAHULUAN
Difteri merupakan penyakit infeksi akut disebabkan oleh Corinebakterium
difteri, yang dapat mengeluarkan eksotoksin dan mempunyai afinitas pada otot
jantung dan sistem syaraf (Nelson, 1979). Di Yogyakarta difteri merupakan
penyakit endemis dengan angka kesakitan yang masih tinggi (Ismangoen, 1983;
Moenginah, 1984). Pada bulan Januari 1983 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di
daerah Kabupaten Sleman (EPI-D 29, 1983). Angka kematien penderita difteri
cukup tinggi (Agustina dkk. 1976; Setiadi dkk., 1978). Difteri dapat dicegah
dengan immunisasi Difteri, Pertusis dan Tetanus (DPT) dan usaha pendidikan
masyarakat yang penting (Rahman dkk., 1974). Penentuan diagnosis dini dan
terapi yang cepat dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi (Maimunah,
1978; Maimunah dkk., 1974), Pemberian Anti Difteri Serum (ADS) secara
intravena dapat menurunkan angka kematian penderita difteri, Pada tahun 1982
dan tahun 1983 di RSUP DR. Sardjito difteri merupakan penyebab kematian yang
paling tinggi (Moenginah, 1983). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
faktor-faktor yang mempengaruhi kematian penderita difteri di RSUP DR.
Sardjito, Yogayakarta.
BAHAN DAN CARA
Semua penderita difteri yang dirawat di Unit Penyakit Anak RSUP DR
Sardjito, dari bulan April 1982 sampai dengan bulan Desember 1983 menjadi
subyek penelitian ini. Diagnosa difteri didasarkan pemeriksaan Klinik, yaitu
adanya pseudomembran putih keabu-abuan di daerah tonsilofarink yang mudah
berdarah, serta adanya riwayat panas subfebril atau: panas tinggi, dapat disertai
gejala tambahan berupa rasa lemah, malas, suka tidur, bullneck, suara sengau,
sesak nafas, dan gangguan penglihatan yang ringan.
Berila Kedokteran Masyarakat V:(1} 1989 ISSN 0215-1936Setiyono dkk, 1989, Difteri Pada Anak
Berat ringan penyakit diklasifikasikan menurut Beach et al.,(1950), yaitu:
(1) ringan, apabila dijumpai pseudomembran yang terbatas pada daerah fausial
atau mukosa hidung, relatif asimtomatis kécuali serak, pilek atau selesma; (2)
sedang, apabila dijumpai pseudomembran sampai dinding belakang farink,
palatum mole yang dapat meluas sampai larink, tetapi hanya disertai sesak nafas
yang ringan (derajat I) dan tidak memerlukan trakeostomi; (3)berat, apabila
dijumpai komplikasi seperti miokarditis, nefritis, paralisis syaraf atau sumbatan
saluran nafas yang berat sehingga memerlukan trakeostomi,
Pada waktu masuk rumah sakit dicatat jenis kelamin, umur, lama sakit di
rumah, dan status imunitas, kemudian diadakan pemeriksaan keadaan penderita,
berat ringannya penyakit, status gizi, ada tidaknya bullneck, dan sumbatan jalan
nafas.
Elektrokardiogram (EKG) diperiksa pada waktu datang dan diulang 2 kali
dalam seminggu. Status immunitas didapat dari anamnesa pada orang tua
penderita, status gizi dinilai dengan nilai baka Harvard. Pengobatan diberikan
ADS dan antibiotika penisilin, yang tidak tahan dapat diganti dengan eritromisin,
HASIL
Dari bulan April 1982 sampai dengan bulan Desember 1983 di Unit
Penyakit Anak RSUP Dr. Sardjito dirawat 94 penderita difteri dari 2306 penderita
yang dirawat pada periode yang sama (4,08%), terdiri dari 42 penderita laki-laki
(44,7%) dan 52 penderita wanita (55,3%). Sembilan belas penderita meninggal
(Case Fatality Rate/CFR 20,21%). Umur penderita berkisar antara 10 bulan
sampai 14 tahun,
Tabel 1: Umur dan Jenis Kelamin
Umur enisKelamin Jumlsh % Hidup ‘Meninggal
(tahun) Pria = Wanita Jumleh %
6 an 38 89 628 (47 12 20,3
*) CFR: 19/94x100%=20,2%
Pada Tabel 2 dapat dilihat status gizi penderita. Semakin jelek status gizi,
angka kematian semakin tinggi (p<0,05). Penderita dengan status gizi baik
mempunyai prognosis lebih baik daripada penderita dengan gizi kurang. Pada
penderita dengan status gizi baik hanya 15,9% meninggal tetapi penderita dengan
PCM 1 17,9% meninggal dan dengan PCM II 45,5% meninggal.
Berita Kedokteran Masyarakat V:() 1989 ISSN 0216-1936Setiyono, dkk. 1989, Difteri Pada Anak 7
Makin lama penderita sakit di rumah, makin banyak yang meninggal
(p<0,05), yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3, Keterlambatan
pengobatan dengan ADS menyebabkan penderita lebih banyak meninggal. Salah
satu faktor penderita terlambat datang berobat adalah ketidaktahuan orang tua
mengenai penyakit difteri, Perlu dipikirkan untuk meningkatkan penyuluhan
kesehatan khususnya mengenai difteri (Rahman dkk., 1974).
Tabel 2 : Status Gizi Penderita
ad 37 7 15,9
39 a2 7 11,9
i é 5 45,5
p< 06
Tabel 3 : Lama sakit di rumah
Jumlah Hidup Meninggal
‘Kurang dari 5 37 32 5 13,5
5 sampai7 40 aL 9 22,5
lebih dari7 iv 0 5 416
p<0,05
Status imunitas dapat dilihat pada Tabel 4, Ada 61 penderita (67%) yang
tidak mendapatkan vaksinasi DPT. Proporsi ini lebih kecil dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Maimunah (1965) dan oleh Setyadi dkk. (1978),
masing-masing dengan hasil 100% dan 96%. Dari penderita yang tidak
memperoleh vaksinasi DPT 27,1% di antaranya meninggal. Penderita yang datang
dalam keadaan berat sebagian hesar meninggal (44,4%), dalam keadaan sedang
25,3% di antaranya meninggal, dan yang datang dalam keadaan ringan tidak
didapatkan penderita yang meninggal. Secara statistik perbedaannya bermakna,
p<0,05 (Tabel 5).
Tabel 6 menunjukkan penderita dengan dan tanpa bullneck. Menurut
Nelson penderita dengan bullneck biasanya disebabkan oleh kuman type gravis
atau intermediet, sehingga lebih ganas. Penderita dapat meninggal bila kadar
Berita Kedokteran Masyarakat V:(1) 1989 ISSN 0216-19368 Setiyono dhk. 1989, Difleri Pada Anak
toksin difteri telah mencapai 130 mikrogram per kilogram berat badan (Nelson,
1979).
Hubungan status imunitas dengan myocarditis dapat dilihat pada Tabel 9.
Penderita yang tidak pernah mendapat vaksinasi DPT paling banyak mengalami
myocarditas yaitu 45 dari 61 penderita.
Tabel
jtatus vaksinasi
Status vaksinasi Jumlah Hidup Meninggal
Tidek pernah 61 4a Ml 21
Pernah 33 31 2 61
Sekali
2 kali wd un 0
8 kali 6 6 oO
B < 0,05
‘Tahel 5 : Keadaan penderita pada waktu datang*)
Keadean ponderita Jurmlah = Hidup Meninggal
Jumlah %
Sedang 8 63 15 25,3
Berat 9 5 44 44
*) Klasifikasi Beach dkk. p<0,05
. Tabel 6 : Adanya bullneck
Bullneck
Ada 87 43 u 24,6
‘Tidak ade a 32 3 15,8
Sumiah 34 5 19
p<05
PEMBAHASAN
Berita Kedokteran Masyarakat V:(1) 1989 ISSN 0215-1936Setiyono, dkk. 1989, Difteri Pada Anak 9
Ada 94 penderita difteri dari 2306 penderita rawat tinggal di unit Penyakit
Anak RSUP DR. Sardjito (4,08 %), Jumlah ini lebih kecil dari hasil penelitian
Abdulkadir dkk. (1974), yaitu 6,2 % ; tetapi lebih besar dari hasil penelitian
Soetrisno (1979) di RS UGM, yaitu 9,8 %. Dari 94 penderita difteri, 19 meninggal
20,2 %, Kanwil Depkes DIY melaporkan pada periode Januari - Februari 1983 11
dari 39 penderita difteri meninggal (28,2 %).
Penderita terbanyak adalah usia lebih dari 6 tahun (62,8 %). Berbeda
dengan penelitian Maimunah (1978) dengan penderita terbanyak usia 2 - 6 tahun
(47,7 %), Melihat semakin banyaknya penderita difteri usia lebih dari 6 tahun,
pertu dipikirkan pemberian vaksinasi Boster DT pada usia sekolah.
Ada 61 penderita difteri yang tidak mendapat vaksinasi DPT (67,0 %). Data
ini lebih kecil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Maimunah (1978)
dengan basit 100 % dan oleh Setyadi dkk. (1978) dengan hasil 96%, tidak
ditemukan penderita yang meninggal. Penderita yang tidak memperoleh vaksinasi
DPT 27,1 % meninggal.
Menurut perkiraan 500 dari 3.000.000 penderita yang mendapat vaksinasi
DPT meninggal (0,07 %) (EPI-D 30 : 1, 1983). Ini memberikan bukti bahwa
pemberian vaksinasi DPT pada anak paling sedikit 2 kali atau lebih. Anak dengan
2 kali vaksinasi DPT terlindung 91 % dari infeksi difteri (EPI-D 31 : 1-3, 1983).
Pemerintah telah menganjurkan untuk memberikan vaksinasi dasar DPT
sebanyak 3 kali dan booster DT pada anak kelas satu sekolah dasar.
Keterlambatan pengobatan dengan ADS menyebabkan penderita lebih
banyak meninggal. Salah satu faktor penderita terlambat datang berobat adalah
ketidaktahuan orang tua mengenai penyakit difteri, Perlu dipikirkan untuk
meningkatkan penyuluhan kesehatan khususnya mengenai difteri (Rahman dkk.,
1974).
Menurut Nelson penderita dengan bullneck biasanya disebabkan oleh
kuman type gravis atau intermediet, sehingga lebih ganas. Penderita dapat
meninggal bila kadar toksin difteri telah mencapai 180 mikrogram per kilogram
berat badan (Nelson, 1979).
Trakeostomi dilakukan pada 5 penderita, dan 3 diantaranya meninggal
(60,0%); Data ini hampir sama dengan penemuan Setyadibrata (1965) sebesar
57,5%. Penyebab kematian penderita adalah kelainan jantung dengan perincian 1
penderita mengalami fagal refleks sewaktu dilakukan intubasi dan 1 penderita
karena emfisema mediastinum dan pnemoni, Dua penderita tetap hidup dan
sembuh sempurna.
Kelainan hasil rekaman EKG didapatkan pada 77 dari 94 penderita (81,9%),
sedang Beverly (1963) mendapatkan 84,0%, Wahab (1973) mendapatkan 48,9%
dan Abdulkadir (1974) mendapatkan 62,1%, Tujuh belas diantaranya meninggat
(22,1%). Hasil ini lebih kecil dari penemuan Maimunah (1978) sebesar 40,0%.
Kematian penderita difteri ternyata tergantung berat ringannya kelainan EKG,
(Maimunah dkk., 1974). Selain dengan hasil rekaman EKG, kerusakan jantung
juga dapat diketahui dengan mengukur kadar serum transaminase (Ismail, 1976).
Pada penelitian ini tidak dikerjakan pengukuran tersebut.
Berita Kedokteran Masyarakat V:(1) 1989 ISSN 0215-193610 Setiyono dkk. 1989, Difteri Pada Anai
‘Tabel 8 : Hasil rekaman Elektrokardiogram (EKG)
Meninggal
EKG Jumlah Hidup Jumlah %n
‘Tidak ada kelainan = 17 15 21 1,8
Ada kelainan*) 7 60 7 22,1
Jumlah 94 5 38
*)gangguan konduksi 40 anak, aritmia : 30 ansk
kerusakan myocard : 7 anak p< 0,05.
‘Tabel 9 : Hubungan status vaksinasi & myocarditis
Myocarditis
‘Status vaksinasi Jumlah
ada Tidak ada
Jumiah %
‘Tidak pernah 16 45 47,8. 6.
Sekali OL 17 16
2 kali 10 7 14 a
P<,05
*) 2 anak meninggal **) tidak ada yang meninggal
Berita Kedokteran Masyarakat V:(1) 1989 ISSN 0215-1936Setiyono, dkk. 1989, Difteri Poda Anak . i
KESIMPULAN
Telah diteliti 94 penderita difteri di Unit Penyakit Anak RSUP Dr. Sardjito
dari bulan April 1982 sampai dengan bulan Desember 1983, 19 penderita
diantaranya meninggal ( Case fatality Rate/CFR, : 20,2%).
Penderita terbanyak berusia lebih dari 6 tahun (62,8%). Perlu ditingkatkan
pemberian booster DT.
Penderita yang meninggal terjadi pada anak umur kurang dari 2 tahun
(80,8%) dan status gizi tidak baik (PCM I], 45,5%) akibat keterlambatan mendapat.
terapi ADS (lebih dari 7 hari 41,6% meninggal). Perlu ditingkatkan program usaha
perbaikan gizi. Faktor-faktor lain yang penting adalah ketidaktahuan orang tua
penderita, yang tidak pernah mendapat vaksinasi DPT (27,1%), keadaan penderita
pada waktu datang dalam keadaan berat (44,4% meninggal), adanya bullneck
(24,6% meninggal), memerlukan trakheostomi (60,0% meninggal) dan adanya
kelainan hasil rekaman EKG (22,1% meninggal).
KEPUSTAKAAN
Abdillkadir, J., Sidik, M., Djalil, T. 1974 Komplikasi Jantung pada Penderita Difteri di Bagian Iimu
Kesehatan anak, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung. Ringkasan naskah Ilmiah
Konika I Surabaya : 179-80
Agustina, M.P., Narendro, M-B., Ali, J., Wahyunarso, Kaspan, MP. 1974 Kegagalan Jantung pada
Myocarditis Diphtherica. Ringkasan Naskah IImiah Konika IT Surabaya : 260.
Beverly, C.M., 1963 Cardiac Complications of Diphtheria. Pediat. October : 549-57.
Djauhar Ismail, 1976 Serum Transaminese in Diphtherie Myocarditis. Pediatr. Indones. 16: 89-98.
Hoyne, A & Welford, N.T. 1874 Diphtherie Myocarditis, a Review of 496 cases. J. Pedial. 6 : 642.
Ismangoen 1983 Masalah Kesehatan anak di Indonesia. Pidato Dies Notalis ke XXXIV Universitas
Gadjah Mada, yogyakarta
‘Maemunah, B.A, Madiyono,B. Sonityo, 0. dan Purwono, K.G. 1974 Eveluesi Gambaran Ekg pada
Penderita Difteri di Rumah Sakit Dr. Tjipto Mangunkusumo Tahun 1973. Ringkasan Nashah
Hmiah Konika IH Surabaya: 167-8.
‘Maerunah, B.A. 1978 Management of Diphtheria. Med, Med. Asia 14: 11-17.
‘Moenginah, P.A. 1984 Tinjauan statistik Perkembangan Kesehatan di Unit Penyakit Anak RSUP Dr.
Sardjite. Acara Ilmiak HUT: RSUP Dr. ke-III.
Nelson 1979 Textbook of Pediatrics. M.B. Saunders Co. Philadelpia-London-Toronto, Igaku Shoin Ltd.
* Tokyo. Asian ed. : 746-53.
Partini, I. 1978 Evaluasi Kader Anti Body terhadap Difteri setelah Pemberian Immunisasi Dasar.
kumpulan Abstract Konika IV Yogyakarta :
Rahman, ,T., Wehyunarso, Soeyoso, D.A., Kaspan, MF., Ranuh, IG. N.G., Darsono, I. 1974 Difteri,
‘Aspek Pendidikan dan Pencegahan. Ringhasan Naskah Ilmiah Konika IIT Surabaya : 261.
Berita Kedokteran Masyarakat V:(1) 1989 ISSN 0215-1936rr) Setiyono dkk. 1989, Difteri Pada Anak
Satyadibrata, K., Yap Khee Nio & Soey Liang 1985 A Clinical Study of Diphtheria with Sprcial
Reference to Cardise Complications. Paediat Indon. 6 : 928-40.
Setiady, LF., Guno Wiseso, Abiprojo, N., Farantola. D. 1978 Program Immunisasi di Indonesia,
“Masaleh dan Prospek Pengembangannya. Proceding Konika IV Yogyakarta : 1-28.
Soetrisno, R, 1981 Tingkat Perlindungan Anak pada Saat ini dan Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan. Simposium IV, Konika V Medan, Juni, (Naskah asli)
Soetrisno, R, 1979 Diphtheria. Symposium IV on Immunisation Ministry of Healt,
WHO-UNICEF-ICC-USAID, Jekesta, 27 Nop. s/d 1 Des.
Wahab, S., Ismangoen dan Pustika S. 1973 A Selective Study of Clinical Diphtheric Myocarditis.
Poedliat. Indon. 12: 24.
...1983 Pemberian Vaksinasi DT. pada Anak Sekolah. EPI-D.31 :1.
1983 Kejadian Luar Biasa Difteri di Yogyakarta, EPI-D.29 :12.
Berita Kedokteran Masyarakat V:(1) 1989 ISSN 0215-1936