You are on page 1of 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.Luka

1.1 Pengertian

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat

proses patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ

tertentu (Lazarus,et al., 1994 dalam Potter & Perry, 2006). Luka adalah kerusakan

kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh yang lain.

Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul seperti hilangnya seluruh atau

sebagian fungsi organ, respon stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah,

kontaminasi bakteri, dan kematian sel (Kozier, 1995).

1.2. Jenis Luka

Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2 jenis,

yaitu:

a. Luka Akut

Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan

dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria

luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu

yang diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
b. Luka Kronik

Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali

(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya

disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka gagal

sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi

dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai,

ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus,

neuropati perifer ulkus dekubitus (Briant, 2007).

1.3 Proses Fisiologis Penyembuhan Luka

Proses fisiologis Penyembuhan Luka dapat dibagi ke dalam 4 fase utama, yaitu:

a. Hemostasis

Hemostatis : Pada fase ini terjadi peningkatan perlekatan platelet. Platelet

akan bekerja untuk menutup kerusakan pembuluh darah. Jaringan yang rusak akan

merangsang adenosin diphosphat (ADP) membentuk platelet. Platelet yang

dibentuk berfungsi untuk merekatkan kolagen dan mensekresi faktor yang

merangsang pembekuan darah. Pembekuan darah diawali dengan produksi

trombin yang akan membentuk fibrin dari fibrinogen. Hubungan fibrin

diperkuat oleh agregasi platelet menjadi hemostatik yang stabil. Platelet juga

mensekresi platelet yang terkait dengan faktor pertumbuhan jaringan (platelet-

associated growth factor). Hemostatis terjadi dalam waktu beberapa menit

setelah injuri kecuali ada gangguan faktor pembekuan.

Universitas Sumatera Utara


b. Inflamasi

Pada proses penyembuhan ini biasanya terjadi proses pembersihan debris.

Respon jaringan yang rusak : jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan

plasma dan polimorfonuklear ke sekitar jaringan. Neutropil memfagositosis

mikroorganisme dan berperan sebagai pertahanan awal terhadap infeksi. Jaringan

yang rusak juga akan menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling

yang masih utuh serta meningkatkan penyediaan darah ke daerah tersebut,

sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler darah

meningkat dan cairan yang kaya akan protein mengalir kedalam spasium

intertisial, menyebabkan edema lokal dan mungkin hilangnya fungsi di atas sendi

tersebut. Makrofag mengadakan migrasi ke luar dari kapiler dan masuk ke dalam

darah yang rusak sebagai reaksi terhadap agens kemotaktik yang dipacu oleh

adanya cedera. Makrofag mampu memfagosit bakteri. Makrofag juga mensekresi

faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibrobalas (FGF), faktor

pertumbuhan epidermal (EGF), faktor pertumbuhan beta trasformasi (tgf) dan

interleukin-1 (IL-1).

c. Fase Proliferasi

Fibroblas meletakkan subtansi dasar dan serabut-serabut kolagen serta

pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen diletakkan, maka

terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka. Kapiler-kapiler

dibentuk oleh tunas endothelial, suatu proses yang disebut angiogenesis. Bekuan

fibrin yang dihasilkan pada fase I dikeluarkan begitu kapiler baru

menyediakan
enzim yang diperlukan. Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang. Jaringan yang

dibentuk dari gelung kapiler baru, yang menopang kolagen dan subtansi dasar,

disebut jaringan granulasi karena penampakannya yang granuler dan warnanya

merah terang. Fase ini berlangsung selama 3-24 hari.

d. Maturasi (Remodelling)

Pada tahap maturasi terjadi proses epitelisasi, kontraksi dan reorganisasi

jaringan ikat. Setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada

pinggir luka dan sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea dan glandula

sudorivera membelah dan mulai bermigrasi diatas jaringan glandula baru. Karena

jaringan tersebut hanya dapat bergerak diatas jaringan yang hidup, maka mereka

hidup dibawah eskar atau dermis yang mengering. Apabila jaringan tersebut

bertemu dengan sel-sel epitel lain, yang juga mengalami migrasi, maka

mitosis berhenti, akibat inhibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan karena

miofibroblas kontraktil membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat

suatu penurunan progresif alam vaskularitas jaringan parut, yang berubah

dalam penampilannya dari merah kehitaman menjadi putih. Serabut- serabut

kolagen mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan meningkat (O’Leary,

2007).

1.4 Faktor-Faktor yang dapat Penghambat Penyembuhan


Luka

Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, ada banyak

faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, yaitu (Morrison, 2004):

a. Faktor intrinsik

Faktor intrinstik meliputi faktor- faktor patofisiologi umum (misalnya,

gangguan kardiovaskuler, malnutrisi, gangguan metabolik dan endokrin,


penurunan daya tahan terhadap infeksi) dan faktor fisiologi normal yang berkaitan

dengan usia dan kondisi lokal yang merugikan pada tempat luka (misalnya,

eksudat yang berlebihan, dehidrasi, infeksi luka, trauma kambuhan, penurunan

suhu luka, pasokan darah yang buruk, edema, hipoksia lokal, jaringan nekrotik,

pengelupasan jaringan yang luas, produk metabolik yang berlebihan, dan benda

asing).

b. Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik meliputi penatalaksanaan luka yang tidak tepat (misalnya,

pengkajian luka yang tidak tepat, penggunaan bahan perawatan luka primer yang

tidak sesuai, dan teknik penggantian balutan yang ceroboh).

1.5 Komplikasi Penyembuhan Luka

Menurut Potter & Perry (2006) komplikasi penyembuhan luka meliputi :

a. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama

pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2-7

hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulen,

peningkatan drainase, nyeri, kemerahan, bengkak disekeliling luka, peningkatan

suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.

b. Dehisen

Dehisen adalah terpisahnya lapisan luka secara parsial atau total. Dehisen

sering terjadi pada luka pembedahan abdomen dan terjadi setelah regangan

mendadak, misalnya batuk, muntah atau duduk tegak di tempat tidur.


c. Eviserasi

Terpisahnya lapisan luka secara total dapat menimbulkan eviserasi

(keluarnya organ viseral melalui luka yang terbuka). Bila terjadi evisersasi,

perawat meletakkan handuk steril yang dibasahi dengan salin normal steril di atas

jaringan yang keluar untuk mencegah masuknya bakteri dan kekeringan pada

jaringan tersebut.

d. Fistul

Fistul adalah saluran abnormal yang berada diantara dua buah organ atau

diantara organ dan bagian luar tubuh.

2. Perawatan Luka

2.1 Pengertian

Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat

luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa

atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit.

Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan luka, memasang balutan,

mengganti balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan

pemberian rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit dan daerah drainase,

irigasi, pembuangan drainase, pemasangan perban (Briant, 2007).

2.2 Bahan-bahan pada Perawatan Luka

Perawatan luka menggunakan berbagai bahan perawatan antara lain balutan,

larutan pembersih, larutan antiseptik, balutan sekunder dan semprotan perekat.


a. Pembalut luka

Pembalutan luka bertujuan untuk mengabsorsi eksudat dan melindungi

luka dari kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus disesuaikan dengan

karakteristik luka.

Jenis-jenis balutan antara lain :

1. Balutan kering

Luka-luka dengan kulit yang masih utuh atau tepi kulit yang dipertautkan

mempunyai permukaan yang kering sehingga balutan tidak akan melekat, maka

pada keadaan seperti ini paling sering digunakan kasa dengan jala-jala yang lebar,

kasa ini akan melindungi luka dan memungkinkan sirkulasi udara yang baik

melalui balutan. Dengan demikian uap lembab dari kulit dapat menguap dan

balutan tetap kering (Schrock, 1995).

2. Balutan basah kering

Balutan kasa terbuat dari tenunan dan serat non tenunan, rayon, poliester, atau

kombinasi dari serat lainnya. Kasa dari kapas digunakan sebagai pembalut

pertama dan kedua, kasa tersedia sebagai pembalut luka, spons, pembalut

melingkar dan kaus kaki. Berbagai produk tenunan ada yang kasar dan berlubang,

tergantung pada benangnya. Kasa berlubang yang baik sering digunakan

untuk membungkus, seperti balutan basah lembab normal salin. Kasa katun

kasar, seperti balutan basah lembab normal salin, digunakan untuk debridemen

non selektif (mengangkat debris atau jaringan yang mati).


3. Balutan modern

Kemajuan ilmu pengetahuan dalam perawatan luka telah mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas dari dukungan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu tersebut

dapat dilihat dari banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk bahan

pembalut luka modern. Bahan pembalut luka modern adalah produk pembalut

hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembapan disekitar luka. Bahan

balutan luka modern ini di disesuaikan dengan jenis luka dan eksudat yang

menyertainya.

Jenis-jenis balutan luka yang mampu mempertahankan kelembaban antara lain

(Briant, 2007) :

a. Alginat

Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat dan kualitasnya

bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk bahan regenerasi pembuluh darah,

kulit, tulang rawan, ikatan sendi dan sebagainya. Apabila pembalut luka dari

alginat kontak dengan luka, maka akan terjadi infeksi dengan eksudat,

menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini bersifat hidrofilik, dapat

ditembus oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan

jaringan baru. Selain itu bahan yang berasal dari alginat memiliki daya

absorpsi tinggi, dapat menutup luka, menjaga keseimbangan lembab

disekitar luka, mudah digunakan, bersifat elastis. antibakteri, dan nontoksik.

Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan balutan sekunder seperti

film semi-permiabel, foam sebagai penutup. Hal ini disebabkan karena balutan

ini
menyerap eksudat, memberi kelembaban, dan melindungi kulit di sekitarnya agar

tidak mudah rusak. Untuk memperoleh hasil yang optimal balutan ini harus

diganti sekali sehari. Balutan ini dindikasi untuk luka superfisial dengan eksudat

sedang sampai banyak dan untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai

banyak sedangkan kontraindikasinya adalah tidak dinjurkan untuk membalut luka

pada luka bakar derajat III.

b. Hidrogel

Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat kasa, atau jel) yang

tidak berperekat yang mengandung polimer hidrofil berikatan silang yang

dapat menyerap air dalam volume yang cukup besar tanpa merusak kekompakkan

atau struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin pada luka, yang

akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel diletakkan langsung diatas

permukaan luka, dan biasanya dibalut dengan balutan sekunder (foam atau kasa)

untuk mempertahankan kelembaban sesuai level yang dibutuhkan untuk

mendukung penyembuhan luka. Indikasi balutan ini adalah digunakan pada jenis

luka dengan cairan yang sedikit sedangkan kontraindikasinya adalah luka yang

banyak mengeluarkan cairan

c. Foam Silikon Lunak

Balutan jenis ini menggunakan bahan silikon yang direkatkan, pada

permukaan yang kontak dengan luka. Silikon membantu mencegah balutan foam

melekat pada permukaan luka atau sekitar kulit pada pinggir luka.
Hasilnya menghindarkan luka dari trauma akibat balutan saat mengganti balutan,

dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka silikon lunak ini dirancang

untuk luka dengan drainase dan luas.

d. Hidrokoloid

Balutan hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang elastis dan

merekat yang mengandung jell seperti pektin atau gelatin dan bahan-bahan

absorben atau penyerap lainnya. Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel,

semipoliuretan padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang

atau membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila dikenakan pada luka,

drainase dari luka berinteraksi dengan komponen-komponen dari balutan untuk

membentuk seperti jel yang menciptakan lingkungan yang lembab yang

dapat merangsang pertumbuhan jaringan sel untuk penyembuhan luka.

Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk, ukuran, dan ketebalan.

Balutan hidrokoloid digunakan pada luka dengan jumlah drainase sedikit atau

sedang. Balutan jenis ini biasanya diganti satu kali selama 5-7 hari, tergantung pada

metode aplikasinya, lokasi luka, derajat paparan kerutan-kerutan dan

potongan-potongan, dan inkontinensia. Balutan ini diindikasi kan pada luka pada

kaki, luka bernanah, sedangkan kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan

pada luka yang terinfeksi.

e. Hidrofiber

Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan tenunan atau

balutan pita yang terbuat dari serat sodium carboxymethylcellusole, beberapa

bahan penyerap sama dengan yang digunakan pada balutan hidrokoloid.

Komponen-komponen balutan akan berinteraksi dengan drainase dari luka untuk


membentuk jel yang lunak yang sangat mudah dieliminasi dari permukaan luka.

Hidrofiber digunakan pada luka dengan drainase yang sedang atau banyak,

dan luka yang dalam dan membutuhkan balutan sekunder. Hidrofiber dapat juga

digunakan pada luka yang kering sepanjang kelembaban balutan tetap

dipertahankan (dengan menambahkan larutan normal salin). Balutan hidrofiber

dapat dipakai selama 7 hari, tergantung pada jumlah drainase pada luka

(Briant,

2007).

b. Larutan pembersih

Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk

membersihkan luka dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk

memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cedera pada jaringan luka

(AHPCR, 1994). Tujuan pembersih luka adalah untuk menegeluarkan debris

organik maupun anorganik sebelum menggunakan balutan untuk mempertahankan

lingkungan yang optimum pada tempat luka untuk proses penyembuhan. Adanya

debris yang terus menerus, termasuk benda asing, jaringan lunak yang mengalami

devitalisasi, krusta, dan jaringan nekrotik dapat memperlambat penyembuhan dan

menjadi fokus infeksi. Membersihkan luka dengan lembut tetapi mantap akan

membuang kontaminan yang mungkin akan menjadi sumber infeksi.

Menurut pedoman AHCPR 1994, cairan pembersih yang dianjurkan adalah

Sodium klorida. Normal salin aman digunakan pada kondisi apapun

(Lilley&Aucker, 1999). Sodium klorida atau natrium klorida tersusun atas Na dan

Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah

merah
(Henderson, 1992). Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang

paling sering adalah sodium klorida 0,90 %. Ini adalah konsentrasi normal dari

sodium klorida dan untuk alasan ini Sodium Klorida disebut juga salin normal

(Lilley& Aucker, 1999). Normal salin merupakan larutan isotonis yang aman

untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering,

menjaga kelembapan disekitar luka, membantu luka menjalani proses

penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah (Bryant, 2007).

c. Agen topikal

Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik adalah bahan-

kimia yang dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup untuk menghambat dan

membunuh mikroorganisme (baik yang bersifat sementara maupun yang tinggal

menetap pada luka) dengan demikian akan mengurangi jumlah total bakteri yang

ada pada luka.

Pada perawatan luka modern, pemakaian antiseptik yang diperkenalkan oleh

Lister, seperti povidone-iodine, hypoclorite, asam asetat tidak digunakan lagi

pada luka-luka terbuka dan luka bersih seperti luka bedah (akut) dan luka-luka

kronik. Pemakaian povidone iodine hanya digunakan pada luka-luka akut maupun

kronik yang dapat menunjukkan kesembuhan (healable wound), luka yang

mengalami infeksi. Povidone iodine juga digunakan untuk mensterilkan alat

dan permukaan kulit yang utuh yang akan dioperasi. Sehingga, untuk mencegah

kerusakan jaringan baru pada luka, WHO menyarankan agar tidak lagi

menggunakan antiseptik pada luka bersih, tetapi menggunakan normal

salin sebagai agen pembersih (WHO, 2010).


Agen topikal golongan antibiotik yang sering digunakan adalah bacitracin,

silver sulfadiazine, neomysin, polymyxin. Pemberian antibakteri diindikasikan

pada luka yang memiliki tanda-tanda infeksi (Moon, 2003).

d. Balutan sekunder (Secondary dressing)

Balutan sekunder adalah bahan perawatan luka yang memberikan efek

terapi atau berfungsi melindungi, megamankan dan menutupi balutan primer.

Jenis-jenis balutan sekunder antara lain:

a. Pita perekat (adhesive tape)

Beberapa pita perekat yang sering digunakan dalam perawatan luka antara

lain (Knottenbelt, 2003) :

1. Plester cokelat terdiri dari bahan tenunan katun sewarna kulit dengan

perekat Zinc oksida berpori dengan daya lekat kuat namun tidak sakit saat

dilepas. Plester ini diindikasikan untuk plester serbaguna, retensi bantalan

penutup luka, fiksasi infus.

2. Plester luka Non Woven, terbuat dari bahan akrilik yang hipoalergenik. Kertas

pelindung terbuat dari silikon bergaris dan memiliki crack back, yang

memudahkan pemakaian (teknik asepsis), mengikuti lekuk tubuh, perlindungan

menyeluruh untuk mencegah kontaminasi. Plester ini memiliki daya lekat

optimal (tidak terlalu lengkat dikulit namun tidak mudah lepas). Plester ini

diindikasikan untuk retensi bantalan penutup luka, fiksasi infus. Contoh :

Biopore, Hipavix.
b. Balutan Perekat (Adhesive Dressing)

Contohnya : Perekat Alginat, perekat hidrokoloid, transparent film.

c. Perban

Contohnya: Balutan tubular, balutan kompresi tinggi.

e. Semprotan perekat

Semprotan perekat merupakaan cara lain untuk mempertahankan balutan

agar tetap pada tempatnya. Beberapa lapis kasa diletakkan langsung pada

luka, kemudian balutan dipenuhi dengan semprotan perekat, dan setelah

mengering, kelebihan kasa digunting. Jenis ini disemprotkan langsung pada

luka yang akan segera mengering dan memberikan perlindungan yang baik

(Morrison, 2004).

2.3 Penggunaan Bahan pada Berbagai Luka

a. Perawatan luka berdasarkan karakteristik luka

1 Perawatan luka yang memiliki jaringan nekrotik

Jaringan nekrotik sering dijumpai pada luka kronis seperti ulkus iskemi,

ulkus neuropatik, ulkus vena, dan ulkus dekubitus. Debridemen adalah

pengangkatan jaringan yang sudah mengalami nekrosis yang bertujuan untuk

menyokong pemulihan luka. Indikasi debridemen adalah luka akut atau kronik

dengan jaringan nekrosis, luka terinfeksi dengan jaringan nekrotik. Pemilihan

metode debridemen harus berdasarkan karakteristik jaringan nekrotik yang ada

pada luka klien.

Menurut Suriadi (2004) ada beberapa cara debridemen diantaranya :


1. Debridemen mekanik, yaitu dengan kompres basah kering (wet to dry),

hidroterapi, dan irigasi luka. Metode debridemen mekanik ini diindikasikan

untuk luka dengan jumlah jaringan nekrotik yang banyak dan luka infeksi.

Dengan demikian pemantauaan untuk daerah yang terkena mudah untuk

dilakukan.

2. Debridemen pembedahan (surgical), yaitu dengan bedah insisi. Metode ini

merupakan cara yang paling cepat untuk membuang jaringan nekrotik dalam

jumlah banyak. Dampak negatif dari debridemen ini adalah peningkatan

resiko pasien terhadap perdarahan, anestesi, dan sepsis. Fakta yang sering

terjadi adalah banyak infeksi yang terjadi setelah operasi terutama pada

orang-orang yang memiliki status kesehatan yang tidak optimal.

3. Debridemen autolisis, yaitu lisisnya jaringan nekrotik dengan sendirinya oleh

enzim badan sel darah putih, yang memasuki daerah luka selama proses

inflamasi. Debridemen autolisis hanya digunakan pada klien yang tidak

terinfeksi dengan jumlah jaringan nekrotik yang terbatas. Debridemen

autolisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan balutan yang dapat

mempertahankan kelembaban seperti hidrokoloid, hidrogel, alginat.

2. Penatalaksanaan luka yang terinfeksi

Kebanyakan luka kronis dikontaminasi oleh mikroorganisme yang sangat

banyak yang tampaknya tidak memperlambat proses penyembuhan.Pada luka

infeksi yang menghasilkan bau dapat menggunakan balutan arang aktif

(Activated
charcoal dressing) sebagai penghilang rasa bau (deodoriser) yang efektif. Jika

terdapat eksudat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, maka balutan busa yang

menyerap dan dilapisi arang (Morrison, 2004).

3. Penatalaksanaan luka dengan banyak eksudat

Sekalipun jaringan nekrotik dan jaringan tampak jelas terinfeksi telah

diangkat dari bidang luka, luka dapat terus menghasilkan eksudat dalam jumlah

banyak yang dapat menembus balutan non-oklusif dan meningkatkan risiko

infeksi luka. Eksudat dapat juga mengikis tepi luka jika jaringan sekitarnya

menjadi terendam air. Volume eksudat berkurang pada waktunya, tetapi sampai

stadium tersebut diperlukan balutan yang bisa menyerap dan tidak melekat.

(Morrison, 2004).

Luka-luka yang bereksudat dibagi ke dalam tiga kategori, tergantung

kedalaman dan tingkat eksudat yang dihasilkan (Morrison, 2004), antara lain :

a. Untuk luka-luka superfisial dengan eksudat sedikit sampai sedang,

pemilihan balutan meliputi: Lembaran hidrokoloid. Lembar balutan ini

tidak memerlukan balutan sekunder dan cukup mudah untuk melihat kapan

balutan tersebut perlu diganti.

b. Untuk luka superfisial dengan eksudat sedang sampai banyak, pilihan

balutan seperti balutan alginat.

c. Untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai banyak, pilihan balutan

meliputi: granula atau pasta hidrokoloid, hidrogel yang

bergranulasi balutan alginat, balutan alginat dalam bentuk pita atau tali

sangat berguna untuk membungkus luka yang sempit, balutan busa.


4. Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat

Bila jumlah eksudat sudah berkurang, maka silastic foam merupakan

suatu cara pembalutan yang sangat bermanfaat khususnya pada luka dalam yang

bersih berbentuk cawan, seperti sinus pilonidal yang sudah dieksisi, atau dekubitus

luas didaerah sakrum. Untuk luka yang lebih kecil, pasien atau yang

memberi perawatan, dapat melakukan desinfeksi dua kali sehari dengan foam

stent atau menutup luka tersebut.

b. Perawatan luka berdasarkan etiologinya (Suriadi, 2004)

1. Luka insisi bedah

Lakukan pengkajian kondisi area operasi yang meliputi kondisi balutan,

adanya perdarahan, drain, insisi atau jahitan. Lakukan pembersihan luka dimulai

pada pusat luka ke arah keluar dan secara perlahan-lahan karena luka setelah

operasi terdapat sedikit edema. Gunakan normal salin untuk membersihkan luka.

Hindari penggunaan larutan yang bersifat sitotoksik seperti hydrogen

perokside dan povidone iodine karena dapat merusak jaringan dan

memperlambat penyembuhan luka. Pertahankan kondisi luka tetap bersih

dan termasuk lingkungan tempat tidur pasien. Penggantian balutan tergantung

pada kondisi balutan bersih atau kotor. Bila kondisi balutan kering dan bersih

balutan diganti 2 atau 3 hari sekali setelah operasi dan juga tergantung

jenis balutan yang digunakan. Jenis balutan yang disarankan adalah balutan

yang dapat mempertahankan kelembaban. Penggunaan kasa dan salin

normal, saat
penggantian balutan kering akan menekan permukaan yang mengakibatkan

pertumbuhan jaringan sehat yang terganggu dan menimbulkan rasa nyeri.

2. Ulkus Arteri

Lakukan pengkajian tanda-tanda infeksi, bila keadaan luka kering dan eskar

keras, jangan lakukan debridemen. Hindari terapi (kompresi) karena dapat

menghambat aliran darah. Lakukan balutan dengan teknik steril dan pertahankan

lingkungan dalam keadaan lembab. Gunakan balutan hidrokoloid jika ada untuk

menjaga kelembaban lingkungan luka. Pada saat berbaring posisi kepala

ditinggikan 5 sampai 7 derajat yang bertujuan untuk menyokong sirkulasi

daerah kulit dan ke bagian ekstremitas.

3. Ulkus Vena

Lakukan pengkajian kondisi area luka. Ganti balutan dengan teknik steril.

Bersihkan luka dengan salin normal. Bila terdapat jaringan nekrotik lakukan

debridemen. Lakukan terapi kompresi, yang bertujuan untuk memperlancar aliran

limfatik, reduksi tekanan vena superfisial dan mengurangi aliran balik ke

pembuluh vena yang dalam. Pemberian obat topikal tergantung jumlah eksudat

dan ukuran luka, ada tidaknya infeksi dan karakteristik sekeliling luka. Apabila

menggunakan balutan untuk kelembaban lingkungan dapat menggunakan

hidrokoloid, transparan film, dan foam. Lakukan peninggian posisi pada

daerah kaki, hal yang dapat meningkatkan sensitivitas pada sekeliling luka.;

hindari larutan atimikrobial, hindari bahan yang sifatnya lengket. Prinsip

perawatan luka pada ulkus vena adalah meningkatkan pengisian kembali ke vena,

yang akan menyebabkan statis vena menurun.


4. Neuropati perifer ulkus diabetik

Penggunaan balutan pada neoropatik perifer ulkus diabetik dapat

disesuaikan dengan jumlah eksudat yang dihasilkan oleh luka. Balutan yang

sering digunakan adalah hidrogel. Balutan ini digunakan ketika luka sedang

kering dengan tujuan menghasilkan sedikit cairan untuk melembabkan permukaan

luka. Balutan foam digunakan ketika luka menghasilkan cairan eksudat yang

banyak sampai sedang dan balutan alginat digunakan ketika luka menghasilkan

banyak cairan eksudat.

5. Ulkus Dekubitus

Perawatan luka dekubitus mencakup 3 prinsip : debridemen, pembersihan

dan dressing. Debridemen dilakukan untuk mencegah infeksi yang lebih luas.

Debridemen bertujuan untuk mengangkat jaringan yang sudah mengalami

nekrosis. Pada setiap luka yang akan diganti selalu dibersihkan. Bahan-bahan

yang perlu dihindari untuk membersihkan luka seperti povidone iodine, larutan

sodium hypoclorite. Gunakan normal salin sebagai larutan pembersih luka.

Gunakan balutan hidrokoloid, tetapi jika luka menghasilkan banyak cairan

eksudat (lebih dari 50% balutan primer dalam rentang waktu kurang dari 24

jam dan balutan sekunder telah basah) gunakan alginat.

You might also like