You are on page 1of 48

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................ 1


BAB I ...................................................................................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................................................................... 4
TERAPI CAIRAN .................................................................................................................................. 6
II. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit ........................................................................................ 6
II. A. Distribusi cairan tubuh .......................................................................................................... 6
II. B. Komponen cairan tubuh ......................................................................................................... 8
II.C. Dehidrasi ............................................................................................................................. 11
II. D. Perubahan konsentrasi ........................................................................................................ 11
II. E. Perubahan komposisi ......................................................................................................... 13
II. F. Gangguan Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Pada Pembedahan .................................. 14
C. Faktor-faktor postoperatif......................................................................................................... 15
II. G. Terapi Cairan ...................................................................................................................... 15
II. H. Jenis-Jenis Cairan................................................................................................................ 16
II. I. Terapi Cairan Preoperatif .................................................................................................... 19
II. J. Terapi Cairan Intraoperatif ................................................................................................. 20
II. K. Terapi Cairan Postoperatif .................................................................................................. 20
II. L. Albumin .............................................................................................................................. 21
BAB III ................................................................................................................................................. 26
III. A. Transfusi Darah ................................................................................................................. 26
III. B. Tujuan Transfusi Darah .................................................................................................... 27
III. C. Jenis Transfusi Darah ........................................................................................................ 27
III. D. Reaksi Transfusi Dan Pencegahannya .............................................................................. 33
I. Reaksi Imunologi ....................................................................................................................... 33
II. Reaksi Non Imunologi.............................................................................................................. 34
III. E. Autotransfusi .......................................................................................................................... 35
III. F. Perhitungan Volume Darah Maksimal yang Ditolerir (Allowable Blood Loss)..................... 37
III. G. Terapi Cairan pada Pasien Trauma ........................................................................................ 38
III.G.1. Resusitasi Kontrol Kerusakan (Damage control resuscitation) ....................................... 39
III.G.2.Komponen Resusitasi Kontrol Kerusakan ........................................................................ 40
III.G.3.Operasi Damage Control (DCS) ....................................................................................... 42
III. H. Terapi Cairan pada Infeksi dan Degeneratif .......................................................................... 44
BAB IV ................................................................................................................................................. 47
KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 47

1
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan merupakan komplikasi terbesar pada trauma. Perdarahan yang menimbulkan


gangguan sirkulasi secara klinis dikenal dengan syok. Perdarahan berat adalah perdarahan yang
mengakibatkan kehilangan darah sebanyak 30 % atau lebih dari estimate blood volume. Respon awal
sirkulasi terhadap perdarahan adalah berupa kompensasi dan melibatkan vasokonstriksi progresif dari
kulit, otot dan sirkulasi visceral untuk menyediakan aliran darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan
otak. Respon umum terhadap penurunan volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan injuri adalah
berupa peningkatan denyut jantung dalam menjaga cardiac output.
Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya berbeda-beda
tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh. Dengan makan dan
minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain. Dalam waktu 24 jam
jumlah air dan elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan
dan elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringan dan uap air pada saat bernapas.
Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukka air, elektrolit serta zat-zat
makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa lama, karena
pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual
muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air da elektrolit akan terpenuhi.
Selain itu terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara
rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.
Darah berasal dari bahasa Yunani haima yang artinya darah. Dalam darah terkandung
hemoglobin yang berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin merupakan protein
pengangkut oksigen. Darah terdiri dari beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45 persen
bagian dari darah, angka ini dinyatakan dalam nilai hermatokrit atau volume eritrosit yang
dipadatkan yang berkisar antara 40 sampai dengan 47 persen. Bagian 55 persen yang lain
berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah.
Transfusi darah adalah tindakan memindahkan darah atau komponennya ke dalam
sistim pembuluh darah seseorang. Komponen darah yang biasa ditransfusikan ke dalam tubuh
seseorang adalah sel darah merah, trombosit, plasma, sel darah putih. Transfusi darah adalah
suatu pengobatan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang
atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi.

2
3
BAB II
KEHILANGAN DARAH

Perdarahan merupakan komplikasi terbesar pada trauma. Perdarahan yang


menimbulkan gangguan sirkulasi secara klinis dikenal dengan syok. Perdarahan berat adalah
perdarahan yang mengakibatkan kehilangan darah sebanyak 30 % atau lebih dari estimate
blood volume. Respon awal sirkulasi terhadap perdarahan adalah berupa kompensasi dan
melibatkan vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral untuk menyediakan
aliran darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon umum terhadap penurunan
volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan injuri adalah berupa peningkatan denyut jantung
dalam menjaga cardiac output. Pada kebanyakan kasus, takikardi merupakan tanda paling awal
dari syok. Pelepasan katekolamin endogen meningkatkan resistensi vaskuler perifer, dimana
akan meningkatkan tekanan diastolic dan mengurangi tekanan nadi dan sedikit meningkatkan
perfusi organ. Hormon-hormon lain yang memiliki zat vasoaktif akan dilepaskan ke dalam
sirkulasi saat terjadi syok, diantaranya adalah histamine, bradikinin, β endorphin, kaskade
prostanoid dan sitokin-sitokin yang lain. Substansi-substansi ini memiliki efek pada
mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskuler.

Aliran balik vena pada awal syok hemoragik dijaga pada beberapa tingkat oleh
mekanisme kompensasi kontraksi volume darah pada system vena dimana hal ini tidak
berkontribusi terhadap rata-rata tekanan vena sistemik. Tetapi mekanisme kompensasi ini
terbatas. Metode yang paling efektif dalam menjaga cardiac output dan perfusi organ yang
adequate adalah dengan menjaga aliran balik vena agar tetap normal dengan mengidentifikasi
dan menghentikan sumber perdarahan, bersamaan dengan usaha pengembalian volume yang
tepat.

Pada awalnya, kompensasi terjadi lewat pergeseran metabolisme ke anaerob, dimana


akan menghasilkan formasi asam laktatdan berkembang menjadi asidosis metabolic. Jika syok
terjadi berkepanjangan dan substrat yang digunakan untuk regenerasi Adenosine Triphosphat
(ATP) tidak mencukupi, membrane seluler akan kehilangan kemampuan menjaga integritasnya
dan gradien kelistrikan yang normal akan hilang. Mediator proinflamasi seperti inducible nitric
oxide synthase , tumor necrosis factor, dan sitokin-sitokin lain akan dilepaskan dan menjadi
awal kerusakan multiple organ.

Jika proses ini tidak segera dibalikkan, kerusakan seluler yang progresif, perubahan
permeabilitas endothelial, pembengkakan jaringan, dan kematian seluler akan terjadi. Proses
ini menyusun akibat-akibat dari terjadinya kehilangan darah dan hipoperfusi, yang potensial
meningkatkan volume cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi.

Pemberian sejumlah cairan elektrolit isotonic dan darah membantu melawan proses ini.
Penanganan pasien ditujukan kepada pengembalian status syok dengan menyediakan
oksigenasi yang cukup, ventilasi, dan resusitasi cairan yang tepat disertai dengan usaha
menghentikan perdarahan.

4
Penanganan awal syok ditujukan kepada pengembalian perfusi sel dan organ dengan
memberikan darah teroksigenasi yang cukup. Control perdarahan definitive dan restorasi
volume sirkulasi adekuat adalah tujuan dari penanganan syok hemoragik. Vasopressor
dikontraindikasikan dalam penanganan syok hemoragik karena akan memperburuk perfusi
jaringan. Monitoring berkala pada pasien-pasien gangguan perfusi diperlukan untuk
mengevaluasi respon terhadap terapi dan gangguan kondisi pasien sedini mungkin. Penilaian
ulang akan membantu mengidentifikasi pasien syok yang telah terkompensasi.

Kebanyakan pasien injuri yang dalam keadaan syok, memerlukan intervensi bedah
secepatnya atau angioembolisasi untuk membalikkan status syoknya. Adanya syok pada pasien
injury membutuhkan keterlibatan ahli bedah segera.

5
BAB III

TERAPI CAIRAN

III. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit


III. A. Distribusi cairan tubuh
Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk hidup.
Persentase air tubuh total (Total Body Water) terhadap berat badan berubah sesuai umur,
menurun cepat pada awal kehidupan. Pada saat lahir, TBW 78% berat badan. Pada beberapa
bulan pertama kehidupan, TBW turun cepat mendekati kadar dewasa 55-60 % berat badan pada
saat usia 1 tahun.

Gambar 1. Keseimbangan cairan tubuh.


Sumber: Despopulous, Atlas of Human Physiology 4 th edition. New York 2010.

Pada masa pubertas, terjadi perubahan TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai kadar
air yang lebih rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita dewasa
yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-laki, yang mempunyai sedikit

6
lemak. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular.

Gambar 2. Perbandingan Total Body Water pada bayi, usia muda, dan usia tua.
Sumber: Despopulous, Atlas of Human Physiology 4 th edition. New York 2010.

 Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,
sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-
rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi
hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler
terlibat dalam proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien
dalam cairan tubuh.
 Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan ekstraseluler berperan
dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang
zat sisa yang bersifat toksik. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan
usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi :
o Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial.
o Cairan Intravaskular

7
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan
plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

o Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Intraselular
(40%)
Cairan tubuh Interstitial
(60%) (15%)
Ekstraselular
(20%)
Intravaskuler
(5%)

Skema 1. Distribusi cairan tubuh


Sumber: Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000.

III. B. Komponen cairan tubuh


Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
 Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik. Elektrolit
dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion
dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
 Kation : Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa
terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
 Natrium

8
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di
dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB
dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces
35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram
NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun
ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare)
sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai
kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan
air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air
akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan
terjadilah kegagalan sirkulasi.
 Kalium
Kalium merupakan kation utama (99 persen) di dalam cairan ekstraseluler berperan
penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium
dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99 persen dapat berubah-ubah sedangkan
yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.
Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler.
Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10
mEq/liter.
 Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan
lewat faeces dan sekitar 20 persen lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada
intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi
oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar
(99 persen) ditemukan didalam gigi dan ± 1 persen dalam cairan ekstraseluler dan tidak
terdapat dalam sel.
 Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan ±
10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.

9
 Anion: Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-
), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).
 Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir
daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat
yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat
penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.

Cairan
Plasma Cairan Interstitial
Elektrolit Intracellular
(mEq/L) (mEq/L)
(mEq/L)

Na+ 142 145 10

K+ 4 4 159

Mg2+ 2 2 40

Ca2+ 5 3 1

Cl- 103 117 10

HCO3- 25 27 7
Tabel 1. Komposisi Elektrolit pada Cairan Tubuh
Sumber: Campbell I: Physiology of fluid balance. Anaesth Intensive Care Med 7:462-465 2006.

 Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainya
termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

1. Perubahan cairan tubuh


Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling
umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah,
penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan

10
cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus,
dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih
dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.

III.C. Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150
mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan
dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.
 Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama
dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium
besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen
ekstravaskular.
 Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara
garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan
volume intravaskular.15
 Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara
garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang
hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke
kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume
intravaskular.15

III. D. Perubahan konsentrasi


1. Hiponatremia
Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L, sudah
dapat dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar

11
< 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan
oleh euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal,
diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan
ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak
(140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus :

Na= Na1 – Na0 x TBW

Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)


Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia
Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia. Jika
kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi,
kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare,
muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan
natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose
dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium
dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG
(QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal,
poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi
(alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam
(untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam
dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan
EKG, kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit kalium18 :

12
K = K1 – K0 x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan


K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur, BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal
atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin,
diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia,
kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.

III. E. Perubahan komposisi


a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan
ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang
tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri
dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan.
Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi
endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene
trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang
dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai
hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang
mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator
mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil,
diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik
ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya

13
ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya
diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis
respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat
dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah
hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan
adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis
harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit
yang sering.

III. F. Gangguan Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Pada Pembedahan


Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi
pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, intraoperatif dan
postoperatif.
A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres
akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis
osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan
elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari
traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada.
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau
adanya kehilangan abnormal cairan.

14
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya. Harus dikoreksi sebelum operasi untuk
meminimalkan efek dari anestesi.
B. Faktor-Faktor Intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif
karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal.
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan
ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi.
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang
besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif

III. G. Terapi Cairan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intravena. Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum
dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan
yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
 Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh
atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan.
Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan
dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat
(RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-
3 L dalam 10 menit.
 Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang
dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama
Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut

15
merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal
dengan insensible water losses.
Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :

Tabel 2. Rumus Holiday Segar


Sumber:

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan


karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit
yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA,
Ringer's dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat
adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan
mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena
seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek
samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu
mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian. Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang
ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar
kecilnya pembedahan, yaitu :
 6-8 ml/kg untuk bedah besar
 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

III. H. Jenis-Jenis Cairan


1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata
sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume
intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

16
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai
cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami
metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering
digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Pada suatu
penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid
akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat
terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga
dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama
pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:


a. Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat
dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh
virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin
(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc

17
mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan
volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40
mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan
kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang
dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan
fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran
40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah
yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500
ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amylase walau jarang. Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang
besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen hewan.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin

Kristaloid Koloid
Keuntungan - Tidak mahal - Mempertahankan cairan
- Aliran urin lancar intravaskular lebih baik (1/3 cairan
(meningkatkan volume bertahan selama 24 jam)
intravaskular)

18
- Pilihan cairan pertama u/ - Meningkatkan tekanan onkotik
resusitasi perdarahan & trauma plasma
- Mengembalikan kehilangan - Membutuhkan volume yang lebih
pada ruang cairan ke-3 sedikit
- Mengurangi kejadian edema
perifer
- Dapat menurunkan tekanan
intrakranial
Kerugian - Mengencerkan tekanan - Mahal
osmotik koloid - Menginduksi koagulopati (dextran
- Menginduksi edema perifer & helastarch)
- Insidensi terjadinya edema - Jika tdpt kerusakan kapiler, dpt
pulmonal lebih tinggi berpotensi tjd perpindhn cairan ke
- Membutuhkan volume yg interstitial
lebih besar - Mengencerkan faktor pembekuan
- Efeknya sementara dan trombosit
- Berpotensi menghambat tubulus
renalis dan sel retikuloendotelial
di hepar
- Kemungkinan adanya reaksi
anafilaksis (dextran)
Tabel 3. Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid dan koloid
Sumber:

III. I. Terapi Cairan Preoperatif


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada
penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan
karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak
2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik,

19
dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan
melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

Usia Jumlah Kebutuhan


(ml/Kg/Jam)

Dewasa 1,5 – 2
Anak 2–4
Bayi 4–6
Neonatus 3
Tabel 4. Pengganti defisit pra pembedahan
Sumber:

III. J. Terapi Cairan Intraoperatif


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar
ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan
penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak
terlalu traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan
saja selama pembedahan. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam
untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam
berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R. Pembedahan dengan
trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8
ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

III. K. Terapi Cairan Postoperatif


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan
air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50
ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian
kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses
katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan
aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium.

20
Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium.
Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum,
pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi
kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar
albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah
cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garamisotonis. Terapi
cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C
suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan
yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya
diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan
nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

III. L. Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia, yaitu
sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal adalah 3,8-5,0 g/dl. Albumin terdiri dari
rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino.
Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan asam-asam amino
yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga dengan bentuk molekul
seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan larut sempurna. Kadar albumin
serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi, dan distribusi antara kompartemen
intravaskular dan ekstravaskular. Cadangan total albumin 3,5-5,0 g/kg BB atau 250-300 g pada
orang dewasa sehat dengan berat 70 kg, dari jumlah ini 42% berada di kompartemen plasma
dan sisanya di dalam kompartemen ektravaskular. Albumin manusia (human albumin) dibuat
dari plasma manusia yang diendapkan dengan alkohol. Albumin secara luas digunakan untuk
penggantian volume dan mengobati hipoalbuminemia.

21
III. L. A. Fungsi Albumin
Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di dalam tubuh
mempertahankan tekanan onkotik plasma, peranan albumin terhadap tekanan onkotik
plasma rnencapai 80% yaitu 25 mmHg. Albumin mempunyai konsentrasi yang tinggi
dibandingkan dengan protein plasma lainnya, dengan berat molekul 66,4 kDa lebih
rendah dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi rnasih mempunyai tekanan osmotik
yang bermakna. Efek osmotik ini memberikan 60% tekanan onkotik albumin. Sisanya
40% berperan dalam usaha untuk mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut
yang bermuatan positif. Secara detil fungsi dan peran albumin dalam tubuh adalah
seperti yang akan dipaparkan berikut:
1. Albumin sebagai pengikat dan pengangkut.
Albumin akan mengikat secara lemah dan reversibel partikel yang bermuatan
negatif dan positif, dan berfungsi sebagai pembawa dan pengangkut molekul
metabolit dan obat. Meskipun banyak teori tentang pentingnya albumin sebagai
pengangkut dan pengikat protein, namun masih sedikit mengenai perubahan
yang terjadi pada pasien dengan hipoalbuminemia.
2. Efek antikoagulan.
Albumin mempunyai efek terhadap pembekuan darah. Kerjanya seperti heparin,
karena mempunyai persamaan struktur molekul. Heparin bermuatan negatif
pada gugus sulfat yang berikatan antitrombin III yang bermuatan positif, yang
menimbulkan efek antikoagulan. Albumin serum juga bermuatan negatif.
3. Albumin sebagai buffer.
Albumin berperan sebagai buffer dengan adanya muatan sisa dan molekul
albumin dan jumlahnya relatif banyak dalam plasma. Pada keadaan pH normal
albumin bermuatan negatif dan berperan dalam pembentukan gugus anion yang
dapat mempengaruhi status asam basa. Penurunan kadar albumin akan
menyebabkan alkalosis metabolik, karena penurunan albumin 1 g/dl akan
meningkatkan kadar bikarbonat 3,4 mmol/L dan produksi basa >3,7 mmol/L
serta penurunan anion 3 mmol/L.
4. Efek antioksidan.
Albumin dalam serum bertindak memblok suatu keadaan neurotoxic oxidant
stress yang diinduksi oleh hidrogen peroksida atau copper, asam askorbat yang
apabila teroksidasi akan menghasilkan radikal bebas.

22
5. Selain yang disebut di atas albumin juga berperan mempertahankan integritas
mikrovaskuler sehingga mencegah masuknya kuman-kuman usus ke dalam
pembuluh darah, sehingga terhindar dari peritonitis bakterialis spontan.

III. L. B. Farmakologi
Sintesis albumin Sintesis albumin hanya terjadi di hepar. Pada orang sehat
kecepatan sintesis albumin adalah 194 mg/kg/hari (12-25 gram/hari). Pada keadaan
normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi albumin Distribusi albumin
Konsentrasi albumin tertinggi terdapat di dalam sel hati, yaitu berkisar antara 200-
500 mcg/g jaringan hati. Adanya albumin di dalam plasma (kompartemen
intravaskuler) ditransfer melalui salah satu dari dua cara yaitu:
a. langsung dari dinding sel hati ke dalam sinusoid.
b. melalui ruang antar sel hati dan dinding sinusoid kemudian ke saluran limfe hati
yaitu duktus torasikus dan akhirnya ke dalam kompartemen intravaskuler.
Hanya albumin dalam plasma (intravaskuler) yang mempertahankan volume
plasma dan mencegah edema, sedangkan albumin ekstravaskuler tidak berperan.
Albumin merupakan 50% dari protein plasma dan yang memelihara tekanan
onkotik plasma adalah sebesar 66-75%. Sebagian fungsi albumin dapat digantikan
oleh globulin yang meningkat.
Degradasi albumin total pada orang dewasa dengan berat 70 kg adalah sekitar
14 gram/hari atau 5% dan pertukaran protein seluruh tubuh per hari, albumin
dipecah di otot dan kulit sebesar 40-60%, di hati 15%, ginjal sekitar 10%, dan 10%
sisanya merembes ke dalam saluran cerna melalui dinding lambung. Produk
degradasi akhir berupa asam amino bebas. Pada orang sehat kehilangan albumin
adalah melalui urin dan biasanya minimal tidak melebihi dari 10-20 mg/hari karena
hampir semua yang melewati membran glomerolus akan diserap kembali.
Pemberian preparat albumin tidak diekskresi oleh ginjal. Pada keadaan sehat
ekskresi albumin melalui ginjal relatif tidak penting. Penyakit ginjal dapat
mempengaruhi degradasi dan sintesis. Pada sindrom nefrotik, albumin plasma
dipertahankan dengan menurunkan degradasi apabila kehilangan albumin 100
mg/kg BB/hari, tetapi bila kecepatan hilangnya albumin meningkat, sintesis
albumin akan meningkat lebih dan 400 mg/kg BB/hari.
Plasma Albumin mempunyai ekivalensi dengan darah sebagai berikut:

23
a. Dua puluh lima gram albumin ekivalen osmotik dengan lebih kurang 2 unit (500
ml) plasma beku segar (fresh frozen plasma).
b. Seratus ml albumin 25% sama dengan yang dikandung protein plasma dan 500
ml plasma atau 2 unit darah lengkap (whole blood).

III. L. C. Indikasi Penggunaan Albumin.


Albumin dalam aspek klinis digunakan dalam beberapa hal yaitu:
a. Hipovolemia.
Hipovolemia dicirikan oleh defisiensi volume intravaskular akibat kekurangan
cairan eksternal atau redistribusi internal dan cairan ekstraselular. Jika terjadi
hipovolemia dan disertai hipoalbuminemia dengan hidrasi yang memadai atau
edema, lebih baik digunakan albumin 25% daripada albumin 5%. Jika hidrasi
berlebihan, harus digunakan albumin 5% atau albumin 25% . dilarutkan dengan
kristaloid. Walaupun kristaloid atau koloid dapat digunakan untuk pengobatan
emergency syok hipovolemik, human albumin memiliki waktu paruh
intravaskular yang panjang.
b. Hipoalbuminemia
Hubungan antara hipoalbuminemia dengan hasil akhir yang buruk telah
memotivasi para klinisi untuk memberikan albumin eksogen pada pasien
dengan hipoalbuminemia. Human albumin telah diindikasikan untuk terapi
hipoalbuminemia di Amerika Serikat dan negara lainnya. Tetapi masih terdapat
kontroversi, meskipun hipoalbuminemia secara langsung menyebabkan hasil
akhir pengobatan yang buruk. Hipoalbuminemia bukan suatu indikasi untuk
pemberian albumin karena hipoalbuminemia tidak berhubungan langsung
dengan plasma dan volume cairan lainnya, tetapi disebabkan kelebihan dan
defisit cairan di intravaskular yang disebabkan dilusi, penyakit dan faktor
distribusi. Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang tidak
adekuat (malnutrisi, luka bakar, infeksi dan pada bedah mayor), katabolisme
yang berlebihan (luka bakar, bedah mayor, dan pankreatitis), kehilangan
albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang berlebihan, redistribusi
dalam tubuh (bedah mayor dan kondisi inflamasi). Pemberian albumin akibat
kehilangan protein yang berlebihan hanya memberi efek sementara dan jika
tidak diberikan akan memperparah penyakit. Pada kebanyakan kasus,

24
peningkatan penggantian asam amino dan atau protein akan memperbaiki kadar
normal plasma albumin secara efektif dibandingkan larutan albumin. Beberapa
kasus hipoalbuminemia yang disertai dengan cedera, infeksi atau pankreatitis
tidak dapat memperbaiki kadar albumin plasma secara cepat dan suplemen
nutrisi gagal untuk memperbaiki kadar serum albumin. Pada keadaan ini
albumin mungkin digunakan untuk terapi tambahan.
c. Luka bakar
Albumin diberikan pada jam ke 24 pasca trauma untuk membantu penarikan
cairan mdan ekstravaskuler ke intravaskuler.
d. Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Karakteristik ARDS adalah keadaan hipoproteinemia yang disebabkan oleh
edema pulmonari, jika terjadi overload pulmonari disertai hipoalbuminemia,
larutan albumin 25% akan memberikan efek terapetik jika dikombinasi dengan
diuretik.
e. Nefrosis
Albumin mungkin berguna untuk membantu pengobatan edema pada pasien
nefrosis yang menerima steroid dan atau diuretik.
f. Operasi by pass kardiopulmoner.
g. Untuk mengikat dan mengeluarkan bilirubin toksik pada neonatus dengan
penyakit hemolitik.

25
BAB III
TRANSFUSI PRODUK DARAH

III. A. Transfusi Darah


Transfusi darah adalah tindakan memindahkan darah atau komponennya ke dalam
sistim pembuluh darah seseorang. Komponen darah yang biasa ditransfusikan ke dalam tubuh
seseorang adalah sel darah merah, trombosit, plasma, sel darah putih. Transfusi darah adalah
suatu pengobatan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang
atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi.
Transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan utama berdasarkan
sumbernya,yaitu transfusi allogenic dan transfusi autologus. Transfusi allogenic adalah darah
yang disimpan untuk transfusi berasal dari tubuh orang lain. Sedangkan transfusi autologus
adalah darah yang disimpan berasal dari tubuh donor sendiri yang diambil 3 unit beberapa hari
sebelumnya, dan setelah 3 hari ditransferkan kembali ke pasien.

Algoritma 1. Panduan umum transfusi darah.


Sumber: Attygalle D, Fluid And Electrolyte Resuscitation. Dalam : A Handbook of Anaesthesia. Sri
Lanka : College of Anaesthesiologists of Sri Lanka. 2002

26
III. B. Tujuan Transfusi Darah
Tujuan dari transfusi darah atara lain :
1. Meningkatkan volume darah sirkulasi (setelah pembedahan, trauma).
2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin
pada klien anemia.
3. Memberikan komponen seluler tertentu sebagai terapi (misalnya: faktor pembekuan
untuk membantu mengontrol perdarahan pada pasien hemofilia).
4. Meningkatkan oksigenasi jaringan.
5. Memperbaiki fungsi Hemostatis.
Dalam pedoman WHO disebutkan bahwatransfusi tidak boleh diberikan tanpa indikasi kuat.
Transfusi hanya diberikan berupa komponen darah pengganti yang hilang/kurang. Berdasarkan
pada tujuan di atas, maka saat ini transfusi darah cenderung memakai komponen darah
disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya kebutuhan akan sel darah merah, granulosit,
trombosit, dan plasma darah yang mengandung protein dan faktor-faktor pembekuan. Indikasi
transfusi darah dan komponen-konponennya adalah :
1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume dengan cairan.
2. Anemia kronis.
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia.
5. Kehilangan sampai 30% EBV umumnya dapat diatasi dengan cairan elektrolit saja.
Kehilangan lebih daripada itu, setelah diberi cairan elektrolit perlu dilanjutkan dengan
transfusi jika Hb<8 gr/dl.

III. C. Jenis Transfusi Darah


1. Darah lengkap (whole blood)
Darah lengkap mempunyai komponen utama yaitu eritrosit, darah lengkap juga
mempunyai kandungan trombosit dan faktor pembekuan labil (V, VIII). Volume darah
sesuai kantong darah yang dipakai yaitu antara lain 250 ml, 350 ml, 450 ml. Dapat bertahan
dalam suhu 4°±2°C. Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan
plasma secara bersamaan. Hb meningkat 0,9±0,12 g/dl dan Ht meningkat 3-4 persen post
transfusi 450 ml darah lengkap. Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan
akut dan masif, meningkatkan dan mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap

27
diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang diketahui. Dosis pada pediatrik rata-rata 20
ml/kg, diikuti dengan volume yang diperlukan untuk stabilisasi.
Indikasi :
1. Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka bakar
2. Pasien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25 persen dari
volume darah total.
Rumus kebutuhan whole blood
6 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien : Hb pasien saat ini
Whole blood ada 3 macam. Yaitu:
1. Darah Segar
Yaitu darah yang baru diambil dari donor sampai 6 jam sesudah pengambilan. Keuntungan
pemakaian darah segar ialah faktor pembekuannya masih lengkap termasuk faktor labil (V
dan VIII) dan fungsi eritrosit masih relatif baik. Kerugiannya sulit diperoleh dalam waktu
yang tepat karena untuk pemeriksaan golongan, reaksi silang dan transportasi diperlukan
waktu lebih dari 4 jam dan resiko penularan penyakit relatif banyak.
2. Darah Baru
Yaitu darah yang disimpan antara 6 jam sampai 6 hari sesudah diambil dari donor. Faktor
pembekuan disini sudah hampir habis, dan juga dapat terjadi peningkatan kadar kalium,
amonia, dan asam laktat.
3. Darah Simpan
Darah yang disimpan lebih dari 6 hari sampai 35 hari. Keuntungannya mudah tersedia
setiap saat, bahaya penularan lues dan sitomegalovirus hilang. Sedang kerugiaannya ialah
faktor pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah habis. Kemampuan transportasi
oksigen oleh eritrosit menurun yang disebabkan karena afinitas Hb terhadap oksigen yang
tinggi, sehingga oksigen sukar dilepas ke jaringan. Hal ini disebabkan oleh penurunan
kadar 2,3 DPG. Kadar kalium, amonia, dan asam laktat tinggi.
2. Packed red cell (PRC)
Packed red cell diperoleh dari pemisahan atau pengeluaran plasma secara tertutup atau
septik sedemikian rupa sehingga hematokrit menjadi 70-80 persen. Volume tergantung

28
kantong darah yang dipakai yaitu 150-300 ml. Suhu simpan 4°±2°C. Lama simpan darah
24 jam dengan sistem terbuka.(3)
Packed red cell merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah dipekatkan
dengan memisahkan komponen-komponen yang lain. Packed red cell banyak dipakai
dalam pengobatan anemia terutama talasemia, anemia aplastik, leukemia dan anemia
karena keganasan lainnya. Pemberian transfusi bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi
jaringan dan alat-alat tubuh. Biasanya tercapai bila kadar Hb sudah di atas 8 g/dl.
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit
dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5 persen. Diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan
kecepatan 1-2 mL/menit, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui.
Kebutuhan darah (ml) :
3 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien : Hb pasien saat ini
Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan volume
darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan darah jenuh
adalah:
1. Mengurangi kemungkinan penularan penyakit
2. Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
3. Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga kemungkinan overload
berkurang
4. Komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain.
Indikasi: :
1. Kehilangan darah >20 persen dan volume darah lebih dari 1000 ml.
2. Hemoglobin <8 gr/dl.
3. Hemoglobin <10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama : (misalnya empisema, atau
penyakit jantung iskemik)
4. Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.
Dapat disebutkan bahwa :
 Hb sekitar 5 adalah critical
 Hb sekitar 8 adalah tolerable
 Hb sekitar 10 adalah optimal

29
Transfusi mulai diberikan pada saat hb critical dan dihentikan setelah mencapai batas
tolerable atau optimal
3. Frozen Wash Concentrated Red Blood Cells (Sel Darah Merah Pekat Beku yang
Dicuci)
Diberikan untuk penderita yang mempunyai antibodi terhadap sel darah merah yang
menetap.
1. Washed red cell
Washed red cell diperoleh dengan mencuci packed red cell 2-3 kali dengan saline,
sisa plasma terbuang habis. Berguna untuk penderita yang tak bisa diberi human
plasma. Kelemahan washed red cell yaitu bahaya infeksi sekunder yang terjadi selama
proses serta masa simpan yang pendek (4-6 jam). Washed red cell dipakai dalam
pengobatan acquired hemolytic anemia dan exchange transfusion.(3) Untuk penderita
yang alergi terhadap protein plasma.
2. Darah merah pekat miskin leukosit
Kandungan utama eritrosit, suhu simpan 4°±2°C, berguna untuk meningkatkan
jumlah eritrosit pada pasien yang sering memerlukan transfusi. Manfaat komponen
darah ini untuk mengurangi reaksi panas dan alergi.(6)
4. White Blood Cells (WBC atau leukosit)
Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan isi seperti PRC, plasma
dihilangkan 80% , biasanya tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu
diketahui golongan darah ABO dan sistem Rh. Apabila diresepkan berikan dipenhidramin.
Berikan antipiretik, karena komponen ini bisa menyebabkan demam dan dingin. Untuk
pencegahan infeksi, berikan tranfusi dan disambung dengan antibiotik.
Indikasi :
Pasien infeksi yang tidak berespon dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan
kultur darah positif, demam persisten /38,3° C dan granulositopenia).
5. Suspensi trombosit
Pemberian trombosit seringkali diperlukan pada kasus perdarahan yang disebabkan
oleh kekurangan trombosit. Pemberian trombosit yang berulang-ulang dapat menyebabkan
pembentukan thrombocyte antibody pada penderita. (3) Transfusi trombosit terbukti
bermanfaat menghentikan perdarahan karena trombositopenia. Komponen trombosit
mempunyai masa simpan sampai dengan 3 hari.(2)
Indikasi pemberian komponen trombosit ialah :

30
1. Setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah trombositnya kurang
dari 50.000/mm3. Misalnya perdarahan pada trombocytopenic purpura, leukemia,
anemia aplastik, demam berdarah, DIC dan aplasia sumsum tulang karena pemberian
sitostatika terhadap tumor ganas.
2. Splenektomi pada hipersplenisme penderita talasemia maupun hipertensi portal juga
memerlukan pemberian suspensi trombosit prabedah.
Rumus Transfusi Trombosit
BB x 1/13 x 0.3
Macam sediaan:
1. Platelet Rich Plasma (Plasma Kaya Trombosit)
Platelet Rich Plasma dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar.
Penyimpanan 34°C sebaiknya 24 jam.
2. Platelet Concentrate (trombosit pekat)
Kandungan utama yaitu trombosit, volume 50 ml dengan suhu simpan 20°±2°C.
Berguna untuk meningkatkan jumlah trombosit. Peningkatan post transfusi pada dewasa
rata-rata 5.000-10.000/ul. Efek samping berupa urtikaria, menggigil, demam, alloimunisasi
antigen trombosit donor. Dibuat dengan cara melakukan sentrifugasi lagi pada platelet rich
plasma, sehingga diperoleh endapan yang merupakan konsentrat pletelet dan kemudian
memisahkannya dari plasma yang diatas yang berupa platelet poor plasma. Masa simpan
± 48-72 jam.
6. Plasma
Plasma darah bermanfaat untuk memperbaiki volume dari sirkulasi darah
(hypovolemia, luka bakar), menggantikan protein yang terbuang seperti albumin pada
nephrotic syndrom dan cirhosis hepatis, menggantikan dan memperbaiki jumlah faktor-
faktor tertentu dari plasma seperti globulin.
Macam sediaan plasma adalah:
1. Plasma cair
Diperoleh dengan memisahkan plasma dari whole blood pada pembuatan packed red cell.
2. Plasma kering (lyoplylized plasma)
Diperoleh dengan mengeringkan plasma beku dan lebih tahan lama (3 tahun).
3. Fresh Frozen Plasma
Dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar dan langsung dibekukan pada suhu
-60°C. Pemakaian yang paling baik untuk menghentikan perdarahan (hemostasis).

31
Kandungan utama berupa plasma dan faktor pembekuan, dengan volume 150-220 ml. Suhu
simpan -18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun. Berguna untuk meningkatkan
faktor pembekuan bila faktor pembekuan pekat/kriopresipitat tidak ada. Ditransfusikan
dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua
protein plasma (faktor pembekuan), terutama faktor V dan VII. FFP biasa diberikan setelah
transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada penyakit hepar. Setiap
unit FFP biasanya dapat menaikan masing-masing kadar faktor pembekuan sebesar 2-3%
pada orang dewasa. Sama dengan PRC, saat hendak diberikan pada pasien perlu
dihangatkan terlebih dahulu sesuai suhu tubuh.
Pemberian dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar diperlukan
koreksi adanya hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium. Perlu
dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh.
Efek samping berupa urtikaria, menggigil, demam, hipervolemia.
Indikasi :
- Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B)
- Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa.
- Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi massif
- Pasien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan

7. Cryopresipitate
Komponen utama yang terdapat di dalamnya adalah faktor VIII, faktor pembekuan
XIII, faktor Von Willbrand, fibrinogen. Penggunaannya ialah untuk menghentikan
perdarahan karena kurangnya faktor VIII di dalam darah penderita hemofili A.
Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung, tidak melalui tetesan
infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab komponen ini tidak tahan pada
suhu kamar. (2) Suhu simpan -18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun,
ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek samping berupa demam, alergi.
Satu kantong (30 ml) mengadung 75-80 unit faktor VIII, 150-200 mg fibrinogen, faktor
von wilebrand, faktor XIII.
Indikasi :
 Hemophilia A
 Perdarahan akibat gangguan faktor koagulasi

32
 Penyakit von wilebrand
Rumus Kebutuhan Cryopresipitate :
0.5x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB
8. Albumin
Dibuat dari plasma, setelah gamma globulin, AHF dan fibrinogen dipisahkan dari
plasma. Kemurnian 96-98%. Dalam pemakaian diencerkan sampai menjadi cairan 5% atau
20% 100 ml albumin 20% mempunyai tekanan osmotik sama dengan 400 ml plasma biasa
Rumus Kebutuhan Albumin
∆ albumin x BB x 0.8

III. D. Reaksi Transfusi Dan Pencegahannya


Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi menjadi :
I. Reaksi Imunologi
A. Reaksi Transfusi Hemolitik
Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi serius
dan terdapat pada satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat transfusi. Lisis
sel darah donor oleh antibodi resipien. Hal ini bisa terjadi dengan cara reaksi transfusi
hemolitik segera dan reaksi transfusi hemolitik lambat. Reaksi ini sering terjadi akibat
kesalahan manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang label atau membaca
label pada botol darah.

Tabel 5. Risiko komplikasi akibat transfusi.


Sumber: Attygalle D, Fluid And Electrolyte Resuscitation. Dalam : A Handbook of Anaesthesia. Sri
Lanka : College of Anaesthesiologists of Sri Lanka. 2002.

33
Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah menggigil, panas, kemerahan pada muka,
bendungan vena leher , nyeri kepala, nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal,
takhikardi, hipotensi, hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan
asalnya, dan ikterus. Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan
memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain. Tanda-tanda yang
dapat dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-tiba
meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri. Terapi reaksi transfusi hemolitik :
pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan untuk mempertahankan jumlah
urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah :
1. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti
pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.
2. Furosemid
Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan darah yang
cocok. Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor.
Selain itu penderita perlu diberi oksigen. Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan
dialysis.

B. Reaksi Transfusi Non Hemolitik


1. Reaksi transfusi “febrile”
Tanda-tandanya adalah sebagai berikut : Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual.
2. Reaksi alergi
a. Anafilaksis : Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing pada darah transfusi.
b. Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal. Biasanya muka
penderita sembab.
Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus disetop.

II. Reaksi Non Imunologi


 Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan.
 Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi
 Virus hepatitis, Malaria, sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta
bakteri.
 AIDS

34
Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya reaksi selama transfusi,
dilakukan beberapa tindakan pencegahan. Setelah diperiksa ulang bahwa darah
yang akan diberikan memang ditujukan untuk resipien yang akan menerima darah
tersebut, petugas secara perlahan memberikan darah kepada resipien, biasanya
selama 2 jam atau lebih untuk setiap unit darah. Karena sebagian besar reaksi
ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama, , maka pada awal prosedur, resipien
harus diawasi secara ketat. Setelah itu, petugas dapat memeriksa setiap 30- 45 menit
dan jika terjadi reaksi ketidakcocokan, maka transfusi harus dihentikan.

III. E. Autotransfusi
Autotransfusi adalah suatu proses dimana seseorang menerima darah mereka
sendiri untuk transfusi, bukan merupakan donor alogenik (donor terpisah). Ada dua
jenis utama autotransfusi: Darah autologous "pra-donasi" sebelum operasi, atau
alternatifnya dapat dikumpulkan selama dan setelah operasi menggunakan
perangkat pengolah darah intraoperatif (seperti merk dagang Cell Saver atau
CATS). Bentuk terakhir dari autotransfusi digunakan dalam operasi di mana diduga
akan kehilangan darah volume besar, mislakan pada aneurisma, penggantian total
sendi, dan operasi tulang belakang.
Dokumentasi yang digunakan pertama darah self-donated adalah pada tahun
1818, dan minat dalam praktek terus berkembang sampai Perang Dunia Kedua, di
mana pasokan darah menjadi kurang karena meningkatnya jumlah donor darah.
Kemudian, banyak peneliti berminat pada prosedur ini dengan kekhawatiran
tentang transfusi alogenik (donor terpisah). Autotransfusi digunakan dalam
sejumlah kasus orthopaedi, traumatologi, dan kasus pembedahan jantung. Apabila
diperlukan, prosedur ini memiliki keuntungan tertentu - termasuk pengurangan
risiko infeksi.
Ada beberapa literatur yang menyatakan bahwa pada tahun 1785 Philip Physic,
seorang dokter dari Philadelphia melakukan transfusi pada pasien post-partum.
Namun penggunaan pertama dari transfusi darah autologous yang terdokumentasi
adalah pada tahun 1818 ketika seorang Inggris, Blundell, menyelamatkan darah
vagina dari pasien dengan perdarahan postpartum. Dengan melakukan swabbing
darah dari lokasi perdarahan dan membilas dengan normal salin, ia menemukan
bahwa ia bisa kembali menginfuskan hasil dari pencucian. Metode sederhana ini

35
mengakibatkan tingkat kematian sebesar 75%, tapi itu menandai dimulainya
transfusi darah autologous.
Selama Perang Saudara Amerika, pasukan federasi menyatakan telah
melakukan empat kali transfusi. Pada tahun 1886, J. Duncan menggunakan metode
autotransfusi, dengan cara selama amputasi anggota badan dengan membuang
darah dari tungkai amputee dan mengembalikan ke pasien melalui suntikan
femoral. Metode ini tampaknya cukup berhasil. Seorang Jerman, MJ Theis,
melaporkan keberhasilan penggunaan pertama autotransfusi intraoperatif pada
tahun 1914, dengan kehamilan ektopik yang mengalami ruptur. Laporan awal
dalam literatur Amerika pada penggunaan autotransfusi adalah oleh Lockwood
pada tahun 1917 yang menggunakan teknik ini selama splenektomi untuk sindrom
Banti. Tujuan dalam teknik dari autotransfusi terus berkembang hingga awal 1940-
an, dan diterapkan untuk berbagai prosedur termasuk kehamilan ektopik,
hemothorax, ruptur spleen, perforasi organ abdomen, dan prosedur bedah saraf.
Minat dalam autotransfusi menyusut selama Perang Dunia II, ketika ada
persediaan besar donor. Setelah perang, tes darah, dan teknik crossmatching
meningkat sehingga membuat bank darah sebagai jawaban untuk meningkatnya
permintaan darah. Pada tahun 1960, minat autotransfusi dihidupkan kembali.
Dengan kemajuan di segala bidang operasi, perusahaan baru mengembangkan
perangkat autotransfusi. Masalah masih muncul, namun, seperti emboli udara,
koagulopati, dan hemolisis. Perangkat yang digunakan selama Perang Korea dan
Perang Vietnam dikumpulkan dan menyediakan filtrasi kotor darah sebelum
diinfusikan kembali.
Dengan diperkenalkannya cardiopulmonary bypass pada tahun 1952,
autotransfusi menjadi suatu bidang studi. Klebanoff memulai era baru autotransfusi
dengan mengembangkan unit autotransfusi pertama yang tersedia secara komersial
pada tahun 1968. Sistemnya, yaitu Sistem Autotransfusi Bentley mengaspirasi,
mengumpulkan, menyaring dan menginfusikan kembali seluruh darah autologous
dari medan operasi. Masalah dengan sistem Bentley termasuk kebutuhan
antikoagulan sistemik pasien, pengenalan emboli udara, dan gagal ginjal yang
dihasilkan dari partikel tanpa filter dalam darah diinfusikan kembali.
Seiring dengan sistem Bentley yang kehilangan dukungan, Wilson dan rekan
mengusulkan penggunaan proses centrifuge aliran kontinyu untuk autotransfusi
yang akan mencuci sel darah merah dengan larutan normal salin. Pada tahun 1976,

36
sistem ini diperkenalkan oleh Haemonetics Corp dan dikenal umum sebagai Cell
Saver. Baru-baru ini pada tahun 1995 Fresenius memperkenalkan sistem
autotransfusi kontinyu. Ada tiga jenis sistem: darah saring tanpa cuci; aliran
sentrifugal terputus; dan aliran sentrifugal terus menerus. Sistem tanpa cuci populer
karena tidak mahal dan sederhanaan. Namun sistem tanpa cuci dapat menyebabkan
potensi peningkatan komplikasi klinis. Sistem cuci membutuhkan operator terlatih
dan terampil. Ia mengembalikan hanya sel darah merah dalam normal salin dan
jarang berhubungan dengan komplikasi klinis. Autotransfusi terputus praktis dapat
menghilangkan kebutuhan terhadap darah homolog pada pasien bedah elektif dan
dapat sangat mengurangi risiko paparan pembedahan darurat.
Keuntungan:
 Kadar 2,3-DPG yang tinggi
 Normotermik
 pH relatif normal
 Fungsi selular lebih superior
 Kadar potassium lebih rendah dibanding darah yang disimpan
 Dapat tersedia dengan cepat

III. F. Perhitungan Volume Darah Maksimal yang Ditolerir (Allowable Blood Loss)

Perhitungan EBV: Berat Badan (kg) x Volume darah rata-rata (ml/kg)

Perhitungan ABL= [EBV x (Hi-Hf)]/Hi

Keterangan:
 EBV = Estimated Blood Volume
 ABL = Allowable Blood Loss
 Hi= initial hemoglobin
 Hf= final hemoglobin
Volume darah rata-rata
 Neonatus prematur 95 mL/kg
 Neonatus cukup bulan 85 mL/kg
 Infant 80 mL/kg

37
 Pria dewasa 75 mL/kg
 Wanita dewasa 65 mL/kg

Nilai normal Hematokrit (Hct)


 Pria 42-52%
 Wanita 37-47%

Contoh perhitungan:
Sebelum operasi berapakah volume darah yang (EBV) dari pasien wanita dengan berat 50
kg? Juga, berapakah kehilangan darah yang diijinkan (ABL) dari pasien ini jika Hct nya
adalah 45?
Dalam contoh di atas,

EBV = 50kg x 65 (volume dewasa wanita darah) = 3250 mL

Hematokrit awal Ht (Hi) = 45%, Ht akhir terendah diterima Ht (Hf) = 30%

Ditentukan bahwa batas bawah Ht adalah 30%, tetapi tiga puluh persen digunakan dalam
kalkulator ini tetapi dalam kenyataannya akan dapat bervariasi dari kasus ke kasus. Sehingga
perhitungannya menjadi:
(3250 x (45-30)) / 45 = 1083 mL

Menggunakan perkiraan kasar ini, pasien dalam contoh ini dapat kehilangan 1.083 mL darah
tanpa membutuhkan transfusi.

III. G. Terapi Cairan pada Pasien Trauma

Secara global, korban trauma berkontribusi sekitar 10% dari total kematian dan 15%
masa hidup yang disesuaikan dengan kecacatan. Studi terbaru menunjukkan bahwa korban luka
berkontribusi 13-18% dari total kematian di India. Cedera lalu lintas jalan (RTI) menempatkan
beban yang sangat besar pada sektor kesehatan dalam hal perawatan pra-rumah sakit,
perawatan akut, dan rehabilitasi. Menurut WHO, RTI adalah penyebab utama keenam
kematian di India dengan bagian yang lebih besar dari rawat inap, kematian, cacat dan kerugian
sosial ekonomi pada populasi muda dan menengah. Sebagian besar kematian terjadi karena

38
keputusan medis yang buruk dan intervensi yang tidak tepat. Diperkirakan 10-20% kematian
ini berpotensi dicegah dengan kontrol perdarahan yang lebih baik. Perdarahan dini dalam
waktu 6 jam setelah menimbulkan trauma muncul sebagai penyebab kematian yang paling
umum dicegah. Hal ini menyebabkan tim trauma menyelidiki apakah perubahan dalam praktik
dapat membantu mengurangi angka kematian dini setelah trauma berat.
Selama empat dekade terakhir, pendekatan standar terhadap korban trauma, yang
terjadi hipotensi dari dugaan proses pendarahan (hemoragik) adalah memberikan volume
cairan yang besar sebanyak dan secepat mungkin. Tujuan dari strategi pengobatan ini adalah
pemulihan cepat volume intravaskular dan tanda vital menuju normal dan pemeliharaan perfusi
organ vital. Cairan volume tinggi IV untuk ketidakstabilan hemodinamik telah menjadi standar
yang berlaku di kebanyakan sistem perawatan pra-rumah sakit seperti sistem pendukung
kehidupan trauma lanjut (ATLS). Studi laboratorium terbaru dan uji coba klinis yang
mengevaluasi keampuhan pedoman ini namun menunjukkan bahwa dalam penetapan
perdarahan yang tidak terkontrol, resusitasi cairan agresif mungkin berbahaya, menghasilkan
peningkatan volume perdarahan dan kemudian mortalitas lebih besar
Kita perlu memahami patofisiologi trauma dan syok hemoragik. Ini dapat didefinisikan
sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan penyampaian oksigen yang tidak
memadai ke organ vital sehubungan dengan kebutuhan metabolik pasien. Tekanan darah
sistolik (SBP) 90 mmHg biasanya digunakan untuk menentukan hipotensi dan syok. Namun,
pengiriman oksigen bergantung pada curah jantung daripada tekanan darah. Homeostasis
dengan vasokonstriksi perifer bertindak untuk mempertahankan tekanan darah bahkan saat
volume peredaran darah hilang. Hubungan antara curah jantung dan kehilangan darah belum
jelas dipahami, dan hubungan menjadi jelas hanya bila lebih dari separuh volume sirkulasi
hilang, atau terjadi deficit secara cepat. Banyak pasien akan mempertahankan denyut nadi dan
tekanan darahnya bahkan setelah kehilangan darah dan hipoksia jaringan. Kondisi ini disebut
sebagai syok samar (cryptic shock) dan dikaitkan dengan peningkatan angka kematian.

III.G.1. Resusitasi Kontrol Kerusakan (Damage control resuscitation)


Koagulopati trauma sudah ada pada banyak pasien saat mereka tiba di rumah sakit, dan
ini berdampak pada tatalaksana dan keluaran klinis. Pengobatan koagulopati dalam syok
hemoragik tidak lagi menjadi tanggung jawab hanya ahli bedah dan intensivis tapi memulai
pengobatan juga berada dalam lingkup dokter di instalasi gawat darurat. Perawatan ini adalah
bagian penting dari apa yang kemudian dikenal sebagai resusitasi kontrol kerusakan (DCR).

39
Istilah ‘trias kematian’ digunakan untuk menggambarkan kombinasi koagulopati akut,
hipotermia, dan asidosis yang saling berlanjut yang terus berlanjut yang terjadi pada pasien
trauma. Hipoperfusi menyebabkan penurunan pengiriman oksigen, beralih ke metabolisme
anaerob, produksi laktat, dan asidosis metabolik. Metabolisme anaerobik membatasi produksi
panas endogen, memperburuk hipotermia yang disebabkan oleh paparan dan pemberian cairan
resusitasi dingin dan darah yang tidak tepat. Penelitian retrospektif yang besar dan dilakukan
dengan baik telah menunjukkan bahwa suhu inti <35 ° C saat masuk adalah prediktor
independen terhadap mortalitas setelah trauma besar.
Pemahaman tentang mekanisme koagulopati, asidosis, dan hipotermia ‘trias kematian’
membentuk dasar DCR. DCR menangani ketiga komponen ‘trias kematian’ dan menyatukan
hipotensi permisif, resusitasi hemostatik dan operasi damage control. Tujuannya adalah untuk
meminimalkan kejutan hipovolemik yang didiagnosis oleh tiga serangkai pengenalan pola -
kulit yang dingin, denyut nadi lemah atau tidak ada dan status mental abnormal pada asidosis,
hipotensi dan hipotermia perlu ditangani juga. Asidosis dengan defisit dasar lebih dari 6 mmol
/ L adalah defek fisiologis yang dominan akibat hipo-perfusi persisten. PH <7.2 dikaitkan
dengan penurunan kontraktilitas dan curah jantung, vasodilatasi, hipotensi, bradikardia,
dysarrhythmias dan penurunan aliran darah ke hati dan ginjal. Hipotermia dikaitkan dengan
mortalitas yang tinggi. Jika suhu <96.50 ° F terjadi hypocoagulability. Namun, pendekatan
damage control hanya cocok untuk kelompok pasien terpilih. Asensio dkk mengidentifikasi
karakteristik pra operasi yang prediktif terhadap exsanguinating syndrome di mana kontrol
kerusakan dapat diterapkan

III.G.2.Komponen Resusitasi Kontrol Kerusakan


1. Hipotensi permisif
Tujuannya adalah untuk memungkinkan tekanan darah subnormal untuk meminimalkan
kehilangan darah hemoragik. Untuk pendarahan yang tidak terkontrol dengan tidak adanya
TBI, targetkan resusitasi pada SBP 7-90 mmHg, mentasi normal dan pulsa perifer teraba
(tingkat bukti III). Darah harus memungkinkan pengiriman oksigen yang cukup ke jaringan
yang dipastikan dengan memantau kadar laktat serum dan saturasi oksigen vena sentral.
Tidak ada penelitian di bidang pediatri untuk mendukung penggunaannya.
2. Resusitasi hemostatik
Istilah ini menunjukkan penggunaan awal produk darah dan darah sebagai cairan resusitasi
primer untuk mengobati koagulopati traumatik akut intrinsik dan untuk mencegah

40
pengembangan koagulopati dilatasi. Hal ini dimulai dalam beberapa menit setelah
kedatangan di instalasi gawat darurat. Resusitasi pertama dibatasi untuk menjaga tekanan
darah pada 90 mmHg, mencegah pendarahan baru dari pembuluh darahl. Kedua, restorasi
volume intravaskular dilakukan dengan menggunakan plasma cair cairan resusitasi primer
dengan perbandingan paling rendah 1: 1 dengan sel darah merah yang dikemas (PRBC).
Kausalitas yang memerlukan resusitasi lanjutan, protokol transfusi masif (MTP) diaktifkan
dengan pengiriman 6 unit plasma, 6 unit PRBCs dan 10 unit kriopresipitat. Ruskin dkk [28]
Menunjukkan bahwa kematian akibat trauma menurun secara signifikan setelah
pengenalan MTP.
Transfusi masif namun dapat menyebabkan hipokalsemia, hiperkalemia,
hypomagnesemia, gangguan basis asam, hipotermia, trombositopenia, dan koagulopati. Studi
terbaru menunjukkan bahwa penggantian sel darah merah yang dikemas bersamaan dengan
konsentrat plasma beku (FFP) segar dan konsentrat platelet pada awal pengelolaan trauma
mencegah efek dilusi dan secara nyata meningkatkan pendarahan koagulopatik pada pasien
trauma. Resusitasi hemostatik agresif harus dikombinasikan dengan kontrol perdarahan yang
sama agresifnya. Asam traneksamat, agen antifibrinolitik, diberikan pada semua pasien dengan
pendarahan yang tidak terkontrol yang membutuhkan transfusi darah. Sesuai uji coba CRASH-
2 pada tahun 2010 untuk evaluasi peran asam traneksamat, 20.000 pasien trauma diacak untuk
menerima asam traneksamat atau kontrol. Asam traneksamat secara signifikan mengurangi
risiko kematian (rasio odds [OR]: 0,91 [0,85-0,97], P = 0,0035) dan kematian akibat perdarahan
(OR: 0,85 [90,76-0,96], P <0,001) tanpa peningkatan komplikasi tromboemboli .

41
Tabel 6. Perbandingan cairan isotonis.
Sumber: Tim Harris et al. Early fluid resuscitation in severe trauma. In:
British Medical Journal.

III.G.3.Operasi Damage Control (DCS)


Operasi damage control didefinisikan sebagai pengorbanan sementara yang
direncanakan dari anatomi normal untuk melestarikan fisiologi vital. Ini adalah konsep di mana
operasi awal menjadi bagian dari proses resusitasi dan bukan bagian dari proses kuratif. Terdiri
dari 3 bagian termasuk laparotomi disingkat awal, resusitasi ICU dan operasi ulang untuk
resusitasi definitive. Operasi damage control adalah strategi bedah yang bertujuan memulihkan
fisiologi normal dan bukan integritas anatomis. Hanya ketika pasien telah stabil secara
fisiologis adalah operasi terapeutik akhir yang dimulai. Proses ini berfungsi untuk membatasi
pemaparan fisiologis ke lingkungan yang tidak stabil, memungkinkan resusitasi dan hasil yang
lebih baik pada pasien trauma kritis. Pendekatan multidisiplin terhadap pengelolaan kritis,
panduan dari Asosiasi Ahli Bedah Eropa yang diperbaharui merekomendasikan:
 Waktu berlalu antara cedera dan operasi harus diminimalkan untuk pasien yang
membutuhkan kontrol perdarahan bedah mendesak (Grade IA).
 Pasien yang mengalami syok hemoragik dan sumber perdarahan yang indentifikasi
harus menjalani prosedur pengendalian pendarahan langsung kecuali tindakan
resusitasi awal berhasil (Grade IB).
 Pencitraan awal (FAST atau computed tomography) untuk mendeteksi cairan bebas
pada pasien dengan trauma torso yang dicurigai (Grade IB). Jika FAST positif, harus
diikuti dengan intervensi langsung.

42
 Target SBP 80-100 mmHg sampai pendarahan besar dihentikan pada fase awal tanpa
TBI (Grade IC). Pendekatan volume rendah dikontraindikasikan di TBI karena tekanan
perfusi yang memadai sangat penting untuk memastikan oksigenasi jaringan dari sistem
saraf pusat yang cedera.
 Targetkan MAP 65 mmHg atau lebih, dalam resusitasi hipotensi terkontrol.
 Penggunaan tourniquet untuk menghentikan pendarahan yang mengancam jiwa dari
luka ekstremitas terbuka dalam setting presurgical.
 Normoventilasi awal pasien trauma jika tidak ada tanda-tanda herniasi serebral yang
segera terjadi. Tekanan parsial rendah karbon dioksida arterial saat masuk ke ruang
gawat darurat dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk pada pasien trauma dengan TBI.
Hiperventilasi dan hipokapnia menyebabkan vasokonstriksi hebat dengan penurunan
aliran darah serebral dan perfusi jaringan yang terganggu.
 Syok hemoragik dengan sumber perdarahan yang teridentifikasi - segera memulai
prosedur pengendalian perdarahan.
 Pengukuran laktat serum dan defisit dasar untuk memperkirakan dan memantau tingkat
perdarahan dan syok (Grade IB). Serat laktat adalah parameter diagnostik dan marker
prognostik syok hemoragik. Jumlah laktat yang dihasilkan oleh glikolisis anaerobik
adalah penanda tidak langsung dari hutang oksigen, hipo-perfusi jaringan dan tingkat
keparahan syok hemoragik. Defisit dasar memberikan perkiraan asidosis tidak langsung
karena gangguan perfusi. Penentuan laktat yang berulang merupakan indeks prognostik
yang andal untuk pasien dengan syok peredaran darah.
 DCR harus digunakan pada pasien yang mengalami cedera parah dengan kejutan
hemoragik yang dalam, tanda-tanda perdarahan dan koagulopati yang sedang
berlangsung, hipotermia, asidosis, cedera anatomi mayor yang tidak dapat diakses.
 Kristaloid harus diaplikasikan pada awalnya untuk pasien trauma berdarah (Grade IB).
Obat hipertonik (HTS) dipertimbangkan untuk pasien hemodinamik yang tidak stabil
(Grade 2B). Penambahan koloid untuk dipertimbangkan dalam batas yang ditentukan
untuk setiap larutan pada pasien hemodinamik yang tidak stabil (Grade 2C).
 FFP dini pada pasien dengan perdarahan hebat (Grade IB). Trombosit yang akan
diberikan untuk mempertahankan jumlah di atas 50 × 109 / L (Grade IC). Namun,
pertahankan hitungan di atas 100 × 109 / L pada pasien dengan multiple trauma yang
mengalami pendarahan berat atau trauma otak traumatis (Grade 2C).
 Asam traneksamat 10-15 mg / kg diikuti dengan infus 1-5 mg / kg / jam (Grade IB).

43
 Targetkan hemoglobin 7-9 gm% (Grade IC).
 Pemantauan kalsium terionisasi selama transfusi masif (Grade IC). Kalsium klorida
diberikan jika kadar kalsium terionisasi rendah atau perubahan elektrokardiografi
menunjukkan hypocalcemia (Grade 2C).

III. H. Terapi Cairan pada Infeksi dan Degeneratif

Strategi resusitasi untuk kasus-kasus infeksi berat atau syok infeksi telah diteliti secara
intensif dan menjalani perdebatan bertahun-tahun. Penelitian melibatkan strategi yang
ditujukan untuk mencapai target fisiologik supranormal pada pasien ICU sampai 72 jam rawat
inap menunjukkan hasil negatif dan bahkan berbahaya untuk pasien. Meta-analisis untuk
penelitian resusitasi infeksi telah mengindikasikan bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum
terjadinya disfungsi organ memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan pasien
gawat darurat dengan infeksi berat atau syok infeksi untuk membandingkan resusitasi
hemodinamik sampai parameter fisiologik dengan terapi dini berdasarkan target (EGDT-early
goal directed therapy) menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara statistik
(16,5%). EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi (gambar 10) yang
bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan kebutuhan oksigen pada
kasus-kasus infeksi berat atau syok infeksi pada 6 jam pertama rawat gawat darurat. Strategi
ini mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat dengan optimalisasi volume
intravascular (preload) dengan pemantauan tekanan vena sentral (CVP – central venous
pressure), tekanan darah (afterload) dengan pemantauan tekanan arterial rerata (mean arterial
pressure – MAP), kontraktilitas dengan pemantauan untuk menghindari takikardia dan
pemulihan keseimbangan antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen (dipandu
dengan pengukuran SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global. Komponen-komponen
EGDT diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical Care Medicine untuk
dukungan hemodinamik pada infeksi.
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan vena sentral (CVP),
tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan tekanan intra-arterial direkomendasikan,
terutama untuk pasien-pasien dengan obat-obatan vasopresor, namun dengan catatan bahwa
obat-28 obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan arterial sentral terlihat lebih rendah saat
diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat diukur secara intermiten dengan sampel gas vena yang
diambil dari saluran distal kateter vena sentral standar atau secara kontinyu dengan

44
menggunakan kateter vena sentral serat optik. Meskipun pada tangan ahli arteri pulmonary
tetap merupakan tempat pengukuran yang efektif, bukti keuntungan kesintasan dari
penggunaannya masih harus dibuktikan.

Algoritma 2. Tatalaksna resusitasi kasus infeksi


Sumber: Wheeler AP. Recent developments in the diagnosis and management of severe sepsis.
Chest. 2007
Target pertama EGDT pada kasus infeksi adalah pemulihan volume intravaskular pasien.
Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan berulang baik
cairan kristaloid ataupun koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-40 cc/kgBB,

45
sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa saat yang lalu tidak ada penelitian
terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti menunjukkan adanya keuntungan
penggunaan koloid ataupun kristaloid pada pasien kritis. Namun demikian, suatu studi acak
terkontrol besar yang membandingkan antara 4% albumin dengan normal salin pada 6997
pasien sakit kritis heterogen dan membutuhkan resusitasi volume menunjukkan tidak ada
perbedaan signifikan dalam mortalitas antar kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada
pasien dengan infeksi berat menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada
kelompok yang menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus dipandang sebagai
sarana pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan konfirmasi dengan penelitian acak
terkontrol pada pasien infeksi.

46
BAB IV
KESIMPULAN

Pengetahuan mengenai fisiologi dan gangguan keseimbangan cairan tubuh dan


transfusi produk darah mutlak dimiliki oeh seoang ahli bedah orthopaedi. Pengetahuan
mengenai hal-hal tersebut memberikan kontribusi yang besar pada penanganan pasien.
Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama pembedahan
ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Gangguan dalam keseimbangan cairan dan
elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-
faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.
Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan
volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan
kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang
bisa diberikan untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.
Perdebatan berlanjut mengenai strategi pengelolaan cairan dalam trauma. Hemorrhagic
shock tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Prosedur yang
memakan waktu di lapangan harus dihindari, dan transportasi cepat ke perawatan definitif
harus diprioritaskan. Pilihan cairan belum terbukti mempengaruhi hasil terapi, namun volume
resusitasi kristaloid yang besar perlu dihindari. Massive transfusion protocol (MTP) dengan
rasio tetap harus diberikan. Pasien dengan trauma tembus untuk perawatan definitif segera
tersedia dapat diuntungkan dari operasi damage control resuscitation (DCR). Sementara DCR
membutuhkan studi lebih lanjut, literatur awal nampaknya memberikan hasil yang mendukung.
Strategi resusitasi untuk kasus-kasus infeksi berat atau syok infeksi telah diteliti secara
intensif dan menjalani perdebatan bertahun-tahun. Penelitian melibatkan strategi yang
ditujukan untuk mencapai target fisiologik supranormal pada pasien ICU sampai 72 jam rawat
inap menunjukkan hasil negatif dan bahkan berbahaya untuk pasien. Meta-analisis untuk
penelitian resusitasi infeksi telah mengindikasikan bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum
terjadinya disfungsi organ memberikan hasil yang lebih baik.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Aryeh Shander, Irwin Gross, Steven Hill, Mazyar Javidroozi1. A New Perspective on
BestTtransfusion Practices. 2013. Blood Transfusion Journal. 11: 193-202 DOI
10.2450/2012.0195-12.
2. Alicia Chen,, Amal Trivedi, Lan Jiang, Michael Vezeridis. Hospital Blood Transfusion
Patterns During Major Noncardiac Surgery and Surgical Mortality. August 2015.
Medicine Volume 94, Number 32. P 1-10.
3. Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan.
In: Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu Kesehatan Anak Nelson ed
15, jilid 2. Jakarta: EGC; 258-266
4. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
5. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
6. Attygalle D, Fluid And Electrolyte Resuscitation. Dalam : A Handbook of Anaesthesia.
Sri Lanka : College of Anaesthesiologists of Sri Lanka. 2002. h.120-130
7. Tim Harris et al. Early fluid resuscitation in severe trauma. In:
British Medical Journal. Queen Mary University of London, London,
UK2012;345:e5752. doi: 10.1136/bmj.e5752
8. Langenberg C, Bellomo R, May C, Wan L, Egi M, Morgera S. Renal blood flow in
sepsis. Critical Care Journal 2005;9:R363-74.
9. Ronco C, Kellum JA, Bellomo R, House AA. Potential interventions in sepsis-related
acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol 2008;3:531-44.
10. Wheeler AP. Recent developments in the diagnosis and management of severe sepsis.
Chest. 2007;132:1967-76.

48

You might also like