You are on page 1of 9

Psikografis Menurut Lowe

by alva thoriqaziz

PSIKOGRAFIS MENURUT PT. LOWE INDONESIA

Survei psikografis Lowe Indonesia menemukan 8 karakter konsumen Indonesia yang masing-masing
memiliki narasi konsumsi yang berbeda-beda. Seperti yang tertera dibawah ini :

Dalam survei psikografis konsumen Indonesia yang dilakukan Lowe Indonesia teridentifikasi sekitar 8,1%
dari seluruh penduduk Indonesia. Mereka umumnya wanita usia matang yang berpendidikan rendah dan
tinggal di daerah pedesaan. Karena kehidupannya yang pas-pasan, kelompok konsumen ini tidak punya
banyak keinginan dan tidak pula terlalu optimistis terhadap masa depan mereka. Cenderung mengalir
seperti air, tanpa harus "mengganggu" orang lain.

Sangat berbeda dengan tipe konsumen yang tinggal di perkotaan, atau dengan kata lain mempunyai
tingkat pendidikan yang tinggi, konsumen tipikal seperti inilah yang justru sangat terbuka, suka bergaul
dan penuh gairah. Umumnya juga didominasi wanita usia matang, dan dengan tingkat sosial-ekonomi
A+. Mereka sangat materialistis, dan bagi mereka, memiliki (harta/benda) adalah puncak kebahagiaan
hidup. Apalagi, mereka merasakan sukses yang mereka capai itu tidak diperoleh dari pendidikan formal.

Sisi menarik dari kelompok ini yaitu percaya bahwa pertemanan adalah investasi. Di mata mereka,
pertemanan lebih seperti membuat jejaring daripada membangun ikatan. Sehingga buat mereka,
pengakuan diri itu ada jika sangat diterima oleh lingkungan pergaulannya. Menurut mereka, teman
(relasi/kerabat) adalah pendukung kesuksesan mereka.

Dalam survei Lowe Indonesia, segmen konsumen "Gaul-Glam"? ini juga teridentifikasi dengan baik dan
secara demografis jumlahnya juga cukup besar, sekitar 11% dari total konsumen Indonesia. Dengan
karakteristik seperti itu, berarti mereka merupakan potensi pasar menggiurkan karena mengikuti
perkembangan fashion, mengamati iklan, dan memperhatikan lingkungan, sejarah dan ilmu-ilmu sosial.
Selain dua kelompok konsumen di atas, masih ditemukan 6 kelompok konsumen lain dalam survei
bertajuk Faces of Indonesia. Survei psikografis yang diselenggarakan Lowe Indonesia ini memang bukan
hal baru di Tanah Air. Namun, secara komprehensif berhasil menghimpun berbagai kelompok konsumen
dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Menurut Paramita Mohamad, Direktur Perencanaan
Strategis Lowe Indonesia, kerja keras penelitian yang persiapannya dimulai sejak pertengahan 2004
dilakukan dalam rangka mengikuti program Lowe Asia Pasifik yang berencana menyusun buku tentang
wajah konsumen Asia 2005.

Eleanore S. Modesto, Penasihat Teknis Lowe Indonesia, menjelaskan, pihaknya juga berkepentingan
terhadap hasil riset itu. Pasalnya, Lowe percaya bahwa tujuan utama setiap upaya komunikasi
pemasaran -- termasuk periklanan -- adalah membangun merek-merek yang kuat (powerful brand), yaitu
merek-merek yang memiliki hubungan emosional yang sangat bermakna dengan konsumennya.
Hubungan manis seperti itu, menurut Eleanore, sulit ditiru pesaing dan hanya bisa dilakukan jika
produsen mengenal dengan baik siapa konsumennya. Itu pula sebabnya Eleanore berpendapat bahwa
Lowe Indonesia sebagai biro iklan wajib membantu produsen (klien) menciptakan kedekatan yang intens
itu melalui iklan-iklan yang dihasilkan.

Kajian Faces of Indonesia bisa dibilang berskala besar. Melibatkan 2.086 responden, laki-laki dan
perempuan, usia 18-45 tahun, dari berbagai lapisan sosial-ekonomi dan berbagai tingkatan pendidikan,
responden diambil secara acak dari seluruh Indonesia (perkotaan dan pedesaan). Dari 63 daerah
perkotaan di Indonesia, terpilih secara acak 9 kota, yakni Jakarta Pusat, Bandung, Makassar, Gianyar,
Magelang, Padang, Lampung, Surabaya dan Sidoarjo. Sementara itu, dari 78 daerah pedesaan, terpilih
secara acak 8 wilayah, yakni Bekasi, Garut, Karanganyar, Magetan, Lumajang, Tegal, Prabumulih dan
Padang Sidempuan. Seluruh survei dilakukan pada November-Desember 2004.

Untuk menjelaskan psikografis konsumen Indonesia, memang cukup panjang jalan yang ditempuh. Pada
dasarnya, Lowe Indonesia yang berkolaborasi dengan lembaga riset Prompt mencari tahu aspek
bentukan psikologis konsumen, yakni cara pandang konsumen terhadap diri sendiri dan lingkungan serta
bagaimana konsumen menjelaskan dirinya terhadap dunia luar, yang didefinisikan sebagai fundamental
psychological makeup dan building blocks of their desires.

Cara pandang konsumen terhadap diri sendiri dan lingkungannya diketahui dari sikap/tanggapan mereka
terhadap iklan dan isu-isu lain, seperti optimisme terhadap masa depan Indonesia, reaksi terhadap
perubahan, opini tentang peran negara dan toleransi terhadap perilaku seksual.

Sementara itu, menyangkut building blocks of desires, ditemukan bahwa keinginan dasar setiap orang
terdiri dari tiga lapis building blocks, yang disebut Gold, menyangkut persepsi terhadap kebendaan.
Glory, sebagai pengakuan diri, dan Group, sebagai pernyataan hidup berkelompok. Masing-masing
konsumen memiliki lapisan keinginan dasar yang berbeda-beda. Ada yang sangat tebal di Glory dan tipis
di Gold dan Group; atau sebaliknya sangat tebal di Group dan Glory, tapi tipis di Gold. Seperti karakter si
"Pasrah", misalnya, dari sisi Gold, ia cenderung skeptis, menerima apa adanya, sementara pengakuan diri
(glory) baginya adalah diterima dan diakui lingkungannya dan persepsi grup bagi dia adalah punya
loyalitas tinggi terhadap teman dan kerabat.

Secara keseluruhan, hasil survei memperlihatkan gambaran manusia-manusia yang muncul dalam
keseharian kita. Secara umum teridentifikasi bahwa tipikal konsumen Indonesia adalah sangat peduli
orang-orang sekitar, sangat concern terhadap pendapat orang akan dirinya, merasa tidak nyaman jika
diasingkan dari lingkungannya, sangat peduli terhadap norma-norma dan tradisi, menjunjung tinggi
senioritas dibanding kemampuan seseorang, mencari kedudukan yang aman dalam strata sosial,
mendambakan keharmonisan dan hubungan yang penuh sopan santun, mendahulukan kerja sama
dibanding bekerja sendiri-sendiri, serta mengharapkan orang melakukan hal sama seperti yang ia
lakukan.

Penekanan tipikal konsumen Indonesia, terdeteksi bahwa mereka suka keharmonisan dan sangat
menentang konflik, lebih suka tergabung dalam kelompok, mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
jelas, mempunyai ritual dalam keseharian, senang jika dibutuhkan dan dihargai, serta ada batasan yang
jelas antara perbuatan salah dan benar.

Tipikal dan karakter konsumen mau tak mau memengaruhi perilaku konsumsi mereka. Karakter
konsumen introver tentu berbeda cara konsumsinya dari konsumen ekstrover. Karakter konsumen
senang menjadi pusat perhatian tentu berbeda cara konsumsinya dari konsumen yang tidak suka
menjadi pusat perhatian. Pembedaan-pembedaan inilah yang dicoba ditelisik Lowe Indonesia lewat
narrative of consumption konsumen Indonesia.

Jadi, ibarat panggung pertunjukan, hasil survei berusaha memetakan peran (aktor) dan adegan (narasi)
dalam konsumsi. Seperti telah dikemukakan, narasi dibangun berdasarkan pemirsanya. Pemirsa yang
dimaksudkan ada tiga kemungkinan. Pertama, bisa jadi dirinya sendiri; kedua, orang orang yang memiliki
arti khusus baginya; dan ketiga, orang-orang secara umum. Dalam kaitannya terhadap diri sendiri,
ditemukan tiga narasi generik. Pertama, narasi saya (dirinya sendiri) sedang sedih, kecewa, cemas dan
sejenisnya. Kedua, narasi saya (dirinya sendiri) sedang marah, benci, ingin mengamuk; dan tiga, narasi
saya sedang gembira dan suka hati.

Kalau pemirsanya adalah orang-orang yang memiliki arti khusus, ditemukan tiga narasi generik. Pertama,
narasi yang menyiratkan keinginan memberi atau meminta perhatian. Kedua, narasi yang menyiratkan
keinginan berbagi, dan ketiga, narasi yang menyiratkan keinginan dihargai atau diapresiasi. Adapun kalau
pemirsanya orang-orang secara umum, terdapat dua golongan besar narasi. Pertama, narasi yang
memperlihatkan keinginannya menjadi bagian dari kelompok, dan kedua, narasi yang memperlihatkan
keinginannya membedakan dirinya dari kelompok.

Pembagian karakter konsumen di atas, menurut Harry Susianto, pengamat perilaku konsumen dari
Universitas Indonesia, selalu menjadi pola lazim pada survei-survei psikografis. Umumnya, studi
psikografis berusaha mengumpulkan data, lalu menggolong-golongkan partisipan ke dalam beberapa
segmen, dan kemudian mengaitkan segmen itu dengan persentase daya belinya. ”Seharusnya ada
langkah berikutnya lagi," ujarnya menunjuk langkah berikutnya, yakni menguji benarkah bila kita
mengetahui segmen seorang partisipan, informasi ini lebih memprediksi perilaku belanjanya tanpa
mengetahuinya. "?Kalau benar, baru tipologi psikografis itu berguna,"? lanjutnya.

pendekatan psikografis akan lebih membuat pesan yang diinginkan mengena. "Dapat mengomunikasikan
produk yang bisa ditangkap emosinya sesuai pasar yang dibidik," tandasnya lagi. Iklan yang bagus adalah
iklan yang berhasil memengaruhi gaya hidup. Contohnya, iklan ponsel. "Produsen berhasil men-set up
gaya hidup untuk memengaruhi pasar,". Sehingga, konsumen sering berganti ponsel. "Pasar memerlukan
produk yang bisa mengasosiasikan dirinya pada kelompok acuan tertentu."

Strategi komunikasi juga sering salah sasaran. Dari survei ternyata diketahui konsumen kelas atas di
perkotaan jarang menonton teve. Sementara, bagi beberapa produk, teve dianggap media paling efektif.
"Jadinya, salah sasaran." Dikatakannya, produsen cenderung bergerombol menyerbu karakter konsumen
tertentu, seperti ibu-ibu PKK. "Akibatnya, iklan-iklan yang muncul hampir sama dan tidak memiliki
keunikan masing-masing."

Sementara produk-produk teknologi komunikasi lebih mudah penjabaran psikografis konsumennya, lain
halnya dengan produk consumer goods, terutama makanan dan minuman, lebih rumit. Pada produk
ponsel, misalnya, pendekatan psikografis tidak hanya lewat cara komunikasi, tetapi juga penyajian
produknya. Berbeda dari produk kecap, misalnya, dibuat apa pun, bentuknya tetap berupa kecap, tidak
berubah menjadi bentuk lain. Itu sebabnya, seperti dikatakan Rusmaina Lenggogeni, Manajer Merek
Senior Kecap Bango, PT Unilever Indonesia, pembagian cluster psikografis konsumen tidak boleh hanya
terpaku pada satu aspek, tetapi pada berbagai sumber data. "Metodologi riset psikografis yang dipakai
Unilever berbeda dari Lowe.”

Lalu, disebutkan bahwa setiap produk ada narasinya. Hanya saja, pertanyaannya, dari mana Lowe bisa
menyimpulkan hal itu? Dalam pernyataannya, Lowe menyebutkan: "What are the stories being told by
Indonesia consumer through consumtion? From various qualitative studies, we observes that consumers
try to convey a certin set of soties (naratives) through consumption act...."?. Bukankah ini menunjukkan
bahwa kesimpulan itu diambil bukan dari survei Lowe, melainkan dari berbagai studi kualitatif?

Yang paling penting dan perlu diperhatikan, selama ini survei-survei psikografis hanya berhenti pada
tahap menggolong-golongkan responden (konsumen) dalam suatu segmen. Padahal, bisa diperdalam
dan lebih bermanfaat kalau diketahui pula bagaimana perilaku belanja si konsumen. Kalau hanya sebatas
menggolongkan konsumen, itu masih terlalu umum dan sudah banyak.
Memang studi psikografis biasanya hanya (a) mengumpulkan data; (b) menggolong-golongkan partisipan
ke dalam beberapa segmen; (c) lalu mengaitkan segmen dengan persentase konsumsi. Seharusnya ada
satu langkah lagi, yaitu (d) menguji benarkah bila kita mengetahui segmen seorang partisipan, informasi
ini akan lebih memprediksi perilaku belanjanya ketimbang tanpa mengetahuinya (= base rate). Kalau
benar, baru tipologi psikografis ini berguna. Jadi, yang penting, surveinya harus mendetail, tidak hanya
berhenti sebatas menghasilkan tipologi.

Pada dasarnya, survei psikografis mempertemukan temuan psikologis dengan demografis. Karena itu,
survei biasanya melihat tiga hal: apa kegiatan responden; apa yang menjadi perhatian dan minatnya
terhadap segala hal, termasuk hobi; serta apa pendapat responden tentang segala hal (opini).

Survei psikografis seperti itu memang terkendala batas waktu. Gaya hidup terus berubah. Sementara itu,
personalitas terefleksi oleh perilaku gaya hidup dan akan berubah sesuai dengan kondisi lingkungan
masing-masing. Pindah pekerjaan, punya teman baru, atau berada dalam lingkungan baru bisa
memengaruhi gaya hidup seseorang.

Hasil riset psikografis Lowe Indonesia ini dalam beberapa hal memang bisa menggambarkan psikografis
orang Indonesia. Namun, hal itu bukan sesuatu yang baru. Modelnya mengacu pada model beberapa
penelitian terdahulu. Value dan lifestyle dari Amerika Serikat juga dikembangkan dalam 8 macam.
Namun, itu bukan masalah. Yang penting buat produsen, bagaimana membaca hasil survei untuk
kepentingan produknya. Sebenarnya, produsen Indonesia bisa dibilang pengamat yang jitu. Sebelum
survei-survei psikografis bermunculan, mereka tanpa disadari sudah mengambil keputusan memakai
pendekatan psikografis yang tidak dilandasi analisis ilmiah. Artinya, produsen secara alami telah
mengasah kepekaannya dalam mendekati target pasarnya.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN

Kotler dan Armstrong (1994) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen
terdiri dari:

a. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas dan dalam terhadap perilaku konsumen, yang
mencakup:

1) Kebudayaan
Kebudayaan adalah faktor penentu yang paling pokok dari keinginan dan perilaku seseorang. Budaya
merupakan keseluruhan kepercayaan, nilai-nilai dan kebiasaan yang dipelajari yang membantu
mengarahkan perilaku konsumen para anggota masyarakat tertentu.

2) Sub Budaya

Tiap budaya pasti mempunyai sub budaya yang lebih kecil atau kelompok orang dengan sistem nilai yang
sama berdasarkan pengalaman dan situasi hidup yang sama. Sub budaya sebagai kelompok budaya
budaya berbeda yang sebagai segmen yang dapat dikenali dalam masyarakat tertentu yang lebih luas
dan lebih kompleks.

3) Kelas Sosial

Hampir setiap masyarakat mempunyai suatu bentuk struktur kelas sosial. Kelas sosial adalah susunan
yang relatif permanen dan teratur dalam suatu masyarakat yang anggotanya mempunyai nilai, minat dan
perilaku yang sama.

b. Faktor Sosial

Faktor sosial terdiri dari tiga faktor pendukung, yaitu:

1) Kelompok

Perilaku konsumtif seseorang dipengaruhi oleh banyak kelompok kecil, kelompok tersebut terdiri dari
kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer dimana seseorang seseorang berinteraksi secara
reguler tetapi interaksi tersebut bersifat tidak resmi (informal) seperti: keluarga, teman, tetangga dan
rekan kerja. Kelompok sekunder dimana seseorang berinteraksi secara lebih resmi (formal) dan tidak
reguler. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah organisasi, ikatan ataupun serikat.

2) Keluarga

Anggota keluarga dapat memberikan suatu pengaruh yang kuat pada perilaku konsumtif. Keluarga
dibedakan menjadi dua, yakni keluarga orientasi dan keluarga prokreasi. Keluarga orientasi yang
merupakan orang tua, sedangkan keluarga prokreasi, yakni suami-isteri dan anak-anak mempunyai
pengaruh lebih langsung terhadap perilaku konsumtif sehari-hari.

3) Peran dan status

Seseorang dapat berperan serta dalam banyak kelompok, seperti: keluarga, perkumpulan dan organisasi.
Posisi seseorang dalam tiap kelompok dapat ditentukan dari segi peran dan status. Peran adalah suatu
kegiatan yang diharapkan seseorang agar selaras dengan orang-orang sekelilingnya. Sedangkan status
mencerminkan penghargaan umum oleh masyarakat sesuai dengan status tersebut.

c. Faktor Pribadi

Keputusan konsumen yang dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, antara lain:


1) Usia

Yang diidentifikasikan yaitu seseorang dewasa mengalami perjalanan hidup atau transformasi tertentu
sebagaimana mereka menjalani hidupnya.

2) Pekerjaan

Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya.

3) Keadaan Ekonomi

Keadaan ekonomi akan sangat mempengaruhi apalagi jika seseorang tersebut mempunyai pendapatan
dan tabungan yang dapat ia belanjakan.

4) Gaya Hidup

Gaya hidup seseorang menunjukkan pola kehidupan orang yang bersangkutan di dunia ini sebagaimana
tercermin dalam kegiatan, minat dan pendapatnya. Selain itu, merangkum sesuatu yang lebih daripada
kelas sosial atau kepribadian orang tersebut dan menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi
dan berinteraksi di dunia.

5) Kepribadian dan Konsep Diri

Setiap orang memiliki kepribadian yang khas dan tentunya akan mempengaruhi perilaku konsumen.
Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologis yang unik dan menimbulkan tanggapan yang relatif
konsisten dan tahan lama terhadap lingkungannya itu sendiri.

d. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang utama terdiri dari:

1) Motivasi

Pada saat tertentu, seseorang mempunyai banyak kebutuhan. Suatu kebutuhan akan menjadi motif
apabila ia ditumbuhkan sampai pada suatu tingkat intensitas yang cukup. Motif adalah suatu kebutuhan
yang cukup menekan seseorang untuk mengejar kepuasan.

2) Persepsi

Seseorang yang termotivasi akan siap bereaksi dan bertindak. Merupakan proses dimana seseorang
individu memilih, merumuskan dan menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang
berarti mengenai dunia.

3) Belajar

Seseorang yang bertindak, maka selanjutnya adalah belajar. Belajar menggambarkan perubahan-
perubahan dalam perilaku individu yang timbul dari pengalaman yang sebagian besar perilaku yang
dipelajari.
4) Kepercayaan dan Sikap

Melalui bertindak dan belajar, maka seseorang mendapatkan kepercayaan dan sikap. Pada gilirannya hal
ini juga mempengaruhi perilaku konsumen. Kepercayaan adalah suatu pemikiran deskriptif yang dimiliki
seseorang tentang sesuatu. Sikap adalah evaluasi, perasaan dan kecenderungan seseorang yang relatif
konsisten terhadap suatu objek atau gagasan.

Ke-8 karakter konsumen itu masing-masing memiliki narasi dan aktor yang berbeda-beda. Ada karakter
"?Pasrah"? (Introvert WallFlower) seperti kisah Melati di atas; ada pula karakter "?Gaul-
Glam"? (The Networking Pleasure Seeker) yang bertolak belakang dengannya.

Adapun karakter konsumen lainnya, terungkap ada kelompok "?Orang Alim"? (Confident Establish)
yang persentase demografisnya 5,2%. Mereka ini umumnya pria usia matang, berpendidikan tinggi, dan
tinggal di daerah perkotaan. Mereka sangat percaya diri dan berkarakter kuat, menyukai kedamaian
dalam kehidupan sosialnya, sangat normatif dan suka menolong. Gambaran yang mendekatinya
barangkali adalah sosok bapak baik-baik yang sering diperankan Deddy Mizwar dalam beberapa filmnya.
Pada kelompok ini, dasar keinginannya adalah lebih mementingkan keluarga dibanding materi, punya
reputasi baik, dan cukup diterima masyarakat.

Lalu, ada kelompok "?Ibu PKK"? (The Optimistic Family Person) yang jumlahnya cukup besar,
13,5%. Karakter kelompok yang kebanyakan wanita usia matang dari daerah rural dengan sosial-ekonomi
rendah ini berusaha menjalani hidup dengan bersahaja, realistis, kekeluargaan dan normatif. Seperti
layaknya ibu-ibu rumah tangga di Indonesia, mereka menyukai masak sebagai hobi, tidak sekadar
kewajiban. Hidupnya diabdikan untuk keluarga. Dasar keinginannya tidak materialistis, tidak mau
macam-macam dan keluarga adalah segalanya.

"?Anak Nongkrong"? (The Change Expect Lad) adalah kelompok konsumen lain yang jumlahnya
10,5%. Seperti sebutannya, kelompok ini sangat mudah dikenali. Mereka adalah anak muda laki-laki,
tinggal di daerah urban, tapi tingkat sosial- ekonominya menengah-bawah. Karakter mereka: hidup
berorientasi pada teman-temannya (kelompoknya). Bagi mereka, "?All is one and one is all"?. Menurut
mereka, teman adalah segalanya. Demi teman, mereka mau melakukan apa saja. Karena keadaan dan
lingkungan, mereka sangat toleran terhadap seks. Dan yang menjadi dasar keinginan mereka, diterima
dan dicintai teman-teman. Teman adalah motivasi hidup serta materi bagi mereka atau masih menjadi
alat mempertahankan hidup. Kelompok ini biasa terlihat nongkrong di mal (bukan di resto atau kafe)
sambil bercanda dan merokok ramai-ramai.

Berikutnya, kelompok "?Lembut Hati"? (Cheerful Humanist) yang secara demografis jumlahnya
12,1%. Kelompok yang kebanyakan terdiri dari wanita muda dari daerah pedesaan dengan tingkat sosial-
ekonomi rendah ini cenderung tidak suka menjadi pusat perhatian, walaupun diterima di lingkungannya.
Mereka menyukai lingkungan damai penuh harmoni, sangat menaruh perhatian dan berempati pada
lingkungan dan orang-orang sekitarnya, serta merasa sangat dihargai jika lingkungan menerima mereka
apa adanya. Dengan karakter seperti itu, keinginan dasar mereka jelas tidak mementingkan materi, ingin
selalu dibutuhkan lingkungan dan menyenangi kebersamaan.

Ada kelompok konsumen yang sangat atraktif, yakni kelompok "?Main untuk Menang"? (The Savvy
Conquer). Kelompok ini sangat lugas. Tujuan hidupnya adalah mencapai kejayaan. Karena itu, mereka
sangat suka kompetisi dan cenderung dominan dalam pergaulan. Mereka yang umumnya pria matang
berpendidikan dan dari daerah perkotaan ini sangat menikmati hidup. Misalnya, sikap mereka terhadap
seks sebagai salah satu bentuk relaksasi. Mereka sangat suka fashion, menikmati cuisine dan suka iklan.
Sehingga, keinginan dasar mereka yang selalu muncul adalah dimanja materi dan barang-barang yang
dipunyai, suka disanjung dan dipuja, serta supel dan penuh energi. Konsumen atraktif ini secara
demografis ternyata jumlahnya sangat besar, 16%.

Sementara di kalangan pria ada kelompok "?Main Untuk Menang"?, sejenis dengan mereka, di kalangan
wanita ada kelompok "?Bintang Panggung"? (The Spontanius Fun Loving) sebanyak 13,6%. Mirip
para prianya, kelompok yang sebagian besar wanita dari daerah perkotaan dengan sosial-ekonomi tinggi
ini sangat suka menjadi pusat perhatian. Mereka suka bergaul, suka pamer dan menyenangi aktivitas di
luar rumah, seperti pesta dan kumpul-kumpul. Mereka menyukai hal-hal baru yang sedang menjadi tren,
seperti fashion dan gadget, serta sangat menikmati hidup. Bagi mereka, materi adalah alat untuk
memenuhi tuntutan gaya hidup, sanjungan dan pujaan adalah bukti pengakuan diri, serta kelompok
menjadi alat mencapai kepopuleran (lihat Tabel).

Dampak kognitif, dampak yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau
meningkat intelektualitasnya, jadi tujuan komunikator berupaya merubah pikiran komunikan

- Dampak afektif, tujuan komunikator bukan hanya sekadar komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya;
menimbulkan perasaan tertentu, misalnya iba, terharu, sedih, gembira, marah, dsb

- Dampak konatif/behavioral, dampak yang muncul dari komunikan dalam bentuk perilaku,
tindakan, atau kegiatan.

You might also like