You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong-
menolong dengan berdasar pada rasa tanggung jawab bersama, jamin-menjamin, dan tanggung-
menanggung dalam hidup bermasarakat. Salah satu contoh ajaran islam adalah hak milik
kebendaan yang ditegaskan berfungsi sosial. Hak milik perorangan dalam ajaran Islam tidaklah
bersifat mutlak, tetapi terkait dengan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, pemilik benda tidak
sepenuhnya bebas memperlakukan harta benda miliknya. Dalam mengembangkan harta benda,
Islam melarang caradan tindakan yang mengandung unsur-unsur penindasan, pemerasan, atau
penganiayaan terhadap orang lain. Begitu juga halnya dengan memberikan pinjaman uang yang
amat membutuhkan, tetapi dengan dibebani kewajiban tambahan dalam pembayarannya kembali
sebagai timbangan jangka waktu yang telah diberikan amatlah memberatkan pihak peminjam.[1]
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283 telah dijelaskan bahwa gadai pada
hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah di mana sikap tolong-menolong
dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam sebuah hadist dari Rasullulah SAW dari
Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di sana nampak sekali sikap
tolong-menolong antara Rasullulah SAW dengan orng yahudi pada saat Rasul menggadaikan
baju besinya kepada orang yahudi tersebut.[2]
Berdasarkan pemaparan di atas maka pada hakikatnya fungsi gadai adalah semata-mata untuk
memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam bentuk barang yang
digadaikan sebagai jaminan, bukan karena semata-mata untuk kepentingan komersial dengan
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Tafsir Ayat Al-Qur’an tentang Rahn?
Bagimana Kandungan Ayat Al-Qur’an tentang Rahn?
Bagaimana Tafsir dan Kandungan Hadist tentang Rahn?
1.3 Tujuan
Mengetahui Tafsir Ayat Al-Qur’an tentang Rahn
Menganalisis Kandungan Ayat Al-Qur’an tentang Rahn
Mengetahui Tafsir dan Kandungan Hadist tentang Rahn
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ayat Al-Qur’an tentang Rahn


 Q.S Al-Baqarah ayat 282

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
 Q.S Al-Baqarah ayat 283

Artinya :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
Ayat 282 yang lalu memberikan bimbingan tentang etika utang piutang seperti (1)
tercatat, (2) ada saksi, (3) jangka waktu yang ditetapkan, (4) bagaimana pula jika terjadi
perselisihan antara kedua belah fihak. Ayat 283 ini memberikan bimbingan bagaimana transaksi
atau utang piutang dilakukan di perjalanan, tidak ada saksi, tidak pula tersedia fasilitas tulis
menulis.
2.2 Tafsir Ayat Al-Qur’an tentang Rahn

Tafsir Q.S Al-Baqarah ayat 283

َ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َعلَى‬


‫سفَر‬
“Jika kamu dalam perjalanan”.
Yakni, sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang-piutang sampai batas waktu tertentu

‫َولَ ْم ت َ ِجدُوا َكاتِبًا‬


“Sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis “.
Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau
mereka mendapatkan penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena”.

ٌ‫ضة‬
َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫فَ ِره‬
“Maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman”.
Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.
Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu
yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama. Dan
ulama yang lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada
ditangan orang yang memberikan gadai. Ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad. Sekelompok
ulama lain juga berpendapat demikian.
Sebagian ulama salaf juga menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa barang jaminan itu hanya
disyariatkan dalam transaksi di perjalanan saja. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh
Mujahid dan ulama lainnya.

ُ‫ضا فَ ْليُ َؤ ِدِّ الَّذِي اؤْ ت ُ ِمنَ أ َ َمانَتَه‬ ُ ‫فَإ ِ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع‬
ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya [hutangnya].”
Diwayatkan Ibnu AbiHatim dengan isnad jayid, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia telah mengatakan
bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya.
Imam asy-Sya’bi mengatakan, “Jika sebagian kamu saling mempercayai sebagian lainnya, maka
tidak ada dosa bagimu untuk tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian.

َّ ‫ق‬
ُ‫َّللاَ َربَّه‬ ِ َّ ‫َو ْل َيت‬
“Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya.”
maksudnya (adalah), orang yang dipercaya (untuk memegang jaminan, hendaklah bertakwa
kepada Allah).

َّ ‫َوال ت َ ْكت ُ ُموا ال‬


َ ‫ش َهادَة‬
“Dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan kesaksian.”
Maksudnya, janganlah kamu menyembunyikan, melebih-lebihkan, dan jangan pula
mengabaikannya. Ibnu Abbas dan ulama lainnya mengatakan, “Kesaksian palsu merupakan salah
satu dosa besar yang paling besar, demikian juga menyembunyikannya.”

ُ‫َو َم ْن َي ْكت ُ ْم َها فَإِنَّهُ آ ِث ٌم قَ ْلبُه‬


“Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya.”
As-Suddi mengatakan, “Yaitu orang yang jahat hati-Nya.”

‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ َع ِلي ٌم‬


َّ ‫َو‬
“Dan Allah Maha-mengetahui apa yang kamu kerjakan”

2.3 Kandungan Ayat (Q.S Al-Baqarah ayat 283) tentang Rahn


Dari Penjelasan Tafsir Q.S Al-baqarah ayat 283, dapat disimpulkan kandungan dari ayat tersebut
adalah :
 Bolehnya memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan kata lain
menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan perjalan, tetapi itu bukan berarti bahwa
menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan. Nabi saw. pernah menggadaikan perisai
beliau kepada seorang yahudi, padahal ketika itu beliau berada di Madinah. Dengan demikian
penyebutan kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam
perjalanan.[3]
 Jika kebetulan orang yang melakukan utang-piutang itu saling mempercayai, maka hendaklah
orang yang dipercayai itu melaksanakan amanatnya dengan sempurna pada waktu yang telah
ditentukan. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan jangan pernah sampai mengkhianati
amanatnya.[4]
 Disini jaminan bukanlah berbentuk tulisan atau saksi, tetapi melainkan kepercayaan dan amanah
timbal-balik. Hutang ditetima oleh penghutang, dan barang jaminan diberikan kepada pemberi
hutang.
 Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa
sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara sebagaimana mestinya, dan
pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerimanya utuh
sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimanya pun menerima atas
dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan
kelak si pemberi/penitip tidak akan meminta melebihi dari apa yang diberikan atau dari
kesepakatan kedua belah pihak. Karena itu lanjutan ayat itu mengingatkan agar, dan hendaklah
ia, yakni yang menerima atau memberi, bertakwa kepada Allah Tuhan Pemelihara-nya.[5]
 Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikil amanah kesaksian, diingatkan janganlah
kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan,
atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak
diketahui oleh-nya. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hati-nya.
 Tuhan menyandarkan beberapa pekerjaan tertentu kepada hati, sebagaiman Dia menyandarkan
beberapa pekerjaan kepada pendengaran dan penglihatan. Di antara dosa-dosa jiwa adalah buruk
kasad (niat buruk) dan dengki. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia disiksa karena tidak mau
mengerjakan yang ma’ruf, dan mengerjakan yang munkar. Tujuan menulis surat perjanjian dan
menghadirkan saksi untuk memperkuat kepercayaan antara si pemberi utang dan si pengutang.
Secara hukum surat perjanjian lebih kuat daripada kesaksian. Pemberi utang, yang berutang, dan
saksi berpegang pada surat perjanjian.[6]

2.4 Hadist tentang Rahn


Al-Sya’fiy mengatakan:
‫ش ُهود َو ِكتاب َوبَيْع بِ ِر َهان َم ْقبُ ْوضَة َوبَيْع ِباالَ َمانة َوقَرأ آيَة ال َّديْن‬
ُ ‫ا ْلبُيُوع ثَالثَة بَيْع‬
Bertransaksi perniagaan bisa dengan tiga hal (1) mengguanakn saksi dan bukti tertulis,
(2) utang piutang dengan jaminan atau pergadaian, (3) melalui kepercayaan atau salaing
mepercayai. Kemudian beliau membaca ayat tentang utang piutang (Q.S Al-Baqarah ayat 282-
283).
Namun yang punya utang mesti dapat dipercaya, jangan sampai berkhianat. Memperlambat
bayar utang, padahal telah mampu membayarnya, merupakan perbuatan zhalim. Rasul SAW
bersabda:
َ ‫ظ ْل ٌم فَ ِإذَا أُتْ ِب َع أ َ َح ُد ُك ْم‬
‫علَى َم ِل ِّي فَ ْليَتْبَ ْع‬ ُ ‫َم ْط ُل ا ْلغَنِ ِِّي‬
Orang yang mampu, menangguhkan bayar utang merupakan kezhaliman. Jika di
antaramu diserahi orang yang mampu, maka terimalah. Hr. al-Bukhari dan Muslim.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa (1) memperlambat bayar utang, padahal sudah punya untuk
membayarnya, sama dengan berbuat zhalim, (2) jika yang punya utang melimpahkan tanggung
jawabnya kepada yang mampu, boleh saja diterima.
َّ ُ‫ع ْنهُ َو َم ْن أ َ َخذَ يُ ِري ُد ِإتْ َالفَ َها أَتْلَفَه‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫اس يُ ِري ُد أَدَا َء َها أَدَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ‫َم ْن أ َ َخذَ أ َ ْم َوا َل الن‬
Barangsiapa yang meminjam harta orang lain, kemudian berusaha ingin membayarnya,
Allah akan memberikan kemudahan untuk membayarnya. Barangsiapa yang meminjamnya
untuk merusaknya, maka Allah akan merusaknya. HR.Al-Bukhari.
Berdasar hadits ini orang yang meminjam sesuatu pada orang lain dan tidak bermaksud
membayarnya, maka akan menderita kesulitan untuk membayarnya. Sebaliknya orang yang
berkeinginan keras untuk membayar utang, Allah akan memberikan kemudahan. Jika sampai
akhir hayat belum dibayar, maka akan menjadi beban berkepanjangan. Rasul SAW bersabda:
َ ‫س ا ْل ُم ْؤ ِم ِن ُم َعلَّقَةٌ ِب َد ْينِ ِه َحتَّى يُ ْقضَى‬
ُ‫ع ْنه‬ ُ ‫نَ ْف‬
Jiwa seorang mu`min terikat dengan utangnya hingga dibayar. Hr. al-Syafi’iy, al-Turmudzi.
Rasul SAW enggan melakukan shalat jenazah yang meninggalkan utang, sehingga ada yang
menanggungnya untuk membayar.
َ ‫الر ُج ِل ا ْل ُمت َ َوفَّى‬
ُ‫علَ ْي ِه ال َّد ْين‬ َّ ِ‫سلَّ َم كَانَ يُ ْؤتَى ب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّ َر‬ َّ ‫ع َْن أَبِي ُه َري َْرةَ َر ِض َي‬
َ ُ‫َّللا‬
‫احبِ ُك ْم فَلَ َّما‬ ِ ‫ص‬َ ‫علَى‬ َ ‫صلُّوا‬ ْ ‫صلَّى َوإِ َّال قَا َل ِل ْل ُم‬
َ َ‫س ِل ِمين‬ َ ‫ِّث أَنَّهُ ت َ َركَ ِل َد ْينِ ِه َوفَا اء‬
َ ‫ض اال فَ ِإ ْن ُح ِد‬ ْ َ‫سأ َ ُل َه ْل ت َ َركَ ِل َد ْينِ ِه ف‬
ْ َ‫فَي‬
ُ‫علَ ْي ِه ا ْلفُتُو َح قَا َل أَنَا أ َ ْولَى بِا ْل ُم ْؤ ِمنِينَ ِم ْن أ َ ْنفُس ِِه ْم فَ َم ْن ت ُ ُوفِِّ َي ِم ْن ا ْل ُم ْؤ ِمنِينَ فَت َ َركَ َد ْيناا فَعَلَ َّي قَضَا ُؤه‬ َّ ‫فَت َ َح‬
َ ُ‫َّللا‬
‫َو َم ْن ت َ َركَ َم ااال فَ ِل َو َرثَتِ ِه‬
Dari Abi hurairah diriwayatkan bahwa dihadapkan kepada Rasul SAW seseorang yang
wafat meninggalkan utang. Beliau bertanya kepada keluarganya apakah al-marhum
meninggalkan harta untuk membayar utang? Jika dikatakan bahwa al-marhum punya harta untuk
membayarnya, maka beliau langsung menyolatinya. Jika ternyata al-marhum tidak punya harta
untuk membayar utangnya, maka Rasul bersabda: Shalatlah kailan untuk shahabat kalian!
Namun tatkala Allah SWT memberikan kemenangan di berbagai peperangan, Rasul bersabda
aku adalah wali bagi orang mu`min. Barangsiapa yang mempunyai utang aku membayarkannya.
Barang siapa yang meninggalkan harta, maka untuk ahli wrisnya. HR.Al-Bukhari dan Muslim.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasul enggan melakukan shalat jenazah al-marhum yang
meninggalkan utang. Orang yang punya utang, shalat jenazahnya diserahkan kepada shahabat.
Ketika telah berhasil meraih kemenangan, utang al-Marhum dibayar terlebih dahulu oleh harta
yang telah terkumpul di tangan Rasul SAW. Hal ini menunjukkan betapa penting membayar
utang sebelum menghadapi kematian. Harta warisan pun, sebagaimana dikemukan dalam surat
al-nisa: 11-12, baru bisa dibagikan apabila telah terpenuhi membayar utang.
Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan
menjaminkan kepadanya baju besi (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Anas r.a berkata: “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahaudi dan
mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.” (HR Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu
Majah).
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung resikonya.”( HR al-Syafi’i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah)

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biaya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang
yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan
dan pemeliharaan.”( HR Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah berkata: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh
ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung
jawabnyalah bila ada kerugian (atau biaya).” (H.R Syafi’i dan Daruqutni).

2.5 Beberapa Pembelajaran yang Dapat Diambil[7]


1. Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun
jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi saksi. Jika
ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan adanya jaminan.
2. Prisnsip mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak. Untuk
menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan.
Namun kalau semuanya saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan
menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan tetap
menjaga amanah.
3. Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran,
merupkan ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan
bersaksi palsu termasuk dosa besar.
4. Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli, utang piutang, atau
mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa. Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga
amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi hal-hal yang merugikan fihak manapun.
5. Allah SWT maha mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap insan mesti tetap menjaga
kejujuran, menegakkan kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian.
Orang yang menyembunyikan kesaksian akan diungkap kesalahannya oleh yang Maha
Mengetahui.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang rahn (gadai) adalah Q.S Al-Baqarah ayat 283
yang mempunyai kandungan dibolehkannya memberi barang tanggungan sebagai jaminan
pinjaman, atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan perjalan,
tetapi itu bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan, orang yang
melakukan utang-piutang harus saling mempercayai, jaminan bukanlah berbentuk tulisan atau
saksi, tetapi melainkan kepercayaan dan amanah timbal-balik karena itu lanjutan ayat itu
mengingatkan agar, dan hendaklah ia, yakni yang menerima atau memberi, bertakwa kepada
Allah Tuhan Pemelihara-nya

[1]
Blog Ekonomi Islam_ Gadai _Tafsir Ayat-ayat Al-Quran_ diakses pada 28 November 2015 pukul 13.42
[2]
Muhamad Sholikul Hadi. Pegadaian Syari’ah. Jakarta: Salemba Diniyah. 2003. 63.
[3]
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2000. 570.
[4]
Tengku Muhamad Hasbi Ash-Shiddieqi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur.Semarang.PT.Pustaka Rizki
Putra 2000.505
[5]
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. 571.
[6]
Hasbi Ash-Shiddieqi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. 506.
[7]
Blog Saifuddin ASM_al-baqarah_283 (PERSAKSIAN DAN JAMINAN DALAM UTANG PIUTANG) diakses
pada 28 November 2015 pukul 13.57

You might also like