You are on page 1of 7

Bukan Sampah Biasa

Setelah pengalaman yang mengusikku selama 365 hari itu berakhir, aku mulai berani
menunjukkan taringku kepada semua orang: kepada mereka yang mengejekku,
menggunakanku sebagai bahan ejekan, hinaan dan fitnahan, dan kepada mereka yang
meragukan kemampuanku sebagai pelajar berseragam merah dan putih. Usiaku masih
sepuluh tahun saat itu, tetapi aku merasa bahwa pengalamanku disakiti orang lain bisa
menjadi pelajaran bagus untukku, dan untuk semua orang yang mengalami hal seperti
aku.

Beberapa bulan setelah aku menikmati kelegaan hidup, aku hampir kena masalah lagi
setelah berbohong kepada guru. Masalahnya sepele, saat sedang membersihkan
kelas, guru itu meminta murid-muridnya untuk membuang sampah yang ada di kolong
meja, di tempat sampah. Aku membuang serpihan-serpihan kertas yang ada di kolong
mejaku, entah punya siapa (kurasa itu milikku, tetapi aku tidak sungguh-sungguh ingat),
di luar jendela, yang langsung berhubungan ke kolam renang TK sekolahku. Sekolahku
berbentuk yayasan, saat itu ada dua jenjang di yayasan, TK dan SD.

Entah kenapa mata si guru sedang mengarah padaku dan dia, “Ayu, kamu buang
sampah ke mana?” teriaknya. Aku, si anak kecil yang mudah terkejut, terperanjat
mendengar teriakannya. Kertas-kertas itu sudah terlanjur meluncur ke bawah, aku
bahkan tak bisa memastikan kembali apakah kertas-kertas itu sudah di sana, mungkin
mereka mau berubah pikiran dan terbang ke atas untuk menyelamatkan kulit-kulitku
yang mulai terasa dingin dan kasar, akibat dari keterkejutan. Ibarat kucing, rambut-
rambut kulitku sudah meremang.

Aku gelagapan untuk beberapa saat sampai dia berteriak untuk yang kedua kalinya dan
memintaku mengambil sampah sobekan itu. Aku berlari ke luar kelas—seakan-akan
aku benar-benar ingin mengambilnya. Dikuasai oleh rasa takut, aku melangkah
perlahan, sangat perlahan menuju kolam renang TK sampai-sampai aku tidak bisa
merasakan kaki dan keringat dinginku. Perkataannya yang tajam dan nadanya yang
sinis yang memaksaku ke sini. Jika aku menuruti egoku, pastilah aku akan bertahan di
kelas dan membangkangnya dengan tidak mengambil sobekan-sobekan kertas itu dan
turut pulang bersama teman-teman, menjadi anak nakal dalam sehari, yang berimbas
cap selama berhari-hari, mungkin sampai aku lulus SD.

Kakiku masih tidak bergerak untuk beberapa saat. Aku hanya mondar-mandir di sekitar
lorong penghubung antara TK dengan SD. Pagar menuju TK terbuka, kelasnya sudah
dibubarkan. Memang, sih sudah tidak ada orang di sana. Namun, meskipun tidak ada
yang memperhatikanku mengambil sobekan-sobekan kertas itu, aku merasa malu
seakan-kan ada yang melihat, dan seakan-akan tindakanku ini sangat fatal dan
berpengaruh terhadap karier akademisku di SD. Tidak juga, kan? Aku mondar-mandir
selama lima menit, sampai-sampai petugas kebersihan sekolah memergoki tindakan
mencurigakanku dan bertanya aku mau ke mana. “Eeeh, mau ke toilet,” kilahku.
Seandainya aku menyalami tangan petugas itu seperti yang biasa kulakukan terhadap
guru-guruku, pastilah dia akan mengira aku sedang menahan buang air besar.

Akhirnya, setelah mengucapkan bismillah sebanyak tiga kali dan menghirup dan
membuang napas sebanyak tiga kali juga, sembari berharap semoga tidak ada guru
atau siapapun memergokiku lagi dan memaksaku untuk menjelaskan sebab aku berada
di sana saat jam pulang sekolah, aku melangkah dengan mantap —dan setengah
bergetar— menuju kolam renang TK. Aku sedikit mengintip ke arah jendela kelasku
sebelum aku benar-benar masuk. Beberapa temanku menengok ke arahku dan
mengisyaratkan supaya aku cepat membuang sampah dan lekas pulang. Tas sudah
disandangkan di punggung masing-masing dan mereka berdoa pulang, tanpa
menungguku.

Entah kenapa, gerakanku kupercepat saat memungut sobekan-sobekan itu. Langsung


kubuang ke tempat sampah dan… lari. Namun, lariku pun kuperlambat tiba-tiba ketika
aku menyadari seluruh kelas akan melihat ke arahku dan berpikiran jelek terhadapku.
“Makanya, jangan buang sampah sembarangan!” “Ih, nanti dia bakal dimarahi Pak
Jainal lho!” “Bagaimana rasanya dimarahi Pak Jainal? Haha!” Aku kembali
menghentikan langkahku di tempat yang sama, di pagar penghubung TK dan SD.
Menunggu sampai kelas kosong lalu aku bisa ke kelas dengan perasaan aman.
Sungguh melelahkan dan membosankan, aku harus berkali-kali memastikan kalau
teman-temanku sudah ke luar kelas semua dengan melongok dari jarak jauh.
Setelah yakin kondisi sudah aman, aku masuk ke kelas. Takut-takut kupandang wajah
wali kelasku, Pak Jainal. Atau Zainal. Wah, aku lupa ejaannya. Beliau selalu memanggil
dirinya dengan huruf J, bisa saja namanya Zainal tetapi ejaannya dipermudah dengan
huruf J. Seperti ketika seseorang bernama Rosyid, untuk mempermudah panggilannya,
orang-orang malah memanggilnya Rosid, yang justru akan terdengar seperti Rosit.

“Siapkan tasmu, kamu harus buru-buru pulang,” kata Pak Jainal pelan. Beliau sedang
merapikan mejanya juga, bersiap kembali ke ruang gurunya. Percaya atau tidak,
meskipun tidak meneriakiku seperti tadi, badanku masih terasa gemetaran. Saat aku
merapikan buku-bukuku, aku bisa merasakan ujung kepala hingga ujung kakiku kaku
dan dingin seketika, gerakanku tidak beraturan. Banyak barang-barangku yang harus
kurapikan dua kali karena berjatuhan dari tanganku.

Sebelum aku pulang, “Sini dulu.” Aku sudah tahu ini akan terjadi. Aku membayangkan
diriku dimarahi sebelum pulang sekolah. Saat aku sudah menyandang tas punggungku,
tiba-tiba aku merasa apa yang kupikirkan di dalam otakku akan menjadi kenyataan. Aku
dimarahi selama setengah jam, keringat dingin bercucuran di seluruh tubuh, aku
memainkan jari-jariku, dan aku berdoa dalam hati semoga Mama menjemputku dan
membawaku pulang. Sebelumnya, beliau akan menunduk meminta maaf ala orang
Jepang dan berjanji putrinya yang bermasalah ini tidak akan mengulangi kesalahannya
lagi.

Namun, aku salah. Sangat salah. Justru, momen aku berhadapan dengan Pak Jainal,
duduk di depan wajahnya, dan tidak berani menatap matanya inilah yang mengubah
hidupku selamanya.

“Mengapa kamu berbohong?”

Tatapan matanya jelas menyiratkan bahwa beliau —kesampingkan amarahnya yang


tidak terbaca— kecewa terhadapku. Beliau kecewa terhadap perilakuku yang tidak jujur
hari ini. “Maaf, Pak…”

“Tapi, kenapa?” tegasnya lagi. Aku tahu kali ini aku harus jujur. Sudah tidak apa-apa,
kok. Teman-teman sudah pulang semua, apapun yang akan kukatakan tidak akan
berpengaruh pada siapapun, kecuali padaku dan Pak Jainal. Dia akan menjadikan hal
ini sebagai catatan hariannya, sementara aku akan menjadikannya sebagai
pengalaman yang sekadar lewat saja.

Aku semakin tidak bisa menatapnya. Wajahnya yang tidak menyeramkan, tidak
menakutiku. Hanya saja, wajahnya yang sayu dan selalu terlihat letih, dilengkapi
dengan matanya yang berkantung dan hampir tanpa ekspresi, ditambah peristiwa tadi
mengisyaratkan padaku bahwa dia tidak sedang main-main sekarang ini. Beliau tidak
sedang berusaha menghukumku, beliau…

“Saya… saya… cuma takut dimarahi Bapak.”

“Tidak bisa dijadikan alasan. Kamu tahu? Kamu harus menghadapi risiko akibat
perbuatanmu barusan. Bapak marah karena kamu membuang sampah sembarangan.
Bapak marah karena kamu berusaha mengelak kalau kamu tidak sedang melakukan
apa-apa, padahal Bapak jelas-jelas melihatmu buang sampah di luar jendela.
Seandainya kamu jujur, Bapak tidak akan berteriak seperti tadi. Mungkin saya akan
tetap marah, tetapi saya tidak perlu meneriaki kamu.”

Aku terdiam, mendengarkan. Aku hampir menangis. Bibirku bergetar, tetapi kutahan.
Kepalaku semakin tertunduk. Tidak pernah ada orang yang berhasil menegurku
sedalam ini, tidak orangtuaku, juga para penggencetku dahulu. Akhirnya, aku menangis
juga, nyaris tanpa suara. Pertahananku runtuh, aku tetap tidak bisa menatapnya. Aku
terlalu takut. Sangat takut.

“Maaf, Pak. Saya… saya janji tidak akan mengulanginya lagi. Saya tidak akan
berbohong dan buang sampah sembarangan lagi.” Ya, janji anak SD kuno semacam
itulah yang kulontarkan padanya.

Beliau menepuk punggung tanganku. “Sudah, sudah. Kali ini, tidak apa-apa. Bapak
kecewa sama kamu untuk hari ini, tetapi Bapak juga bangga sama kamu karena kamu
berani menghadapi risiko yang kamu timbulkan,” katanya. Ekspresinya selalu kosong.
Beliau tidak tersenyum, tetapi aku merasakan di saat yang sama, beliau sudah tidak
semarah tadi.
“Sekarang, kamu boleh pulang. Hati-hati di jalan, ya, dan…” dia berhenti sejenak,
kemudian berkata lagi, “jangan terlalu masukkan ke hatimu. Maafkan Bapak, ya kalau
terlalu keras menegurmu.”

Tidak, Bapak salah. Sangat salah jika beliau memintaku untuk tidak memasukkannya
ke hati dan pikiranku. Peristiwa itu terjadi sudah lama sekali, sekitar tahun 2005 atau
2006. Tepatnya, aku tidak ingat. Saat itu, aku duduk di kelas 5 SD dengan wali kelas
bernama Pak Jainal. Suatu kali, aku ditegur dengan keras pada awalnya olehnya
karena aku sempat mengelak telah membuang sampah sembarangan. Setelah sesi
menegur itu selesai, beliau memintaku untuk tidak memasukkan hal itu ke hati anak
kecilku karena takut aku tersinggung, yang terburuk, beliau takut aku membencinya.

Aku tetap mengingat peristiwa itu sepanjang hidupku, aku tidak pernah lupa. Aku
menyimpannya dengan baik di hati dan pikiranku, malah jika bisa, mungkin aku sudah
memasukkan peristiwa itu ke dalam sebuah arsip khusus, yang kuberi label: peristiwa
berharga yang mengubahku. Dengan mengingatnya, bukan sakit hati atau tersinggung
yang muncul, aku tidak pernah merasa marah. Sebaliknya, aku sangat berterima kasih.
Setiap kali aku mengingatnya, justru aku selalu merasa malu, di saat yang sama, aku
juga selalu merasa bersyukur. Tuhan berikan sebuah peringatan halus melalui kejadian
kecil yang bisa dibilang hampir tidak berarti itu, mengingat betapa lamanya peristiwa itu
telah berlalu.

Entah kapan pastinya, yang jelas, setelah Pak Jainal menegurku, aku tidak berani lagi
membuang sampah sembarangan. Di jalan, di lantai kantin, kelas, atau rumahku
sendiri, bahkan tidak di kolong mejaku. Bukan karena aku takut Pak Jainal akan
memergokiku lagi, atau guru lain yang akan memergokiku. Aku melakukannya karena
kesadaran diriku, ternyata membuang sampah pada tempatnya itu perlu, wajib, harus
dilakukan.

Kesadaran itu memang tumbuh setelah peristiwa itu, artinya aku kapok dan aku telah
belajar bahwa yang salah itu adalah salah. Sampah sekecil apapun harus kubuang di
tempat sampah. Kalau aku tidak menemukan tong sampah atau sejenisnya, aku akan
menyimpannya di dalam tasku sampai aku menemukan tempat sampah dan
membuangnya. Melihat banjir dan sungai yang terlalu kotor dan padat barang yang
seharusnya tidak ada di sana, jalan raya yang penuh bungkus permen, kantung plastik,
dan kertas-kertas yang beterbangan di jalan dan bisa membahayakan pengemudi, aku
paham mengapa aku sampai dimarahi guruku gara-gara membuang sobekan-sobekan
kertas. Mungkin sobekan itu sepele, tetapi jika semua orang membuang sobekan-
sobekan bukan pada tempatnya, maka sobekan-sobekan itu akan terkumpul dan
menjadi sampah yang menumpuk, merusak pemandangan dan menjadikan
sekelilingnya tidak bersih.

Sekarang, aku malah sebal kalau melihat ada sampah di dekatku atau saat temanku
membuang sampah di jalan di depan mataku. Sambil marah-marah, aku akan
mengambil sampah yang dibuangnya dan menunjukkan di mana seharusnya sampah
itu berada. Aku dikenal sebagai orang yang disiplin sampah. Jika ada yang membuang
sampah sembarangan dan aku mengambilnya sambil marah-marah, menunjukkan
wajah yang tidak menyenangkan dan ngedumel sampai sampah itu dibuang, maka
teman atau keluargaku akan berkata, “Tuh, makanya jangan buang sampah di depan
dia. Tiru dia, dong!”

Aku tahu, sebenarnya mereka sedang bercanda dan tidak terlalu menanggapiku
dengan serius. Aku ingin terus menunjukkan pada semua orang bahwa sampah punya
‘rumah’ sendiri, jika dibuang tidak pada tempatnya, maka akan ada risiko yang harus
ditanggung. Banjir, bau tak sedap, tanah longsor… Aku membuang sampah
sembarangan dan bersyukur karena risiko yang kutanggung hanyalah berupa teguran
kecil, dari sesama manusia yang berbeda umur. Aku tidak mau mengulanginya lagi,
dan tidak ingin siapapun mengulanginya lagi, bisa saja bukan hanya manusia yang
akan menegur, alam pun suatu saat juga akan menegur dengan cara yang tidak
terduga, dan tidak terelakkan.

Aku bersyukur karena teguran halus itu tidak pernah kusepelekan. Ungkapan yang
mengatakan, “Kebersihan itu sebagian dari iman” ternyata benar adanya. Dengan
mensyukuri kebersihan, aku mensyukuri kehadiran seseorang yang sangat
berpengaruh pada diriku. Seseorang yang tidak sadar telah mengubah gaya hidupku
selamanya dan membuatku konsisten dengan komitmen menjalankan hidup dengan
kebersihan, juga meningkatkan imanku terhadap Yang Maha Kuasa karena tangan-Nya
yang Maha Besar menunjukkan kuasa padaku yang memang secara tidak langsung
menambah keimananku kepada-Nya.
Aku bersyukur bahwa dari miliaran umat manusia di muka bumi ini, aku salah satu dari
sekian banyak orang yang cara pandangnya diubah dengan baik, yang dapat
berpengaruh bagi orang banyak. Aku dapat kesempatan untuk belajar lebih menghargai
orang lain, dan juga menghargai alam dan lingkungan sekitarku. Dari sekian banyak
orang, di usia muda, aku dapat kesempatan untuk memahami lebih cepat bahwa bukan
hanya orang lain yang bisa marah atas perilaku kita, alam pun bisa bereaksi jika kita
tidak berperilaku sesuai kehendaknya. Dan, meskipun belum kujalani secara utuh, aku
masih berusaha untuk tidak mengatakan kebohongan. Sepahit apapun kebenaran,
harus kusampaikan. Untuk yang satu ini, aku belum sepenuhnya pulih dari kebiasaan
berbohong. Namun, aku tahu, bahwa berbohong memiliki dampak sangat panjang
dalam kehidupan. Karena kejujuran berhubungan sangat erat terhadap kepercayaan
yang diberikan kepada seseorang, terutama dari perkataan dan perilaku kita di mata
orang lain, juga menjadi bahan pertimbangan Tuhan untuk menggolongkan kita sebagai
makhluk yang taat

You might also like