You are on page 1of 4

15.

Ringkasan Keuangan Publik


Tentang
Pajak dan Penawaran Tenaga Kerja (Taxes on Labor Supply)

I. Pengantar
Antara th. 1987 dan 1988, Islandia merombak sistem perpajakannya. Sebelum
perombakan,pekerja membayar pajak atas penghasilan untuk tahun sebelumnya
(seperti yang dilakukan di Amerika Serikat)
Sistem baru itu menetapkan bahwa pekerja membayar pajak penghasilannya setiap
mereka menerima gaji. Selama peralihan ke sistem baru tersebut, para pekerja
membayar pajak atas penghasilan 1986 mereka pada tahun 1987, dan kemudian
membayar pajak atas penghasilan 1988 mereka pada tahun 1988. Dengan demikian,
maka penghasilan 1987 tidak dikenakan pajak! Untuk satu tahun tersebut , tarif pajak
pendapatan tenaga kerja adalah nol.
Pertanyaan muncul apakah perubahan radikal dalam beban pajak tersebut benar-
benar memengaruhi keputusan pekerja tentang berapa jam mereka bersedia bekerja?
Bianchi, Gudmundsson, dan Zoega (2001)kemudian menyelidiki masalah ini
dengan memeriksa tanggapan pekerja Icelandic terhadap hal ini. Hasil
penyelidikannya mnemukan bahwa dalam satu tahun "liburan pajak," ditemukan
banyak dampak pada pasokan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Rata-rata,
kenaikan masing-masing 1% setelah -tax upah menyebabkan pekerja bekerja lebih
banyak dari sebelumnya, sehingga lama pekerjaan melonjak pada tahun 1987 dari
78% menjadi 85%, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 21-1.

Penelitian terhadap Penawaran Tenaga Kerja Islandia


Untuk tahun 1987, penduduk Islandia tidak membayar pajak atas penghasilannya.
Hasilnya terlihat lonjakan tingkat tenaga kerja pada tahun tersebut .

Di samping itu, GDP riil juga melonjak dari jumlah rata-rata tahunan 4,3% menjadi
8,5%. Dampak tersebut, bagaimanapun bersifat sementara karena pada tahun 1988,
angka-angka tersebut telah turun kembali ke tingkat yang hampir sama dengan
sebelum taxreform
Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa kebijakan perpajakan dapat memengaruhi
keputusan penting yang diambil oleh pekerja seperti berapa lama mereka bersedia
untuk bekerja. Keadaan tersebut menggambarkan pertentangan antara keadilan pajak
dan efisiensi, karena dalam merencanakan kebijakan perpajakan mungkin ditempuh
kebijakan keadilan perpajakan, namun hal tersebut mengakibatkan dasar pengenaan
pajak menurun dan hal ini mungkin merugikan perekonomian
Apakah pengurangan basis pajak ini benar-benar menurun, sebenarnya tergantung
seberapa responsifnya pembayar pajak dalam menanggapi kebijakan perpajakan.

II. Teori Perpajakan dan Tenaga Kerja


Analisis pajak pendapatan optimal mengilustrasikan pentingnya untuk memahami
bagaimana pasokan tenaga kerja merespons perubahan dalam perpajakan. Jika
individu mengurangi usaha kerja mereka karena kenaikan pajak penghasilan, maka
kenaikan pajak penghasilan tersebut bisa mengakibatkan DWL.

a. Dasar teori
Kerangka teoritis untuk menilai bagaimana pajak pendapatan memengaruhi
pasokan tenaga kerja adalah sama seperti yang digunakan untuk memodelkan
pengaruh upah terhadap tenaga kerja di Indonesia yang dapat diilustrasikan dalam
Gambar 21-2.

Trade-off antara Perpajakan dan Kenyamanan Konsumsi


Sebelum pajak dikenakan, Ava kehilangan senilai $12.50 dari konsumsi untuk
setiap jam kesenangan yang dia ambil. Sesudah pajak 0.3 dikenakan, upahnya
menjadi 12.50 x (1-0.3) = 8.75. Berhubung sebagian gaji Eva digunakan untuk
membayar pajak, maka sekarang Eva menerima nilai konsumsi yang lebih kecil
( C2 = 9.652) untuk jumlah pekerjaan/kesenangan yang sama.
b. Substitusi dan Dampak Pendapatan atas Penawaran Tenaga Kerja
(Substitution and Income Effects on Labor Supply)
Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi pada pasokan tenaga kerja akibat pajak
ini karena memiliki dua dampak keseimbangan upah setelah pajak yaitu nilai
waktu luang yang efektif. Jika upah setelah pajak lebih rendah daripada upah
sebelum pajak, maka berarti nilai waktu luang turun.
Penurunan waktu luang akan menyebabkan substitusi terhadap waktu luang
dan waktu untuk bekerja. Penurunan waktu untuk bekerja mengakibatkan Ava
menjadi lebih miskin. Pengurangan pendapatan menyebabkan dia kemampuan
untuk membeli lebih sedikit barang yang iasa dibelinya, termasuk waktu luang
dan lebih sedikit waktu luang berarti lebih banyak waktu untuk bekerja, karena
efek substitusi dan pendapatan pada pasokan tenaga kerja menarik ke arah yang
berlawanan. Dengan demikian kita tidak bisa memprediksi dengan jelas apakah
pasokan tenaga kerja akan naik atau turun sebagai respons terhadap pajak.
Untuk memahami tentang pengaruh pendapatan terhadap pasokan tenaga
kerja kita memikirkan tentang target pendapatan individu. Dalam arti apa
tujuannya untuk menghasilkan sejumlah pendapatan tertentu. Anggaplah bahwa
satu-satunya alasan Ava adalah untuk membeli satu CD setiap minggunya. Jika
dia menghasilkan $ 5 per jam, dan biaya CD $ 20, dia akan bekerja empat jam
setiap minggu. Jika pemerintah memberlakukan pajak 20% terhadap pendapatan
buruh, maka upah setelah pajak akan turun menjadi $ 4, sehingga untuk membeli
CD yang sama, Ava harus bekerja lima jam per minggu. Jadi, dia harus bekerja
lebih keras karena dia memiliki target pendapatan yang dia inginkan. Dalam hal
ini, pengaruh pendapatan mendominasi dampak substitusi berupa peningkatan
jumlah waktu untuk bekerja.

Gambaran tersebut dapat diilustrasikan dalam Gambar 21.3 berikut ini.

Substitusi Versus Income Effect


Di kedua panel, pajak atas pendapatan tenaga kerja menggeser batasan anggaran
ke dalam dari BC1 ke BC2.
(a) Jika efek substitusi dari perubahan upah setelah pajak lebih besar,pekerjaan
kurang menarik dan Ava memilih untuk memiliki lebih banyak waktu luang,
pindah ke 1.200 jam waktu luang di titik B.
(b) Jika pengaruh pendapatan lebih besar, Ava merasa lebih miskin dan dengan
demikian mengurangi waktu luangnya (dengan meningkatkan jam kerja)
Untuk mendapatkan kembali sebagian dari pendapatan yang hilang itu, sehingga
bergeser ke 600 jam waktu luang pada titik C.

c. Keterbatasan Teori: Hambatan pada Jam Kerja dan Aturan Pembayaran


Lembur
Teori dasar tentang pengaruh perpajakan terhadap penawaran tenaga kerja
mengasumsikan pandangan ideal pada pasar tenaga kerja, di mana individu dapat
dengan leluasa menyesuaikan jam mereka secara bertahap sebagai akibat
perubahan kebijakan pajak pemerintah. Di kebanyakan pasar tenaga kerja,pada
kenyataannya individu tidak dapat dengan leluasa menyesuaikan jam kerja mereka
karena perusahaan memerlukan pekerja harus bekerja selama waktu tertentu.
Ketentuan ini bisa disebabkan perusahaan memiliki target produksi, sehingga
penting untuk memiliki banyak pekerja di tempat kerja pada saat bersamaan.
Seorang pekerja yang merupakan bagian dari jalur produksi di pabrik
manufaktur tidak bisa bekerja hanya 32 jam per minggu, sedangkan pekerja yang
lain bekerja 40 jam per minggu.
Kendala lain dalam meningkatkan jam kerja adalah adanya peraturan
pembayaran lembur yang menetapkan bahwa pekerja harus dibayar per jam
sebesar satu setengah kali gaji rutin mereka jika mereka bekerja lebih dari 40 jam
per minggu.Peraturan ini dirasakan oleh perusahaan sangat mahal sehingga
perusahaan enggan mengizinkan pekerja untuk bekerja lembur. Kesimpulannya,
batasan jam seperti itu akan cenderung memaksa pekerja memiliki jadwal kerja
yang seragam, sehingga hal ini menurunkan respon jam kerja kerja sebagai akibat
kenaikan pajak.

You might also like