Professional Documents
Culture Documents
REFLEKSI KASUS
“ANEMIA APLASTIK”
H1A013053
PEMBIMBING
Puji syukur penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan refleksi kasus ini. Refleksi kasus ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pembimbing dr. L Ahmadi Jaya Sp.PD yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tinjauan pustaka ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
refleksi kasus ini.
Semoga refleksi kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya
kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.
Penulis
Halaman Judul 1
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi 5
2.2 Epidemiologi 5
2.3 Etiologi 5
2.4 Patofisiologi 7
2.5 Klasifikasi 9
2.6 Manifestasi Klinis 9
2.7 Diagnosis 10
2.8 Penatalaksanaan 12
2.9 Prognosis 16
BAB III LAPORAN KASUS GINEKOLOGI 18
3.1 Identitas 18
3.2 Anamnesis 18
3.3 Pemeriksaan Fisik 19
3.4 Pemeriksaan Penunjang 24
3.5 Resume 25
3.6 Assessment 26
3.7 Planning 26
3.8 Prognosis 26
BAB IV PEMBAHASAN 27
BAB V PENUTUP 38
DAFTAR PUSTAKA 29
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum tulang
belakang. Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya
ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrofil, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk
kerusakan sumsum tulang lainnya.3
Anemia aplastik merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang
disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia.
Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka
anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan
hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak.3
2.2 Epidemiologi
Insidensi anemia aplastik didapat berkisar antara 2-6 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15-24 tahun, puncak insidensi kedua yang
lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin bervariasi secara geografis.
Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat dibandingkan pada perempuan. Perbedaan umur
dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh faktor risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan
geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.1,4
2.3 Etiologi
Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak kemungkinan yang harus
disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti maka digolongkan ke dalam penyebab
idiopatik. Sebagian besar anemia aplastik bersifat idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa
a. Toksisitas langsung
Iatrogenik: radiasi, kemoterapi
Benzena
Benzena merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia
aplastik. Meskipun diketahui sebagai penyebab, bahan ini sering digunakan dalam
bahan kimia pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah
meledak. Selain penyebab keracunan sumsum tulang, benzena juga menyebabkan
abnormalitas hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum,
metaplasia mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzena dapat meracuni
tubuh dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang
benzena juga dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas
yang kecil.
Metabolit intermediet beberapa jenis obat
b. Penyebab yang diperantarai imun
Iatrogenik: transfusion associated graft versus host disease
Fasciitis eosinofilik
Infeksi
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya
kegagalan sumsum. Virus epsteinbarr ditemukan di sumsum beberapa pasien,
tanpa riwayat infeksi epsteinbarr sebelumnya. Sitomegalovirus dapat menekan
produksi sel sumsum tulang.4
Kehamilan
Pada kehamilan, kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang
yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen pada
seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darag atau
tidak ada perangsang hematopoesis.
Metabolit intermediet beberapa jenis obat
Anemia aplastik didapat dan anemia aplastik herediter memiliki etiologi yang berbeda,
seperti yang terlihat dalam tabel berikut4:
2.4 Patofisiologi
2.5 Klasifikasi
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan.
Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis yang muncul. Anemia dapat menyebabkan
fatig, dispnea, dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan
perdarahan mukosa. Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (ekimosis), bintik
merah (pteki) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, dan pendarahan pada
hidung (epitaksis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur.
Pendarahan organ dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal. Neutropenia
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala, demam,
sesak napas, penglihatan kabur, telinga berdenging.1,3,6
2.7 Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia yang ditandai oleh
anemia, leukopenia, dan trombositopenia pada darah tepi. Keadaan inilah yang menimbulkan
keluhan pucat, perdarahan, dan demam yang disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik
secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau pendarahan. Pada pemeriksaan
fisik biasanya tidak ditemukan hepatomegali maupun splenomegali. Disamping keadaan
pansitopenia, pada hitung jenis juga menujukkan gambaran limfositosis relatif.1,2,3,7
Penegakkan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit,
hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi tulang.1
a. Pemeriksaan Darah Tepi
Jenis anemia yang terjadi adalah anemia normokrom normositik. Adanya eritrosit muda
dan leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Grnaulosit dan
trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada 75% kasus. Persentase
retikulosit umumnya normal.
b. Laju endap darah
Laju endap darah selalu meningkat.
Gambar 3. Spesimen sumsum tulang dengan biopsy pada pasien normal (A) dan pasien
anemia aplastik (B)3
Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak
kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk
mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari
pada meningkatnya elemen ini.3
e. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Dapat digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik.
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena
dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berselular.
2.8 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk anemia aplastik adalah transplantasi sumsum tulang. Namun kuragnya
fasilitas dibanyak tempat, serta batasan klinis termasuk usia (55 tahun) menyebabkan perlunya
diberikan berbagai modalitas terapi lain.1
Terapi Imonosupresif
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien
anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah2:
Terapi Kombinasi
Kombinasi obat-obat imunosupresan pada terapi pasien anemia aplastik hasilnya Iebih
memuaskan dibandingkan dengan imunosupresan tunggal. Kombinasi ALG, metilprednisolon
dan siklosporin A menghasilkan remisi parsial atau total sebesar 65%.2
Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda dengan dosis
20mg/kg per hari selama 4 hari atau ATG kelinci dengan dosis 3,5mg/kg per hari selama 5 hari
ditambah CsA 2qwa12-15mg/kg dua kali per hari selama 6 bulan.1
ATG atau ALG diindikasikan pada anemia aplastik bukan berat, pasien tidak mempunyai
donor sumsum tulang yang cocok, anemia aplastik berat yang berumur lebih dari 20 tahun dan
pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan dengan granulosit lebih dari
200/mm3.1
Transplantasi allogenik teredia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% yang
mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan
kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94% (dengan donor saudara yang cocok). Batas usia
untuk TST sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 30
tahun, lebih baik dipilih terapi imunosuprsif intensif sebagai upaya pertama.1
Terapi Suportif
Tidak banyak kemajuan yang dicapai dalam pengobatan terhadap anemia aplastik dalam
satu dekade terakhir di luar modalitas yang telah diuraikan diatas. Karena itu, peran terapi
Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit sampai hemoglobin 7-8g%
atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Transfusi ini dapat
berlangsung berulang-ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi
seperti reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan penimbunan
zat besi. Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/mm3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat perdarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
(profilaksis).1,2,5
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih controversial dan tidak dianjurkan
karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang
ditransfusikan sangat pendek. Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia,
dapat diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi. Kebersihan kulit dan
perawatan gigi yang baik sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya berat dan sering
menjadi penyebab kematian. Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan
pemeriksaan kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila
dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis tinggi secara
intravena dan kalau penyebab demam dipastikan bakteri terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari
atau sampai hasil kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotic
secara empiris dapat diberikan anti jamur.1,2
2.9 Prognosis
Prognosis penyakit ini suka diramalkan namun pada umumnya buruk. Sekitar 2/3 pasien
meninggal 6 bulan setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-20% sembuh tanpa transplantasi
sumsum tulang, dan 1/3 pasien meninggal akibat perdarahan dan infeksi yang tidak teratasi.
Penyebab kematian umumnya adalah sepsis akibat infeksi Pseudomonas dan Stafilokokus. Pada
pasien berusia dibawah 20 tahun, angka harapan hidup setelah TST adalah sebesar 80%,
sedangkan pada pasien berusia 20-50 tahun, angka harapan hidupnya 65-70%.2,8
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUP NTB dengan keluhan lemas diseluruh
badan, lemas dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Pada awalnya lemas dirasakan
tidak mengganggu aktivitas pasien, namun semakin lama dirasakan semakin
mengganggu aktivitas, saat pasien berjalan badan terasa seperti akan jatuh dan kepala
pusing. Selain itu pasien juga mengeluhkan gusi pasien berdarah sehari sebelum
datang ke Poli Penyakit Dalam. Keluhan perdarahan tersebut sudah dialami pasien
berulang kali sejak 1 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan BAB darah segar (+).
Riwayat epistaksis (-), BAB hitam (+) 3 minggu yll, dan BAK berwarna teh (-).
Keluhan demam disangkal saat pemeriksaan, namun pasien mengaku sudah
mengalami demam, batuk, dan pilek 4 kali dalam satu bulan terakhir. Demam terus-
menerus sepanjang hari dan membaik dengan pemberian antipiretik. Keluhan dada
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Rhonki basah :
- -
- -
- -
Wheezing:
- -
- -
- -
Abdomen:
1. Inspeksi:
• Distensi (-), ascites (-), mengikuti gerak nafas, darm countuor (-), darm steifung (-).
• Umbilikus: masuk merata
• Permukaan kulit: ikterik (-), vena collateral (-), massa (-), caput medusae (-), spider
naevi (-), scar (-), striae (-), ruam (-)
2. Auskultasi:
• Bising usus (+) normal, frekuensi 18 x/menit
• Metallic sound (-)
• Bising aorta (-)
3. Perkusi:
• Orientasi :
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Ekstremitas:
Akral hangat : + + Sianosis : - -
+ + - -
Edema : - - Clubbing finger : - -
- - - -
Deformitas : - - Ikterik : - -
- - - -
3.5 RESUME
Pasien laki-laki berusia 29 tahun datang ke Poli Penyakit Dalam RSUP NTB dengan
keluhan lemas diseluruh badan, lemas dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Pada
awalnya lemas dirasakan tidak mengganggu aktivitas pasien, namun semakin lama
dirasakan semakin mengganggu aktivitas, saat pasien berjalan badan terasa seperti
akan jatuh dan kepala pusing. Pasien juga mengeluhkan BAB darah segar (+). BAK
dalam batas normal. Riwayat perdarahan mukosa (+) dan riwayata BAB hitam (+),
riwayat demam berulang (+).
Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum pasien sedang, gizi cukup, dan
kesadaran composmentis. Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 112x/menit dan
regular, suhu 37 0C, pernapasan 20 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
tidak didapat kelainan, peristaltik (+) kesan normal, organomegali (-).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan, penurunan kadar Hb kesan anemia berat
normositik normokromik, leukopenia, trombositopenia, dan limfositosis.
3.7 PLANNING:
Planning Diagnostik
Aspirasi sumsum tulang
Planning Terapi
Medikamentosa :
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ciprofloxacin 2 x 500mg/hari
Transfusi PRC 5 kolf
Non-Medikamentosa
Tirah baring
Edukasi:
- Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai keadaan pasien dan penyakit yang
dialaminya.
- Menjelaskan mengenai pemeriksaan lanjutan yang diperlukan, rencana pengobatan
yang diberikan dan rencana terapi lanjutan yang akan diberikan.
3.8 PROGNOSIS :
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungtionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
PEMBAHASAN
Pada pasien ini ditemukan gejala pansitopenia yang terdiri dari anemia, leukopenia, dan
trombositopenia. Gejala anemia yang muncul pada pasien ini antara lain merasa lemas, serta
tanda anemia seperti kondisi umum pasien yang lemah, dan konjungtiva pucat/anemis.
Berdasarkan hal tersebut saya menduga pasien mengalami anemia. Anemia dapat disebabkan
oleh penurunan produksi eritrosit (oleh karena kurangnya intake untuk bahan baku pembuatan
eritrosit dan gangguan pada hormon pembentuk eritrosit) maupun peningkatan
pengeluaran/penghancuran eritrosit (perdarahan, hemolitik). Gejala trombositopenia yang
terdapat pada pasien ini antara lain perdarahan mukosa dan BAB darah segar. Sedangkan
leukopenia pada saat ini tidak menunjukkan gejala, namun pasien memiliki riwayat infeksi
berulang satu bulan terakhir ini yang dapat disebabkan oleh leukopenia.
Pansitopenia pada pasien ini diduga disebabkan oleh adanya gangguang pada sel
hemopoetik pada sumsum tulang pasien yang menyebabkan penurunan semua produksi sel
darah, seperti pada kondisi anemia aplastik. Pada anemia aplastik gangguan sumsum tulang
dapat disebabkan cedera hematopoetik langsung akibat faktor lingkungan, kerusakan sel induk,
atau penekanan produksi sel sumsum tulang. Etiologi anemia aplastik pada pasien ini
kemungkinan idiopatik, karena tidak adanya riwayat terpapar faktor risiko anemia aplastik.
Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan manifestasi klinis berupa lemas, konjungtiva
pucat, riwayat perdarahan mukosa, dan riwayat infeksi berulang. Manifestasi klinis juga
didukung hasil pemeriksaan darah lengkap dimana didapatkan Hb 6,4 g/dl (menurun), RBC 2,04
(106/µL) (menurun), dan leukosit 2,42 (103/µL) (menurun), dan trombosit 27 (103/µL)
(menurun). Untuk menegakkan diagnosis pasti anemia aplastik pada pasien ini, dapat dilakukan
pemeriksaan sumsum tulang.
Pada pasien ini diberikan terapi suportif berupa pemberian cairan intravena (IVFD RL 20
tpm), tranfusi PRC, dan injeksi Ciprofloxacin 2 x 500mg/hari (untuk profilaksis infeksi). Pada
pasien ini dapat dipertimbangkan transplantasi sumsum tulang jika terdapat donor sumsum
tulang yang cocok atau dapat dipertimbangkan terapi imunosupresif agar keluhan pasien tidak
kembali berulang
KESIMPULAN
1
Dalam laporan kasus ini dilaporkan seorang laki-laki berusia 29 tahun dengan keluhan
lemas. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, maka didapatkan diagnosis yang
paling mungkin pada kasus ini adalah anemia aplastik dengan penyebab idiopatik. Pada pasien
ini dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan sumsum tulang sebagai standar baku diagnosis anemia
aplastik. Terapi yang diberikan berupa terapi suportif yaitu transfusi PRC. Dapat
dipertimbangkan pemberiaan terapi definitif pada pasien ini, yaitu transplantasi sumsum tulang
atau terapi imunosupresif.
Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai
oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk kerusakan
sumsum lainnya. Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang
disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan,
rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa
kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Penemuan
laboratorium juga dapat mempertegas diagnosis anemia aplastik antara lain penemuan pada
darah (hapusan darah tepi dan darah lengkap), sumsum tulang, radiologi urin dan plasma darah.
Tedapat beberapa terapi untuk mengatasi anemia aplastik. Secara garis besarnya terapi untuk
anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu: terapi kausal; terapi suportif; terapi untuk
memperbaiki fungsi sumsum tulang; serta terapi definitif.
1. Sudoyo, A. W dkk. Anemia Aplastik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009.
2. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah pada Tatalaksana Anemia Aplastik Didapat. Sari
Pediatri; 2005; 7(1): 26-33. Available from: < https://saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/download/865/799>
3. Laksmi NMD, Herawati S, Yasa IWPS. Anemia Aplastik. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana; 2012. Available from: <
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82562&val=970>
4. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Anemia Aplastic,
Myelodysplasia, and Related Bone Marrow Failure Syndrome. Harrison’s Princeples of
Internal Medicine. 17th Edition. New York: McGrawHill; 2008.
5. Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G. Anemia Aplastik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: FK Unair; 2007.
6. Thaha, Lestari W, Yasa IWPS. Diagnosis, Diagnosis Differensial, dan Penatalaksanaan
Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien Anemia Aplastik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana; 2013. Available from:
<http://download.portalgaruda.org/article.php?article=143942&val=970>
7. Melinkeri SR. Epidemiology, Pathogenesis, and Diagnosis of Aplastic Anemia. Journal
of the Association of Physycian of India. 2015; 5(2): 1-5. Available from:
<http://www.japi.org/march_2015_special_issue/02_epidemiology_pathogenesis_and_d
iagnosis.pdf>
8. Papadakis MA, McPhee SJ. Anemia Aplastic. Current Medical Diagnosis and
Treatment. New York: McGrawHill; 2015.