You are on page 1of 7
Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Risiko dan Tata Laksananya M. Azharry Rully S Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pendahuluan Batu ginjal (urolitiasis) merupakan masalah keschatan yang cukup signifikan, baik di Indonesia ‘maupun di dunia. Prevalensi penyakit ini diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa, dengan puncak usin dekade ketiga sampai Keempat. Angka Kejadian batu ginjal berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia tahun 2002 adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang Selain itu,jumilah pasien yang dirawat mencapai 19.018 orang, dengan mortalitas sebesar 378 orang.' Kemajuan dalam bidang endourologi secara Grastis telah mengubah tatalaksanapasien bau simtomatik yang membutuhkan operasi_terbuka. Perkembangan terapi invasif minimal mutakhir, yaitu retrograde ureteroscopic intrarenal surgery (RRS), pereutaneus nephrolithotomy (PNL), ureteroskopi (URS) dan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) telah memicu Kontroversi mengenai_ teknik mana yang paling efektif.1-4 Dalam memilih pendekatan terapi optimal untuk pasien urolitiasis, berbagai faktor harus dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu (ukuran, jumlah, Komposisi dan lokasi), faktor anstomi ginjal (derajat obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uretero-pelvic junction, divertikel kaliks, dan injal tapal kuda), serta faktor pasien (adanya infeksi, obesitas, deformitas habitus tubuh, koagulopati, usia ‘anak, lanjut usia, riwayat hipertensi, dan riwayat gagal ‘ginjal)." Laporan kasus ini akan memberikan pembahasan yang berfokus pada berbagai faktor risiko serta penatalaksanaan batu saluran kemih pada pasien wanita, Mustrasi Kasus Pasien wanita, Ny. SHL berusia 31 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, datang dengan keluhan nyeri pinggang kanan yang memberat sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Nyeri tersebut menjalar hingga ke perut bawah dan kemaluan. Nyeri pinggang kiri (+), penjalaran tidak jelas. Nyeri saat BAK (+). BAK berwarna merah seperti teh (+). Sulit menahan BAK (+). Jumlah BAK sedikit berkurang (+). Rasa pegal-pegal di kedua pinggang (+). Pada riwayat keluarga ditemukan bahwa ayah menderita batu ginjal. Kebiasaan kurang aktivitas (+) dan minum air + 600 mi/hari. Pasien sering mengonsumsi sayuran bayam dan singkong. Pasien makan ikan teri 2-3x/minggu dan ‘minum minuman bersoda 1-2 minggu sekali. Sumber air minum dari air tanah, Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit ringan, Kesadaran kompos mentis. Tanda vital dan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan urologis terdapat nyeri ketok costo vertebra angle (CVA) pada kedua sisi (kiri > kanan) dan nyeri tekan suprapubik (+), Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kelainan urinalisisberupa proteinuria, darah samar, Ioukositesterase (+3), leukosituria, hematuria, nitrit (+), dan bakteri. Pemeriksaan radiologis BNO memperoleh kesan staghorn ginjal kiri, pada IVP ditemukan kesan neftolitiasis sinistra (staghorn). Fungsi eksresi dan sekresi ginjal kiri baik sementara terdapat sangguan fungsi ekskresi dan sekresi ginjal kanan. USG Kesan hidronefrosis dekstra grade 4 e.c obstruksi di ureter dan staghorn stone sinistra Daftar masalah pada pasien ini adalah hidronefrosis desktra grade 4 susp.e.c obstruksi batu ureter proksimal, staghorn stone sinistra, dan suspek infeksi salurankemih komplikata (sistitis akut) Pasien direncanakan untuk pemeriksaan renogram dan anterograde piclografi (APG). Rencana penatalaksanaan pada pasien ini ialah diet tinggi kalori rendah protein (TKRP), pemberian antibiotik siprofloksasin 2x500 mg, dan analgesik 3x1. Untuk pembedahan berupa nefrostomi dekstra dan extended pyelolithotomy JIMKI | Vol.INo. 04 | Januari - Juni 2010 M Azharry RS sinistra. Pasien juga diedukasi untuk minum eit minimal 2-3 liter per hari, pembatasan konsumsi zat- zat pembentuk batu, dan meningkatkan aktivitas fisik. Dua hari setelah dirawat, pasien menjalani tindakan nefrostomi dekstra dan APG. Pada tindakan tersebut, pasien dalam posisi telungkup dan diberikan anestesi lokal. Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada lapangan operasi. Dengan guide USG dilakukan pungsi dengan jarum 17,5 G di CVA kanan. Kemudian dilakukan dilatasi fascia “dengan fascia dilator, dimasukkan pigtail no.8 ft. Pemeriksaan APG menemukan kesan hidronefrosis dan hidroureier hingga ureter distal kanan. Setelah itu dilakukan fiksasi pigtail dan operasi selesai (produksi inisial 50 cc). Selanjutnya pada pasien dilakukan observasi pada produksi nefrostomi dekstra serta rencana pemeriksaan renogram. Dari observasi selama 7 hari didapatkan produksi yang semakin berkurang, yakni dari 100ce/24 jam menjadi 80 cc/24 jam. Kemudian diambil tindakan untuk mengubah rencana extended pyelolithotomy sinistra menjadi percutaneus nephrolithotomy (PNL) Pada hari perawatan Kelima pasien menjalani pemeriksaan renogram. Fase perfusi: _perfusi kedua ginjal ada, perfusi ginjal kanan lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri, Scintigrafi: aktivitas intrarenal ginjal kiri meningkat dan mencapai puncak pada T-maks menit ke 5,5 dan lebih tinggi dari aktivitas background. Aktivitas intrarenal ginjal kanan sangat rendah, tak jelas peningkatan atau penurunan aktivitas, tak tampak adanya aktivitas pada buli, Kurva renogram: urva ginjal kiri cepat meningkat dan mencapai puneak pada T-maks menit ke 5,5 dan kemudian turun melandai pada akhir pemeriksaan. Kurva ginjal kiri terletak di atas kurva background, Kurva ginjal kanan mendatar, tidak jelas peningkatan atau penurunan, hampir berhimpit dengan kurva background. Nilai GFR: ginjal iri: 81,7 mi/menit, ginjal kanan: 6,08 ml/menit, total: 87,7 (nilai GFR normal minimal untuk pasien ini 86,0 mi/menit). Kesan: gangguan fungsi berat ginjal kanan (terminal stage), Fungsi sekresi dan ekskresi ginjal kiri baik. Akhirnya pasien menjalani PNL sinistra, Pasien iposisikan litotomi lalu dilakukan anestesi spinal, serta findakan asepsis dan antisepsis lapangan operasi juga sekitamya. Dilakukan insersi uk kiti, masuk sampai 30 em. Sheath dikeluarkan, kemudian pasien berganti osisi menjadi prone. Kembali dilakukan asepsis dan antisepsis lapangan operasi serta sekitarnya, kemudian ilakukan pungsi pada kaliks inferior kiri 17,5 G sampai PCS dengan guiding C-arm, Dilakukan dilatasi dengan fascia dilator no.9-12, setelah itu dilakukan dilatasi dengan metal dilator sampai no.26, dan imasukkan amplatz no.30, Tampak batu pada pielum Kiri, dipecahkan sampai Kecil-kecil dengan EKL dan ievakuasi dengan stone tang. Dari C-arm kesan masih SIM | VoL.INo. 01 | Januari - Juni 2010 Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Risiko da Tatal ksananya ada batu sisa. Dipasang DJ stent kiri secara anterograd. Kemudian pasang pigtail no. Fr dan operasi selesai Diskusi Kasus Penegakan Diagnosis Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari hasil anamnesis didapatkan pasien Wanita, 31 tahun datang dengan keluhan utama nyeri pinggang kenan yang ‘memberat sejak 2 bulan SMRS. Nyeri dirasaken hilang timbul seperti diremas, menjalar ke perut bawah, sekitar kemaluan, dan tungkai atas, Pertama kali dirasakan 10 tahun yang lalu dan semakin sering kambuh dalam 6 tahun terakhir serta memuncak dalam 2 bulan SMRS. Selain itu, terdapat nyeri pinggang Kiri yang tidak sehebat disertai rasa pegal di antara keluhan nyeri serta BAK berwarna merah teh. Berdasarkan keluhan i atas, dapat dipikirkan nyeri tersebut bersifat kolik \Nyeri yang demikian disebabkan oleh rangsangan pada organ yang dipersarafi nervus splanknikus kaudal pada tingkat persarafan terutama thorakal [1 hingga lumbal 2. Untuk nyeri pinggang kanan dapat dipikirkan beberapa penyebab, antara lain gangguan pada ‘muskuloskeletal seperti mialgia maupun low back pain (LBP), gangguan saluran cerna seperti apendisitis, kolesistitis, kolelitiasis, gangguan pada saraf yakni hernia nucleus pulposus (HNP), gangguan pada sistim reproduksi seperti kehamilan ektopik dan ‘endometriosis, dan gangguan sistim kemih yakni batu ‘maupun infeksi pada ginjal dan ureter. Penyebab dari gangguan muskuloskeletal dapat disingkirkan karena tidak didapatkan keluhan nyeri yang dipengaruhi oleh aktivitas yakni memberat saat beKerja dan membaik seat istirahat, Keluhan berasal apendisitis bisa disingkirkan juga karena tidak didapatkan keluhan nyeri perut kanan bawah dan gangguan BAB serta posisi khas apendisitas yakni tungkai yang terfleksi juga tidak ditemukan pada pasien. Kolelitiasis maupun kolesistitis juga Gapat disingkirkan Karena tidak ditemukan keluhan nycri yang menjalar ke punggung disertai demam maupun kuning. Adanya keluhan nyeri yang menjalar ke tungkai dapat mendukung ke arah hernia nucleus pulposus (HNP). Keluhan sensorik dan motorik tidak ada. Selain itu, dalam riwayat keseharian pasien, tidak ditemukan adanya pekerjaan yang mengharuskan pasien mengangkat beban berat. Kehamilan ektopik perlu dicurigai pada awal perjalanan keluhan nycti pinggang ini karena saat itu pasien sedang hamil. Namun setelah Kelahiran anak ke-3, pasien langsung memakai KB sehingga tidak mungkin terjadi kehamilan. Begitu juge dengan endometriosis, adanya pemasangan KB 3 bulanan membuat pasien tidak haid lagi. Sehingga menyisaken gangguan dari sistim kemih yakni ginjal dan ureter. Penyebab dari gangguan saluran kemih didukung [53] Jurnal oleh letaknya yong sesuai dengan proyeksi_ginjal sehingga kemungkinan ini merupakan nyeri Kolik Sinjal akibat adanya sumbatan di saluran kemih. Nyeri 105 koloni/ ml.5 Dari pemeriksaan pencitraan BNO-IVP kesan Nefrolitiasis sinistra (staghorn) dengan fungsi eksresi dan sekresi ginjal Kiri baik dan gangguan fungsi ekskresi dan sekresi ginjal kanan. Ditemukan pula suatu gambaran radioopak yang dicurigai massa di rongga pelvis. Kemungkinan massa ini menjadi penyebad obstruksi ureter dapat disingkirkan Karena bila ada obstruksi_mekanik ekstralumen cenderung persisten tanpa adanya nyeri kolik. Lalu dari hasil pemeriksaan USG didapatkan gambaran penipisan dinding yang menunjukkan terjadinya hidronefrosis dekstra (grade 4) e.c obstruksi di ureter dan Staghorn stone sinistra, Letak batu ureter yang berada bukan di proksimal didukung oleh pemeriksaan APG, yakni hidronefrosis dan hidroureter hingga ureter distal kanan. Sehingga tegak sudah masalah pada pasien yakni hidronefrosis, dan hidroureter deskira.e.c obstruksi batu ureter distal, neftolitiasis sinistra (staghorn). Pada pasien ini telah terjadi_komplikasi hidronefrosis dan hidroureter dekstra. Kemungkinan penyebab lain seperti adanya kelainan Kkongenital maupun striktur dapat disingkirkan. Namun_ dari laboratorium tidak begitu mendukung dimana kadar uureum dan kreatinin darah masih dalam batas normal Dari IVP biasanya dapat terlihat dan ditentukan derajatnya, akan tetapi hingga akhir pemeriksaan ginjal kanan tidak tervisualisasi. Visualsasi hidronefrosis pada IVP bisa berupa cupping, flattening,blunting, clubbing, dan ballooning tergantung derajat hidronefrosisnya.9 Dari hasil pemeriksaan USG barulah tegak, dimana ditemukan gambaran semua kaliks yang meneembung disertai beberapa parenkim yang menipis. Dari hasil renogram, didapatkan nilai GFR ginjal kiri 81,7 ml/ menit, ginjal kanan 6,08 ml/menit, dan total 87,7 ml/menit, Hal ini menjelaskan keadaan status ureum kreatinin yang normal walaupun terjadi hidronefrosis unilateral. JIMA | Vol INo. of | Januari - Juni 2010 M Azbarry RS Faktor risiko Terjadinys batu pada saluran kemih pasien tentunya disertai adanya multifaktor baik dari segi host, agent, moupun lingkungannya. Dari hasil anamnesis didapatkan riwayat_Keluarga, kurangnya aktivitas, Kebiasaan menahan BAK, Konsumsi air yang kurang, dict tinggi oksalat (sayuran hijau, minuman bersoda) dan sumber air minum Kasus batu saluran kemih pada _wanita dilaporkan lebih kecil dibandingkan pada pria. Hal ini dibuktikan oleh Ryal dk. Diketahui bahwa pada Wanita memiliki 2 faktor yang menychabkan rendahnya insiden batu saluran kemih khususnya batw kelsium. Pada wanita didapatken ekskresi harian kalsium yang lebih rendah dan tingginya faktor inhibitor seperti glukosaminoglikan yang menghambat agregasi Kristal dibandingkan pria.* Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Sarada B, dkk yang menyimpulkan bahwe pada urin wanita memiliki Konsentrasi kalsium dan oksalat yang rendah disertai tingginya sitrat yang mendukung bahwa risiko terjadinya batu pada wanita lebih rendab.” Beberapa faktor genetik telah diketahui perannya dalam pembentukan batu, Khususnya batu kalsium oksalat yang mengakibatkan gangguan ekskresi dari kalsium, asam urat, sitrat dan inhibitor maupun promoter, Faktor yang diturunkan bersifat poligenik. Walaupun telah dilaporkan sedikit Keluarga yang konsisten terjadi batu memiliki gen yang diturunkan secara autosomal dominan monogenik dan X-linked resesif. Curhan dkk (1997) mencoba untuk mengetabui dampak adanya riwayat keluarga yang memiliki batu pada 37.999 pria dimana ditindaklanjuti sclama 8 tahun dan didapatkan 795 kasus batu. Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya riwayat’keluarga merupakan suatu faktor risiko terjadinya batu dengan OR 2,578 Pada pasien didapatkan riwayat_konsumsi air bersoda yang cukup sering. Kaitannya dengan terjadinya bata ginjal dilakukan oleh Vartanian dkke dengan melakukan metaanalisis. Pada 5 studi yang ada melaporkan bahwa konsumsi minuman ringan (minuman bersoda) berhubungan dengan kejadian batu saluran kemih ataupun ginjal. Namun terdapat 2 studi yang tidak menunjukkan adanya hubuagan keduanya, Dua dari lima studi menemukan bahwa hubungaa positif ini tidak begitu signifikan setelah adanya kendali diet rmakanan yang mengandung kalsium, potasium, dan gula (sukrosa).’ Selain itu, Massey pada studi literaturnya menyimpulkan bahwa efek dari glakosa dan fruktosa pada minuman ringan (cola) menyebabkan peningkatan Kadar oksalat di urin selain minuman tersebut mengandung oksalat. Shuster dkk menemukan bahwa pasien yang menghentikan Konsumsinya menurunkan angka rekurensi sebesar 7%.” Pekerjaan_pasien sebagei ibu rumah tangga (sesuai dengan deskripsinya) membuat pasien kurang J1mK1 | vol.iNo. 01 | Januari - Juni 2010 Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Risiko da Tatalaksananys melakukan aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya bat saluran kemih. Hal ini didukung oleh penelitian Kim Chul ¥ dick, yang menemukan bahwa insiden tertinggi bbatu saluran kemih terjadi pada ibu rumah tangga yakni 20,89%."" Namun tingginya aktivitas tak selamanya membuat risiko terjadinya batu menjadi lebih rendah, Hal ini dibuktikan di Thailand oleh Tanthanuch dk yang menemukan bahwa para pekerja seperti petani, faboran, dan penjaga rumah memilki insiden batu saluran’ kemih lebih tinggi dibandingkan sedentary workers seperti pegawai pemerintah dan_ pelajar Penemuan ini sekaligus bertentangan epidemiologi 4di negera barat yang menunjukkan sedentary workers ‘memiliki insiden yang lebih tinggi.!? Kurangnya asupan sirharian berhubungan dengan risiko terjadi batu saluran kemih, Asupan air yang Kurang menyebabkan peningkatan osmolalitas plasma dan penurunan volume arteri efektif, Hasil akhitnya ‘menurunnya volume urin dan eksresi natrium. Adanya penurunan volume urin akan meningkatkan osmolalitas turin dnegan kata Jain meningketkan Konsentrasi solut di urin, Sesuai dengan patogenesisnya, menurunnya volume urin serta keeepatan aliran urin akan meningkatkan saturasi zat pembentuk batu. Hal ini didukung oleh penelitian Borghi dkk yang menyatakan bahwa volume urin berperan dalam pengulangan ferbentuknya batu kalsium, dan disarankan minimal volume urin 2 liter/24 jam.” Adanya kebiasaan menahan BAK belum diketabui berhubungan dengan Kejadian batu saluran kemih Namun tidak halnya dengan risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Beetz dkk, menyatakan bahwa adanya dchidrasi yakni terkait asupan air yang kurang dan adanya kebiasaan menahan BAK meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Dari penelitian yang ada sampai sekarang ternyata urin yang pekat, bukan ‘merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, diduga oleh karena kadar urea yang tinggi. Akan tetapi terdapat beberapa Keadaan yang mendukung untuk terjadinya infeksi saluran kemih atas maupun bawah pada hidrasi yang kurang yakni volume urin yang ‘urun, aliran urin yang turun, dan frekuensi kemih yang kkurang."* ‘Air minum adalah air baku yang memenuhi kriteria tertentu yang telah ditentukan sebagai standart kualitas air minum, Untuk meneapai kriteria tersebut, ait baku haruslah diolah terlebih dahulu dengan berbagai macam metoda. Air tanah merupakan sumber daya air yang secara alamigh mendekati standart air minum. Akan tetapi, air tanah mengalami suatu proses hidrogeokimia yang menyebabkan pelarutan mineral-mineral, schingga terjadi perubahan pada Komposisi air tanah. Kandungan berbagai mineral ini ‘akan memberikan dampak positif maupun negatif pada kkesehatan manusia. Air yang biasa dikonsumsi pasien [55] Jurnal dan keluarga adalah air sumur (tanah) yang dikatakan, Belum dapat diketahui dengan pasti bagaimana kualitas air tersebut apakah kaya akan mineral yang ‘meningkatkan risiko terjadinya batu.'* Penatalaksanaan Pada pasien ini dilekukan beberapa terapi yakni medikamentosa dan nonmedikamentosa (pembedahan) ‘Terdapat dua pembedahan yang telah dilakukan, yakni pemasangan nefrostomi dekstra dan PCNL Sinistra, Menurut hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, didapatkan bahwa pasien mengalami obstruksi bilateral dengan salah satu ginjal sudah tidak berfumgsi baik (single kidney). Pada ginjal kanan terjadi hidronferosis dan hidroureter dimana hal ini menunjukkan adanya obstruksi kronik pada saluran kemih. Walaupun dari klinis tidak ada kesan piclonefritis ataupun glomerulonefritis, kecurigaan adanya proses infeksi perlu dilakukan. Dengan proses tersebut dibiarkan berlacut-larut akan semakin ‘meningkatkan tekanan intrapelvis. Akibatnya akan terjadi perlawanan terhadap gradien filtrasi glomerulus dan menyebabkan kuman masuk ke peredaran darah dan terjadi sepsis (urosepsis)."" Sehingga tindakan nefrostomi ini sudahlah tepat. Dengan pemasangan nefrostomi ini juga secara tidak langsung dapat menilai sejauh mana kerusakan fungsi ginjal kanan yakni dengan pemantaun produksi urin ke kateter. Pertama kali pembedahan dilakukan pada batu staghorn sinistra. Alasan dilakukannya tindakan ini karena pada hasil pemeriksaan laboratorium, radiologis (IVP, renogram) pada ginjal sinistra_menunjukkan fungsi sekresi dan eksresi yang normal, Schingga dengan melakukan intervensi pada ginjal sinistra dahulu diarapkan dapat mempertahankan fungsi ginjal secara umum pada pasien. Selanjutnya perlu dipikirkan metode yang tepat untuk pengangkatan batu staghorn ini. Berdasarkan panduan_penatalaksanaan penyakit batu saluran kemih 2007 (IAUI) bahwa terdapat beberapa modalitas dalam pembedahan batu staghorn ini, yakni Modalitas terapi untuk batu cetak ginjal adalah PCNL monoterapi, kombinasi PCNL dan ESWL, ESWL monoterapi, operasi terbuka, dan kombinasi operasi terbuka dan ESWL."° Rassweiler dk dalam The Management of Complex Renal Stones dari British journal of Urology, membuat sebuah kriteria pemilihan pembedahan batu tipe ini, antara lain beban batu, distribusi batu, sistem pengumpul ginjal, radioopasitas, dan komposisi kimiawi.” Beban batu pada kasus ini termasuk mayor (total) dengan distribusi batu sentral dan perifer. Sistim pengumpul ginjal masih cenderung sempit dan radioopasitas dalam batas cukup, Sehingga berdasarkan kriteria ini sebaiknya dilakukan terapi kombinasi yakni PCNL dan ESWL atau operasi terbuka (extended pyelolithotomy) dan ESWL. Extended pyelolithotomy merupakan suatu Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia — tindakan operasi terbuka (selain_nefrektomi dan Anatrophic Nephrolithotomy) yang dalam prosedurnya dilakukan insisi pielotomi dengan hooked scalpel. Insisi apek dilakukan langsung dekat ureteropelvic Junction dimana keuntungan dari tindakan ini ialah batu dapat terpajan secara maksimal sehingga pada stone free rate berkisar antara 71%-82% dan jumlah prosedur yang kecil yakni sekitar 1,4." Namun, ‘menurut Lee WJ dick yang membandingkan komplikasi yang terjadi pada operasi terbuka dibandingkan ‘dengan PCNL, didapatkan bahwa operasi terbuka memiliki risiko terjadinya komplikasi minor (demam, perdarahan yang membutuhkan transfusi, ekstravasasi, Pneumonia/atelektasis, ileus paralitik dll) maupun mayor (kematian, perdarahan yang memerlukan transfusi berkala, infeksi, cedera saluran kemih dll) yang lebih tinggi dibandingkan PCNL.” Begitu juga dari sisi pasien yang diteliti oleh Jin Wei dkk dimana tindakan operasi terbuka memiliki Kerugian yakni nyeri pascaoperasi, jaringan parut pasca operasi, dan Jama perawatan dan masa pemulihan di rumah sakit.!" Schingga pada pasien sebaiknya dilakukan kombinasi PCNL dan ESWL. Pada terapi kombinasi (PCNL dan SWL), selain, risiko komplikasi yang lebih rendah dibandingkan operasi terbuka, stone free rate lebih rendah jika SWL dilakukan terakhir (66%) dan dapat menjadi 81% jika dilakukan PNL-ESWL-PNL. Walaupun demikian tetap ada kekurangan pada terapi Kombinasi yakni jumlah prosedur 3,3 kali Pada pasien telah dilakukan PCNL, Dari hasil PCNI batu masih terdapat sisa batu, schingga dilanjutkan terapi dengan FSWL, dan dilakukan pemasangan dj stent untuk membuat alliran urin dari pyelum ginjal ke buli-buli lancar, sehingga kkerusakan ginjal akibat stagnasi urin dalam ginjal dapat diminimalisasi Penyebab terjadi hidronefrosis dan hidroureter diduga karena ada obstruksi pada ureter distal, Hal ini didukung oleh pemeriksaan APG walaupun batu tidak ervisualisasi. Berdasarkan panduan penatalaksanaan penyakit batu saluran kemih 2007 (LAUD), pemilihan terapi batu ureter distal bergantung pada ukuran batu < atau > I cm. Namun secara umum ureteroskopi merupaken pilihan pertama untuk semua keadaan batu ureter distal yang tidak terpengaruh oleh ukuran batu, Hal ini senada dengan penelitian Peschel R dkk yang melakukan studi prospektif acak bertujuan menentukan terapi lini pertama untuk batu ureter distal. Hasilnya, ureteroskopi secara bermakna memberikan hasil lebih baik dalah hal lamanya prosedur, durasi fluoroskopi dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bebas atu. Semakin keeil batu, semakin besar perbedaan antar kedua modalitas terapi terscbut."” Namun hal ini bertentangan dengan Pearle dkk menyatakan bahwa baik urcteroskopi maupun ESWL memberikan angka kkesuksesan yang tinggi dan angka komplikasi rendah, JIMKI | Vol. No.01 | Januari - Juni 2010 M Azharry RS Namun, ESWL membutubkan waktu prosedur yang lebih rendah secara bermakna, serta menunjukkan Kecenderungan nyeripinggang dan disuria yang lebih rendah, komplikasi yang lebih sedikit, serta penyembuhan yang lebih cepat.”" Akan tetapi, dati hasil renogram didapatkan hasil GFR ginjal kanan dibawah 10 sehingga ada indikasi untuk dilakukan nefrektomi, Pada pasien juga diberikan beberapa obat yakni tik siprofloksasin. Pemberian antibiotik ini memiliki dua fungsi yakni sebagai terapi [SK sekaligus profilaksis perioperatif urologi. Fang Guodong dkk membandingkan penggunaan siprofloksasin (500 mg per 12 jam) dengan aminoglikosida (parenteral) pada Kasus ISK komplikata selama 7-10 hari. Didapatkan hhasil perbaikan klinis pada kedua antibjotik 5-9 hat pasca terapi dimulai. Namun, pada siprofloksasin Gidapatkan hasil signifikan (p=0,0005) dari kultur turin yang steril pada hari 5-9 pasea terapi.® Pasien mengalami prosedur operasisaluran kemih tanpa melibatkan segmen saluran cerna, Menurut panduan European Association of Urology (2001) penyebab tersering ialah Enterobacteriaceae sp, Enterococeus sp, dan Staphylococeus sp yang sensitif terhadap floroquinolon.?> anti Pencegahan (edukasi) dan prognosis Sebagai pencegahan dari rekurensi_batu, pasien harus diedukasi agar masukan cairan minimal ‘adalah setengah dari berat badan pasien yakni 2-3 Liter/heri yang terutama berasal dari air putih. Selain memperbaiki asupan air harian, perlu dipantau warna urin sebagai indikator sederhana hidrasi tubuh, yakni dengen PURI (periksa urin sendiri).** Pergerakan juga dianjurkan untuk mencegah stasis urin, Selanjutnya, perlu dilakukan pengaturan diet dan dapat dilakukan berdasarkan hasil analisis batu yang diangkat pada operasi. Oleh Karena adanya riwayat keluarga dan kecurigaan sumber air minum sebagai salah satu faktor risiko, disarankan kepada keluarga untuk melakukan skrinning setidaknya pada anggota keluarga dengan kklinis yang menjurus ke arah batu, Prognosis ad vitam pada pasien ini bonam karena penyakit ini tidak mengancam nyawa pasien, Walaupun status ginjal pada pasien ini adalah single kidney namun dengan fungsi yang baik sehingga prognosis ad functionamnya ialah dubia ad bonam, Mengingat stone free rate dan angka rekurensi pasea tindakan PCNL. (kombinasi ESWL) cukup baik sehingga prognosis ad sanactionam pasien ialah dubia ad bonam. Waleupun demikian jika faktor risiko pada pasien tidak dapat dikontrol, kemungkinan rekurensi tetap ada, Kesimpulan Batu Staghorn merupakan batu ginjal yang ‘menempati lebih dari satu collecting system, yaitu batu pielum yang berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Seperti JIMKI Januari - Juni 2010 ol. No. o1 | Batu Staghorn pada Wanita: Fakior Risiko da Tatalaksananya halnya batw saluran kemih lainnya, Batu Staghorn ini juga memiliki faktor risiko yang sama. Penegakan diagnosis dapat dilakukan atas dasar manifestasi Klinik dan berbagai pemeriksaan penunjang terutama modalitas radiologi. Dalam penatalaksanaannya diperlukan berbagai pertimbangan, antara lain ukuran, jumlah, komposisi, lokasi, primer/residif, dan fungsi kedua ginjal Laporan kasus yang disampaikan merupakan contoh klasik dan lengkap penanganan pasien Batu Staghorn yang baik dan benar. Pasien pada kasus mendapatken diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Diagnosis Batu Staghorn berhasil ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, Diagnosis Giperkuat dengan hasil pemeriksaan penuajang yang lengkap dari BNO-IVP, USG, APG, dan renogram, Penatalaksanaan pada pasien’ juga telah dilakukan dengan baik dan komprehensif, Identifikasi faktor risiko jugalah penting dalam pencegahan terjadinya rekurensi. Keputusan tindakan pembedahan kasus ini pun dilakukan dengan seksama. Semoga laporan kasus ini dapat_memberikan kontribusi berupa —_pengetahuan—Klinis dan Penatalaksanaan pasien batu saluran kemih khususnya Batu Staghorn bagi para pembaca, baik mahasiswa kedokteran umum, mahasiswa program dokter spesialis, ilmu penyakit dalam dan bedab, maupun para klinisi di lapangan ‘Am Hydrated? Urine Coler Chart 1 Spite yer nae ceewe mer tea Aya e mars neers pees Bodies ‘rows rough 8 you are bor) ‘bec heer St rons ars as nat yan nrmen eos mo Daftar pustaka LRahardjo D, Hamid R. Perkembangan penstalaksanaan_batu Sinjal di RSCM tahun 1997-2002. 4 { Bedah Indones. 2004; 52(2):38-63. 2.Purnomo, B. Basuki. Dasar-dssar Urologi ed ke-du Jakarta 187] Jurnal Penerbit CV. Segung Seto. 2003: hal. 57-65. Stoller ML, Bolton DM. Urinary Stone Disease, In: Tanagho EA, MeAninch JW, eds. Smith's General Urology, 15th ed [New York: McGraw-Hill; 2000, p. 291-315. Burnett AL, Rodriguer R, Jarrett TW. Genitourinary System: Male Anatomy and Physiologi. n: Greenfield LJ, Mulholland MW, Oldham KT, Zelenock GB, Lilimoe KD, eds. Essentials of Surgery Scientifie Principles and Practice, 2nd ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins: 1997.p.1111-8, Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Johansen TEB, Bot H, [Lobel B (ed). European Association of Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital Tract Infections. 2001 Ryall RL, Dkk. Urinary Risk Factors In Calcium Oxalate Stone Disease: Comparison Of Mea And Women. British Journal OF Urology. 1987.60: 480-88. Sarada B, Satyanarayana U, Urinary composition in men and women and the risk of urolithiasis. Clin Biochem. 1991 Dee:24(6):487-00. Curhan Ge, Walter C. Willett, Stampfer MJ. Family History And Risk OF Kidney Stone. J Am Soe Nephrol 1997.8: 1568- 1373, Vartanian LR, Marlene B. Schwartz, Brownell KD. Effects of Soft Drink Consumption on Nutrition and Health: A Systematic Review and Meta-Analysis, Am J Public Health, 2007:97:667- 675. 10.Linda K. Massey. Dietary Influences On Urinary Oxalate And Risk OF Kidney Stones, Frontiers In Bioscionce 8, 2003:S384- 594, 11.Kim Jul dkk, Incidence of Urinary tact calculi in Korea. Kor Med J 2007;122(7):798-801 12Tanthanuch M, Apiwatgatoon A, Pripatmanont © Urinary Tract Caleali in Southern Thailand. J Med Assoc Thai 2008; 881): 80-5 13.Borghi L, Coe FL, Deutsch L, Parks JH. Faotors that predict {elapse of calcium neprolithiasis during treatment: a prospective limiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia study. Am J Med.1982:72(1): 17-24 L4.Boetz R. Mild dehydration: a risk factor of urinary tract infection? Bur I Clin Nutr. 2003, $7 Suppl 2: 52-8 1S.Hendrayana Heru. Sumber air minum dan karakteristikny Proceeding book of Hydration and Healthy symposium.h.1-4. 16.Sumardi R, Taber A, Sugandi 8, dkk, Batu Ginjal, Dalam: SumardiR, Taher A, SugandiS, dkk. Guidelines Penatalaksanas Penyakit Batu Saluran Kemih 2007. Jakarta: lkatan Ali Urologi Indonesia: 2007, V7 Rasswoiler 13, Renner C, Eisenberger F. The Management of Complex Renal Stones. BU Int 2000;86:919.28, 18.Jin Wei C, Min Chong C. Management of staghora calculus (Clinical review). Modical Progress February 2003. National university of Singapore 19.Lee WI akk. Complications of percutaneous nephrolithotomy. 1987, AIR 148:177-180. 2o.Peschel R, Janetschek G, Bartsch G. Extracorporeal Shock ‘Wave Lithotripsy Versus Ureteroscopy for Distal Ureteral Calculi: A Prospective Randomized Study. J Ur 1999;162:1909. i912 21.Pearle M, Nadler R, Bercowsky, et sl. Prospective Randomized “Trial Comparing Shock Wave Lithotripsy and Ureteroseopy for Management of Distal Ureteral Caleuli.J Uro 2001;166:1255. 60 22,Fang G Dkk. Use Of Ciprofloxacin Versus Use Of Aminoglycosides For Therapy Of Complicated Urinary ‘Tract Infection: Prospective, Randomized Clinical And Pharmacokinetic Study. Antimicrobiel Agents And Chemotherapy. 1991, P. 1849-1855 23.Naber KG, Borgman B, Bishop MC, Johansen TEB, Botto H, Lobel B (e4), European Aseociation of Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital Tract Infections. 2001 24.Amstrong LE, Soto JA, Hacker FT, Casa DJ, Kavouras SA, Mares. Urinary indices during dehydration, exercise, and rehydration, Int Sport Nute. 1998 :8(4):345-85 JIMKI Januarl - Juni 2010 Vol. 1No. 01

You might also like