You are on page 1of 13

MEDIA MEDIKA

INDONESIANA
Hak Cipta©2008 oleh Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jawa Tengah

Osteoporosis dan Faktor Risikonya pada Lansia Etnis Jawa


Fatmah*

ABSTRACT

Osteoporosis and its risk factors among Javanese elderly.


Background: Osteoporosis is marked by the reduction of Bone Mass Density caused by multifactor. Osteoporosis is often found
among elderly people, and at present still a problem in public health. At present data on prevalence of osteoporosis among
Javanese elderly is not available. The objective of the study was to analyze the prevalence of osteoporosis among the elderly
Javanese with its risk factors.
Method: The risk of osteoporosis was measured by using Sahara Clinical Bone Sonometer, and T<-2.5 score was the criteria of
osteoporosis.
Result: The study showed that osteoporosis in the rural was lower than in the urban. Osteoporosis proportion among females was
twice bigger than males. There was osteoporosis proportion development based on age group. Level of education, physical activity
and occupational activity were related to osteoporosis. Respondents with low level of education had the mean and osteoporosis
proportion higher than those with high/middle level of education. Percentage of osteoporosis among elderly with low level of
physical and occupational activity was also higher than those who had high level. Calcium and protein intakes had no relevance
with osteoporosis occurrence.
Conclusions: Rural and urban areas, sex, age, level of education, work status, and weight are osteoporosis risk factors. Sex was
the main osteoporosis determinant in this study.

Keywords: Osteoporosis, sex, age, education, physical activity, occupational activity level

ABSTRAK

Latar belakang: Osteoporosis ditandai menurunnya densitas massa tulang yang disebabkan oleh multifaktor. Osteoporosis sering
ditemukan pada lansia dan saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Saat ini informasi data epidemiologi tentang
osteoporosis pada lansia etnis Jawa belum diketahui. Tujuan studi adalah untuk menganalisis proporsi dan faktor-faktor risiko
osteoporosis lansia Suku Jawa.
Metode: Studi cross sectional dilakukan masing-masing di 3 wilayah pedesaan dan perkotaan. Lokasi diperoleh melalui two
stages stratified random sampling, sedangkan subyek melalui acak sederhana. Risiko osteoporosis dinilai dengan menggunakan
alat Sahara Clinical Bone Sonometer dengan kriteria osteoporosis memiliki nilai skor T<-2,5.
Hasil: Diperoleh 812 subyek penelitian. Proporsi osteoporosis di desa sedikit lebih rendah daripada kota. Perempuan memiliki
proporsi osteoporosis dua kali lebih besar daripada laki-laki. Terdapat peningkatan osteoporosis berdasarkan umur. Tingkat
pendidikan, beban pekerjaan harian, dan aktivitas fisik berhubungan dengan osteoporosis. Responden dengan tingkat pendidikan
akhir yang rendah memiliki mean dan proporsi osteoporosis lebih tinggi daripada tingkat pendidikan tinggi/menengah. Persentase
osteoporosis responden pada aktivitas fisik rendah dan beban pekerjaan harian rendah lebih tinggi dibandingkan tingkat berat.
Asupan kalsium dan protein tidak berhubungan dengan kejadian osteoporosis.
Simpulan: Wilayah tinggal, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan akhir, tingkat aktivitas fisik, dan tingkat beban pekerjaan
harian merupakan faktor-faktor risiko osteoporosis lansia Etnis Jawa. Jenis kelamin adalah determinan utama osteoporosis dalam
studi ini.
PENDAHULUAN

Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) Indonesia di atas 65 tahun meningkat dari 1,1% menjadi 6,3% dari total
populasi. Selama 20 tahun terakhir dan diperkirakan akan meningkat menjadi 11,3% pada tahun 2020. Feno-mena
terjadinya peningkatan ini disebabkan oleh per-baikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan ilmu
kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit in-feksi menuju penyakit degeneratif, dan perbaikan status gizi.

Peningkatan jumlah lansia mempengaruhi aspek kehi-dupan mereka seperti terjadinya perubahan-
perubahan fisik, biologis, psikologis, dan sosial sebagai akibat pro-ses penuaan atau munculnya penyakit degeneratif
akibat proses penuaan tersebut. Salah satu perubahan fisik yang terjadi seiring pertambahan usia adalah terjadinya
penurunan massa tulang yang dapat merubah struktur tulang. Keadaan di mana penurunan massa tulang me-lampaui
2,5 kali standar deviasi massa tulang pada po-pulasi usia muda yang disebut osteoporosis.

Osteoporosis merupakan salah satu penyakit yang dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor antara lain usia, jenis
kela-min, gaya hidup, dan sebagainya. Hasil analisis data Densitas Mineral Tulang (DMT) di 16 wilayah di Indo-
nesia kerjasama antara Puslitbang Gizi Bogor dengan PT. Fonterra Brands Indonesia pada Tahun 2005 terda-pat
29,4% lansia berusia 60-64 tahun menderita osteo-porosis, 65-69 tahun sebesar 36,4%, dan usia di atas 70 tahun
sebesar 53,1%. Proporsi osteoporosis pada ketiga kelompok usia lansia wanita di atas lebih besar daripada lansia pria
(30,4% dan 27,76% untuk kelompok usia 60-64 tahun, 39,2% dan 32,3% pada kelompok usia 65-69 tahun, serta
58,9% dan 43,6% pada kelompok usia di atas 70 tahun.

Publikasi data tentang informasi epidemiologi osteopo-rosis di Indonesia pada lansia Etnis Jawa belum
banyak dilaporkan, bahkan cenderung relatif tidak diketahui. Namun demikian besarnya proporsi osteoporosis yang
memicu peningkatan kasus morbiditas dan mortalitas memerlukan perhatian lebih lanjut, khususnya pada lansia yang
sudah terdeteksi memiliki osteopenia. Oleh karena itu, tersedianya informasi tentang besaran masa-lah osteoporosis
disertai faktor-faktor risikonya menjadi penting dalam rangka mencegah penduduk lansia dari risiko osteoporosis.
Informasi ini merupakan masukan bagi pihak pemerintah, swasta, dan pihak lain yang ter-kait untuk merancang
program-program kesehatan lan-sia terutama bagi pencegahan osteoporosis di Indonesia.

METODE

Penelitian dengan rancangan cross sectional dilakukan pada 812 lansia (295 pria dan 517 wanita) di 3 wilayah
pedesaan (Kabupaten Magetan, Gunung Kidul, Wono-giri), dan 3 wilayah perkotaan (Kota Surabaya, Yogya-karta,
dan Semarang). Alasan penelitian dilakukan pada kelompok Suku Jawa adalah sebanyak 41,7% suku ini menempati
urutan etnis terbesar dari seluruh total popu-lasi Indonesia.1 Kelompok ini paling banyak menempati wilayah Propinsi
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bahkan proporsi penduduk lansia Suku Jawa juga berada pada urutan
terbesar di antara 4 suku lainnya di Indonesia yaitu Sunda, Melayu, Batak, dan Madura (48,6%).

Metode Two Stages Stratified Random Sampling digu-nakan untuk memilih lokasi melalui 2 tahap seleksi ya-itu di
tingkat kecamatan (3 kecamatan) dan kelurahan (2 kelurahan/desa per kecamatan). Sampel penelitian diam-bil secara
acak dengan menggunakan metode Simple Random Sampling dari tiap-tiap kelurahan terpilih.

Kriteria inklusi penelitian adalah lansia yang tinggal/ berada di masyarakat baik pria maupun wanita
dengan usia antara 55-65 tahun, memiliki kedua orang tua ber-asal dari Suku Jawa asli, tinggal sendiri atau bersama
keluarga, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik),
serta dapat berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi sampel yang tidak masuk dalam penelitian ada-lah: lansia
memiliki salah satu tangan yang tidak dapat direntangkan karena patah atau akibat tertentu, meng-alami patah
tulang/kaki palsu, menderita stroke atau gangguan ingatan, dan gangguan berkomunikasi.

Data yang dikumpulkan adalah data pengukuran tinggi badan, berat badan, dan risiko osteoporosis oleh 3 ahli gizi
terlatih di tiap wilayah/lokasi pada bulan Desember 2007-Pebruari 2008. Tinggi badan diukur dengan alat mikrotoa,
berat badan dengan timbangan injak digital SECA, dan risiko osteoporosis dengan alat tinggi lutut diukur dengan alat
Sahara Clinical Bone Sonometer..

Sebanyak 812 contoh usia 55 tahun (usia minimum) hingga 84 tahun (usia maksimum) telah diukur antropo-metrinya
dan diwawancarai di balai desa/posbindu atau posyandu lansia/kantor kelurahan/rumah kader posbin-du. Salah satu
kriteria inklusi contoh penelitian adalah usia 55-65 tahun, tetapi banyak lansia yang sebelumnya tidak terpilih secara
acak dan usianya tidak sesuai kri-teria inklusi datang ke tempat penelitian minta diukur dan diwawancarai. Mereka
tahu kegiatan pengukuran itu dari teman-temannya maupun dari aparat desa/kelu-rahan setempat. Kumpulan lansia
yang tidak memenuhi syarat itu turut dikumpulkan data antropometrinya dan diwawancarai. Total terkumpul 812
sampel (612 lansia 55-65 tahun dan 200 lansia usia 66-84 tahun).

Pemilihan responden penelitian berusia 55-65 tahun di-lakukan secara acak dari data jumlah dan nama-nama lansia di
tiap kelurahan/desa. Data lansia itu dikumpul-kan dari kader posbindu, bidan puskesmas, dan ketua/ pengurus RW
setempat. Setelah nama-nama contoh ter-pilih secara acak, selanjutnya mereka diberikan undang-an untuk menghadiri
acara kegiatan pengukuran di lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti dan kader/pengurus RW
setempat. Undangan itu diki-rimkan secara langsung ke rumah-rumah mereka oleh kader/pengurus RW. Pada 6 lokasi
penelitian di Kota Semarang dilakukan kegiatan minum susu Produgen bersama setelah peneliti berhasil melakukan
kerjasama dengan Produgen Propinsi DI Yogyakarta.

HASIL

Karakteristik Sosio-demografi

Tabel 1 menggambarkan karakteristik sosio-demografi meliputi: wilayah kota dan desa, jenis kelamin, kelom-pok
usia, pendidikan akhir, dan status pekerjaan usia 25 dan 55 tahun. Mayoritas responden berasal dari Sura-baya
(26,8%) yang mewakili wilayah kota dan Wono-giri mewakili wilayah desa (18,5%). Sebagian besar responden
berjenis kelamin wanita (63,7%) dan sisanya adalah laki-laki (36,3%).

Pembagian usia dibagi dalam 6 kelompok yang didomi-nasi oleh kelompok usia 60-65 tahun (40,8%), dan
di-ikuti oleh kelompok usia 55-69 tahun (35,3%). Rata-rata usia adalah 62 tahun dengan usia terendah 55 tahun dan
usia tertinggi 84 tahun.

Dari seluruh responden yang diwawancarai, hanya sete-ngahnya yang mampu menyebutkan tanggal
lahirnya secara lengkap (51,6%). Selebihnya tidak tahu tanggal lahir (28,8%), tahu tahun lahir (18,7%), dan tidak
ingat sama sekali tanggal, bulan, dan tahun lahir (0,9%). Iden-tifikasi usia responden yang tidak ingat tanggal lahirnya
diperoleh dari kader posyandu lansia, bidan puskesmas, dan Ketua RW/RT setempat.

Pendidikan akhir responden dikelompokkan menjadi 2 tingkat yaitu rendah dan tinggi. Tingkat pendidikan tinggi
mulai dari tamat atau tidaknya pendidikan di SLTP, SLTA, akademi, dan universitas. Tidak sekolah, tidak lulus SD,
dan lulus SD menjadi bagian dari peni-laian tingkat pendidikan akhir rendah.

Persentase tingkat pendidikan akhir rendah di desa dan kota sedikit lebih banyak (59,2%) daripada
yang tinggi (40,2%). Mayoritas responden yang memiliki tingkat pendidikan akhir rendah
menamatkan sekolahnya hanya sampai SD (22,3%). Sementara mereka yang berhasil menamatkan pendidikan
akhirnya di SLTP (18,1%) dan SLTA cukup berimbang (18,1%). Namun masih ada responden yang berhasil
menyelesaikan pendidikan akhir di tingkat akademi dan universitas baik di desa maupun di kota. Persentase
responden tidak sekolah di desa hampir dua kali lebih besar (65,6%) daripada di kota (34,4%). Demikian pula tingkat
pendidikan tinggi yaitu SLTP dan SLTA di kota dua kali lebih besar dari-pada di desa.

Tabel 1. Karakteristik sosio-demografi


|Variabel |Jumlah |% |
|Wilayah: | | |
| Kota: | | |
| Surabaya |218 |26,8 |
| Semarang |162 |20,0 |
| Yogyakarta |71 |8,7 |
| Total |451 |55,5 |
| Desa: | | |
| Wonogiri |150 |18,5 |
| Gunung Kidul |140 |17,2 |
| Magetan |71 |8,7 |
| Total |361 |44,5 |
|Jenis Kelamin: | | |
| Laki-laki |295 |36,3 |
| Perempuan |517 |63,7 |
|Kelompok Umur: | | |
| 55 - 59 tahun |287 |35,3 |
| 60 – 65 tahun |331 |40,8 |
| 66 – 70 tahun |117 |14,4 |
| 71 – 75 tahun |49 |6,0 |
| 76 – 80 tahun |18 |2,2 |
| 81 – 85 tahun |10 |1,2 |
| Mean±Standar Deviasi |62,4+5,93| |
| Minimum |55 | |
| Maximum |84 | |
|Pendidikan akhir: | | |
|Rendah: |481 |59,2 |
| Tidak sekolah |157 |19,3 |
| Tidak tamat SD |143 |17,6 |
| Tamat SD |181 |22,3 |
|Tinggi: |331 |40,8 |
| Tamat SLTP |147 |18,1 |
| Tamat SLTA |147 |18,1 |
| Tamat Akademi/D3 |20 |2,5 |
| Tamat PT |17 |2,1 |
|Status pekerjaan usia 25 | | |
|tahun: | | |
|Tidak bekerja |171 |21,1 |
|Bekerja: | | |
| Pegawai |199 |24,5 |
| Petani/nelayan |164 |20,1 |
|Niaga |136 |16,7 |
|Buruh |112 |13,8 |
|Jasa |30 |3,7 |
|Status pekerjaan usia 55 | | |
|tahun: | | |
|Tidak bekerja |319 |39,3 |
|Bekerja: | | |
| Petani/nelayan |176 |21,7 |
| Niaga |152 |18,7 |
| Buruh |46 | 5,7 |
| Pegawai |97 |11,9 |
| Jasa |22 |2,7 |

Mayoritas responden bekerja sebagai pegawai saat usia 25 tahun (24,1%) dan tidak bekerja ketika berusia 55 tahun
(39,3%). Pengelompokan jenis pekerjaan niaga dalam penelitian ini adalah berdagang baik di pasar atau di warung
dalam rumah, dan sebagai pedagang keliling. Sementara jenis pegawai yang dimaksud adalah PNS dan pegawai
swasta.

Aktivitas Fisik dan Pengeluaran Energi Usia 25 dan 55 Tahun

Tabel 2 menyajikan rata-rata pengeluaran energi berda-sarkan 3 jenis kegiatan yang dilakukan (olahraga, waktu
luang, dan fisik harian) ketika responden berusia 25 dan 55 tahun. Rata-rata energi yang dikeluarkan untuk mela-
kukan kegiatan fisik saat usia 55 tahun menurun sekitar 146,6 kkal dibandingkan usia 25 tahun, tetapi jumlah
pengeluaran energi maksimum untuk melaksanakan ke-giatan fisik harian adalah sama pada kedua periode usia
tersebut.

Pengeluaran energi untuk kegiatan olahraga usia 25 ta-hun rata-rata sebesar 278,7 kkal dan usia 55 tahun
sebe-sar 161,1 kkal. Terjadi penurunan jumlah kalori yang dikeluarkan melalui reduksi intensitas dan frekuensi
olahraga yang dilakukan saat menginjak usia 55 tahun. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan ketika muda
adalah bersepeda, senam, bulutangkis, sepakbola, dan berjalan kaki. Sementara olahraga senam dan ber-jalan kaki
banyak dilakukan setelah menginjak usia 55 tahun. Pada saat menjelang usia lanjut jenis olahraga yang banyak
menggunakan tenaga dan otot beralih ke olahraga santai dan lambat (tidak banyak mengeluarkan keringat). Frekuensi
olahraga tiap minggu sebagian be-sar dilakukan antara 1-2 kali pada usia 25 dan 55 tahun dengan lama/durasi antara 1-
2 jam per minggu.

Mayoritas responden mengisi waktu luang saat usia mu-da dengan kegiatan mengerjakan pekerjaan rumah tang-ga
antara lain: menyapu dan mengepel lantai, mencuci dan menyetrika pakaian, memasak, dan menghadiri pe-ngajian di
luar rumah. Menghabiskan waktu dengan mengasuh atau momong cucu dan menghadiri pengajian di luar rumah
adalah dua jenis kegiatan yang paling banyak diisi oleh responden saat usia 55 tahun.

Tingkat aktivitas fisik contoh saat usia 25 dan 55 tahun disajikan pada Tabel 3. Pembagian kelompok aktivitas fisik
menjadi tingkat rendah, sedang, dan tinggi berda-sarkan quartil (Q3). Sebagian besar contoh memiliki tingkat
aktivitas rendah (33,5%) saat masa mudanya dan tingkat rendah dan sedang begitu memasuki usia lanjut 55 tahun.
Asupan Zat Gizi Contoh Usia 25 dan 55 Tahun

Tabel 4 menyajikan rerata asupan protein, dan kalsium saat responden mencapai usia 25 dan 55 tahun. Secara umum,
terjadi penurunan asupan protein, dan peningkat-an kalsium pada kedua periode usia tersebut.

Jika dibandingkan dengan nilai AKG, maka rerata asup-an ketiga zat gizi yang menurun pada usia 55 tahun ma-sih di
bawah 100% AKG. Rerata asupan protein (50,8 gram/hari) hampir mencapai 100% AKG pada respon-den laki-laki
(60 gram/hari), dan telah mencapai 100% AKG pada responden perempuan (50 gram/hari).
Tabel 2. Rerata dan standar deviasi (SD) pengeluaran energi berdasarkan kegiatan olahraga, waktu luang,
kegiatan fisik harian, dan total ketiga kegiatan pada usia 25 dan 55 tahun.
|Jenis kegiatan |Umur 25 Tahun |Umur 55 Tahun |
| |Rerata |SD |
|Umur 25 tahun | | |
| Rendah (<1494 kkal) |272 |33,5 |
| Sedang (1494-2478 kkal) |270 |33,3 |
| Tinggi (>2474 kkal) |270 |33,3 |
|Total |812 |100,0 |
|Umur 55 tahun | | |
|Rendah (<1398 kkal) |271 |33,4 |
|Sedang (1398-2316 kkal) |271 |33,4 |
|Tinggi (>2316 kkal) |270 |33,3 |
|Total |812 |100,0 |

Tabel 4. Rerata dan standar deviasi (SD) asupan protein dan kalsium harian saat usia 25 dan 55 tahun.
|Zat gizi |Umur 25 tahun |Umur 55 tahun |
| |Rerata |SD |
| |Usia 25 tahun|Usia 55 tahun|Usia 25 tahun|Usia 55 tahun |
|Kalsium |558,58 ± |625,22 ± |536,98 ± | 588,66 ± 727,96|
| |582,32 |666,07 |558,22 | |

Tabel 6. Rerata asupan protein hewani dan protein nabati usia 25 dan 55 tahun
berdasarkan status densitas mineral tulang.
|Jenis protein |Osteoporosis |Osteopenia |Normal |
|Hewani: | | | |
|usia 25 tahun |15,3 ± 4,7 |15,9 ± 13,2 |16,0 ± 15,6 |
|usia 55 tahun |12,1 ± 2,2 |14,1 ± 13,1 |12,6 ± 9,1|
|Nabati: | | | |
|usia 25 tahun |17,4 ± 13,2 |17,4 ± 12,5 |19,1 ± 14,3 |
|usia 55 tahun |17,3 ± 11,5 |17,7 ± 12,5 |21,2 ± 15,2 |
Rerata asupan kalsium pada responden laki-laki dan pe-rempuan digambarkan pada Tabel 5. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa asupan kalsium meningkat berda-sarkan jenis kelamin dan usia. Rerata asupan kalsium lansia
laki-laki lebih besar daripada responden perempu-an pada kedua kelompok usia.

Tabel 6 menyajikan rerata asupan protein nabati respon-den saat usia 25 dan 55 tahun lebih tinggi daripada mean
asupan protein hewani pada periode usia yang sa-ma dalam tiga kelompok osteoporosis, osteopenia, dan normal.
Rerata asupan protein hewani tertinggi usia 25 tahun dimiliki oleh kelompok status DMT normal (16,0 gram) dan usia
55 tahun pada kelompok osteopenia (14,1 gram). Mean asupan protein nabati tertinggi di usia 25 dan 55 tahun pada
kelompok status DMT nor-mal (19,1 gram dan 21,2 gram). Penurunan rerata asup-an protein hewani dan nabati
terjadi bila dibandingkan antara usia 25 dan 55 tahun pada hampir semua kelom-pok, kecuali status tulang normal dan
osteopenia.

Faktor-faktor Risiko Osteoporosis

Tabel 7 menampilkan distribusi frekuensi (persentase) status DMT dengan faktor-faktor risiko osteoporosis ya-itu
wilayah; jenis kelamin; usia; pendidikan; tingkat aktivitas fisik, dan tingkat beban pekerjaan harian. Sta-tus DMT
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: osteoporo-sis (skor DMT <-2,5 SD), osteopenia (skor T antara -1 sampai dengan
-2,5 SD), dan normal (skor T >=-2,5 SD).

Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lan-sia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia lanjut
(usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan de-ngan kejadian osteoporosis. Terdapat hubungan antara
osteoporosis dengan peningkatan usia. Proporsi pende-rita osteoporosis di desa sedikit lebih rendah (30,5%) daripada
di kota (34,8%). Terdapat perbedaan jumlah osteoporosis berdasarkan wilayah tinggal desa dan kota. Proporsi
osteoporosis lansia perempuan adalah dua kali lebih besar daripada laki-laki. Laki-laki lebih banyak yang mengalami
osteopenia daripada perempuan. Demi-kian pula status DMT normal lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Ada
perbedaan kejadian osteoporosis berda-sarkan jenis kelamin.

Status sosio-ekonomi merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis. Variabel ini diwakili oleh tingkat
pendi-dikan akhir dan status bekerja usia 25 dan 55 tahun. Per-sentase osteoporosis pada responden berpendidikan ren-
dah lebih besar dibandingkan berpendidikan tinggi. Pa-da usia 25 tahun, proporsi osteoporosis kelompok be-kerja
formal lebih rendah dibandingkan dengan kelom-pok bekerja informal, tetapi proporsi status kepadatan tulang normal
sedikit lebih banyak ditemukan pada ke-lompok pekerja informal daripada pekerja formal. Ter-dapat perbedaan
signifikan proporsi osteoporosis berda-sarkan status pekerjaan usia 25 dan 55 tahun.

Gambaran kasus osteoporosis berdasarkan tingkat akti-vitas fisik dan beban pekerjaan harian juga
disajikan pa-da Tabel 7. Proporsi osteoporosis pada responden yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban
pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 dan 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah daripada tingkat sedang dan
rendah. Perbedaan yang bermakna secara statistik diperoleh pa-da perbandingan osteoporosis dengan 3 tingkat
aktivitas fisik saat usia 25 tahun dan 55 tahun.

Tabel 8 menyajikan distribusi frekuensi status DMT berdasarkan asupan kalsium, dan protein pada usia 25 dan 55
tahun. Secara umum tidak ada hubungan antara kejadian osteoporosis dengan asupan kedua zat gizi ter-sebut
(p>0,05). Proporsi responden osteoporosis yang kurang mengonsumsi kalsium dan protein sedikit lebih tinggi ketika
berusia 55 tahun daripada usia 25 tahun.

Tabel 9 menampilkan rerata skor T berdasarkan jenis kelamin, kelompok tinggi badan, dan berat badan. Ter-dapat
perbandingan terbalik antara skor T terhadap ting-gi badan dan berat badan. Pada lansia laki-laki, semakin besar
tinggi badan makin tinggi skor T-nya dan sebalik-nya pada lansia perempuan, makin rendah skor T-nya. Rerata skor
T pada kelompok tinggi badan lansia laki-laki 160,1–175 cm lebih rendah (-1,59) daripada kelom-pok tinggi badan
<150 cm (-1,36). Rerata skor T pada tinggi badan lansia laki-laki lebih tinggi dibandingkan lansia perempuan.
Tabel 7. Distribusi frekuensi status DMT berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat aktivitas
fisik usia 25 dan 55 tahun.
|Variabel |Status DMT | |
| |Osteoporosis |Osteopenia |Normal |Total | |
| |
| Ringan |
|Ringan |
|Rendah |
|Rendah |101 |37,3 |
| |Osteoporosis |Osteopenia |Normal |Total | |
| |
|Kurang |
|Kurang |
|Kurang |
|Kurang |114 |
| |Perempuan |Laki-Laki |
| Tinggi badan (cm) | | |
|< 150 |- 2.07 ± 1,07 |- 1,36 ± 1,37 |
|150,1 – 160 |- 2,02 ± 0,95 |- 1,56 ± 1,14 |
|160,1 – 175 |- 1,93 ± 0,82 |- 1,59 ± 1,07 |
|Berat badan (kg) | | |
|30 – 40 |- 2,49 ± 0,83 |- 1,77 ± 1,42 |
|40,1 – 50 |- 2,28 ± 0,98 |- 1,64 ± 1,29 |
|50,1 – 60 |- 1,97 ± 1,08 |- 1,78 ± 0,99 |
|> 60 |- 1,75 ± 0,95 |- 1,24 ± 1,05 |
Semakin tinggi berat badan lansia, maka makin tinggi skor T-nya. Rerata skor T makin tinggi jika berat badan
bertambah. Berat badan lansia perempuan di atas 60 kg memiliki mean skor T -1,75 lebih besar daripada 30-40 kg
yaitu -2,49. Berat badan lansia laki-laki antara 30-40 kg mempunyai mean skor T lebih rendah yaitu -1,77
dibandingkan >60 kg yakni -1,24.

PEMBAHASAN

Proporsi lansia osteoporosis di desa sedikit lebih rendah (30,5%) daripada di kota (34,8%). Terdapat perbedaan
jumlah osteoporosis berdasarkan wilayah di desa dan kota. Hasil penelitian ini sejalan dengan studi yang dila-kukan
terhadap lansia di Australia.2 Studi kedua menya-takan bahwa osteoporosis pada lansia desa memiliki persentase 15%
lebih rendah daripada lansia kota. Di Asia, peningkatan insidens patah tulang terutama terjadi di wilayah urban.3 Studi
terhadap lansia wanita Vietnam menemukan prevalensi osteoporosis wanita pre-meno-pause di desa lebih rendah
daripada kota.4

Tingginya kasus osteoporosis di kota dibandingkan desa karena tingkat aktivitas fisik sebagian besar penduduk desa
adalah bertani dan kegiatan fisik berat lainnya an-tara lain mencari kayu bakar di hutan/ladang, dan men-cari pakan
ternak. Bertani merupakan bentuk kegiatan fisik yang banyak menggunakan tenaga dan otot sehing-ga berperan pada
pembentukan dan pemeliharaan tulang yang sehat, memperbaiki kekuatan otot, dan mengurangi risiko jatuh dan patah
tulang. Sebagian besar responden petani pada penelitian ini melakukan pekerjaan tambah-an selain bertani yaitu
mencari kayu bakar untuk kebu-tuhan sendiri dan mencari rumput untuk hewan ternak mereka.

Beban kerja menanam padi memiliki skor sebesar 5,0; memacul/mencangkul 5,8, mencari kayu bakar sambil berjalan
sebesar 1,5; dan mencari rumput sebesar 4,3.5 Total skor yang dibutuhkan untuk pekerjaan bertani se-besar 16,6.
Beban kerja seperti ini terlihat bahwa bertani meningkatkan kekuatan tulang melalui pembentukan tulang baru dan
remodelling tulang agar lebih kuat terutama di bagian kaki, tulang belakang, dan panggul. Akibatnya densitas tulang
makin padat dan terhindar da-ri risiko jatuh yang mengarah pada osteoporosis.

Persentase perempuan osteoporosis dua kali lebih ba-nyak dibandingkan dengan laki-laki.6 Perbedaan nyata
ditemukan pada lansia osteoporosis berdasarkan jenis kelamin. Wanita berisiko 4 kali lebih besar daripada pria untuk
terkena osteoporosis. Temuan studi ini se-jalan dengan hasil analisis data Densitas Mineral Tulang (DMT) oleh
Puslitbang Gizi dan PT. Fonterra Brands Indonesia Tahun 2005.7 Prevalensi osteoporosis lansia perempuan 55-59
tahun sedikit lebih besar (22,2%) dari-pada laki-laki (21%), dan usia di atas 70 tahun sebesar 43,6% pada lansia laki-
laki dan 58,9% pada lansia pe-rempuan. Studi Framingham Osteoporosis menunjukkan bahwa rata-rata densitas
mineral tulang proksimal paha kanan lansia laki-laki lebih tinggi dibandingkan lansia perempuan (0,878 dan
0,720).8 Pada studi tentang hu-bungan antara komposisi tubuh terhadap DMT lansia Cina pria dan wanita menemukan
rerata DMT seluruh tubuh (1,13) dan panggul lansia pria (0,98) sedikit lebih tinggi dibandingkan wanita (1,11 dan
0,97).9 Dua puluh lima persen lansia wanita dan 11% pria mengalami os-teoporosis dalam studi efek obesitas
terhadap osteoporo-sis.10

Risiko lansia wanita lebih tinggi mengalami osteoporo-sis daripada pria karena wanita mengalami
menopause. Menurunnya hormon estrogen saat menopause berkon-tribusi pada peningkatan absorpsi kalsium dan
metabo-lisme tulang dan berperan dalam percepatan hilangnya otot-otot tulang rangka wanita menopause.
Osteoporosis jarang terjadi pada laki-laki daripada perempuan karena sejumlah alasan. Laki-laki memiliki puncak
massa tu-lang (peak bone mass) lebih besar dan tidak mengalami percepatan hilangnya tulang pada wanita saat meno-
pause. Umumnya lansia laki-laki kurang berisiko meng-alami jatuh dibandingkan perempuan. Wanita juga me-miliki
massa otot lebih rendah daripada pria.11

Semakin tinggi usia lansia, proporsi osteoporosis juga semakin besar. Proporsi osteoporosis pada usia lebih tua
berbeda makna dibandingkan dengan usia lebih muda (p =0,001). Insidens fraktur memberikan indikasi tingkat
keparahan osteoporosis pada beberapa area tertentu.12 Di AS, 25% lansia wanita
usia di atas 70 tahun dan 50% usia setelah 80 tahun menderita faktur tulang.
Sementa-ra 50% lansia wanita di atas 80 tahun mengalami fraktur vertebral, dan
lebih dari 90% fraktur panggul terjadi pa-da usia di atas 70 tahun. Semakin
lanjut usia risiko os-teoporosis makin tinggi. Peningkatan prevalensi osteo-
porosis pada lansia wanita di Vietnam berdasarkan ke-lompok usia 50-59 tahun
(8,4%), 60-69 tahun (30,5%), 70-79 tahun (56,2%), dan (80 tahun (79,2%).4
Wanita pada periode pasca menopause cenderung memiliki fraktur tangan dan
vertebral, sementara lansia wanita memiliki fraktur vertebral dan panggul.
Terdapat hu-bungan antara perbedaan metabolisme kalsium dengan peningkatan
usia. Berkurangnya asupan kalsium saat usia lanjut berdampak pada rendahnya
asupan kalsium bagi tubuh. Lansia mungkin mengalami penurunan pe-maparan sinar
matahari dan atau kerusakan fungsi gin-jal. Kedua faktor terakhir ini dapat
meningkatkan hor-mon paratiroid (PTH) dan resorpsi tulang. Level tinggi PTH
berhubungan dengan rendahnya densitas massa tu-lang vertebral, meningkatnya
kecepatan pemecahan tu-lang, dan risiko fraktur panggul.

Kejadian osteoporosis berhubungan dengan tingkat pen-didikan akhir. Hal ini terlihat dari lebih tingginya pro-porsi
osteoporosis pada responden dengan tingkat pen-didikan akhir rendah (39,3%) dibandingkan berpendi-dikan tinggi
(23,6%). Gambaran yang berbeda ditam-pilkan pada status osteopenia dan normal. Persentase status DMT normal
tidak jauh berbeda pada kedua ke-lompok tingkat pendidikan akhir, tetapi persentase sta-tus DMT osteopenia lebih
tinggi pada kelompok pendi-dikan tinggi daripada pendidikan rendah. Hasil pene-litian konsisten dengan studi
tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan risiko osteoporosis pada wa-nita post-menopause di Cina.13 Studi
membuktikan bah-wa wanita dari tingkat pendidikan IV lebih tinggi 4,2-11,9% daripada tingkat I. Wanita dari tingkat
pendidik-an I berisiko 3,5-8,6 kali menderita osteoporosis daripa-da tingkat pendidikan IV. Tingkat pendidikan lebih
ting-gi berhubungan dengan DMT lebih baik dan rendahnya prevalensi osteoporosis pada wanita Cina pasca-meno-
pause. Individu dengan tingkat pendidikan tinggi cende-rung mempunyai pengetahuan dan perilaku/gaya hidup
kesehatan lebih baik antara lain banyak beraktivitas fi-sik, kurangi merokok, memelihara keseimbangan berat badan
tubuh, dan konsumsi makanan sumber kalsium (susu, sayuran, kedelai, dan buah).

Beban kerja fisik harian pada usia muda dan tua juga menjadi faktor risiko osteoporosis. Secara umum hasil studi
menggambarkan rata-rata kepadatan tulang kelom-pok beban kerja berat sedikit lebih tinggi daripada be-ban kerja
ringan pada periode usia yang berbeda (usia 25 dan 55 tahun). Terdapat perbedaan rata-rata densitas mineral tulang
pada kelompok lansia dengan beban kerja fisik ringan dan berat pada kedua periode usia. Gambaran yang sama
ditemukan pada proporsi status densitas mineral tulang (DMT) pada kelompok beban kerja fisik usia 25 tahun yaitu
ada perbedaan bermakna status DMT pada kedua tingkat beban ringan dan berat. Persentase osteoporosis pada
kelompok beban kerja ringan usia 25 tahun lebih tinggi daripada beban kerja berat. Demikian pula proporsi status
DMT normal lebih banyak dijumpai pada kelompok beban kerja berat. Namun tidak demikian dengan beban kerja
fisik di usia 55 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna status DMT pada kedua kelompok beban kerja, tetapi
persentase os-teoporosis pada kelompok beban kerja ringan mencapai 2 kali lebih besar dibandingkan kelompok
beban kerja berat. Tidak adanya perbedaan signifikan pada kedua kelompok itu saat berusia 55 tahun mungkin
disebabkan lansia tidak banyak menggunakan otot dan tenaga untuk bekerja karena bertambahnya usia dan
menurunnya ke-mampuan fisik. Kondisi ini seharusnya menurunkan ke-padatan tulang, tetapi kelompok ini memiliki
pendapat-an yang tetap untuk membeli susu dan mengkonsumsi makanan bergizi sumber kalsium sehingga dapat
mem-pertahankan kenormalan status DMT-nya.

Status kepadatan tulang pada masa tua dapat mencer-minkan tingkat aktivitas fisik yang dimiliki saat usia 25 dan 55
tahun. Terdapat perbedaan bermakna kejadian osteoporosis berdasarkan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun.
Persentase osteoporosis terlihat lebih be-sar pada responden dengan tingkat aktivitas rendah daripada sedang dan
tinggi pada usia 25 tahun (berturut-turut adalah 38,6%; 31,1%; dan 28,9%). Sebaliknya per-sentase terbesar status
tulang normal terdapat pada ting-kat aktivitas tinggi (23%) dibandingkan dengan sedang dan rendah (17,4% dan
14,7%). Pola serupa dijumpai pada saat usia 55 tahun yaitu proporsi osteoporosis ter-tinggi terdapat pada tingkat
aktivitas rendah (37,3%) daripada sedang dan tinggi (33,2% dan 28,1%). Tingkat aktivitas tinggi memiliki persentase
status tulang normal terbesar di antara sedang dan rendah (berturut-turut ada-lah 23,7%; 19,2%; dan 12,2%).

Hasil studi sejalan dengan studi efek asupan kalsium dan tingkat aktivitas fisik terhadap massa
tulang wanita post-menopause London.14 Wanita dengan asupan tinggi kalsium dan aktivitas fisik yang tinggi
mempunyai DMT tertinggi. Tingkat aktivitas fisik berhubungan po-sitif dengan DMT, tetapi studi ini berlawanan
dengan hasil studi tentang efek aktivitas fisik dengan densitas tulang pada wanita pre-menopause oleh Mazess dan
Barden.15 Kegiatan harian tidak memiliki dampak/efek pada DMT dan gabungan/interaksi antara asupan kalsi-um
dan kegiatan harian tidak berdampak pula pada DMT. Perbedaan hasil kedua studi pertama dengan studi terakhir
mungkin disebabkan oleh perbedaan disain stu-di, usia, dan batasan tingkat aktivitas fisik.

Persentase osteoporosis pada kelompok asupan cukup dan kurang kalsium saat usia 25 tahun
adalah hampir sa-ma (33,9% dan 32,6%). Perbedaan status tulang normal pada kedua kelompok asupan kalsium
tidak jauh berbe-da (16,9% dan 18,7%). Kesamaan ini juga tergambar ketika responden menginjak usia 55 tahun yang
cukup dan kurang mengkonsumsi kalsium terhadap kejadian osteoporosis dan tulang normal. Tidak adanya hubungan
antara asupan kalsium di usia muda dan tua terhadap kejadian osteoporosis sejalan dengan hasil studi pada lansia
Yunani tentang pengaruh IMT, asupan kalsium terhadap DMT.17 Studi ini tidak menemukan hubungan antara
konsumsi kalsium dengan DMT lansia. Hal itu disebabkan oleh perbedaan variabilitas asupan kalsium antar individu
yang tinggi, tetapi temuan kedua studi pertama berlawanan dengan studi tentang efek asupan kalsium pada densitas
tulang wanita post-menopause di London yang menyatakan asupan kalsium dan kegiatan fisik berkorelasi positif
dengan DMT.14 Interaksi aktivi-tas fisik dan asupan kalsium mungkin berdampak pro-tektif pada kesehatan tulang
khususnya massa tulang puncak wanita 5-12 tahun menjelang menopause. Asup-an kalsium yang tinggi berhubungan
dengan massa tu-lang lebih tinggi pada kelompok anak-anak, dewasa muda, dan wanita post-menopause.

Hasil studi tidak menemukan adanya hubungan antara asupan tinggi protein dengan osteoporosis.
Studi ini konsisten dengan studi pada wanita post-menopause untuk mengontrol pengaruh diet
tinggi protein terhadap retensi kalsium dan status DMT.17 Hal itu mungkin disebabkan oleh disain studi
cross sectional yang meng-amati variabel bebas dan terikat hanya suatu waktu. Studi lain yang menggunakan
pendekatan observasi 4 hari menemukan tingginya pengeluaran kalsium melalui urin/hiperkalsiuria.18 Beberapa studi
menunjukkan bah-wa asupan protein hewani yang berlebihan mungkin memicu hilangnya tulang. Protein hewani
terutama me-ningkatkan ekskresi kalsium melalui urin. Peningkatan asupan protein harian dari 47-142 gram
meningkatkan dua kali lipat pengeluaran kalsium di urin. Kalsium di-mobilisasi dari tulang untuk menetralkan
suasana asam hasil pemecahan produk-produk protein. Selain itu, asam amino metionin yang paling banyak
ditemukan dalam daging sapi, produk-produk susu, dan telur di-ubah menjadi homosistein juga menyebabkan
hilangnya tulang.19

Beberapa faktor risiko terhadap osteoporosis adalah bentuk tubuh yang kurus, kecil/pendek, serta
tubuh yang gemuk. Meningkatnya risiko fraktur dikaitkan dengan bentuk tubuh yang kurus.
Wanita bertubuh kurus (IMT <18,5 kg/m2) menghasilkan sedikit hormon estrogen da-ri androgen (diubah di
jaringan lemak) khususnya sete-lah menopause. Pada wanita obes yang telah memasuki masa menopause akan
mengalami sedikit kehilangan massa tulang. Berat badan rendah dikaitkan dengan pe-ningkatan risiko fraktur
vertebral. Obesitas berhubungan dengan peningkatan massa otot, dampak berat tulang yang lebih besar, dan
perlindungan skeleton lebih besar khususnya panggul oleh lemak sub-kutan. Massa lemak yang tinggi merupakan
salah satu prediktor massa tulang karena meningkatkan tekanan mekanis melalui otot seperti stimulasi kegiatan
osteoblast atau aksi gra-vitasi massa pada skeleton sehingga meningkatkan rang-sangan osteogenesis. Inilah alasan
yang mendasari me-ngapa wanita obes berisiko lebih rendah mengalami os-teoporosis dibandingkan wanita dengan
berat badan mendekati ideal.

Hasil studi ini sejalan dengan studi terhadap wanita post-menopause dan lansia laki-laki di
Cina.9 Massa le-mak memiliki hubungan signifikan terbalik dengan DMT seluruh tubuh dan panggul. Studi EVOS
(The European Vertebral Osteoporosis Study) pada lansia 50-79 tahun menemukan bahwa peningkatan berat badan
pada laki-laki dan perempuan secara statistik mereduksi prevalensi kelainan vertebral.20 Berat badan yang rendah
dihubungkan dengan kelainan vertebral berdasarkan je-nis kelamin. Beberapa studi lain menggambarkan hal sama
dengan studi ini, salah satunya adalah studi efek asupan diet terhadap densitas tulang pada wanita pre-menopause oleh
Mazess dan Barden.15 Berat badan me-rupakan prediktor DMT yang lebih baik dari faktor-fak-tor lain seperti usia,
asupan kalsium, kegiatan fisik, me-rokok, dan pil KB. Makin besar tinggi badan lansia pe-rempuan makin besar
densitas massa tulangnya artinya lebih kecil risiko terhadap osteoporosis. Temuan ini se-jalan dengan studi pada
wanita post-menopause pende-rita rheumatoid arthritis usia 56-70 tahun yaitu hilang-nya TB antara 4 cm atau lebih
selama 10 tahun dikait-kan dengan berkurangnya DMT.21 Rendahnya tinggi ba-dan masa kanak-kanak turut berperan
dalam kejadian osteoporosis. Studi tentang pengaruh antropometri ter-hadap DMT pada lansia yang sehat selama 1
tahun juga dilakukan untuk membuktikan pengaruh penurunan tinggi badan dengan massa tulang pada lansia laki-laki
dan perempuan.22 Peningkatan skor T pada laki-laki ber-hubungan dengan massa otot yang lebih tinggi. Besar-nya
massa otot mungkin mencerminkan gaya hidup yang lebih aktif dan meningkatkan kekuatan biomeka-nik pada tulang
rangka tubuh.23 Perbedaan kenaikan tinggi badan dengan skor T antara laki-laki dan perem-puan mungkin disebabkan
disain studi ini adalah cross sectional sehingga tidak berhasil membuktikan hubung-an sebab akibat antara
peningkatan tinggi badan dengan skor T pada laki-laki.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Disimpulkan bahwa proporsi osteoporosis lansia etnis Jawa sebesar 32,9% yang lebih didominasi oleh kelom-pok
perempuan daripada laki-laki. Lansia yang menetap di desa lebih rendah beresiko terhadap osteoporosis di-
bandingkan lansia di kota. Variabel sosio-ekonomi yang diwakili oleh pendidikan akhir berhubungan dengan
osteoporosis. Proporsi lansia dengan tingkat pendidikan akhir rendah lebih tinggi terkena osteoporosis daripada
pendidikan tinggi. Lansia dengan beban pekerjaan harian tinggi memiliki persentase osteoporosis lebih besar daripada
tingkat rendah. Kejadian osteoporosis berbeda makna pada responden yang memiliki tingkat aktivitas fisik tinggi,
sedang, dan rendah. Osteoporosis tidak berhubungan dengan asupan kalsium dan protein. Persentase lansia yang
cukup dan kurang mengkonsum-si kalsium dan protein adalah hampir sama.

Saran

Disarankan agar data prevalensi osteoporosis lansia Et-nis Jawa dapat digunakan oleh pihak pemerintah dan swasta
untuk merancang strategi dan intervensi penang-gulangan osteoporosis. Penyuluhan tentang diet makan-an sumber
kalsium dan aktivitas fisik yang meningkat-kan densitas tulang sejak usia remaja perlu dilakukan guna menciptakan
penuaan yang sehat (healthy aging).

DAFTAR PUSTAKA
1. Ananta Aris, Evi N, Arifin. Report on ageing at provinces and districts in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies Singapore; 2005.
2. Sanders KM, Nicholson GC, Ugoni AM, Seeman E, Pasco JA, Kotowicz MA. Fracture rates lower in rural than urban
communities: the Geelong Osteoporosis Study. Journal of Epidemiology and Community Health. 2006;56: 466-470.
3. Suzuki Takao. Risk factors for osteoporosis in Asia. Journal of Bone and Mineral Metabolism. 2001; 19: 133-141.
4. Thu Vu Thi, Nguyen Cong Khan, Nguyen Thi Lam, Le Bach Mai, DucSon NguyenTrung Le, Bui Thi Nhung, et al.
Determining the prevalence of osteoporosis and related factors using quantitative ultrasound in Vietnamese adult
women. American Journal of Epidemiology. 2005; 161 (9), 824-830.
5. Passmore R, Durnin JVGA. Human energy expenditure. Scotland: Department of Physiology, University
of Edinburgh and the Institute of Physiology, University of Glasgow; 1955.
6. Miller GD, Jarvis JK, McBean LD. Handbook of dairy foods and nutrition. 2nd ed. Washington DC: National Dairy
Council; 2000.
7. Jahari Abas Basuni, Sri Prihatini. Risiko osteoporosis di Indonesia laporan penelitian. Bogor: Puslitbang Gizi Bogor; 2005.
8. Tucker LK, Honglei Chen, Hannan MT, Cupples LA, Wilson PWF, Felson D, et al. Bone mineral density and dietary
patterns in older adults: the Framingham Osteoporosis Study. American Journal Clinical Nutrition. 2003;76: p.245-252.
9. Hsu Yi-Hsiang, Venners SA, Terwedow HA, Yan Feng, Tianhua Niu, Zhiping Li, et al. Relation of body
composition, fat mass, and serum lipids to osteoporotic fractures and bone mineral density in Chinese men and women.
American Journal Clinical Nutrition. 2006; 83: 146-154.
10. Barrera G, Bunout D, Gattás V, de la Maza M, Leiva L, Hirsch S. A high body mass index protects against femoral
neck osteoporosis in healthy elderly subjects. Nutrition Journal. 2003; 20 (9), 769-771.
11. Eleanor S, et al. Nutrition in aging. Washington DC: National Academy Press; 2000.
12. Woo J. Osteoporosis in the elderly data in Hong Kong Chinese and a review of the
literature. Journal Hongkong Medical Association. 1991;43 (4), 189-192.
13. Hoo CS, et al. Educational level and osteoporosis risk in postmenopausal Chinese women. American Journal of
Epidemiology. 2005;161(7): 680-690.
14. Suleiman S, et al. Lifetime calcium intake and physical activity level on bone mass and turnover in healthy, white,
postmenopausal women. American Journal Clinical Nutrition. 1997; 66: 937-943.
15. Richard MB, Barden HS. Bone density in pre-menopausal women: effects of age, dietary intake, physical activity, smoking,
and birth-control pills. American Journal Clinical Nutrition. 1991; 53, 132-142.
16. Babaroutsi Eirini, Magkos Faidon, Manios Yannis, Sidossis Labros S. Quantitative ultrasound calcaneus measurements:
normative data for the Greek population. Osteoporosis International. 2005; 16 (3): 280-288.
17. Zamzam K, (Fariba) Roughead, Lu Ann K Johnson, Lykken GI, Hunt JR. Controlled high meat diets do not affect
calcium retention or indices of bone status in healthy postmenopausal women. The Journal of Nutrition. 2003;133:1020-1026.
18. Kerstetter, O’Brien K, Insogna KL. Dietary protein and intestinal calcium absorption. The American Journal of
Clinical Nutrition. 2003;73 (5): 990-991..
19. Hudson Tori. Osteoporosis: strategies for prevention and management; 2006.
20. Johnell O, O’Neill T, Felsenberg D, Kanis J, Cooper C, Silman AJ. Anthropometric measurements and
vertebral deformities. American Journal of Epidemiology. 1997;146(4): 287-293.
21. Sanila M, Kotaniemi A, Vikari J, Isomaki H. Height loss rate as a marker of osteoporosis in postmenopausal women with
rheumatoid arthritis. Journal of Clinical Rheumatology. 1994;13.
22. Taggart H, Craig D, McCoy K. Healthy elderly individuals do not in-evitable lose bone density and weight as they age.
Archives of Gerontology and Geriatrics. 39: 283–290.
1. 23. Kirchengast, Peterson B, Hauser G, et al. Body composition characteristics are associated with the bone density of the
proximal femur end in middle and old-aged women and men. Maturitas. 2001;39: 133-145.
* Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat – Universitas Indonesia Depok 16424

------------------------------------

Artikel Asli

M Med Indones

You might also like