You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filariasis atau yang lebih dikenal dengan sebutan kaki gajah adalah

penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan

oleh berbagai nyamuk (Kemenkes RI, 2017).Cacing dewasa filaria yang

hidup di sistem limfatik menimbulkan kesakitan yang tampak yaitu

limfedema seperti pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan

scrotum,hidrokel atau pelebaran kantung buah zakar serta dapat

mengakibatkan cacat menetap. Penderita bukan hanya menderita cacat secara

fisik, melainkan stigma sosial bagi penderita dan keluarganya dan berdampak

pada penurunan produktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan

menimbulkan kerugian ekonomi (Kemenkes RI, 2014; WHO, 2017a).

Filariasis yang merupakan salah satu Neglected Tropical Diseases

atau penyakit terabaikan hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di berbagai negara di dunia terutama di daerah tropis dan

subtropis. WHO (2017b) memperkirakan 120 juta penduduk dunia terinfeksi

filariasis yaitu 25 juta laki-laki di dunia menderita hidrokel dan lebih dari 15

juta yang sebagain besar perempuan menderita limfedema. Salah satu negara

di wilayah WHO bagian Asia Tenggara yang menjadi daerah endemis

filariasis adalah Indonesia (Mupfasoni et al., 2016).

Indonesia telah melaksanakan program eliminasi filariasis sejak tahun

2002 secara bertahap dengan pemberian obat pencegahan massal filariasis di

kabupaten/kota endemis filariasis dan penatalaksanaan kasus filariasis. Hal ini

1
dilakukan berdasarkan keputusan WHO pada tahun 2000 yang

mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as

a Public Health Problem by the Year 2020”. Namun, hingga pada tahun 2015

kasus klinis filariasis di Indonesia masih tinggi yaitu berjumlah 13.032 kasus

klinis yang tersebar di 34 provinsi dengan prevalensi sebesar 4,7%. Provinsi

dengan kasus klinis kronis filariasis terbanyak yaitu Nusa Tenggara Timur

(2.864 orang), Aceh (2.372 orang), dan Papua Barat (1.244 orang). Pada

tahun 2016 dilaporkan sebanyak 29 provinsi dan 239 kabupaten/kota yang

berstatus endemis filariasis. Jika penularan filariasis di daerah endemis tidak

ditangani maka kasus klinis akan bertambah dari 13.032 orang menjadi

sebanyak 4.807.148 orang yang akan terinfeksi filariasis dan berkembang

menjadi penderita penyakit kaki gajah (Kemenkes RI, 2016).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu mengetahui secara

lebih rinci tentang penyakit filariasis hingga upaya pengendaliannya.

B. Tujuan

1. Mengetahui pengertian filariasis

2. Mengetahui etiologi filariasis

3. Mengetahui vektor filariasis

4. Mengetahui rantai penularan filariasis

5. Mengetahui patogenesis, gejala klinis, dan penentuan stadiumlimfadema

6. Mengetahui diagnosa filariasis

7. Mengetahui faktor risiko filariasis

8. Mengetahui upaya penanggulangan filariasis

2
BAB II

ISI

A. Pengertian Filariasis

Penyakit kaki gajah (lymphatic filariasis) yang selanjutnya disebut

filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing

filariayang menyerang saluran dan kelenjar getah bening (Kemenkes RI,

2014). Infeksi oleh cacing filaria seperti Wuchereria bancrofti, Brugia

malayi, dan Brugia timori ditularkan vektor nyamuk dan manusia sebagai

host definitif. Nyamuk genus Aedes, Anopheles, Culex dan Mansonia adalah

vektor filariasis limfatik (Cobo, 2014).

B. Etiologi Filariasis

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria

antara lain Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.

1. Morfologi cacing dewasa

Gambar 2.1. Cacing dewasa W.bancrofti Gambar 2.2. Cacing dewasa Brugia spp.
jantan (kiri) dan betina pada jaringan limfe dengan
(kanan) (CDC, 2016) pewarnaan hematoxylin and
eosin (H&E) diperbesar
400x (CDC, 2016)

3
Cacing dewasa W.bacnroftiberbentuk silindris, panjang, berwarna

putih kekuning-kuningan, cacing jantan berukuran 4 cm x 0,1 mm lebih

kecil dibandingkan dengan cacing betina yang berukuran 6-10 cm x 0,2-

0,3 mm). Cacing betina bersifat vivipar dan langsung mengeluarkan

mikrofilaria (Sastry and Bath, 2014). Cacing dewasa Brugia spp. hampir

sama dengan W.bancrofti namun berbeda ukuran yaitu panjang cacing

jantan 2 cm dan cacing betina 5 cm (Marcondes, 2017).

2. Morfologi Mikrofilaria

Cacing dewasa betina, setelah mengalami fertilisasi, mengeluarkan

jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200–600

µm x 8 µm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies

mikrofilaria dapat dibedakan (Kemenkes RI, 2014).

Tabel 2.1. Jenis mikrofilaria yang terdapat di Indonesia specimen darah


tepi dengan perwarnaan giemsa
Morfologi/
No. W.bancrofti Brugia malayi Brugia timori
Karakteristik
1. Gambaran Melengkung Melengkung Melengkung
umum dalam mulus kaku dan patah kaku dan patah
sediaan darah
2. Perbandingan 1:1 1:2 1:3
lebar dan
panjang ruang
kepala
3. Warna sarung Tidak Merah muda Tidak berwarna
berwarna
4. Ukuran 240-300 175-230 265-325
panjang (µm)
5. Inti badan Halus, tersusun Kasar, Kasar,
rapi berkelompok berkelompok
6. Jumlah inti di 0 2 2
ujung ekor
7. Gambaran Seperti pita ke Ujung agak Ujung agak
ujung ekor arah ujung tumpul tumpul
Sumber: Kemenkes RI, 2014

4
Gambar 2.3. Mikrofilaria W.bancrofti
(CDC, 2016)

Gambar 2.4. Mikrofilaria B.malayi Gambar 2.5. Mikrofilaria B.timori


(CDC, 2016) (CDC, 2016)

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu sebagai

berikut (Kemenkes RI, 2014):

a. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang,

Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna

(mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari,

sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti

paru-paru, jantung dan ginjal), ditularkan oleh nyamuk Culex

quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.

5
b. Wuchereriabancrofti tipe pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas

di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna

yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles, Culex dan

Aedes.

c. Brugiamalayi tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk

penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah

persawahan.

d. Brugiamalayi tipe subperiodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari,

tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari (subperiodik nokturna).

Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah

rawa.

e. Brugia malayi tipe non periodik

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang

hari (non periodik). Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan

Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.

f. Brugia timori tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk

penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah

persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.

6
3. Larva dalam tubuh nyamuk

Pada saat nyamuk menghisap darah yang mengandung mikrofilaria,

maka mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk dan

mikrofilaria melepaskan selubungnya, selanjutnya menembus dinding

lambung lalu bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada.

Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva

stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17

µm, dengan ekor runcing seperti cambuk.

Setelah ± 6 hari dalam tubuh nyamuk, larva tumbuh menjadi larva

stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 µm x 15-

30 µm, dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium ini larva

menunjukkan adanya gerakan.

Hari ke 8 -10 pada spesies Brugia atau hari ke 10 - 14 pada spesies

Wuchereria, larva dalam nyamuk tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3)

yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm. L3 tampak panjang dan ramping

disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing

infektif.

Gambar 2.6. Larva pada berbagai stadium (Kemenkes RI, 2014)

7
C. Vektor Filariasis

Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies

nyamuk dari 5 genus yaitu: Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan

Armigeres yang menjadi vektor Filariasis. Sepuluh spesies nyamuk

Anopheles telah diidentifikasi sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe

pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti

tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di

Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan

vektor fialariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi

vektor Brugia malayi tipe sub periodic nokturna. Sementara Anopheles

barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat

di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Setiap daerah

mempunyai spesies nyamuk berbeda-beda, dan pada umumnya terdapat

beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama dan spesies lainnya hanya

merupakan vektor potensial (Kemenkes RI, 2014).

Tabel 2.2. Distribusi spesies cacing filaria dan nyamuk penularnya di


Indonesia
No. Provinsi Spesies cacing filaria Spesies vektor
1. Aceh W. bancrofti, B. Cx.quenqueifasciatus,
Malayi Ma.uniformis, Ma.indiana
2. Sumatera Utara B. malayi Ma.uniformis
3. Riau B. malayi, W. Ma.uniformis, Ma.dives,
Bancrofti Ma.bonneae, An.nigerimus
4. Sumatera Barat B. malayi Mansonia spp, An.nigerimus
5. Jambi B. malayi, W. Ma.uniformis, Ma.indiana,
Bancrofti Ma.anulifera
6. Bengkulu B. malayi Ma.uniformis, Ma.annulata,
Ma.dives, Ma.bonneae
7. Sumatera Selatan B. malayi Ma.uniformis, An.nigerimus
8. Lampung B. malayi Ma.uniformis
9. DKI Jakarta W. bancrofti Cx.quinquefasciatus
10. Jawa Barat B. malayi, W. bancrofti Cx.quinquefasciatus,
Ma.indiana

8
11. Jawa Tengah B. malayi, W. bancrofti Cx.quinquefasciatus,
Ma.uniformis
12. Kalimantan Barat B. malayi Ma.uniformis, An.nigerimus
13. Kalimantan Tengah B. malayi Ma.uniformis, An.nigerimus
14. Kalimantan Selatan B. malayi Ma.uniformis,
Ma.annulifera, Ma.annulata,
Ma.indiana, Ma.bonneae,
Ma.dives, An.nigerimus
15. Kalimantan Timur B. malayi Ma.bonnea, Ma.uniformis,
Ma.dives
16. NTB W. bancrofti An.subpictus

No. Provinsi Spesies cacing filaria Spesies vektor


17. NTT B. timori, W. bancrofti An.barbirostris,
An.subpictus, An.aconitus,
An.vagus
18. Sulawesi Selatan B. malayi An.barbirostris, An.dives,
Ma.uniformis, Ma.annulifera
19. Sulawesi Tengah B. malayi, W. bancrofti An.barbirostris
20. Sulawesi Tenggara B. malayi, W. bancrofti Ma.uniformis, Ma.indiana,
Ma.dives, An.aconitus,
An.barbirostris,
An.nigerimus,
Cx.annulirostris,
An.maculatus, Cx.whitmorei
21. Sulawesi Utara B. malayi An.barbirostris
22. Maluku B. malayi Ma.uniformis
23. Papua W. bancrofti An.farauti, An.koliensis,
An.punculatus, An.bancrofti,
Cs.annulirostris,
Cx.bitaeniorhynchus,
Cx.quinquefasciatus,
Ae.kochi, Ar.subaltabus,
Ma.uniformis
Sumber: Kemenkes RI, 2014

Secara umum, siklus hidup nyamuk adalah sebagai berikut (Depkes

RI, 2004):

1. Telur diletakkan di permukaan air atau benda-benda lain di permukaan

air. Ukurn telur kurang lebih 0,5 mm dan jumlah telur atau sekali bertelur

mencapai 100 sampai 300 butir, rata-rata 150 butir dengan frekuensi dua

atau tiga hari. Lama menetas dapat beberapa saat setelah terkena air,

9
hingga dua sampai tiga hari setelah berada di air. Telur menetas menjadi

jentik (larva).

2. Larva terdapat di air dan mengalami empat masa pertumbuhan (instar)

yaitu instar I kurang lebih 1 hari, instar II kurang lebih 1-2 hari, instar III

kurang lebih 2 hari, dan instar IV kurang lebih 2-3 hari. Masing-masing

instar ukurannya berbeda dan juga kelengkapan bulu-bulunya. Tiap

pergantian instar disertai dengan pergantian kulit. Belum ada perbedaan

jantan dan betina. Pada pergantian kulit terakhir berubah menjadi pupa.

Umur rata-rata pertumbuhan mulai jentik sampai menjadi pupa berkisar

antara 8-14 hari.

3. Pupa (kepompong) terdapat di air dan tidak memerlukan makanan,

namun memerlukan udara. Belum ada perbedaan jantan dan betina. Pupa

menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk. Pada umumnya nyamuk jantan

menetas lebih dahulu daripada nyamuk betina.

4. Nyamuk jantan dan nyamuk betina yang menetas dari kelompok telur

pada umumnya jumlahnya hampir sama banyaknya (1:1). Setelah

menetas, nyamuk melakukan perkawinan yang biasanya terjadi pada

waktu senja. Perkawinan hanya terjadi cukup satu kali, sebelum nyamuk

betina pergi untuk menghisap darah. Umur nyamuk jantan lebih pendek

daripada nyamuk betina yaitu kurang lebih seminggu. Makanannya

adalah cairan buah-buahan atau tumbuhan. Sedangkan nyamuk betina

berumur lebih panjang daripada nyamuk jantan dan perlu menghisap

darah untuk pertumbuhan telurnya.

10
Gambar 2.7. Siklus hidup nyamuk (Woodsen, 2013)

Perbedaan bentuk masing-masing tingkat pertumbuhan nyamuk yang

menjadi vektor filariasis adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3. Ringkasan perbedaan bentuk masing-masing tingkat pertumbuhan


nyamuk pada tiap generasi yang menjadi vektor
Tingkat
Anopheles Mansonia Aedes Culex
pertumbuhan
Telur - Di permukaan - Di balik daun - Dilekatkan pada - Di permukaan
air, yang terapung di dinding tempat air
berpelampung, permukaan air, air atau pada bergerombol,
satu-satu atau berbentuk Rozet benda-benda berbentuk
saling berlekatan (seperti mawar), yang terapung di seperti rakit
pada ujungnya mengelompok permukaan air,
satu persatu
Jentik - Berenang bebas - Meletakkan pada - Berenang bebas - Berenang
di air akar tumbuhan di di ar bebas di air
- Tanpa corong dalam air - Ada corong - Ada corong
udara, - Corong udara udara dengan udara dengan
mempunyai pendek, tajam, pecten dan pecten, acus,
bulu-bulu dengan ujung sekelompok dan beberapa
berbentuk kipas runcing dan bulu-bulu kelompok
- Pada waktu ditusukkan pada - Pada waktu bulu-bulu.
istirahat sejajar akar tumbuhan istirahat - Pada waktu
dengan air, tanpa pecten. membentuk istirahat
permukaan air - Pada waktu sudut dengan membentuk
- Banyak dijumpai istirahat tetap permukaan air sudut dengan
pada genangan melekat pada - Banyak dijumpai permukaan air.
air yang tida akar tumbuhan pada genangan - Banyak
terlalu kotor air air dengan dijumpai pada
(rawa, sawah, - Banyak dijumpai tempat tertentu genangan air
ladang, dan lain- pada genang air (drum, bak, kotor
lain) dengan tempayan, (comberan,
tumbuhan kaleng bekas, got, parit, dan

11
tertentu (pistia, pelepah pohon, lain-lain)
enceng, dan lain- dan lain-lain)
lain)
Tingkat
Anopheles Mansonia Aedes Culex
pertumbuhan
Kepompong Sulit untuk membedakan secara cepat bagi yang belum berpengalaman
(Pupa)
Nyamuk - Proboscis sama - Sisik-sisik pada - Ujung abdomen - Pada ujung
dewasa betina panjang dengan sayap asimetris, meruncing kaki-kakinya
palpi berwarna coklat, dengan ujung terdapat
- Menularkan dan pucar cerci yang pulvilli
penyakit malaria bercampur menonjol jelas - Menularkan
dan filaria - Menularkan - Menularkan penyakit
penyakit filaria penyakit demam filaria
berdarah (DBD)
dan filaria
Sumber: Kemenkes RI, 2014

1. Genus Anopheles

Gambar 2.8. Larva nyamuk Anopheles Gambar 2.9. Nyamuk dewasaAnopheles


(WHO, 2013) (WHO, 2013)

Gambar 2.10. Identifikasi nyamuk Anopheles (WHO, 2013)

12
a. Tempat perindukan nyamuk dan habitat larvaAnopheles

Nyamuk betina Anopheles aconitus lebih menyukai genangan air

dengan dasar tanah (bukan kontainer) untuk meletakkan telur-telurnya,

sedangkan Anopheles farauti lebih menyukai genangan air dengan dasar

berpasir, dan An. punculatus lebih menyukai genangan air dengan dasar

berlumpur. Anopheles barbirostis ditemukan di daerah persawahan.

Jentik-jentik nyamuk Anopheles menyukai genangan-genangan air yang

baru (Depkes RI, 2004).

Gambar 2.11. Persawahan sebagai tempat perindukan nyamuk


Anopheles(WHO, 2013)

b. Perilaku menggigit dan istirahatAnopheles

Nyamuk Anopheles menggigit pada malam hari. Beberapa spesies

menggigit di dalam rumah (endofagik), sementara lainnya menggigit di

luar rumah (eksofagik). Setelah menggigit, beberapa spesies istirahat di

dalam rumah (endofilik), sementara lainnya bersembunyi di tempat

peristirahatan di luar rumah (eksofilik) seperti vegetasi, retakan dan celah

pohon, gua atau di bawah jembatan (WHO, 2013). Anopheles aconitus

hinggap istirahat di tanah pada tebing-tebing sungai atau parit di pinggir

13
kampung di tempat yang teduh. Anopheles punculatus hinggap di tanah di

bawah rumput-rumputan di tempat yang teduh, yang memberi

kelembaban tinggi (Depkes RI, 2004).

c. Jarak terbang nyamukAnopheles

Anopheles aconitus memiliki jarak terbang 550 meter dan An.

barbirostris 200-300 meter (Depkes RI, 2004).

2. Genus Culex

Gambar 2.12. Larva nyamuk Gambar 2.13. Nyamuk


Culex(WHO, 2013) dewasaCulex(WHO, 2013)

Gambar 2.14. Identifikasi nyamuk Culex(WHO, 2013)

14
a. Tempat perindukan nyamuk dan habitat larva Culex

Culex quinquefasciatus biasanya meletakkan telurnya di air yang

tercemar yang mengandung bahan organik seperti sampah, kotoran, dan

tanaman yang membusuk. Tempat perkembangbiakkan yang khas adalah

septik tank, jamban, saluran air yang tersumbat, selokan dan sumur yang

tidak terpakai (WHO, 2013).

Gambar 2.15. Saluran air yang tersumbat dan terbuka sebagai


tempat perindukan nyamuk Culex (WHO, 2013)

b. Perilaku menggigit dan istirahat Culex

Culex quinquefasciatus sebagian besar bersifat domestik.

Nyamuk betina Cx. quinquefasciatus dewasa menggigit manusia dan

hewan sepanjang malam hari di dalam rumah dan di luar rumah. Spesies

ini tidak aktif di siang hari, sering beristirahat di sudut-sudut ruangan

yang gelap, tempat yang teduh.

c. Jarak terbang nyamuk Culex

Nyamuk Culex memiliki jarak terbang kurang dari 200 meter

(WHO, 2013).

15
3. Genus Aedes

Gambar 2.16. Larva nyamuk Gambar 2.17. Nyamuk


Aedes(WHO, 2013) dewasaAedes(WHO, 2013)

Gambar 2.18. Identifikasi nyamuk Aedes(WHO, 2013)

a. Tempat perindukan nyamuk dan habitat larva Aedes

Nyamuk Aedes suka berkembang biak di air yang jernih (Depkes

RI, 2004). Aedespolynesiensis yang merupakan vektor filariasis utama di

kepulauan Polinesia berkembang biak di tempat alami seperti tempurung

kelapa dan lubang pohon. Selain itu juga banyak ditemukan di wadah

buatan (kontainer) (WHO, 2013).

16
Gambar 2.19. Kontainer dan ban bekas sebagai tempat
perindukan nyamuk Aedes (WHO, 2013)

b. Perilaku menggigit dan istirahat Aedes

Nyamuk Aedes biasanya menggigit pada siang hari, puncaknya

pada pagi dan sore hari. Ae.polynesiensis bersifat eksofagik dan eksofilik

tetapi juga diketahui menggigit dan istirahat di dalam dan sekeliling

rumah (WHO, 2013).

c. Jarak terbang nyamuk Aedes

Nyamuk Aedesrata-rata memiliki jarak terbang kurang dari 400

meter (WHO, 2013).

4. Genus Mansonia

Gambar 2.20. Larva nyamuk Gambar 2.21. Nyamuk


Mansonia(WHO, 2013) dewasaMansonia(WHO,
2013)

17
Gambar 2.22. Identifikasi nyamuk Mansonia(WHO, 2013)

a. Tempat perindukan nyamuk dan habitat larva Mansonia

Nyamuk Mansonia paling sering ditemukan di rawa dalam

meletakkan telurnya. Larva dan pupa bergantung pada tanaman air

untuk pernapasan sehingga hanya terjadi di badan air yang mengandung

vegetasi permanen seperti rawa, kolam, parit berumput dan saluran

irigasi (WHO, 2013).

Gambar 2.23. Rawa sebagai tempat perindukan nyamuk


Mansonia (WHO, 2013)

18
b. Perilaku menggigit dan istirahat nyamuk Mansonia

Nyamuk Mansonia biasanya menggigit di malam hari dan di

luar rumah. Setelah makan darah, nyamuk Mansonia menunjukkan

perilaku eksofilik (WHO, 2013).

c. Jarak terbang nyamuk Mansonia

Nyamuk Mansoniamemiliki jarak terbang kurang dari 2000

meter (WHO, 2013).

D. Rantai Penularan Filariasis

Gambar 2.24. Rantai Penularan Filariasis (Kemenkes RI, 2014)

1. Proses dan faktor penularan filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, antara lain

adanya sumber penularan baik manusia atau hospes reservoir yang

mengandung mikrofilaria dalam darahnya, vektor yakni nyamuk yang

dapat menularkan filariasis, dan manusia yang rentan terhadap filariasis.

19
a. Faktor cara nyamuk menghisap darah manusia

Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut

mendapat gigitan nyamuk infektif. Proses perpindahan cacing filaria

dari nyamuk ke manusia bermula dari nyamuk yang mengandung

larva infektif (larva stadium 3 atau L3) menggigit manusia. Larva L3

akan keluar dari probosisnya dan tinggal dikulit sekitar lubang

gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3

akan masuk melalui lubang bekas gigitan nyamuk dan bergerak

menuju ke sistem limfe.

Gambar 2.25. Penularan mikrofilaria (L3) dari nyamuk ke manusia (Kemenkes RI, 2014)

Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam

berdarah, proses terjadinya perpindahan larva L3 dari nyamuk ke

manusia tersebut tidak mudah, sehingga rantai penularan cacing

filaria pada suatu daerah tertentu juga tidak mudah.

b. Faktor daur hidup cacing filaria dalam tubuh manusia

Rantai penularan Filariasis pada suatu daerah juga

dipengaruhi oleh perkembangan larva L3 dalam tubuh manusia

menjadi cacing filaria dewasa, lama hidup dan kemampuan

memproduksi anak cacing filaria (mikrofilaria) yang dapat menular

(infektif).

20
Gambar 2.26. Perkembangan L3 hingga menjadi cacing dewasa dan
mengeluarkan mikrofilaria dalam tubuh manusia
(Kemenkes RI, 2014)

1) Makrofilaria dan mikrofilaria

Larva L3 berkembang menjadi cacing dewasa

(makrofilaria), kemudian cacing dewasa ini akan menghasilkan

ribuan anak cacing (mikrofilaria) perhari. Cacing dewasa tidak

menular, tetapi anak cacing yang berada di peredaran darah tepi

akan terhisap oleh nyamuk yang menggigitnya dan kemudian

ditularkan kembali pada orang lain.

2) Masa perkembangan makrofilaria

Ketika larva L3 masuk dalam tubuh manusia

memerlukan periode waktu lama untuk berkembang menjadi

cacing dewasa. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan

menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu lebih dari 3,5 bulan,

sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang

lebih 9 bulan (6-12 bulan).

3) Lama hidup cacing dewasa dalam tubuh manusia

Cacing dewasa (makrofilaria) yang ada dalam tubuh

manusia mampu bertahan hidup selama 5-7 tahun. Selama hidup

yang lama tersebut, dapat menghasikan ribuan mikroflaria setiap

21
hari, sehingga dapat menjadi sumber penularan dalam periode

waktu yang sangat panjang.

4) Waktu-waktu penularan mikrofilaria pada nyamuk

Mikrofilaria dapat terhisap oleh nyamuk yang mengigit

manusia (menular pada nyamuk), jika mikrofilaria berada di

darah tepi. Oleh karena itu, di daerah dimana mikrofilaria

bersifat periodik nokturna, yaitu mikrofilaria keluar memasuki

peredaran darah tepi pada malam hari, dan bergerak ke organ-

organ dalam pada siang hari, mikrofilaria menular pada nyamuk

yang aktif pada malam hari. Sementara di daerah dengan

microfilaria subperiodik nokturna dan non periodik, penularan

dapat terjadi pada siang dan malam hari.

2. Faktor daur hidup cacing filaria dalam tubuh nyamuk

a. Perkembangan menjadi cacing infektif

Mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk, tidak segera menjadi

infektif, tetapi memerlukan perkembangan menjadi larva L1, larva

L2 dan akhirnya menjadi larva L3 yang infektif (masa inkubasi

ektrinsik). Spesies Brugia memerlukan waktu 8-10 hari, spesies

Wuchereria memerlukan waktu 10-14 hari.

b. Kemampuan perkembangan mikrofilaria dalam tubuh nyamuk

Kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat

menghisap darah manusia yang positif mikrofilaria sangat terbatas,

tetapi terlalu banyak mikrofilaria terhisap, dapat menyebabkan

kematian nyamuk tersebut. Sebaliknya, apabila mikrofilaria yang

22
terhisap oleh nyamuk terlalu sedikit, maka kemungkinan terjadinya

penularan menjadi kecil karena stadium larva L3 yang dihasilkan

juga sedikit.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban juga sangat

berpengaruh terhadap penularan Filariasis. Suhu dan kelembaban

berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga microfilaria yang

telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh

menjadi larva infektif L3.

c. Faktor Pemukiman dan Perpindahan Penduduk

Disamping faktor-faktor tersebut diatas, mobilitas penduduk

dari daerah endemis ke non endemis atau sebaliknya, berpotensi

menjadi media terjadinya penyebaran Filariasis antar daerah.

d. Hospes filaria

SpesieisBrugia malayi tipe sub periodik dan non periodik

juga terdapat pada kucing dan kera dengan nyamuk penularnya

adalah nyamuk mansonia. Adanya binatang yang menjadi hospes

cacing filaria, akan menjadi salat satu masalah dalam upaya

eliminasi Filariasis di Indonesia.

Gambar 2.27. Skema rantai penularan filariasis limfatik (Brugia malayi


tipe sub periodic nocturnal dan non periodic) (Kemenkes RI,
2014)
23
E. Patogenesis, Gejala Klinis, dan Penentuan Stadium Limfadema

1. Patogenesis

Perkembangan klinis Filariasis dipengaruhi oleh faktor

kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan

nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan

adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum

perkembangan klinis Filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase

lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing

dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase

lanjut terjadi kerusakan saluran dan kelenjar limfe, kerusakan katup

saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di

kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis Filariasis tersebut disebabkan

karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe

menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan

(obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Kemenkes

RI, 2014).:

a. Penimbunan cairan limfe. Menyebabkan aliran limfe menjadi lambat

dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk

ke jaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan

akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan

jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadan ini

dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

b. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui

saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat

24
dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES),

bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut

(acute attack).

c. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit.

Sehingga bakteri mudah berkembang biak dapat menimbulkan

peradangan akut (acute attack).

d. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang

(recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis

sebagai berikut:

1) Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa

bersama-sama dengan bakteri, yaitu :

a) Limfangitis. peradangan di saluran limfe

b) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe

c) Adeno limfangitis (ADL), peradangan saluran dan kelenjar

limfe

d) Abses (Lanjutan ADL)

e) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah

genital (alat kelamin) menimbulkan epididimitis, funikulitis

dan orkitis.

2) Gejala peradangan umum, berupa demam, sakit kepala, sakit otot,

rasa lemah dan lain-lainnya.

e. Kerusakan sitem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil

yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk

25
mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe

sehingga dapat terjadi limfedema.

f. Pada penderita limfedema, serangan akut berulang oleh bakteri atau

jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit,

hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan

jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga terjadi peningkatan

stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang

timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).

2. Gejala Klinis

Gejala klinis Filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis.

Pada dasarnya gejala klinis Filariasis yang disebabkan oleh infeksi W.

Bancroft, B. malayi dan B. timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut

tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B.malayi dan B.

timori. Infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran

kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. Timori tidak

menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Kemenkes

RI, 2014)..

a. Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis,

adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan

timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami

penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di daerah lipat

paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi dan

B. Timori dibandingkan karena infeksi W. bancrofti, demikian juga

26
dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Tetapi sebaliknya,

pada infeksi W. bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir

(orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan

funikulus spermatikus (funikulitis).

b. Gejala Klinis Kronis

Gejala klinis kronis terdiri dari limfedema, lymp scrotum,

kiluria, hidrokel.

1) Limfedema

Pada infeksi W. bancrofti, terjadi pembengkakan seluruh

kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara,

sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki

dibawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih

normal.

2) Lymph Scrotum

Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit

scrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe

tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan

membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan

kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini

mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan

jamur, serangan akut berulang dapat berkembang menjadi

limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal

kadangkadang sangat besar.

3) Kiluria

27
Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan

pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa

spesies W. bancrofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk

kedalam saluran kemih.Gejala yang timbul antara lain air

kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung

lemak, dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar

kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan.

4) Hidrokel

Hidrokel adalah pelebaran kantung buah zakar karena

terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis.

Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar,

dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut:

a) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadangkadang

sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi.

b) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.

c) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan

komplikasi, yaitu komplikasi dengan Chyle (Chylocele),

darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi

dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan

komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi

ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah

dilatih.

28
d) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti

dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W.

bancrofti.

3. Penentuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya

bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy

lession (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam

melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi

petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang

tepat kepada penderita (Kemenkes RI, 2014)..

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut

(Kemenkes RI, 2014).:

a. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian

kiri dan kanan, lengan dan tungkai.

b. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas,

bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.

c. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang

terberat.

d. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut

sembuh.

e. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah

pengobatan dan penatalaksanaan kasus.

29
Tabel 2.4. Stadium Limfedema
Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium
No. Gejala Stadium 1
2 3 4 5 6 7
1. Bengkak menghilang menetap menetap menetap menetap menetap menetap
di kaki waktu dan dan dan
bangun meluas meluas meluas
tidur pagi
2. Lipatan tidak ada tidak dangkal dangkal dalam, dangkal, dangkal,
kulit ada kadang dalam dalam
dangkal
3. Nodul tidak ada tidak tidak ada kadang- kadang- kadang-
ada ada kadang kadang kadang
4. Mossy tidak ada tidak tidak tidak tidak ada kadang-
lesions ada ada ada ada kadang
(gambaran
seperti
lumut)
5. Hambatan tidak tidak tidak tidak tidak tidak ya
berat
Sumber: Kemenkes RI, 2014

F. Diagnosa Filariasis

1. Diagnosa Klinis

Diagnosis filariasis limfatik secara klinis didasarkan atas gejala-

gejala klinis yang muncul pada penderita baik pada stadium akut maupun

kronik. Gejala akut pada filariasis bancrofti pada umumnya berupa

peradangan pada saluran limfe genitalia yaitu timbul funikulitis,

epididimitis dan orkitis. Pada stadium kronik akan terjadi khiluria,

hidrokel testis, elefantiasis skroti maupun elefantiasis seluruh tungkai atau

lengan dan mammae. Gejala akut pada filariasis malayi dan filariasis

timori berupa demam, limfadenitis, limfangitis desendens, abses dan

limfedema. Pada stadium kronik terjadi elefantiasis pada tungkai di

bawah lutut atau lengan di bawah siku(Rosanti dan Soeyoko, 2014).

2. Diagnosis Parasitologi

Diagnosis filariasis limfatik secara parasitologis berdasarkan pada

ditemukannya mikrofilaria dan cacing dewasa. Mikrofilaria dapat

30
ditemukan di dalam darah, urin dan cairan hidrokel. Cacing dewasa dapat

ditemukan di dalam kelenjar/saluran limfe inang definitifnya (Rosanti dan

Soeyoko, 2014).

a. Pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan menggunakan

sediaan darah tebal

Cara diagnosis menggunakan cara ini hanya dapat mendeteksi

mikrofilaria jika kepadatannya di dalam darah tinggi dan jika

kepadatan mikrofilaria di dalam darah rendah maka mikrofilaria akan

sulit terdeteksi.Pemeriksaan mikrofilaria dapat dilakukan dengan

menggunakan sediaan darah tebal karena murah dan dapat dipakai

untuk mengidentifikasi spesies serta paling sering dipakai di lapangan.

Pemeriksaan mikrofilaria menggunakan cara ini mempunyai

kelemahan yaitu kadang-kadang ada mikrofilaria yang hilang pada

proses hemolisis dan pewarnaan. Namun kelemahan tersebut dapat

diatasi dengan menggunakan kaca obyek yang bersih. Cara lain untuk

mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan mengeringkan darah

selama lebih dari 12 jam untuk mencegah hilangnya mikrofilaria pada

proses hemolisis dan pewarnaan. Cara pemeriksaan mikrofilaria di

dalam sediaan darah tebal adalah sebagai berikut; Sebanyak 20 – 60 µl

darah diambil dari ujung jari dengan menggunakan pipet kapiler

kemudian dibuat sediaan darah pada kaca obyek, selanjutnya diwarnai

dengan menggunakan pewarnaan Giemsa. Sediaan darah tsb

kemudian dilihat di bawah mikroskop pada perbesaran 10x (Rosanti

dan Soeyoko, 2014).

31
b. Immunochromatographic Test (ICT)

Immunochromatographic Test (ICT) digunakan dalam Survei

Evaluasi Penularan Filariasis atau Transmission Assessment Survey

(TAS) merupakan salah satu metode survei untuk menilai apakah

masih ditemukan adanya penularan Filariasis di daerah tersebut. Pada

dasarnya, setelah POPM filarisis dilaksanakan setiap tahun selama 5

tahun berturut-turut, maka diharapkan sudah tidak terjadi penularan

Filariasis, sehingga pada anak-anak berusia 6-7 tahun tidak ditemukan

adanya cacing dewasa dalam darahnya (Kemenkes RI, 2014).

Sesuai dengan jenis cacing Filariasisnya, metode diagnosis

untuk menentukan ada tidaknya cacing filaria di dalam darah dibagi 2

cara: a) Immunochromatographic Test (ICT)/Rapid Test untuk

Bancrofti, guna mengetahui keberadaan antigen cacing dewasa

W.brancofti dalam darah, dengan waktu pemeriksaan setiap waktu. b)

Rapid Test untuk Brugia, guna mendeteksi adanya antibodi Brugia

malayi atau Brugia timori, dengan waktu pemeriksaan juga setiap

waktu. Terdeteksinya antibodi Brugia malayi atau Brugia timori pada

anak-anak (berumur 6-7 tahun) menandakan adanya riwayat infeksi

cacing filaria pada 6-7 tahun terakhir (Kemenkes RI, 2014).

c. Pemeriksaan mikrofilaria dalam urin atau cairan hidrokel

Urin atau cairan hidrokel sebanyak 15 ml disentrifugasi dengan

kecepatan 2000 rpm selama lima menit. Bagian supernatan dibuang,

endapannya diperiksa di bawah mikroskop (Rosanti dan Soeyoko,

2014).

32
d. Pemeriksaan cacing dewasa di dalam kelenjar atau saluran limfe

Terdapat beberapa macam cara pemeriksaan cacing dewasa di

dalam kelenjar atau saluran limfe.

1) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan biopsy kelenjar limfe

Diagnosis dengan cara ini jarang sekali digunakan untuk

diganosis filariasis. Perlu pengetahuan tentang mikroanatomi

penampang lintang cacing dewasa agar dapat mendiagnosis

dengan pasti. Adanya mikrofilaria di sekitar cacing dewasa atau

di dalam uterusnya sangat membantu diagnosis. Cara

pemeriksaan cacing dewasa dengan biopsi kelenjar limfe

dilakukan dengan biopsi kelenjar kemudian dibuat sediaan

jaringan. Pada umumnya cacing sudah mati bahkan seringkali

telah mengalami kalsifikasi (Rosanti dan Soeyoko, 2014).

2) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan ultrasound

Cara diagnosis ini dapat digunakan untuk mengetahui efek

obat anti filaria terhadap stadium dewasanya secara in vivo.

Penggunaan ultrasound akan memperlihatkan adanya gerakan

cacing dewasa dalam saluran limfe di daerah skrotum yang

disebut filaria dance sign. Pada filariasis bancrofti dengan status

mikrofilaremia, 80% diantaranya dapat menunjukkan filaria dance

sign. Penggunaan USG membantu untuk menentukan lokasi dan

memvisualisasikan gerakan cacing W.bancrofti hidup di dalam

pembuluh limfe skrotum penderita filariasis asimptomatik

mikrofilaremia. USG tidak berguna pada pasien dengan

33
limfoedema karena cacing dewasa pada umumnya tidak ada pada

stadium limfoedema ini demikian juga pada Brugia malayi.

Namun pada filariasis malayi disebabkan karena spesies cacing

penyebabnya tidak menyebabkan manifestasi klinis di genitalia

(Rosanti dan Soeyoko, 2014).

3) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan high-powe

videomicroscopy

Cara ini belum diujicobakan untuk diagnosis filariasis pada

manusia. Cara ini dapat dipakai untuk melihat cacing dewasa

yang masih hidup di dalam saluran limfe tungkai hewan coba.

Diantara sekian banyak teknik dan metode pemeriksaan

untuk diagnosis filariasis limfatik tersebut diatas, pemeriksaan

darah jari dengan sediaan darah tebal masih merupakan baku

emas untuk diagnosis filariasis limfatik. Terlebih untuk

menentukan endemisitas suatu wilayah maupun untuk

mengevaluasi hasil pengobatan, metode survei darah jari (SDJ)

merupakan baku emas (Rosanti dan Soeyoko, 2014).

G. Upaya Penanggulangan Filariasis

1. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis

Pemberian Obat Pencegahan Secara Massal (POPM) Filariasis

yang selanjutnya disebut POPM Filariasis adalah pemberian obat yang

dilakukan untuk mematikan mikrofilaria secara serentak kepada semua

penduduk sasaran di wilayah endemis Filariasis. Penduduk sasaran yaitu

berusia 2 tahun sampai dengan usia 70 tahun.Pemberian Obat Pencegahan

34
Secara Massal (POPM)Filariasis tidak dilakukan atau ditunda

pemberiannya terhadap, ibu hamil, penderita gangguan fungsi ginjal,

penderita gangguan fungsi hati, penderita epilepsy, penderita penyakit

jantung dan pembuluh darah, penduduk yang sedang sakit berat, penderita

Filariasis klinis kronis sedang mengalami serangan akut, dan/atau anak

dengan marasmus atau kwashiorkor (Kemenkes RI, 2014).

Kegiatan pemberian obat pencegahan secara massal dalam rangka

elimasi filariasis menggunakan kombinasi tablet obat diethylcarbamazine

citrate (DEC) 100 mg dan tablet albendazole 400 mg. Dosis obat

ditentukan berdasarkan umur, yaitu usia 2-5 tahun diberikan 1 tablet DEC

dan 1 tablet albendazole, usia 6-14 mendapat 2 tablet DEC dan 1 tablet

albendazole, dan bagi yang berusia di atas 14 tahun mendapat 3 tablet

DEC dan 1 tablet albendazole (Kemenkes RI, 2017). Obat diberikan satu

kali setahun selama minimal lima tahun berturut-turut dan diminum

sesudah makan (Kemenkes RI, 2014).

2. Penatalaksanaan Penderita Filariasis

Penatalaksanaan penderita filariasis bertujuan untuk mencegah dan

membatasi kecacatan karena filariasis, dan agar penderita mampu hidup

lebih baik serta dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat,

baik sosial maupun ekonomi.Tata laksana penderita Filariasis klinis terdiri

dari pengobatan dan perawatan, yang dikerjakan secara bersamaan untuk

mendapatkan hasil yang optimal (Kemenkes RI, 2014).

35
a) Pengobatan Penderita Filariasis

Pada penderita Filariasis klinis positif, diberikan DEC 3 x 1

tablet 100 mg selama 12 hari berturut-turut dan parasetamol 3 x 1

tablet 500 mg dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak

disesuaikan dengan berat badan. Pengawasan kejadian ikutan pasca

pemberian obat perlu dilakukan dengan ketat. c. Penderita Filariasis

klinis dengan serangan akut atau penderita Filariasis kronis yang

sedang mengalami serangan akut, harus diobati terlebih dahulu

serangan akutnya sesuai jenis serangan akut yang dialaminya,

demikian juga terhadap infeksi sekunder. d. Apabila penderita berada

di daerah endemis, maka pada tahun berikutnya baru boleh diikut

sertakan dalam POPM Filariasis dengan DEC dan albendazole sekali

setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut. Penderita yang tinggal

di daerah non endemis, tidak perlu mendapat obat sebagai bagian dari

pelaksanaan POPM Filariasis.e. Setiap penderita Filariasis positif

cacing filaria asimptomatis, perlu mendapat pengobatan sebagaimana

penderita Filariasis klinis positif cacing filaria.

b) Perawatan Penderita Filariasis Klinis

Setelah mendapat pengobatan, maka setiap penderita Filariasis

klinis mendapatkan perawatan sebagai berikut :

1) Perawatan penderita dengan gejala klinis akut yaitu istirahat yang

cukup dan banyak minum, pengobatan simptomatis demam, rasa

sakit, dan gatal, dan sesuai dengan keadaan sakitnya diberikan

antibiotika atau anti jamur lokal maupun sistemik, pembersihan

36
luka dan lesi kulit, tetapi apabila terdapat abses perlu dilakukan

insisi dan pengobatan, pengobatan luka dan lesi di kulit dengan

salep antibiotika atau anti jamur, dan apabila dengan pengobatan

simptomatis selama 3 hari keadaan penderita tidak membaik,

maka dianjurkan untuk berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit.

2) Perawatan penderita dengan gejala klinis kronis dilakukan

berdasarkan kondisi masing-masing penderita

a) Limfedema

Komponen dalam perawatan kasus limfedema antara

lainpencucian, pengobatan luka dan lesi di kulit, latihan

(exercise), meninggikan tungkai atau lengan yang sakit,

pemakaian alas kaki yang cocok, pemakaian verban elastic,

pemakaian salep antibiotika dan salep anti jamur, antibiotika

sistemik, dan bedah kosmetik.

b) Perawatan hidrokel antara lain menjaga kebersihan di bagian

buah zakar, perawatan luka dan lesi jika ada, dan dirujuk

kerumah sakit untuk terapi bedah.

37
3. Pengendalian dan Pemberantasan Vektor Filariasis

a. Pengendalian dan pemberantasan nyamuk dewasa

Tabel 2.5. Metode pengendalian nyamuk dewasa berdasarkan genus


nyamuk
Genus
No. Metode
Anopheles Culex Aedes Mansonia
1. Long-lasting insecticidal nets √ √ √ √
2. Tirai dan pelapis dinding
√ √ √ -
berinsektisida
3. Indoor residual spraying √ - - -
4. Space spraying/ fogging - - √ -
5. Pemasangan kassa di rumah √ √ √ √
6. Insektisida rumah tangga √ √ √ √
7. Repelen, obat nyamuk bakar,
√ √ √ √
dan obat nyamuk mat elektrik

1) Long-lasting insecticidal nets

Long-lasting insecticidal nets yang memiliki efek

membunuh dan menolak nyamuk secara efektif dapat mencegah

penularan pada individu. Long-lasting insecticidal

netsmemberikan solusi jangka panjang karena bertahan selama

sekitar 3 tahun. Hanya ada 1 kelas insektisida yaitu piretroid yang

digunakan pada kelambu, namun perkembangan resistensi

piretroid menjadi ancaman keefektifan jangka panjang kelambu

tersebut. Sensitivitas nyamuk terhadap insektisida bervariasi

menurut spesies.

Gambar 2.28. Long-lasting insecticidal nets digunakan pada


saat tidur (WHO, 2013)
38
2) .Tirai dan pelapis dinding berinsektisida

Tirai dan pelapis dinding berinsektisida dimungkinkan

cocok diterapkan di daerah di mana vektor dominan untuk

filariasis adalah nyamuk Culex dan Anopheles. Tirai harus

disesuaikan dengan tipe rumah. Pelapis dinding harus dicelupkan

kembali atau diganti secara berkala untuk memastikan cakupan di

daerah endemis filariasis limfatik.

Gambar 2.29. Pelapis dinding


berinsektisida(Messenger and
Rowland, 2017)
3) Indoor residual spraying

Indoor residual sprayingberguna terutama di daerah

transmisi Anopheles yang telah terbukti efektif dalam

pengendalian malaria, dan di wilayah di mana tingkat infeksi

filariasis tetap tinggi meskipun beberapa periode pemberian obat

pencegahan massal dengan cakupan yang penuh, vektor sangat

resisten terhadap piretroid, penggunaan Long-lasting insecticidal

39
netsyang tidak adekuat, dan Indoor residual sprayingtelah

dilakukan dalam program pengendalian malaria (WHO, 2013).

Empat kelas insektisida tersedia untuk Indoor residual

spraying antara lain organoklorin, karbamat, organofosfat, dan

piretroid. Sampel darah dan urin harus dikumpulkan untuk

analisis sebelum dan sesudah penyemprotan di daerah endemis

filariasis limfatik. Semua penyemprot dan beberapa penghuni

rumah harus diperiksa secara teratur oleh dokter dan menjalani

analisis biokimia dan hematologi termasuk tes fungsi ginjal,

analisis urin, fraksi volume eritrosit, dan analisis darah (WHO,

2013).

Gambar 2.30. Indoor residual spraying(WHO, 2013).

4) Space spraying atau fogging

Fogging digunakan terutama selama wabah, karena

pengaruhnya tidak tahan lama dan prosedurnya harus sering

diulang. Biasanya diaplikasikan di dalam atau di sekitar rumah, di

beberapa tempat peristirahatan nyamuk di luar rumah dan

vegetasi padat atau di rawa-rawa asin (WHO, 2013).

40
Gambar 2.31. Space spraying (WHO, 2013).

5) Pemasangan kassa di rumah

Penggunaan kassa berguna untuk mengendalikan nyamuk

Anopheles dan Aedes. Kassa merupakan penghalang fisik dan

harus dipasang di semua bukaan seperti jendela, pintu, dana tap.

Pemilik rumah juga harus didorong untuk memperbaiki kondisi

rumah di antaranya menutup lubang, mengisi celah di dinding,

karena hal ini juga akan mengurangi kesempatan nyamuk masuk

ke dalam rumah (WHO, 2013).

6) Insektisida rumah tangga

Semprotan insektisida aerosol harus diaplikasikan di dalam

ruangan dengan semua pintu tertutup. Orang yang menyemprot

harus meninggalkan ruangan dan menunggu beberapa menit.

Metode insektisida rumah tangga memiliki keterbatasan karena

membuka jendela atau pintu kelambu memungkinkan vektor akan

masuk ke dalam rumah (WHO, 2013).

41
7) Repelen, obat nyamuk bakar, dan obat nyamuk mat elektrik

Penelitian Utomo dan Supriyatna (2014) menunjukkan hasil

bahwa minyak atsiri selasih, sereh wangi, lavender dan limonene

berpotensi sebagai lotion pengusir nyamuk (repelen) karena

mampu bertahan selama 6 jam meskipun daya proteksinya tidak

mencapai lebih dari 90% hingga jam ke-6, maka dianjurkan

penggunaan repelen berulang atau digunakan ketika serangga

aktif menggigit. Pada umumnya, tanaman tanaman tersebut

mengandung geraniol dan citronellal.

Obat nyamuk bakar melepaskan insektisida ke udara lebih

dari 6-8 jam. Obat nyamuk mat elektrik memiliki prinsip kerja

yang sama dengan obat nyamuk bakar, namun didukung oleh

listrik dan kelebihannya adalah melepaskan asap yang tidak

terlihat. Bantalan kertas berpori diresapi dengan insektisida

(biasanya piretroid) yang mengusir dan membunuh nyamuk

(WHO, 2013).

b. Pengendaliandan pemberantasan larva nyamuk

1) Pengelolaan lingkungan hidup

Pengelolaan lingkungan hidup seperti membersihkan lahan

dari vegetasi, menghilangkan badan air yang tidak perlu, tingkat

fluktuasi air, mengeringkan daerah rawa merupakan strategi

pengendalian larva yang hemat biaya apabila berfokus pada

42
penghapusan sejumlah kategori habitat larva yang diketahui

berkontribusiterhadap populasi nyamuk dewasa (WHO, 2013).

Penggunaan insektisida dan agen pengendali biologis dapat

melengkapi strategi. Penggunaan polystyrene beadscocok di

daerah di mana spesies Culexyang berkembangbiak di tempat

pembuangan kotoran adalah vektor utama filariasis limfatik.

Metode pengendalian larva tersebut bertujuan untuk mengurangi

populasi nyamuk dewasa (WHO, 2013).

Gambar 2.32. Penggunaan polystyrene beads(WHO, 2013).

2) Larvasida

Larvasida membunuh larva dengan agen kimia atau

biologis. Kelebihannya antara lain larva nyamuk dibunuh sebelum

mencapai tahap dewasa, larvasida dapat dilakukan dengan cepat,

banyak larvasida efektif yang tersedia di pasaran, larvasida dapat

diaplikasikan dengan tangan atau dalam skala besar dengan

penyemprot pertanian dan pompa semprot tangan.

Kekurangannya antara lain larvasida memberikan kontrol

sementara dan harus diulang yang bisa mahal, beberapa larvasida

43
membahayakan bagi organisme lain termasuk musuh alami larva

nyamuk, larvasida bisa menjadi racun bagi manusia. Oleh karena

itu, pengetahuan dan pelatihan sangat diperlukan. Larvasida dapat

dilakukan dengan insektisida, minyak larvasida, pengatur

pertumbuhan serangga atau larvasida mikroba (WHO, 2013).

Gambar 2.33. Aplikasi larvasida(WHO, 2013).

Tempat perindukan nyamuk yang teridentifikasi seharusnya

diberikan perlakukan dengan insektisida seperti temephos (abate),

larvasida yang mempunyai sedikit toksisitas untuk mamalia dan

ikan(WHO, 2013)..

Lapisan tipis minyak diaplikasikan untuk menutupi

permukaan air sepenuhnya. Berbagai jenis minyak dianjurkan

tergantung keadaan atau lingkungannya. Metode ini mahal dan

berumur pendek (seringkali hanya bertahan beberapa jam) namun

sangat efektif dalam membunuh larva(WHO, 2013)..

Pengatur pertumbuhan serangga menghambat efek hormone

serangga seperti hormon juvenile atau menghambat pembentukan

skeleton serangga, sehingga mencegah perkembangan normal

44
larva dan tahap dewasa. Contohnya methoprene dan pyriproxifen

(WHO, 2013).

Bacillus thuringiensis israelensis dan B. sphaericus adalah

dua larvasida mikroba utama yang cocok untuk mengendalikan

larva nyamuk. Penerapan sama seperti insektisida kimia. Bacillus

thuringiensis var. israelensis tidak berasa dan karenanya cocok

untuk digunakan dalam air minum (WHO, 2013).

45
DAFTAR PUSTAKA

Cobo, F. 2014. Imported infectious diseases: the impact in developed country.


Woodhead Publishing. Cambrigde.
Depkes RI, 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan
Filariasis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017. Inilah manfaat ganda minum
obat pencegah kaki gajah. http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-
media/20171007/1323287/inilah-manfaat-ganda-minum-obat-pencegah-
kaki-gajah/#prettyPhoto. Diakses 17 Oktober 2017.
Marcondes, CB. 2017. Arthropod borne diseases. Springer International Publising
Switzerland. Cham.
Messenger LA and Rowland M. 2017. Insecticide-treated durable wall lining
(ITWL): future prospects for control of malaria and other vector-borne
diseases. Malaria Journal. 16:213. DOI 10.1186/s12936-017-1867-z.
Rosanti, TI dan Soeyoko. 2014. Diagnosis Filariasis Limfatik. Mandala of Health.
7(1):501-505.
Sastry AS and Bhat S. 2014. Essentials of medical parasitology. Jaypee Brothers
Medical Publishers. New Delhi.
Utomo PP dan Supriyatna N. 2014. Perbandingan Daya Proteksi Losion Anti
Nyamuk dari Beberapa Jenis Minyak Atsiri Tanaman Pengusir Nyamuk.
Biopropal Industri. 5(2):79-84.
World Health Organization, 2013. A Handbook for National Elimination
Programmes: Lymphatic Filariasis Practical Entomology. WHO Press.
Geneva.
World Health Organization, 2017a. Lymphatic
filariasis.http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs102/en/. Diakses 15
Oktober 2017.
World Health Organization, 2017b. Lymphatic filariasis.
http://www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/en/. Diakses 15
Oktober 2017.

46

You might also like