You are on page 1of 23

ANALISIS MEWUJUDKAN DESENTRALISASI

DAN OTONOMI DAERAH


Kusnu Goesniadhie S.

ABSTRACT
The paradigm that is contained in the policy of decentralization is very good, but still require a
comprehensive preconditions for running optimally. Some of these preconditions,
decentralization must be supported by sound planning and sustained ability or capacity to run
it, either at the individual level, organization, or system.
This study is about to present a presentation on the correlation between decentralization and
regional autonomy, this paper will outline the basic concepts of decentralization and its likely
impacts; decentralization as a model of bureaucratic reform, the development of central and
regional synergies through decentralization; concept and development of autonomy in
Indonesia.
This study concluded that decentralization is manifest in two forms of positive and negative. In
terms of usefulness, decentralization can be more appropriate to increase efficiency and
responsiveness of government through the fulfillment of public service that better suit people’s
preferences. Decentralization can evoke the spirit of competition and innovation among local
governments to achieve a higher public satisfaction. On the other hand, the quality of public
services often become victims because of the transfer of authority is often misunderstood or
misused.
Keywords: decentralization, local autonomy.

Pendahuluan
Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir
tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah.
Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subjek dan bukan
objek otonomi perlu dicanangkan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Perwujudan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam
konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan
mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek
spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak
pembentukan daerah otonom. Yang perlu kejelasan lebih lanjut adalah materi wewenang yang
tercakup dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, di samping pembentukan daerah otonom
tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang urusan
pemerintahan.[1] Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang
antara Pemerintah dan daerah otonom.
Perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tata pemerintahan dapat disimak dari pergeseran
sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. ‘Structural efficiency
model’ yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal ditinggalkan dan
dianut ‘local democracy model’ yang menekankan, nilai demokrasi dan keberagaman dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula
pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi.
Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser
model organisasi yang hirarkis dan gemuk ke model organisasi yang datar dan langsing.
Hubungan antara kabupaten/kota dengan provinsi yang semula ‘dependent’ dan
‘subordinate’ kini hubungan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi menjadi ‘independent’ dan
‘coordinate’. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan dari
dianutnya ‘integrated prefectoral system’ yang utuh ke ‘integrated prefectural system’ yang
parsial hanya pada tataran provinsi. Dianutnya ‘integrated prefectoral system’ pada provinsi
dengan peran ganda Gubemur sebagai kepala daerah dan wakil Pemerintah dimaksudkan untuk
mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentral memiliki karakteristik
keterpisahan.
Distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ’ultra-vires
doctrine’ dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti
dengan ‘general competence’ atau ‘open and arrangement’ yang merinci fungsi pemerintahan
yang menjadi kompetensi Pemerintah dan Provinsi. Pengawasan Pemerintah terhadap daerah
otonom yang sernula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah
otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan Daerah
yang semula secara preventif dan represif, kini hanya secara represif.
Secara teoritis-empiris, urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom
dimanifestasikan dalam pelayanan publik bagi masyarakat setempat dalam semangat
kesejahteraan (welfare state) sesuai arahan dan amanat UUD 1945. Suara dan pilihan
masyarakat setempat akan dijadikan orientasi daerah otonom. Lowndes, secara filosofis
mengemukakan bahwa:
Ideas of locality and community are fundamental to the rationale for local government. Such
ideas have a ‘practical’ and a ‘moral’ dimension. Practically, local government is suited to the
provision of basic-level services consumed by individuals, households and communities.
Morally, it can be argued that the local community constitutes the wellspring of citizenship and
democracy and is fundamental building block for any government system.[2]
Dalam kerangka good governance perlu dibangun saluran-saluran untuk memungkinkan
terciptanya “participatory democracy”, baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun
implementasinya. Sesuai dengan paradigma reinventing government kini berkembang
bergesernya peran Pemerintah Daerah dari services provider ke services enabler untuk
mengakomodasi pergeseran paradigma dari rowing the boat ke steering the boat yang
terkandung dalam konsep good governance.
Permasalahan
Reformasi telah menandai perubahan besar sistem politik yang sentralistik dalam negara.
Sebagai pilihan politik, desentralisasi merupakan kebutuhan untuk mengatasi masalah-masalah
kenegaraan. Meskipun paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi sangat baik,
namun tetap membutuhkan prakondisi yang komprehensif agar berjalan optimal. Beberapa
prakondisi di antaranya, desentralisasi harus didukung perencanaan yang matang dan ditopang
kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya, baik pada tataran individu,
organisasi, maupun sistem.

Dengan demikian kebijakan desentralisasi menghadapi tantangan, oleh karenanya butuh


komitmen dari seluruh komponen di daerah untuk membuktikan bahwa otonomi daerah benar-
benar membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Satu hal yang pasti adalah bahwa
desentralisasi dan otonomi daerah tidak dapat ditarik mundur. Satu-satunya pilihan adalah
bekerja keras untuk mensukseskan otonomi daerah demi tercapainya peningkatan kualitas hidup
bagi seluruh masyarakat di daerah.

Desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek politik, fiskal, perubahan administrasi dan
sistem pemerintahan, dan pembangunan sosial dan ekonomi.

Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah di atas, pokok pembahasan dalam studi ini
mendeskripsikan konsep pemikiran teoritis-yuridis korelasi antara desentralisasi dan otonomi
daerah, beserta kemungkinan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya. Pokok-pokok
masalah tersebut dirumuskan sebagai, ‘analisis mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah’
agar dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar pemerintah daerah untuk
mencapai kualitas pelayanan masyarakat dan tidak disalahartikan atau disalahgunakan.

Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu
terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan
keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam
pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan,
kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh
rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh Rakyat Daerah, dan adanya bantuan dalam bentuk
transfer dari Pemerintah Pusat.
Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara
berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau pengalaman suatu
negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi,
tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di
beberapa negara, dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan
sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif.

Desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan
sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara konseptual desentralisasi
terdiri atas: Desentralisasi Politik (Political Decentralization); Desentralisasi
Administratif (Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization);
dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).
Desentralisasi Adminitratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber-sumber keuangan untuk
menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggungjawab tersebut terutama menyangkut
perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari
Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan
otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.

Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu:

1) Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat


kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan Pemerintah Pusat di Daerah.
2) Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang
lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah
mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana
Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan
memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam
melaksanakan tugasnya, Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal
dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-
sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya.
Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal
sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.
3) Pendelegasian (delegation or institutional pluralism), yaitu pelimpahan wewenang untuk
tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol
secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur
dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai
keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang
terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Charles Tiebout,
dalam “A Pure Theory of Local Expenditures”,[3] Wallace Oates, dalam “Fiscal
Federalism”,[4] Richard Tresch, dalam “Public Finance”,[5]Barry Weingast, dalam “The
Economic Role of Political Institutions: Market-Preserving Federalism and Economic
Development”,[6] Albert Breton, dalam “Decentralization and Subsidiarity: Toward a
Theoretical Reconciliation”,[7]bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya
diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena:[8]
 pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;
 keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga
mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang
berasal dari masyarakat;
 persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan
mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.
Suatu analogi argumen lainnya yang dikenal sebagai “The Tiebout Model” yang terkenal dengan
ungkapannya “love it or leave it”. Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi
pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan
kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemerintah Daerah-nya.[9] Masyarakat akan
memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling
tinggi antara pelayanan publik dari Pemerintah Daerah-nya dengan pajak yang dibayar oleh
masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam
pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan
bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah
tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya.[10]
Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi
ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Model
Charles Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi
dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan
kondisi yang dikenal sebagai “the market for local services would be perfectly
competitive” (Richard Tresch, dalam “Public Finance”,[11] J. Richard Aronson, dalam “Public
Finance”,[12] Stiglitz, dalam “Economics of Public Sector”).[13] Di sinilah arti penting
desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal
dengan DPRD-nya. Mendukung pernyataan Charles Tiebout dan para ahli lainnya yang disebut
di atas, Omar Azfar, et all, memberikan istilah desentralisasi administrasi yang terkait dengan
tugas-tugas pemerintahan sebagai decentralization is often thought to “bring government closer
to the people”.[14]
Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses
implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing
tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi
pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi
untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi
dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.

Tujuan politis untuk meningkatkan tingkat responsifitas birokrasi terhadap keinginan


masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam
penyediaan pelayanan tersebut, memerlukan persyaratan instrumen desentralisasi terutama
yang menyangkut aspek ketentuan perundangan, kelembagaan, struktur pelayanan yang menjadi
tugas Pemerintah Daerah, maka mekanisme kontrol dan dukungan pembiayaan harus didesain
sedemikian rupa sehingga mampu untuk mendukung keinginan politis dari masyarakat.

Konsep Dasar Desentralisasi


Desentralisasi mengacu pada tren global dalam pemindahan tanggungjawab pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah atau lokal. Pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi sangat
beragam antar negara, antar ilmuwan, maupun antar praktisi pemerintahan. Istilah
desentralisasi memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda, dan pendekatan
terhadap desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain (the term
decentralization means different things to different people, and the approach to
decentralization has varied widely between countries).[15]
Meskipun demikian, pemahaman umum tentang definisi dan ruang lingkup desentralisasi
banyak mengacu kepada pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), desentralisasi adalah
transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta (decentralization
is the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government
to subordinate or quasi-independent government organizations and/or private sector).
Desentralisasi terdiri atas empat jenis, yakni desentralisasi politik, desentralisasi administratif,
desentralisasi fiskal, serta desentralisasi pasar.[16]
Definisi serupa dikemukakan Turner dan Hulme, bahwa desentralisasi dalam sebuah negara
mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau
lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani (a transfer of
authority to perform some service to the public from an individual or an agency in central
government to some other individual or agency which is ‘closer’ to the public to be served).[17]
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa desentralisasi ternyata berdampak secara positif
terhadap kinerja pembangunan. Telaah literatur mengindikasikan banyaknya kontribusi
signifikan dari desentralisasi di berbagai sektor, misalnya dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi,[18]pengurangan kemiskinan,[19] peningkatan kualitas pelayanan,[20] memperkuat
akuntabilitas,[21] resolusi konflik,[22] ataupun pemberdayaan masyarakat.[23]
Di sisi lain, desentralisasi juga dapat menimbulkan persoalan anggaran, meningkatkan
instabilitas makro ekonomi dan disparitas regional, memunculkan egoisme kedaerahan dan
klientilisme, atau membengkakkan struktur birokrasi.[24] Dengan demikian, desentralisasi
memiliki dua wajah, positif dan negatif, yang dalam bahasa Alex Brillantes Jr. dikatakan sebagai
pedang bermata dua (two edged of sword).[25]
Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki, Perry dan Dillinger, bahwa dari sisi
kemanfaatan, desentralisasi dapat lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap
pemerintah melalui pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat.
Selain itu, desentralisasi dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar
pemerintah daerah untuk mencapai kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun di sisi lain,
kualitas pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan sering
disalahartikan atau disalahgunakan oleh elit lokal yang relatif kurang memenuhi standar
kompetensi yang dibutuhkan.[26]
Di Indonesia, desentralisasi juga menjelma dalam dua bentuknya yang positif dan negatif. Hasil
kajian Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) menemukan bukti bahwa
desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi penting, yaitu: 1) meningkatnya
kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat
lokal; 2) perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian
layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan
kualitas pelayanan publik; dan 3) pemerintah daerah saling bekerjasama dan berbagi informasi
untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi.[27] Walaupun demikian,
beberapa dampak negatif nampaknya tidak dapat dihindari. Dalam laporan penelitiannya,
SMERU (2002) mengungkap fakta banyaknya daerah yang memberlakukan berbagai pungutan
baru yang berpotensi menghambat iklim investasi dan gairah bisnis lokal.[28]
Keseimbangan Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Dari definisi yang dikemukakan oleh Rondinelli maupun Turner and Hulme di atas, dapat
dipahami bahwa desentralisasi selalu berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, baik di bidang politik maupun sosial ekonomi. Dari perspektif politik,
desentralisasi adalah bagian dari proses demokratisasi di mana rezim autokrasi digantikan oleh
pemerintahan yang dipilih oleh rakyat berdasarkan konstitusi yang lebih
demokratis.[29] Sedangkan dari perspektif ekonomi, desentralisasi dapat dilihat sebagai
kebutuhan intrinsik bagi pemerintah. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat kegagalan
pasar (market failures) yang pada gilirannya merangsang timbulnya ide sentralisasi dalam
pemerintahan.[30]
Oleh karena desentralisasi semata tidak selalu membawa hasil positif, maka munculnya konsep
dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan yang
memperlihatkan adanya gejala kesenjangan (gap) yang semakin melebar antara pemerintah
pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap kebutuhan publik untuk berinteraksi secara
intensif dengan pemerintah pusat. Mark Turner mencatat adanya beberapa kelebihan dari
dekonsentrasi yang lazimnya banyak menyentuh aspek manajerial. Manfaat yang paling
dirasakan adalah penggunaan sumber daya yang lebih efisien.[31]
Meskipun demikian, Turner juga mengingatkan bahwa dekonsentrasi juga memiliki potensi
menimbulkan dampak yang sebaliknya. Ketergantungan terhadap pedoman dari atas sehingga
kurang responsif terhadap kondisi riil dalam masyarakat, adalah salah satu kemungkinan negatif
yang perlu diantisipasi.[32] Kecenderungan lain, para pejabat lokal lebih menyukai pola kerja
lama berupa memerintah dan mengontrol, dari pada terlibat langsung dalam kerjasama yang
bersifat partisipatif. Persoalan inovasi yang kurang berkembang akibat kualitas rata-rata para
pejabat di daerah, juga dapat menjadi kendala. Selain itu, komunikasi dengan pejabat di tingkat
pusat seringkali juga kurang lancar, sementara masyarakat terkondisi pada alam berpikir lama
bahwa pejabat daerah tidak kapabel.
Mengingat desentralisasi dan dekonsentrasi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,
maka sangat wajar jika keduanya bukan menjadi pilihan yang bersifat alternatif melainkan
komplementer. Dengan demikian, desentralisasi dan dekonsentrasi bekerja bersama-sama untuk
mewujudkan efektivitas dan efisiensi tertinggi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sinergi hubungan seperti inilah yang dimaksud pengertian desentralisasi dan dekonsentrasi
sebagai sebuah kontinuum, atau sebuah bandul. Garis kontinuumini menunjukkan luas atau
besaran peran dan intervensi pemerintah pusat, serta luas dan besaran kekuasaan/kewenangan
yang ditransfer kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain, devolusi (desentralisasi dalam arti
sempit) dengan dekonsentrasi memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat, ibarat dua sisi
yang berbeda pada koin yang sama. Atau, desentralisasi dengan dekonsentrasi bukanlah dua
kutub yang saling bertentangan secara dikotomis. Desentralisasi bukanlah alternatif dari
sentralisasi,[33] terdapat penegasan bahwa “deconcentration and decentralization, far from
replacing each other, have always been considered as complimentary by political decision
makers”.[34]Pernyataan ini menyiratkan bahwa desentralisasi dan dekonsentrasi dilaksanakan
secara simultan dengan kadar yang berbeda. Sentralisasi dan desentralisasi adalah dua hal yang
tidak bersifat dikotomis. Artinya, dalam satu negara tidak mungkin dianut hanya asas
sentralisasi saja untuk semua urusan, dan demikian pula sebaliknya. Desentralisasi dan
dekonsentrasi sama-sama merupakan instrumen untuk memperkuat derajat otonomi dalam
sebuah negara.[35]
Seperti telah dikemukakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan
Indonesia, desentralisasi seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah.
Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan
mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah
yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis
dapat memajukan pembangunan nasional.

Dari penjelasan di atas dapat diambil pemahaman bahwa pelaksanaan otonomi daerah dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia harus dihindarkan adanya eksklusivisme dan
isolasionisme kedaerahan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) adalah satu kesatuan politik (political unity) yang harus saling memperkuat.
Dengan demikian, pemberian desentralisasi tidak boleh menimbulkan kelemahan pada
Pemerintah Pusat atau menimbulkan egoisme teritorial yang sempit. Demikian pula, fungsi
dekonsentrasi yang dijalankan oleh perangkat Pusat di Daerah hendaknya tidak dicurigai
sebagai upaya melakukan resentralisasi. Hal ini berarti pula bahwa hubungan antara Pusat dan
Daerah bukan relasi yang bersifat trade-off atau zero-sum, melainkan synergistic win-win.
Perlunya Pemerintahan Terdesentralisasi
Seperti telah dikemukakan, pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi sangat beragam
antar negara, antar ilmuwan, maupun antar praktisi pemerintahan. Istilah desentralisasi
memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda, dan pendekatan terhadap
desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain (the term
decentralization means different things to different people, and the approach to
decentralization has varied widely between countries).[36] Turner dan Hulme mengungkapkan
bahwa berbagai penulis mengajukan pengertian yang sangat berbeda tentang desentralisasi
sehingga muncul ambiguitas yang begitu besar disekitar konsep tersebut.[37]
Meskipun demikian, terdapat sebuah kesepakatan umum bahwa desentralisasi sangat diperlukan
untuk mempromosikan wujud pemerintahan yang lebih baik, lebih efektif, dan lebih demokratis.
Baik di negara maju maupun berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci
terhadap agenda reformasi yang dijalankan.[38]
Sebagai sebuah konsep, Dennis Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer
kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada unit
dibawahnya atau organisasi pemerintahan semi independen (the transfer of authority and
responsibility of public functions from the central government to subordinate or quasi-
independent government organizations).[39] Sementara itu, Marck Turner dan David Hulme
berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan
dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga
pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat
kepada masyarakat yang harus dilayani (a transfer of authority to perform some service to the
public from an individual or an agency in central government to some other individual or
agency which is ‘closer’ to the public to be served).[40] Dengan demikian jelaslah bahwa
desentralisasi selalu berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, baik di bidang politik maupun sosial ekonomi. Dengan kata lain, desentralisasi yang
muncul di sebagian besar negara di dunia lebih banyak dipicu oleh alasan-alasan politik dan
ekonomi.
Dari perspektif politik, James Ford dan Aser B. Javier memberikan ilustrasi tentang
pertimbangan politis perlunya desentralisasi di beberapa negara. James Ford dan Aser B. Javier
mengungkapkan temuan bahwa di Amerika Latin, desentralisasi adalah bagian dari proses
demokratisasi di mana rezim autokrasi digantikan oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat
berdasarkan konstitusi yang baru. Di Afrika, penyebaran sistem politik multi partai telah
mengakibatkan tuntutan diakomodasikannya suara rakyat dalam pengambilan keputusan.
Sedangkan di beberapa negara seperti Ethiopia, desentralisasi ditempuh sebagai reaksi terhadap
tuntutan dari daerah atau kelompok-kelompok etnik terhadap sebuah kontrol partisipasi yang
lebih besar dalam proses politik. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim, desentralisasi
menggambarkan suatu upaya yang serius agar sebuah negara mampu mengelola berbagai
tekanan dan tuntutan secara lebih baik melalui pemberian otonomi yang lebih besar.[41]
Dari perspektif ekonomi, desentralisasi dapat dilihat sebagai kebutuhan intrinsik bagi
pemerintah. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat kegagalan pasar (market failures) yang pada
gilirannya merangsang timbulnya ide sentralisasi dalam pemerintahan. Dalam hubungan ini,
terdapat dua alasan ekonomis yang kuat tentang perlunya desentralisasi. Pertama, adanya
variasi dalam preferensi individual tentang barang (dan jasa) privat dan publik, serta
kemanfaatannya yang secara umum dicirikan oleh keterbatasan spasial.[42] James Ford
menambahkan alasan ekonomis yang mendukung desentralisasi, yakni pertimbangan efisiensi
dalam alokasi sumber-sumber ekonomi. Desentralisasi penting untuk meningkatkan daya
saing (competitiveness) pemerintah dan memacu inovasi usaha, sehingga pemerintah dapat
berbuat sesuatu untuk memuaskan harapan masyarakat.[43]
Berbagai argumen yang mendukung upaya negara untuk mempercepat kebijakan desentralisasi,
misalnya Jennie Litvack, Junaid Ahmad dan Richard Bird memberikan uraian tentang alasan-
alasan ekonomi politik atas kebijakan desentralisasi.[44] Demikian halnya Dennis Rondinelli
dan G. Shabbir Cheema, mengemukakan keuntungan spesifik yang dapat diperoleh dari
kebijakan desentralisasi, yakni:[45]
 Decentralization can be a means of overcoming the severe limitations of centrally
controlled national planning.
 Decentralization can cut through the enormous amounts of red tape and the highly
structured procedures.
 Officials’ knowledge of and sensitivity to local problems and needs can be increased.
 Decentralization can allow better political and administrative “penetration” of national
government policies into areas remote from the national capital.
 Decentralization might allow greater representation for various political, religious,
ethnic, and tribal groups in development decision making that lead to greater equity in
the allocation of resources.
 Decentralization could expand local governments’ and private institutions’ capacity to
take over functions that are not usually performed well by central ministries.
 The efficiency of the central government could be increased.
 Decentralization can provide a structure through which activities of various central
government ministries and agencies could be coordinated more effectively.
 Decentralization is needed to institutionalize participation of citizens in development
planning and management.
 Decentralization might offset the influence or control over development activities by
entrenched local elites.
 Decentralization can lead to more flexible, innovative, and creative administration.
 Decentralization allows local leaders to locate services and facilities more effectively
within communities.
 Decentralization can increase political stability and national unity by giving groups the
ability to participate more directly in development decision-making.
 Decentralization can increase the number of public goods and services and the efficiency
with which they are delivered at lower cost.
Seiring dengan alasan tentang perlunya desentralisasi tersebut, maka desentralisasi secara
umum dapat dikelompokkan menjadi empat tipologi, yaitu (a) desentralisasi politik, (b)
desentralisasi administratif, (c) desentralisasi fiskal dan (d) desentralisasi pasar atau
desentralisasi ekonomi.

Desentralisasi politik bertujuan untuk memberikan kepada rakyat akses terhadap pengambilan
keputusan publik, sedangkan desentralisasi administratif lebih berfokus pada redistribusi
kewenangan dan tanggungjawab dalam penyediaan jasa layanan umum antara jenjang
pemerintahan yang berbeda. Dalam hal ini, desentralisasi administratif memiliki tiga bentuk
utama, yakni dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Selanjutnya, desentralisasi fiskal bertujuan
untuk memberi kewenangan kepada lembaga-lembaga lokal untuk menjalankan fungsi-fungsi
yang telah diserahkan/dilimpahkan, sekaligus merumuskan keputusan tentang pengeluaran
anggaran, serta kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri. Adapun
desentralisasi ekonomi atau pasar diarahkan pada terjadinya alih tanggungjawab dalam
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah dari sektor publik kepada sektor privat.
Desentralisasi pasar ini merupakan bentuk sempurna dari desentralisasi, yang secara konkrit
dapat berupa kebijakan privatisasi atau deregulasi.[46]
Pada tataran global, trend desentralisasi ini tidak hanya banyak diterapkan oleh negara maju,
namun juga hampir diseluruh negara berkembang di dunia. Dan trend ini sejalan dengan trend
besar lain, yakni perubahan dari konsepsi government kepada governance. Pada
konsep “government”, pemerintah (baik Pusat maupun Daerah) ditempatkan sebagai pelaku
utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Pemerintah
juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima benefit (beneficiary)terbesar.
Dengan berkembangnya paradigma governance, pola hubungan antar sektor (publik-privat) dan
juga hubungan Pusat-Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan demokratis. Pada pola
seperti itu, penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di
dominasi oleh satu pihak (Pemerintah). Hal ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan
kerjasama harus lebih digalakkan melalui pengurangan peran pemerintah pada satu sisi, dan
penguatan peran swasta pada sisi lain.
Desentralisasi Perspektif Global
Desentralisasi ternyata berdampak secara positif terhadap kinerja yang lebih tinggi pada suatu
bidang pembangunan tertentu. Keith McLean dan Elizabeth King melakukan penelitian tentang
dampak desentralisasi di bidang pendidikan. Bukti awal yang ditemukan mengindikasikan
bahwa desentralisasi telah meningkatkan kemandirian masyarakat dan aktor sekolah sekaligus
meningkatkan kualitas pembelajaran.[47] Sejalan dengan hal tersebut, Anne Mills juga
menemukan dampak positif desentralisasi di bidang kesehatan.[48]Sementara itu dalam bidang
infrastruktur, Jessica Seddon telah melakukan studi yang menunjukkan bahwa desentralisasi
menghasilkan efek yang cukup bervariasi di bidang infrastruktur.[49]
Pada beberapa hal, desentralisasi juga memberi kinerja yang lebih baik di bidang pertumbuhan
ekonomi. Dengan mengutip beberapa sumber, Jessica Seddon mengemukakan bahwa
desentralisasi memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional
di India. Namun, beberapa masalah metodologis melahirkan hasil yang lebih beragam, sehingga
banyak hal yang harus diteliti lebih jauh untuk meyakinkan adanya hubungan yang terukur
antara desentralisasi dengan pertumbuhan. Dalam hal ini, kurangnya bukti empiris yang kuat
mendorong para peneliti untuk menetapkan tiga hipotesis antara desentralisasi dengan
pertumbuhan. Dalam setiap hipotesis, pertumbuhan hanya merupakan hubungan sekunder
terhadap desentralisasi; sementara bentuk-bentuk hubungan, apakah itu meningkatkan
pertumbuhan, menghambat pertumbuhan, atau mensyaratkan pertumbuhan, sangat tergantung
kepada variabel yang dikelompokkan sebagai hubungan primer terhadap desentralisasi.[50]
Ketiga hipotesis tersebut adalah: 1) desentralisasi meningkatkan efisiensi ekonomi di sector
pengeluaran pemerintah, sehingga efek dinamisnya berbentuk percepatan terhadap
pertumbuhan (growth-enhancing); 2) desentralisasi dapat mengantarkan pada instabilitas
makro ekonomi, yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan; dan 3) negara
berkembang memiliki kelembagaan dan lingkungan ekonomi yang sangat berbeda dibanding
negara-negara maju, sehingga negara-negara berkembang ini tidak akan meraih keuntungan
yang banyak tetapi tidak pula akan menderita sebagai akibat dari kebijakan desentralisasi.[51]
Ringkasan tentang dampak pemerintahan yang terdesentralisasi terhadap pelayanan umum
untuk rakyat miskin di sembilan negara telah didokumentasikan oleh Robertson Work.
Robertson Work melaporkan bahwa desentralisasi membawa dampak berupa peningkatan
layanan kesehatan (di Belo Horizonte, Brazil), peningkatan layanan perkotaan (di Sinuapa,
Honduras; keberhasilan pelaksanaan berbagai proyek di Jamunia Tank Gram Panchayat, India),
peningkatan layanan pendidikan (di Ma’n dan Irbid, Jordan), perbaikan kualitas pemukiman (di
Pakistan), peningkatan layanan kesehatan (di tiga kota Pilipina), menggerakkan pembangunan
ekonomi lokal (di tiga kota Polis), peningkatan pendapatan rumah tangga (di Ivory Park, South
Africa), serta peningkatan jasa-jasa pasar melalui kemitraan dengan sektor swasta (di Jinja,
Uganda).[52]
Dampak desentralisasi terhadap studi yang dikembangkan Mick Moore dan James Putzel
mengungkapkan bahwa desentralisasi adalah obat yang populer untuk mengatasi masalah-
masalah pemerintahan, khususnya di negara berkembang. Desentralisasi juga dipercaya sebagai
kebijakan yang pro penduduk miskin. Argumen paling umum adalah, karena definisi
desentralisasi berarti membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat baik dalam
pengertian spasial maupun institutional, maka pemerintah akan menjadi lebih paham dan lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.[53]
Dalam menyimpulkan dampak desentralisasi, UNDP dalam “Poverty Report 2000” menuliskan,
bahwa: “Decentralized governance, when carefully planned, effectively implemented, and
appropriately managed, can lead to significant improvement in the welfare of people at the
local level, the cumulative effect of which can lead to enhanced human development. In addition,
if decentralization involves real devolution of power to local levels, the enabling environment
for poverty reduction is likely to be stronger. On the contrary, badly planned decentralization
can worsen regional inequalities. Left to their own devices, richer regions are likely to develop
faster than poor ones. And a system of matching grants, intended by central government to
motivate local government to raise funds, typically exacerbates regional disparities. The richer
regions can raise more funds – and thus receive more in matching grants”.[54]
Di bidang politik, Vedi R. Hadiz mengemukakan hubungan langsung antara desentralisasi dan
demokrasi. Vedi R. Hadiz berasumsi bahwa desentralisasi mencitakan meningkatnya level
transparansi dan akuntabilitas serta berkembangnya praktek good governance. Inti gagasannya
adalah bahwa kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih baik sebagai akibat diberikannya
otonomi, dan bahwa para penguasa akan dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat
setempat. Selain itu, inisiatif penduduk lokal dan kreativitas publik akan berkembang bebas
karena mengendornya pengawasan Pusat yang terlalu kuat pada berbagai aspek kehidupan
masyarakat.[55]
Desentralisasi Dalam Perspektif Regional
Dalam konteks desentralisasi di Indonesia, Indonesian Rapid Decentralization Appraisal
(IRDA) menemukan bukti bahwa desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi
sebagai berikut:[56]
Pertama, meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam
proses politik di tingkat lokal. Di wilayah yang di survey, terdapat indikasi kuat menguatnya
partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik. Masyarakat makin menuntut kinerja
pemerintah yang semakin baik, dan dalam merespon tuntutan masyarakat ini, banyak
Pemerintah Daerah yang menjadi berorientasi pada masyarakat (customer oriented) serta
membuka dialog publik tentang kinerja pemerintahan dan upaya mewujudkannya.[57]
Kedua, perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian
layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Oleh karena fungsi pelayanan berada di tangan pemerintah daerah
yang secara spasial lebih dekat dan mudah diakses oleh masyarakat, maka adalah hal yang wajar
ketika masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengekspresikan perasaan dan tuntutannya
terhadap pelayanan publik ini. Di bidang pelayanan ini, ditemukan fakta bahwa kualitas dan
kuantitas pelayanan makin meningkat di beberapa daerah, dan ada pula yang menurun di
sebagian daerah lainnya. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah
daerah mampu menjaga tingkat kualitas pelayanan minimal sama seperti pada saat pelayanan
itu diberikan oleh pemerintah pusat.[58]
Ketiga, berkaitan dengan prospek kerjasama regional adalah bahwa antar pemerintah
Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi saling bekerjasama
dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi. Adanya
kepentingan bersama untuk meningkatkan pelayanan publik dan pendapatan daerah, serta
hasrat untuk menyelesaikan konflik yang muncul dari kebijakan desentralisasi, telah mendorong
pemerintah daerah untuk saling membantu.
Walaupun demikian, beberapa dampak negatif terlihat tidak dapat dihindari. Dalam laporan
penelitian berjudul “Regional Autonomy and the Business Climate: Three Kabupaten Case from
West Java”, SMERU mengungkap fakta bahwa Kabupaten Cirebon tengah menyiapkan
kebijakan tentang pemberlakuan 18 jenis pajak dan retribusi baru; sementara Kabupatenn Garut
telah mengeluarkan 24 pajak dan retribusi baru. Kondisi serupa ditemukan di Ciamis yang
memiliki 35 jenis pendapatan daerah, terdiri atas 6 pajak, 27 retribusi, dan 2 sumbangan pihak
ketiga.[59]
Seiring dengan hal di atas, Verdi R. Hadiz melakukan pengamatan bahwa desentralisasi di
Indonesia telah membawa dampak berupa korupsi yang terdesentralisasi dan tersebar, aturan
yang dijalankan oleh pejabat yang berjiwa “predator” (predatory local officials), serta
merebaknya money politics dan konsolidasi politik gangster. Dalam konteks ini, pertanyaan
pokoknya adalah ‘siapa yang mendapat manfaat terbesar dari desentralisasi?’ dan ‘siapa yang
menjadi penerima manfaat terbesar dari munculnya sistem demokrasi yang pada hakikatnya
didasari oleh logika money politics dan politik kekerasan’?[60]
Menurut Adrian Leftwich, persyaratan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan daerah yang
demokratis dan membangun (democratic developmental regime), ialah “A dedicated
developmental elite; relative autonomy for the state apparatus; a competent and insulated
economic bureaucracy; an empowered civil society; a capacity to manage effectively local and
foreign economic interest; and a varying balance of repression, legitimacy and
performance”.[61]
Hirotsune Kimura menawarkan enam poin kunci untuk membangun kapasitas pemerintah
daerah (local government capacity building). Keenam hal tersebut adalah: Establishing nation-
wide minimum standard of services, improving policy formulation capacity, modernizing
bureaucracy, reorganizing boundary between LGUs, promoting check and balance system in
local level, and strengthening financial basis (standarisasi pelayanan pemerintah secara
nasional, kapasitas kebijakan pembangunan dan proses implementasinya, modernisasi birokrasi
dalam rangka reformasi administrasi, reorganisasi batas wilayah pemerintah daerah,
sistem check and balance dalam pemerintah daerah serta penguatan basis keuangan).[62]
Dalam kondisi seperti ini, dapat dibangun sebuah hipotesis bahwa semakin efektif implementasi
keenam prinsip pengembangan kapasitas tersebut, semakin kuat kapasitas suatu pemerintah
daerah dalam merealisasikan program pembangunan, sehingga semkin besar pula peluangnya
untuk menjadi rejim lokal yang demokratis. Dengan demikian, kapasitas daerah adalah kunci
keberhasilan desentralisasi. Sebab, tanpa ditopang oleh kapasitas yang memadai, desentralisasi
justru akan dapat menjadi sumber kegagalan proses pembangunan di daerah.

Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, negara adalah suatu organisasi dari serangkaian
tata kerja perangkat alat perlengkapan negara yang bekerja sama dalam suatu hubungan dan
kesatuan yang utuh. Masing-masing alat perlengkapan negara tersebut mempunyai tugas dan
lapangan kerja yang mungkin berbeda yang satu dengan lainnya. Tetapi perbedaan itu hanya
merupakan pembagian tugas dan kewajiban semata. Di antara alat perlengkapan negara selalu
ada koordinasi dan hubungan organisatoris.

Desentralisasi Dalam Perspektif Birokrasi


Meskipun memiliki dua sisi manfaat dan kelemahan, namun terdapat sebuah kesepakatan umum
bahwa desentralisasi sangat diperlukan untuk mempromosikan model pemerintahan yang lebih
baik, lebih efektif, dan lebih demokratis (good governance). Baik di negara maju maupun negara
berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci terhadap agenda reformasi yang
dijalankan di negara yang bersangkutan.[63]
Secara konkret, kebijakan baru desentralisasi yang dimulai tahun 1999 adalah salah satu bentuk
reformasi politik dan pemerintahan di samping perubahan UUD 1945, dan pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai bentuk reformasi, di mana kerangka desentralisasi yang
baru telah merombak secara sistemik relasi Pusat dan Daerah. Dengan kebijakan desentralisasi,
terjadi transfer kewenangan Pusat kepada Daerah, termasuk transfer personalia serta sumber-
sumber pendapatan dan anggaran. Desentralisasi juga telah memberi penguatan demokrasi akar
rumput dengan pemberlakuan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung.
Desentralisasi di Indonesia berdampak pada terjadinya reformasi secara fundamental.
Dikemukakan oleh Mera Koichi “decentralization taken by Indonesia is notable for its scale and
speed. It was a Big Bang”.[64] Dalam bahasa yang berbeda, Pranap Bardhan and Dilip
Mookherjee mengemukakan “Some of these countries witnessed an unprecedented “big bang”
shift toward comprehensive political and economic decentralization: Bolivia in 1995 and
Indonesia after the fall of Suharto in 1998”.[65] Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, tentang Pemerintahan Daerah yang telah digantikan dengan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, di Indonesia adalah desentralisasi yang paling
berani di antara negara berkembang (the most daring decentralization policy in developing
countries).[66]
Sebagai sebuah reformasi, desentralisasi tidak akan dapat berhasil tanpa diikuti oleh langkah-
langkah lanjutannya. Dengan kata lain, desentralisasi harus disikapi dan ditindaklanjuti dengan
reformasi birokrasi sebagai unsur penyelenggara desentralisasi. Dalam kaitan ini, reformasi
birokrasi diarahkan pada terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik pada masa yang akan
datang.

Otonomi Daerah di Indonesia


Secara konseptual, paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi adalah sangat
baik. Namun, implementasi desentralisasi ini membutuhkan prakondisi untuk dapat berhasil
dengan baik, di antaranya harus didukung oleh perencanaan yang matang dan ditopang oleh
kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya. Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal dianutnya asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain
dijelaskan bahwa: “…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia
akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat
otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan
tersebut tidak merubah esensinya, tetapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan
melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah” [Pasal 18 ayat (1)]. Pemerintah
daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (92)]. Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).

Secara etimologis, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri
dan “nomos” aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai “peraturan
sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/ kewenangan untuk membuat peraturan sendiri.
Kemudian arti ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini
meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-
batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri. Sementara itu, dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, yang berarti urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur
dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah
pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b)
sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata,
dinamis dan bertanggungjawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi
wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah.
Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah
daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa
menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan
mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai
lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat
menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas.

Dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau
terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya,
sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus
dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan
daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Dapat terjadi
suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh
pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang
telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan
perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah
didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil
dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.
Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di
dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau
urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada
pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan
diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika,
bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik
kembali dari daerah.

Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab dikenal dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan


mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan
dengan peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Dimaksudkan dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan


kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta
tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab adalah
berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah,
disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata
dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi seluas-luasnya adalah bahwa daerah diberi kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah
Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan prinsip otonomi nyata, adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah
ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan
daerah lainnya. Otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi,
yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus
menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu
membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah
ketimpangan antara daerah. Hal yang penting adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu
menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu
memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai,
Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam
penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar,
arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi.
Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang,
kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat
dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Konsensus nasional mengenai keberadaan desentralisasi dalam Negara Kesatuan Indonesia
mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan administrasi negara Indonesia tidak
hanya semata-mata atas dasar asas tersebut, tetapi juga atas dasar desentralisasi dengan
otonomi daerah sebagai perwujudannya. Dengan demikian, setidak-tidaknya penyelenggara
organisasi negara Indonesia telah menerima pemikiran mendasar bahwa sentralisasi dan
desentralisasi masing-masing sebagai asas organisasi tidak ditempatkan pada kutub yang
berlawanan (dichotomy), tetapi kedua asas tersebut merupakan suatu rangkaian
kesatuan (continuum). Kedua asas ini memiliki fungsi yang berlainan, tetapi saling melengkapi
bagi keutuhan organisasi negara. Sentralisasi berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan
desentralisasi menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Desentralisasi bukan tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Kebijakan otonomi
daerah diarahkan kepada pencapaian peningkatan pelayanan publik dan pengembangan
kreativitas pemerintah daerah, keselerasan hubungan antara Pemerintah dengan Daerah dan
antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan, untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan,
demokrasi dan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi
kemandirian Daerah. Pada hakikatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang
berada dalam teritoir tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi
diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun
Pemerintah Daerah.

Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis,
dalam konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur
dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah.
Aspek spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak
pembentukan daerah otonom. Di samping pembentukan daerah otonom tercakup dalam konsep
desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang yang dalam Pasal 18 UUD 1945 disebut
urusan pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi
wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.

Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang
sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi
tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya
secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan
hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi.
Urusan pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat
(lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi.

Tujuan utama kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama, membebaskan pemerintah pusat
dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga berkesempatan
untuk mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil
mamfaat daripadanya. Pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Kedua, dengan adanya otonomi
daerah, pemerintah daerah mendapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat, maka daerah
akan mengalami proses pembelajaran dan pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa
dan kreativitas akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik
akan semakin kuat.

Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan,
sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun
keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Artinya, daerah harus dipandang dalam dua kedudukan, yakni (a) sebagai organ daerah untuk
melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat untuk
menyelenggarakan urusan pusat di daerah. Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara
pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas tiga asas, yaitu: (a) asas desentralisasi;
(b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan.

Dalam asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat
mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada
aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah
dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan dan biaya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat,
sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementra asas
pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah
pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan
kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.

Desentralisasi telah menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal
dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Tidak semua urusan pemerintahan
dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas
perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal, serta adanya
tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi
ke dalam dua variabel penting: pertama, peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural (structural efficiency
model); dan kedua, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan,
yang merupakan pendekatan model partisipasi (participatory model).
Setiap negara pada dasarnya memiliki titikberat yang berbeda dalam tujuan-tujuan
desentralisasinya, tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah
pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi. Desentralisasi
merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat yang sentralistik kepada pemerintah daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 1 butir 7
menyebutkan, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi desentralisasi menurut para pakar berbeda redaksionalnya, tetapi pada dasarnya
mempunyai arti yang sama. Joeniarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberikan
wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu
sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Amrah Muslimin, mengartikan
desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam
masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Desentralisasi sebagai
pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan.

Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan


sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya
pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang merupakan
hal terpenting perbedaan antara desentralisasi dengan sentralisasi.
Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah
kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari
lembaga legIslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom.
Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local
ordinance), bukan undang-undang.
Prinsip Otonomi Daerah
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan Undang-undang, sistem pemerintahan telah memberikan
keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi,
peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan
berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan
otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional,
regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat
dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab
kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.

Sesuai dengan amanat UUD 1945, Pemerintah Daerah yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan bertujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan
pemberdayaan, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan Republik
Indonesia.

Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang
menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi
yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, pemberian otonomi kepada daerah didasarkan kepada asas desentralisasi dalam wujud
otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

Asas yang dianut dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasar Undang-undang


Nomor 32 Tahun 2004, adalah:
 asas desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
 asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan, oleh pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
 tugas pembantuan adalah penugasan pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau Desa serta dari pemerintah
Kabupaten/Kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 menganut sistem open end arrangement atau general competence. Dalam sistem ini
daerah otonom boleh menyelenggarakan semua urusan di luar yang dimiliki Pusat. Artinya Pusat
menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki Pusat.
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan lain.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud
dengan Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan Daerah yang
dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu: Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah terdiri atas kepala daerah dan
wakil kepala daerah beserta perangkat daerah, secara umum perangkat daerah terdiri atas: unsur
staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi diwadahi dalam lembaga sekretariat;
unsur pendukung tugas Kepala Daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah
yang bersifat spesifik,diwadahi dalam lembaga teknis daerah; dan unsur pelaksanaan urusan
daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.

Kesimpulan
Desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek politik, fiskal, perubahan administrasi dan
sistem pemerintahan, dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara konseptual, desentralisasi
terdiri atas desentralisasi politik (political decentralization); desentralisasi
administratif (administrative decentralization); desentralisasi fiskal (fiscal decentralization);
dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi menjelma dalam dua bentuknya yang positif dan negatif. Dari sisi kemanfaatan,
desentralisasi dapat lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah melalui
pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat. Desentralisasi dapat
membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar pemerintah daerah untuk mencapai
kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Di sisi lain, kualitas pelayanan publik sering menjadi
korban karena transfer kewenangan sering disalahartikan atau disalahgunakan.

Desentralisasi bukan tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Pengejawantahan
desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam konsep daerah
otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus.
Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Dengan penyerahan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan
pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.

Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan,
sehingga daerah otonomi diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.

Rekomendasi
Pesan utama dari paparan di atas adalah bahwa pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka
negara kesatuan Republik Indonesia harus dihindarkan adanya eksklusivisme dan isolasionisme
kedaerahan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) adalah
satu kesatuan politik (political unity) yang harus saling memperkuat. Dengan demikian,
pemberian desentralisasi tidak boleh menimbulkan kelemahan pada Pemerintah Pusat atau
menimbulkan egoisme teritorial yang sempit.
Demikian pula, fungsi dekonsentrasi yang dijalankan oleh perangkat Pusat di Daerah hendaknya
tidak dicurigai sebagai upaya melakukan resentralisasi. Hal ini berarti pula bahwa hubungan
antara Pusat dan Daerah bukan relasi yang bersifat trade-off atau zero-sum,
melainkan synergistic win-win.
Daftar Pustaka
Arikan, GG., 2004, “Fiscal decentralization: A remedy for corruption?”, International Tax and
Public Finance 11(2): 175-195.
Aronson, J. Richard, 1985, Public Finance, New York: McGraw-Hill Book Company.
Azfar, Omar, S. Kahkonen, A. Lanyi, P. Meagher, and D. Rutherford, 1999, Decentralization,
Governance and Public Services, the Impact of Institutional Arrangements: A Review of the
Literature, IRIS Centre, Maryland: University of Maryland.
Breton, Albert, 1996, Competitive Governments, Cambridge: Cambridge University Press.
Bardhan, Pranab and Dilip Mookherjee (ed.), 2006, Decentralization And Local Governance in
Developing Countries: A Comparative Perspective, Cambridge: MIT Press.
Braathen, Einar, 2008, Decentralisation and Poverty Reduction, A Review of the Linkages in
Tanzania and the International Literature, Norad Report 22b/2008 Discussion, Norwegian
Agency for Development Cooperation, http://www.norad.no/items/Decentralisation/
Breton, Albert, and Anthony Scott, 1978, The Economic Constitution of Federal States. Toronto:
University of Toronto Press.
Breton, Albert, Alberto Cassone, and Angela Fraschini, 1998, “Decentralization and Subsidiarity:
Toward a Theoretical Reconciliation”, University of Pennsylvania Journal of International
Economic Law 19 (1): 21–51.
Brilantes Jr., Alex, 2004, Decentralization Imperatives, Lessons from Some Asian Countries,
Journal of International Cooperation Studies, Vo.12 No.1, August.
Brinkerhoff, Derick W. and Omar Azfar, 2006, Decentralization and Community Empowerment:
Does community empowerment deepen democracy and improve service delivery?, U.S. Agency
for International Development Office of Democracy and Governance.
Burki, S.J., G. Perry, and W. Dillinger, 1999, “Beyond The Center: Decentralizing The State”,
World Bank Latin American and Caribbean Studies, Washington DC: World Bank.

Crook R, Sverrisson A., 2001, Decentralization and Poverty Alleviation in Developing Countries:
A Comparative Analysis, or Is West Bengal Unique?, Institute of Development Studies: Brighton.
Devas, Nick, “Indonesia: what do we mean by decentralization?”, Public Administration and
Development Journal, Vol.17, 1997, h.351-367.
Dillinger, William, 1994, Decentralization and Its Implications for Urban Service Delivery.
Urban Management Program Discussion Paper 16(Washington, DC: World Bank), dalam
Richard C. Crook and James Manor, 1998, Democracy and Decentralization in South-East Asia
and West Africa: Participation, Accountability, and Performance, Cambridge: Cambridge
University Press.
Falleti, Tulia G., A Sequential Theory of Decentralization and Its Effects on the
Intergovernmental Balance of Power: Latin American Cases In Comparative Perspective,
Working Paper #314, July, 2004, http://www.ciaonet.org/
FAO, 2006, Understand, Analyse and Manage a Decentralization Process, Institutions For
Rural Development, Rome.
Fisman R, Gatti R., Decentralization and corruption: evidence across countries, Journal of Public
Economics, 2002, 83(3): 325-345.

Fjeldstad O.H., 2004, Decentralization and Corruption: A Review of the Literature, Bergen: Chr.
Michelson Institute.
Ford, James, 1999, “Rationale for Decentralization”, dalam Jennie Litvack and Jessica Seddon
(ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute. http://www.worldbank.org/
Gera, Weena JS., “Central Bureaucratic Supervision and Capacity Development in
Decentralization: Rethinking the Relevance of the Department of Interior and Local
Government of the Philippines”, Forum of International Development Studies No.37, September,
2008, Nagoya University: Graduate School of International
Development, http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp/bpub/research/
Gie, The Liang, 1993, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,
Yogyakarta: Liberty.
Hadiz, Vedi R., 2003, Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-
Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No. 47, City University of Hong Kong:
Southeast Asia Research Center, http://www.gtzsfdm.or.id/documents/
Hyman, David N., 1993, Public Finance: A Contemporary Application of Theory to
Policy, Fourth Edition, Boston: Irwin.
Indonesian Rapid Decentralization Appraisal, 2002, Decentralization and Local Governance in
Indonesia: First and Second Report on the Indonesian Rapid Decentralization Appraisal
(IRDA), Jakarta: Asia Foundation.
Javier, Aser B., 2000, New Politics and Governance in an Era of Decentralized Polity: the Local
Government of The Philippines, dalam “The Decentralization Training Program for Trainers of
the Indonesian Public Administration Agency” di GSID Nagoya University, 20 September-12
Oktober.
Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank
Institute, http://www.worldbank.org/
Kimura, Hirotsune, Desentralisasi: Bentuk Baru Integrasi Nasional?, Jurnal Ketahanan
Nasional, UGM, Nomor IV (3), Desember 1999, h.37-50.
Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Jakarta: Binacipta.
Koichi, Mera, 2004, The Big Bang Decentralization in Indonesia and the Lessons Learned,
Paper Presented at the International Workshop Urban Governance in Global Perspective,
September 17-18, University of South California.
Kolehmainen-Aitken, Riitta-Liissa, 1999, “Decentralization of the Health Sector”, in World Bank
Institute (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute Working
Papers, http://www.worldbank.org/
Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1978, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: FH Universitas Indonesia.
Leftwich, Adrian, 2000, States of Development: On The Primacy of Polictics in Development,
Cambridge: Polity Press.
Litvack, Jennie, Junaid Ahmad, Richard Bird, 1998, Rethinking Decentralization in Developing
Countries, Washington DC: The World Bank.
Litvack, Jennie, 1994, “Regional Demands and Fiscal Federalism”, In Christine Wallich,
ed., Russia and the Challenge of Fiscal Federalism, A Regional and Sectoral Study, Washington,
DC: World Bank.
Litvack, Jennie, Jessica Seddon, at al, 1998, Decentralization Briefing Notes, Washington DC:
The World Bank.
Litvack, Jennie, and Claude Bodart, 1993, “User Fees Plus Quality Equals Improved Access to
Health Care: Results of a Field Experiment in Cameroon”, Social Science and Medicine 37 (3):
369-83.
Lubis, M Solly, 1978, Asas-asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni.
Manan, Bagir, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-undang
Pelaksanaannya), Karawang: UNSIKA.
McBeath, Gerald A. and Andrea R. C. Helms, 1983, “Alternate Routes to Autonomy in Federal
and Quasi-Federal Systems”, in Publius, Vol. 13, No. 4 (Autumn), Oxford University Press.
McLean, Keith and Elizabeth King, 1999, “Decentralization of the Education Sector”, dalam
Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers,
World Bank Institute.
Moore, Mick and James Putzel, 1999, Politics and Poverty: A Background Paper For The World
Development Report 2000/1, http://www.worldbank.org/poverty/
Muslimin, Amrah, 1982, Beberapa Azas-azas dan Pengertian-Pengertian Pokok tentang
Administrasi, Bandung: Alumni.

______, 1960, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1908, Jakarta: Jambatan.


Oates, Wallace, 1972, Fiscal Federalism, New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Owens, Jeffrey and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International Perspective,
North-Holland.
Rondinelli, Dennis, 1999, “What is Decentralization?”, in World Bank, Decentralization Briefing
Notes, WBI Working Papers.
Rondinelli, Dennis and G. Shabbir Cheema, 1983, “Implementing Decentralization Policies: An
Introduction” dalam Cheema and Rondinelli (ed.), Decentralization and Development, Policy
Implementation in Developing Countries, California, Sage Publication in cooperation with
UNCRD.
Sasaoka, Yuichi, 2007, Decentralization and Conflict, The 889th Wilton Park Conference, Japan
International Cooperation Agency.
Seddon, Jessica, 1999, “Decentralization of Infrastructure”, dalam World Bank Institute
(ed.), Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers, http://www.worldbank.org/
Siegle, Joseph and Patrick O’Mahony, Assessing the Merits of Decentralization as a Conflict
Mitigation Strategy, http://www.dai.com/pdf/decentralization/
Silverman, Jerry M., Public Sctor Decentralization, Vision Study Paper No.1 Public Sector
Management Division, Africa Technical Department, November 1990.
SMERU, Regional Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three Districts in West
Java Province, (Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta,
2002, www.smeru.or.id/report/field/
Steve, Leach, Davis Horward and Associates, 1996, Enabling or Disabling Local Government:
Choices for the future, Buckingham Philadelphia: Open University Press.
Stiglitz, J. E. and H. Uzawa (ed.), 1969, Readings in Modern Theory of Economic Growth, MIT
Press.
Stiglitz, 1986, Economics of Public Sector, New York: Norton.
Suradinata, Ermaya, 1993, Kebijaksanaan Pembangunan Dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah, Perkembangan Teori dan Penerapan, Bandung: Ramadan.
Surianingrat, Bayu, 1981, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu
Analisa, Jakarta: Dewaruci Press.
Syafrudin, Ateng, 1973, Pemerintah Daerah dan Pembangunan, Bandung: Sumur Bandung.
Tiebout, Charles, 1956, “A Pure Theory of Local Expenditures”, Journal of Political Economy, 64
(5): 416–24.
Tresch, Richard, 1981, Public Finance, Plano, Texas: Business Publications.
Turner, Mark and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development: Making
the State Work, London: Macmillan Press Ltd.
Turner, Mark, “Whatever happened to deconcentration: Recent Initiatives in Cambodia”, Public
Administration and Development Journal, Vol.22, 353–364, Canberra, 2002.
UNDP, 2000, Overcoming Human Poverty, UNDP Poverty
Report, http://www.undp.org/povertyreport/
Weingast, Barry, 1995, “The Economic Role of Political Institutions: Market-Preserving
Federalism and Economic Development”, Journal of Law, Economics, and Organization 11 (1):
1–31.
World Bank, 2000, Helping Countries to Combat Corruption: Progress at the World Bank since
1997, Washington DC.
World Bank, “Decentralization and Governance: Does Decentralization Improve Public Service
Delivery?”, PremNotes No.55, June 2001, http://www1.worldbank.org/
Work, Robertson, (ed.), 2002, The Role of Participation and Partnership in Decentralized
Governance: A Brief Synthesis of Policy Lessons and Recommendations of Nine Country Case
Studies on Service Delivery for the Poor, New York: UNDP, http://www.undp.org/governance/
Peraturan Perundang-undangan:

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPR/1966, tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepada


Daerah.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, tentang Pokok Pemerintahan Daerah.


Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956, tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan
Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan


Pusat dan Daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, jo. Undang-undang


Nomor 3 Tahun 2005, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang
Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001, tentang Penyelenggaraan Dekosentrasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001, tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan.

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional.

Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, tentang Pemerintah Daerah.

—– ooo 0 ooo —–

Dalam Jurnal Hukum Maksigama, Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana


Malang, Vol. XXXIII, No.1, Mei 2009, ISSN: 1410-8763, hal. 1-27.

[1] Lihat Pasal 18 UUD 1945.


[2] Vivien Lowndees, “Locality and community: Choices for Local Government”, dalam Leach
Steve, Davis Horward and Associates, 1996, Enabling or Disabling Local Government: Choices
for the future, Buckingham Philadelphia: Open University Press.
[3] Charles Tiebout, 1956, “A Pure Theory of Local Expenditures”, Journal of Political
Economy 64 (5): 416–24.
[4] Wallace Oates, 1972, Fiscal Federalism, New York: Harcourt Brace Jovanovich.
[5] Richard Tresch, 1981, Public Finance, Plano, Texas: Business Publications.
[6] Litvack, Jennie, and Claude Bodart, 1993, “User Fees Plus Quality Equals Improved Access to
Health Care: Results of a Field Experiment in Cameroon”, Social Science and Medicine 37 (3):
369–83.
[7] Albert Breton, 1996, Competitive Governments, Cambridge: Cambridge University Press;
Lihat juga Albert Breton, and Alberto Cassone Barry Weingast, 1995, “The Economic Role of
Political Institutions: Market-Preserving Federalism and Economic Development”, Journal of
Law, Economics, and Organization 11 (1): 1–31, and Angela Fraschini, 1998, “Decentralization
and Subsidiarity: Toward a Theoretical Reconciliation”, University of Pennsylvania Journal of
International Economic Law 19 (1): 21–51.
[8] Sebagaimana dikutip oleh Jennie Litvack and Jessica Seddon, at al, 1998, Decentralization
Briefing Notes, Washington DC: The World Bank; lihat juga Jennie Litvack, Jundid Ahmad and
Richard Bird, at al, 1998, Decentralization in Developing Country, Washington DC: The World
Bank.
[9] Charles Tiebout, 1956, Loc. Cit.
[10] David N. Hyman, 1993, Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy,
Fourth Edition, Boston: Irwin.
[11] Richard Tresch, 1981, Public Finance, Plano, Texas: Business Publications, h.576-577.
[12] J. Richard Aronson, 1985, Public Finance, New York: McGraw-Hill Book Company, h.153-
161.
[13] Stiglitz, 1986, Economics of Public Sector, New York: Norton, h.636-637.
[14] Omar Azfar, S. Kahkonen, A. Lanyi, P. Meagher, and D. Rutherford, 1999, Decentralization,
Governance and Public Services, the Impact of Institutional Arrangements: A Review of the
Literature, University of Maryland: IRIS Centre.
[15] Nick Devas, “Indonesia: What do we mean by Decentralization?”, Public Administration and
Development Journal, Vol.17, 1997, h.351-352.
[16] Dennis Rondinelli, 1999, “What is Decentralization?”, in World Bank, Decentralization
Briefing Notes, WBI Working Papers.
[17] Mark Turner and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London: Macmillan Press Ltd., h.152.
[18] Arikan GG., 2004, “Fiscal decentralization: A remedy for corruption?”, International Tax
and Public Finance 11(2): 175-195; O.H. Fjeldstad, 2004, Decentralization and Corruption: A
Review of the Literature, Chr. Michelson Institute: Bergen; Gatti R. Fisman, 2002,
“Decentralization and corruption: evidence across countries”, Public Economics Journal 83 (3):
325-345.
[19] Einar Braathen, 2008, Decentralisation and Poverty Reduction, A Review of the Linkages
in Tanzania and the International Literature, Norad Report 22b/2008 Discussion, Norwegian
Agency for Development
Cooperation, http://www.norad.no/items/14184/38/2084279701/Decentralisation; Sverrisson
A. Crook R, 2001, Decentralization and Poverty Alleviation in Developing Countries: A
Comparative Analysis, or Is West Bengal Unique?, Institute of Development Studies: Brighton;
Mick Moore and James Putzel, 1999, Politics and Poverty: A Background Paper For The World
Development Report 2000/1, http://www.worldbank.org/poverty/
[20] World Bank, “Decentralization and Governance: Does Decentralization Improve Public
Service Delivery?”, in PremNotes No.55, June
2001, http://www1.worldbank.org/prem/PREMNotes/; Aitken Kolehmainen, Riitta-Liissa,
1999, “Decentralization of the Health Sector”, World Bank Institute (ed.), Decentralization
Briefing Notes, WBI Working Papers, http://www.worldbank.org/; Keith McLean and
Elizabeth King, 1999, “Decentralization of the Education Sector”, in World Bank Institute (ed.),
Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers, http://www.worldbank.org/; William
Dillinger, 1994, Decentralization and Its Implications for Urban Service Delivery, Urban
Management Program Discussion Paper 16 (Washington, DC: World Bank), dalam Richard C.
Crook and James Manor, 1998, Democracy and Decentralization in South-East Asia and West
Africa: Participation, Accountability, and Performance, Cambridge: Cambridge University Press.
[21] World Bank, 2000, Helping Countries to Combat Corruption: Progress at the World Bank
since 1997, Washington DC: World Bank.
[22] Yuichi Sasaoka, 2007, Decentralization and Conflict, The 889th Wilton Park Conference,
Japan International Cooperation Agency; Joseph Siegle, and Patrick O’Mahony, Assessing the
Merits of Decentralization as a Conflict Mitigation
Strategy, http://www.dai.com/pdf/Decentralization
[23] Derick W. Brinkerhoff, and Omar Azfar, 2006, Decentralization and Community
Empowerment: Does community empowerment deepen democracy and improve service
delivery?, U.S. Agency for International Development Office of Democracy and Governance.
[24] Cornelius 1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden and Wibbels 2002; Stein 1998,
dikutip dari Tulia G. Falleti, A Sequential Theory of Decentralization and Its Effects on the
Intergovernmental Balance of Power: Latin American Cases In Comparative Perspective,
Working Paper #314, July 2004, http://www.ciaonet.org/
[25] Brilantes Jr., Decentralization Imperatives, Lessons from Some Asian Countries, Journal of
International Cooperation Studies, Vo.12 No.1, August 2004, h.39.
[26] S.J. Burki, G. Perry, and W. Dillinger, 1999, “Beyond The Center: Decentralizing The State”,
World Bank Latin American and Caribbean Studies, Washington DC: World Bank, h.3.
[27] Indonesian Rapid Decentralization Appraisal, 2002, Decentralization and Local
Governance in Indonesia: First and Second Report on the Indonesian Rapid Decentralization
Appraisal (IRDA), Jakarta: Asia Foundation.
[28] SMERU, 2002, Regional Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three
Districts in West Java Province, (Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta, h.21-
22; http://www.smeru.or.id/report/field/
[29] James Ford, 1999, “Rationale for Decentralization”, dalam Jennie Litvack and Jessica
Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute, h.6-
8, http://www.worldbank.org/
[30] Jeffrey Owens and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International
Perspective, North-Holland, h.6.
[31] Mark Turner, 2002, “Whatever happened to deconcentration: Recent Initiatives in
Cambodia”, Public Administration and Development Journal, Vol 22, 353–364, Canberra, h.354.
[32] Ibid., h.355.
[33] Weena JS. Gera, 2008, “Central Bureaucratic Supervision and Capacity Development in
Decentralization: Rethinking the Relevance of the Department of Interior and Local
Government of the Philippines”, dalam Forum of International Development Studies No.37,
September, Nagoya University: Graduate School of International Development,
h.103, http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp/bpub/research/
[34] FAO, 2006, Understand, Analyse and Manage a Decentralization Process, Institutions For
Rural Development, Rome, h.31.
[35] Gerald A. McBeath and Andrea R. C. Helms, 1983, “Alternate Routes to Autonomy in
Federal and Quasi-Federal Systems”, in Publius, Vol. 13, No. 4 (Autumn), Oxford University
Press, h.34.
[36] Nick Devas, 1997, “Indonesia: what do we mean by decentralization?”, dalam Public
Administration and Development Journal, Vol.17, h.351-367.
[37] Mark Turner and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London: Macmillan Press Ltd., h.152-153.
[38] Lihat: JLGG Newsletter, Decentralization: New Legislation Boosts Japan’s Local
Authorities, Issue No.31, Summer 1999.
[39] Dennis Rondinelli, 1999, “What is Decentralization?”, dalam Jennie Litvack and Jessica
Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute,
h.2, http://www.worldbank.org/
[40] Mark Turner and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London: Macmillan Press Ltd., h.152.
[41] Aser B. Javier, 2000, New Politics and Governance in an Era of Decentralized Polity: the
Local Government of The Philippines, dalam “The Decentralization Training Program for
Trainers of the Indonesian Public Administration Agency”, GSID Nagoya University, 20
September-12 Oktober, h.2-3; James Ford, 1999, “Rationale for Decentralization”, dalam Jennie
Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank
Institute, http://www.worldbank.org/
[42] Jeffrey Owens and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International
Perspective, North-Holland, h.6.
[43] James Ford, 1999, Op. Cit., h.6.
[44] Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird, 1998, Rethinking Decentralization in
Developing Countries, The World Bank, Washington DC., h.5; Lihat juga Jennie Litvack, 1994,
“Regional Demands and Fiscal Federalism”, In Christine Wallich, ed., Russia and the Challenge
of Fiscal Federalism, A Regional and Sectoral Study, Washington, D.C.: World Bank.
[45] Dennis Rondinelli and G. Shabbir Cheema, 1983, “Implementing Decentralization Policies:
An Introduction” dalam Cheema and Rondinelli (ed.), Decentralization and Development, Policy
Implementation in Developing Countries, California: Sage Publication in cooperation with
UNCRD, h.15-16.
[46] Dennis Rondinelli, 1999, Op. Cit., h.2-4.
[47] Lihat Keith McLean and Elizabeth King, 1999, “Decentralization of the Education Sector”,
dalam Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World Bank
Institute, h.55.
[48] Anne Mills dalam Kolehmainen-Aitken, Riitta-Liissa, 1999, “Decenttralization of the Health
Sector”, dalam Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes, World
Bank Institute, h.57; beberapa manfaat nyata desentralisasi di bidang kesehatan adalah: “More
rational and unified health service that caters to local preferences. Improvement of health
programs implementation. Lessened duplication of services as the target of populations is
defined more specifically. Reduction of inequalities between rural and urban areas. Cost
containment from moving to streamlined, targeted programs. Greater community financing
and involvement of local communities. Greater integration of activities of different public and
private agencies. Improvement of inter-sectoral coordination, particularly in local government
and rural development activities.”
[49] Jessica Seddon, 1999, “Decentralization of Infrastructure”, dalam World Bank Institute
(ed.), Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers,h.70; Sebagai contoh, pengeluaran
untuk infrastruktur meningkat seiring dengan pemberian desentralisasi, khususnya di negara
berkembang. Hal ini sekaligus dapat mengindikasikan bahwa pemerintah daerah lebih suka
melaksanakan sendiri program pembangunan infrastruktur dari pada disediakan langsung oleh
pemerintah pusat. Di samping itu, secara umum indikator kinerja sedikit mengalami
peningkatan atau tetap manakala sektor infrastruktur ini diserahkan ke pemerintah
daerah; http://www.worldbank.org/
[50] Ibid., h.93.
[51] Ibid., h.93-95.
[52] Robertson Work, ed., 2002, The Role of Participation and Partnership in Decentralized
Governance: A Brief Synthesis of Policy Lessons and Recommendations of Nine Country Case
Studies on Service Delivery for the Poor, New York: UNDP, http://www.undp.org/governance/
[53] Mick Moore and James Putzel, 1999, Politics And Poverty: A Background Paper For The
World Development Report 2000/1, Paper tidak dipublikasikan,
h.12; http://www.worldbank.org/poverty/
[54] UNDP, 2000, Overcoming Human Poverty, UNDP Poverty Report, h.60-
61. http://www.undp.org/povertyreport/
[55] Vedi R. Hadiz, 2003, Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-
Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No.47, City University of Hong Kong:
Southeast Asia Research Center, h.16; http://www.gtzsfdm.or.id/documents/
[56] Indonesian Rapid Decentralization Appraisal, 2002a, Mei, Decentralization and Local
Governance in Indonesia: First Report on the Indonesian Rapid Decentralization Appraisal
(IRDA), Jakarta: Asia Foundation, h.10.
[57] Ibid.
[58] Ibid., h.14.
[59] SMERU, 2002, Regional Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three
Districts in West Java Province, (Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta, h.21-
22, http://www.smeru.or.id/report/field/
[60] Vedi R. Hadiz, 2003, Op. Cit., h.16.
[61] Adrian Leftwich, 2000, States of Development: On The Primacy of Polictics in Development,
Cambridge: Polity Press, h160-167.
[62] Hirotsune Kimura, Desentralisasi: Bentuk Baru Integrasi Nasional?, Jurnal Ketahanan
Nasional, UGM, Nomor IV (3), Desember 1999, h.37-50.
[63] Di Jepang, misalnya, desentralisasi dipandang sebagai reformasi besar ke-3 (the third major
reform) di era modern, setelah Restorasi Meiji pada pertengahan abad XIX dan reformasi
administratif setelah berakhirnya PD II. Lihat: JLGG Newsletter, Decentralization: New
Legislation Boosts Japan’s Local Authorities, Issue No. 31, Summer 1999, h.1.
[64] Mera Koichi, 2004, The Big Bang Decentralization in Indonesia and the Lessons Learned,
Paper Presented at the International Workshop Urban Governance in Global Perspective,
September 17-18, University of South California, h.2.
[65] Pranab Bardhan and Dilip Mookherjee (ed.), 2006, Decentralization And Local Governance
in Developing Countries: A Comparative Perspective, Cambridge: MIT Press.
[66] Indonesian Rapid Decentralization Appraisal, 2002, Loc. Cit.

You might also like