You are on page 1of 58

LAPORAN KASUS

SEPSIS e.c. PERITONITIS

Disusun oleh:

Andrew Timanta 120100284


Adriani Sakinah 120100086
Astry Amelia Harahap 120100007

Pembimbing:
dr. Wulan Fadinie,M,ked (An) Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Sepsis e.c. Peritonitis”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, dr. Wulan Fadinie, M,ked (An) Sp.An yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Desember 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................... 1
1.3 Manfaat ..................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1.Anatomi dan Fisiologi Peritoneum .......................................... 3
2.2.Peritonitis ................................................................................... 4
2.2.1.Definisi............................................................................ 4
2.2.2.Etiologi............................................................................ 4
2.2.3.Klasifikasi ....................................................................... 5
2.2.4 Patofisiologi .................................................................... 7
2.2.5 Manifestasi Klinis ........................................................... 10
2.2.6 Diagnosis ........................................................................ 11
2.2.7 Diagnosis Banding .......................................................... 13
2.2.8 Penatalaksanaan .............................................................. 13
2.2.8.1 Terapi Konservatif .............................................. 13
2.2.8.2 Terapi Segera (Immediate) ................................. 14
2.2.8.3 Terapi Definitif ................................................... 14
2.2.9 Prognosis ......................................................................... 18
2.2.10 Komplikasi .................................................................... 18
2.3. Sepsis ........................................................................................ 19
2.3.1. Defenisi .......................................................................... 19
2.3.2. Epidemiologi .................................................................. 19`
2.3.3. Keriteria Klinis .............................................................. 19
2.3.4. Penatalaksanaan ............................................................. 21

ii
BAB 3 STATUS PASIEN .......................................................................... 26
BAB 4 DISKUSI KASUS ........................................................................... 40
BAB 5 KESIMPULAN .............................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Kriteria Pierce............... 14


Tabel 2.2. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan
Pemeriksaan Fisik...................................................................... 15
Tabel 2.3. Kebutuhan Normal Cairan Rumata ........................................ 17
Tabel 2.4. Klasifikasi Perdarahan.............................................................. 19
Tabel 2.5. Kriteria SOFA (Sequential [Sepsis-Related] Organ
Failure Assessment Score)……………………………………………….... 23

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tampilan wajah Hippocratic pada pasien difus peritonitis...10


Gambar 2.2. WHO Pain Management Guidelines…………………………15

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga
perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah,
misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun
di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi
aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik.3
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata. Peritonitis
diperkirakan melalui tiga fase, yaitu pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-
kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi
sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga, fase usaha pertahanan tubuh
untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan
dengan disfungsi/kegagalan organ dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4
Menurut survei World Health Organization (WHO), kasus peritonitis di
dunia adalah 5,9 juta kasus. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hamburg-
Altona Jerman, ditemukan 73% penyebab tersering peritonitis adalah perforasi
dan 27% terjadi pasca operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis dari 11.000 pasien
yang ada. Angka kejadian peritonitis di Inggris selama tahun 2002-2003 sebesar
0,0036% (4562 orang).3

1
1.2. Tujuan
1. Memahami alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada kasus peritonitis
2. Memahami peran anestesi pada operasi emergensi khususnya pada kasus
peritonitis
3. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
4. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek anestesi pada peritonitis yang berlandaskan teori sehingga
peritonitis dapat dikenali dan ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya
pada tingkat pelayanan primer.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum


Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari
selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan
penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum
parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral
yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang
mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan
viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum
dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut
asites.5
Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan
dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut
tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon
asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai
organ retroperitoneal.5
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-
lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.5
Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan
nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma
diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi
sesuai organ yang ditutupinya.5
Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen
agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar

3
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek
mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam
waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan
peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul
adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6

2.2. Peritonitis
2.2.1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-
sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam karena peradangan yang biasanya
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.7

2.2.2. Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga
disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi
obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat
diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)
merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas
saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia
remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan

4
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang
terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan
anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1)
invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen,
infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang
rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada
apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran
darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi
tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-
hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal
hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran
langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.
Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa
jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan
dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat
penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan
idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4

5
2.2.3. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:17

1. Peritonitis bakterial primer


Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dala
m abdomen.Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Srept
ococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Spesifik : misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya
malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal
ginjal kronik, lupuseritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan
asites

2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal
tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel
organism dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob,
khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri
aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi
suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang
disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar
dari usus.

6
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal,
misalnya appendicitis.
3. Peritonitis tersier
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
4. Peritonitis bentuk lain dari peritonitis, yaitu :
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis

2.2.4. Patofisiologi
Rongga peritoneum merupakan rongga yang paling luas di tubuh, dengan
luas hampir sama dengan luas seluruh kulit (2m2). Dinding peritoneum
merupakan lapisan jaringan fibroelastik yang dilapisi oleh sel-sel mesotel.
Dinding ini membentuk sebuah ruang kecil yang memisahkan lapisan peritoneum
superficial (peritoneum parietal) dengan peritoneum visera. Peritonium juga
dilengkapi dengan susunan pembuluh limfatik dan pembuluh darah yang berperan
dalam absorbsi cairan peritoneum. Pada individu yang sehat hanya beberapa
mililiter cairan peritoneum yang dapat ditemukan pada rongga peritoneum. Cairan
peritoneum tersebut berfungsi sebagai lubrikan untuk memfasilitasi pergerakan
kedua lapisan peritoneum. Peritoneum parietal didukung oleh jaringan pembuluh
darah dan persarafan yang lebih banyak dibandingkan peritoneum visera.
Peritonium memiliki kemampuan untuk mennyerap cairan dalam jumlah besar,
meskipun begitu peritoneum berperan dalam terjadinya akumulasi cairan (asites)
mauun akumulasi eksudat ketika terjadi peritonitis. Peritonitis didefinisikan
sebagai inflamasi peritoneum yang dapat bersifat lokal maupun difus. Sebagian
besar kasus peritonisis utamanya disebabkan oleh invasi bakteri patogen.4

7
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-
lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.15

Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi
langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi
saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak
(misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis,
trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran darah
dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi tanpa
sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-hemolyticus
primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan
asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung
dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut,
perforasi uterus akibat alat intra uterus).4

Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat


kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase
interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi. Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat
kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini
terjadi karena cairan peritoneum yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal
sebagai respons terhadap perbedaan gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma.
Cairan tersebut melewati stomata pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi
ke lakuna limfatik. Cairan limfe akan mengalir ke duktus limfatikus utama
melalui nodus substernal. Septikemia yang terbentuk umumnya melibatkan
bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan berhubungan dengan morbiditas yang
tinggi. Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan

8
anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.
Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan
imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur
klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid
yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan
komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel
peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk
interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
inflammatory protein-1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk
memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan
fibroblas pada submesotelium. Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang
mengurung mikroba di dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme
efektor fagositik lokal. Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan
perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin merupakan
hal vital pada proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel
mesotel peritoneum menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera
peritoneum dilisiskan atau dibentuk menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor
necrosis factor-α menstimulasi produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh
sel mesotel peritoneum, yang menghambat degradasi fibrin.16
Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan inflamasi peritoneum
yang awalnya bersifat local kemudian menjadi difus. Cepat atau lambatnya
kontaminasi peritoneum merupakan faktor utama. Jika suatu inflamasi apendiks
atau bagian usu lainnya terjadi sebelum lokalisasi muncul, maka akan terjadi
pengeluaran (efluks) isi usus ke rongga peritoneum yang pada akhirnya akan
menyebabkan penyebaran radang ke lokasi yang lebih luas. Begitu juga halnya
dengan perforasi, terputusnya anastomose antar bagian usus menyebabkan
kontaminasi rongga peritoneum yang lebih luas. Stimulasi peristaltik, misalnya
oleh karena penggunaan enema, justru akan memfasilitasi penyebaran radang.
Faktor dari individu juga terlibat, anak anak memiliki omentum yang lebih kecil,

9
memudahkan penyebaran radang, sedangkan orang tua dan pasien dengan supresi
sistem imun, justru tidak mampu menghambat penyebaran infeksi.4

2.2.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis awal dari peritonitis lokal biasanya merupakan gejala
gastrointestinal (mual, mulas, tidak selera makan) yang disertai nyeri perut, dan
diikuti dengan peningkatan suhu tubuh dan pulsasi. Tanda patognomonik adalah
rebound tenderness yang juga disertai didinding abdomen yang kaku. Jika
peradangan terjadi pada bawah diafragma, nyeri yang dirasakan pasien bisa saja
berupa nyeri menjalar di sepanjang dermatom C5. Lambat laun nyeri akan
semakin bertambah dan rebound tenderness akan dirasakan di seluruh lapangan
perut. Suara peristaltic akan melemah hingga bahkan menghilang seiring dengan
terjadinya ileus paralitik. Kaku dinding perut juga akan menetap dan pada
peritonitis difus yang sudah berat, dapat timbul syok septik yang ditandai oleh
kegagalan perfusi, akral dingin dan lembab, tekanan darah turun, mata cekung dan
lidah kering, dan dapat disertai dengan penurunan kesadaran. Gambaran wajah
yang apatis ini disebut sebagai wajah Hippocratic.1

Gambar 2.1. Tampilan wajah Hippocratic pada pasien difus peritonitis

10
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya
termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis,
perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit
(contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang
mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh
lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi.
Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan
hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif,
pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan
peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal
organ multipel pun dapat terjadi.3,4
Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis,
posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding
abdominal relaksasi.3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan
tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.
Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons
involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara
usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata)
bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama
dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik.
Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan
fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7
Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa
dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses
tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis
berat.3
Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang
mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh:

11
empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding
abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti
dari peritonitis.3
Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah.
Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain
pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri
tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan
pekak hati menghilang.3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien
peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis
metabolik.6
Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan
asites ≥ 500 sel/µL, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan
peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase
(LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan
peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level
glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan
asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN ≥ 250
sel/µL dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil
kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN ≥ 250 sel/µL.3
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus
buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi
supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free
air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow); dan (3) posisi Left
Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu
adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,8

12
2.2.7. Diagnosis Banding
Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi
saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain
nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik
bilier.4

2.2.8. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

2.2.8.1. Terapi Konservatif


Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi telah terlokalisasi
(misalnya appendix mass); (2) penyebab peritonitis tidak membutuhkan tindakan
pembedahan (misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk anestesi
umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien lanjut usia, pasien sekarat
dengan komorbiditas yang hebat); dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung
manajemen bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa adalah
hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum luas. Terapi suportif
sebaiknya mencakup early enteral feeding (daripada total parenteral nutrition)
untuk pasien dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4

2.2.8.2. Terapi Segera (Immediate)


Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang tetap mengikuti
kaidah primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan
Exposure).9,10,11

13
Dalam hal airway, kelancaran jalan nafas harus dijaga. Penilaian adanya
obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan
napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.9,10,11
Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada
sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya
pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan
adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera
lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua
pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan
Analisis Gas Darah (AGDA).4,9,10,11
Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian
kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan
tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,
terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang
dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting
dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian
kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat
dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.
Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel
darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan,
golongan darah dan cross match, dan AGDA.4,9,10,11
Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat
kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS).
Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya.4,9,10,11
Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan
pencegahan hipotermia.9
Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah
dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada
secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara
lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem
peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih

14
(bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal
(bone/B6).9
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan
mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan
cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis
penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.12
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun,
kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus
berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul
gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan
lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan
Kussmaul.12,13
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi
menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14

Tabel 2.2. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Ringan Sedang Berat
Klinis
Hemodinamik Takikardi Takikardi, hipotensi Takikardi, sianosis,
ortostatik, nadi lemah, nadi sulit diraba, akral
vena kolaps dingin
Jaringan Mukosa lidah Lidah lunak, keriput Atonia, mata cekung /
kering corong
Turgor Kulit < << <<<
Urin Pekat Pekat, jumlah menurun Oliguria
Kesadaran Normal Apatis, gelisah Koma
Defisit 3-5% BB 6-8% BB 10% BB

Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi menjadi:


(1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2) dehidrasi isonatremik atau isotonik,
dan (3) dehidrasi hipernatremik atau hipertonik.12,13,14

15
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih
besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat
kadar natrium serum 120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual,
muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di bawah 115 mEq/L,
akan terjadi kejang, koma, bahkan kerusakan neurologis permanen. Kehilangan
natrium dapat dihitung dengan rumus :

Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan
dalam kg).12,13,14,15

Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan sama


dengan konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air adalah sama
jumlahnya/besarnya dalam kompartemen cairan ekstravaskular maupun
intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L. Tidak
ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik.12,13,14,15
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan yang hilang
mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan cairan hipotonik),
kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit
daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke
intravaskular meminimalisir penurunan volume intravaskular. Dehidrasi
hipertonik dapat terjadi karena pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak
daripada air. Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula
garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap
kejadian hipernatremia. Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar
karena hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan
perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri ini dapat
mengakibatkan defisit neurologis menetap.12,13,14,15
Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangan cairan tubuh
yang hilang patologis kembali menjadi normal. Algoritme penanganan pasien
dengan dehidrasi meliputi langkah-langkah berikut ini: (1) Pemasangan jalur
intravena ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai kondisi

16
umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran,
untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3)
Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat
badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya
dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi
tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit.
Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan
setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan
yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam.
Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah
dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah
dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan
atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan
dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.
Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan
penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien
berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat
pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan
penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14
Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3. Kebutuhan Nornal Cairan Rumatan12,13,14


Berat Badan Jumlah cairan
0 – 10 kg 4ml/kg/jam
10 – 20 kg berikutnya Tambahkan 2ml/kg/jam
Untuk setiap kg di atas 20kg Tambahkan 1ml/kg/jam

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang


hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai,

17
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob
dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Sefalosporin generasi ketiga dan
metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang sering diberikan. Untuk
pasien yang menderita peritonitis yang didapat di rumah sakit (misalnya
kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis
kedua dengan meropenem atau kombinasi piperacilin dan tazobactam
direkomendasikan. Terapi antijamur juga sebaiknya dipertimbangkan untuk
menjangkau spesies Candida yang mungkin menginfeksi. Penggunaan antibiotik
lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien
dengan syok septik yang berhubungan dengan peritonitis. Selain untuk
dekompresi saluran cerna, penggunaan pipa nasogastrik juga berfungsi untuk
mengurangi risiko pneumonia aspirasi.1,
Rata-rata volume darah orang dewasa adalah 7% dari berat badannya
(atau 70 ml/kgBB). Perkiraan volume darah (Estimated blood Volume = EBV)
pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg kurang lebih 5 liter. Volume darah
bervariasi tergantung usia dan status fisiologis. Berdasarkan berat badannya,
semakin tua usia seseorang maka semakin sedikit volume darahnya. EBV anak-
anak sekitar 8-9% berat badan, dan bayi meiliki EBV 9-10% berat badan.
Perkiraan kehilangan cairan ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk kehilangan
melalui urin, dan pembentukan udem jaringan. Untuk membantu menentukan
penggantian cairan, perdarahan dibagi menjadi empat kelas. Kelas I adalah stase
non syok. Sedangkan kelas IV adalah stase preterminal yang memerlukan
penanganan segera.

18
Tabel 2.4. Klasifikasi Perdarahan

Perdarahan masif dapat didefinisikan sebagai kehilangan total EBV dalam


waktu 24 jam, atau kehilangan setengah EBV dalam waktu 3 jam. Salah satu cara
yang cukup mudah untuk mengestimasi kehilangan darah akut adalah dengan
mempertimbangkan ruang intravaskuler sebagai sebuah kompartemen, dimana
perubahan hemoglobin tergantung pada derajat kehilangan darah dan penggantian
cairan. Ketika kehilangan volume tidak diganti selama perdarahan, konsentrasi
hemoglobin akan tetap konstan. Dalam kondisi seperti ini, perkiraan kasar darah
yang hilang dapat ditentukan dengan tabel 2.4 . Sebaliknya, jika kehilangan darah
diikuti dengan penggantian melalui infus cairan isovolemi, perkiraan darah yang
hilang dapat mengikuti kaidah berikut:

EBL = EBV × ln(Hi/Hf)

Hi dan Hf menunjukkan kadar hematokrit inisial dan final. Sebagai contoh,


penurunan hematokrit dari 40% menjadi 26% dengan penggantian cairan lengkap
akibat kehilangan darah menunjukkan EBV 2,1 liter.

19
Infus cairan intravena jika tidak terdapat perdarahan juga menurunkan
kadar hemoglobin. Perkiraan hemodilusi akibat pemberian cairan intravena
mengikuti kaidah berikut:

Hf = EBV × Hi/(EBV + volume infus)

Ini adalah nilai terendah yang mungkin dari Hf karena pemberian cairan dan
ekspansi volume cairan intravaskuler akan memicu mekanisme kompensasi
melalui peningkatan laju filtrasi glomerulus dan penurunan volume plasma.
Pemberian tranfusi packed red cells (PRC) pada seseorang tanpa
perdarahan aktif dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin 1 g/dl (3%
hematokrit) per unit PRC yang ditransfusikan. Perkiraan pengaruh tranfusi pada
volume maupun konsentrasi hemoglobin pada individu dengan perdarahan aktif
tidak mungkin dilakukan. Pengukuran vena sentral, atau lebih baik lagi, tekanan
arteri pulmoner dibutuhkan untuk memperkirakan derajat penggantian cairan yang
dibutuhkan.

2.2.8.3. Terapi Definitif


Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle incision
(bergantung pada dugaan lokasi patologis). Tujuan dari laparotomi adalah: (1)
membuktikan penyebab peritonitis, (2) mengontrol sumber sepsis dengan
membuang organ yang meradang atau iskemik (atau menutup organ yang bocor),
(3) melakukan pencucian kavum peritoneum yang efektif.4
Mengontrol sumber utama sepsis adalah hal yang esensial. Hanya
terdapat sedikit bukti tentang manfaat klinis irigasi peritoneum. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya resistensi koloni mikroba peritoneum terhadap pencucian
peritoneum, atau karena adanya kerusakan ikutan yang timbul pada sel
mesotelium. Pembuangan debris-debris, fekal, atau pus dari kavum peritoneum
mungkin cukup berguna daripada melakukan irigasi yang hebat pada kavum
peritoneum. Antibiotik dapat diberikan hingga 5 hari setelah operasi pada kasus
peritonitis difusa atau kompleks.4

20
Laparoskopi juga merupakan modalitas terapi alternatif yang dapat
dilakukan. Laparoskopi juga terbukti efektif untuk penanganan apendisitis akut
dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi juga bisa digunakan untuk perforasi
kolon, namun angka konversi ke laparotomi tinggi Syok atau ileus merupakan
kontraindikasi laparoskopi.4
Penggunaan drain cenderung efektif untuk mendrainase ruang yang
terlokalisasi, namun kurang efektif bila digunakan untuk mendrainase seluruh
kavum peritoneum. Hanya sedikit bukti yang mendukung penggunaan drain
profilaksis setelah laparotomi.4

2.2.9. Prognosis
Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis
sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai
prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga,
tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2)
24 – 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya 20 %.1
Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk
memprediksi keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin-
18 intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,
namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.4

2.2.10. Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan
di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis
abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor
prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang
berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi
dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.4

21
2.3. Sepsis

2.3.1. Definisi

Sepsis adalah gangguan fungsi organ yang mengancam jiwa akibat respon
imun terhadap infeksi. Syok sepsis adalah gejala sepsis dengan gangguan fungsi
sirkulasi dan selular/metabolik yang berhubungan dengan risiko tinggi
mortalitas.18

2.3.2. Epidemiologi

Sepsis dan syok sepsis adalah masalah utama pada tenaga medis,
mempengaruhi jutaan orang di dunia setiap tahun, dan membunuh 1 dari 4 orang
(dan sering lebih), tercatat lebih dari 20 miliar dolar (5,2%) dari total pengeluaran
rumah sakit di Amerika Serikat pada tahun 2011.19

Kejadian sepsis terus meningkat selama tiga dekade terakhir, setidaknya


sebagian karena penuaan populasi Barat. Hampir 15% dari pasien yang di rawat di
ruang rawat intensif dengan severe sepsis, dimana dua pertiga dari pasien-pasien
tersebut mengalami syok septik. Meskipun pemahaman patofisiologi dan terapi
meningkat, didukung oleh terapi antibiotik yang spesifik, sepsis dilaporkan tetap
menjadi penyebab dari kematian noncardiac di Intensive Care Units (ICUs).
Angka kematian tetap tinggi dan sepsis menjadi penyebab kematian tertinggi
dibandingkan penyakit-penyakit umum lainnya di negara-negara barat seperti
myocard infarct, stroke dan trauma.1 Di Indonesia tingkat penyebaran dari
penyakit sepsis di Rumah Sakit Dr. Sutomo ialah penderita yang jatuh dalam
keadaan sepsis berat sebesar 27,08%, syok septik sebesar 14,58%, sedangkan
58,33% sisanya hanya jatuh dalam keadaan sepsis.20

2.3.3.Kriteria Klinis

Pada satu penelitian, dilakukan evaluasi tentang kriteria klinis yang terbaik
untuk mengidentifikasi pasien-pasien infeksi yang mengarah ke sepsis. Tujuan ini

22
didapatkan dengan memeriksa banyak data dari pasien rawat inap yang diduga
mengalami infeksi, dengan memakai penilaian skor inflamasi (SIRS), atau
penilaian disfungsi organ (cth. SOFA).19

Kriteria SIRS (Sistemic Inflammatory Response Syndrome) berdasarkan


dua atau lebih yang terdiri dari:19

 Temperatur >38oC atau <36oC


 Denyut jantung >90 kali/menit
 Laju pernapasan >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
 Sel darah putih >12000/mm3 atau <4000/mm3.

Kriteria SOFA (Sequential [Sepsis-Related] Organ Failure Assessment


Score) berdasarkan dari 2 atau lebih yang terdiri dari:19

Tabel 2.3. Kriteria SOFA (Sequential [Sepsis-Related] Organ Failure


Assessment Score)

Sumber: Singer M, 2016

23
Pengukuran terbaru, dinamakan qSOFA (quick SOFA) menyediakan
kriteria simpel untuk identifikasi pasien dewasa dengan kecurigaan infeksi pada
pasien yang kemungkinan akan memiliki prognosis yang buruk. Kriteria qSOFA
(quick Sequential Organ Failure Assessment) berdasarkan dua atau lebih yang
terdiri dari: 19

 Laju pernafasan 22 kali/menit atau lebih


 Gangguan kesadaran (GCS <15)
 Tekanan darah sistolik 100 mmHg atau kurang

2.3.4. Tatalaksana

Sepsis dan syok sepsis adalah kegawatdaruratan medis dan


direkomendasikan penatalaksaan dan resusitasi dimulai sesegera mungkin
menurut acuan Surviving Sepsis Campaign tahun 2016: 19

1. Resusitasi awal
a. Untuk resusitasi sepsis yang menyebabkan hipoperfusi,
direkomendasikan setidaknya 30 mL/kg cairan kristaloid secara IV
dapat diberikan pada 3 jam pertama.
b. Pemberian cairan tambahan setelah cairan awal resusitasi
direkomendasikan dengan panduan dari penilaian status
hemodinamik.
c. Pemeriksaan lanjut hemodinamik untuk menentukan tipe syok jika
pemeriksaan klinis tidak dapat mengarahkan ke diagnosis yang
jelas.
d. Direkomendasikan target tekanan rata-rata arteri sebesar 65 mmHg
pada pasien dengan syok sepsis diberikan vasopressor
e. Direkomendasikan target resusitasi untuk menurunkan tingkat
asam laktat pada pasien yang dimana berguna sebagai tanda dari
hipoperfusi jaringan.

24
f. Direkomendasikan agar rumah sakit dan sistem didalamnya
memiliki program untuk kemajuan kinerja pada pasien sepsis
termasuk pemeriksaan sepsis pada pasien dengan risiko tinggi.

2. Antimikroba dan Kultur


a. Kultur mikrobiologi rutin (termasuk darah) diambil sebelum
memulai terapi antimikroba pada pasien yang dicurigai sepsis dan
syok sepsis jika tidak menghalangi pemberian antimikroba.
b. Kami merekomendasikan pemberian antimikroba intravena dimulai
sesegera mungkin setelah dikenali dan dalam 1 jam untuk kedua a)
syok septik dan b) sepsis tanpa syok.
c. Kami merekomendasikan terapi spektrum luas empiris dengan satu
atau lebih antimikroba untuk pasien yang mengalami sepsis atau
syok septik untuk menutupi semua kemungkinan patogen
(termasuk cakupan bakteri dan berpotensi jamur atau viral)
d. Kami merekomendasikan agar terapi antimikroba dipersempit
begitu identifikasi patogen dan sensitivitas ditetapkan dan/ atau
perbaikan klinis yang memadai telah tercatat.
e. Kami tidak merekomendasikan profilaksis antimikroba sistemik
yang berkelanjutan pada pasien dengan keadaan peradangan parah
akibat non-infeksi (misalnya pankreatitis berat, luka bakar).
f. Sebaiknya strategi pemberian dosis antimikroba dioptimalkan
berdasarkan prinsip farmakokinetik/ farmakodinamik yang
diterima dan sifat obat spesifik pada pasien dengan sepsis atau
syok septik.
g. Kami menyarankan terapi kombinasi empiris (menggunakan
setidaknya dua antibiotik dari berbagai kelas antimikroba) untuk
patogen bakteri yang paling mungkin untuk penanganan awal syok
septik.
h. Tidak direkomendasikan terapi kombinasi sebagai tatalaksana rutin
pada demam neutropenik tanpa komplikasi

25
i. Jika terapi kombinasi digunakan ketika syok sepsis,
direkomendasikan penurunan konsentrasi, dengan penghentian
kombinasi terapi dalam beberapa hari pertama sebagai respon dari
kemajuan klinis dan/atau bukti dari resolusi dari infeksi.
j. Disarankan agar durasi pengobatan antimikroba 7-10 hari cukup
untuk infeksi yang paling serius. Disarankan agar program yang
lebih lama mungkin sesuai pada pasien yang memiliki respons
klinis lambat, sumber infeksi yang tidak dapat didrainase,
bakteremia dengan S. aureus, atau beberapa infeksi jamur dan
virus atau defisiensi imunologis, termasuk neutropenia. Kami
menyarankan pengobatan yang lebih pendek mungkin sesuai untuk
beberapa pasien, terutama dengan resolusi klinis yang cepat setelah
kontrol sumber efektif sepsis intra-abdomen atau urin dan yang
mengandung pielonefritis anatomis tanpa komplikasi.
k. Direkomendasikan penilaian harian untuk de-eskalasi terapi
antimikroba pada pasien dengan sepsis.
l. Direkomendasikan bahwa tempat spesifik yang didiagnosis dari
infeksi yang memerlukan kontrol dari sumber infeksi secepatnya,
diidentifikasi atau dikeluarkan secepat mungkin pada pasien
dengan sepsis dan syok septik, dan bahwa setiap intervensi
pengendalian sumber yang diperlukan harus dilaksanakan segera
setelah dilakukan secara medis dan logistik setelah diagnosis
dilakukan.
3. Cairan
a. Direkomendasikan teknik fluid challenge diterapkan saat
pemberian cairan berlanjut selama faktor hemodinamik terus
membaik.
b. Direkomendasikan kristaloid sebagai cairan pilihan untuk resusitasi
awal dan penggantian volume intravaskular berikutnya pada pasien
dengan sepsis dan syok septik.

26
c. Tidak direkomendasikan untuk penggunaan Hydroxyethyl starches
(HES) untuk penggantian volume intravaskular pada pasien dengan
sepsis dan syok septik.
4. Vasopressor
a. Direkomendasikan norepinefrine sebagai pilihan pertama pada
vasopressor.
b. Direkomendasikan penambahan vasopressin (hingga 0.03 U/menit)
ke norepinefrine dengan tujuan meningkatkan tekanan rata-rata
arterial untuk mentargetkan atau menurukan dosis norepinefrine
5. Steroid
a. Direkomendasikan kortikosteroid tidak diberikan untuk
pengobatan sepsis tanpa adanya syok.
6. Pemberian Darah
a. Direkomendasikan agar transfusi sel darah merah dilakukan hanya
jika konsentrasi hemoglobin turun menjadi < 7,0-7,5 g/ dL pada
orang dewasa dengan kondisi pemberat, seperti iskemia miokard,
hipoksemia berat, atau perdarahan akut.
b. Direkomendasikan penggunaan eritropoietin untuk pengobatan
anemia yang terkait dengan sepsis
7. Terapi lain
a. Tidak direkomendasikan penggunaan antithrombin pada
tatalaksana sepsis dan syok sepsis.
8. Glukosa
a. Direkomendasikan pendekatan terapi manajemen glukosa darah
pada pasien ICU dengan sepsis, mulai dosis insulin ketika dua
pemeriksaan kadar glukosa darah berturut-turut > 180 mg / dL.
Pendekatan ini harus menargetkan kadar glukosa darah ≤180 mg /
dL daripada glukosa darah target ≤ 110 mg / dL.
b. Direkomendasikan agar nilai glukosa darah dipantau setiap 1
sampai 2 jam sampai nilai glukosa dan laju infus insulin stabil,
kemudian setiap 4 jam setelahnya.

27
c. Direkomendasikan bahwa kadar glukosa yang diperoleh dengan
pengujian perawatan darah kapiler diinterpretasikan dengan hati-
hati; karena pengukuran seperti itu dapat tidak secara akurat
memperkirakan nilai darah arteri atau glukosa plasma.
9. Profilaksis Stres Ulkus pada Lambung
a. Tidak direkomendasikan profilaksis stres ulkus lambung pada
pasien tanpa faktor risiko perdarahan pada saluran pencernaan.
b. Direkomendasikan bahwa profilaksis stres ulkus lambung pada
pasien dengan sepsis atau syok sepsis yang memiliki faktor risiko
perdarahan saluran pencernaan.
c. Dianjurkan penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPIs) atau
antagonis Histamine-2 reseptor (H2RAs) ketika profilaksis stres
ulkus lambung diperlukan.

28
BAB 3
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama :G
Umur : 59 tahun 11 bulan 12 hari
Suku : Jawa
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : JL. Bunga Kardiol no. 114
Tanggal Masuk : 12 Desember2017 (Pukul 00.15)
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 170 cm

3.2 Anamnesis
 KU : Nyeri seluruh lapangan perut
Telaah : Hal ini dialami sejak ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan
memberat dalam 2 hari ini. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati
kemudian berpindah ke perut kanan bawah, dan kemudian nyeri dirasakan
di seluruh lapangan perut. Nyeri dirasakan terus menerus dan memberat
dengan perubahan posisi. Nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk. Nyeri tekan
dijumpai. Demam dijumpai sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat mual dijumpai. Riwayat muntah dijumpai 1x, isi apa yang
dimakan. BAB tidak dijumpai sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
BAK (+) normal. Riwayat buang angin tidak dijumpai dalam 1 hari ini.
Riwayat trauma abdomen tidak dijumpai.
RPT : Tidak jelas
RPO : Tidak jelas

29
 Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)

Tgl 12 desember 2017


Tgl 12 desember 2017 Pukul 06.00 WIB Tgl 12 desember 2017
Pukul 03.15 WIB Konsul Anastesi untuk Pukul 07.30
eksplorasi laparatomy. Pasien disorong ke Kamar
Pasien masuk ke line merah Bedah Emergensi
IGD RSUP HAM dan
Pukul 06.30 WIB
merupakan pasien bedah
ACC tindakan anestesi

30
Pemeriksaan Fisik di IGD RSUP HAM (12 Desember 2017)
Primary Survey
A (Airway)
 Clear
 Snoring (-) / Gargling (-) / Crowing (-)
 C-Spine stabil
B (Breathing)
 Inspeksi
Nafas spontan, pergerakan thoraks kiri dan kanan simetris, tidak
terlihat ketinggalan bernafas, retraksi (-)
 Palpasi
Stem fremitus kanan = kiri
 Perkusi
Sonor pada lapangan paru
 Auskultasi
SP: vesikuler pada kedua lapangan paru; ST: -
RR: 24 x/menit
SaO2: 99%
C (Circulation)
 TD: 100/60 mmHg
 HR: 82x/menit, reguler, t/v: lemah
 Akral Hangat/Merah/Kering, CRT < 2 detik
 Perdarahan: tidak ada
D (Disability)
 Kesadaran: CM
 AVPU: allert
 Pupil:isokor, Ø: 3 mm / 3 mm, RC (+/+)
E (Exposure)
 Temperatur: 36ºC
 Fraktur (-)

31
 Edema (-)
 Deformitas (-)

Secondary Survey
B1 : Airway clear, RR: 56x/i, SP: vesikuler/vesikuler, ST: -/- , S/G/C :
-/-/-, Riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-, SpO2 : 99%
B2 : Akral: Hangat/Merah/Kering, TD: 100/60 mmHg, HR: 88
x/menit, reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, temp: 36°C
B3 : Sens: Compos Mentis, GCS: E4V5M6, pupil isokor, ø
3mm/3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) vol: ± 60cc/jam , warna: kuning jernih, terpasang kateter
urine
B5 : Abdomen: distensi (+), peristaltik (+) lemah, defens muscular (+)
B6 : Edema (-), fraktur (-)

3.4 Riwayat
Allergies : Tidak ada
Medication : Tidak ada
Past Illness : Tidak ada
Last Meal : 19.00 WIB (11/12/2017)
Event : Pasien mengalami nyeri di seluruh lapangan perut

3.5 Penilaian Nyeri


P : perubahan posisi, tekanan
Q : seperti ditusuk-tusuk
R : seluruh lapangan perut
S : VAS: 5-6
T : sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit

32
3.6 Tata Laksana di IGD
 Bed rest
 Beri oksigen 2-4 L/i via nasal canul
 Memasang IV line ukuran 18 G dan threeway serta pastikan lancer
 IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i
 Pasang NGT
 Pasang kateter urine untuk memantau urine output
 Injeksi Ceftriaxonee 1 gr/12 jam/iv (skin test dahulu)
 Drip Metronidazole 500 mg/8 jam/iv
 Drip Paracetamol 1000 mg/8 jam/iv
 Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam/iv
 Pemeriksaan laboratorium (DL, GD ad random, RFT, Elektrolit), Foto
Thorax, Foto Abdomen
 Informed consent untuk operasi
 Pasien dipuasakan

3.7 Pemeriksaan Penunjang


3.7.1 Laboratorium (12/12/2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 16,0 g/dL 13 – 16 g/dL
Eritrosit 6,56 jt/ µL 4,10-5,10 jt/ µL
Leukosit (WBC) 18.580 /µL 4,0 – 11,0 x 103/µL
Hematokrit 51% 39 – 54 %
Trombosit (PLT) 269.000/µL 150 – 450 x 103/µL

HITUNG JENIS
Neutrofil 82,30% 50 – 70%
Limfosit 8,80% 20 – 40%
Monosit 8,50% 2 – 8%

33
Eosinofil 0,10% 1 – 3%
Basofil 0,30% 0 – 1%

ELEKTROLIT
Natrium (Na) 132 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4,5 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 100 mEq/L 96 – 106 mEq/L

METABOLISME KARBOHIDRAT

Gula Darah (Sewaktu) 149 mg/dl <200mg/dl

GINJAL
 BUN 12 mg/dL 8 – 26mg/dL
 Ureum 26 mg/ dL 18 – 56mg/dL
 Kreatinin 0,74 mg/dL 0,7 – 1,3mg/Dl

34
3.7.2 Foto thorax (12/12/2017)

Uraian Foto Thorax:


Inspirasi minimal, kedua sudut costophrenicus lancip, kedua diafragma licin.
Tidak tampak infiltrat pada kedua lapangan paru, corakan bronkovaskular paru
normal.
Jantung kesan membesar, pinggang jantung dalam.
Trakea di tengah.
Tulang-tulang dan soft tissue baik.

Kesimpulan Radiologis:
Kardiomegali dengan pembesaran ventrikel kiri.

35
3.7.3 Foto Abdomen 2 Posisi

Uraian Foto Abdomen 2 Posisi:


Tampak dilatasi colon transversum fokal.
Tidak tampak air fluid level.
Tidak tampak udara bebas.

Kesimpulan Radiologis:
Dilatasi fokal colon transversum.
Tidak tampak gambaran ileus obstrukti

36
3.8 Diagnosis: Diffuse peritonitis d/t suspect apendicitis perforation
 Tindakan : Laparatomi explorasi
 PS-ASA : 2E
 Teknik anestesi : GA-ETT
 Posisi : Supine

3.9 Rencana
Laparatomi explorasi di Kamar Bedah Emergensi IGD

3.10. Pemeriksaan Fisik di KBE IGD pukul 07.30 WIB


B1 : Airway clear, RR: 56x/i, SP: vesikuler/vesikuler, ST: -/- , S/G/C :
-/-/-, Riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-, SpO2 : 99%
B2 : Akral: Hangat/Merah/Kering, TD: 100/60 mmHg, HR: 88
x/menit, reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, temp: 36°C
B3 : Sens: Compos Mentis, GCS: E4V5M6, pupil isokor, ø
3mm/3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) vol: ± 70cc/jam , warna: kuning jernih, terpasang kateter
urine
B5 : Abdomen: distensi (+), peristaltik (+) lemah, defens muscular (+)
B6 : Edema (-), fraktur (-)

3.11 Teknik Anestesi


 O2 8L/menit
 Premedikasi dengan midazolam 3 mg dan fentanyl 100 mcg
 Induksi dengan propofol 100 mg  eyelid reflex (-), sleep non apnea
 Inj. Rocuronium 50 mg sleep apnea
 Intubasi dgn ETT no 7,5  cuff (+)  SP kanan = kiri  fiksasi
Maintenance: O2: Air = 2 L/menit : 2 L/menit.
3.12 Durante Operasi
 Lama operasi: 2 jam (120 menit)

37
 TD: 90-100 / 40-60 mmHg
 HR: 65 – 70 x/menit
 SpO2: 90 – 95%
 Pendarahan dan stoll cell 2500 mL
 Penguapan + maintenance = (4 cc + 2 cc) x 70kg = 420 cc/jam
 UOP: 70 cc/jam, warna urin kuning jernih
 Cairan:
o Pre-op: RL 500 mL
o Durante op: RL2.500 mL

3.13 Pemeriksaan Fisik Post Operasi pukul 10.00 WIB


B1 : Airway clear, SP: vesikuler, ST -/-, SpO2 99%
B2 : Akral: Hangat/Merah/Kering,TD: 100/60 mmHg, HR: 68 x/menit,
T/V: kuat/cukup, reguler, suhu : 36,5°C
B3 : Sens : CM, pupil isokor, φ 3 mm/3 mm, RC +/+
B4 : UOP (+), vol. ± 70cc/jam,warna kuning jernih
B5 : Abdomen distensi (-),peristaltik (-), NGT (+),luka operasi tertutup
verband
B6 : Edema (-), fraktur (-)

3.1.4 Diagnosis Pasca Bedah


Post Laparotomy Eksplorasi + Tumor Hepar Suspek Malignan

3.14 Terapi Post Operasi


• Bed rest
• O2 2L/i via nasal canule
• IVFD Ringer Laktat 30 gtt/i
• Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
• Inj. Ceftriaxonee 1 gr/12 jam/iv (skin test dahulu)
• Drip Metronidazole 500 mg/8 jam/iv
• Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam/ IV

38
• Drip Paracetamol 1000 mg/ 8 jam
• Inj. Transamin 500mg/8jam
• Inj. Vitamin K 1amp/hari IM
• Rencana pemeriksaan Darah Rutin, KGD ad random, Elektrolit, RFT post
operasi
• Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, SpO2, UOP post operasi

39
3.2 Follow up pasien

No 13 Desember 2017 14 Desember 2017


S - -
O  Airway clear , ETT terpasang,  Airway clear , ETT
ventilator terpasang, S/G/C: -/- terpasang, ventilator
/-, SP: vesikuler ST: (-/-), SaO2 : terpasang, S/G/C: -/-/-, SP:
99%, RR : 36x/i vesikuler ST: (-/-), SaO2 :
 TD: 130/70 mmHg, HR: 88x/i 99%, RR : 21x/i
reguler t/v: cukup, akral H/M/K,  TD: 120/70 mmHg, HR:
CRT < 2”, T : 36,7 oC 90x/i reguler t/v: cukup, akral
 Sensorium: somnolen E3,V1,M5 H/M/K, CRT < 2”, T : 37,2

o
UOP (+) 100 cc, warna kuning , C
kateter terpasang  Sensorium: somnolen
 Abdomen : distensi, peristaltik (- E3,V1,M5
), luka post operasi tertutup  UOP (+) 450 cc, warna
verband (+), terpasang drain (+), kuning , kateter terpasang
200 cc  Abdomen : distensi,
 Ekstremitas : oedem (-), fraktur peristaltik (+), lemah, luka
(-) post operasi tertutup verband
(+), terpasang drain (+) 300
Lab post operasi (13/12/2017) cc
 Hb/ Ht/ Leu/ Plt : 12,0/ 37/ 17.300/  Ekstremitas : oedem (-),
487.000 fraktur (-)
 Bilirubin total/ bilirubin direk : 1,90/
1,10
 ALP/ AST/ ALT : 139/ 1.302/ 396
 Albumin : 2,0
 Kadar gula darah sewaktu : 89
 Ureum/ kreatinin : 75/ 2,02

40
 Na/ K/ Cl : 138/ 5,4/ 106
A Post Laparotomy Eksplorasi + Tumor Post Laparotomy Eksplorasi +
Hepar Suspek Malignan (H1) Tumor Hepar Suspek Malignan (H2)
P Head up 300 + bedrest Head up 300 + bedrest
IVFD RL 30gtt/i IVFD RL 30gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam
Inj. Ketorolac 30mg/8jam Inj. Ketorolac 30mg/8jam
Inj. Ranitidine 50mg/12jam Inj. Ranitidine 50mg/12jam
R/ Kultur darah

41
No 15 Desember 2017 16 Desember 2017
S - -
O  Airway clear , S/G/C: -/-/-, SP:  Airway clear , ETT terpasang,
vesikuler ST: (-/-), SaO2 : 99%, ventilator terpasang, S/G/C: -/-
RR : 18x/i, pemberian O2 (+), 2 /-, SP: vesikuler ST: (-/-), SaO2
liter per menit via nasal : 99%, RR : 18x/i
canule.  TD: 140/70 mmHg, HR: 90x/i
 TD: 160/90 mmHg, HR: 88x/i reguler t/v: cukup, akral
reguler t/v: cukup, akral H/M/K, CRT < 2”, T : 37,2 oC
H/M/K, CRT < 2”, T : 36,7 oC  Sensorium: compos mentis
 Sensorium: compos mentis E4,V5,M6
E4,V5,M6  UOP (+) 550 cc, warna kuning
 UOP (+) 400 cc, warna kuning , kateter terpasang
, kateter terpasang  Abdomen : distensi, peristaltik
 Abdomen : distensi, peristaltik (+), lemah, luka post operasi
(+), lemah, luka post operasi tertutup verband (+),terpasang
tertutup verband (+), drain (+), 100 cc
terpasang drain (+) 150 cc  Ekstremitas : oedem (-), fraktur
 Ekstremitas : oedem (-), fraktur (-)
(-)

A Post Laparotomy Eksplorasi + Tumor Post Laparotomy Eksplorasi + Tumor


Hepar Suspek Malignan (H3) Hepar Suspek Malignan (H4)
P Head up 300 + bedrest Head up 300 + bedrest
IVFD RL 30gtt/i IVFD RL 30gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam
Inj. Ketorolac 30mg/8jam Inj. Ketorolac 30mg/8jam
Inj. Ranitidine 50mg/12jam Inj. Ranitidine 50mg/12jam
Acc pindah ruangan

42
BAB 4

DISKUSI KASUS

No Teori Kasus

1. Peritonitis adalah radang KU: nyeri pada seluruh


peritoneum dengan eksudasi serum, lapangan perut sejak ± 2
fibrin, sel-sel, dan pus; biasanya minggu sebelum masuk
disertai dengan gejala nyeri rumah sakit. Nyeri
abdomen dan nyeri tekan pada dirasakan di daerah ulu hati
abdomen, konstipasi, muntah, dan kemudian berpindah ke
demam. perut kanan bawah, dan
kemudian nyeri dirasakan di
seluruh lapangan perut.
Riwayat mual dijumpai.
Riwayat muntah dijumpai
1x, isi apa yang dimakan.

2. Kasus peritonitis merupakan salah Penilaian primary survey pada


satu gawat abdomen, maka perlu pasien ini, yaitu :
dilakukan primary survey. Airway : Jalan nafas bebas dan
Airway tidak dijumpai tanda-tanda
Menilai jalan nafas bebas. adanya obstruksi, seperti
Jika ada obstruksi maka snoring, crowing, dan
lakukan : gargling.
• Chin lift / jaw thrust (lidah Breathing : pasien dapat
itu bertaut pada rahang bernafas spontan dengan RR
bawah) : 24x per menit, maka
• Suction / hisap (jika alat pasien diberikan oksigen
tersedia) sebanyak 2 liter per menit
• Guedel airway /

43
nasopharyngeal airway via nasal canule.
• Intubasi trakhea dengan
Circulation : hemodinamik
leher di tahan (imobilisasi)
stabil ditandai dengan akral
pada posisi netral
hangat, merah,d dan kering
Breathing
disertai TD: 100/60 mmHg,
menilai pernafasan cukup.
serta HR: 82x/menit, regular.
Sementara itu nilai ulang
Selanjutnya, pasien segera
apakah jalan nafas bebas.
dipasangkan IV line dan diberi
Berikan oksigen jika ada.
IVFD NaCl 0,9%.
Sirkulasi
Disability : penilaian AVPU
Menilai sirkulasi /
pada pasien ini yaitu alert, yang
peredaran darah. Sementara
mana pasien dalam kondisi
itu nilai ulang apakah jalan
sadar penuh.
nafas bebas
Exposure : tidak dijumpai ada
dan pernafasan cukup. Jika
jejas pada seluruh tubuh pasien.
sirkulasi tidak memadai
maka lakukan :
Selanjutnya, pemeriksaan fisik
• Hentikan perdarahan
lengkap atau secondary survey
eksternal
dilakukan :
• Segera pasang dua jalur
B1 : Airway clear, RR : 56x/i,
infus dengan jarum besar
SP: vesikuler/vesikuler,
(14 - 16 G)
ST: -/- , S/G/C : -/-/-,
• Berikan infus cairan
Riwayat
Disability
asma/sesak/batuk/alergi : -
Menilai kesadaran dengan
/-/-/-, SpO2 : 99%
cepat, apakah pasien sadar,
B2 : Akral :
hanya respons terhadap
Hangat/Merah/Kering, TD:
nyeri atau
100/60 mmHg, HR: 88
sama sekali tidak sadar.
x/menit, reg, T/V: cukup,
Tidak dianjurkan mengukur
CRT: < 2 detik, temp:
Glasgow Coma Scale

44
Alert = A 36°C
Respon bicara (Verbal) = V B3 : Sens: Compos Mentis,
Respon nyeri (Pain) = P GCS: E4V5M6, pupil
Taka da respon isokor, ø 3mm/3mm, RC
(Unresponssive) = U +/+
B4 : UOP (+) vol: ± 70cc/jam ,
Eksposure warna: kuning jernih,
Lepaskan baju dan penutup terpasang kateter urine
tubuh pasien agar dapat B5 :Abdomen:
dicari semua cedera yang distensi,peristaltik (-)
mungkin ada. Jika ada lemah, defens muscular (+)
kecurigaan cedera leher B6 : Edema (-), fraktur (-)
atau tulang belakang, maka
imobilisasi in-line harus Oleh karena dijumpai keluhan-
dikerjakan. keluhan sesuai dengan teori,
maka pasien didiagnosis dengan
Pada pemeriksaan fisik, untuk peritonitis. Pasien ini juga dapat
menegakkan diagnosis peritonitis, dicurigai menderita sepsis
dapat dijumpai: berdasarkan kriteria qSOFA,
1. Suhu tubuh lebih dari 38oC yang mana pada secondary
2. Takikardia survey, dijumpai RR : 56x per
3. Takipnea menit dan TDS 100 mmHg.
4. Pada pemeriksaan abdomen,
hampir semua pasien Pada pasien ini, masih ada
menunjukkan tenderness pemeriksaan laboratorium yang
(nyeri tekan) pada palpasi belum dilakukan untuk
5. Kekakuan dinding abdomen menegakkan sepsis berdasarkan
(defans muscular) kriteria SOFA, seperti
6. Distensi abdomen pemeriksaan fungsi hepar dan
7. Bising usus hipoaktif atau analisis gas darah.
tidak ada.

45
8. Oliguria atau anuria

Kriteria qSOFA (quick Sequential


[Sepsis-Related] Organ Failure
Assessment) berdasarkan dua atau
lebih yang terdiri dari:

 Laju pernafasan 22
kali/menit atau lebih
 Gangguan kesadaran (GCS
<15)
 Tekanan darah sistolik 100
mmHg atau kurang

3. Pemeriksaan penunjang: Laboratorium:


1. Laboratorium Leukositosis yang mana kadar
-Leukositosis leukosit pasien ini sebesar 18.580
-Peningkatan hematokrit /µL. Pada pasien ini, kultur darah
-Kultur darah pada pasien sayangnya dilakukan pada hari
dengan kecurigaan sepsis maupun rawatan pertama setelah menjalani
syok sepsis sebaiknya dilakukan laparotomy. Kultur tersebut
sebelum pemeberian antibiotik dilakukan setelah pasien
mendapatkan antibiotik. Maka, hal
ini tidak sesuai dengan teori yang
2. Radiologi (Abdomen 3 posisi) telah disebutkan.
Pada dugaan perforasitanda utama
radiologi yaitu: Pasien ini hanya menjalani foto
1. posisi supinasi, didapatkan Abdomen 2 Posisi. Pada
preperitonial fat pemeriksaan radiologis tersebut,
menghilang, psoas line dijumpai bayangan udara bebas

46
menghilang, dan kekaburan (free air) di bawah diafragma dan
pada kavum abdomen tampak pelebaran usus, serta tidak
2. posisi duduk atau berdiri, tampak air fluid level. Hal tersebut
didapatkan free air sesuai dengan teori dan
subdiafragma berbentuk disimpulkan sebagai peritonitis.
bulan sabit (semilunar
shadow)
3. Posisi Left Lateral
Decubitus (LLD),
didapatkan free air intra
peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi.
Penatalaksanaan 1. Pasien dipasangkan IV line
Prinsip umum penatalaksanaan ukuran 18 G dan threeway,
sepsis menurut Surviving Sepsis kemudian segera diberikan
Campaign (SSC), yaitu: IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i.
1. Resusitasi awal dengan Sementara, menurut SSC,
30cc/kgBB cairan kristaloid volume pemberian cairan di
secara IV pada 3 jam pertama. awal seharusya sebesar
Kemudian cairan selanjutnya 2100 cc yang dihabiskan
diberi sesuai status dalam 3 jam. Maka,
hemodinamik dengan target pemberian cairan
MAP sebesar 65 mmHg. seharusnya diguyur agar
2. Antibiotik empiris spektrum resusitasi awal tercapai
luas secara IV secepat mungkin sesuai guideline.
disertai kultur dan dilanjutkan 2. Pasien ini mendapat injeksi
pemberian antibiotik sesuai Ceftriaxonee 1 gr/12 jam/IV
kultur. (skin test dahulu) dan drip
3. Pemberian kortikosteroid tidak Metronidazole 500 mg/8
direkomendasikan pada pasien jam/IV. Hal ini telah sesuai
sepsis tanpa syok. dengan SSC yang mana

47
4. Transfusi sel darah merah merekomendasikan
dilakukan hanya jika pemberikan antibiotic
konsentrasi hemoglobin turun spektrum luas.
menjadi < 7,0-7,5 g/ dL pada 3. Pasien ini mendapat injeksi
orang dewasa dengan kondisi Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
pemberat, seperti iskemia karena obat tersebut
miokard, hipoksemia berat, atau direkomendasikan pada
perdarahan akut. pasien dengan risiko
5. Profilaksis stress ulkus pada perdarahan saluran cerna.
lambung dengan Proton Pump
Inhibitor (PPIs) atau antagonis Pasien ini mengalami sepsis yang
reseptor Histamine-2 didahului dengan peritonitis atau
direkomendasikan pada pasien gawat abdomen, maka setelah
dengan risiko perdarahan pada penanganan awal di IGD pasien
saluran cerna. segera menjalani laparotomi
eksploratif. Durante operasi, jumlah
perdarahan sebanyak ± 2500 cc,
maka pasien mendapat resusitasi
cairan kristaloid adekuat disertai
transfusi PRC sebanyak 2 bag.
Meskipun, kadar hemoglobin
pasien selama operasi tidak
diketahui, tetapi terjadi perdarahan
akut yang lebih dari 40% total
cairan tubuh sehingga pasien
mendapat transfusi tersebut. Post
operasi, penatalaksanaan sepsis
sesuai teori tetap dilanjutkan
dengan pemberian cairan kristaloid
sesuai kebutuhan disertai antibiotik,
yaitu dengan pemberian IVFD

48
NaCl 0,9% dan injeksi Ceftriaxonee
1 gr/12 jam/IV. Antibiotik
spektrum luas masih digunakan
karena hasil kultur pasien ini belum
didapatkan.

49
BAB 5

KESIMPULAN

G, laki-laki, 59 tahun, datang ke IGD RSUP HAM dengan keluhan utama


nyeri seluruh lapangan perut. Hal ini dialami sejak ± 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit dan memberat dalam 2 hari ini. Awalnya nyeri dirasakan di daerah
ulu hati kemudian berpindah ke perut kanan bawah, dan kemudian nyeri dirasakan
di seluruh lapangan perut. Nyeri dirasakan terus menerus dan memberat dengan
perubahan posisi. Nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk. Nyeri tekan dijumpai.
Demam dijumpai sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat mual
dijumpai. Riwayat muntah dijumpai 1x, isi apa yang dimakan. BAB tidak
dijumpai sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. BAK (+) normal. Riwayat
buang angin tidak dijumpai dalam 1 hari ini. Riwayat trauma abdomen tidak
dijumpai.
Setelah dilakukan primary survey dan secondary survey, pasien didiagnosa
dengan Diffuse peritonitis d/t appendicitis perforation. Setelah dilakukan
pembedahan pasien didiagnosa dengan Post Laparotomy Eksplorasi + Tumor
Hepar Suspek Malignan.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.

2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal


Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.

3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.

4. William S Norman, et al. Bailey and Love’s Short Practice of Surgery. 26 th


Edition. 2013. UK: CRC Press.

5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and


Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System.

6. Ramli, Rosdiana. 2011. Peradangan Peritoneum. Available from:


http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaksanaan-
pada-penyakit-peritonitis.html/feed. [Accessed May 28, 2017].

7. James, Brian Daley. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview. [Accessed May 28,
2017].

8. Rasad, S., Kartoleksono, S., dan Ekayuda, I. Radiologi Diagnostik. Jakarta:


Gaya Baru, 1999; Abdomen Akut.

9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk
Dokter.

10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.
Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J
Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.

51
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.
Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah.

12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Terapi Cairan pada Pembedahan.

13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:
282-320.

14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Transfusi Darah pada Pembedahan.

15. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and


Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System

16. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery
2007; 26 (3): 98-101.

17. Schrock. TR. 2000. Peritonitis dan Massa Abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7. alih bahasa dr. Petrus Lukmato, Jakarta: EGC.

18. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, et al: Surviving Sepsis Campaign:


International Guidelines for the Management of Sepsis and Septic Shock:
2016. Crit Care Med 2017

19. Shankar-Hari M, Phillips G, Levy ML, et al. Assessment of definition and


clinical criteria for septic shock: For the Third International Consensus
Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3).

20. Tambajong R, Lalenoh C D, Kumaat L. Profil Penderita Sepsis di ICU RSUP


Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Desember 2014 - November 2015;
Vol 4, No 1; Universitas Sam Ratulangi Manado. 2016. pg 456

52

You might also like