Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Wulan Fadinie,M,ked (An) Sp.An
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Sepsis e.c. Peritonitis”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, dr. Wulan Fadinie, M,ked (An) Sp.An yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 3 STATUS PASIEN .......................................................................... 26
BAB 4 DISKUSI KASUS ........................................................................... 40
BAB 5 KESIMPULAN .............................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2. Tujuan
1. Memahami alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada kasus peritonitis
2. Memahami peran anestesi pada operasi emergensi khususnya pada kasus
peritonitis
3. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
4. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek anestesi pada peritonitis yang berlandaskan teori sehingga
peritonitis dapat dikenali dan ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya
pada tingkat pelayanan primer.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek
mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam
waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan
peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul
adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6
2.2. Peritonitis
2.2.1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-
sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam karena peradangan yang biasanya
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.7
2.2.2. Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga
disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi
obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat
diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)
merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas
saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia
remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan
4
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang
terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan
anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1)
invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen,
infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang
rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada
apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran
darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi
tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-
hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal
hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran
langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.
Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa
jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan
dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat
penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan
idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4
5
2.2.3. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:17
6
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal,
misalnya appendicitis.
3. Peritonitis tersier
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
4. Peritonitis bentuk lain dari peritonitis, yaitu :
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis
2.2.4. Patofisiologi
Rongga peritoneum merupakan rongga yang paling luas di tubuh, dengan
luas hampir sama dengan luas seluruh kulit (2m2). Dinding peritoneum
merupakan lapisan jaringan fibroelastik yang dilapisi oleh sel-sel mesotel.
Dinding ini membentuk sebuah ruang kecil yang memisahkan lapisan peritoneum
superficial (peritoneum parietal) dengan peritoneum visera. Peritonium juga
dilengkapi dengan susunan pembuluh limfatik dan pembuluh darah yang berperan
dalam absorbsi cairan peritoneum. Pada individu yang sehat hanya beberapa
mililiter cairan peritoneum yang dapat ditemukan pada rongga peritoneum. Cairan
peritoneum tersebut berfungsi sebagai lubrikan untuk memfasilitasi pergerakan
kedua lapisan peritoneum. Peritoneum parietal didukung oleh jaringan pembuluh
darah dan persarafan yang lebih banyak dibandingkan peritoneum visera.
Peritonium memiliki kemampuan untuk mennyerap cairan dalam jumlah besar,
meskipun begitu peritoneum berperan dalam terjadinya akumulasi cairan (asites)
mauun akumulasi eksudat ketika terjadi peritonitis. Peritonitis didefinisikan
sebagai inflamasi peritoneum yang dapat bersifat lokal maupun difus. Sebagian
besar kasus peritonisis utamanya disebabkan oleh invasi bakteri patogen.4
7
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-
lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.15
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi
langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi
saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak
(misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis,
trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran darah
dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi tanpa
sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-hemolyticus
primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan
asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung
dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut,
perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
8
anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.
Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan
imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur
klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid
yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan
komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel
peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk
interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
inflammatory protein-1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk
memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan
fibroblas pada submesotelium. Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang
mengurung mikroba di dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme
efektor fagositik lokal. Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan
perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin merupakan
hal vital pada proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel
mesotel peritoneum menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera
peritoneum dilisiskan atau dibentuk menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor
necrosis factor-α menstimulasi produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh
sel mesotel peritoneum, yang menghambat degradasi fibrin.16
Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan inflamasi peritoneum
yang awalnya bersifat local kemudian menjadi difus. Cepat atau lambatnya
kontaminasi peritoneum merupakan faktor utama. Jika suatu inflamasi apendiks
atau bagian usu lainnya terjadi sebelum lokalisasi muncul, maka akan terjadi
pengeluaran (efluks) isi usus ke rongga peritoneum yang pada akhirnya akan
menyebabkan penyebaran radang ke lokasi yang lebih luas. Begitu juga halnya
dengan perforasi, terputusnya anastomose antar bagian usus menyebabkan
kontaminasi rongga peritoneum yang lebih luas. Stimulasi peristaltik, misalnya
oleh karena penggunaan enema, justru akan memfasilitasi penyebaran radang.
Faktor dari individu juga terlibat, anak anak memiliki omentum yang lebih kecil,
9
memudahkan penyebaran radang, sedangkan orang tua dan pasien dengan supresi
sistem imun, justru tidak mampu menghambat penyebaran infeksi.4
10
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya
termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis,
perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit
(contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang
mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh
lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi.
Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan
hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif,
pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan
peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal
organ multipel pun dapat terjadi.3,4
Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis,
posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding
abdominal relaksasi.3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan
tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.
Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons
involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara
usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata)
bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama
dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik.
Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan
fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7
Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa
dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses
tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis
berat.3
Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang
mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh:
11
empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding
abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti
dari peritonitis.3
Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah.
Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain
pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri
tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan
pekak hati menghilang.3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien
peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis
metabolik.6
Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan
asites ≥ 500 sel/µL, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan
peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase
(LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan
peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level
glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan
asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN ≥ 250
sel/µL dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil
kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN ≥ 250 sel/µL.3
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus
buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi
supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free
air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow); dan (3) posisi Left
Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu
adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,8
12
2.2.7. Diagnosis Banding
Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi
saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain
nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik
bilier.4
2.2.8. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
13
Dalam hal airway, kelancaran jalan nafas harus dijaga. Penilaian adanya
obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan
napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.9,10,11
Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada
sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya
pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan
adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera
lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua
pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan
Analisis Gas Darah (AGDA).4,9,10,11
Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian
kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan
tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,
terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang
dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting
dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian
kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat
dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.
Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel
darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan,
golongan darah dan cross match, dan AGDA.4,9,10,11
Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat
kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS).
Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya.4,9,10,11
Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan
pencegahan hipotermia.9
Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah
dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada
secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara
lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem
peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih
14
(bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal
(bone/B6).9
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan
mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan
cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis
penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.12
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun,
kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus
berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul
gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan
lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan
Kussmaul.12,13
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi
menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14
Tabel 2.2. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Ringan Sedang Berat
Klinis
Hemodinamik Takikardi Takikardi, hipotensi Takikardi, sianosis,
ortostatik, nadi lemah, nadi sulit diraba, akral
vena kolaps dingin
Jaringan Mukosa lidah Lidah lunak, keriput Atonia, mata cekung /
kering corong
Turgor Kulit < << <<<
Urin Pekat Pekat, jumlah menurun Oliguria
Kesadaran Normal Apatis, gelisah Koma
Defisit 3-5% BB 6-8% BB 10% BB
15
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih
besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat
kadar natrium serum 120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual,
muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di bawah 115 mEq/L,
akan terjadi kejang, koma, bahkan kerusakan neurologis permanen. Kehilangan
natrium dapat dihitung dengan rumus :
Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan
dalam kg).12,13,14,15
16
umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran,
untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3)
Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat
badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya
dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi
tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit.
Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan
setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan
yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam.
Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah
dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah
dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan
atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan
dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.
Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan
penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien
berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat
pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan
penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14
Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:
17
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob
dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Sefalosporin generasi ketiga dan
metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang sering diberikan. Untuk
pasien yang menderita peritonitis yang didapat di rumah sakit (misalnya
kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis
kedua dengan meropenem atau kombinasi piperacilin dan tazobactam
direkomendasikan. Terapi antijamur juga sebaiknya dipertimbangkan untuk
menjangkau spesies Candida yang mungkin menginfeksi. Penggunaan antibiotik
lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien
dengan syok septik yang berhubungan dengan peritonitis. Selain untuk
dekompresi saluran cerna, penggunaan pipa nasogastrik juga berfungsi untuk
mengurangi risiko pneumonia aspirasi.1,
Rata-rata volume darah orang dewasa adalah 7% dari berat badannya
(atau 70 ml/kgBB). Perkiraan volume darah (Estimated blood Volume = EBV)
pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg kurang lebih 5 liter. Volume darah
bervariasi tergantung usia dan status fisiologis. Berdasarkan berat badannya,
semakin tua usia seseorang maka semakin sedikit volume darahnya. EBV anak-
anak sekitar 8-9% berat badan, dan bayi meiliki EBV 9-10% berat badan.
Perkiraan kehilangan cairan ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk kehilangan
melalui urin, dan pembentukan udem jaringan. Untuk membantu menentukan
penggantian cairan, perdarahan dibagi menjadi empat kelas. Kelas I adalah stase
non syok. Sedangkan kelas IV adalah stase preterminal yang memerlukan
penanganan segera.
18
Tabel 2.4. Klasifikasi Perdarahan
19
Infus cairan intravena jika tidak terdapat perdarahan juga menurunkan
kadar hemoglobin. Perkiraan hemodilusi akibat pemberian cairan intravena
mengikuti kaidah berikut:
Ini adalah nilai terendah yang mungkin dari Hf karena pemberian cairan dan
ekspansi volume cairan intravaskuler akan memicu mekanisme kompensasi
melalui peningkatan laju filtrasi glomerulus dan penurunan volume plasma.
Pemberian tranfusi packed red cells (PRC) pada seseorang tanpa
perdarahan aktif dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin 1 g/dl (3%
hematokrit) per unit PRC yang ditransfusikan. Perkiraan pengaruh tranfusi pada
volume maupun konsentrasi hemoglobin pada individu dengan perdarahan aktif
tidak mungkin dilakukan. Pengukuran vena sentral, atau lebih baik lagi, tekanan
arteri pulmoner dibutuhkan untuk memperkirakan derajat penggantian cairan yang
dibutuhkan.
20
Laparoskopi juga merupakan modalitas terapi alternatif yang dapat
dilakukan. Laparoskopi juga terbukti efektif untuk penanganan apendisitis akut
dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi juga bisa digunakan untuk perforasi
kolon, namun angka konversi ke laparotomi tinggi Syok atau ileus merupakan
kontraindikasi laparoskopi.4
Penggunaan drain cenderung efektif untuk mendrainase ruang yang
terlokalisasi, namun kurang efektif bila digunakan untuk mendrainase seluruh
kavum peritoneum. Hanya sedikit bukti yang mendukung penggunaan drain
profilaksis setelah laparotomi.4
2.2.9. Prognosis
Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis
sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai
prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga,
tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2)
24 – 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya 20 %.1
Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk
memprediksi keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin-
18 intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,
namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.4
2.2.10. Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan
di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis
abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor
prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang
berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi
dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.4
21
2.3. Sepsis
2.3.1. Definisi
Sepsis adalah gangguan fungsi organ yang mengancam jiwa akibat respon
imun terhadap infeksi. Syok sepsis adalah gejala sepsis dengan gangguan fungsi
sirkulasi dan selular/metabolik yang berhubungan dengan risiko tinggi
mortalitas.18
2.3.2. Epidemiologi
Sepsis dan syok sepsis adalah masalah utama pada tenaga medis,
mempengaruhi jutaan orang di dunia setiap tahun, dan membunuh 1 dari 4 orang
(dan sering lebih), tercatat lebih dari 20 miliar dolar (5,2%) dari total pengeluaran
rumah sakit di Amerika Serikat pada tahun 2011.19
2.3.3.Kriteria Klinis
Pada satu penelitian, dilakukan evaluasi tentang kriteria klinis yang terbaik
untuk mengidentifikasi pasien-pasien infeksi yang mengarah ke sepsis. Tujuan ini
22
didapatkan dengan memeriksa banyak data dari pasien rawat inap yang diduga
mengalami infeksi, dengan memakai penilaian skor inflamasi (SIRS), atau
penilaian disfungsi organ (cth. SOFA).19
23
Pengukuran terbaru, dinamakan qSOFA (quick SOFA) menyediakan
kriteria simpel untuk identifikasi pasien dewasa dengan kecurigaan infeksi pada
pasien yang kemungkinan akan memiliki prognosis yang buruk. Kriteria qSOFA
(quick Sequential Organ Failure Assessment) berdasarkan dua atau lebih yang
terdiri dari: 19
2.3.4. Tatalaksana
1. Resusitasi awal
a. Untuk resusitasi sepsis yang menyebabkan hipoperfusi,
direkomendasikan setidaknya 30 mL/kg cairan kristaloid secara IV
dapat diberikan pada 3 jam pertama.
b. Pemberian cairan tambahan setelah cairan awal resusitasi
direkomendasikan dengan panduan dari penilaian status
hemodinamik.
c. Pemeriksaan lanjut hemodinamik untuk menentukan tipe syok jika
pemeriksaan klinis tidak dapat mengarahkan ke diagnosis yang
jelas.
d. Direkomendasikan target tekanan rata-rata arteri sebesar 65 mmHg
pada pasien dengan syok sepsis diberikan vasopressor
e. Direkomendasikan target resusitasi untuk menurunkan tingkat
asam laktat pada pasien yang dimana berguna sebagai tanda dari
hipoperfusi jaringan.
24
f. Direkomendasikan agar rumah sakit dan sistem didalamnya
memiliki program untuk kemajuan kinerja pada pasien sepsis
termasuk pemeriksaan sepsis pada pasien dengan risiko tinggi.
25
i. Jika terapi kombinasi digunakan ketika syok sepsis,
direkomendasikan penurunan konsentrasi, dengan penghentian
kombinasi terapi dalam beberapa hari pertama sebagai respon dari
kemajuan klinis dan/atau bukti dari resolusi dari infeksi.
j. Disarankan agar durasi pengobatan antimikroba 7-10 hari cukup
untuk infeksi yang paling serius. Disarankan agar program yang
lebih lama mungkin sesuai pada pasien yang memiliki respons
klinis lambat, sumber infeksi yang tidak dapat didrainase,
bakteremia dengan S. aureus, atau beberapa infeksi jamur dan
virus atau defisiensi imunologis, termasuk neutropenia. Kami
menyarankan pengobatan yang lebih pendek mungkin sesuai untuk
beberapa pasien, terutama dengan resolusi klinis yang cepat setelah
kontrol sumber efektif sepsis intra-abdomen atau urin dan yang
mengandung pielonefritis anatomis tanpa komplikasi.
k. Direkomendasikan penilaian harian untuk de-eskalasi terapi
antimikroba pada pasien dengan sepsis.
l. Direkomendasikan bahwa tempat spesifik yang didiagnosis dari
infeksi yang memerlukan kontrol dari sumber infeksi secepatnya,
diidentifikasi atau dikeluarkan secepat mungkin pada pasien
dengan sepsis dan syok septik, dan bahwa setiap intervensi
pengendalian sumber yang diperlukan harus dilaksanakan segera
setelah dilakukan secara medis dan logistik setelah diagnosis
dilakukan.
3. Cairan
a. Direkomendasikan teknik fluid challenge diterapkan saat
pemberian cairan berlanjut selama faktor hemodinamik terus
membaik.
b. Direkomendasikan kristaloid sebagai cairan pilihan untuk resusitasi
awal dan penggantian volume intravaskular berikutnya pada pasien
dengan sepsis dan syok septik.
26
c. Tidak direkomendasikan untuk penggunaan Hydroxyethyl starches
(HES) untuk penggantian volume intravaskular pada pasien dengan
sepsis dan syok septik.
4. Vasopressor
a. Direkomendasikan norepinefrine sebagai pilihan pertama pada
vasopressor.
b. Direkomendasikan penambahan vasopressin (hingga 0.03 U/menit)
ke norepinefrine dengan tujuan meningkatkan tekanan rata-rata
arterial untuk mentargetkan atau menurukan dosis norepinefrine
5. Steroid
a. Direkomendasikan kortikosteroid tidak diberikan untuk
pengobatan sepsis tanpa adanya syok.
6. Pemberian Darah
a. Direkomendasikan agar transfusi sel darah merah dilakukan hanya
jika konsentrasi hemoglobin turun menjadi < 7,0-7,5 g/ dL pada
orang dewasa dengan kondisi pemberat, seperti iskemia miokard,
hipoksemia berat, atau perdarahan akut.
b. Direkomendasikan penggunaan eritropoietin untuk pengobatan
anemia yang terkait dengan sepsis
7. Terapi lain
a. Tidak direkomendasikan penggunaan antithrombin pada
tatalaksana sepsis dan syok sepsis.
8. Glukosa
a. Direkomendasikan pendekatan terapi manajemen glukosa darah
pada pasien ICU dengan sepsis, mulai dosis insulin ketika dua
pemeriksaan kadar glukosa darah berturut-turut > 180 mg / dL.
Pendekatan ini harus menargetkan kadar glukosa darah ≤180 mg /
dL daripada glukosa darah target ≤ 110 mg / dL.
b. Direkomendasikan agar nilai glukosa darah dipantau setiap 1
sampai 2 jam sampai nilai glukosa dan laju infus insulin stabil,
kemudian setiap 4 jam setelahnya.
27
c. Direkomendasikan bahwa kadar glukosa yang diperoleh dengan
pengujian perawatan darah kapiler diinterpretasikan dengan hati-
hati; karena pengukuran seperti itu dapat tidak secara akurat
memperkirakan nilai darah arteri atau glukosa plasma.
9. Profilaksis Stres Ulkus pada Lambung
a. Tidak direkomendasikan profilaksis stres ulkus lambung pada
pasien tanpa faktor risiko perdarahan pada saluran pencernaan.
b. Direkomendasikan bahwa profilaksis stres ulkus lambung pada
pasien dengan sepsis atau syok sepsis yang memiliki faktor risiko
perdarahan saluran pencernaan.
c. Dianjurkan penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPIs) atau
antagonis Histamine-2 reseptor (H2RAs) ketika profilaksis stres
ulkus lambung diperlukan.
28
BAB 3
STATUS PASIEN
3.2 Anamnesis
KU : Nyeri seluruh lapangan perut
Telaah : Hal ini dialami sejak ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan
memberat dalam 2 hari ini. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati
kemudian berpindah ke perut kanan bawah, dan kemudian nyeri dirasakan
di seluruh lapangan perut. Nyeri dirasakan terus menerus dan memberat
dengan perubahan posisi. Nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk. Nyeri tekan
dijumpai. Demam dijumpai sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat mual dijumpai. Riwayat muntah dijumpai 1x, isi apa yang
dimakan. BAB tidak dijumpai sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
BAK (+) normal. Riwayat buang angin tidak dijumpai dalam 1 hari ini.
Riwayat trauma abdomen tidak dijumpai.
RPT : Tidak jelas
RPO : Tidak jelas
29
Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)
30
Pemeriksaan Fisik di IGD RSUP HAM (12 Desember 2017)
Primary Survey
A (Airway)
Clear
Snoring (-) / Gargling (-) / Crowing (-)
C-Spine stabil
B (Breathing)
Inspeksi
Nafas spontan, pergerakan thoraks kiri dan kanan simetris, tidak
terlihat ketinggalan bernafas, retraksi (-)
Palpasi
Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
Sonor pada lapangan paru
Auskultasi
SP: vesikuler pada kedua lapangan paru; ST: -
RR: 24 x/menit
SaO2: 99%
C (Circulation)
TD: 100/60 mmHg
HR: 82x/menit, reguler, t/v: lemah
Akral Hangat/Merah/Kering, CRT < 2 detik
Perdarahan: tidak ada
D (Disability)
Kesadaran: CM
AVPU: allert
Pupil:isokor, Ø: 3 mm / 3 mm, RC (+/+)
E (Exposure)
Temperatur: 36ºC
Fraktur (-)
31
Edema (-)
Deformitas (-)
Secondary Survey
B1 : Airway clear, RR: 56x/i, SP: vesikuler/vesikuler, ST: -/- , S/G/C :
-/-/-, Riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-, SpO2 : 99%
B2 : Akral: Hangat/Merah/Kering, TD: 100/60 mmHg, HR: 88
x/menit, reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, temp: 36°C
B3 : Sens: Compos Mentis, GCS: E4V5M6, pupil isokor, ø
3mm/3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) vol: ± 60cc/jam , warna: kuning jernih, terpasang kateter
urine
B5 : Abdomen: distensi (+), peristaltik (+) lemah, defens muscular (+)
B6 : Edema (-), fraktur (-)
3.4 Riwayat
Allergies : Tidak ada
Medication : Tidak ada
Past Illness : Tidak ada
Last Meal : 19.00 WIB (11/12/2017)
Event : Pasien mengalami nyeri di seluruh lapangan perut
32
3.6 Tata Laksana di IGD
Bed rest
Beri oksigen 2-4 L/i via nasal canul
Memasang IV line ukuran 18 G dan threeway serta pastikan lancer
IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i
Pasang NGT
Pasang kateter urine untuk memantau urine output
Injeksi Ceftriaxonee 1 gr/12 jam/iv (skin test dahulu)
Drip Metronidazole 500 mg/8 jam/iv
Drip Paracetamol 1000 mg/8 jam/iv
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam/iv
Pemeriksaan laboratorium (DL, GD ad random, RFT, Elektrolit), Foto
Thorax, Foto Abdomen
Informed consent untuk operasi
Pasien dipuasakan
HITUNG JENIS
Neutrofil 82,30% 50 – 70%
Limfosit 8,80% 20 – 40%
Monosit 8,50% 2 – 8%
33
Eosinofil 0,10% 1 – 3%
Basofil 0,30% 0 – 1%
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 132 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4,5 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 100 mEq/L 96 – 106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GINJAL
BUN 12 mg/dL 8 – 26mg/dL
Ureum 26 mg/ dL 18 – 56mg/dL
Kreatinin 0,74 mg/dL 0,7 – 1,3mg/Dl
34
3.7.2 Foto thorax (12/12/2017)
Kesimpulan Radiologis:
Kardiomegali dengan pembesaran ventrikel kiri.
35
3.7.3 Foto Abdomen 2 Posisi
Kesimpulan Radiologis:
Dilatasi fokal colon transversum.
Tidak tampak gambaran ileus obstrukti
36
3.8 Diagnosis: Diffuse peritonitis d/t suspect apendicitis perforation
Tindakan : Laparatomi explorasi
PS-ASA : 2E
Teknik anestesi : GA-ETT
Posisi : Supine
3.9 Rencana
Laparatomi explorasi di Kamar Bedah Emergensi IGD
37
TD: 90-100 / 40-60 mmHg
HR: 65 – 70 x/menit
SpO2: 90 – 95%
Pendarahan dan stoll cell 2500 mL
Penguapan + maintenance = (4 cc + 2 cc) x 70kg = 420 cc/jam
UOP: 70 cc/jam, warna urin kuning jernih
Cairan:
o Pre-op: RL 500 mL
o Durante op: RL2.500 mL
38
• Drip Paracetamol 1000 mg/ 8 jam
• Inj. Transamin 500mg/8jam
• Inj. Vitamin K 1amp/hari IM
• Rencana pemeriksaan Darah Rutin, KGD ad random, Elektrolit, RFT post
operasi
• Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, SpO2, UOP post operasi
39
3.2 Follow up pasien
40
Na/ K/ Cl : 138/ 5,4/ 106
A Post Laparotomy Eksplorasi + Tumor Post Laparotomy Eksplorasi +
Hepar Suspek Malignan (H1) Tumor Hepar Suspek Malignan (H2)
P Head up 300 + bedrest Head up 300 + bedrest
IVFD RL 30gtt/i IVFD RL 30gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam
Inj. Ketorolac 30mg/8jam Inj. Ketorolac 30mg/8jam
Inj. Ranitidine 50mg/12jam Inj. Ranitidine 50mg/12jam
R/ Kultur darah
41
No 15 Desember 2017 16 Desember 2017
S - -
O Airway clear , S/G/C: -/-/-, SP: Airway clear , ETT terpasang,
vesikuler ST: (-/-), SaO2 : 99%, ventilator terpasang, S/G/C: -/-
RR : 18x/i, pemberian O2 (+), 2 /-, SP: vesikuler ST: (-/-), SaO2
liter per menit via nasal : 99%, RR : 18x/i
canule. TD: 140/70 mmHg, HR: 90x/i
TD: 160/90 mmHg, HR: 88x/i reguler t/v: cukup, akral
reguler t/v: cukup, akral H/M/K, CRT < 2”, T : 37,2 oC
H/M/K, CRT < 2”, T : 36,7 oC Sensorium: compos mentis
Sensorium: compos mentis E4,V5,M6
E4,V5,M6 UOP (+) 550 cc, warna kuning
UOP (+) 400 cc, warna kuning , kateter terpasang
, kateter terpasang Abdomen : distensi, peristaltik
Abdomen : distensi, peristaltik (+), lemah, luka post operasi
(+), lemah, luka post operasi tertutup verband (+),terpasang
tertutup verband (+), drain (+), 100 cc
terpasang drain (+) 150 cc Ekstremitas : oedem (-), fraktur
Ekstremitas : oedem (-), fraktur (-)
(-)
42
BAB 4
DISKUSI KASUS
No Teori Kasus
43
nasopharyngeal airway via nasal canule.
• Intubasi trakhea dengan
Circulation : hemodinamik
leher di tahan (imobilisasi)
stabil ditandai dengan akral
pada posisi netral
hangat, merah,d dan kering
Breathing
disertai TD: 100/60 mmHg,
menilai pernafasan cukup.
serta HR: 82x/menit, regular.
Sementara itu nilai ulang
Selanjutnya, pasien segera
apakah jalan nafas bebas.
dipasangkan IV line dan diberi
Berikan oksigen jika ada.
IVFD NaCl 0,9%.
Sirkulasi
Disability : penilaian AVPU
Menilai sirkulasi /
pada pasien ini yaitu alert, yang
peredaran darah. Sementara
mana pasien dalam kondisi
itu nilai ulang apakah jalan
sadar penuh.
nafas bebas
Exposure : tidak dijumpai ada
dan pernafasan cukup. Jika
jejas pada seluruh tubuh pasien.
sirkulasi tidak memadai
maka lakukan :
Selanjutnya, pemeriksaan fisik
• Hentikan perdarahan
lengkap atau secondary survey
eksternal
dilakukan :
• Segera pasang dua jalur
B1 : Airway clear, RR : 56x/i,
infus dengan jarum besar
SP: vesikuler/vesikuler,
(14 - 16 G)
ST: -/- , S/G/C : -/-/-,
• Berikan infus cairan
Riwayat
Disability
asma/sesak/batuk/alergi : -
Menilai kesadaran dengan
/-/-/-, SpO2 : 99%
cepat, apakah pasien sadar,
B2 : Akral :
hanya respons terhadap
Hangat/Merah/Kering, TD:
nyeri atau
100/60 mmHg, HR: 88
sama sekali tidak sadar.
x/menit, reg, T/V: cukup,
Tidak dianjurkan mengukur
CRT: < 2 detik, temp:
Glasgow Coma Scale
44
Alert = A 36°C
Respon bicara (Verbal) = V B3 : Sens: Compos Mentis,
Respon nyeri (Pain) = P GCS: E4V5M6, pupil
Taka da respon isokor, ø 3mm/3mm, RC
(Unresponssive) = U +/+
B4 : UOP (+) vol: ± 70cc/jam ,
Eksposure warna: kuning jernih,
Lepaskan baju dan penutup terpasang kateter urine
tubuh pasien agar dapat B5 :Abdomen:
dicari semua cedera yang distensi,peristaltik (-)
mungkin ada. Jika ada lemah, defens muscular (+)
kecurigaan cedera leher B6 : Edema (-), fraktur (-)
atau tulang belakang, maka
imobilisasi in-line harus Oleh karena dijumpai keluhan-
dikerjakan. keluhan sesuai dengan teori,
maka pasien didiagnosis dengan
Pada pemeriksaan fisik, untuk peritonitis. Pasien ini juga dapat
menegakkan diagnosis peritonitis, dicurigai menderita sepsis
dapat dijumpai: berdasarkan kriteria qSOFA,
1. Suhu tubuh lebih dari 38oC yang mana pada secondary
2. Takikardia survey, dijumpai RR : 56x per
3. Takipnea menit dan TDS 100 mmHg.
4. Pada pemeriksaan abdomen,
hampir semua pasien Pada pasien ini, masih ada
menunjukkan tenderness pemeriksaan laboratorium yang
(nyeri tekan) pada palpasi belum dilakukan untuk
5. Kekakuan dinding abdomen menegakkan sepsis berdasarkan
(defans muscular) kriteria SOFA, seperti
6. Distensi abdomen pemeriksaan fungsi hepar dan
7. Bising usus hipoaktif atau analisis gas darah.
tidak ada.
45
8. Oliguria atau anuria
Laju pernafasan 22
kali/menit atau lebih
Gangguan kesadaran (GCS
<15)
Tekanan darah sistolik 100
mmHg atau kurang
46
menghilang, dan kekaburan (free air) di bawah diafragma dan
pada kavum abdomen tampak pelebaran usus, serta tidak
2. posisi duduk atau berdiri, tampak air fluid level. Hal tersebut
didapatkan free air sesuai dengan teori dan
subdiafragma berbentuk disimpulkan sebagai peritonitis.
bulan sabit (semilunar
shadow)
3. Posisi Left Lateral
Decubitus (LLD),
didapatkan free air intra
peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi.
Penatalaksanaan 1. Pasien dipasangkan IV line
Prinsip umum penatalaksanaan ukuran 18 G dan threeway,
sepsis menurut Surviving Sepsis kemudian segera diberikan
Campaign (SSC), yaitu: IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i.
1. Resusitasi awal dengan Sementara, menurut SSC,
30cc/kgBB cairan kristaloid volume pemberian cairan di
secara IV pada 3 jam pertama. awal seharusya sebesar
Kemudian cairan selanjutnya 2100 cc yang dihabiskan
diberi sesuai status dalam 3 jam. Maka,
hemodinamik dengan target pemberian cairan
MAP sebesar 65 mmHg. seharusnya diguyur agar
2. Antibiotik empiris spektrum resusitasi awal tercapai
luas secara IV secepat mungkin sesuai guideline.
disertai kultur dan dilanjutkan 2. Pasien ini mendapat injeksi
pemberian antibiotik sesuai Ceftriaxonee 1 gr/12 jam/IV
kultur. (skin test dahulu) dan drip
3. Pemberian kortikosteroid tidak Metronidazole 500 mg/8
direkomendasikan pada pasien jam/IV. Hal ini telah sesuai
sepsis tanpa syok. dengan SSC yang mana
47
4. Transfusi sel darah merah merekomendasikan
dilakukan hanya jika pemberikan antibiotic
konsentrasi hemoglobin turun spektrum luas.
menjadi < 7,0-7,5 g/ dL pada 3. Pasien ini mendapat injeksi
orang dewasa dengan kondisi Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
pemberat, seperti iskemia karena obat tersebut
miokard, hipoksemia berat, atau direkomendasikan pada
perdarahan akut. pasien dengan risiko
5. Profilaksis stress ulkus pada perdarahan saluran cerna.
lambung dengan Proton Pump
Inhibitor (PPIs) atau antagonis Pasien ini mengalami sepsis yang
reseptor Histamine-2 didahului dengan peritonitis atau
direkomendasikan pada pasien gawat abdomen, maka setelah
dengan risiko perdarahan pada penanganan awal di IGD pasien
saluran cerna. segera menjalani laparotomi
eksploratif. Durante operasi, jumlah
perdarahan sebanyak ± 2500 cc,
maka pasien mendapat resusitasi
cairan kristaloid adekuat disertai
transfusi PRC sebanyak 2 bag.
Meskipun, kadar hemoglobin
pasien selama operasi tidak
diketahui, tetapi terjadi perdarahan
akut yang lebih dari 40% total
cairan tubuh sehingga pasien
mendapat transfusi tersebut. Post
operasi, penatalaksanaan sepsis
sesuai teori tetap dilanjutkan
dengan pemberian cairan kristaloid
sesuai kebutuhan disertai antibiotik,
yaitu dengan pemberian IVFD
48
NaCl 0,9% dan injeksi Ceftriaxonee
1 gr/12 jam/IV. Antibiotik
spektrum luas masih digunakan
karena hasil kultur pasien ini belum
didapatkan.
49
BAB 5
KESIMPULAN
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.
3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.
7. James, Brian Daley. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview. [Accessed May 28,
2017].
9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk
Dokter.
10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.
Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J
Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.
51
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.
Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah.
12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Terapi Cairan pada Pembedahan.
13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:
282-320.
14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Transfusi Darah pada Pembedahan.
16. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery
2007; 26 (3): 98-101.
17. Schrock. TR. 2000. Peritonitis dan Massa Abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7. alih bahasa dr. Petrus Lukmato, Jakarta: EGC.
52