You are on page 1of 274

I

PENDAHULUAN

T anah merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki banyak
fungsi dalam ekosistem, diantaranya adalah sebagai pertumbuhan
tanaman, habitat bagi jasad tanah, media bagi kontruksi (rekayasa), sistem
daur-ulang bagi unsur hara dan sisa-sisa organik serta sistem bagi
pasokan dan penyaringan/penjernihan air. Tanpa tanah, manusia tidak
dapat bertahan hidup. Mengingat tanah memainkan peranan sangat
penting dalam ekosistem kita, maka kita harus berhati-hati dalam
mengelola dan melindunginya dari kerusakan. Setiap tahun beratus-ratus
bahkan beribu-ribu ton tanah hilang karena erosi.

Prediksi sifat-sifat tanah dan tanggapannya terhadap pengelolaan


sangat diperlukan dalam bidang pertanian dan kehutanan, untuk kajian
kelayakan dan perencanaan pada proyek-proyek pengembangan wilayah
serta untuk berbagai pekerjaan keteknikan (rekayasa). Menurut Dent dan
Young (1991), tujuan utama survei tanah adalah untuk memprediksi lebih
banyak serta lebih teliti berbagai tujuan yang lebih spesifik mengenai
pengolahan tanah.

Untuk mencapai maksud tersebut, sangatlah perlu menentukan


pola tutupan tanah dan membagi pola-pola tersebut ke dalam satuan-
satuan yang relatif homogen; memetakan sebaran satuan-satuan tersebut
sehingga memungkinkan diprediksinya daerah-daerah tersebut dan
menentukan karakteristik satuan peta demikian rupa sehingga dapat di
buat pernyataan yang bermanfaat tentang penggunaan lahan potensial dan
tanggapannya terhadap perubahan pengelolaan.

Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, di kenal istilah tanah


dan lahan yang pengertiannya seringkali rancu. Sesungguhnya pengertian
lahan lebih luas daripada tanah, sebagaimana dalam pengertian berikut
ini. Sumber daya lahan merupakan suatu limgkungan fisik yang terdiri
atas iklim, topografi, tanah, hidrologi dan vegetasi dimana pada batas-
batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan
(FAO,1976). Dengan demikian dalam pengertian lahan, tanah termasuk di
dalamnya.

Menurut FAO (1955), lahan memilki banyak fungsi yaitu ;

Fungsi produksi
Sebagai basis bagi berbagai sistem penunjang kehidupan, melalui
produksi biomassa yang menyediakan makanan, pakan ternak,
serat, bahan kayu bakar dan bahan biotik lainnya bagi manusia,
baik secara langsung melalui binatang termasuk budidaya kolam
dan tambak ikan.
Fungsi lingkungan biotik
Lahan merupakan basis bagi keragaman daratan (terrestrial) yang
menyediakan habitat biologi dan plama nutfah bagi tumbuhan,
hewan dan jasad-mikro diatas dan dibawah permukaan tanah.
Fungsi pengatur iklim
Lahan dan penggunaannya merupakan sumber (source) dan rosot
(sink) gas rumah kaca dan menetukan neraca energi global berupa
pantulan , serapan, dan transformasi dari energi radiasi matahari
dan daur hidrologi global.
Fungsi hidrologi
Lahan mengatur simpanan dan aliran sumber daya air tanah dan
air permukaan serta mempengaruhi kualitasnya.
Fungsi penyimpanan
Lahan merupakan gudang (sumber) berbagai bahan mentah dan
mineral untuk di manfaatkan oleh manusia.
Fungsi pengendali sampah dan polusi
Lahan berfungsi sebagai penerima, penyaring, penyangga, dan
pengubah senyawa-senyawa berbahaya.
Fungsi ruang kehidupan
Lahan menyediakan sarana fisik untuk tempat tinggal manusia,
industri dan aktivitas sosial seperti olahraga dan rekreasi.
Fungsi peninggalan dan penyimpanan
Lahan merupakan media untuk menyimpan dan melindungi
benda-benda bersejarah dan sebagai suatu sumber informasi
tentang kondisi iklim dan penggunaan lahan masa lalu.
Fungsi penghubung spasial
Lahan menyediakan ruang untuk transportasi manusia, masukan
dan produksi serta untuk pemindahan tumbuhan dan binatang
antara daerah terpencil dari suatu ekosistem alami.

Kesesuaian lahan untuk berbagai fungsi tersebut sangat beragam


di seluruh penjuru bumi. Satuan lansekap, sebagai satuan sumber daya
alami, memiliki dinamisme masing-masing tetapi campur tangan manusia
mempengaruhi dinamika tersebut secara amat luas dalam ruang dan
waktu kualitas lahan bagi satu atau lebih fungsi tersebut dapat di
tingkatkan (misalnya melalui tindakan-tindakan pengendali erosi) tetapi
seringkali lahan telah atau tengah mengalami degradasi karena tindakan
manusia.

Sumber daya tanah oleh sementara kalangan di anggap sebagai


sumber daya yang termasuk ‘non renewable’ yaitu yang tidak mudah di
perbaharui, atau yang jika sekali mengalami kerusakan atau kehilangan
akan membutuhkan waktu pemulihan yang relatif lama.

Berdasarkan kenyataan di atas, sangatlah penting untuk meneliti sifat-sifat


tanah serta sebarannya sekaligus mengetahui tingkat kesesuaian dan
faktor-faktor pembatasnya untuk penggunaan lahan tertentu.

Survei tanah meliputi penelitian dan pengumpulan informasi dalam


rangka :

1. Menentukan karakteristik-karakteristik penting dari tanah.


2. Mengklasifikasikan tanah ke dalam satuan taksa sesuai dengan
sistem klasifikasi tanah baku.
3. Menentukan dan mendelineasi batas taksa-taksa tanah pada peta.
4. Mengolerasikan dan memprediksi kesesuaian (adaptabilitas) tanah
untuk berbagai macam penggunaan, baik di bidang pertanian
maupun non pertanian (pemukiman, pariwisata dan lain-lain).
Hasil dari survei tanah tersebut dapat di gunakan untuk
meemprediksi karakteristik tanah untuk bidang pertanian, kontruksi atau
teknik/rekayasa, pariwisata maupun pemanfaatan lainnya, yang lebih di
kenal dengan evaluasi lahan.

Evaluasi lahan merupakan proses pendugaan keragaan


(performance) lahan apabila lahan digunakan untuk tujuan tertentu
(FAO,1985) atau sebagai “metode yang menjelaskan atau memprediksi
kegunaan potensial dari lahan” (van diepen et all.,1991). Apabila potensi
lahan sudah dapat di tentukan, maka perencanaan penggunaan lahan
dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan yang rasional, paling tidak
mengenai apa yang dapat ditawarkan oleh sumber daya lahan tersebut
(FAO, 1993). Dengan demikian, evaluasi lahan merupakan alat
perencanaan penggunaan lahan lahan yang strategis. Evaluasi lahan
memprediksi keragaan lahan mengenai keuntungan yang diharapkan dari
penggunaan lahan dan kendala penggunaan lahan yang produktif serta
degradasi lingkungan yang di perkirakan akan terjadi karena penggunaan
lahan.

Alasan mengapa evaluasi lahan sangat penting di kemukakan oleh


Rosisster(1996) sebaagi berikut:

1. Lahan memiliki sifat fisik, sosial, ekonomi dan geografi yang


bervariasi. (‘lahan di ciptakan tidak sama’).
2. Variasi tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Untuk masing-
masing penggunaan lahan, ada daerah (areal) yang lebih atau yang
kurang sesuai dalam pengertian fisik dan/atau ekonomi.
3. Variasi tersebut paling tidak sebagian terjadi secara sistematik dan
sebab-sebab yang dapat di ketahui dengan pasti.
4. Variasi tersebut (fisik, politik, ekonomi dan sosial) dapat dipetakan
dengan jalan survei, (daerah yang di survei di bagi menjadi satuan-
satuan yang relatif homogen).
5. Sifat-sifat lahan jika digunakan untuk penggunaan tertentu dapat
diramalkan dengan tingkat kepastian tertentu, tergantung pada
kualitas data sumber daya lahan dan kedalaman pengetahuan
mengenai hubungan antara lahan deabgan penggunaan lahan.
6. Kesesuaian lahan bagi berbagai penggunaan lahan aktual dan yang
diusulkan dapat dideskripsikan dan dipetakan secara sistematis.
7. Pengambil keputusan seperti perencana penggunaan lahan (Badan
Pertahanan Nasional), Bapedda, Dinas Pertanian, Lembaga
pemberi kredit bidang pertanian dan lain-lain, dapat menggunakan
perdiksi yang di hasilkan oleh evalusi lahan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

1.1 Tujuan Dan Pengertian Survei Tanah


Jika kita mangamati tanah pada suatu tempat dan membandingkannya
dengan tanah di tempat lain, maka akan terlihat beberapa perbedaan
warna , tekstur keadaan permukaan dan lain-lain. Belum lagi jika kita
mengamati dan mendeskripsikan profil tanahnya, jelas sekali akan terlihat
perbedaan dalam susunan dan sifat horison tanah. Perbedaan-perbedaan
itu kadang-kadang dapat terjadi di tempat-tempat yang berdekatan yang
hanya berjarak beberapa meter saja. Adanya perbedaan tersebut
menimbulkan adanya perbedaan potensi masing-masing tanah bagi
pengembangan suatu tanaman atau komoditas tertentu maupun untuk
kepentingan di luar pertanian.

Untuk dapat membedakan tanah satu dengan yang lain yang


kemudian disajikan dalam suatu peta tanah, perlu dilakukan serangkaian
kegiatan yang disebut survei tanah atau inventarisasi sumber daya
tanah . oleh karena tanah tidak bisa berdiri sendiri dan selalu terkait
dengan lingkungannya seperti iklim, topografi (lereng), hidrologi dan lain-
lain maka kegiatan inventarisasi ini lebih tepat disebut inventarisasi
sumber daya lahan.

Survei tanah dapat didefinisikan sebagai penelitian di lapangan dan


di laboratorium, yang dilakukan secara sistematis dengan metode-metode
tertentu terhadap suatu daerah (areal) tertentu, yang di tunjang oleh
informasi dari sumber-sumber lain yang relevan (SCSA, 1982). Survei
tanah adalah pengamatan yang dilakukan secara sistematis, disertai
dengan mendeskripsikan, mengklasifikasikan dan memetakan tanah
disuatu daerah tertentu (Brady and Weil, 2002). Menurut Rosisster
(2000), survei tanah adalah proses menentukan pola tutupan tanah,
menentukan karakteristik tanah dan menyajikannya dalam bentuk yang
dapat dipahami dan diinterpreasi oleh berbagai kalangan pengguna.

Menurut Soil Survey Division Staff (1993), survei tanah


mendeskripsikan karakteristik tanah-tanah di suatu daerah,
mengklasifikasikannya menurut sistem klasifikasi baku, memplot batas
tanah pada peta dan membuat prediksi tentang sifat tanah. Perbedaan
penggunaan tanah dan bagaimana tanggapan pengelolaan mempengaruhi
tanah itulah yang terutama perlu di perhatikan (dalam merencanakan dan
melakukan survei tanah). Informasi yang dikumpulkan dalam survei tanah
membantu pengembangan rencana penggunaan lahan dan sekaligus
mengevaluasi dan memprediksi pengaruh penggunaan lahan terhadap
lingkungan.

Hasil dari survei tanah adalah peta tanah beserta legenda peta dan
laporan. Peta tanah menyajikan informasi tentang jenis (klasifikasi tanah),
lokasi (sebaran) dan luasan masing-masing tanah yang terdapat pada
masing-masing satuan peta. Uraian beberapa sifat tanah yang penting
untuk tiap satuan peta disajikan pada legenda peta tanah. Dalam laporan
hasil survei tanah, disajikan latarbelakang dan tujuan dilakukannya survei,
metode serta hasil interpretasi tanah yang terdapat di daerah tersebut.
Hasil interpretasi tanah merupakan prediksi tentang prilaku tanah sebagai
respon terhadap berbagai jenis tanaman serta respons tanah terhadap
pengelolaannya.

Dengan demikian, tujuan utama survei tanah adalah;

1. Membuat semua informasi spesifik yang penting tentang tiap-tiap


macam tanah terhadap penggunaannya dan sifat-sifat lainnya
sehingga dapat di tentukan pengelolaannya.
2. Menyajikan uraian satuan peta sedemikian rupa sehingga dapat
diinterpretasikan oleh orang-orang yang memerlukan fakta-fakta
mendasar tentang tanah.

Biasanya untuk memudahkan melihat sebaran tanah, masing-masing


satuan peta di beri simbol simbol dan bahkan warna yang berbeda. Tiap-
tiap simbol tercatat secara sistematisdalam legenda peta, yang
mendeskripsikan tanah secara ringkas dan satuan petanya, serta
membangun hubungan antara peta dan laporan.

Informasi yang terdapat pada masing-masing peta, ditentukan oleh


skala peta. Oleh karena itu peta berdasarkan skalanya mempunyai nama
(tipe) yang berbeda-beda (lihat bab 2).

Pelaksanaan survei tanah pada skala yang berbeda dilakukan dengan


cara yang berbeda pula. Semakin besar skala peta yang dihasilkan,
semakin banyak jumlah dan macam pengamatan yang dilakukan per-
satuan luasan tertentu. Demikian pula sebaliknya.

Menurut Eyk dalam rosisster (2001) tujuan utama survei tanah


adalah mengenali dan mengidentifikasikan tubuh tanah tiga dimensi yang
memiliki arti penting untuk berbagai tujuan dan menentukan batas
sebaran geografi tanah-tanah tersebut pada peta dasar.

Menurut Walmsley (1995), ada dua tujuan utama survei tanah yaitu:

1. Mengidentifikasi, mendeskripsi dan mengklasifikasikan tanah-tanah


yang berbeda di suatu daerah.

2. Mengidentifikasi, memprediksi dan delineasi berbagai jenis atau


kombinasi tanah dengan cara yang konsisten.

Berikut ini diuraikan lebih tanjut kegiatan yang tercakup dalam survei
tanah:

1. Mendeskripsi karakteristik tanah di suatu daerah

Mengingat bahwa tanah merupakan objek kajian maka


karakteristiknya harus diamati dengan teliti. Tujuannya adalah
mendeskripsikan 'tanah’ bukan mendeskripsikan geologi,
geomorfologi, landform, iklim, penggunaan lahan atau yang lainnya.
Memang diakui bahwa cara yang efisien untuk memetakan dan
memahami tanah adalah dengan mengacu kepada geomorfologi atau
yang lainnya, tetapi pada akhirnya, survei tanah harus menyajikan
kondisi tanah di daerah tersebut.

Kegiatan ini dilakukan di lapangan terhadap profil tanah, profil-mini


(minipit), pemboran atau irisan (tebing) jalan dengan menggunakan
pedoman-pedoman tertentu. Kegiatan ini harus disertai dengan
pengambilan contoh tanah serta analisis laboratorium.

2. Mengklasifikasi tanah menurut sistem klasifikasi Tanah


baku.

Tahap ini bertujuan mengorelasikan tanah di daerah tertentu dengan


tanah tanah di tempat lain dan juga untuk membakukan pemetaan
dalam setiap daerah yang disurvei. Pengertian sistem di klasifikasi
tanah baku dapat berupa sistem klasifikasi lokal nasional ataupun
internasitnal. Tujuan utama korelasi menurut Rossiter (2001) adalah
agar transfer tekhnologi lebih efisien, dalam pengertian pengalaman-
pengalaman di suatu daerah dapat diterapkan -di daerah lain.
Beberapa kasus tanah dengan sifat serupa (yang diharapkan
klasifikasinya juga sama) dapat terjadi dalam daerah geografi yang
sangat luas, bahkan dapat berada pada pulau atau benua yang
berlainan (discontinued) sehingga pengalaman-pengalaman disuatu
daerah dapat diterapkan di daerah lain yang tanahnya 'sama' tersebut.

Klasifikasi tanah dilakukan dengan mengikuti cara-cara baku yang


didasarkan pada hasil pencatatan (deskripsi) dan pencirian tanah
serta data-data yang diperoleh dari analisis laboratorium.

3. Mendelineasi batas tanah pada peta

Pada hampir semua aplikasi survei tanah, perbedaan jenis (taksa)


tanah harus dibedakan pada peta, yaitu yang menunjukan lokasi
geografis tanah yang kemungkinan akan menjadi perhatian pengguna
lahan. Kegiatan ini meliputi penggambaran ke dalam bentuk satuan
geografis pada suatu peta dasar yang biasanya dibuat dari peta
topografi (rupa bumi) atau mosaik-foto. Masing-masing satuan peta di
tandai dengan simbol.
Di dalam legenda peta, masing-masing simbol tersebut dijelaskan
dalam bentuk uraian. Di samping itu, dalam legenda juga disajikan
informasi-informasi penting tentang sifat-sifat masing-masing jenis
tanah yang terdapat dalam setiap satuan peta.

4. Memprediksi perilaku/sifat tanah (Interpretasi Survei Tanah)

Survei tanah pada dasarnya merupakan aktivitas yang mengarah


kepada aspek pemanfaatan tanah. Tahap ini dapat didefinisikan secara
sempit, yaitu hanyamenggunakan data tanah untuk memprediksi sifat
tanah untuk tujuan aplikasi yang seringkali diistilahkan dengan
interpretasi survei tanah. Dapat pula mencakup aktivitas yang lebih
luas yaitu evaluasi lahan, yang mempertimbangkan karakteristik lahan
yang lain selain tanah yaitu iklim, penggunaan lahan, lereng dan lain-
lain. Prediksi dapat dilakukan oleh pakar dalam bidang lain, bukan
oleh penyurvei tanah atau oleh penyurvei bersama-sama dengan pakar
lain (yang bertugas melakukan interpretasi) yang bekerja secara
bersama-sama. Umumnya dalam survei tanah selain mengamati tanah
juga harus mengumpulkan informasi tentang karakteristik lahan yang
penting untuk membuat prediksi.

1.2 Survei Tanah Bertujuan Umum dan Bertujuan


Khusus
Peta tanah yang dihasilkan dari survei tanah jika dilakukan cukup detail,
dengan penentuan sifat yang memadai untuk masing-masing satuan peta,
pada umumnya dapat diinterpretasikan untuk berbagai tujuan tanpa perlu
melakukan survei-ulang untuk menjawab masalah-masalah pengelolaan
yang timbul kemudian. Namun demikian untuk dapat memenuhi tujuan
pengguna, tujuan-tujuan tersebut harus diwujudkan dalam suatu konsep
survei (pemilihan satuan peta, skala peta, intensitas pengamatan dan-jenis
laporan). Menurut Dent dan Young (1981), ada dua strategi dalam
melakukan survei tanah, yaitu surveitanah untuk tujuan umum dan untuk
tujuan khusus (special purpose).
Survei tanah untuk tujuan umum ditujukan untuk memberikan
data sebagai dasar interpretasi untuk berbagai penggunaan yang berbeda,
bahkan beberapa dari penggunaan tersebut belum diketahui. Satuan peta
harus didasarkan pada morfologi tanah. Satuan yang sangat cocok adalah
sekelompok tanah dengan susunan horizon yang sama, berkembang pada
bahan induk serupa dan di bawah kondisi eksternal serupa. Yang terakhir
merupakan definisi dari seri tanah. Tanah-tanah yang dikelompokkan
dengan cara ini memiliki banyak persamaan dan seri-seri- tanah telah
terbukti sebagai satuan yang bermanfaat untuk interpretasi bertujuan
umum dan sebagai dasar untuk melakukan riset yang berkaitan dengan
hubungan tanah tanaman.

Survei tanah bertujuan umum meliputi pembuatan peta pedologi


yang menyajikan sebaran satuan-satuan tanah yang ditentukan menurut
morfologi serta data sifat fisik, kimia dan biologi yang dikumpulkan di
lapangan dan di laboratorium. Peta tanah bertujuan umum diharapkan
dapat digunakan sebagai dasar untuk keperluan tahap interpretasi
berikutnya, yaitu evaluasi lahan yang tidak hanya mencakup berdasarkan
karakteristik satuan tanah saja, melainkan juga berdasarkan atas faktor-
faktor fisik, ekonomi dari sosial lainnya yang berkaitan.

Survei tanah untuk tujuan khusus dilakukan apabila tujuannya


telah diketahui sebelumnya dan bersifat spesifik, misalnya untuk irigasi,
reklamasi lahan atau penanaman jenis tanaman tertentu seperti teh, tebu
atau tanaman lainnya. Survei tanah untuk tujuan khusus dapat dilakukan
asalkan sebelumnya tujuan penggunaannya dikemukakan secara jelas,
karakteristik tanah yang berkaitan dengan tujuan tersebut telah diketahui
dan dapat dipetakan baik melalui pendugaan atau penarikan kesimpulan
dari sifat-sifat yang dapat diamati atau jika sulit dilakukan, maka perlu
dilakukan pengamatan secara grid dan disertai analisis contoh tanah. Hal
ini dapat dilakukan misalnya dalam pengembangan irigasi, mengingat
sifat-sifat tanah yang terkait telah diketahui serta nilai-nilai pembatas
masing-masing faktor yang akan digunakan telah ditentukan, serta adanya
investasi ekonomi dimungkinkan untuk melakukan survei lapangan secara
intensif.
Survei tanah bertujuan umum sangat bermanfaat untuk diterapkan
pada wilayah-wilayah yang masih belum berkembang, yang faktor fisik
lingkungannya (potensi penggunaan lahannya) belum banyak diketahui.
Kisaran penggunaan-penggunaan lahan sangat luas, meliputi penggunaan
untuk pertanian dan non-pertanian. Dengan demikian, informasi dasar
tentang tanah harus dikumpulkan sebelum dilakukan pengambilan
keputusan penggunaan lahan yang paling menguntungkan. Survei tanah
untuk tujuan khusus sangat bermanfaat apabila mencantumkan informasi
tentang daerah tersebut berikut pengunaan lahan yang berpotensi untuk
dikembangkan telah diketahui, sehingga penggunaan khusus dapat
direncanakan. Keadaan seperti ini umumnya menjadi kasus di wilayah-
wilayah berkembang atau wilayah yang berpenduduk padat.

Kelemahan survei tanah bertujuan khusus ini adalah


ketidakmampuannya dalam memenuhi semua tujuan atau keperluan, tidak
seperti yang berlaku pada survei bertujuan umum. Dalam survei bertujuan
khusus, suatu survei khusus dilakukan untuk tujuan tertentu saja,
misalnya survei yang dirancang untuk perkebunan teh, sehingga tidak
dapat digunakan sebagai dasar untuk merencanakan tujuan lain, misalnya
untuk perkebunan tebu atau sawah irigasi. Apabila nantinya
membutuhkan informasi lebih lanjut, maka perlu. Dilakukan survei tanah
tambahan untuk mendapatkan informasi yang belum tersedia.

1.3 Pendekatan Mutahir dalam Survei Tanah dan


Evaluasi Lahan
Rossiter (2000) mengemukakan bahwa disiplin survei sumber daya lahan
kini memasuki era baru karena munculnya teknologi dan metode baru
berikut:

Satelit penginderaan jauh (yang dalam waktu dekat hampir sama


detailnya dengan foto udara) yang sangat bermanfaatuntuk
persiapan peta dasar dan klasifikasi tutupan lahan.
GPS (global positioning system?) yang sangat bermanfaat untuk
menentukan lokasi secara akurat, mampu menemukan teknologi
pemetaan bawah-pemukaan, serta berkembangnya model elevasi
digital (DEM) untuk memprediksi karakteristik medan.
Geostatistik dan teknik interpolasi lainnya.
Sistem inforrnasi geografi (GIS) untuk penyimpanan, transfomasi,
analisis dan pencetakan peta.

Dengan teknologi baru ini, umumnya tutupan tanah (maupun sumber


daya lahan lainnya) dipersepsikan sebagai bidang spasial (yaitu
dengan menentukan nilai pada masing- masing titik sehingga secara
kontinyu terjadi keragaman dalam ruang), yang berbada dengan
satuan peta yang digunakan dalam survei tanah tradisional.

Metode baru ini juga berkerja secara langsung pada titik-titik pengamatan
terkuantifikasi yang berbeda dengan satuan taksonomi berhirarki,
sebagaimana yang dilakukan dalam klasifikasi tanah tradisional.

Sumber daya lahan juga dapat diambil contohnya beberapa kali untuk
menyusun pola atau tren musiman. Dengan demikian, kita tertantang
untuk mengembangkan metode rutin yang dapat diakses oleh semua
kolega pelaku survei tanah yang didasarkan pada field spatial dan time-
series serta mengintegrasikannya dengan pendekatan-pandekatan
tradisional.

1.4 Peranan Survei Tanah dalam Pengambilan


Keputusan Pengelolaan Sumber Daya Lahan
Survei tanah dapat memberikan informasi tentang sumber daya alam,
terutama tentang sifat-sifat dan faktor-faktor pembatas tanah untuk suatu
tujuan-tujuan tertentu. Informasi ini sangat diperlukan untuk keputusan
pengembangan sumber daya lahan, baik untuk pertanian maupun untuk
kepentingan lain, agar bermanfaat secara optimal dan berkesinambungan.

Setiap tanah mempunyai sifat dan keterbatasan masing-masing


yang akan menentukan kapabilitas atau kemampuannya, sehingga untuk
mengembangkannya diperlukan suatu tindakan khusus yang berbeda-
beda untuk tiap-tiap jenis tanah. Misalnya untuk memutuskan tindakan
konservasi dan rehabilitasi lahan yang benar dan tepat, informasi tentang
tanah dan kesesuian lahannya untuk suatu penggunaan tertentu sangat
diperlukan. Anjuran untuk menanam tanaman tertentu untuk konservasi
lahan hanya akan berhasil jika tanaman yang dianjurkan itu memang
sesuai ditanam di tempat tersebut. Kalaupun hendakmenanam tanaman
tertentu karena memang dianjurkan dari segi konservasi tanah, agar
tanaman tersebut bisa tumbuh dengan baik, maka informasi yang
diperoleh dari hasil survei tanah dapat membantu pertumbuhan tanaman
tersebut dengan resiko kegagalan yang rendah.

Kebenaran informasi akan sangat menentukan ketepatan tindakan


yang akan diambil untuk pengembangan sumber daya alam yang langka
itu. Untuk mendapatkan informasi yang benar dan teliti, perlu dilakukan
dengan cara-cara atau metodologi tertentu yang akan dibahas dalam
uraian selanjutnya.

1.4.1 Pandangan Pengguna Survei Tanah

Survei tanah haruslah menghasilkan produk berkualitas tinggi yang


bermanfaat bagi satu atau beberapa kelompok pengambil keputusan.
Beberapa pertanyaan tentang metode survei pada akhirnya dapat
dipecahkan dengan jalan menyesuaikan metode survei dengan keinginan
dan anggaran yang tersedia dari pihak pengambil keputusan.

Rossiter (2000), mencoba memerinci beberapa pengguna survei tanah,


seperti yang diuraikan berikut;

Pengelola lahan, yaitu petani, peternak, pengelola hutan dan


pengelola perkebunan. Kelompok ini akan memutuskan apa yang
sebaiknya dilakukan atas lahannya, misalnya untuk apa dan
bagaimana sistem pengelolaan yang tepat.
Penyuluh lapangan. Kelompok ini bertugas memberikan penyuluhan
kepada pengelola lahan.
Industri jasa yang berhubungan dengan penggunaan Iahan,
misalnya lembaga pemberi kredit, bank dan kelompok investor.
Kelompok ini memfasilitasi penggunaan lahan dan membutuhkan
informasi apakah lahan tersebut menghasilkan dan menguntungkan
secara ekonomi.
Perencana penggunaan lahan pedesaan dan perkotaan.kelompok
pengguna ini merekomendasikan atau memfasilitasi jenis-jenis
pengunaan lahan tertentu di daerah yang berbeda.
lembaga pengendali penggunaan lahan, merupakan kelompok
perencana penggunaan dengan kewenangan khusus untuk mengatur
penggunaan lahan. Sebagai contoh, di Belanda jumlah pupuk kandang
yang boleh diberikan setiap hektar lahan ditentukan oleh jenis tanah
untuk menghindari polusi air tanah.
Badan otoritas pajak. Di beberapa negara, pajak atas lahan
didasarkan pada produksi potensial lahan. semakin subur tanahnya
semakin tinggi pajak yang harus di bayar pemilik lahan tersebut.
Pakar dalam bidang rekayasa. Ahli-ahli rekayasa (keteknikan)
sangat memerlukan hasil survei tanah untuk menentukan apa yang
harus diperhatikan dalam membangun gedung, jalan maupun pipa-
pipa saluran minyak dan gas bumi agar tidak mudah mengalami
korosi.
Pengelola lingkungan yang menggunakan tanah sebagai unsur
ekologi landskap. Hasil survei tanah dapat menunjukkan lokasi-
Iokasi dalam suatu daerah yang memiliki resiko tinggi jika digunakan
untuk kepentingan tertentu.
Peneliti, mengkaji tanggapan lahan terhadap berbagai penggunaan
lahan dan strategi pengelolaannya. Termasuk dalam kelompok ini
adalah peneliti pada plot percobaan, yang berharap bahwa satuan
tanah yang berbeda akan memberikan tanggapan (respons) yang
berbeda pula terhadap macam pengelolaan yang diterapkan.

Dengan demikian,hasil evaluasi lahan tidak hanya bermanfaat bagi


mereka yang bergerak dalam bidang pertanian, seperti yang selama ini
kita ketahui. Hasil survei tanah dan evaluasi lahan secara umum
mendasari kegiatan-kegiatan perencanaan dan pengembangan wilayah.

Dalam masing-masing kasus, pengguna hanya akan bersedia


menggunakan hasil survei tanah dan evaluai lahan, jika hal itu dapat
meningkatkan produktivitas mereka. Dengan demikian tuntutan pengguna
atas hasil survei tanah adalah:

1. Seberapa teliti dan seberapa tepat hasil survei itu dapat menjawab
pertanyaan pengguna
2. Berapa banyak nilai tambah yang diberikan oleh pengambilan
keputusan yang benar, yaitu yang didasarkan dari hasil survei tanah,
dibandingkan dengan pengambilan keputusan yang keliru (tanpa
menggunakan hasil survei tanah).

Tentu saja hal ini harus disadari sepenuhnya oleh pelaku survei tanah
dan evaluasi lahan. Pengguna tidak akan memanfaatkan hasil survei dan
evaluasi lahan jika ternyata tidak dapat menjawab kebutuhan mereka.
untuk itulah, perlu pemahaman serta metode yang benar, yang harus
diterapkan sebaik-baiknya dalam melakukan kegiatan ini.

1.4.2 Informasi Apa Saja yang Diperlukan oleh Penggambil


Keputusan

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang dapat dijawab hasil survei tanah
yang dilakukan olah Rossiter (2000):
1. Menyimpulkan keseluruhan daerah kajian.
a) Apa kelas (taksa) tanah yang dijumpai di daerah yang dikaji?
b) Bagaimana proporsi masing-masing kelas yang ada didaerah
tersebut?
c) Berapa persen dari daerah tersebut yang diduduki oleh tanah
dengan sifat-sifat tertentu? (Misalnya tanah yang berbatu pada
kedalaman kurang dari 50 cm.)

Kelompok pertanyaan pertama ini hanya memerlukan prosedur


pengambilan contoh secara statistik (titik atau daerah) dan tidak
memerlukan peta. Pertanyaan ini hanya bermanfaat untuk memberikan
informasi di tingkat nasional.

Yang dikehendaki oleh pihak pangambil kaputusan adalah informasi


tentang sebaran geografis tanah, sehingga harus ditampilkan dalam suatu
peta.

Dengan menggunakan peta, diharapkan mampu men jawab beberapa


pertanyaan yang akan diuraikan di bawah ini.

2. Pada lokasi tertentu (pada suatu daerah yang dipilih).


a) Apa kelas (taksa) tanah pada lokasi tersebut?
b) Bagaimana sifat tanah pada lokasi tersabut?
c) Bagaimana pola spasial dari kelas tanah pada dan di sekitar lokasi
tersebut?
d) Bagaimana pola spasial dari sifat-sifat tanah pada atau di sekitar
lokasi tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan oleh pihak pengelola


lahan yang sudah memiliki atau yang sedang mengelola daerag tertentu
serta oleh pihak perencana yang telah mengidentifikasi daerah tertetu
yang akan dirancang penggunaan lahannya.

3. Memilih lokasi daerah yang diinginkan.


a) Dimana lokasi kelas-kelas (taksa) tanah tertentu (misalnya
Mollisol) didaerah tersebut dapatdijumpai?
b) Dimana lokasi tanah-tanah yang memiliki sifat-sifat tertentu
(misalnya berdrainase baik, KTK tinggi, pH netral, KB > 50% dll)
dapat dijumpai?
c) Dimana sifat-sifat tanah dengan pola spasial tertentu (misalnya
yang berdrainase baik, KB > 50%, tidak berkerikil dan lain-lain,
yang berdekatan dengan tanah yang memiliki drainase buruk, KB
> 50%, dekat sumber air dan lain-lain) dapat di jumpai?

Kelompok pertanyaan di atas harus dijawab oleh pihak perencana


atau pengguna lahan yang akan mencari dan menggunakan lahan
sesuai dengan kebutuhan mereka. Lahan tersebut dapat berupa lahan
yang sudah di miliki atau telah dikelola atau bisa juga berupa lahan
yang dicari untuk dikelola.

Untuk dapat menjawab dua kelompok pertanyaan terakhir di atas


diperlukan peta tanah. Tanpa adanya peta tanah, mustahil pertanyaan-
pertanyaan tersebut dapat dijawab. Melalui survei dan pemetaan tanah
yang benar dapat di buat peta tanah yang akurat sehingga sangat
bermanfaat dalam perencanaan penggunaan lahan.

1.5 Perkembangan Survei Tanah di lndonesia


Survei tanah dimulai tahun 1999 di Amerika Serikat, yang
merupakan kegiatan penelitian dalam kaitannya dengan tanah-tanah
pertanian, serta penelitian hubungan antara tanah dengan iklim dan bahan
organik (Soil Survei staff, 1951). Survei tanah berkembang sejalan dengan
perkembangan bidang klasifikasi tanah dan teknik survei tanah.

Kegiatan survei dan pemetaan tanah di Indonesia, menurut Pusat


Penelitian dan Pengernbangan Tanah dan Agroklimat (2005), dimulai
sejak pemerintahan Belanda. Namun investigasi secara intensif untuk
mengkaji potensi tanah di Indonesia baru dimulai pada tahun 1905, yaitu
dengan berdirinyaLaboratorium voor Agrogeologie en Grondonderzoek
Pada tahun 1883, R.D.M. Verbeek melaporkan hasil pemetaan tanah yang
mendeskripsikan topografi dan geologi tanah di Pantai Barat sumatera.
Konsep pemetaan tanah skala 1 : 1.000.000 untuk Madura dan Jawa
disusun oleh E.c.J Morhr pada tahun 1912.
Pada tahun 1927, survei tanah dimulai di Pulau Sumatera, yaitu di
sumatera selatan, dengan aspek agrogeologi skala 1: 200.000. Pada tahun
1930 survei tanah untuk Jawa dan Madura dimulai. survei ini bertujuan
untuk pertanian dan untuk pengembangan industri bata merah dan
genteng, serta untuk infrastruktur jalan raya dan rel kereta api.

Pada tahun 1955, Balai Penelitian Tanah ditugaskan untuk


melakukan survei secara sistematis ke seluruh Indonesia untuk
kepentingan pertanian, dengan penekanan pada skala eksplorasi
(1:1.000.000). Untuk pulau Jawa dan Madura, dilakukan survei skala
1:250.000 untuk mendapatkan informasi dalam rangka penggunaan lahan,
perbaikan lahan dan program pemupukan.

Pada tahun 1979 - 1986 survei diprioritaskan untuk persiapan


daerah transmigrasi melalui proyek Penelitian pertanian Menunjang
Transmigrasi (P3MT). Setelah itu dilanjutkan dengan Proyek land
resources and evaluation planning (LREP) fase I (1985-1990) dan fase II
(1991-L997). Penilitian ini bertujuan mengetahui potensi lahan untuk
tujuan pembangunan pertanian secara umum pada skala 1:250.000 (LREP
I) dan skala 1:50.000 (LREP II).

Hampir 50% wilayah Indonesia, terutama bagian Barat Indonesia,


telah dipetakan selama periode 1955 - 2004. Kegiatan pemetaan di rawa
pasang surut dilakukan melalui kerjasama pusat penelitian Tanah dengan
Departemen Pekerjaan Umum pada Proyek Pembukaan Persawahan
Pasang Surut (P4S).

Sejak tahun 1957, sistem klasifikasi tanah di Indonesia


menggunakan klasifikasi Dudal dan Supraptohardjo, yang kemudian
mengalami penyempurnaan oleh suhadi (1961) dan
soepraptohardjo,(1961) pada skala besar. sistem ini masih dijumpai dalam
peta-peta tanah terbitan Pusat Penelitian Tanah hingga tahun 1978.

Setelah kongres HITI II, diperkenalkan sistem Klasifikasi Tanah


Nasional yang tidak banyak berbeda dari sistem sebelumnya dan hanya
menguraikan sampai pada tingkat marga (great-group).
Untuk keperluan survei dan pemetaan tanah daerah transmigrasi,
Pusat Penelitian Tanah menerbitkan panduan tentang jenis dan macam
talah di Indonesia beserta kuncinya (Suhardjo dan Soepraptohardjo,
1981). Beberapa penamaan jenis dan macam tanah, sebagian besar
diambil dari definisi sistem FAO-UNESCO, dengan berbagai penyesuaian
terhadap kondisi di Indonesia (Sitorus, 1986).

Sejak kongres HITI ke IV di Medan bulan Desember 1989, menurut


USDA-SCS, (1989) tetah diputuskan untuk menggunakan sistem taksonomi
tanah (Soil Taxonomy) untuk semua kegiatan survei dan penelitian tanah
di Indonesia. HaI ini dilakukan secara konsekuen oleh Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) dalam kegiatan survei dan
pemetaan tanah dalam proyek LREP I (skala 1 : 250.000) pada tahun 1989
yang menerapkan metode fisiografi dengan satuan tanah menggunakan
taksonomi tanah pada kategori sub-grup. Pada kegiatan survei dan
pemetaan semi detail (skala 1: 50.000) dalam LREP II (1993 - 1995), tetap
digunakan taksonomi tanah (Soil Survey Staff, I992;1994) sebagai satuan
tanah pada kategori 'seri' (Hardjowigeno, 2003).

Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia dan dunia secara


umum pada tahun 1998, kegiatan survei tanah di Indonesia praktis
mengalami stagnasi. Seri tanah yang direncanakan untuk diolah menjadi
seri publikasi hingga saat ini (2005) terhenti sama sekali. Hal ini tentu
sangat disayangkan, mengingat informasi sumber daya lahan yang akurat
dan lengkap dari seluruh wilayah di Indonesia sangat menentukan
keberhasilan bidang pembangunan pertanian maupun bidang rekayasa
yang menunjang pengembangan wilayah.

***
II
TANAH, PETA TANAH DAN LEGENDA
PETA

I stilah tanah menurut Arsyad (1999) memiliki 3 pengertian, yaitu: (1)


tanah sebagai media tumbuh tanaman, (2) tanah sebagai benda alami
tiga dimensi di permukaan bumi yang terbentuk dari interaksi antara
bahan induk, iklim, organisme topografi dalam kurun waktu tertentu, (3)
tanah sebagai ruangan atau tempat di permukaan bumi yang digunakan
oleh manusia untuk melakukan segala macam aktivitasnya. Dalam
pengertian yang pertama, perhatian lebih ditekankan kepada kualitas
tanah. Dalam pengertian yang kedua, tanah diperlakukan sebagai bahan
galian atau tambang dan bahan nyatakan dalam berat (ton, kg) atau
volume (m3), sedangkan pada pengertian yang ketiga tanah dinilai
berdasarkan luas (ha, m2). Dalam Bahasa Inggris, dua pengertian yang
pertama setara dengan kata soil sedangkan pengertian yang ketiga setara
dengan istilah land.

2.1 Tanah Sebagai Objek Survei


Sifat tanah berubah secara berangsur ke arah vertikal dan horizontal di
mana perubahan satu sifat tidak selalu setahap dengan perubahan sifat
lainnya, sehingga kombinasi yang identik jarang ditemukan pada bentang
alam.

Meskipun demikian, tanah sebagai suatu individu juga diakui


batas-batasnya, baik sebagai suatu transisi maupun sebagai intergrades.
Sebagai suatu individu, tanah sangat berbeda dengan dunia hayati yang
tiap individunya mempunyai ciri tersendiri. Masing-masing spesies
mempunyai kisaran sifat yang sempit, sehingga mudah dibedakan satu
dengan lainnya.

Tanah menurut SoiI Survey Staff (1999; 2003) adalah kumpulan benda
alami di permukaan bumi yang dimodifikasi atau bahkan dibuat oleh
manusia dari bahan-bahan tanah, mengandung gejala-gejala kehidupan
dan mampu menopang pertumbuhan tanaman di lapangan. Tanah
meliputi horizon-horizon tanah yang terletak di atas bahan batuan dan
terbentuk sebagai hasil interaksi sepanjang waktu dari iklim, mahluk
hidup (organisme), bahan induk dan relief. Pada umumnya, tanah kearah
bawah beralih ke batuan yang kukuh (amat keras) atau ke bahan tanah
(yang tidak kukuh) yang tidak mengandung akar tanaman, hewan atau
tanda-tanda kegiatan biologi lainnya. Konsep tanah menurut sistim
taksonomi tanah merupakan suatu ‘kontinum' dan mempunyai pengertian
yang lebih luas, karena mencakup juga danau yang dangkal serta tanah
pertanian tua buatan manusia seperti yang terdapat di Belanda.

Batas atas tanah adalah batas antara tanah dan udara, air dangkal,
tumbuhan hidup atau bahan-bahan tumbuhan yang belum mulai melapuk.
Daerah yang dianggap tidak mempunyai tanah adalah apabila
permukaannya secara permanen tertutup oleh air yang terlalu dalam
(lebih dalam dari 2,5 meter) untuk pertumbuhan tumbuhan berakar.
Batas-batas horizontal tanah adalah wilayah di mana tanah berangsur
beralih ke air dalam, daerah-daerah tandus, batuan atau es (Gambar 2.1)
Padasebagian wilayah, pemisahan antara tanah dan bukan-tanah
sedemikian berangsur sehingga sulit ditentukan.

Batas bawah yang memisahkan tanah dari bahan bukan tanah yang
terletak di bawahnya adalah yang paling sulit ditetapkan. Tanah terdiri
atas horizon-horizon dekat permukaan bumi yang sangat berbeda dengan
bahan induk di bawahnya dan telah mengalami alterasi (perubahan) oleh
interaksi antara iklim, relief, dan jasad hidup selama kurun waktu tertentu.
Pada umunyanya, pada batas bawah tanah beralih berangsur ke batuan
keras atau ke bahan-bahan tanah yang sama sekali bebas dari fauna tanah,
perakaran, atau tanda-tanda kegiatan biologis lain. Meskipun demikian,
batas terbawah kegiatan biologis sulit dilihat dan seringkali terjadi secara
berangsur. Untuk tujuan klasifikasi, batas bawah tanah ditetapkan pada
kedalaman 200 cm. Pada tanah yang kegiatan biologis atau proses-proses
pedogeniknya sedang berlangsung dan dapat mencapai kedalaman rebih
dari 200 cm, batas bawah tanah untuk tujuan klasifikasi masih tetap 200
cm.

Dalam beberapa hal, batuan-batuan yang tersementasi Iernah


(bahan paralitik) harus dideskripsikan dengan teliti dan digunakan untuk
membedakan seri tanah (penggal penentu seri), sekalipun bahan-bahan
paralitik yang terletak di bawah kontak paralitik tidak dapat dianggap
sebagai tanah dalam pengertian yang sesungguhnya. Pada wilayah di mana
tanah mempunyai horizon-horizon tersementasi tipis yang tidak tembus
akar, tanah meluas ke bawah hingga sedalam horizon tersementasi yang
terdalam, tetapi tidak lebih dari 200 cm. Untuk tujuan-tujuan pengelolaan
tanah tertentu, lapisan-lapisan yang terletak lebih dalam dari batas bawah
tanah yang diklasifikasi (200 cm), harus juga dideskripsi apabila lapisan
tersebut memengaruhi kandungan dan gerakan air serta udara atau
apabila lapisan tersebut memengaruhi penggunaan tanah.

Mengacu kepada definisi tanah yaitu bahwa tanah harus mampu


menopang tumbuhan di lapangan (outsites), maka daerah yang tidak
mampu menyokong pertumbuhan tanaman di lapangan tidak termasuk
dalam pengertian tanah. Daerah yang dimaksud adalah daerah pantai,
daerah perkotaan, habitat perairan dalam, singkapan batuan dan glasier.
Daerah-daerah ini dutu* laporan survei tanah dipetakan sebagai daerah
aneka (miscellaneous areas) .

Tanah sebagai satuan tiga dimensi dengan variasi internal


disajikan dengan cara ‘multifactorial' dalam bentuk peta tanah, sebagai
satuan dua dimensi digambarkan pada peta tanah, sedang dimensi vertikal
(kedalaman) serta sifat-sifat internalnya disajikan dalam legenda Peta.

Peta tanah merupakan peta yang dibuat untuk memperlihatkan


sebaran taksa tanah dalam hubungannya dengan kenampakan fisik dan
budaya dari permukaan bumi. Gambar 2.2 menyajikan ilustrasi sederhana
tentang tanah di alam dan kenampakannya pada Peta tanah.

Pada setiap peta tanah digambarkan garis-garis batas (delineasi)


tanah-tanah yang dijumpai di lapangan. Garis batas tersebut berupa
poligon-poligon yang digambarkan pada peta tanah yang lazim disebut
satuan peta tanah (SPT), merupakan tubuh tanah yang mewakili keadaan
sebenarnya di lapangan (serupa dengan polipedon).
Dalam setiap peta tanah selalu berisikan lebih dari satu satuan
peta tanah. Pada setiap satuan peta tanah, dapat terdiri atas satu satuan
(taksa) tanah tertentu atau dapat pula terdiri atas dua atau lebih taksa
tanah, baik berupa asosiasi maupun kompleks tanah yang didefinisikan
dalam istilah taksonomi tanah atau sistem klasifikasi tanah lainnya. Hal ini
perlu ditegaskan, karena dengan demikian, peta yang hanya menyajikan
karakteristik-tunggal (single value) bukanlah merupakan peta tanah.

2.2 Macam-macam Peta Tanah


Survei tanah menghasilkan sebaran geografi kelas-kelas (taksa) tanah atau
sifat-sifat tanah yang disajikan dalam peta. Peta tanah dapat dibedakan
atas bermacam-macam jenis, tergantung dari berbagai sudut pandang
yaitu berdasarkan penyajian, tujuan (intensitas pengamatan) dan teknik
pelaksanaannya.

2.2.1 Berdasarkan Cara Penyajian

Berdasarkan cara penyajiannya, peta tanah dapat dibedakan sebagai


berikut:

1. Peta tanah bersimbolkan titik (Point soil maps). Peta yang


menunjukkan lokasi titik-titik pengamatan yang sesungguhnya
dilakuaan, disertai dengan nama taksa (kelas) tanah atau satu atau
lebih sifat-sifat tanah. Peta ini memberikan beberapa keuntungan,
yaitu dapat menyajikan secara langsung apa saja dan di mana telah
dilakukan pengamatan. Pengamatan hanya dilakukan pada
beberapa lokasi, sehingga tidak seluruh daerah survei diamati.
Pada peta ini tidak dapat diberlakukan pemodelan keragaman
spasial.
2. Peta tanah poligon kelas-areal. Daerah survei dibagi atas beberapa
poligon dengan menggunakan garis batas secara tegas. Masing-
masing- poligon diberi simbol dengan nama kelas dan tiap-tiap
kelas dalam legenda. Hampir semua peta survei tanah disajikan
dalam bentuk peta dalam kelompok dengan model vektor dalam
Sistem Informasi Geografi (SIG). Secara konseptual, peta ini
memenuhi model diskrit variasi spasial. Variasi yang memotong
lansekap dapat dibedakan dengan batas yang tegas dalam daerah
yang di petakan ke dalam m kelas dan kemudian ke dalam
delineasi individual. Masing-masing delineasi termasuk dalam
hanya satu kelas legenda.

Nama lain dari peta ini adalah peta tanah ‘chloropleth’ (yaitu peta
yang menggunakan gradasi rona atau warna yang berbeda untuk
menyajikan perbedaan satuan peta. Misalnya peta kebutuhan
kapur, peta kesesuaian tahan untuk tanaman tertentu dan lain-
lain).

3. Peta Lapangan Kontinyu yang dibuat dengan metode interpolasi.


Peta ini umumnya di sajikan dengan isoline atau pada grid halus
(Model Raster pada SIG). Peta ini memperlihatkan kontinyuitas
sebaran sifat tanah yang diduga dengan jalan interpolasi. Secara
konseptual, peta ini memenuhi model kontinyu dari variasi spasial.
Tidak ada batas yang tegas, semua variasi yang memotong
lansekap dianggap kontinyu
4. Peta Lapangan Kontinyu yang dibuat melalui pengamatan langsung
diseluruh daerah survei. Pada peta ini terdapat pengukuran aktual
yang dilakukan pada tiap-tiap ‘titik’ (dalam prakteknya yang relatif
tidak luas). Peta ini umumnya disajikan dengan peta grid (model
raster dalam SIG). Peta ini memperlihatkan sebaran sifat tanah
kontinyu yang diukur. Peta semacam ini sudah jarang digunakan
dan saat ini, peta semacam ini banyak digunakan dari parsel
individu untuk ‘ precision farming ‘. Contoh yang umum adalah peta
elevasi, indeks vegetasi (bukan peta tanah) yang menggunakan
bantuan wahana satelit atau pesawat terbang atau bahkan dengan
survei lapangan.
2.2.2 Berdasarkan Teknik Pelaksanaannya

Terdapat dua pendekatan yang dapat ditempuh oleh pemeta,dalam


membagi permukaan tanah sebagai suatu 'kontinum' kedalam suatu
satuan-satuan tertentu dalam membuat peta tanah. Kedua pendekatan
tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengamati, mendeskripsi dan mengklasifikasikan profil-profil


tanah (pedon) pada beberapa lokasi di daerah survei. Kemudian
membuat (mendelineasi) batas di sekitar daerah yang mempunyai
profil tanah yang serupa (memiliki taksa tanah yang sama), sesuai
dengan kriteria klasifikasi yang digunakan. Pendekatan ini disebut
pendekatan sintetik (synthetic approach).
2. Membagi kontinum' atas persil-persil atau satuan-satuan
berdasarkan pada pengamatan,perubahan dalam sifat-sifat tanah
'eksternal' (sifat bentang-alam), melalui interpretasi foto udara,
yang diteruskan dengan melakukan pengamatan dan
pengklasifikasian tanah untuk masing-masing satuan yang dibuat
tersebut. Pendekatan ini disebut pendekatan analitik (analytical
approach).

Gambar 2.3 menyajikan teknik pelaksanaan (cara pengamatan tanah)


survei tanah. Pendekatan sintetik (gambar paling atas) biasanya
dilakukan dengan menggunakan metode survei grid, sedangkan
pendekatan analitik menggunakan metode fisiografi, yaitu dengan
jalan menentukan batas (mendelineasi) satuan fisiografi/wujud-lahan
(landform) terlebih dahulu sebelum ke lapangan (gambar paling
bawah). Pada survei skala kecil, pendekatan kedua lebih sering
digunakan, sedangkan pada skala besar biasanya digunakan
pendekatan sintetik. Namun demikian, dalam praktiknya biasanya
kombinasi keduanya digunakan (gambar bagian tengah).
2.2.3 Berdasarkan Tujuan (lntensitas Pengamatan)

Tanah yang diamati dalam kegiatan survei tanah, setelah diklasifikasikan


berdasarkan sistem klasifikasi tanah yang digunakan perlu digambarkan
penyebarannya dalam peta tanah. Sebagai dasar pembuatan peta tanah
digunakan peta dasar yang umumnya berupa peta topografi atau peta rupa
bumi.

Jenis informasi dan tingkat ketelitian yang diperlukan sangat


ditentukan oleh tingkat survei tanah yang diterapkan.
Survei dan pemetaan tanah tidak hanya dapat memberikan
gambaran tentang macam tanah yang dijumpai, tetapi harus dapat
menggambarkan secara tepat di mana tanah tersebut dijumpai. Hal ini
tidak berarti bahwa tanah yang dijumpai haruslah homogen, melainkan
harus dapat menggambarkan bahwa pada suatu poligon yang
dicantumkan dalam satuan peta tanah (SFT) dapat diketahui satuan tanah
utama (yang mendominasi) dan satuan tanah pendamping. Untuk
menghindari rumitnya satuan dalam peta tanah, Van Wambeke (1986)
menyarankan luasan terkecil suatu satuan peta tanah (SPT) yang masih
diperbolehkan untuk disajikan dalam peta tanah adalah seluas 0,4 cm2.

Berdasarkan tujuannya (yang akan menentukan intensitas


pengamatan), survei tanah dibedakan atas 6 macarn, yaitu peta tanah
bagan, eksplorasi, tinjau, semi-detail, detail dan sangat detail (Tabel 2.1).
Masing-masing peta tersebut memiliki skala peta yang berbeda-beda.

Skala peta menunjukkan perbandingan jarak antara dua tempat


(titik) pada peta, dengan jarak sebenarnya di lapangan. Berikut ini akan
diuraikan secara singkat tentang masing-masing peta tersebut.

1. Peta Tanah Bagan

Peta ini dibuat sebagai hasil kompilasi dan generalisasi peta-peta


tanah eksplorasi atau peta tanah tinjau. Peta ini hanya digunakan
untuk memperoleh gambaran umum tentang sebaran tanah secara
nasional. Dalam pembuatannya tidak dilakukan pengamatan
lapangan. Skala peta sama atau lebih kecil dari 1: 2.500.000.

2. Peta Tanah Eksplorasi

Peta ini menyajikan keterangan yang sangat umum tentang


keadaan tanah dari suatu daerah. Biasanya peta ini dibuat dengan
survei yang dilakukan sepanjang jalan atau menggunakan
helikopter pada tempat-tempat tertentu yang dianggap
mempunyai perbedaan jenis tanah, yang ditunjukkan oleh
bentang-alam yang berbeda.
Biasanya survei ini dilakukan dengan bantuan interpretasi foto
udara atau citra satelit, dengan intensitas pengamatan lapangan
yang sangat rendah.
Skala peta bervariasi dari 1:500.000 hingga 1:5.000.000. Peta
ini hanya menggambarkan sebaran tanah secara umum untuk
penyusunan atlas nasional dan tidak dapat digunakan untuk
keperluan praktis, karena informasi tentang sifat-sifat tanah sangat
minim.

3. Peta Tanah Tinjau

Umumnya peta ini dibuat pada skala 1:250.000. Satuan peta


didasarkan atas satuan tanah-bentuk lahan atau sistem lahan yang
didelineasi melalui interpretasi foto udara dan atau citra satelit.
Pengamatan di lapangan kurang lebih 1 untuk 12,5 km2.

Peta ini dapat menggambarkan daerah-daerah yang berpotensi


untuk dapat dikembangkan lebih lanjut.

4. Peta Tanah Semi-detail

Peta ini umumnya dibuat dengan skala 1:50.000, dengan intensitas


pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 hektar, tergantung dari
kerumitan bentang lahan. Biasanya dilakukan dengan sistim grid
yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit.
Peta ini memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih
terperinci serta dapat menunjukkan lokasiproyek yang akan
dilaksanakan. Peta ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang potensi pertanian serta penggunaannya untuk berbagai
bentuk pengelolaannya

5. Peta Tanah Detail

Peta ini biasanya dibuat dengan skala 1:25.000 dan 1:10.000 serta
ditujukan untuk mempersiapkan pelaksanaan suatu proyek
termasuk proyek konservasi tanah (misalnya teknik-teknik
konservasi yang bisa dan cocok diterapkan pada masing-masing
satuan peta atau pada suatu demplot). Oleh karena itu, sifat dan
ciri tanah hendaklah diuraikan sedetail mungkin.
Batas satuan peta tanah didelineasi di lapangan dengan bantuan
foto udara yang didasarkan pada kemiringan lereng.

Jumlah pengamatan untuk adalah sekitar 1 untuk setiap 2 ha


hingga 12,5 ha (Tabel2.1).

6. PetaTanah Sangat Detail

Peta tanah sangat detail mempunyai skala Pengamatannya atau


lebih untuk setiap hektarnya. Peta ini ditujukan untuk penelitian
khusus, misalnya untuk petak percobaan pertanian guna
mempelajari variabilitas responstanaman terh adap pemupukan
atau perlakuan tertentu dan lain-lain.

2.3 Legenda Peta Tanah


Setiap peta tanah selalu disertai dengan suatu daftar atau tabel penjelasan
yang disebut legenda peta yang sangat bermanfaat, untuk memudahkan
dalam membaca peta tersebut. Legenda peta tanah berfungsi
mengidentifikasikan satuan peta serta memberikan informasi tentang
satuan-satuan yang terdapat dalam suatu peta tanah. satuan peta tanah
dalam setiap peta ditandai dengan simbol yang unik yang dapat berupa
warna, nama atau atribut lainnya.

Legenda peta tanah terdiri atas dua bagian, yaitu simbol dan
uraian atau deskripsi. Di dalam uraian terkandung informasi penting
mengenai tanah masing-masing satuan yang digambarkan oleh simbol
satuan peta. Informasi tersebut meliputi:

Keadaan drainase,
Kedalaman tanah
Keadaan erosi
Tekstur tanah
Keadaan batuan
Warna dan karatan
Aspek kesuburan (pH, salinitas)
Konsistensi tanah
Relif mikro

Informasi di atas sangat diperlukan oleh pemakai yang bukan ahti


tanah. Sedangkan informasi lain yang sangat penting bagi ahli tanah ialah
nama taksa tanah yang ditunjukkan oleh nama tanah menurut sistem
klasifikasi tanah yang digunakan (misalnya menurut Taksonomi Tanah
USDA atau Klasifikasi Tanah FAO) yang terdapat dalam satuan tersebut.

Pada satuan peta majemuk (lihat Bab 3), komposisi satuan klasifikasi
tanah, haruslah dijelaskan. Perlunya mencantumkan klasifikasi tanah ini
adalah memudahkan tujuan korelasi dengan tanah-tanah di tempat lain.

Dalam pemetaan tanah yang menggunakan metode fisiografi (dengan


bantuan interpretasi foto udara atau citra inderaja lainnya), biasanya
menggunakan legenda eksptilatif,sedangkan dalam survei dengan metode
grid, umumnya menggunakan legenda taksonomikal dan kadang legenda
mekanikal. Metode grid dan fisiografi akan dijelaskan dalam Bab 3.

Tabel-tabel berikut ini menyajikan contoh unsur-unsur yang harus ada


dalam suatu legenda peta tanah tinjau skala 1:250.000 (Tabet 2.2),
semidetail (Tabel 2'3), dalam Proyek LREP-II, dan peta tanah detail (Tabef
2.4).
2.4 Peta Dasar
Peta dasar adalah peta yang digunakan sebagai dasar untuk membuat peta
tanah atau wadah untuk menggambarkan delineasi satuan peta tanah.

Sebagai peta dasar dapat digunakan peta vegetasi/ penggunaan


lahan, peta iklim atau peta lainnya yang tersedia, asal diterbitkan oleh
instansi resmi dan mempunyai ketelitian yang tinggi baik isi maupun
skalanya. Dalam praktik umunnya menggunakan peta topografi atau peta
rupa bumi sebagai peta dasar.

Namun demikian, karena belum seluruh daerah di Indonesia


terliput oleh peta topografi (rupa bumi), kadang-kadang perlu disediakan
peta dasar dari citra penginderaan jauh (remote sensing), baik dari foto
udara (untuk skala besar) maupun citra satelit (untuk skala kecil).

Instansi pemerintah maupun swasta yang bergerak dalam


pembuatan peta di Indonesia, umunnya menghasilkan peta yang berbeda
kualitas maupun akurasinya untuk peta daerah yang sama. Hal ini
disebabkan karena belum adanya keseragaman di antara instansi-instansi
tersebut. Pembuatan peta terpaksa dilakukan tanpa koordinasi karena
terdesak oleh kebutuhan akan peta.

Sekalipun peta dasar ini bukan merupakan tanggung jawab ahli


(pemeta) tanah, tetapi karena alasan di atas, pemeta tanah harus dapat
menyediakan peta dasar untuk pembuatan peta tanah yang menjadi tujuan
utamanya. Pengetahuan tentang pembuatan mosaik foto perlu dikuasai
untuk dapat menghasilkan peta yang baik. Bantuan perangkat-lunak
komputer seperti PCI Geomatic akan membantu menyediakan peta dasar
untuk peta tanah berupa peta mosaik orthofoto. Gambar 2.6 menyajikan
contoh mosaik-foto yang digunakan sebagai peta dasar dalam menyajikan
hasil survei tanah. Peta tanah berskala besar (detail hingga sangat detail)
umumnya disarankan untuk menggunakan mosaik ortofoto sebagai peta
dasar, karena akan memudahkan pengguna peta dalam melakukan
orientasi di lapangan.
Saat ini Bakosurtanal (Badan Koordinasi Pemetaan Nasional) yang
merupakan instansi yang bertanggung jawab dalam penyediaan peta
(topografi/rupa bumi), telah dapat menyediakan peta rupa bumi untuk
sebagian besar wilayah di Indonesia sekalipun dengan skala yang
beragam. Beberapa diantara peta tersebut juga tersedia dalam format peta
digital. Pada Gambar 2.4 disajikan contoh liputan peta rupa bumi untuk
Pulau sumatera yang diterbitkan oleh Bakosurtanal (2004).

Dalam memutuskan memilih peta dasar untuk pembuatan peta


tanah, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Waktu pembuatan Peta.

Semakin muda umur peta, semakin baik karena tanda-tanda yang


terdapat pada peta umumnya lebih sesuai dengan kondisi lapangan.

2. Akurasi Peta
Hal ini terutama terkait dengan pengukuran-pengukuran di lapangan
yang menyangkut jarak, luasan dan lain-lain.

3. Skala

Idealnya skala peta yang digunakan untuk pengamatan lapangan


adalah dua kali lebih besar dari skala peta publikasi.
2.5 Kualitas Peta Tanah

Pusat Penelitian Tanah dan agroklimat (1995) mengemukakan bahwa


kualitas peta tanah ditentukan oleh sifat mudah dibaca, batas ukuran
minimum, dan tekstur peta. uraian rebih rinci akan dikemukakan di bawah
ini.

2.5.1 Sifat mudah Dibaca (Map legibility)

Sifat mudah dibaca menunjukkan mudah tidaknya pengguna peta


membaca informasi yang terdapat pada petal peta tanah harus dapat
menyajikan infomasi secara jelas, padat dan menarik. Mudah tidaknya
suatu peta tanah untuk dibaca ditentukan oleh:

Jumlah poligon satuan peta tanah


Warna yang membedakan satuan peta yang satu dengan lainnya
Gambaran topografi yang digambarkan pada peta
Kualitas penyajian peta

Peta yang menyajikan banyak poligon berukuran kecil sulit dibaca.


Warna yang dipilih untuk masing-masing satuan peta dibuat agar menarik
dan sedapat mungkin mencerminkan sifat tanah. Misalnya Mollisol diberi
warna hijau, oxisol berwarna merah dan sebagainya.

Pada peta tanah harus disajikan informasi yang memudahkan


untuk orientasi peta di lapangan seperti sungai, jalan, gunung, desa, garis
kontur, nama-nama (tempat, sungai, gunung dan sebagainya). Namun
demikian, gambaran topografi tersebut jangan disajikan terlalu banyak
karena akan menyulitkan pembacaan peta.

Selain itu map legibitity dipengaruhi oleh kualitas cetakan, kertas,


layout dan sebagainya. Kaidah-kaidah di dalam kartografi harus menjadi
perhatian dalam menyajikan peta tanah.
2.5.2 Delineasi Ukuran Minimal (Minimum Size Delineation)

Delineasi atau batasan ukuran minimal merupakan suatu luasan terkecil


yang masih dapat digambarkan pada peta. Pada dasarnya ukuran tersebut
merupakan parameter kartografi, karena setiap poligon pada suatu peta
harus tertulis simbol satuan petanya. Simbol tersebut harus tertulis
dengan ukuran tertentu, sehingga masih dapat dibaca.

Batasan ukuran poligon minimal sebagaimana dikemukakan


sebelumnya adalah 0,4 cm2 (untuk yang berbentuk bulat), sedangkan
untuk poligon berbentuk memanjang dan sempit, harus lebih besar (dari
aspek luasannya) agar dapat memuat simbol satuan peta.

2.5.3 Tekstur Peta Tanah

Tekstur peta tanah mencerminkan banyaknya sebaran poligon-poligon


satuan peta tanah yang terdapat pada suatu peta. Suatu peta dikatakan
bertekstur kasar apabila poligon-poligonnya berukuran besar, sedangkan
jika sebagian besar poligonnya merupakan poligon-poligon kecil, disebut
bertekstur halus.

Selain itu apabila poligon-poligon yang ada di dalam peta tersebut


merata disebut ber"intensitas mono", sedangkan apabila dalam suatu peta
terdapat dua atau lebih kelompok tekstur peta tanah maka disebut
ber”intensitas multi". Tekstur peta tanah tersebut mencerminkan
kerumitan keadaan tanah di lapangan. wilayah yang homogen akan
memperlihatkan intensitas mono, sedangkan wilayah yang variasi
landformnya sangat beragam akan menunjukkan intensitas multi.

Peta tanah bertekstur halus sulit dibaca, sebaliknya peta tanah yang
bertekstur kasar mudah dibaca.

***
III
PRINSIP-PRINSIP SURVEI TANAH

D alam melakukan survei tanah, terdapat beberapa prinsip dasar yang


harus dipahami. Prinsip-prinsip tersebut akan diuraikan di bawah ini.

3.1 Satuan Peta Tanah dan Satuan Taksonomi


Satuan peta tanah (satuan peta) dan satuan taksonomi merupakan dua
istilah yang berbeda. satuan peta tanah merupakan satuan yang dibatasi di
lapangan berdasarkan pada kenampakan bentang alam (Iandscape).
Satuan taksonomi (satuan tanah) merupakan satuan yang diperoleh dari
menentu-kan suatu selang sifat (range in characteristic) tertentu dari sifat-
sifat tanah yang didefinisikan oleh suatu sistem klasifikasi tanah. Setiap
satuan peta tanah bisa berisi satu atau lebih satuan taksonomi tanah.

3.1.1 Satuan peta Tanah

Satuan peta tanah (soil mapping unit) atau satuan peta terdiri atas
kumpulan semua delineasi yang di tandai oleh simbol, warna, nama atau
lambang yang khas padi suatu peta. Delineasi tanah (soil delineation)
adalah daerah yang dibatasi oleh suatu batas tanah pada suatu peta.
umumnya peta tanah terdiri atas lebih dari satu satuan peta. Data atau
informasi dari masing-masing satuan peta yang terdapat dalam peta tanah
dijelaskan dalam legenda peta.

Satuan peta ialah satuan lahan yang mempunyai sistem


fisiografi/landform yang sama, yang dibedakan satu sama lain dilapangan
oleh batas-batas alami dapat dipakai sebagai satuan evaluasi lahan.
Satuan-satuan yang dihasilkan umumnya berupa tubuh lahan yang
memiliki ciri-ciri tertentu yang dibedakan oleh batas-batas alami di tempat
terjadinya perubahan ciri-ciri yang paling cepat ke arah lateral.
Pendekatannya merupakan pendekatan fisiografis.

Satuan peta tanah disusun untuk menampung informasi penting dari


suatu luasan (poligon) tentang hal-hal yang berkaitan dengan survei tanah.
Satuan peta tanah harus dengan mudah dapat dikenali, diukur, dan dapat
dipetakan pada skala yang tersedia dari peta dasarnya, waktu yang
tersedia, kemampuan dari para pemetanya, dan tujuan dari survei
tersebut.

Dalam taksonomi tanah dikenal istilah pedon dan poipedon. Pedon


dianggap terlalu kecil untuk dapat menunjukan kenampakan yang lebih
luas seperti lereng dan permukaan berbatu. Polipedon, seperti
dikemukakan dalam taksonomi tanah, merupakan suaatu satuan
klasifikasi, tubuh tanah dan homogen pada tingkat seri dan cukup luas
untuk menggambarkan semua karakteristik tanah yang dipertimbangkan
dalam deskripsi dan klasifikasi tanah (Gambar). Polipedon jarang
bertindak sebagai sesuatu yang nyata untuk klasifikasi karena amat sangat
sulit menemukan batas suatu polipedon di lapangan dan karena adanya
kontradiksi dan circular nature dari konsep tersebut. Ahli tanah
mengklasifikasikan pedon tanpa memperhatikan batasan ukurannya, yang
secara sadar atau tanpa disadari mengaitkan berbagai sifat-sifat yang lebih
luas yang dibutuhkan dari daerah sekitar tanah tersebut ke pedon.
Polipedon mengaitkan tubuh tanah nyata di alam kepada konsep mental
dari klas taksonomi.

Oleh karena itu, batasan dari polipedon ini secara konsepsional awal
sama dengan batasan dari seri tanah, yaitu yang merupakan kategori
terendah dari sistem klasifikasi taksonomi tanah. Dengan demikian, setiap
polipedon dapat diklasifikasikan kedalam seri tanah, hanya saja bahwa
seri tanah mempunyai selang sifat yang lebih lebar daripada polipedon.
Polipedon memiliki luasan minimal > 1 m2 dan maksimalnya tidak
terbatas.
Menurut Soil Survei Division Staff (1998), satuan peta merupakan
kumpulan daerah-daerah (area) yang didefinisikan dan komponen tanah
atau daerah aneka atau kelua-duanya di beri nama yang sama. setiap
satuan peta tanah berbeda dalam beberapa dengan yang lainnya dalam
suatu daerah survei dan secara unik didefinisikan pada suatu peta tanah.
Masing-masing daerah (luasan) pada peta tersebut disebut delineasi.
Satuan peta terdiri atas 1 atau lebih komponen (taksa) tanah. Komponen
individu dari suatu satuan peta mewakili kumpulan polipedon-polipedon
atau bagian-bagian dari polipedon yang merupakan anggota dari taksa
tersebut atau macam dari daerah aneka.

Pada Gambar 3.1 disajikan ilustrasi kaitan antara bentang lahan (soil-
scape), polipedon (tanah individu), pedon, dan profil tanah. Lanskap dapat
disamakan dengan satuan peta tanah.

Satuan peta (mapping unit) berbeda dengan satuan taksonomi tanah


(taxonomic unit), seperti yang akan diuraikan pada Gambar 3.1.

3.1.2 Satuan Taksonomi

Satuan taksonomi adalah sekelompok tanah dari suatu sisten klasifikasi


tanah; masing-masing di-wakili oleh suatu profil tanah yang
mencerminkan 'central concept' (konsep pusat) dengan sejumlah kisaran
penyimpangan sifat-sifat dari konsep pusat tersebut. Jadi satuan
taksonomi tanah menentukan suatu selang tertentu dari sifat-sifat tanah
dalarn kaitannya dengan selang sifat tanah secara total dalam suatu sistem
klasifikasi tanah tertentu. Pendekatannya merupakan pendekatan
morfologik.

Satuan taksonomi tanah seringkali dibuat tanpa mempertimbangkan


fakta-fakta yang ada di lapangan. Misalnya kita dapat saja
mengelompokkan tanah-tanah dengan lapisan-bawah berwarna kelabu
sebagai kelas tersendiri dan yang memiliki kontak litik yang dangkal
sebagai keras yang lain. Pengelompokan ini mungkin dapat didelineasi
pada peta, tetapi pada umumnya sangat sukar dilakukan karena tidak
terlihat di lapangan secara langsung. orang yang melakukan klasifikasi
atau pengelompokkan tadi menciptakan konsep yang abstrak. yang dapat
diterima sebagai anggota suatu kelas hanyalah tanah-tanah yang
memenuhi sifat-sifat tertentu. Kelas yang berwarna kelabu merupakan
suatu taksa di dalam sistem taksonomi, sebagai suatu pembagian lebih
lanjut dari tanah yang universal. Masing-masing nama tersebut akan
menunjuk semua tanah yang mempunyai sifat-sifat yang telah ditentukan.
Hampir tidak mungkin mendelineasi secara akurat padapeta daerah-
daerah yang benar-benar termasuk ke dalam satu kelas taksonomi di
lapangan. Artinya tidak seorangpun yang mampu memetakan tanah
dengan satuan taksonomi. Semua tanah tersembunyi dibawah permukaan.
Hanya kenampakan permukaan dan sifat-sifat permukaan tanah yang
terlihat. Dengan demikian tidak mungkin menelusurinya di lapangan.

Menurut van Wambeke dan Forbes (19g6), perbedaan yang prinsip


antara satuan taksonomi dan satuan peta adalah satuan taksonomi
merupakan suatu konsep yang dihasilkan dari membagi tanah sejagat (soil
universal), sedangkan satuan peta merupakan hasil dari pengelompokan
delineasi tanah yang mempunyai nama, simbol, warna, atau lambang khas
lainnya yang sama pada suatu peta yang dapat dikenali, diukur, dan
dipetakan di lapangan dengan mudah.

Komponen dari satuan peta tanah berbeda-beda, tergantung pada


skala survei tanah. Semakin besar skala peta tanah semakin banyak jumlah
pengamatan yang dilakukan dan semakin rendah kategori dari satuan
taksonomi.

Untuk menggambarkan perbedaan keduanya, dapat dilihat pada


Gambar 3.3 dan Gambar 3.4. Kenampakan permukaan bentang-alam
sangat membantu pemeta dalam mendelineasi satuan peta tanah. Tanah-
tanah yang berada dalam suatu delineasi (satuan) peta, seringkali tidak
semuanya dapat dikelompokkan kedalam satu satuan taksonomi,
melainkan termasuk dua atau lebih satuan taksonomi yang berbeda.

Karena satuan peta mengikuti kenampakan bentang-alam, dapat


dikatakan bahwa satuan peta itu benar-benar terdapat di alam dan dapat
dilihat serta diraba, sedangkan satuan taksonomi merupakan sesuatu yang
abstrak.

Klasifikasi (taksonomi) tanah merupakan pengembangan konsep


fikiran manusia. Dalam hal ini satuan taksonomi tanah adalah buatan
mantsia, sedangkan satuan peta merupakan batas tanah sesungguhnya
(merupakan tubuh tanah alami).

Berikut adalah fungsi sistem klasifikasi tanah:

- Sebagai media komunikasi bagi para pakar tanah, penyuluh,


Peneliti, dan lain-lain.

- Mengekstrapolasikanhasil-hasil penelitian.

Beberapa sistem klasifikasi tanah yang digunakan sebagai satuan


taksonomi di Indonesia antara lain sistem Puslittan (1981) yang
merupakan penyempurnaan dari sistem Dudal dan Suprptohardjo (1957),
sistem FAO-Unesco (1974; 1998) dan sistem Soil Taxonomy menurut
USDA (SoiI Survey staff, 1999, 2003). Padanan nama tanah ketiga sistem
klasifikasi tanah tersebut akan dibahas dalam Bab 6.
3.2 Satuan Peta Tanah dalam Survei Tanah
Satuan peta tanah (SPT) dibuat tergantung tingkat ketelitian survei atau
tingkat pemetaan yang dilakukan, sehingga satuan peta tanah dapat
memiliki kisaran karakteristik yang luas maupun sempit. Macam satuan
peta tanah menurut (Wambeke dan Forbes, 1986) ada ,yaitu konsosiasi,
asosiasi, kompleks, dan kelompok tak dibedakan ('undifferentiated
groups’) yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Satuan peta tanah sederhana (simple mapping unit). Satuan peta
ini hanya mengandung satu satuan tanah saja atau terdapat tanah lain
yang disebut sebagai inklusi. Satuan peta tanah ini banyak dijumpai
pada survei tanah detail, dari daerah yang relatif seragam. Satuan peta
ini disebut konsosiasi. Menurut Wambeke dan Forber (1986),
konsosiasi merupakan satuan peta yang didominasi oleh satu satuan
tanah dan tanah yang mirip (similar soil). Sekurang-kurangnya 50%
dari pedon-pedon yang ada di dalam satuan peta tersebut sama
dengan yang tertulis dalam satuan peta tanah, sedangkan pedon-
pedon atau tanah-tanah yang berbeda (dissimilar soil) yang disebut
inklusi, dalam satuan peta konsosiasi tidak lebih dari 25%, l5% atau
l0%, tergantung dari sifatnya yang diuraikan sebagai berikut:
Jika tanah yang berbeda tersebut lebih baik atau sama dengan
tanah utamanya, maka diperkenankan 25%.
Jika tanah yang berbeda tersebut bersifat sebagai pembatas untuk
penggunaannya, maka hanya diperkenankan hingga 15%.
Jika tanah yang berbeda tersebut berbeda kontras dan merupakan
faktor pembatas yang berat, maka hanya diperbolehk an hingga
10%.

Sedangkan sisanya merupakan tanah-tanah yang serupa (similar soil).


Gambar 3.5 menyajikan ilustrasi komposisi antara nama tanah yang
tercantum daram legenda, similar soils dan dissimilar soils dalam
satuan peta tanah.
2. Satuan peta tanah majemuk (compound mapping unit),terdiri atas
dua satuan tanah atau lebih yang berbeda (dissimilar soil). Biasanya
satuan peta tanah ini digunakan pada survei tinjau atau survei lainnya
yang berskala kecil pada daerah yang rumit/ heterogen. Satuan peta
tanah majemuk dibedakan menjadi:
a. Asosiasi tanah, yaitu sekelompok tanah yang berhubungan
secara geografis, tersebar dalam suatu satuan peta menurut pola
tertentu yang dapat diduga posisinya, tetapi karena kecilnya skala
peta, taksa-taksa tanah itu tidak dapat dipisahkan.
Setiap komponen dideskripsi secara terperinci tanpa ada
perbedaan.
Posisi geografis masing-masing anggota satuan peta dalam
bentang-alam diterangkan dengan jelas, sehingga
memungkinkan untuk diperhalus oleh pemakai peta.

b. Kompleks tanah, merupakan sekelompok tanah dari taksa yang


berbeda, yang berbaur satu dengan lainnya dalam suatu delineasi
(satuan peta) tanpa memperlihatkan pola tertentu atau
menunjukkan pola yang tidak beraturan.
Meskipun ada komponen tanah yang berasosiasi secara
geografis, tetapi tidak dapat dipisahkan kecuali pada tingkat
amat detail.

Menurut Wambeke dan Forbes (1986), satuan peta tanah


dikatakan kompleks jika komponen utama dalam satuan peta
kompleks tidak dapat membentuk satuan peta tersendiri jika
dipetakan pada skala 1 : 24.000. Pada skala tersebut luasan 0,4 cm2
pada peta adalah 2,3 ha dilapangan. Komponen utama dalam
satuan peta asosiasi jika dipetakan pada skala tersebut dapat
membentuk satuan peta tersendiri.

Dengan perkataan lain, jika komponen satuan-satuan tanah dalam


satuan tanah tersebut didelineasi dan luasnya lebih dari 2,3 hektar
maka satuan tanah tersebut adalah asosiasi; sedangkan apabila
kurang dan2,3 hektar maka termasuk ke dalam kompleks.

c. Kelompok tak dibedakan (undifferentiated groups), terdiri


atas dua atau lebih tanah yang secara geografis tidak selalu
berupa konsosiasi tetapi termasuk dalam satuan peta yang sama
karena penggunaan dan pengelolaannya sama atau mirip. Tanah-
tanah tersebut dimasukkan ke dalam satuan peta yang sama
karena sama-sama mempunyai sifat sebagai berikut: berlereng
terjal, berbatu, mengalami pengaruh banjir yang cukup parah
sehingga membatasi penggunaan dan pengelolaaanya.

Ketentuan proporsi dari masing-masing tanah yang menyusunnya


sama dengan asosiasi atau kompleks.

Beberapa kriteria untuk menetukan satuan peta menurut Dent dan


Young (1991) adalah:

1. Satuan peta hendaknya sehomogen mungkin (tidak perlu mempunyai


karakteristik yang seragam, tetapi variasi dalam satu satuan peta
dipertahankan dalam batasan yang telah dibuat). Macam variasi
hendaklah tetap konsisten dengan semua satuan peta yang
mempunyai nama yang sama.
2. Pengelompokan hendaknya mempunyai nilai praktis.
3. Harus memungkinkan untuk memetakan satuan secara konsisten.
4. Pemetaan hendaklah diselesaikan dalam waktu yang layak dan dengan
peralatan yang umum. Sifat tanah yang digunakan dalam pemetaan
haruslah (terutama) dapat diamati dan dirasakan seperti warna dan
tekstur. Banyak sifat-sifat tanah penting didalam praktek seperti unsur
hara misalnya, tidak dapat langsung diamati dan dipetakan di
lapangan. Hubungan sifat tanah yang dapat diamati dan sifat tanah
penting lainnya harus ditemukan selama survei.
5. Sifat tanah yang reratif stabil, seperti tekstur dan litologi, hendaklah
digunakan untuk memberi batasan satuan taksonomi, bukan sifat yang
cepat berubah dengan pengelolaan, seperti struktur atau bahan
organik tanah-atas.

Satuan taksonomi tanah pada masing-masing satuan peta tanah,


baik satuan sederhana maupun majemuk, tergantung dari skala peta final
yang akan dihasilkan. Makin besar skala makin rendah kategori klasifikasi
(taksonomi) tanah yang digunakan (lihat Tabei 2.1).

Dalam survei tanah detail, satuan peta yang sering digunakan


adalah:
1. Seri tanah, merupakan sekelompok tanah yang memiliki ciri dan
perilaku serupa, berkembang dari bahan induk yang sama dan
mempunyai sifat-sifat dan susunan horizon, terutama di bagian bawah
horizon olah dan sama dalam rezim kelembaban dan suhu tanah.
Nama seri diambil dari nama lokasi pertama kali ditemukan seri tanah
tersebut. Misal Seri Labuanteratak.
2. Fase tanah, merupakan pembagian lebih lanjut dari seri tanah sesuai
dengan ciri-ciri penting bagi pengelolaan/penggunaan lahan, seperti
drainase, erosi.
Fase dapat juga digunakan pada tingkat kategori lainnya seperti famili,
sub-group dan lain-lain. Uraian selanjutnya disajikan dalam subbab
3.3.
3. ‘Soil variant’, merupakan tanah-tanah yang sangat mirip dengan seri
yang sudah ditemukan, tetapi berbeda dalam beberapa sifat penting.
Hal ini mengurangi banyaknya seri tanah yang mungkin ditemukan
dalam suatu survei, dimana perbedaannya tidak terlalu besar. 'Soil
variant' dapat menjadi seri tersendiri, jika pengkajian lapangan telah
dilakukan lebih intensif.

3.3 Penamaan Satuan Peta Tanah


Penamaan satuan tanah yang dikemukakan dalam hal ini adalah penamaan
menggunakan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah USDA (Soil Survey Staff,
1990; 2003), seperti dikemukan dalam Hardjowigeno, Marsoedi dan
Ismangun (1993).

Satuan peta tanah terdiri atas satuan tanah dan fasenya. Kategori
untuk penamaan satuan tanah tergantung dari skala pemetaan skala besar
(pemetaan detail) menggunakan kategori rendah (famili atau seri),
sedangkan skala,kecil menggunakan kategori tinggi (sub-grup, great-
group, sub-ordo atau ordo). Masing-masing kategori dapat menggunakan
satuan fase.

Fase merupakan segala sifat tanah atau faktor lingkungan yang


mempengaruhi penggunaan tanah dan pertumbuhan tanaman. Biasanya
merupakan sifat-sifat atau corak tambahan suatu seri tanah atau satuan
tanah lainnya dalam kategori klasifikasi tanah. Misalnya tekstur lapisan
atas, kemiringan lahan (lereng), batuan di atas permukaan maupun di
dalam profil tanah dan sebagainya.

1. Konsosiasi

Cara penamaannya mengikuti ketentuan sebagai berikut:

Nama pertama terdiri dari satuan tanah atau taxon yang


kemudian diikuti dengan fase.
Untuk fase tekstur lapisan atas atau lapisan bahan organik di
permukaan tidak disertai dengan tanda ‘koma’. Contoh: Ciawi liat.
Tidak ditulis Ciawi,liat.
Jika fase tekstur lapisan atas juga berbatu, berkerikil dan
sebagainya, maka penulisannya adalah Cobanrondo skeletal
berliat.
Jika fase tekstur lapisan atas tidak digunakan tetapi karena
berbatu, berkerikil dsbnya, maka penulisannya menggunakan
'koma'. Contoh: Cobanrondo, berbatu.
Untuk dua atau tiga fase, digunakan 'koma'. Contoh: Pujian liat,
lereng 15-20%, tererosi.
Penulisan fase erosi, ditulis paling belakang.
Penulisan fase lereng ditulis paling belakang kecuali jika ada fase
erosi. contoh: Pujian skeletal berliat, substratum padas, lereng l5-
30%o, tererosi.

2. Kompleks

Ditulis kata 'kompleks; jika fase dari masing-masing taxon tersebut


tidak sama, misalnya tekstur lapisan atas tidak sama. Contoh :
Kompleks Cobanrondo-Sebaluh.
Kata 'kompleks' tidak ditulis jika fase tekstur lapisan atas seri-seri
tanah yang menyusunnya sama. Contoh: Jeho-Cula liat.

Perhatikan beberapa contoh berikut:


Kompleks Sedep-Pali, berbatu (kedua seri tsb mempunyai fase
berbatu di permukaan).
Kompleks Batu-Tandem, Iereng 5 – 8% (keduanya mempunyai fase
lereng sama).
Tandem-Toki liat, lereng 5 – 8% (keduanya mempunyai fase
tekstur lapisan atas dan lereng sama).
Kompleks Toki berbatu-Lante (hanya seri Toki yang mempunyai
fase berbatu).

3. Asosiasi

Berbeda dengan kompleks, maka kata Asosiasi selalu digunakan.


Perhatikan contoh berikut:

Asosiasi Cangar-Batu, terjal (dua seri tanah dengan fase lereng


terjal).
Asosiasi Cangar, terjal-Batu (fase lereng terjal hanya pada seri
Cangar).
Asosiasi Typic Fragiochrepts-Aeric Fragioaquepts (asosiasi sub-
grup).

4. Kelompok tak dibedakan ('Undifferentiated groups')

Untuk penamaan, digunakan kata dan guna menggabungkan satu seri


dengan seri lainnya. Atau digunakan kata 'tanah' didepan nama seri
tanah tersebut. Contoh:

Batu dan Cangar lempung berdebu, atau tanah Batu dan Cangar
Tanah Ciasem dan ldo, sangat terjal
Tanah Pendem dan Dau, sangat berbatu.

3.3.1 lnklusi dalam Satuan Peta Tanah

Dalam setiap satuan peta tanah, hampir selalu mengandung satuan tanah
lain yang di dalam Legenda Peta Tanah namanya tidak muncul. Satuan
tanah ini disebut inklusi.
Inklusi tersebut terlalu kecil untuk dideliniasi tersendiri, atau
kadang memang tidak teramati dengan metode survei yang dilakukan. Hal
ini berkaitan dengan ketentuan bahwa deliniasi terkecil datam peta adalah
0'4 cm2 (USDA, 1989).

Inklusi dapat berupa tanah yang serupa atau tanah yang tidak
serupa dengan tanah yang digunakan sebagai nama satuan peta tersebut.
Tanah yang tidak serupa dapat pula berupa tanah tanah penghambat
(limiting) atau tanah yang bukan penghambat (non limiting).

1. Inklusi tanah serupa


Mempunyai beberapa sifat penciri yang sama dengan sifat tanah
utama.
Berperilaku dan berpotensi serupa dengan tanah utama.
Memerlukan usaha konservasi dan pengelolaan yang sama dengan
tanah utama.

Contoh: Typic Argiaquolls dan Udollic Ochraqualfs. Kedua tanah ini


mempunyai persamaan sifat dalam hal:

Kelembaban tanah
Kejenuhan basa
Kandungan bahan organik
Memiliki perbedaan tidak lebih dari 2 atau 3 kriteria.

Kesamaan sifat dapat terjadi pada sembarang tingkat kategori


(fase, seri, famili, subgroup)

2. Inklusi tanah tidak serupa


Tidak mempunyai kesamaan terhadap sifat-sifat peneiti penting
atau memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan tanah utama.
Perbedaan antara tanah yang tidak serupa dapat dalam arti
banyaknya sifat tanah yang berbeda atau besarnya tingkat
perbedaan, atau kedua-duanya.
Perbedaan dapat terjadi pada tingkat fase, seri, famili atau kategori
yang lebih tinggi. Tanah tidak serupa dapat sebagai penghambat
atau bukan penghambat.
Contoh: Tanah sempit dengan lereng I5 - 25 persen yang
merupakan inklusi dalam satuan peta tanah dengan lereng dominan 4 -
8 persen dapat merupakan penghambat serius penggunaan tanah di
daerah tersebut. Inklusi ini disebut inklusi penghambat.

Berikut adalah keterangan dari dua macam inklusi, yaitu:

Inklusi penghambat
Adalah inklusi tanah tidak serupa yang mempunyai faktor
penghambat lebih besar dari tanah utama atau memengaruhi
tingkat pengelolaannya.
Inklusi bukan penghambat
Adalah inklusi tanah tidak serupa dengan faktor penghambat lebih
rendah daripada tanah utama. Tidak akan mempengaruhi
interpretasi terhadap potensi satuan peta tersebut.

3.3.2 Fase Tanah

Fase merupakan pengelompokan tanah secara fungsional yang bermanfaat


untuk memprediksi potensi tanah di daerah yang disurvei. Semua sifat
yang memengaruhi potensi tanah yang tidak digunakan sebagai pembeda
pada tingkat seri tanah atau kategori yang lebih tinggi, dapat digunakan
sebagai pembeda untuk fase.

Fase yang biasa digunakan untuk seri tanah menurut


Hardjowigeno, Marsoedi dan Ismangun (1993) adalah sebagai berikut:

1. Tekstur lapisan atas tanah mineral


Fase tekstur diambil dari nama tekstur lapisan atas.
Bila terdapat lapisan tipis bahan organik di permukaan, maka
nama tekstur diambil dari tekstur setelah lapisan sampai
kedalaman paling sedikit 12 cm(tetapi tidak lebih dari25 cm
dicampur).
Untuk tanah yang mempunyai desert pavement (umumnya tanah
daerah Arid) adalah tekstur setelah dicampur dengan horizon A
dan E.
Contoh: Bogor lempung berliat; Cibinong liat berdebu.

Catatan: Seri tanah yang diikuti dengan fase tidak perlu ditulis kata
seri di depannya

2. Lapisan organik di permukaan tanah


Fase lapisan organik diberi narna sebagai berikut: bergambut
kasar (peat), bergambut sedang (mucky peat), bergambut halus
(muck).
Peat, setara dengan bahan fibrik (bahan organik kasar).
Mucky peat, setara dengan bahan hemik (bahan organik dengan
tingkat dekomposisi sedang).
Muck, setara dengan bahan saprik (bahan organik halus).

Contoh:

Cintamanis bergambut kasar.


Banjar lempung berdebu, bergambut halus (lapisan mineral di
permukaan yang banyak mengandung bahan organik halus)

3. Fragmen batuan di dalam tanah atas

Digunakan untuk fragmen batuan (kerikil) di dalam tanah atas yang


jumlahnya lebih dari 15% volume.

Contoh:

Pakem lempung berkerikil (fragmen batuan 15 - 35 %).


Kaliurang lempung sangat berkerikil (fragmen batuan 35 – 60%).
Tempel lempung amat sangat berkerikil (fragrnen batuan lebih
60%).

4. Batu di permukaan tanah

Digunakan untuk batu atau batuan dipermukaan tenah yang


jumlahnya lebih dari 0.01 pers'en volume. Batu tersebut akan
memengaruhi pengolahan tanah, panen, penggunaan mesin-mesin
pertanian dan sebagainya.

Tidak berbatu < 0.01 %


Berbatu 0.01-0.1%
Sangat berbatu 0.1-3.0%
Amat sangat berbatu 3.0-15.0%
Berbatuan (Rubly) 15-75%
Lahan batuan >75%
Contoh:

Cangkringan lempung, lereng 10 -20 persen, amat sangat berbatu.


Ciapus lempung, lereng 15 - 30 persen, berbatuan (rubly).

5. Fase lereng
Fase lereng digunakan baik sebagai lereng tunggal maupun sebagai
lereng majemuk.
Lereng majemuk (kompleks) adalah lereng dengan lebih dari satu
arah dan ditunjukkan oleh daerah punggung dan lembah dalam
satu deliniasi, sedangkan lereng tunggal relatif mempunyai arah
lereng yang seragam.
Satuan peta dengan lereng tunggal menggunakan nama fase
dengan selang lereng dalam persen.

Contoh:

o Darmaga lempung berdebu, lereng 4 - 8 persen, tererosi.


o Kompleks Seri Darmaga – Cimulang, lereng 8 - 15 persen.

Satuan peta dengan seri majemuk, biasanya menggunakan


adjective.

Contoh
o Asosiasi Darmaga – Cimulang, berbukit
o Seri Pakem dan Kaliurang, bergelombang.

6. Erosi Tanah
Fase erosi tanah digunakan untuk menunjukan besarnya erosi yang
telah terjadi dan bukan untuk potensi terjadinya erosi. Fase erosi
tanah di tentukan berdasar atas kelas-kelas erosi yang di definisikan
Soil-Survey Manual (USDA,1989) berikut:

Agak tererosi - Kelas 2 erosi.


Sangat tererosi - Kelas 3 erosi.
Gullied, tanah yang mengalami erosi parit kurang dari 10%. Bila
yang mengalami erosi parit lebih dari 10%, satuan peta menjadi
lebih kompleks atau daerah aneka.
Agak tererosi angin - Kelas I erosi angin.
Sangat tererosi angin - Kelas 2 atau3 erosi angin.

Contoh: Turgo lempung berdebu, lereng 10 - 15 persen, sangat


tererosi.

7. Fase Pengendapan
Fase pengendapan digunakan untuk bahan-bahan yang
diendapkan oleh air atau angin diatas tanah lain yang tidak
memenuhi syarat sebagai tanah tertimbun.(Tebal kurang dari 30
cm atau antara 30 -50 cm, tetapi kurang dari setengah dari tebal
horizon penciri tanah yang tertimbun).

Contoh: Cibinong lempung berpasir, lereng 2-8 persen, endapan air.

8. Fase kedalaman

Yang dimaksud kedalaman dalam tingkat fase adalah kedalaman


sampai ke lapisan dengan sifat- sifat tertentu yang berpengaruh nyata
terhadap tujuan survei tersebut, dan belum digunakan sebagai
pembeda dalam seri tanah atau kategori yang lebih tinggi.

Kelas kedalaman:

Sangat dangkal <25 cm

Dangkal 25 - 50 cm

Agak dalam (agak dangkal) 50 - 100 cm

Dalam 100 - 150 cm

Sangat dalam lebih dari 150 cm.

Sebutkan di atas bahan apa kedalaman yang dimaksud!

Misalnya: Agak dalam di atas kerikil.

Agak dalam di atas pasir.

Agak dalam di atas liat.

Dangkal di atas skist.

Dalam di atas basalt.

Contoh Kaliwanglu lempung berdebu, dangkal di atas kerikil.

9. Fase substratum
Digunakan untuk substratum yang terletak dibawah control
section dari seri dan famili.
Biasanya digunakan untuk substratum yang tidak padu dibawah
kedalaman 100 cm.

Jenis fase substratum:

Substratumkalkareus.
Substratum kapur (batu gamping-lunak).
Substratum liat.
Substratumberkerikil.
Substratumbergipsum.
Substratum endapan danau (lakustrin).
Substratum bernapal (marly).
Substratumberpasir.
Substratumberdebu.
Substratum serpih (shale).

Contoh: Wonosari lempung berdebu, substratum bernapal, lereng 6 -


20 persen.

10. Fase yang berhubungan dengan air


Fase ini digunakan untuk membedakan sekuen dari status air
tanah, permukaan air tanah dan drainase tanah.
Pada beberapa tanah, status air tanah yang ada tidak dicerminkan
oleh sifat-sifat tanah yang milikinya. Misalnya tanah yang tidak
menunjukkan sifat-sifat drainase buruk, padahal. tanah tersebut
tergenang. Contoh: Imogiri lempung berdebu, basah.
Dalam keadaan lain, ada tanah yang masih mencerminkan
pengaruh air, tetapi sudah tidak tergenang lagi karena telah
dilakukan perbaikan drainase. Contoh: Rawapening lempung
berdebu, didrainase.
Beberapajenis fase yang berhubungan dengan air adalah:
o Basah
o agak basah
o cukup basah
o tergenang
o didrainase
o muka air tanah tinggi
11. Fase salin
Digunakan untuk membedakan derajad salinitas yang penting untuk
penggunaan dan pengelolaan tanah di dalamkisaran suatu seri tanah.
Berikut adalah kelas-kelas salin:
sedikit agak salin <0.4 mmho
agak salin 0.4-0.8 mmho
cukup salin 0.8-1.6 mmho
sangat salin > 1.6 mmho

Contoh: Kupang lempung berdebu, cukup salin.

12. Fase sodik

Beberapa tanah mempunyai sifat salin dan sodik; untuk itu fase sodik
perlu ditambahkan.

Contoh: Dili lempung berdebui sangat salin, sodik.

13. Fase Fisiografi

Fase ini digunakan untuk mengelompokkan tanah yang mem punyai


sifat yang sama (masuk dalam seri yang sama) tetapi ditemukan dalam
satuan fisiografi yang berbeda. Misalnya tanah berpasir dari loess di
atas teras dan tanah berpasir dari loess di atas dataran aluvial
termasuk dalam seri yang sama, tetapi dalam peta perlu dibedakan
dalam fase fisiografi.

Contoh:

o Parangtritis lempung berpasir, teras, lereng 0 - 5 persen.


o Parangtritis lempung berpasir, dataran aluvial, lereng 0-
3persen.

14. Fase iklim


Fase iklim didasarkan pada suhu udara, evapotranspirasi potential
(PE) dan curah hujan.
Fase iklim digunakan bila perbedaannya cukup nyata untuk tujuan
survei dan dapat diidentifikasi dan dipetakan secara konsisten di
lapangan.
Ada dua kemungkinan keadaan iklim untuk seri yang sama
o Keadaan iklim yang sama dengan keadaan iklim seri yang
dimaksud, sehingga fase iklim tidak digunakan.
o Terdapat penyimpangan keadaan iklim dari iklim yang
biasa ditemukan pada seri yang dimaksud. Untuk itu fase
iklim perlu digunakan.

Contoh: Tawangsari lempung berpasir, dingin.

15. Fase-fase lain

Semua sifat pembeda yang berguna untuk tujuan survei dan dapat
dipetakan dengankonsisten, dapat digunakan sebagai fase.

Contoh: sering banjir


kadang-kadang banjir
jarang banjir
terbakar (gambut)
kalkareus (berkapur)
permukaan tercuci

Jenis-jenis fase yang telah diuraikan di atas biasanya digunakan


untuk seri tanah dalam pemetaan tanah detail (skala 1: 10.000), sehingga
dalam satu satuan peta tanah mungkin dapat ditemukan satu jenis fase
secara homogen. Dalam Proyek LREP II yang pemetaan tanah dilakukan
pada tingkat semi detail skala 1: 50:000, maka cukup kecil kemungkinan
ditemukannya satu jenis fase yang homogen dalam satu satuan peta.
Karena itu penggunaan fase seri tanah dalam peta tanah semi detail
Proyek LREP II perlu lebih hati-hati. Hanya fase yang jelas penyebaranya
dan dominan dalam satuan peta yang bersangkutan dapat digunakan
sebagai fase seri tanah dalam satuan peta tersebut.

3.4 Peranan Korelator dalam SurveiTanah


Survei tanah umumnya dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
beberapa regu. Pada dasarnya suatu peta tanah merupakan hasil
interpretasi yang subyektif dari masing-masing regu (penyurvei), sehingga
masing-masing penyurvei mempunyai interpretasi yang berbeda-beda
terhadap konsep model hubungan tanah-bentang alam yang dipetakan.
Dengan demikian peta tanah yang dihasilkan pun berbeda bagi masing-
masing pemeta.

Berdasarkan kenyataan tersebut hasil kerja masing-masing regi


hendaklah dikorelasikan satu dengan lainnya oleh seorang korelator yang
bertanggung jawab terhadap peta yang dihasilkan.

Tugas penting korelator ini antara lain (Barneveld, 1986):

menyusun beberapa standar seperti keseragaman dalam


interpretasi foto udara.
menyusun legenda peta semetara
merencanakan operasi lapangan dan prosedur pemetaan
selama sunrei lapangan, korelator hendaklah menguji standar dan
prosedur yang telah digariskan sebelumnya.
Semua regu secara bergiliran diikuti oleh korelator, sehingga ia
yakin bahwa semua regu mempunyai standar yang sama.
mengkorelasi semua satuan peta, serta mengevaluasi apakah
sistem klasifikasi tanah telah di terapkan dengan benar secara
konsisten oleh sema regu.
menguji hasil survei bersama-sama pemakai peta dan tim survei
untuk meyakinkan kebenaran hasil survei.
Menyusun dan mengembangkan kerangka dan prosedur evaluasi
lahan.
menyiapkan dan memeriksa kembali konsep peta dan laporan.
Mengingat pentingnya peran korelator, maka pada setiap survei
tanah, haruslah ditunjuk seorang korelator yang dipilih dari
penyurvei yang sudah berpengalaman, baik dibidang
interpretasi foto udara maupun di bidang survei tanah dan
evaluasi lahan.

***
IV
METODE SURVEI TANAH

P ertanyaan utama dalam survei tanah adalah bagaimana bisa


menghasilkan peta tanah yang akurat yang dapat mencerminkan
karakteristik atau sifat-sifat tanah di lapangan dalam suatu daerah,
sehingga dapat diprediksi potensinya baik untuk pengembangan pertanian
maupun untuk nonpertanian.

Masalah yang mendasar adalah bahwa jumlah peng amatan yang


dilakukan oleh penyurvei sangat terbatas, dan pengambilan contoh tanah
(menggunakan bor atau sekop) biasanya bersifat merusak (destructive),
dalam arti begitu contoh tanahnya diambil, sifat asal tanah menjadi rusak.
Dalam praktiknya, penyurvei mengandalkan sifat-sifat (ekternal) yang
dianggap berasosiasi dengan genesis tanah, yaitu mengapa tanah yang
berada di tempat tersebut memiliki sifat-sifat seperti itu. Diantara sifat-
sifat eksternal tersebut, yang terpenting di antaranya adalah sifat
geomorfologi (analisis landfom) dan vegetasi atau penggunaan lahan.
Dengan demikian, sekalipun penyurvei mengamati tanah tersebut dalam
proporsi yang amat kecil dari volume totalnya, tetapi dengan
menghubungkan sifat tanah dengan kenampakan landsekap yang dapat
dilihat, akan dapat diprediksi sifat-sifat tanah di atas seluruh lansekap
dengan kepercayaan yang tinggi.

Ketika penyurvei mencoba membagi lanskap ke dalam satuan-


satuan peta, terdapat dua pendekatan mendasar, yaitu pendekatan sintetik
(synthetic approach) dan pendekatan analitik (analytic approach)
(Rossiter, 2000).

Dalam pendekatan sintetik, dilakukan pengamatan di lapangan


terlebih dulu, kemudian dilakukan pengelompokkan berdasarkan kisaran
sifat-sifat terentu, sehingga dihasilkan satuan peta sebanyak keragaman
yang ada. Pendekatan sintetik berasal dari kata 'synthesis' atau sintesa
yang berarti penentuan satuan spasial (peta) berdasarkan hasil
pengamatan pada titik-titik pengamatan. Dengan demikian tahapannya
adalah:

1. Melakukan pengamatan pada beberapa titik di lapangan.


2. Mengelompokkan titik-titik pengamatan tersebut ke dalam satuan peta
sehingga keragaman antara unit terjadi maksimal dan keragaman di
dalam unit adaiah minimal.

Dalam pendekatan analitik, pertama lansekap dibagi ke dalam


tubuh tanah 'alami', berdasarkan karakteristik eksternal seperti landform,
vegetasi dan tanah perrnukaan. Setelah itu dilakukan penentuan
karakteristik. tanah pada masing-masing satuan tersebut melalui
pengamatan dan pengambilan contoh tanah. Pendekatan analitik berasal
dari kata 'analisis' yang berarti membagi tubuh tanah 'alami' yang
didasarkan pada petunjuk-petunjuk (sifat-sifat) eksternal.

Dengan demikian tahapan dalam pendekatan ini adalah:

1. Membagi lansekap ke dalam komponen-komponen sedemikian rupa


yang diperkirakan akan memiliki tanah yang berbeda.
2. Melakukan karakterisasi satuan-satuan yang dihasilkan melalui
pengamatan dan pengambilan contoh tanah dilapangan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendekatan sintetik


adaiah pendekatan 'buttom-up' atau 'memberi nama terlebih dahulu, baru
kemudian mengelompokkannya', sedangkan pendekatan analitik adalah
pendekatan 'top -down' atau pendekatan yang dilakukan dengan cara
'membagi terlebih dulu kemudian baru memberi nama'.

Dalam praktiknya kedua pendekatan itu dilakukan secara


bersama-sama. Dalam pendekatan sintetik, penempatan pengamatan
seringkali mengikuti petunjuk eksternal yang mengarahkan di mana batas-
batas antara tanah-tanah yang berbeda akan terjadi, dimana dalam
kenyataannya petunjuk ini sama dengan karakteristik eksternal yang
digunakan dalam pendekatan analitik. Dalam pendekatan analitik,
penempatan garis batas seringkali didukung dengan pengamatan
pemboran, juga dua tubuh tanah 'alami' seperti yang terlihat pada foto
udara yang dalam kenyataannya dapat menghasilkan satuan serupa
dengan yang dikelompokkan dalam pendekatan sintetik.

Pendekatan sintetik diterapkan pada daerah dengan tingkat


prediksi rendah (low predictabilitry) yaitu petunjuk eksternal tidak
membantu memisahkan tanah yang berbeda).

4.1 Beberapa Metode SurveiTanah


Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, dalam survei tanah dikenal 3
macam metode survei, yaitu metode grid (menggunakan prinsip
pendekatan sintetik), sistem fisiografi dengan bantuan interpretasi foto
udara (menggunakan prinsip pendekatan analitik), dan grid bebas yang
merupakan penerapan gabungan dari kedua pendekatan tersebut.

Berikut akan diuraikan 3 macam survei utama yang umum dikenal


dalam kegiatan survei tanah, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Beberapa modifikasi dari ketiga metode maupun yang berbeda sama
sekali akan diuraikan kemudian.

4.1.1 Survei Grid

Metode survei ini disebut juga metode grid kaku. Skema pengambilan
contoh tanah secara sistematik dirancang dengan mempertimbangkan
kisaran spasial autokorelasi yang diharapkan. Jarak pengamatan dibuat
secara teratur pada jarak tertentu untuk menghasilkan jalur segi . empat
(rectangular grid) diseluruh daerah survei. Pengamatan tanah dilakukan
dengan pola teratur (interval titik pengamatan berjarak sama pada arah
vertikal dan horizontal). Jarak pengamatan tergantung dari skala peta.

Titik-titik pengamatan tanah ditempatkan di lapangan dan diamati


karakteritiknya. Dengan menggunakan metode statistik baku atau
geostatistik, dilakukan estimasi variabilitas tanah.
Metode ini sangat cocok untuk survei intensif dengan skala besar,
dimana penggunaan interpretasi foto udara sangat terbatas dan intensitas
pengamatan yang rapat memerlukan ketepatan penempatan titik
pengamatan di lapangan dan pada peta. Metode ini juga sangat cocok
diterapkan di daerah yang belum tersedia foto udara atau peta topografi
(peta rupa bumi) untuk navigasi. selain itu, pada daerah-daerah be rhutan
lebatatau di daerah pasang-surutdi mana penggunaan interpretasi foto-
udara seringkali sangat terbatas, sehingga cara termudah untuk
mengetahui posisi atau lokasi pengamatan di lapangan adalah dengan
melakukan pengukuran jarak (sitorus, 1986). Namun demikian, untuk
menentukan posisi pengamatan saat ini semakin mudah dengan bantuan
GPS.

Survei grid juga cocok dilakukan pada daerah yang mempunyai


pola tanah yang kompleks dimana pola detail hanya dapat dipetakan pada
skala besar yang kurang praktis.

Survei ini sangat cocok diterapkan pada daerah yang posisi


pemetanya sukar ditentukan dengan pasti. Selain itu, survei ini sangat
dianjurkan pada survei intensif (detail – sangat detail) dan penggunaan
hasil interpretasi foto udara sangat terbatas (misalnya pada daerah
dengan konfigurasi permukaan kurang beragam/daerah yang relatif
datar) atau di daerah yang belum ada foto udaranya. Atau daerah yang
sudah terliput foto udara, akan tetapi hasilnya tidak maksimal karena
sebab-sebab berikut:

Skalanya terlalu kecil.


Mutunya sangat rendah.
Daerah survei tertutup awan.
Kenampakan permukaan tidak jelas/daerah sangat homogen dan
datar.
Daerah tertutup vegetasi rapat dan lebat.
Daerah berawan, padang rumput/savana, tanpa gejala . permukaan

Keuntungan metode survei grid:


Tidak memerlukan penyurvei yang berpengalaman, karena lokasi
titik-titik pengarnatan sudah diplot pada Peta Rencana
Pengamatan.
Sangat baik diterapkan pada daerah yang luas yang memerlukan
penyurvei dalam jumlah besar.
Cukup teliti dalam menentukan batas satuan peta tanah pada
daerah survei yang relatif datar.
Dengan menerapkan teknik analisis Komponen Utama (Principal
Component Analysis) dapat memperkecil atau mengurangi
sejumlah sifat tanah pada suatu variate yang menggambarkan
proporsi yang besar dari data yang tersedia.

Kerugian metode survey grid;

Memerlukan waktu yang lama, terutama pada medan yang berat.


Pemanfaatan seluruh titik-titik pengamatan sehingga tidak efektif.
Sebagian lokasi pengamatan tidak mewakili satuan peta yang
dikehendaki, misalnya tempat pemukiman, daerah peralihan dua
satuan lahan dan lain-lain.

4.1.2 Survei Fisiografi (lFU)

Survei ini diawali dengan melakukan interpretasi foto udara (IFU) untuk
mendelineasi landform yang terdapat di daerah yang disurvei, diikuti
dengan pengecekan lapangan terhadap komposisi satuan peta, biasanya
hanya di daerah pewakil. Tidak semua delineasi dikunjungi. contoh
metode Fisiografi adalah pendekatan Geopedologi yang dikembangkan
oleh ITC Belanda.

Survei ini umumnya diterapkan pada skala 1:50.000 - 1:200.000. Pada


skala kecil, hanya satuan lansekap dan landform yang luas saja yang dapat
digambarkan. Metode survei ini hanya dapat diterapkan jika tersedia foto
udara yang berkualitas tinggi. Batas satuan peta sebagian besar atau
seluruhnya didelineasi dari hasil IFU.

Pengamatan lapangan dengan kerapatan rendah dilakukan untuk


mengecek batas satuan peta dan mengidentifikasi sifat dan ciri tanah di
setiap satuan peta. Pengecekan batas fisiografi/landform dilakukan
terutama jika batas-batas tersebut tidak begitu jelas yang disebabkan
lansekap yang relatif datar.

Jumlah pengamatan setiap satuan peta ditentukan oleh :

ketelitian hasil intetpretasi foto udara dan keahlian/kemampuan


penyurvei dalam memahami hubungan fisiografi dan keadaan
tanah.
Kerumitan satuan peta; semakin rumit semakin banyak
pengamatan.
Luas satuan peta; semakin luas semakin banyak pengamatan.

4.1.3 Metode Grid Bebas

Merupakan perpaduan metode grid-kaku dan metode fisiografi. Metode ini


diterapkan pada survei detail hingga semi-detail, foto udara
berkemampuan terbatas dan di tempat-tempat yang orientasi di lapangan
cukup sulit dilakukan.

Pengamatan lapangan dilakukan seperti pada grid-kaku, tetapi


jarak pengamatan tidak perlu sama dalam dua arah, tergantung fisiografi
daerah survei. Jika terjadi perubahan fisiografi yang menyolok dalam jarak
dekat, perlu pengamatan lebih rapat, sedangkan jika landform relatif
seragam maka jarak pengamatan dapat diiakukan berjauhan. Dengan
demikian, kerapatan pengamatan disesuaikan menurut kebutuhan skala
survei yang dilaksanakan serta tingkat kerumitan pola tanah dilapangan.

Survei ini sangat baik dilakukan oleh penyurvei yang belum


banyak berpengalaman dalam interpretasi foto udara.

Menurut Rossiter, (2000), metode survei ini merupakan kelanjutan


dari survei fisiografi dan biasanya dilaksanakan pada skala 1 : 12.500
sampai dengan 1:25.000. pelaksanaan survei ini diawali dengan analisis
fisiografi melalui interpretasi foto udara secara detail. semua batas harus
dilakukan pengecekan di lapangan dengan teliti dan dilakukan beberapa
modifikasi sesuai dengan hasil pengamatan lapangan.
Pemeta mengunjungi sebagian besar landskap, biasanya berada
pada suatu transek yang 'memotong satuan peta’ dengan berkonsentrasi
pada daerah ‘bermasalah’ (daerah yang hubungan antara lanskap dan
tanah sulit diprediksi).

Di daerah yang memiliki korelasi tanah-geomorfologi yang kurang


jelas, pengamatan lapangan sangat diperlukan untuk mendelineasi batas
dengan tepat. Dari pengamatan tersebut, diharapkan dapat diperoleh
informasi hubungan yang baik antara keragaman internal tanah dengan
kenampakan eksternal (fisiografi).

Dalam metode survei bebas, pemeta 'bebas' memilih lokasi titik


pengamatan dalam mengkonfirmasikan secara sistematis model mental
hubungan tanah-lansekap, menarik batas dan menentukan komposisi
satuan peta.

Untuk dapat melakukan survei bebas, pertimbangan dan


pengalaman pemeta sangat penting. Di daerah dengan pola tanah yang
dapat diprediksi dengan mudah (sesuai dengan model mental),
pengamatan dapat dilakukan lebih sedikit, sedangkan daerah lainnya
(terutama daerah yang bermasalah) perlu di lakukan pengamatan lebih
banyak (lebih mendetail).

Dengan jumlah sampling yang sama, dapat dihasilkan peta yang


baik, dengan berkonsentrasi pada tanah bermasalah.

Selain ketiga metode yang baku tersebut, Rossiter (2000)


mengemukakan dua survei tanah yang lain, yaitu (1) Survei Non-
sistematik (Non-systematic survey) dan (2) Survei Kontinu (Continuous
survey).

4.1.4 Survei Nonsistematik

Dalam survei ini batas tanah ditentukan dari peta lain, peta geologi dan
peta fisiografi. pengecekan lapangan hanya di lakukan di beberapa tempat
dengan intensitas sangat rendah untuk menentukan sifat-sifat tanah
tipikal. Dalam metode ini tidak dipertimbangkan keragaman internal
tanah. Metode survei ini diterapkan pada skala lebih kecil dari 1:500.000.
peta yang dihasilkan bukanlah peta tanah, melainkan peta bagan dan tidak
dapat digabungkan dengan Sistem Informasi Geologi (SIG).

4.1.5 Survei Kontinu

Survei kontinu merupakan hasil interpretasi citra penginderaan jauh


terhadap tanah atau terhadap sifat-sifat yang berhubungan dengan tanah
(misal rona kelabu, vegetasi, produksi tanaman). Resolusi sensor
menentukan skala survei, sekalipun hasil dapat digeneralisir menjadi skala
kecil.

Survei kontinu dapat memberikan estimasi internal paling akurat.

4.2 Active Field Survey


Survei itu merupakan bagian dari survei bebas. Penyurvei menciptakan
suatu model mental dari faktor-faktor pembentukan tanah dan menetukan
lokasi pengamatan untuk memperkuat atau memodifikasi hipotesis-
hipotesis yang dibuat sebelumnya. Pengamatan bisa lebih jarang dilakukan
pada daerah-daerah dimana hipotesis sesuai dengan fakta di lapangan dan
jika faktor-faktor tersebut terlihat teratur. Pengamatan lebih banyak
dilakukan pada daerah-daerah'bermasalah'.

Rossiter (2000) menyajikan contoh dataran pantai Atlantik di


tanah North carolina yang berada di dataran tinggi yang merupakan hasil
dari:

1. Permukaan geomorfik (= umur singkapan), yang dengan mudah


terlihat oleh adanya gawir di antara permukaan.
2. Adanya keragaman (Granulometry) dari bahan sedimen (dari kasar
hingga liat).
3. Air tanah (sekuen drainase) yang diperkirakan dari jarak horizontal
dan vertikal terhadap drainase dan yang dapat dengan mudah
disimpulkan dari kebasahan/lengas permukaan yang terlihat pada foto
udara yang dipotret di musim dingin (tanpa tanaman, lembab dan
dingin).
Berdasarkan 3 hal tersebut dapat dikemukakan bahwa (1) sangat
mudah diduga, (2) biasanya mudah diamati pada foto dan hanya
memerlukan beberapa pengecekan lapangan untuk memperkuat batas
antara kelas drainase (dengan melakukan pemboran guna melihat
kedalaman karatan atau glei), (3) merupakan daerah yang bermasalah.
Pada dasarnya pengecekan lapangan dimaksudkan untuk menentukan
sebaran ukuran butir tanah yang sangat berhubungan dengan kelas
ukuran butir pada kategori famili dalam taksonomi tanah (berlempung
halus, berlempung kasar, berdebu halus, berliat, atau berpasir).

Penyurvei tanah memetakan pola sedimen. Pada beberapa lokasi


hal ini sangat konsisten dan pemetaan dapat dilakukan dengan cepat,
sedangkan di lokasi yang lain mereka berbaur dan penyurvei harus
melakukan banyak pengecekan untuk menentukan batas dan atau
komposisi satuan peta (dalam kasus sedimentasi yang berpola halus).

Survei grid akan menghabiskan waktu di beberapa lokasi,


terutama pada daerah dengan sedimentasi yang rumit, tetapi tetap dapat
memberikan hasil yang baik.

Dalam Gambar 4.1 disajikan contoh lain, seperti dikemukakan oleh


Elbersen (1985), Seorang pemeta mengkaji ketebalan horizon A pada
bagian cekung dari suatu relief (bentuk wilayah) yang bergelombang,
mulai dari nomor 1-7. Sambil melakukan itu, ia mencoba merumuskan
hipotesis tentang ketebalan horizon A yang dijumpainya. Informasi baru
selalu muncul untuk menyempurnakan model atau teorinya selama survei,
hingga sesui dengan semua keadaan yang dijumpainya. Pada Tabel 4.1
dikemukakan hipotesis pada berbagai titik pengamatan.

Dari ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada daerah


lembah yang bahan induknya berasal dari batuan basalt dan tanpa
vegetasi, akan dijumpai horizon A yang tebal, sedangkan pada daerah
dengan bahan induk yang berasal dari granit, horizon A tidak terpengaruh.
Dengan bantuan interpretasi foto udara, dapat diprediksi daerah mana
saja yang lembahnya dapat dijumpai horizon A yang tebal.
***
V
PELAKSANAAN SURVEI TANAH

Dalam pelaksanaan survei tanah, ada 3 tahap kegiatan yang perlu


dilakukan agar survei tanah dapat berjalan lancar, sistematis, dan efektif,
yaitu:

1. Tahap persiapan
2. Tahap survei lapangan, yang dibedakan atas:
a. Pra-survei
b. Survei utama
3. Analisis data dan pembuatan peta dan laporan.

Uraian masing-masing tahap tersebut, dikemukakan di bawah ini.

5.1 Tahap Persiapan


Dalam tahap persiapan ini, ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan.
Kegiatan.kegiatan tersebut akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:

5.1.1 Menentukan Tujuan Survei Tanah

Secara umurn, berdasarkan tujuannya survei tanah dibedakan atas survei


bertujuan umum dan survei bertujuan khusus. Survei bertujuan umum
ditujukan untuk dapat memberi keterangan dan data sebagai dasar
penafsiran untuk berbagai penggunaan yang berbeda. Biasanya survei ini
menghasilkan peta pedologi, diperuntukkan bagi daerah yang kurang
berkembang atau daerah-daerah yang informasi mengenai tanahnya
masih sangat kurang.

Survei bertujuan khusus dilakukan jika telah diketahui tujuan dan


kegunaan survei tersebut, misalnya untuk irigasi, penanaman tanaman
tertentu seperti tebu, kopi dan lain-Iain. Sifat dan kualitas tanah yang
sesuai untuk tujuan khusus tersebut telah diketahui dan dapat dipetakan,
baik melalui 'dugaan' sifat-sifat yang dapat diamati maupun dari hasil
analisis contoh tanahnya.

Survei ini biasanya dilakukan pada daerah yang sudah


berkembang (berpenduduk padat).

5.1.2 Mengestimasi Biaya Survei Tanah

Macam survei dan skala peta yang akan dihasilkan sangat berhubungan
dengan intensitas pengamatan lapangan, dengan demikian sangat
menentukan besarnya biaya yang diperlukan. Semakin detail survei
(semakin besar skala peta yang dihasilkan) maka semakin tinggi intensitas
pengamatan lapangan yang diperlukan sehingga biaya per satuan luas
semakin tinggi.

Gambaran atau contoh hubungan antara macam survei, skala peta


dan biaya yang diperlukan disajikan pada Tabel 5.1.
Secara umum, komponen biaya survei dibedakan ke dalam 2
kelompok, yaitu upah atau gaji dan biaya survei. Upah atau gaji meliputi
antara lain gaji tenaga ahli dalam anggota tim, upah tenaga kerja lokal, juru
gambar, dan tenaga administrasi. Biaya survei antara lain biaya
transportasi dan akomodasi ke dan di daerah survei, pembelian bahan dan
alat seperti peta, foto udara, citra satelit, bahan dan alat gambar alat tulis,
peralatan survei, peralatan berkemah, bahan kimia analisis contoh tanah,
perbanyakan laporan-dan peta-peta, lumpsum tenaga pelaksana, asuransi
dan biaya lak terduga (overheads). Sebagian besar biaya survei biasanya
dialokasikan untuk membiayai pekerjaan survei di lapangan.

5.1.3 Merumuskan Kerangka Acuan (TOR = Terms of


Reference)

Perumusan kerangka acuan perlu dilakukan agar pihak pelaksana survei


maupun pihak pengguna (pihak ‘yang menghendaki survei tanah’),
mencapai kesepakatan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan survei tanah tersebut.

Dalam kerangka acuan ini, diuraikan secara jelas tentang tujuan


survei, bahan dan alat yang digunakan, metode survei, macam analisis,
susunan organisasi, dana yang diperlukan, macam peta dan laporan yang
dihasilkan dan lain-lain.

5.1.4 Membuat Surat Perjanjian Kerjasama


Surat Perjanjian Kerjasama perlu dilakukan agar kedua belah pihak
mempunyai landasan dan kekuatan hukum, seandainya salah satu pihak
(pihak pelaksana atau peminta survei) tidak menempati hal-hal yang telah
disetujui bersama, sesuai dengan yang telah disepakati dalam TOR.

Dalam surat perjanjian kerjasama juga ditentukan kapan laporan


survei harusdiserahkan, serta macam sanksi seandainya terjadi
pelanggaran dari salah satu pihak.

5.1.5 Mengurus Perijinan

Sebelum dapat melaksanakan survei di suatu daerah, terlebih dahulu


penyurvei harus mengurus surat-surat ijin dari penguasa wilayah yang
daerahnya tercakup dalam daerah yang disurvei. Ijin harus diperoleh
mulai dari pemerintah daerah tingkat I, hingga ke Kepala desa yang
tercakup dalam daerah survei tersebut.

5.1.6 Mengumpulkan Data-data (Laporan dan Peta) Sekunder

Data-data sekunder yang perlu dikumpulkan adalah data yang berkaitan


dengan daerah survei yangmeliputi:

keadaan iklim dan hidrologi


keadaan geologi dan bahan induk
keadaan topografi (relief dan lereng)
keadaan vegetasi dan penggunaan lahan
keadaan tanah
keadaan sosial ekonomi daerah survei, seperti penduduk
(kepadatan, laju perkembangan, mata-pencaharian), kepemilikan
tanah dan sebagainya

Data-data ini dikumpulkan dari laporan-laporan dan peta-peta


yang ada, maupun langsung pada instansi-instansi yang terkait.

(a). Iklim dan Hidrologi

Informasi mengenai iklim diperlukan dalam, mendukung perencanaan dan


dan pelaksanaan pertanian, meliputi penilaian kesesuaian lahan,
penentuan tempat dan waktu tanam, pola tanam dan analisis resiko
pertanian yang mungkin dapat terjadi Data iklim diambil dari semua
stasiun iklim atau stasiun penakar curah hujan yang ada di daerah survei
maupun dari publikasi yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan
Geofisika. Stasiun pewakil ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan
kesamaan ekosistem meliputi: tanah, ketinggian, geografis/fisiografis dan
penggunaan lahan.

Data iklim yang dikumpulkan meliputi: curah hujan (mm), suhu


maksimal, suhu minimal, dan suhu rata-rata (oC), intensitas radiasi
(Joule/m2/hari), lama penyinaran (jam/hari), kecepatan angin (km/jam),
kelembaban (%), dan suhu tanah (oC).

Data iklim yang dibytuhkan maupun hasil analisis data iklim yang
akan disajikan dalam laporan survei tanah tergantung pada tingkat survei
dan pemetaan tanahnya. Periode pengamatan dalam iklim sebaiknya ≥ 15
tahun. Keluaran berupa isohyet curah hujan tahunan, isoihyet curah hujan
bulanan, neraca air, zone agroklimat (Oldeman, 1975), tipe hujan (Schmidt
& Ferguson,1941), pola curah hujan (Troser, 1976), suhu maksimal, suhu
minimal, peluang hujan, length to growing period (LGP), frekuensi
penyimpanan iklim, ramalan bulan kering dan banjir.

(b) Keadaan geologi dan bahan induk

Informasi geologi dan pengetahuan tentang litologi setempat menentukan


penetapan nama bahan induk. Bahan induk merupakan massa lunak
bersusunan anorganik atau organik yang menjadi awal pembentukan
tanah. Bahan induk bersusunan anorganik berasal dari pelapukan batuan
induk, sedangkan bahan induk bersusunan organik berasal dari bahan
induk organik. Bahan induk tanah dibedakan dalam 2 grup yaitu bahan
lepas/lunak dan bahan kukuh.

Bahan induk berupa bahan lepas/lunak adalah sebagian besar


bahan sedimen atau bahan lapukan yang terdapat di atas batuan keras.
Sedangkan bahan kukuh berupa batuan yang keras seperti batuan
vulkanik, lava, atau batuan-batuan intrusi serta sebagian batuan sedimen
dan metamorfik.
(c) Keadaan topografi (relief dan lereng)

Keadaan topografi daerah tercermin dari peta topografi atau peta rupa
bumi. Keadaan lereng suatu daerah sangat mempengaruh penggunaan
lahan di daerah tersebut.

(d) Keadaan vegetasi dan penggunaan lahan

Vegetasi dan penggunaan lahan secara umum sangat dipengaruhi oleh


keadaan tanah dan ketersediaan air. Tipe penggunaan lahan yang dapat
dikembangkan di daerah survei sangat ditentukan oleh keadaan sifat
tanah dan fisik lingkungannya. Kriteria utama yang digunakan dalam
menentukan klasifikasi vegetasi dan penggunaan lahan diutamakan pada
jenis dan vegetasi permanen yang terdapat di daerah yang bersangkutan.
Informasi ini perlu untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan
penggunaan lahan yang ada pada saat survei dilakukan (present land use).

(e) Keadaan tanah

Informasi awal tentang keadaan tanah dari suatu daerah sangat


bermanfaat untuk digunakan sebagai pembanding atau rujukan tentang
tanah-tanah yang akan dijumpai di daerah. Biasanya informasi ini
diperoleh dari peta tanah yang lebih kecil dari yang telah dipublikasikan
sebelumnya.

(f) Keadaan sosial ekonomi penduduk

Data-data tentang keadaan ekonomi penduduk di daerah disurvei sangat


diperlukan, terutama dalam penggunaan lahan yang akan diusulkan di
daerah tersebut. data tersebut meliputi keadaan penduduk (kepadatan,
perkembangan), kepemilikan tanah dan sebagainya.

5.1.7 Melakukan Pengadaan Foto Udara dan Citra Satelit

Tergantung pada skala dan tujuan survei tanah, citra satelit diperlukan
untuk memberikan informasi tambahan bagi foto udara. Umumnya foto
udara selalu diperlukan dalam setiap survei tanah karena dapat
memberikan beberapa keuntungan (lihat Bab 4).
Idealnya skala foto udara yang digunakan untuk survei tanah
adalah 2 kali lebih besar dari skala peta publikasi (peta yang akan
dihasilkan).

5.1.8 Menyiapkan Peta Dasar

Seperti diuraikan sebelumnya, sebagai peta dasar dapat digunakan peta


topografi (peta rupa bumi) atau mosaik-foto (jika tidak tersedia peta
topografi/rupa bumi). Peta dasar dari peta rupa bumi harus
disederhanakan dengan menghilangkan detail-detail yang tidak perlu,
seperti garis kontur yang terlalu rapat, dan lain-lain. Informasi maupun
obyek yang terdapat pada peta dasar harus diperbaharui, sesuai dengan
informasi baru yang diperoleh.

Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan peta foto


(orthophoto map) sebagat peta dasar untuk menyajikan peta tanah,
terutama untuk skala besar.

5.1.9 Melakukan lnterpretasi Foto Udara dan Citra Satelit

Interpretasi foto udara dan citra satelit dilakukan untuk menghasilkan


peta interpretasi foto-udara, baik berupa peta wujud lahan (landform),
peta liputan lahan dan lain-lain. Hasil interpretasi ini kemudian dipakai
sebagai dasar dalam pembuatan peta rencana rintisan atau rencana
pengamatan, sehingga digunakan sebagai peta lapangan.

Metode analisis wujud-lahan dapat mengacu pada Dessaunettes


(1977) untuk skala tinjau atau Marsoedi et al,(1994) untuk skala lebih
besar. Hasil inperpretasi wujud lahan di plot ke peta dasar, sehingga akan
dihasilkan Peta Wujud-lahan (Peta Landform). Selain itu dari hasil
interpretasi foto udara dapat dibuat Peta Vegetasi dan Penggunaan Lahan.

5.1.10 Menyiapkan Peta Lapangan

Peta lapangan merupakan peta rencana rintisan (rencana pengamatan).


Peta ini dibuat pada peta Wujud-lahan. Perlu diperhatikan letak sebaran
dan proporsi 'daerah kunci' atau key area (jika diperlukan).
Dalam membuat rencana rintisan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:

rintisan utama hendaklah tegak-lurus terhadap pola wujud-lahan


(tidak boleh sejajar dengan pola wujud-lahan).
hendaklah semaksimal mungkin memanfaatkan aksesibilitas yang
ada.
kedudukan rintisan awal hendaklah diketahui secara pasti, baik
pada peta maupun di lapangan.
jumlah pengamatan, tergantung pada skala peta final (peta yang
akan dihasilkan).

5.1.1 1 Menyusun Jadwal Pelaksanaan

Penyusunan jadwal pelaksanaan (kegiatan) survei harus diperhitungkan


dengan matang, karena akan membawa konsekuensi apabila terjadi
hambatan dalam pelaksanaan kegiatan, terutama saat survei lapangan.

Sekalipun jadwal secara garis besar sudah tercantum dalam TOR,


namun sebaiknya ketua tim perlu menyusun jadwal yang lebih rinci dan
harus diketahui oleh semua anggota yang terlibat dalam kegiatan survei
tersebut.

5.1.11 Menyiapkan Alat dan Bahan Survei

Segala peralatan untuk pelaksanaan survei tanah disiapkan selengkap


mungkin, disesuaikan dengan jumlah regu yang ada. Daftar alat dan bahan
yang umumnya diperlukan dalam kegiatan survei tanah disajikan dalam
Tabel b.2. Pada Gambar 5.1. disajikan foto beberapa peralatan yang
diperlukan dalam survei tanah.
5.2 Tahap Survei Lapangan
5.2.1 Pra-survei

Pra-survei dilakukan oreh koordinator atau ketua tim survei dan anggota
inti lainnya, yang akan bertanggung-jawab dalam pelaksanaan dan hasil
survei-tanah. Kegiatan ini dilakukan sebelum survei utama dilaksanakan.
Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan survei utama dapat berjalan lancar
dan efisien. Beberapa hal yang dilakukan di dalam pra-survei antara lain:

Mengurus ijin di daerah survei, mulai dari tingkat desa,


kecamatan,kabupaten hingga ke tingkat propinsi.
Melakukan 'overview' ke seluruh daerah survei dengan melakukan
pengecekan terhadap hasil interpretasi-foto udara atau batas-
batas yang ada pada peta dasar dan peta rencana rintisan guna
mendapat gambaran menyeluruh dari daerah survei, sehingga
dapat dilakukan beberapa perbaikan pada peta wujud-lahan peta
rencana rintisan.
Menyiapkan 'base-camp' dan tenaga kerja untuk pelaksanaan
survei utama serta akomodasi lainnya.
Memantapkan perencanaan survei utama; kapan survei dimulai,
berapa kali pindah base-camp, biaya yang diperlukan dan lain-lain.

5.2.2 Survei Utama

Survei utama dilakukan oleh tim lengkap, sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan oleh ketua tim survei berdasarkan hasil pra-survei.

Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam survei-utama ini adalah:

1. Mengadakan Pengamatan Lapangan

Terdapat tiga pengamatan lapangan, yaitu pengamatan identifikasi,


pengamatan detail (pada minipit) dan deskripsi profil penuh. Ketiganya
secara skematis dilukiskan pada Gambar 5.2. Keterangan masing-masing
pengamatan akan diuraikan dibawah ini.

Pengamatan identifikasi, dilakukan dengan jalan pemboran atau


pengamatan lainnya, misalnya pengamatan pada tebing jalan atau tebing
parit yang bertujuan mengenal (mengidentifikasikan) satuan taksonomi.
Setiap pengamatan bertujuan untuk mengetahui masuk ke dalam
kelompok pedon yang manakah daerah tempat titik pengamatan tersebut.

Karakteristik tanah yang penting diamati meliputi tebal horizon,


warna, tekstur, keadaan batuan, kedalaman efektif tanah, keadaan
drainase tanah dan lain-lain. Morfologi lahan yang diamati ialah lereng,
relief, elevasi dan wujud-lahan, singkapan batuan dan lain-lain. Disamping
itu, macam vegetasi dan penggunaan lahan di sekitar pengamatan juga
dicatat. Contoh kartu pemboran, disajikan pada Gambar 5.3.

Pengamatan detail, dilakukan pada minipit yaitu lubang


pengamatan tanah yang dibuat menggunakan skop denganukuran kurang
lebih 40 cm x 40 cm dan kedalaman 50 dacm. Pengamatan ini hampir
sama dengan pengamatan pada profil tanah (yang akan diuraikan
dibawah), tetapi dalam versi yang lebih ringkas. Contoh kartu minipit
disajikan pada gambar 5.4.
Pengamatan bermanfaat untuk membuat kisaran karakteristik satuan
taksonomi tanah untuk menentukan pedon tipikal maupun pedon satelit.
Kedua pedon tersebut dideskripsi pada profil tanah
Deskripsi Profil Tanah, dilakukan menurut pedoman yang berlaku.
Umumnya digunakan pedoman yang diterbitkan oleh Soil Survey Division
Staff (1993), FAO (1990), Puslittanak (2004). Untuk pengamatan tanah di
lapangan dengan komputer, dianjurkan menggunakan formulir atau kartu
deskripsi profil tanah, berikut panduannya dalam buku Coding Instructions
for site and Horizon Description yang disusun oleh Hoff et al. (1994).
Contoh kartu deskripsi profil tanah disajikan pada Gambar 5.5. Deskripsi
profil berfungsi mengilustrasikan ‘konsep-sentral' satuan-taksonomi yang
terdapat di daerah survei. Hal ini sangat penting untuk kolerasi tanah.
profil atau penampang tanah dibuat dengan ukuran panjang kurang-lebih
1,5 - 2 meter, lebar 1 meter dan kedalaman sampai dengan 2 meter atau
hingga kedalaman batuan induk tanah (jika tanah tersebut lebih dangkal).
Cara Pengamatan Dalam Suatu Survei

Berikut ini disajikan cara-cara pengamatan yang umum dilakukan dalam


setiap survei tanah. Intensitas pengamatan pada berbagai skala survei
tanah dijelaskan dalam subbab 5.3.

a) Pada taraf permulaan survei pengamatan detail (minipit)


dilakukan lebih dahulu, dengan tujuan ‘membangun' kisaran
karakteristik bagi satuan taksonomi. Setiap pengamatan tanah
pada minipit langsung diklasifikasikan menurut sistem klasifikasi
tanah yang digunakan (dalam hal ini sistem Taksonomi Tanah)
hingga kategori tertentu (subgrup, famili atau seri) tergantung
skala dan tujuan survei seperti tertuang dalam Kerangka Acuan.
b) Dilakukan seleksi untuk menentukan ‘modal-profile’ dengan jalan
membuat kisaran sifat masing-masing satuan tanah yang sama
yang dihasilkan dari pengamatan minipit dan pemboran. setelah
itu dilakukan deskiripsi profil tanah yang disertai dengan
pengambilan contoh tanah setiap horizon pada pedon tipikal
diikuti dengan klasifikasi tanah. Deskripsi profil tanah dan
pengambilan contoh tanah dengan cara yang sama juga dilakukan
pada pedon satelit. Cara menentukan ‘modal-profile' dijelaskan
dalam Bab 6.
Melalui kegiatan ini legenda peta tanah sementara dapat di susun. Dengan
demikian setiap satuan peta tanah telah dapat di tentukan satuan
taksonomi atau komponen tanahnya, apakah berupa asosiasi, kompleks
atau konsosiasi.
c) Pada tahap akhir survei tanah dilakukan tambahan pengamatan
berupa pemboran dan minipit secara bergantian untuk melakukan
pengecekan apakah komponen tanah pada setiap satuan peta
tanah, telah sesuai dengan yang tercantum dalam legenda peta
tanah sementara. Idealnya juga dibuat beberapa profil tanah,
sebagai tambahan, terutama jika ditemukan tanah-tanah yang
berbeda dari yang ditemukan. Biasanya kegiatan (a) dan (b)
dilakukan lebih dulu pada daerah kunci (key area), tergantung
pada beberapa hal yang akan diuraikan di bawah ini.
2. Pengamatan pada Daerah Kunci (Key-area)

Daerah kunci atau daerah pewakil merupakan daerah terpilih dalam suatu
daerah survei yang di dalamnya secara berdekatan, terdapat sebanyak
mungkin satuan peta yang ada di seluruh daerah survei tersebut.

Daerah kunci berfungsi untuk:

Mempelajari tanah secara lebih detail dari peta final.


Membuat definisi satuan peta dengan jalan menyusun legenda peta
sementara.
Membuat korelasi antara satuan peta tanah dengan citra foto.
Mengumpulkan data sumber daya lahan seperti data pola tanam,
penggunaan lahan, produksi tanaman, dosis pupuk dan lain-lain
secara lebih lengkap.

Beberapa persyaratan untuk daerah kunci adalah:

Harus dapat mewakili sebanyak mungkin satuan peta yang ada di


daerah survei.
Harus dibuat pada daerah di mana hubungan antara tanah dengan
kenampakan bentang-alam atau landform dapat dipelajari dengan
mudah.
Daerah kunci tidak boleh terlalu kecil. (Untuk survei tanah skala
semi detail, sekitar 10 - 30 % dan skala tinjau kurang-lebih 5 – 20
% dari luas total.)
Harus mudah diakses atau tidak sulit dikunjungi.
Transek juga merupakan daerah kunci sederhana dalam bentuk jalur atau
rintisan yang mencakup sebanyak mungkin satuan peta atau satuan
wujud-lahan. Transek tidak boleh sejajar dengan batas wujud-lahan.

Dalam setiap survei tanah, umumnya selalu diperlukan bantuan daerah


kunci, kecuali:

daerah survei relatif sempit.


jika bentang-alamnya telah diketahui dengan baik.
jika seluruh daerah harus didatangi secara intensif (misalnya
untuk survei irigasi).
pada survei skala kecil, dimana delineasi wujud-lahannya sangat
mudah.

Gambar 5.7 menyajikan contoh sebaran macam-macam


pengamatan tanah pada survei semi-detail dengan daerah pewakil.

3. Pengambilan Contoh Tanah

Setelah dilakukan deskripsi profil, diteruskan dengan pengambilan contoh


tanah masing-masing horizon.
Contoh tanah diambil mulai dari horizon bawah ke horizon paling
atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya 'pencemaran' contoh
tanah dari horizon yang lain.

Contoh tanah diambil sekitar 1-1,5 kg dan sebaiknya mencakup


seluruh horizon yang bersangkutan. Contoh dimasukkan kedalam kantong
plastik yang kuat dan diberi label yang mencakup hal-hal berikut:

Nomor kode profil :.....

Tanggal pengambilan :.....

Simbol Horizon :.....

Kedalaman (cm) :.....

Pemeta :.....

Dalam rangka menekan keragaman musiman, terutama dalam


lapisan tanah atas yang banyak mengandung bahan organik, kegiatan
pengambilan contoh tanah harus dilakukan pada periode dengan aktivitas
biologi yang rendah misalnya pada musim dingin atau musim kemarau.

Pada setiap horizon juga perlu dilakukan pengambilan contoh


tanah utuh dengan menggunakan 'ring-sample' disertai dengan pemberian
label. Contoh ini diperlukan untuk mengukur bobot isi tanah, kurva pF dan
lan-lain.

Penilaian status kesuburan tanah pada survei tanah tinjau (skala


1:250.000) lebih didasarkan pada profil pewakil dengan sebaran terbatas,
disesuaikan dengan variasi satuan fisiografi dan macam bahan induk
tanah. Untuk survei tanah semi-detail dan detail (skala > 1: 50.000),
penilaian kesuburan tidak hanya didasarkan pada profil pewakil tetapi
juga terhadap contoh khusus berupa contoh komposit, pada ke dalaman 0
– 20 cm dan 20 - 60 cm. Sebaran pengambilan contoh ini disesuaikan
dengan keadaan fisiografi, bahan induk dan satuan taksonomi tanahnya.
4. Pembuatan Peta Tanah Sementara

Titik-titik pengamatan baik berupa minipit, pemboran maupun profil tanh


langsung diplot pada foto udara atau peta pengamatan lapangan pada saat
pengamatan, sesuai dengan kode pengamatannya. Hasil pengamatan dari
masing-masing regu begitu sampai di base-camp langsung diplot pada peta
rekapan.

Diskusi mengenai temuan pada setiap hari pengamatan dilakukan


di base-camp oleh semua regu, dipimpin oleh ketua tim. Yang sangat
penting didiskusikan adalah mengenai penamaan tanah sesuai dengan
sistem klasifikasi tanah yang disunakan, serta sebaran dan proporsi tanah
tersbut dalam satuan wujud-lahan. setiap minipit hams telah diputuskan
klasifikasi tanahnya.

Dari hasil diskusi semua regu, semua pengamatan minipit dan


pemboran yang mempunyai satuan tanah yang sama dikumpulkan dalam
suatu arsip untuk kemudian dibuat kisaran sifat masing-masing satuan,
guna menentukan pedon tipikal.

Langkah selanjutnya adalah menyusun legenda peta tanah


sementara, sesuai dengan ketentuan yang telih dirumuskan dalam
kerangka acuan. Dengan demikian setelah seluruh pengamatan dilakukan
dan sebelum tim kembali dari lapangan, tim survei telah menghasilkan
peta tanah sementara berikut legendanya.

Beberapa perubahan batas satuan peta tanah, kelas lereng atau


relief yang diiumpai di lapangan langsung diperbaiki pada saat
pengamatan, untuk kemudian segera dilakukan revisi pada peta rekapan.

5.3 Pelaksanaan survei pada Berbagai skala survei


Tanah
Dibawah ini diuraikan peiaksanaan survei tanah beserta metodenya yang
diusulkan oleh puslittanak (1995) untuk dibakukan secara nasional pada
skala survei tinjau, semi detail dan detail. Untuk survei tanah skala
eksplorasi dan bagan, karena pada dasarnya berupa kompilasi dan
interpretasi dari faktor pembentuk tanah yang ada dan dari ketiga skala
survei lebih detail, tidak dibahas dalam uraian ini.

5.3.1 Survei Tanah Tingkat Tinjau (Reconnaissance Soil

Survey)

Survei tanah tingkat. tinjau dengan skala 1:250.000 umumnya merupakan


suatu kegiatan untuk keperluan perencanaan tingkat Regional atau
Propinsi. Pelaksanaan lapangannya harus menggunakan peta dasar
berskala lebih besar (1:50.000 atau 1:100.000). Satuan tanah yang
digunakan adalah Grup (Great group) atau Subgrup dari sistem Taksonomi
Tanah (Soil survey staff, 1999;2003). Dalam setiap satuan peta, dapat
dijumpai satu atau lebih satuan tanah dalam proporsi : asosiasi atau
kompleks.

Batas satuan peta disusun berdasarkan hasil analisis atau


interpretasi data peninderaan jauh (remote sensing). Citra satelit (Landsat,
SPOT, IKONOS, Radar dan lain-lain) berskala 1:250.000 atau 1:100.000
digunakan sebagai sumber analisis utama disertai dengan analisis atau
interprestasi foto udara berskala lebih besar (1:100.000 - 1:50.000) pada
beberapa bagian wilayahnya sebagai daerah kunci (key area).
Satuan peta yang disusun umumnya mengikuti satuan fisiografi
atau landform (Balsem dan Buurman, 1990) yang disesuaikan dengan
skala petanya ( 1 : 250. 000).

Pembuatan peta tanah tingkat tinjau dapat dilakukan dengan cara:

a. Penyederhanaan dari peta tanah berskala lebih besar (tinjau


mendalam atau semi-detail) yang sudah ada.
b. Apabila belum tersedia peta tanah skala lebih besar, maka metode
dan prosedur survei dan pemetaan tanahnya adalah sebagai
berikut:
(i) Interpretasi citra penginderaan jauh berupa Citra satelit
(Landsat, SPOT, IKONOS, Radar dan lain-lain) dengan skala
1:250.000 untuk mendelineasi landform di daerah survei
(physiographic approach). Jika pada beberapa bagian dari
wilayah tersebut tersedia foto udara skala yang lebih besar
(1:50.000-1:100.000), maka dapat digunakan interpretasi
landform dengan pendekatan yang sama. Hasil analisis
landform dituangkan pada peta dasar skala 1:250.000 atau
lebih besar (1:100.000) dengan menggunakan Pantograf.
(ii) Pemilihan daerah kunci yang diharapkan mewakili
sebagian besar satuan fisiografi (landform) yang dijumpai
di daerah survei. Luas daerah kunci, minimal 2O% dari
total luas daerah survei).
(iii) Survei laPangan terdiri atas:
Survei atau pengamatan intensif pada daerah kunci
dengan menggunakan "Sistem Transek" mengikuti
"toposekuen" untuk mendapatkan “komposisi" satuan
tanah pada setiap satuan landform. Untuk wilayah
datar, pengamatan dilakukan tegak lurus terhadap arah
aliran sungai.
Survei atau pengamatan di luar daerah kunci dilakukan
lebih jarang untuk menambah data pengamatan dan
"mengamati" secara cepat.
(iv) Selama survei atau pengamatan lapangan, pengamatan
batas-batas interpretasi foto udara secara terus-menerus
dilakukan berdasarkan fakta lapangan dan interpretasi
ulang data penginderaan jauh.
(v) Luasan minimal daerah yang dapat digambarkan pada Peta
Tanah Tinjau adalah 0,4 cm2 atau 250 ha dilapangan.
(vi) Peta dasar untuk penyajian Peta Tanah Tinjau adalah Peta
Topografi atau Peta Rupabumi skala 1:250.000 dengan
proyeksi UTM.

Komponen penyusun satuan peta tanah terdiri atas

(a) Satuan tanah tingkat subgrup atau great group.


(b) Komposisi dari satuan tanahnya.
(c) Landform (grup atau subgrup).
(d) Torehan(dissection).
(e) Lereng atau bentuk wilayah.
(f) Ketinggian tempat.
(g) Bahan induk.
(h) Luas (dalam hektar dan %).

5.3.2 Survei Tanah Tingkat Semi Detail (Semi Detailed Soil


Map)

Peta Tanah Semi Detail dengan skala 1:50.000 sampai 1:25.000, digunakan
untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan pada tingkat kabupaten atau proyek-
proyek pengembangan. peta dan naskah yang disajikan cukup detail dan
rinci sehingga penyusunannya melalui kegiatan survei/pemetaan tanah
yang juga harus, terinci dengan baik. Uraian lebih rinci dapat dilihat dalam
CSAR, (1994).

Satuan tanah yang digunakan adalah tingkat famili dan atau seri.
Setiap seri tanah hanrs diwakili paling tidak oleh 2 pedon pewakil. Untuk
menJrusun selang sifatnya (range of characteristics) digunakan semua data
minipit dan pemboran.

Delineasi satuan peta tanah diperoleh dari pengamatan lapangan


dengan bantuan interpretasi foto udara skala besar (>1:25.000). Foto
udara tersebut diinterpretasi berdasarkan physio-graphic approach
menggunakan stereoskop cermin. Satuan landform yang digunakan adalah
sedetail mungkin sampai dengan tingkat land facet atau land elemen sesuai
dengan skala peta publikasi (1:50.000-1:25.000), seperti dijelaskan dalam
Marsoedi et al. (1994).

Pengamatan lapangan dilakukan di seluruh daerah survei dengan


menggunakan pendekatan "toposekuen" dan atau "grid bebas" (flexible
grid). Jarak pengamatan berkisar antara 50 – 250 m, disesuaikan dengan
kondisi lapangan. Macam satuan peta yang digunakan dapat berupa
konsosiasi, asosiasi atau kompleks tanah-tanah pada kategori famili dan
atau seri tanah.

Jumlah pengamatan yang disarankan adalah 1 pengamatan per 25 -


100 ha. Ukuran luas lahan minimal yang dapat didelineasi pada peta tanah
adalah 10 ha di lapangan.

5.3.3 SurveiTanah Tingkat Detail

Survei tanah ini untuk keperluan operasional lapangan, misalnya


pembagian suatu perkebunan ke dalam blok-blok, keperluan budidaya
pertanian (pembuatan teras, pemupukan, rotasi, dll) dan perencanaan
detail dari suatu wilayah desa hingga tingkat kecamatan. Skala yang
dihasilkan antara 1:10.000 - 1:25.000.

Satuan tanah yang digunakan adalah fase dari seri tanah. Pewakil
tanah dibuat untuk masing-masing seri tanah sebanyak 2 pedon pewakil
dan untuk mendapatkan selang sifat, dibuat dari hasil pengamatan minipit
serta pemboran.

Pengamatan lapangan dilaksanakan dengan menggunakan foto


udara skala 1:5.000 atau 10.000. Batas satuan peta tanah langsung
didelineasi pada foto udara. Delineasi didasarkan atas "physiographic
approach" dengan satuan fisiografi berupa "faset” (lereng atas, leieng
tengah, lereng bawah, dan seterusnya) yang ditunjang oleh hasil
pengamatan tanah di lapangan.
Pengamatan lapangan dilakukan pada transek dari setiap faset
yang ada. Pelaksanaan untuk semua faset diseluruh wilayah survei,
dilakukan dengan metode grid berjarak 50 x 100 m untuk wilayah-wilayah
datar dan "flexible grid" melalui transek toposekuen pada faset-faset yang
berlereng.

Satuan peta tanah adalah fase dari seri tanah. Contoh : "Seri Lopok
lempung liat berdebu, lereng C (8-15%), erosi 2 (sedikit erosi), lereng
bawah, tuf andesit".

Peta dasar yang digunakan adalah peta rupa bumi, peta planimetri
(hasil pengukuran) atau peta photo (photomap) yang kemudian dibuat
peta orthophoto.

5.4 Analisis Laboratorium contoh Tanah, Pembuatan


Peta, dan Pelaporan
Contoh tanah yang telah diambil sebelum dianalisis di laboratorium perlu
dilerlakukan secara khusus seperti diuraikan dalam berbagai panduan.
(sudjadi et a1., 1971; Staf Jurusan Tanah FP Unibraw (1989), USDA-NCRS
(1996);.

Analisis kesuburan tanah meliputi tekstur, pH, bahan organik,


nitrogen, fosfat, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), Al-
dan H-ditukar dan besi bebas. Beberapa analisis khusus seperti kandungan
unsur mikro dan lain-lain kadang-kadang diperlukan, tergantung tujuan
survei.

Analisis fisika tanah terdiri atas tekstur, bobot isi, nilai pF,
permeabilitas, indeks plastisitas serta nilai COLE.

Analisis susunan mineralogi tanah meliputi mineral fraksi pasir


(menggunakan mikroskop polarisasi) dan analisis mineral liat/ debu
(menggunakan alat difraktometer sinar-X). Analisis ini diperlukan untuk
menunjang penetapan bahan induk tanah, klasifikasi tanah, kesuburan
tanah serta untuk evaluasi lahan.
Macam-macam analisis yang diperlukan. untuk tujuan klasifikasi
tanah (Taksonomi Tanah) menurut Eswaian (1981) disajikan dalam Tabel
5.3. dan 5.4.

Uraian mengenai pembuatan peta tanah dan laporan disajikan


dalam Bab 6 dan Bab 7.

Tabel 5.3 Jenis analisis tanah untuh keperluan klasifikasi berdasarkan taksonomi
tanah

Tabel 5.4 Macam analisis tanah untuk tujuan khusus


***
VI
PENANGANAN DATA SURVEI TANAH

6.1 Penanganan Data Hasil Survei Lapangan

Data-data hasil pengamatan di lapangan harus ditangani secara sistematis


agar lebih mudah dalam melakukan kompilasi data. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, bahwa setelah selesai melakukan deskripsi minipit
di lapangan, akan langsung dilakukan klasifikasi tanah pada kategori yang
telah ditentukan (seri/famili/subgroup) dan nama taksa tanah tersebut
harus tercatat pada setiap kartu minipit. Karena setiap survei tanah selalu
terdiri dari beberapa regu, maka keragaman di antara regu-regu tersebut
akan selalu ada, terutama dalam penamaan tanah. Oleh karena itu sebelum
dilakukan proses lebih lanjut, perlu dilakukan penyeragaman dan
pemilahan tanah-tanah yang memiliki taksa yang sama.

Kegiatan selama operasi lapangan (sebelum kembali dari


lapangan) adalah sebagai berikut:

1. Melakukan plotting titik-titik pengamatan dari semua regu, pada peta


kerja (peta lapangan) atau peta rekapan hasil pengamatan.
2. Melakukan korelasi terhadap narna taksa tanah dari semua regu yang
terlibat dalam survei tanah tersebut, dengan mengacu pada buku Keys
to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003 atau versi lebih baru) pada
tingkat/kategori yang telah ditentukan sebelumnya dalam TOR.
3. Mengelompokkan semua kartu minipit yang memiliki nama taksa
tanah yang sama.
4. Membuat kisaran sifat tanah dalam seri/famili/subgroup yang sama,
berdasarkan hasil pengamatan yang terdapat pada kartu minipit.
5. Menentukan lokasi pedon 'tipikal' dan'satelit' pada salah satu lokasi
minipit, yaitu yang memiliki sifat yang berada ditengah-tengah kisaran
sifat yang ada.
6. Melakukan penggalian dan deskripsi profil tanah pada pedon tipikal
(dan satelit), diikuti dengan melakukan klasifikasi tanah, serta
pengambilan contoh tanah pada setiap horizon.
7. Membuat peta tanah lapangan (peta tanah tentatif) beserta legenda
peta, yang menunjukkan komponen (taksa) tanah pada setiap satuan
peta yang dijumpai di daerah survei tersebut. Informasi yang harus
disajikan pada legenda peta tanah sangat tergantung dari skala peta,
seperti telah dijelaskan pada sub-bab 2.3.
8. Menyeleksi pedon yang contoh tanahnya akan dianalsis
dilaboratorium.

Dibawah ini akan diuraikan secara singkat beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian, terutama yang menyangkut klasifikasi tanah dan
pem-buatan peta tanah. Untuk evaluasi lahan dan pembuatan laporan
disajikan dalam bab tersendiri.

6.1.1 Melakukan Plotting Lokasi Pengamatan pada


Peta Kerja
Hasil pengamatan semua regu dalam tim survei tersebut diplot
(dipindahkan) pada peta kerja (Peta Rekapan Hasil Pengamatan
Lapangan), yang berupa peta landform yang ketak akan menjadi peta
publikasi. Peta ini di dalam Laporan Survei Tanah akan menjadi Peta
Lokasi Pengamatan, yang harus disajikan dalam lampiran.

Gambar 6.1. menyajikan contoh plotting semua pengamatan dari


semua regu, yang ditandai dengan kode singkatan ketua regu. Dalam
plotting tersebut dibedakan antara pengamatan minipit, pemboran dan
profil tanah. Masing-masing pengamatan memiliki koordinat yang tercatat
dalam kartu minipit atau kartu profil tanah. Dengan bantuan GPS, posisi
pengamatan dapat dilakukan dengan amat teliti, sekaligus dapat
ditentukan ketinggian titik pengamatan dari permukaan laut.
6.1.2 Melakukan Penamaan Tanah Berdasarkan Taksonomi
Tanah USDA

Penamaan tanah dilakukan dengan mengacu pada buku Keys to Soil


Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003 atau versi lebih baru) pada tingkat atau
kategori yang telah ditentukan sebelumnya dalam Kerangka Acuan atau
TOR (misalnya kategori seri, famili atau subgroup).

Dalam Gambar 6.2 disajikan ilustrasi tahapan krasifikasi tanah di


lapangan menggunakan Taksonomi Tanah.

Hasil deskripsi minipit, profil tanah, singkapan jalan atau tebing sungai
dicatat secara lengkap dalam kartu minipit atau kartu profil tanah dan
diteruskan dengan menentukan horizon penciri (epipedon, horizon bawah
atau endopedon, maupun penciri lain), menggunakan kriteria dalam buku
Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003 atau versi lebih baru).
Setelah itu diteruskan dengan identifikasi kelas taksonomi tanah dimulai
dari kategori ordo hingga seri (tergantung skala survei tanah). Sebaiknya
dalam setiap pengamatan minipit dan profil tanah dibuatkan sketsa yang
menunjukan jenis dan kedalaman masing-masing horizon, seperti yang
disajikan dalam Gambar 6.8.

Krasifikasi tanah ini harus dilakukan di lapangan sebelum


meninggalkan lokasi pengamatan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jika
ada pengamatan atau data yang kurang lengkap, segera bisa dilengkapi.

Apabila mengalami kesulitan dalam menentukan epipedon,


endopedon ataupun penciri lainnya karena harus menunggu hasil analisis
laboratorium, maka untuk memprediksi sifat tersebut dapat dilakukan
dengan memperhatikan beberapa sifat kimia tanah yang mudah diukur
dilapangan. Misalnya nilai kejenuhan basa (yang menjadi salah satu
kriteria epipedon molik) dapat di prediksi dari nilai PH tanah. Beberapa
sifat tanah yang lain dapat di prediksi dilapangan dengan menggunakan
prosedur yang dikemukakan dalam Notohadiprawiro (1985).

6.1.3 Mengelompokkan Hasil Pengamatan Minipit dan


Pemboran

Setelah melakukan klasifikasi tanah, maka semua data minipit yang


memiliki nama yang sama harus dikelompokkan tersendiri dalam suatu
file yang terpisah dengan taksa tanah yang lain.

Sebelum itu, terlebih dahulu perlu dilakukan korelasi penamaan


taksa tanah yang dilakukan oleh korelator berpengalaman untuk
mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ada sebagai akibat dari banyaknya
regu yang terlibat dalam kegiatan survei tanah.

Setelah itu dibuat daftar nomor-nomor (kode) pengamatan yang


memiliki taksa sama dan kemudian digunakan sebagai dasar dalam
membuat kisaran sifat tanah.
6.1.4 Membuat Kisaran Sifat Tanah dalam Kategori Seri atau
Famili

Pembuatan kisaran sifat tanah dalam kategori seri atau famili atau sub-
grup dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Buat sketsa profil tanah dari hasil pengamatan minipit, yang


menunjukkan simbol horizon dan kedalaman masing-masing (Gambar
6.3).

o Tentukan jenis dan kedalaman epipedon, endopedon


(horizon bawah).
o Tentukan jenis dan kedalaman sifat penciri lain jika ada
(misalnya, sifat tanah andik, bahan sulfidik, nilai COLE dan
lain-lain).
o Tentukan rezitn lengas tanah dan rezim suhu tanah (data
iklim + pengamatan lapangan).
o Untuk kategori seri, kumpulkan pedon yang sama pada
kategori famili.
Amati perbedaan yang ada pada sketsa pedon yang dibuat (tebal
horizon, ada tidaknya serta berapa % kandungan kerikiVbatu,
karatan, konkresi dan lain-lain).
Tentukan pembeda seri pada penggal penentu (control section)
seperti dikemukakan dalam Keys to SoiI Taxonomy (KST)
6.1.5 Menentukan Lokasi Pedon 'Tipikal' dan Pedon 'Satelit'

Pedon yang dipilih sebagai pedon tipikal harus memenuhi kriteria seri
atau famili tanah yang dimaksud. Pedon tipikal dan atau pedon satelit
dipilih berdasarkan kisaran sifat masing-masing seri tanah (range in
characteristic = RIC), yaitu yang mempunyai kisaran sifat kira-kira berada
di tengah-tengah dan dalam satuan peta (delineasi) yang luas.

Penentuan lokasi pedon tipikal dipilih lokasi minipit yang sedapat


mungkin memiliki sifat di tengah-tengah kisaran sifat yang ada.

Setelah memutuskan lokasi, dilakukan penggalian, deskripsi dan


klasifikasi serba pengambilan contoh tanah.

6.1.6 Membuat Peta Tanah Lapangan (Peta Tanah Tentatif)

Sebelum kembali dari lapangan harus sudah dihasilkan peta tanah tentatif
(sementara) beserta legendanya. Nama satuan taksonomi tanah dari
masing-masing satuan peta tanah (SPT) didasarkan pada klasifikasi tanah
di lapangan (sebelum melakukan analisis contoh tanah di laboratorium).

Penentuan komposisi tanah dalam masing-masing satuan peta


tanah (SPT), dilakukan dengan cara translk atau dengan grid untuk daerah
yang datar. Adanya tanah yang berbeda mula-mula diprediksi dari
perbedaan-perbedaan bahan induk, landform, relief lereng dan lain-lain.
prosentase luas masing-masing seri tanah dalam setiap SPT didasarkan
pada komposisi seri tanah yang terdapat dalam SPT yang bersangkutan.
Dibawah ini disajikan cara penentuan seri tanah di lapangan.
Seri tanah ditentukan berdasarkan perbedaan sifat-sifat utama
sebagai berikut:

a. Seri tanah dafam famili yang sama ditentukan dengan jalan


menentukan lebih dahulu pembeda utama (1 atau 2 sifat
pembeda), kemudian ditentukan kisaran sifat berdasarkan
pengamatan-pengamatan yang dilakukan (ditentukan dulu sifat
pembeda utama, baru kisaran sifat lainnya).
b. Jika satu famili hanya terdiri atas satu seri, maka langsung dapat
dibuat kisaran sifat, tetapi tidak boleh terlalu lebar untuk
memungkinkan seri baru dalam famili dan tidak boleh melampaui
sifat famili. pembedaan seri tanah dalam satu famili didasarkan
atas pertimbangan pengelolaannya.
c. Kisaran sifat masing-masing seri tanah disusun dari hasil
pengamatan yang dilakukan.

Pemilihan lokasi pengamatan tanah (minipit dan pemboran)


dilakukan berdasarkan transek (toposekuen dan litosekuen) dengan
perbedaan kenampakan lapangan. Posisi dalam landform, lereng, relief
dan kenampakan lainnya yang mungkin menunjukkan perbedaan sifat
tanah, dipakai sebagai patokan.

Peta tanah tentatif ini akan menjadi dasar dalam pembuatan peta
tanah final, setelah dilakukan analisis laboratorium.

6.1.7 Memilih Contoh Tanah yang Akan Dianalisis

Dari semua horizon dalam setiap profil pewakil (pedon tipikal) dan
satelitnya, diambil ± 1 kg contoh tanah untuk dianalisis dilaboratorium.
Macam analisis yang dilakukan terdiri atas: tekstur, C-organik, N-total, P-
tersedia, KTK (NH4OAc pH 7), Basa-basa tukar (NH4OAc pH 7), Al 1N KCI
(bila pH H2O <5.0), pH H2O dan pH KCl (1:1) dan lain-lain seperti
dijelaskan dalam subbab 5.4. Analisis laboratorium dilakukan menurut
metoda baku (ISRIC, 1992; USDA-NCRS, 1996; Puslittan Bogor, 1971), atau
lainnya.
Evaluasi kesuburan tanah dilakukan terhadap seri-seri tanah yang
dijumpai di daerah survei. Kriteria penilaian sifat dan penentuan kendala
tanah mengacu pada sistem klasifikasi kemampuan kesuburan tanah (FCC)
(Sanchez, et al., 1982 dan Sanchez and Buol, 1985; Sanchez, et al.,2003).

Data-data yang digunakan dalam evaluasi kesuburan, selain


berasal dari hasil analisis contoh tanah di laboratorium, sebagian
diperoleh langsung melaliri deskripsi profil pewakil dan minipit dari
masing-masing seri atau famili tanah serta dari data penunjang berupa
hasil wawancara dengan beberapa petani setempat dalam rangka
mendapatkan informasi tentang penerapan teknologi pengelolaan tanah
dan budidaya tanaman pada lahan-lahan yang telah diusahakan untuk
pertanian.

Contoh tanah untuk evaluasi kesuburan tanah diambil dari profil


pewakil dan minipit dari seri-seri tanah yang ada pada kediaman lapisan
olah (0-20 cm) dan lapisan bawah (20-50 cm).

6.2 Klasifikasi Tanah


Seperti telah dikemukakan dalam bab terdahulu bahwa Taksonomi Tanah
USDA merupakan satu-satunya sistem klasifikasi tanah yang digunakan di
Indonesia dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah sejak diputuskan
dalam Kongres HITI pada bulan Desember 1989 yang lalu. Dengan
demikian, klasifikasi tanah yang dibahas dalam buku ini adalah sistem
Taksonomi Tanah. Padanan nama beberapa sistem klasifikasi tanah yang
telah dikenal dilndonesia dan masih digunakan dalam peta-peta tanah
yang beredar hingga saat ini disajikan dalam Tabel 6.1.

Untuk dapat mengklasifikasikan tanah, data deskripsi minipit dan


atau profil tanah disertai data iklim seperti rezim lengas tanah dan rezim
suhu tanah. harus diperoleh terlebih dahulu. Kemudian dengan mengacu
pada buku Keys to Soil Taxonomy yang diterbitkan oleh Soil Survey Staff
(2003 atau versi lebih baru), dapat dilakukan klasifikasi tanah mulai dari
kategori ordo hingga seri, tergantung dari tujuan survei atau macam peta
tanah yang akan dibuat. Klasifikasi tanah final dilakukan setelah
memperoleh data hasil analisis laboratorium dari contoh-contoh tanah
yang diambil dari pedon pewakil.

Di bawah ini diuraikan beberapa prinsip dasar untukmengenal


sistem Taksonomi Tanah USDA

6.2.1 Kategori dalam Taksonomi Tanah Sistem USDA

Dalam sistem Taksonomi Tanah USDA, terdapat 6 kategori yang tersusun


secara berhirarki, yaitu ordo (order), sub-ordo (sub-order), Grup (great-
group), Sub-grup (sub-group), Famili (family) dan seri. Dari kategori
tertinggi (ordo) ke kategori terendah (seri), uraian mengenai sifat-sifat
tanahsemakin detil, seperti contoh dibawah ini. Sifat-sifat penciri untuk
berbagai katego disajikan dalam Tabel 6.1.

Ordo lnceptisol (inceptum = permulaan, tanah baru berkembang).

Sub-ordo Ustept : Ust dan ept (ustic = daerah yang relatif kering; ept
merupakan singkatan untuk lnceptisol).

Grup Haplustept (Hapl dari haplaous = sederhana, minimal horilon).

Sub-group Fluventic Haplustept (fluvium = dataran banjir).

Famili Coarse-loamy, mixed, active, isohyperthermic, Fluventic


Haplustept (kelas besar butirnya adalah berlempung kasar,
terdiri atas berbagai macam jenis mineral liat (mixed); nisbah
kapasitas tukar kation : % liat adalah antara 0,4 - 0,6 ;
isohyperthermic menunjukan rezim suhu tanah rata-rata
tahunan >220C, dengan perbedaan suhu musim panas dan musim
dingin < 60C. )

Seri Moyo (Nama tempat, yaitu lempat pertama kali seri ini
dijumpai.)
Penggolongan tanah dalam ordo, subordo dan grup ditekankan
pada sifat-sifat tanah yang merupakan hasil proses pembentukan tanah
yang dominan dan menentukan tingkat perkembangan tanah yang
bersangkutan.

Tabel 6.3. menyajikan sifat-sifat penciri tanah, untuk masing-


masing kategori dalam Taksonomi Tanah (USDA).

6.2.2 Ordo Tanah


Ordo tanah dibedakan berdasarkan ada tidaknya serta jenis horizon
penciri (diagnostic horizon) atau sifat-sifat tanah lain yang merupakan
hasil dari proses pembentukan tanah. Berdasarkan morfologi horizon-
horizon penciri dan sifat-sifai penciri lainnya, tanah di permukaan bumi ini
dapat dikelompokkan kedalam 12 ordo (Tabel 6.3)
6.2.3 Subordo Tanah

Subordo tanah merupakan pembagian lebih lanjut dari ordo yang


didasarkan pada keseragaman genetik yang lebih besar. Faktorpencirinya
adalah sebagai berikut:

a. Faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap genesis tanah


dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, seperti
pengaruh lengas tanah sebagai akibat iklim yang berbeda,
misalnya: Udalf, Xeroll dan lain-lain; besarnya pengaruh air seperti
Aquept, Aquent dan lain-lain.
b. Sifat-sifat tanah yang sangat menonjol dalam ordo, seperti
Psamments (Entisol yang sangat terpasir).
6.2.4 Grup Tanah (Great group)

Grup atau great group merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-ordo
dan dibedakan berdasarkan kriteria sebagai berikut;

1. Persamaan dalam susunan dan tingkat perkembangan horizon, atau


sifat penciri tanah yang lain pada horizon yang tidak terlalu dalam dari
permukaan, karena lebih mencerminkan proses pembentukan tanah,
misalnya Plinthaquept, Fragiudalf .
2. Persamaan dalam rezim suhu atau rezim lengas tanah, misalnya
Epiaquept, Udifluvent.
3. Persamaan dalam niai kejenuhan basa, misalnya Dystrudept, Eutrudox
dan lain-lain.

6.2.5 Subgrup Tanah

Subgrup merupakan pembagian lebih lanjut dari Grup dan dibagi menjadi
3 kelompok, yaitu:

1. Subgrup typic, merupakan konsep dasar dari great-group, sehingga


mempunyai-sifat yang tidak menyimpang dari great-group-nya atau
tidak menunjukkan adanya sifat-sifat tambahan yang nyata selain
sifat-sifat dasar yang dimiliki great-group-nya. Misalnya Typic
Eutrudepts, Typic Fragiudult.
2. Subgroup intergrade. selain mempunyai sifat-sifat dasar great-group-
nya, subgroup ini memiliki sifat-sifat lain yang terdapat pada ordo,
sub-ordo atau greatgrup lain, sehingga merupakan sifat peralihan dari
jenis-jenis tanah tersebut seperti jenis-jenis horizon atau sifat-sifat
tanah yang digunakan sebagai penciri pada kategori lain. Misalnya
Andic Dystrudept (memiliki beberapa sifat Andisol, tetapi
memperlihatkan sifat penciri Dystrudept), Mollic Hapludalf, Plinthic
Haplustox Vertic Torrifluvent, Fluvaquentic Humaquept dan lain-lain.
3. Subgroup extragrade. Selain memiliki sifat-sifat dasar great-group nya,
subgroup ini memiliki sifat-sifat lain yang tidak dimiliki oleh taksa
tanah lain, misalnya Lithic Hapludalf, Humulic Humaquepts.

6.2.6 Famili Tanah

Klasifikasi pada tingkat Famili tanah didasarkan atas sifat-sifat fisik dan
kimia tanah yang memengaruhi interpretasi untuk penggunaan dan
pengelolaan tanah, kemampuan tanah dan pertumbuhan tanaman,
maupun untuh bidang rekayasa. Sifat-sifat tersebut tidak harus
merupakan suatu proses pembentukan tanah.

Sifat-sifat pembeda nama famili menurut soil survey staff (2003)


berturut-turut adalah sebagai berikut:

kelas besar butir pada horizon di bawah horizon olah yang


mempunyai aktivitas biologi utama
kelas mineralogi, yaitu susunan mineral (liat) dari horizon-horizon
tersebut
kelas aktivitas tukar katio,
kelas kalkareus dan reaksi tanah
kelas suhu tanah
Kelas kedalaman tanah yang dapat ditembus akar tanaman
Kelas ketahanan kerapuhan
Kelas penyelaputan (pada pasir)
Kelas rekahan tetap (permanen)

Pengunaan sifat-sifat pembeda famili tergantung pada nama sub-


grupnya (lihat soil survey staff, 2003), tapi sifat-sifat yang umumnya
hampir selalu ada adalah kelas: besar butir, kelas mineralogi, dan rezim
suhu tanah.

Sifat-sifat pembeda di atas merupakan sifat pada penggal penentu


(control section) yang merupakan bagian tanah-bawah yang miliki
sifat yang stabil, umumnya pada kedalaman 25 - 100 cm. Penggal
penentu tidak pernah termasuk bagian dari horizon Ap atau
lapisan penghambat perakaran.
Contoh nama famili:
Anthraquic Eutrudept, berlempung kasar, campuran, aktif,
isohiperthermik.
Aquic Udipsamment, campuran, isohiperthermik.
Histic Humaquept, berdebu halus, kaolinitik, tidak masam,
isohiperthermik.
Oxiaquic Hapldalf, halus, illitik, isohiperthermik.

6.2.7 SeriTanah

Seri tanah merupakan sekumpulan tanah yang berasal dari bahan induk
yang sama dan mempunyai sifat-sifat dan susunan horizon yang sama,
terutama di bagian bawah horizon olah. suatu seri tanah dapat berbeda
dalam hal lereng, tingkat erosi, sifat-sifat lapisan olah dan lain-lain, selama
faktor tersebut tidak menyebabkan perbedaan dalam susunan horizon di
bawahnya. Dalam Buku Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1999;
2003) tidak ada kunci untuk penamaan seri tanah. Dengan demikian
penamaan seri tentatif diserahkan kepada Tim survei masing-masing
dengan memeperhatikan beberapa panduan umum yang dikemukakan
dalam Soil Survey Staff(1999; 2003).

Tanah lapisan olah tidak dipakai sebagai pembeda karena sifatnya


mudah berubah. sifat untuk menentukan seri tanah dipilih dari beberapa
sifat solum di bawah lapisan olah tersebut. Sifat pembeda seri adalah: (1)
jenis, tebal dan susunan horizon, (2) sifat morfologi horizon (warna,
tekstur, struktur, konsistensi dan lain-lain) (3) kandungan fragmen batuan
(4) komposisi mineralogi horizon-horizon.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penamaan seri tanah


adalah :

Seri tanah tidak boleh melanggar batas kriteria dari famili tanah
Nama-nama seri tanah diambil dari nama tempat pertama kali seri
terseebut dijumpai. Misal seri Lopok, seri Pagak, dan lain-lain.
Contoh cara membedakan seri tanah dalam famili yang sama
disajikan dalam Tabel 6.4.

6.2.8 Horizon Penciri

Horizon penciri dibedakan atas epipedon dan endopedon atau disebut juga
horizon bawah (subsurface horizons). Berikut ini adalah uraian ringkas
masing-masing epipedon dan horizon bawah. Uraian lebih detil mengacu
pada Soil Survey Staff (2008).

1. Epipedon

Epipedon merupakan horizon permukaan (tidak sama dengan horizon A),


dapat mencakup seluruh horizon A atau lebih tipis dari horizon A. Kadang-
kadang juga termasuk sebagian atau seluruh horizon B (jika horizon B
berwarna gelap yaitu value ≤ 3, tidak masif dan kandungan C-organik
memenuhi kriteria epipedon mollik).

Beberapa epipedon yang penting dan umum ditemukan di


Indonesia adalah mollik, umbrik dan ochrik. Di tanah organik (gambut)
juga dijumpai epepedon histik. Sedangkan di daerahvolkan, kemungkinan
dijumpai melanik. Ringkasan sifat masing-masing epipedon dikemukakan
di bawah ini. Uraian lebih detil harus mengacu pada Soil Survey
Statr(2008, atau versi lebih baru).

a. Epipedon mollik merupakan horizon permukaan yang memiliki


sifat-sifat berikut:
perkembangan struktur cukup kuat, sehingga tanah tetap
lembut jika kering
warna gelap (value dan chroma ≤3 jika lembab dan value ≤5
jika kering)
kandungan bahan organik >1 % atau > 0,6 % C-organik
tebalnya harus ≥ 18 cm
mempunyai nilai kejenuhan basa (dengan NH4OAc) >50%
beberapa bagian dari epipedon lembab > 90 hari
(kumulatif)/tahun
kadar P larut dalam asam sitrat < 1.500 ppm
nilai n <0,7
b. Epipedon umbrik, sama seperti epipedon mollik, kecuali nilai
kejenuhan basa (dengan NH4OAc) <50%.
c. Epipedon okrik, seperti epipedon mollik dan umbrik, kecuali
Warna 'value' dan' chroma' >3 jika lembab dan value >5 jika
kering.
Kandungan bahan organik < 1%.
ketebalannya tidak memenuhi kriteria untuk mollik dan
umbrik.
Nilai n > 0,7
Masif jika kering
warna seperti mollik tetapi tebal tidak memenuhi kriteria
mollik.
d. Epipedon histik, horizon permukaan yang jenuh air > 30 hari dan
tereduksi, tersusun dari bahan organik dengan tebal20 - 60 cm.
e. Epipedon mekanik, horizon yangmemiliki sifat tanah andik tebal >
30 cm, berwarna gelap (value dan chroma < 2 ), indeks melanik <
1,70 pada seluruh ketebalan, kandungan C-organik > 6%.
f. Epipedon anthropik, horizon permukaan yang memiliki sifat seperti
epipedon mollik, tetapi kadar P larut dalam asam sitrat > 1.500
ppm.
g. Epipedon folistik, lapisan pennukaan yang terdiri atas bahan
organik dengan tebal > 2O cm (bahan organik kasar) atau ≥ 15%
(bahan organik sedang atau halus).
h. Epipedon plaggen, horizon permukaan berwarna gelap dengan
tebal > 50 cm sebagai akibat dipupuk dengan pupuk organik seeara
terus-menerus selama bertahun-tahun.

2. Horizon Bawah Penciri

Berikut ini disajikan sifat-sifat penting beberapa horizon bawah yang


umum dijumpai di Indonesia. Definisi rengkap serta jenis horizon
selengkapnya agar mengacu pada Soil Survey Staff(2003, atau versi lebih
baru).

a. Horizon argilik, merupakan horizon iluviasi yang mempunyai sifat-


sifat berikut :
Mengandung lebih banyak liat dari pada horizon eluviasi.
Jika horizon eluviasi < 15%, maka liat di horizon argilik
harus >3%.
Jika horizon eluviasi 15 – 40%, maka liat di horizon argilik
harus >1,2 %.
Jika horizon eluviasi >40%, maka liat di horizon argilik
harus > 8%.
Jika horizon eluviasi >60%, maka liat halus di horizon
argilik harus > 8%.
Penambahan liat di atas harus dalam jarak vertikal <30 cm.
Ketebalannya >1/10 dari jumlah tebal horizon-horizon
diatasnya.
Terdapat selaput liat pada permukaan gumpalan struktur.
b. Horizon Kambik, merupakan horizon yang menunjukkan indikasi
yang lemah tentang adanya argilik atau spodik, tetapi tidak
memenuhi syarat untuk kedua horizon tersebut.

Ciri-cirinya adalah:
Tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung,
atau lebih halus.
Struktur tanah telah terbentuk.
Bukan merupakan bagian dari horizon Ap, tidak memenuhi
warna epipedon mollik atau umbrik.
c. Horizon Kandik, seperti horizon argilik tetapi KTK efektif jumlah
basa yang diekstraksi dengan NH4OAc pH 7 + Al dapat ditukar yang
diekstraksi dengan 1N KCI) < 12 cmol (+) /kg liat dan KTK dengan
NH4OAc pH 7 < 16 cmol (+) /kg liat.
d. Horizon kalsik, mempunyai tebal > 15 cm, mengandung CaCO3
setara> 15%.
e. Horizon oksik, merupakan horizon yang terdapat pada tanah-tanah
yang telah mengalami pelapukan lanjut. Horizon tersebut memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
Tebal > 30 cm
Kandungan mineral lapuk <10%.
Tidak memenuhi kriteria horizon argilik.
KTK efektif jumlah basa yang diekstraksi dengan NH4OAc pH 7 +
Al-tukar yang diekstraksi dengan 1N KCI) < 12 cmol (+) / kg liat
dan KTK dengan NH4Oac pH 7 < 1-6 cmol (+) /kg liat.
f. Horizon gipsik, horizon yang banyak mengandung gipsum (CaSO4),
minimal 5% lebih tinggi dari horizon dibawahnya, tebal > 15 cm.
g. Horizon petrokalsik,horizon kalsik yang mengeras.
h. Horizon petrogipsik, horizon gipsik yang mengeras.
i. Horizon natrik, seperti horizon argilik, tetapi mempunyai struktur
prismatik atau kulumnar dan mengandung Natrium yang tinggi.
j. Horizon plakik, horizon tipis ( 1 - 25 mm), padat, berwarna coklat
kemerahan - hitam, berupa padas besi dan mangan, dengan
kedalaman < 30 cm.
k. Horizon spodik, horizon akumulasi seskuioksida bebas dan bahan
organik. Jika > 50% memadas disebut orstein.
l. Horizon sulfurik, horizon tanah mineral atau tanah organik dengan
pH < 3,5, banyak mengandung sulfat dengan karatan jarosit
(berwarna kuning). Terbentuk sebagai hasil oksidasi bahan yang
mengandung pitit (FeS2).
m. Horizon albik, horizon berwarna pucat dengan warna value > 4
(lembab) atau > 5 (kering).
3. Penciri Khusus

Selain horizon penciri di atas, terdapat beberapa penciri khusus sebagai


berikut:

a. Konkresi, merupakan senyawa tertentu (seperti kapur, besi,


mangan, silikat), yang berlapis-Iapis memusat dan mengeras.
b. Padas (pan), merupakan horizon yang pada/mengeras, biasanya
karena tersementasi oleh besi, bahan organik, silikat, kapur liat
dan debu (bentukan genetis atau karena adanya tekanan).
c. Fragipan, ialah lapisan tanah yang teguh tetapi mudah pecah,
tetapi dengan kepadatan tinggi. Jika lembab mudah pecah dan
tampak memadas jika kering.
d. Duripan,merupakan lapisan tanah yang kokoh/teguh, tidak mudah
pecah, tidak tembus air dan akar.
e. Plintit, merupakan bahan liat lapuk kaya seskuioksida miskin
humus, berbentuk poligonal menyerupai karataan-karatan besar
berwarna merah; memadat atau beralih secara 'irreversible' ke
konkresi dalam keadaan basah atau kering berulang-ulang.
f. Slickenside, merupakan permukaan-permukaan licin dan
mengkilap disebabkan oleh massa tanah yang saling bergesekan
satu dengan lainnya.
g. Selaput liat, merupakan selaput yang mengkilap bahan liat
alumunium silikat, biasanya terdapat bidang-bidang belahan
struktur atau pada bekas akar.
h. Kontak litik, merupakan batas tanah dengan dibawahnya yang
keras dan padu.
i. Kontak Paratithik, merupakan batas tanah dengan dibawahnya
yang lunak dan padu.

6.2.9 Sifat-sifat Penciri Lain

1. Rezim Suhu Tanah

Rezim suhu dalam hal ini merupakan rezim suhu tanah kedalaman sekitar
50 cm. Jika tidak dilakukan pengukuran tanah, maka suhu tanah untuk
daerah tropis dapat diperkirakan dari suhu udara rata-rata + 2,5 0C.

Beberapa rezim suhu tanah yang penting adalah:

Mesic : merupakan suhu tanah rata-rata tahunan 8 0C- 15 0C

Thermic : suhu tanah rata-rata tahunan 15 0C – 22 0C

Hyperthermic : suhu tanah rata-rata tahunan > 22 0C

Rezim suhu yang berawalan iso, misalnya iso-mesic, iso-thermic


dan lain-lain, yang menunjukkan suhu tanah rata-rata musim
panas dan musim di <6 0C.

2. Rezim Lengas Tanah

Biasanya ditentukan pada kedalaman antara 10 – 90 cm. Beberapa rezim


kelembaban yang penting adalah:

a. Aquic, tanah hampir selalu jenuh air, sehingga terjadi reduksi dan
ditunjukkan oleh adanya karatan dengan chroma rendah (chroma
≤ 2, value ≤ 4).
b. Perudic, curah hujan setiap bulan selalu evapotranspirasi.
c. Udic, tanah tidak pernah kering selama 90 hari (kumulatif) setiap
tahunnya.
d. Ustic, tanah setiap tahunnya kering lebih dari 90 hari (kumulatif)
tetapi kurang dari 180 hari.
Sifat sifat Tanah Andik

Bahan tanah harus mengandung <25 % C-organik dan memenuhi satu atau
lebih persyaratan berikut:

1. Dalam fraksi tanah-halus, harus memenuhi semua syarat berikut:

Jumlah Al + 1/2 Fe (dengan amonium-oksalat masam ) ≥2,0%

Berat volume, adalah ≤ 0,90 g/cm3

Retensi fosfat ≥ 85%

2. Dalam fraksi tanah-halus yang mengandung partikel Ø 0,02- 2,0 mm


sebesar ≥ 30% , memilki retensi fosfat ≥ 25 % dan salah satu berikut:
a. Jika jumlah Al + 1/2 Fe (dengan amonium-oksalat masam) ≥0,40
%, kandungan gelas volkan ≥30% , atau
b. Jika jumlah Al + 1/2 Fe (dengan amonium-oksalat masam) ≥2,0% ,
kandungan gelas volkan ≥ 5%, atau
c. Jika jumlah Al + 1/2 Fe (dengan amonium-oksalat masam) antara
0,40 - 2,0 %, kandungan gelas volkan cukup banyak sehingga %
gelas volkan, jika di plot terhadap nilai jumlah Al + 1/2 Fe, masuk
dalam bagian yang diarsir pada Gambar 6.4
6.3 Penanganan Data Pasca Survei Lapangan
Penanganan data setelah pengamatan lapangan terdiri dari:

1. Penanganan awal contoh tanah yang akan dianalisis (pra-analisis).


2. Analisis contoh tanah di laboratorium.
3. Klasifikasi-ulang tanah berdasarkan data hasil analisis laboratorium.
4. Pembuatan peta tanah final serta legenda peta
5. Melakukan evaluasi lahan dan pembuatan peta evaluasi lahan.
6. Penyusunan laporan akhir.
Contoh tanah yang telah dipilih untuk dianalisis diperlakukan
sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jenis analisis tanah yang diperlukan
disesuaikan dengan taksa tanah, sesuai dengan yang telah dijelaskan
dalam Bab 5.

Hasil analisis contoh tanah digunakan untuk mengklasifikasi-ulang


pedon tipikal dan pedon satelit. Jika terjadi perubahan dalam klasifikasi
tanah, maka akan langsung direvisi. Bersamaan dengan itu, legenda peta
tanah final dapat disusun.

Langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi lahan yang


diteruskan dengan pembuatan peta evaluasi lahan dan penyusunan
laporan akhir, seperti yang akan dibahas dalam Bab 7 hingga 12.

6.4 Pembuatan Peta Tanah


Peta tanah final (peta yang dipublikasikan) dibuat di atas peta dasar. Skala
peta dasar ini harus mempunyai skala yang sama dengan peta tanah final.
Menurut Soil Survey Division Staff (1993), peta dasar ini dapat berupa
produk dari penginderaan jauh (foto udara, citra satelit dan radar) dan
yang berasal dari pengukuran secara manual (peta planimetri, peta
topografi dan lain-lain). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan peta dasar telah dikemukakan dalam Bab 2.

Jika peta dasar telah memenuhi syarat di atas, maka semua batas
satuan peta tanah yang diperoleh pada saat kegiatan survei lapangan
harus dapat diplot dengan teliti pada peta dasar publikasi.

Beberapa karakteristik penting peta tanah yang harus diperhatikan


adalah kemudahan dibaca (map legibility), batasan ukuran minimal dan
tekstur peta.

Sifat kemudahan pembacaan peta dipengaruhi oleh beberapa hal


berikut:

Jumlah poligon batasan satuan peta tanah.


Pemilihan warna untuk membedakan satuan peta.
Tanda-tanda alam yang digambarkan pada peta.
Kualitas penyajian peta.

Peta tanah yang baik harus mudah dibaca, berketelitian tinggi,


mempunyai satuan peta tanah (SPT) yang jelas, serta simbol dan legenda
yang lengkap dan sistematis (Bab 2). Contoh beberapa peta yang
dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat disajikan
dalam Gambar 6.5 dan 6.6.
Pada Gambar 6.7 disajikan ilustrasi tingkat kerumitan peta tanah
berdasarkan skala yang berbeda. Penyajian legenda peta masing-masing
skala pada Gambar 6.7. disajikan dalam Tabel 6.7. Contoh ini menunjukkan
bahwa semakin besar skala peta tanah maka satuan peta tanah semakin
banyak atau semakin rinci. Demikian pula halnya dengan keterangan yang
disajikan dalam legenda peta tanah. Pada Tabel 6.6 disajikan tanah-tanah
pertanian utama pada kategori subgroup (grup tanah).
VII
EVALUASI LAHAN

D alam memanfaatkan sumber daya lahan untuk penggunaan lahan


tertentu, diperlukan perbimbangan yang matang dalam mengambil
keputusan mengingat tingginya persaingan dalam penggunaan lahan, baik
untuk kepentingan produksi pertanian maupun untuk keperluan
nonpertanian seperti pemukiman dan industri. OIeh karena itu lahan perlu
diklasifikasikan berdasarkan kelas kemampuan atau kelas kesesuaiannya
untuk penggunaan tertentu.

Dengan tersedianya data dan informasi yang diperoleh dari survei


tanah seperti yang telah dikemukakan dalam Bab 1-6, maka akan
diketahui potensi suatu lahan atau suatu satuan peta lahan (SPL) serta
kesesuaiannya sekaligus tindakan pengelolaan yang diperlukan untuk
setiap satuan peta tersebut. Hal ini dapat diketahui melalui kegiatan
evaluasi sumber daya lahan.

Evaluasi lahan merupakan suatu proses pendugaan potensi


sumber daya lahan untuk berbagai penggunaan. Proses klasifikasi lahan
pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua pendekatan atau metode, yaitu
metode faktor pembatas dan metode parametrik. Pada metode faktor
pembatas, setiap sifat-sifat lahan atau kualitas lahan disusun berurutan
mulai dari yang terbaik (yang memiliki pembatas paling rendah) hingga
yang terburuk atau yang terbesar penghambatnya. Masing-masing kelas
disusun tabel kriteria untuk pengunaan tertentu demikian rupa, sehingga
faktor pembatas terkecil untuk kelas terbaik dan faktor pembatas terbesar
jatuh ke kelas terburuk. Contoh evaluasi lahan yang menggunakan metode
ini adalah klasifikasi kemampuan lahan (Klingebiel dan Montgomery,
1961), evaluasi lahan FAO (FAO, 1976).

Pada metode parametrik, sifat-sifat lahan yang menentukan


kualitas lahan diberi nilai dari 10 hingga 100. Kemudian setiap nilai
digabung dengan jalan penambahan, pengurangan (Indeks = A + B + C – D
– ...) atau perkalian (Indeks = A x B x C x D x ...) dan ditentukan selang nilai
untuk setiap kelas. Nilai tertinggi untuk kelas terbaik dan nilai terendah
untuk kelas terburuk. contohnya adalah Indeks storie (Storie, 1933),
Indeks Produktivitas Riquier et al, (FAO, 1970).

Berdasarkan pada tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa


klasifikasi kemampuan lahan atau klasifikasi kesesuaian lahan. Klasifikasi
kesesuaian lahan bersifat spesifik untuk suatu tanaman atau untuk
penggunaan tertentu, misalnya klasifikasi kesesuaian lahan untuk
tanaman padi sawah, kesesuaian lahan untuk tanaman jati, dan
sebagainya. Klasifikasi kemampuan lahan (land and Capability
Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan)secara
sistematik dan pengelompokkannya kedalam beberapa kategori
berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat
dalam penggunaannya secara lestari (FAO, 1976; Arsyad, 1973).

Metode evaluasi lahan yang banyak digunakan dalam penelitian


maupun dalam proyek evaluasi lahan adalah adalah adalah Kerangka Kerja
Evaluasi Lahan FAO (1976). Evaluasi lahan nonFAO antara lain Evaluasi
Kemampuan Lahan USDA (USDA Land Capability Classification), Sistem
Evaluasi lahan untuk irigasi (USBR Land Suitability for Irrigation), Soil
Survey Interpretations, Evalusi Lahan Parametrik, (Parametric Indices),
Pendugaan Hasil Produksi (Yield Estimates), Zona Agro Ekologi (Agro-
Ecological Zones, AEZ), Klasifikasi Kapabilitas Kesuburan Tanah (The
Fertility capabilitty Soil Classification System, FCC), Land Evaluation and
Assessment (LESA) dan Soil Potential Ratings.

Di Indonesia beberapa evaluasi lahan lain yang pernah digunakan


dan dikembangkan oleh instansi-instansi untuk memenuhi kebutuhannya
antara lain Land Capability Appraisal System for Agricultural Uses in
Indonesia (Soepratohardjo dan Robinson, 1975), Sistem Evaluasi Lahan
untuk Transmigrasi (Pusat Penelitian Tanah, 1983) yang merupakan
modifikasi dari evaluasi lahan FAO (1976), Evaluasi Lahan untuk Tata-
guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dari Departemen Pertanian (1980;1981),
Klasifikasi Wilayah Tanah Usaha dari Badan Pertanahan Nasional dan lain-
lain yang bersifat lokal.

Aplikasi evaluasi lahan untuk berbagai komoditas yang


dikelompokkan atas Evaluasi Lahan untuk Pertanian (Evaluasi Lahan
untuk Tanaman Lahan Kering, Evaluasi Lahan untuk Irigasi, Evaluasi
Lahan untuk Daerah Pasang Surut) dan Evaluasi Lahan untuk
Nonpertanian (Evaluasi Lahan untuk Parisiwisata, Evaluasi Lahan untuk
Pertambakan Air Payau, Evaluasi Lahan untuk Pemukiman).

Berdasarkan pertimbangan bahwa untuk melakukan evaluasi


lahan menggunakan kerangka kerja FAO (1976) melibatkan banyak sekali
data, beberapa pakar mencoba membuat program komputer untuk
memudahkan analisis data. Di antara program-program tersebut adalah
LECS dan ALES. LECS (Land Evaluation Computer System) dikembangkan
oleh pakar FAO bekerjasama dengan pakar evaluasi lahan di Pusat
Penelitian Tanah Bogor (kini namanya berubah menjadi Pusat Penelitian
dan Pengembangan Pertanian dan Agroklimat) pada tahun 1983, yang
merupakan pengembangan dari Atlas Format untuk Evaluasi Lahan yang
diperuntukkan untuk survei tanah skala 1:250.000.

ALES (Automated, Land. Eualuation System), merupakan program


komputer yang dikembangkan oleh Rossiter dan van Wambeke dari
Department of Soil, Crop & Atmospheric Sciences (SCAS), Cornell
University, Amerika Serikat pada tahun 1988.

Selain kedua program komputer di atas, di Spanyol dikembangkan


program MicroLEIS DSS (A Land Evaluation Decision Support System for
Agricultural SoiI Protection) khusus untuk daerah Mediteran, dibawah
koordinasi Prof. D. de la Rosa dari IRNAS, Instituto de Recursos Naturales y
Agrobiotogia de Sevilla dan CSIC. Consejo Superior de Investigaciones
Cientificas, sevilla, spanyol, yang mulai dikembangkan pada tahun 1995.
Dalam buku ini, tidak semua metode evaluasi lahan tersebut
dibahas, melainkan dipilih beberapa yang umum digunakan di Indonesia.
untuk evaluasi lahan menggunakan komputer, hanya akan dibahas
program ALES karena saat ini banyak digunakan dalam penelitian-
penelitian evaluasi lahan (baik di Indonesia maupun di luar negeri). LECS,
karena memiliki beberapa kelemahan, sudah jarang digunakan iagi.

7.1 Permasalahan dalam Evaluasi Lahan di


lndonesia
Seperti dikemukakan di atas, ada berbagai macam metode evaluasi lahan
yang digunakan di Indonesia, sehingga seringkali karena tidak adanya
metode evaluasi lahan yang baku, tanah-tanah yang sama seringkali
dikrasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian lahan yang berbeda, bahkan
kadang-kadang saling bertentangan. sebagai contoh, penilaian kelas
kesesuaian lahan suatu komoditas tertentu dalam suatu satuan peta tanah
yang sama, menurut metode evaluasi lahan yang satu termasuk kelas S1
(sangat sesuai), tetapi dengan menggunakan metode yang lain, tanah
tersebut termasuk kelas N (tidak sesuai). Bagi pengguna peta, hal ini tentu
sangat membingungkan, karena sulit memilih sistem mana yang harus
diikuti.

Terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hasil krasifikasi


kesesuaian lahan tersebut dijelaskan oleh Hardjowigeno dan Widiatmoko
(2001) sebagai berikut:

a. Perbedaan Terhadap Faktor-faktor yang Dinilai


Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman sangat
banyak, tetapi hanya faktor-faktor tertentu saja (yang diwujudkan
dalam karakteristik dan kualitas lahan) yang dapat dikumpulkan
datanya untuk dinilai kesesuaiannya. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka dalam menyusun metode evaluasi lahan hanya
faktor-faktor tertentu saja yang dinilai, di mana setiap penyusun
memilih faktor yang berbeda-beda. Penilaian yang hanya
didasarkan pada faktor morfologi (fisik) lahan saja mungkin akan
menghasilkan tanah S1, tetapi bila unsur-unsur hara atau unsur
kimia tanah juga dinilai, mungkin akan termasuk S3 atau N, karena
kadar hara yang sangat rendah atau unsur-unsur yang beracun
menjadi faktor pembatas.
b. Perbedaan Pengharkatan dalam Penilaian.
Pengharkatan yang berbeda dalam menilai masing-masing sifat
tanah akan menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang berbeda
pula, meskipun faktol-faktor yang dinilai adalah sama. Misalnya,
faktor kedalaman tanah, ada yang menganggap bahwa tanah yang
baik untuk tanaman tahunan (S1) adalah yang memiliki kedalaman
lebih dari 75 cm, sementara yang lain berpendapat harus lebih dari
100 cm, atau bahkan ada yang berpendapat harus lebih dari 120
cm. Oleh karena kriteria yang digunakan berbeda , sudah dapat
dipastikan hasil klasifikasinya pun akan berbeda.
c. Perbedaan dalam Sistem Klasifikasi.
Suatu metode klasifikasi yang menggunakan empat kelas
kesesuaian (kelas S1, S2 S3, N) tentu akan memberikan hasil yang
berbeda dengan metode klasifikasi yang menggunakan 6 kelas
kesesuaian (kelas S1, S2, S3, S4, N1, N2). Hal ini tentu akan sangat
berbeda pula bila digunakan kelas I-VIII.
d. Perbedaan dalam Metode Pengambilan Keputusan.
Dalam mengambil keputusan untuk klasifikasi kesesuaian lahan,
dapat digunakan berbagai cara seperti metode penghambat
maksimum, metode parametrik dengan pemberian angka nilai
untuk masing-masing faktor, kemudian dijumlahkan atau dikalikan
dan sebagainya. Dengan menggunakan metode yang berbeda, tentu
akan menghasilkan kelas yang berbeda-beda pula.

Permasalahan-permasalahan tersebut di atas tentu akan semakin


kompleks jika dalam melakukan survei tanah yang merupakan kegiatan
yang mengawali kegiatan evaluasi lahan, terdapat banyak sekali
keragaman dari instansi atau organisasi pelaksana survei tanah. Masalah-
masalah tersebut menurut Hardjowigeno dan Widiatmoko (2001) antara
lain dalam hal sistem klasifikasi tanah yang digunakan, metode delineasi
satuan peta tanah (SPT), penyusun legenda peta tanah, tenaga surveyor,
peta dasar dan alat-alat survei yang digunakan.
7.2 Tingkat lntensitas dan Pendekatan Evaluasi
Lahan
Dalam Bab II telah dijelaskan beberapa jenis survei tanah berdasarkan
tingkat ketelitian atau skala peta yang dihasilkan. Ada 6 tingkat survei
mulai dari survei bagan hingga sangat detail. Jenis survei tersebut berlaku
pula dalam evaluasi lahan. Namun demikian, pada umumnya dalam
evaluasi lahan dibedakan tiga intensitas detail, yaitu reconnnissance
(tinjau), semi-detail (sedang) dan detail. Masing-masing tingkat survei
tersebut akan menentukan jumlah dan jenis kualitas/karakteristik lahan
yang akan dipertimbangkan. Semakin detail peta kelas kesesuaian lahan
yang di hasilkan, akan semakin banyak dan semakin rinci kualitas atau
karakteristik lahan yang dievaluasi.

Tingkat Tinjau (Reconnaissance)

Umumnya, evaluasi lahan pada tingkat tinjau ini dilakukan dalam skala
nasional. Evaluasi lahan dapat dilakukan secara kualitatif, dan analisis
ekonomi hanya dilakukan dengan sangat umum. Hasil evaluasi dapat
digunakan untuk perencanaan secaranasional dimana dapat ditentukan
skala prioritas untuk masing-masing daerah.

Tingkat Semi-Detail (Tingkat Sedang)

Evaluasi lahan dengan intensitas ini dilakukan untuk tujuan-tujuan yang


lebih khusus, misalnya studi kelayakan (feassibility study) untuk suatu
proyek. Survei pertanian dan analisis sosial-ekonomi yang merupakan
faktor penting dari evaluasi lahan sebaiknya dilakukan secara kuantitatif.
Hasil evaluasi dapat memberi keterangan untuk pengambilan keputusan,
penelitian proyek, dan perubahan-perubahan yang mungkin diperlukan
terhadap proyek yang direncanakan.

Tingkat Detail

Evaluasi lahan pada tingkat detail merupakan survei yang ditujukan untuk
membuat perencanaan untuk implementasi, misalnya untuk pembuatan
desain atau rekomendasi. Biasanya dilakukan setelah ada kepastian
keputusan untuk melaksanakan suatu proyek.

Perbedaan informasi pada masing-masing tingkat detail tersebut


dikemukan oleh Dijkerman, dan Widianingsih (1985) dalam Gambar 7.1.

7.3 Beberapa Pengertian


Evaluasi lahan merupakan suatu proses menduga potensi sumber daya
lahan untuk berbagai penggunaannya. Kerangka dasar evaluasi lahan
adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan suatu penggunaan
lahan tertentu, dengan sifat l kualitas lahan yang bersangkutan.

Lahan sebagaimana telah dikemukan dalam Bab I, merupakan


bagian dari lansekap (landscape) yang mencakup lingkungan fisik
termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan vegetasi alami
(natural vegetation) yang semuanya mempengaruhi potensi
penggunaannya (FAO, 1976). Lahan, dalam pengertian yang lebih luas,
termasuk kegiatan manusia baik di masa lalu maupun yang sedang
berlangsung, seperti reklamasi lahan pantai atau rawa pasang surut,
penebangan hutan atau tindakan konservasi tanah, akan memberikan
karakteristik lahan yang spesifik. Termasuk juga dalam hal ini adalah
akibat yang merugikan, seperti terjadinya erosi dan salinisasi tanah.
Masalah sosial dan ekonomi tidak termasuk dalam konsep lahan.

Evaluasi lahan dalam hal ini menyediakan data untuk perencanaan


penggunaan lahan. Tugas ahli evaluasi lahan adalah menunjukkan
konsekuensi dari berbagai macam penggunaan lahan dan menyediakan
data bagi ahli ekonomi untuk melakukan perhitungan. Keputusan
perencanaan penggunaan lahan biasanya dibuat oleh ahli politik.

Pada dasarnya evaluasi sumber daya lahan membutuhkan


informasi yang mencakup tiga aspek utama, yaitu lahan, penggunaan lahan
dan aspek ekonomi. Data tentang lahan diperoleh dari hasil survei tanah,
yang disajikan untuk masing-masing satuan peta tanah (SPT). Informasi
mengenai penggunaan lahan yang meliputi persyaratan atau kebutuhan
ekologi dan teknik dari berbagai jenis penggunaan lahan diperoleh dari
ahli agronomi, irigasi, kehutanan atau lainnya. Aspek ekonomi yang
mencakup perhitungan biaya produksi dan analisis usaha tani diperoleh
dari ahli sosial ekonomi pertanian.

Jenis informasi sumber daya lahan yang perlu dievaluasi terdiri


atas 5 kelompok, yaitu tanah, iklim, topografi dan geologi, vegetasi dan
sosial ekonomi. Aspek tanah yang penting adalah kedalaman lapisan
penghambat perakaran, (kedalaman efektif tanah), drainase, tingkat
kesuburan tanah, retensi hara, salinitas tanah, ada tidaknya unsur yang
bersifat racun bagi tanaman, keadaan lengas tanah, kapasitas air dan
kemungkinan mengalami penggenangan/banjir. Erosi tanah dapat
diprediksi dengan menggunakan rumus USLE atau model lainnya.
Dari segi iklim selain data bulanan dan harian dari masing-masing
stasiun krimatologi, yang lebih penting adalah menghitung lama periode
pertumbuhan LGP (length growth periods) dan neraca air untuk
menentukan pola tanah yang ideal dari suatu wilayah.

Informasi tentang keadaan topografi dan geologi sangat penting


dalam evaluasi lahan. Derajat kemiringan dan panjang lereng, posisi dalam
bentang lahan dan ketinggian tempat berpengaruh secara tidak langsung
terhadap kualitas lahan. Struktur dari formasi geologi berpengaruh
terhadap lereng serta bahan induk tanah yang berkembang.

Vegetasi peting dipertimbangkan dalam evaluasi lahan karena


dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui potensi lahan
maupun kesesuaian lahan bagi penggunaan tertentu melalui kehadiran
tanaman-tanaman indikator. Jenis vegetasi tertentu yang tumbuh di suatu
daerah mencerminkan bahwa vegetasi tersebut dapat dikembangkan di
daerah tersebut. Dengan demikian kita dapat memprediksi tanaman yang
memerlukan persyaratan tumbuh yang hampir serupa dengan tanaman
indikator.

Informasi keadaan sosial ekonomi penting dipertimbangkan dalam


menilai kesesuaian suatu lahan, karena dapat memberikan gambaran
seberapa jauh keuntungan akan diperoleh jika dilakukan penanaman atau
pengembangan suatu tanaman tertentu dalam suatu lahan. Meskipun
dalam suatu lahan memberikan kesesuaian yang tinggi dari segi agro-
ekologi, tetapi jika dari segi ekonomi kurang menguntungkan karena biaya
produksi terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan keuntungan yang akan
diperoleh karena pemasarannya sulit dan lain sebagainya maka sebaiknya
tanaman tersebut tidak dikembangkan di lahan tersebut.

Selain untuk keperluan di bidang pertanian, evaluasi lahan juga


dapat digunakan untuk aspek-aspek nonpertanian seperti untuk
pemukiman, pembangunan jalan, pariwisata dan lain-lain yang sangat
penting sebagai dasar untuk pengembangan wilayah.

7.4 Metodologi Evaluasi Lahan FAO


Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk
penggunaan-penggunaan spesifik yang dilakukan dengan cara-cara
tertentu, yang nantinya akan menjadi dasar pertimbangan dalarn
pengambilan keputusan penggunaan lahan Evaluasi lahan didasarkan
pada analisis hubungan antara lahan dan penggunaan lahan, mengestimasi
input yang dibutuhkan serta output yang diinginkan.

Evaluasi lahan mencakup 2 aspek pokok, yaitu:

Sumber daya fisik tanah, topografi, iklim.


Sumber daya sosial ekonomi (sosek): ukuran lahan petani, tingkat
pengelolaan, ketersediaan tenaga kerja, letak pasar dan aktivitas
manusia lainnya.

Sumber daya fisik dapat dianggap sebagai sifat yang relatif stabil,
sedangkan sumber daya sosek lebih beragam dan tergantung pada
keputusan sosial dan politik.

Tujuan utama evaluasi lahan adalah menyeleksi penggunaan lahan


yang optimal untuk masing-masing satuan lahan tertentu dengan
mpmpertimbangkan faktor fisik dan sosial ekonomi serta konservasi
surnber daya lingkungan untuk penggunaan yang lestari.

Di samping itu, terdapat tujuan yang lebih detail yang sangat


beragam tergantung pada keinginan dan skala evaluasi lahan.
Memperkenalkan teknik budi daya yang baru atau menata ulang sistem
pertanian yang telah ada memerlukan perencanaan yang serius di bidang
sumber daya lahan, kondisi sosial ekonomi, sumber daya air, status
pertanian serta kondisi eko-klimatologi.

Survei tanah dan penggunaan lahan merupakan salah satu aspek


dalam bidang evaluasi lahan yang harus direalisasikan melalui suatu tim
antar disiplin.

Beberapa informasi yang diharapkan dari ahli tanah dalam


kaitannya dengan evaluasi lahan adalah:

1. Apa jenis (taksa) tanah yang terdapat di daerah tersebut?


2. Di mana tanah-tanah tersebut berada?
3. Apa jenis tanaman rang ditanam atau dapat ditanam di tanah-
tanah tersebut?
4. Berapa produksi yang diharapkan dari masing-masing tanah yang
berbeda?
5. Apa jenis dan dosis pupuk yang diberikan?
6. untuk tanah-tanah di daerah kering, bagaimana bentuk pengairan
yang disarankan dan berapa jumlah air irigasi yangdiperlukan?
7. Apa saja praktek pengelolaan yang direkomendasikan?

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu


mengelaborasi suatu sistem klasifikasi lahan di mana evaluasi dari satuan
lahan, didasarkan pada informasi yang disediakan oleh laporan survei
tanah.

Oleh karena itu dasar dari evaluasi lahan adalah survei tanah.
Menurut Rossiter (1994), dasar pertimbangan diperlukannya evaluasi
lahan adalah:

1. Sifat lahan beragam (physical and human-geographic properties).


2. Keragaman tersebut mempengaruhi jenis penggunaan lahan; masing-
masing penggunaan lahan terdapat satuan-satuan lahan yang lebih
sesuai atau kurang sesuai dari segi fisik dan/atau ekonomi.
3. Keragaman tersebut bersifat sistematik
4. Keragaman tersebut (secara fisik, politik, ekonomi dan sosial) dapat
dipetakan.
5. Perilaku (kesesuaian) lahan jika diusahakan untuk penggunaan
tertentu dapat diprediksi dengan tingkat kepastian tertentu,
tergantung kualitas data sumber daya lahan tersebut dan tingkat
pengetahuan hubungan antara sifat-sifat lahan dan penggunaan lahan
yang direncanakan.
6. Kesesuaian lahan bagi berbagai penggunaan lahan aktual dan yang
diusulkan dapat dideskripsikan dan dipetakan secara sistematis.
7. Pengambil keputusan (pemakai lahan, perencana tata-guna lahan dan
penyuluh pertanian) dapat menggunakan prediksi tersebut (peta
kesesuaian lahan) sebagai panduan untuk pengambilan keputusan.
Evaluasi Lahan menurut FAO (1926) harus dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Bagaimana pengelolaan lahan saat ini dan apa yang akan terjadi bila
praktek pengolahan saat ini tidak diubah sama sekali?
2. Perbaikan apa yang mungkin dilaksanakan dalam praktek pengelolaan
pada penggunaan sekarang?
3. Jenis penggunaan lahan yang bagaimana lagi yang secara fisik
memungkinkan dan relevan secara ekonomi dan sosial?
4. Penggunaan yang bagaimana yang memberikan potensi produksi yang
berkelanjutan dan menghasilkan keuntungan lain?
5. Pengaruh merusak apa (baik secara fisik, ekonomi dan sosial) yang
berasosiasi dengan masing-masing penggunaan?
6. Masukan apa yang dibutuhkan secara berulang (recurrent input) untuk
mencapai produksi dan meminimalkan pengaruh yang bersifat
merusak?
7. Apakah keuntungan masing-masing bentuk penggunaan?

Jika diperkenalkan suatu jenis penggunaan lahan baru yang akan


melibatkan perubahan yang nyata pada lahan tersebut, seperti skema
irigasi, maka pertanyaan berikut juga wajib dijawab.

1. Perubahan kondisi lahan apa yang layak dan diperlukan serta


bagaimana hal ini dapat dilaksanakan?
2. Masukan tetap (non-recurrent input) apa yang diperlukan untuk
implementasi perubahan ini.

Kesembilan pertanyaan tersebut harus dapat dijawab dalam


kegiatan evaluasi lahan. Akibat-akibat yang terjadi harus diperhitungkan
apabila penggunaan lahan disuatu daerah tidak berubah. Misalkan daerah
volkan yang berlereng curam diusahakan untuk sayur-sayuran yang
penanamannya dilakukan searah lereng. Tentu saja masalah erosi akan
sangat dominan dan berdampak kepada degradasi lahan dan lingkungan.
Untuk itu perlu diusulkan suatu praktek pengelolaan baru untuk
mencegah tejadinya erosi, misalnya dengan pembuatan dan perbaikan
teras disertai dengan prinsip-prinsip konservasi tanah yang sudah umum.
Pada tempat-tempat (satuan peta lahan) yang mengalami erosi
paling parah, perlu diusulkan penggunaan lahan yang lain, misalnya sistem
agroforestri, hutan lindung, kawasan wisata atau yang lainnya, tergantung
pada kondisi yang ada. Masing-masing penggunaan lahan dapat dihitung
secara ekonomi dari aspek lingkungan mana yang paling memberikan
keuntungan. Perhitungan ekonomi harus dilakukan secara benar dengan
melibatkan ekonom. Masukan berulang merupakan masukan yang selalu
harus diberikan kembali paha setiap musim, misalnya biaya bibit, tenaga
kerja, dan pupuk. Dengan membandingkan masukan dengan keluaran
(kuantitas dan kualitas produksi), akan diketahui penggunaan lahan mana
yang memberikan keuntungan lebih tinggi.

Apabila berencana memperkenalkan penggunaan lahan baru yang


akan mengakibatkan pengaruh signifikan pada wilayah tersebut, maka
harus dilakukan analisis yang cermat sehingga dampak lingkungan sosial
ekonominya tidak berakibat buruk. Masukan tetap (non-reccurent input)
yaitu biaya yang dibutuhkan hanya sekali, misalnya pembuatan
bendungan dan fasilitas irigasi, pembuatan jalan dan lain-lain, harus
dihitung lamanya waktu yang diperlukan sebelum investasi tersebut dapat
dikembalikan.

Perlu disadari bahwa proses evaluasi tidak menentukan cara


bagaimana perubahan perencanaan penggunaan lahan (tata guna lahan)
harus dilaksanakan, tetapi menyediakan data dan informasi sebagai dasar
pengambilan keputusan.

Agar lebih efektif, hasil evaluasi lahan biasanya memberi informasi


mengenai dua atau lebih bentuk penggunaan yang potensial bagi suatu
lahan, terrnasuk konsekuensi, keuntungan dan kerugian bagi masing-
masing.

7.4.1 Evaluasi Lahan dan Perencanaan penggunaan Lahan

Urutan kegiatan perencanaan penggunaan lahan adalah sebagai berikut:

1. Diketahuinya kebutuhan akan perubahan.


2. Identitas tujuan
3. Memformulasikan usulan, termasuk pilihan penggunaan lahan dan
pengenalan mengenai persyaratannya.
4. Pengenalan dan definisi berbagai tipe lahan.
5. Melakukan perbandingan dan evaluasi dari setiap tipe lahan dari
peruntukan berbagai penggunaan
6. Melakukan pemilihan yang paling cocok bagi setiap tipe lahan
7. Desain proyek - dapat berupa suatu Feasibility Study
8. Keputusan untuk implementasi
9. Implementasi
10. Pemantauan Pekerjaan

Evaluasi lahan memegang peranan utama pada tahap 3, 4, dan 5


dari urutan di atas, dan memberikan sumbangan pada aktivitas lebih
lanjut.

Dengan demikian, evaluasi lahan diawali dengan pengenalan


kebutuhan akan perubahan-perubahan pada penggunaan lahan yang
sedang dilaksanakan, hal ini mungkin merupakan pengembangan
penggunaan produktif yang baru, seperti skema pembangunan pertanian
atau pengusahaan hutan tanaman, atau penyediaan pelayanan seperti
taman nasional atau daerah rekreasi.

Pengenalan kebutuhan akan perubahan, harus bersumber dari


hasil analisis secara teliti, baik analisis ekonomi, sosial, budaya, lingkungan
secara. nasional dan telah memperhitungkan konsekuensi secara global.

Pengenalan kebutuhan akan perubahan diikuti dengan identifikasi


tujuan dan perubahan yang diusulkan dan formulasi usulan umum
maupun yang spesifik. Proses evaluasi sendiri mencakup deskripsi
sederetan penggunaan lahan yang memberikan harapan (promising), dan
penilaian serta perbandingan dari kesemuanya dari setiap tipe lahan
daerah yang bersangkutan.

7.4.2 Prinsip-prinsip Dasar

Prinsip dasar yang digunakan dalam proses evaluasi lahan adalah (FAO,
1976) :
1. Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan jenis penggunaan lahan yang
spesifik. Penggunaan lahan yang berbeda memerlukan syarat yang
berbeda pula.
2. Evaluasi lahan memerlukan pembandingan antara keuntungan
yang diperoleh dengan masukan yang diperlukan.
3. Memerlukan pendekatan multidisiplin dari para ahli ilmu-ilmu
alam, teknologi penggunaan lahan, ekonomi, sosiologi dan lain-lain.
Evaluasi hampir senantiasa memasukkan pertimbangan-
pertimbangan ekonomi.
4. Evaluasi dilakukan sesuai dengan kondisi-kondisi fisik lahan, sosial
ekonomi daerah yang dikaji serta kondisi nasional.
5. Kesesuaian didasarkan atas penggunaan yang lestari. Aspek
kerusakan atau degradasi ringkungan diperhitungkan pada saat
menilai kesesuaiannya agar jangan sampai menyebabkan
kerusakan lingkungan di kemudian hari, meskipun dalam jangka
pendek usaha tersebut sangat menguntungkan.
6. Evaluasi melibatkan perbandingan lebih dari satu jenis
penggunaan lahan. Jika hanya satu jenis yang dipertimbangkan,
maka akan menimbulkan kerugian karena beberapa jenis
penggunaan lain yang lebih menguntungkan tidak teramati.

Berikut diuraikan secara ringkas masing-masing prinsip dasar


tersebut.

Prinsip pertama menegaskan bahwa evaluasi lahan harus


ditujukan untuk menilai kesesuaian rahan dari sebidang lahan (suatu
satuan peta lahan) untuk penggunaan yang lebih spesifik. Berbeda dengan
klasifikasi kemampuan lahan USDA yang mengklasifikasikan lahan untuk
pertanian secara umum atau untuk membedakan lahan-lahan yang dapat
diusahakan untuk pertanian. Klasifikasi kemampuan lahan USDA lebih
mengarah kepada pendekatan konservasi tanah yang mengarahkan ke
pengguna lahan, lahan-lahan mana yang dapat diusahakan untuk ditanami
tanpa secara rinci menentukan jenis tanaman apa yang paling sesuai.
Persyaratan tumbuh masing-masing tanaman berbeda-beda, sehingga
misalnya pada sebidang lahan yang berdrainase terhambat (sering
tergenang air), tanaman padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik,sedangkan tanaman jagung sekalipun dapat tumbuh tetapi
produksinya sangat rendah sehingga tidak menguntungkan. Dengan
perkataan lain, sebidang lahan yang sama bisa dikatakan tidak sesuai
untuk tanaman tertentu, tetapi sangat sesuai untuk tanaman yang lain.

Prinsip yang kedua perlu penegasan mengenai besarnya


keuntungan yang diperoreh dari budidaya tanaman tertentu atau
penerapan suatu penggunaan lahan yang spesifik dengan cara
membandingkan tingkat produksi tanaman yang diinginkan, dengan
masukan yang diberikan (pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, dan lain-lain)
untuk mencapai tingkat produksi sebut.

Prinsip ketiga menjelaskan bahwa perlu kerjasama antar-disiplin


mengingat hasil evaluasi lahan akan berdampak kepada masyarakat di
wilayah yang dievaluasi. Apabila hanya dilakukan oleh ahli tanah, maka
aspek-aspek lain seperti ekonomi, sosiologi, lingkungan dan lain-lain akan
terabaikan.

Prinsip keempat terutama ditujukan kepada tenaga ahli atau


konsultan asing yang jika melakukan evaluasi lahan di suatu wilayah di
negara lain, harus melibatkan tenaga ahli setempat di negara yang
bersangkutan yang lebih mengetahui aspek-aspek lain, terutama masalah-
masalah di luar bidang tanah.

Prinsip kelima mengingatkan bahwa dampak jangka panjang dari


kegiatan evaluasi-lahan harus ikut di pertimbangkan. Jangan sampai
kegiatan ini hanya memberi keuntungan dalam jangka pendek semata.
Aspek yang perlu mendapat perhatian adalah kerusakan atau degradasi
lingkungan fisik (erosi, salinisasi lahan), masalah kesehatan penduduk
(misalnya nyamuk malaria atau demam berdarah) dan sebagainya.

Prinsip keenam mengharuskan adanya evaluasi berbagai jenis


penggunaan lahan, tidak hanya pada satu komoditas tertentu, karena akan
menutup kemungkinan akan komoditas lain yang mungkin lebih
menguntungkan untuk dikembangkan didaerah tersebut.

7.5 Cara-cara Pendekatan dalam Evaluasi Lahan FAO


Menurut (FAO, 1976) hubungan antara sifat-sifat lahan dan analisis sosial
ekonomi serta perumusan penggunaan lahan tergantung dari cara
pendekatan yang dilakukan. Terdapat dua cara pendekatan dalarn evaluasi
lahan FAO, yaitu pendekatan dua tahap dan pendekatan paralel (Gambar
7.2).

7.5.1 Pendekatan Dua Tahap (Two Stage Approach)

Tahap pertama dari pendekatan ini adalah merupakan evaluasi lahan


secara kualitatif yang kemudian diikuti tahapan kedua (yang kadang-
kadang tidak diperlukan) yang terdiri atas analisis ekonomi dan sosial.
Pendekatan dua tahap seringkali digunakan untuk evaluasi perencanaan
penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survei tinjau.

Pendekatan dua tahap sering digunakan dalam pekerjaan-


pekerjaan inventarisasi sumber daya untuk keperluan perencanaan secara
luas. Klasifikasi kesesuaian lahan pada tahap pertama didasarkan atas
kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaan yang telah diseleksi pada
permulaan survei. Kontribusi dari analisis ekonomi dan sosial pada tahap
pertama tersebut terbatas untuk mengetahui relevansi dari jenis-jenis
penggunaan lahan tersebut.
Setelah tahap pertama diselesaikan dan hasil-hasil disajikan dalam
bentuk laporan dan peta-peta, hasil-hasil ini kemudian dapat dilanjutkan
dengan tahap kedua, yaitu analisis ekonomi dan sosial, yang dapat
dikerjakan segera atau kemudian setelah kurun waktu tertentu.

7.5.2 Pendekatan Paralel (Parallel Approach)

Dalam pendekatan paralel (sejajar), analisis ekonomi terhadap suatu


penggunaan dilakukan bersamaan dengan analisis sifat-sifat fisik dan
lingkungan lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberi
petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan, guna memperoleh hasil
yang sebaik-baiknya. untuk usaha pertanian, modifikasi ini dapat berupa
pemilihan jenis-jenis tanaman, estimasi terhadap modal dan tenaga kerja,
dan penentuan besarnya lahan pertanian yang optimum. Dalam bidang
kehutanan, modifikasi meliputi pemilihan spesies, pemilihan waktu tanam,
penjarangan atau penebangan, atau usaha-usaha untuk melindungi
kerusakan hutan dan hasil hutan. Metode ini dianjurkan untuk rencana-
rencana khusus dalam pengedaan suatu proyek dalam tingkat semi-detail
hingga detail.

Pendekatan paralel diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih


tepat dalam waktu yang lebih cepat. Ini merupakan cara yang lebih baik
untuk memusatkan kegiatan survei dan pengumpulan data pada
keterangan-keterangan yang diperlukan untuk evaluasi.

Pendekatan dua tahap tampaknya lebih sistematis karena


mempunyai kegiatan yang jelas terpisah dengan analisis ekonomi,
sehingga memungkinkan penjadwalan kegiatan dan penggunaan staf.

Dalam pendekatan sejajar, analisis ekonomi dan sosial dari jenis


penggunaan lahan dilakukan secara bersama-sama dengan pelaksanaan
survei dan penilaian faktor-faktor fisik lahan. Prosedur ini umumnya lebih
disukai untuk usulan-usulan yang spesifik dalam hubungan dengan
proyek-proyek pembangunan pada tingkat semi-detail dan detail.
Pendekatan sejajar ini diharapkan dapat memberikan hasil-hasil yang
diinginkan pada kurun waktu yang relatif singkat.
Kedua strategi tersebut disajikan secara diagram pada Gambar 7.2.

7.6 Konsep Dasar dalam Evaluasi Lahan


Pemahaman konsep dasar, terutama yang menyangkut definisi sangat
diperlukan untuk pembahasan lebih lanjut. Beberapa definisi yang harus
disepakati adalah lahan, kualitas lahan dan jenis-jenis perbaikan lahan
yang akan dilakukan terhadap lahan yang dievaluasi, penggunaan lahan
(landuse) atau tipe penggunaan lahan.

Klasifikasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan merupakan


pengelompokan lahan (dalam bentuk satuan peta tanah atau satuan peta
lahan) berdasarkan kesesuaian atau kemampuannya untuk tujuan
penggunaan tertentu.

Satuan peta lahan (land mapping unit) merupakan daerah yang


dipetakan berdasarkan sifat-sifat yang ditentukan (dispesi fikasi) yang
dapat didasarkan dari suatu survei sumber daya alam seperti survei tanah.
Tingkat homogenitas dan variabilitas internal sangat beragam dengan
skala dan intensitas studi. Dalam kasus tertentu, suatu satuan peta lahan
dapat terdiri atas dua atau lebih tipe lahan yang berbeda kesesuaiannya.
Misalnya dataran banjir dalam sistem aluvial yang pada skala tinjau
dipetakan menjadi satu satuan peta, tetapi diketahui mengandung bagian
yang berdrainase baik (tanggul sungai) dan bagian yang berdrainase
buruk (rawa-balik/backswamp).

Sebagaimana telah dikemukan dalam Bab I, konsep lahan


mengandung pengertian yang lebih luas dari tanah maupun medan
(terrain). Variasi dalam hal tanah atau tanah dan landform sering
menyebabkan perbedaan antara satuan peta lahan dalam suatu daerah,
sehingga seringkali survei tanah digunakan sebagai dasar bagi
pendefinisian dari satuan peta lahan. Namun demikian harus disadari
bahwa kesesuaian suatu tanah untuk suatu penggunaan lahan tertentu
tidak dapat dinilai secara terpisah dari aspek lingkungan lainnya, oleh
karena itu sebaiknya lahanlah yang digunakan sebagai dasar dari evaluasi
lahan.
Dalam kegiatan survei dan pemetaan sumber daya alam, antara
lahan satu dengan lainnya dibedakan berdasarkan perbedaan sifat yang
terdiri atas iklim, landform (termasuk bahan indu/litologi,
topografi/relief) tanah dan atau hidrologi sehingga terbentuk satuan-
satuan lahan. Pemisahan satuan lahan sangat penting untuk keperluan
analisis dan interpretasi dalam menilai potensi atau kesesuaian lahan bagi
suatu tipe penggunaan lahan (Land Utilization Type = LUT).

Dalam melakukan evaluasi lahan, sifat-sifat fisiklingkungan daerah


yang akan dievaluasi dibagi atas beberapa satuan lahan dan setiap satuan
lahan dibedakan ke dalam beberapa kualitas lahan (land qualities). Setiap
kualitas lahan pada umumnya terdiri atas satu atau lebih karakteristik
lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya
berhubungan satu sama lain di dalam pengertian kualitas lahan dan akan
berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan atau pertumbuhan tanaman
maupun komoditas lain yang berbasis lahan (peternakan, perikanan,
kehutanan).

7.6.1 Penggunaan Lahan (Landuse)

Evaluasi kesesuaian lahan melibatkan hubungan antara kualitas tahan


masing-masing satuan peta lahan (SPL) bagi penggunaan lahan yang
spesifik yang akan diusahakan di suatu daerah. Tipe penggunaan lahan
yang dipertimbangkan sebaiknya dibatasi kepada yang relevan dengan
keadaan fisik, ekonomi dan sosial secara umum menonjol di daerah yang
disurvei. Macam penggunaan lahan ini sangat berperan sebagai sasaran
evaluasi lahan dan dapat terdiri atas penggunaan lahan secara (major
kind) atau tipe penggunaan lahan (land utilization type / LUT).

1) Penggunaan Lahan Secara Umum

Penggunaan lahan secara umum (major kinds of land ase) adalah


Penggolongan penggunaan lahan secara umum, seperti pertanian tadah
hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah
rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk
evaruasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau (reconaissance).
Dalam studi evaluasi lahan, setiap jenis penggunaan lahan dirinci
ke dalam tipe-tipe penggunaan lahan. Tipe penggunaan lahan bukan
merupakan tingkat kategori dari kiasifikasi penggunaan lahan, melainkan
mengacu kepada penggunaan lahan tertentu yang tingkatannya di bawah
kategori dan klasifikasi lahan secara umum karena berkaitan dengan
aspek masukan, teknologi, dan keluarannya. Di bawah ini dikemukan
uraian lebih rinci tentang tipe penggunaan lahan (TPL).

2) Tipe Penggunaan Lahan

Tipe penggunaan lahan (land utilization type) merupakan penggunaan


lahan yang diuraikan secara lebih terperinci sesuai dengan syarat-syarat
teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi
tertentu, yaitu menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan, dan
keluaran yang diharapkan secara spesifik.

Atribut dari tipe penggunaan lahan (land utilization type) meliputi


data atau atribut sebagai berikut (FAO, 1976) :

Produksi, meliputi benda (tanaman, ternak, kayu), fasilitas


pelayanan (fasilitas rekreasi) atau keuntungan lain (suaka
mergasatwa).
Orientasi pasar, untuk kebutuhan sendiri atau untuk dijual.
Tingkat ketersediaan modal.
Tingkat penggunaan tenaga kerja.
Sumber tenaga (manusia, hewan atau mesin).
Penguasaan teknis dan sikap pengguna lahan.
Teknologi yang diterapkan,(penggunaan mesin, pupuk, pestisida,
jenis ternak, metode penebangan kayu.
Persyaratan infrastruktur (misalnya penggergajian, pabrik teh,
pelayan, pelayanan penyuluhan).
Ukuran dan konfigurasi kepemilikan lahan, tersebar dimana-mana
atau mengumpul dalam suatu lokasi.
Hak-hak atas lahan.
Tingkat penghasilan yang dinyatakan dalam per kapita, per satuan
produksi atau per satuan luas.
Sebagai contoh, ”Tanaman pangan tadah hujan dengan tanaman padi
sebagai tanaman utama, diikuti dengan penanaman jagung, untuk
kebutuhan sendiri, modal terbatas, pengolahan tanah dengan ternak,
menggunakan banyak tenaga kerja, lahan sempit 0,5-2 ha”.

Tipe penggunaan lahan secara terperinci (tipe penggunaan lahan)


dapat terdiri atas satu jenis tanaman atau lebih dari satu jenis tanaman.
Tipe penggunaan lahan ini dibedakan dalam (a) tipe penggunaan lahan
ganda (multiple land utilization type) dan (b) tipe penggunaan lahan
majemuk (compound land utilization type)

(a) Tipe Penggunaan Lahan Ganda (Multiple Land Utilization Type)

Tipe penggunan lahan yang tergolong ganda (multiple) terdiri atas lebih
dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak
pada suatu areal yang sama dari suatu bidang lahan. setiap penggunaan
memerlukan masukan dan kebutuhan, serta memberikan hasil tersendiri.
Misalnya cengkeh ditanam secara bersamaan dengan kakao atau kopi di
areal yang sama ada satu bidang lahan. Demikian juga untuk tanaman kopi
dan vanili atau pisang yang sudah umum dilakukan secara diversifikasi.
Contoh lain adalah perkebunan apel yang juga berfungsi sebagai daerah
rekreasi (agrowisata).

(b) Tipe Penggunaan Lahan Majemuk (Compound Land Utilization


Type)

Tipe penggunaan lahan yang tergolong majemuk terdiri atas lebih dari
satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal satu
bidang lahan dimana untuk tujuan evalusi diberlakukan sebagai unit
tunggal. Perbedaan jenis penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau
urutan waktu, dalam hal ini ditanam secara rotasi atau secara serentak
(berbarengan) tetapi pada areal yang berbeda pada satu bidang lahan
yang dikelola dalam unit organisasi yang sama. Sebagai contoh, pada suatu
perkebunan besar, sebagian area secara terpisah (blok) digunakan untuk
tanaman karet dan blok lainnya untuk kelapa sawit. Kedua komoditas ini
dikelola oleh suatu perusahaan yang sama.
7.6.2 Kualitas Lahan (Land Qualtty), Karakteristik Lahan (Land
Characteristic) dan Kriteria Penciri
1. Kualitas Lahan

Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau attribute yang bersifat kompleks dari
satu bidang lahan. setiap kualitas lahan mempunyai keragaan
(performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi
penggunaan tertentu. Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur
secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari
pengertian karakteristik lahan (FAO, 1976).

Kualitas lahan merupakan karakteristik lahan (biasanya majemuk


dan kompleks) yang mempunyai pengaruh langsung terhadap persyaratan
dasar dari penggunaan lahan dan diharapkan dapat mempengaruhi
kesesuaian lahan dengan tidak tergantung pada kualitas lahan yang lain.
Menurui Beek (1978), kualitas lahan (KL) terdiri atas:

a. Kualitas lahan ekologi (mempengaruhi pertumbuhan tanaman


dan hewan), misalnya ketersediaan air, ketersediaan hara,
ketersediaan oksigen, bahaya banjir, suhu, lama musim tanam dan
lain-lain.
b. Kualitas lahan pengelolaan (mempengaruhi pengelolaan usaha
pertanian), misalnya kemungkinan untuk mekanisasi, lokasi dalam
hubungannya dengan pasar dan lain-lain.
c. Kualitas lahan konservasi (mempengaruhi degradasi lahan),
misalnya bahaya erosi, salinitasi, alkalinisasi, pemadatan tanah dan
lain-lain.
d. Kualitas lahan perbaikan (kemungkinan untuk merubah
kondisi), misalnya sifat dapat diairi, tanggapan terhadap
pemupukan dan lain-lain.

Kualitas lahan kemungkinan berperan positif atau negatif terhadap


penggunaan lahan tergantung dari sifai-sifatnya. Kualitas lahan yang
berperan positif adalah yang sifatnya menguntungkan bagi suatu
penggunaan lahan. Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena
keberadaannya yang merugikan (merupakan kendala) terhadap
penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat atau
pembatas.

Setiap kualitas lahan pengaruhnya tidak selalu terbatas hanya pada


satu jenis penggunaan. Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas lahan
yang sama bisa berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis penggunaan.
Demikian pula satu jenis penggunaan lahan tertentu akan dipengaruhi
oleh berbagai kualitas lahan. sebagai contoh bahaya erosi dipengaruhi oleh
keadaan sifat tanah, keadaan medan/terrain (lereng) dan iklim (curah
hujan). Ketersediaan air bagi kebutuhan tanaman dipengaruhi antara lain
oleh faktor iklim, topografi, drainase, tekstur, struktur dan konsistensi
tanah, zona perakaran, dan pecahan batuan/bahan kasar (batu, kerikil) di
dalam profil tanah.

Jumlah kualitas lahan cukup banyak, namun untuk kepentingan


evaluasi lahan bisa dipilih dan ditentukan sesuai dengan keperluan dan
kondisi wilayah setempat yang akan dievaluasi. Jumlah dan jenis kualitas
serta karakteristik lahan sebagai parameter yang akan digunakan dalam
evaluasi lahan pada skala kecil (tingkat tinjau skala 1:250.000) dengan
skala besar (tingkat detail skala 1:10.000) sudah tentu berbeda. Parameter
untuk evaluasi lahan pada survei tingkat tinjau, tentu lebih terbatas
dibandingkan dengan untuk tingkat detail karena berkaitan dengan
ketersediaan dan kualitas data pada masing-masing tingkat pemetaan
tanah tersebut.

Di dalam FAO (1976) diberikan contoh 4 kelompok kualitas lahan


yang berpengaruh terhadap beberapa aspek sebagai berikut:

a. Kualitas lahan yang berhubungan dan/atau berpengaruh terhadap


hasil atau produksi tanaman, antara lain terdiri atas:
Ketersediaan air
Ketersediaan hara
Ketersediaan oksigen dalam zona perakaran tanaman
Media untuk perkembangan akar (kondisi sifat fisik dan
morfologi tanah)
Kondisi untuk perkecambahan
Kemudahan lahan untuk diolah (kemudahan untuk ditanami)
Salinitas atau alkalinitas
Toksisitas tanah (misalnya aluminium, pirit)
Ketahanan terhadap erosi
Hama dan penyakit tanaman yang berhubungan dengan
kondisi lahan
Bahaya banjir (frekuensi dan periode genangan)
Rezim temperatur
Energi Fradiasi dan foto periodisitas
Bahaya unsur iklim terhadap pertumbuhan tanaman (angin,
kekeringan)
Kelembaban udara yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman
Periode kering untuk pemasakan (ripening) tanarnan
b. Kualitas lahan yang berhubungan dengan produktivitas hewan
domestik, antara lain terdiri atas:
Produktivitas lahan penggembalaan (merupakan pengaruh
gabungan dari berbagai kualitas lahan dalam butir a di atas)
Pengaruh buruk iklim terhadap ternak
Hama dan penyakit endemik
Nilai nutrisi dari lahan penggembalaan
Toksisitas lahan penggembalaan
Ketahanan terhadap degradasi vegetasi
Ketahanan terhadap erosi pada kondisi lahan penggembalaan
Ketersediaan air minum untuk ternak
c. Kualitas lahan yang berhubungan dengan produktivitas hutan
antara lain terdiri atas:
Rata-rata penambahan spesies kayu per tahun (merupakan
pengaruh gabungan dari berbagai kualitas lahan dalam butir a
di atas)
Jenis dan jumlah spesies kayu setempat (indigeneous)
Faktor lokasi yang mempengaruhi pertumbuhan pohon muda
Hama dan penyakit
Bahaya kebakaran
d. Kualitas lahan yang berhubungan dengan manajemen dan
masukan yang diperlukan, antara lain terdiri atas:
Faktor terrain (keadaan medan) yang mempengaruhi
pengelolaan lahan terutama bila mengunakan alat-alat mesin
(mekanisasi),
Faktor medan yang mempengaruhi pembuatan dan
pemeliharaan jalan penghubung.
Ukuran satuan pengelolaan potensial.
Lokasi dalam hubungannya untuk penyediaan sarana produksi
(input), dan pemasaran hasil (aspek ekonomi).

Fasilitas yang berkaitan dengan aspek ekonomi merupakan


penentu kesesuaian lahan secara ekonomi atau economy land suitability
class (Rossiter, 1995). Dalam hal ini pertimbangannya adalah
bagaimanapun berpotensinya suatu wilayah secara fisik, apabila tanpa
ditunjang oleh sarana ekonomi yang memadai, maka tidak akan banyak
memberikan konstribusi terhadap pengembangan wilayah tersebut.

2. Karakteristik Lahan

Karakteristik lahan merupakan sifat lahan yang dapat diukur atau diduga.
Menurut FAO(1976), karakteristik lahan terdiri atas:

a. Karakteristik tunggal, misalnya total curah hujan, kedalaman


tanah, lereng dan lain-lain.
b. Karakteristik majemuk, misalnya permeabilitas tanah, drainase,
kapasitas tanah menahan air, dan lain-lain.

Setiap satuan peta lahan yang dihasilkan dari kegiatan survei


dan/atau pemetaan sumber daya lahan, karakteristiknya dirinci dan
diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan tanahnya. Data
tersebut digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi
komoditas tertentu.

Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam


evaluasi lahan, biasanya saling berinteraksi satu sama lainnya. Oleh karena
itu dalam melakukan interpretasi perlu dipertimbangkan atau
diperbandingkan antara lahan (kualitas lahan) dengan penggunaannya.
Misalnya ketersediaan air sebagai kualitas lahan di daerah lahan kering,
ditentukan oleh curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering,
tetapi air yang dapat diserap tanaman sangat tergantung pula pada
kualitas lahan lainnya seperti kondisi media perakaran, (yang ditentukan
antara lain oleh tekstur tanah dan kedalaman zona perakaran tanaman
yang dievaluasi).

Dari berbagai kualitas lahan yang telah dikemukakan diatas untuk


keperluan evaluasi lahan dirinci lagi secara sistematis dihubungkan
dengan aspek agroekologi (agro-ecologiocal), pengelolaan (management),
perbaikan lahan (land improvement), serta konservasi dan bahaya
lingkungan atau conservation and environmental risk (FAO, 1983;
Djaenudin et al, 1997). Dalam Tabel 7.1, disajikan contoh kualitas dan
karakteristik lahan yang digunakan dalam Atlas Format procedures
(CSR/FAO, 1983) yang juga digunakan dalam evaluasi lahan menggunakan
komputer (Land Evaluation Computer System yang disingkat dengan
LECS). Macam dan jumlah kualitas lahan dan karakteristik lahan dapat
ditambah atau dikurangi sesuai dengan skala dan tujuan evaluasi serta
kondisi lahan di daerah yaang di evaluasi.

Penentuan nilai-nilai karakteristik lahan yang berhubungan


dengan kedalaman tanah seperti tekstur, kedalaman efektif, kapasitas
tukar kation (KTK), reaksi tanah atau derajat kemasaman (pH), unsur hara
dalam tanah
(N, P2O5, K2O) yang disesuaikan dengan kedalaman zona perakaran
dari tanaman yang dievaluasi. Sebagai contoh untuk tanaman semusim
yang berakar serabut (monokotil) cukup sampai kedalaman 30 cm, tetapi
untuk berbagai tanaman tahunan yang berakar tunggang (dikotil) perlu
lebih dalam (biasanya sampai kedalaman antara 60 sampai 100 cm).

Untuk kualitas lahan retensi hara (KTK pH) dan ketersediaan hara
karena relatif mudah diatasi tidak merupakan pembatas utama, sehingga
hasil penilaian kalau ada pembatas tersebut tidak akan menjatuhkan pada
kelas N (tidak sesuai).
3. Sifat-sifat Penciri (Diagnostic Criterion)

Sifat-sifat penciri (diagnostic criterion) adalah variabel yang telah


diketahui mempunyai pengaruh nyata terhadap masukan-keluaran yang
diperlukan untuk penggunaan tertentu, dan digunakan sebagai dasar
untuk menafsirkan kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan lahan
tersebut. Variabel ini dapat berupa kualitas lahan (land quality),
karakteristik lahan (land chalacteristics) atau fungsi dari beberapa
karakteristik lahan. Untuk masing-masing sifat penciri, perlu ditentukan
pengharkatannya bagi masing-masing kelas kesesuaian lahan.

Kualitas lahan ketersediaan oksigen di daerah perakaran tanaman


misalnya, dapat diestimasi dari sering tidaknya daerah tersebut tergenang
air, yang dicerminkan oleh kelas drainasenya. Kualitas lahan ketersediaan
air dapat dihitung dari curah hujan, evapotranspirasi, tersedianya air
irigasi dan sebagainya.

4. Syarat-syarat Penggunaan Lahan dan Sifat Pembatas

Syarat-syarat penggunaan lahan adalah pengelompokan kualitas lahan


yang menentukan produksi dan pengeloraan suatu jenis penggunaan
lahan.

Sifat-sifat pembatas adalah kualitas lahan yang mempunyai


pengaruh yang merugikan bagi suatu jenis penggunaan lahan.

5. Perbaikan Lahan

Perbaikan lahan (land improvement) adalah kegiatan-kegiatan yang dapat


mengakibatkan perubahan yang menguntungkan terhadap kualitas lahan.
Dibedakan atas perbaikan besar dan kecil.

Perbaikan besar (major land improvement) merupakan perbaikan


yang besar dan permanen, misalnya pembuatan jaringan irigasi, atau
pembuatan saluran-saluran drainase di daerah rawa, yang tentu saja
memerlukan biaya investasi yang sangat tinggi.
Perbaikan kecil (minor land improvement) adalah perbaikan yang
relatif mempunyai pengaruh yang kecil atau yang tidak permanen, yang
dapat dilakukan sendiri oleh petani. Contohnya adalah, perbaikan
pematang sawah, pemungutan batu-batu di permukaan, pemberantasan
gulma dan sebagainya.

7.6.3 Persyaratan penggunaan Lahan/ persyaratan Tumbuh


Tanaman

Persyaratan Penggunaan Lahan dari sebuah tipe penggunaan lahan (LUT)


adalah suatu perangkat kualitas lahan yang dibutuhkan agar tipe
penggunaan lahan yang spesifik dapat berfungsi dengan baik. persyaratan
tersebut dapat berupa persyaratan ekologis, pengelolaan, konservasi dan
perbaikan.

Semua jenis komoditas, termasuk tanaman pertanian, peternakan,


dan perikanan yang berbasis lahan, untuk dapat tumbuh atau hidup dan
berproduksi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yang
mungkin berbeda satu sama lain. Persyaratan tersebut terutama terdiri
atas energi radiasi, temperatur (suhu), lengas (kerembaban), oksigen, dan
hara. Persyaratan temperatur dan kelembaban umumnya digabungkan,
dan selanjutnya disebut sebagai periode pertumbuhan (FAO,1983).

Persyaratan tumbuh tanaman lainnya adalah yang tergolong


sebagai kualitas lahan media perakaran. Media perakaran ditentukan oleh
drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah, serta kedalaman efektif
tanah. Pada umumnya tanaman menghendaki drainase yang baik sehingga
aerasi tanah cukup baik. Dengan demikian akan tanah cukup tersedia
oksigen dalam tanah dan akar tanaman dapat berkembang dengan baik
serta mampu menyerap unsur hara secara optimal. Selain itu terdapat
tanaman yang memerlukan drainase terhambat seperti jenis tanaman air
(padi sawah).

Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan yang


diperlukan oleh masing-masing komoditas (pertanian, peternakan dan
perikanan, kehutanan) mempunyai batas kisaran minimum, optimum, dan
maksimum. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan, persyaratan
tersebut dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan,
yang dikaitkan dengan kualitas dan karakteristik lahan. Kualitas lahan
yang optimum bagi kebutuhan tanaman atau penggunaan lahan tersebut
merupakan batasan bagi kelas kesesuaian lahan yang paling sesuai (s1).
Sedangkan kualitas lahan yang di bawah optimum merupakan batasan
kelas kesesuaian lahan antara kelas yang cukup sesuai (s2), dan atau
sesuai marginal (s3). Di luar batasan tersebut di atas merupakan lahan-
lahan yang secara fisik tergolong tidak sesuai (N).

***

VIII
KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN FAO

K esesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan


tertentu, sebagai contoh lahan untuk irigasi, tambak, pertanian
tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim. Lebih spesifik lagi
kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang
terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase yang sesuai
untuk usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif.

Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) sebagaimana


dikemukakan dalam Bab 7 berbeda dengan kemampuan lahan (land
capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas
berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan di suatu
wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan
atau diusahakan di suatu wilayah, semakin tinggi kemampuan lahan
tersebut. Misalnya suatu lahan yang topografi atau reliefnya datar,
tanahnya dalam, tidak terpengaruh oleh banjir dan iklimnya cukup basah,
biasanya memiliki kemampuan lahan yang cukup baik untuk
pengembangan tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Namun jika
kedalaman tanahnya kurang dari 50 cm, lahan tersebut hanya mampu
untuk mengembangkan tanaman semusim atau tanaman lain yang
mempunyai mintakat perakaran dangkal. Sedangkan kesesuaian lahan
adalah kesesuaian dari satu bidang lahan untuk tujuan penggunaan atau
komoditas spesifik, misalnya padi, jagung, kedelai, kelapa sawit, rambutan,
durian, mahoni, akasia, meranti dan sebagainya.

8.1 Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan FAO (1976)


Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk
suatu penggunaan tertentu. Kelas kasesuaian lahan suatu kawasan dapat
berbeda-beda, tergantung pada penggunaan lahan yang dikehendaki.

Klasifikasi Kesesuaian Lahan menyangkut perbandingan


(matching) antara kualitas Iahan dengan persyaratan penggunaan lahan
yang diinginkan.

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan, menurut kerangka kerja FAO (1976),


terdiri atas 4 katagori, yaitu:

1. Ordo (Order) : menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum.


2. Kelas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
3. Sub-kelas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang
didasarkan pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang
diperlukan dalam kelas.
4. Satuan (Unit) : menunjukkan tingkatan dalam subkelas didasarkan
pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam
pengelolaannya.
8.1.1 Kesesuaian Lahan pada Tingkat Ordo

Ordo kesesuaian lahan, menurut kerangka-kerja avaluasi lahan FAO


(1976), dibedakan atas:

1. Ordo S : Sesuai (Suitable)


Lahan yang termasuk dalam ordo ini dapat digunakan untuk penggunaan
tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap
sumber daya lahannya. Dengan kata lain, keuntungan lebih besar dari
masukan yang diberikan.

2. Ordo N : Tidak Sesuai (Not suitable)

Lahan yang termasuk dalam ordo ini mempunyai pembatas demikan rupa
sahingga mencegah penggunaan secara lestari untuk suatu tujuan yang
direncanakan.

Lahan dapat digolongkan tidak sesuai untuk penggunaan tertentu


karena beberapa alasan. Hal ini dapat terjadi karena panggunaan lahan
yang diusulkan secara teknis tidak memungkinkan untuk dilaksanakan,
misalnya membangun irigasi pada lahan curam yang berbatu, atau karena
dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang parah, seperti penanaman
pada lereng yang curam. Seringkali pula didasarkan pada pertimbangan
ekonomi yaitu nilai keuntungan yang diharapkan lebih kecil daripada
biaya yang dikeluarkan.

8.1.2 Kesesuaian pada Tingkat Kelas

Kelas kesesuaian lahan merupakan pembagian lebih lanjut dari Ordo dan
menggambarkan tingkat kasesuaian dari suatu ordo. Tingkat dalam kelas
ditunjukkan oleh angka (nomor urut) yang ditulis di belakang simbol ordo.
Nomor urut tarsebut menunjukkan tingkatan kelas yang menurun dalam
suatu Ordo.

Pada dasarnya jumlah kalas dalam tiap Ordo tidak terbatas, tetapi
dianjurkan untuk memakai 3 (tiga) kelas dalam Ordo S dan 2 (dua) kelas
dalam Ordo N.

Pembagian dan definisi secara kualitatif masing-masing kelas jika


menggunakan 3 kelas untuk ordo sesuai dan 2 kelas untuk ordo tidak
sesuai, adalah sebagai berikut:

Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable)


Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara
lestari atau hanya mempunyai pembatas tidak berarti dan tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi serta tidak menyebabkan kenaikan
masukan yang diberikan pada umumnya.

Kelas S2 : cukup sesuai (moderately suitable)

Lahan mempunyai pembatas agak berat untuk mempertahankan tingkat


pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi
produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan masukan yang
diperlukan.

Kelas S3 : Sesuai Marginal (Marginally Suitable)

Lahan mempunyai pambatas yang sangat berat untuk mempertahankan


tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi
produktivitas dan keuntungan. Perlu ditingkatkan masukan
yangdiperlukan.

Dalam klasifikasi lahan kuantitatif, masukan dan keuntungan barus


dinyatakan dengan istilah-istilah umum yang dapat diukur, yaitu pada
umumnya menggunakan nilai ekonomi. Dalam lingkungan yang berbeda,
variabel-variabel mengenai tingkat kesesuaian dapat dinyatakan secara
lebih tegas misalnya kisaran penghasilan bersih yang diharapkan per
satuan luas atau per satuan pengelolaan yang baku atau keuntungan
bersib per satuan air irigasi yang diterapkan pada berbagai jenis lahan
yang berbeda untuk penggunaan tertentu.

Kelas N1 : Tidak Sesuai Saat Ini (Currently not Suitable)

Lahan mempunyai pembatas yang lebih berat, tapi masih mungkin untuk
diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pangetahuan
sekarang ini dangan biaya yang rasional. Faktor-faktor pembatasnya
begitu berat sehingga menghalangi keberhasilan penggunaan lahan yang
lestari dalam jangka panjang.

Kelas N2 : Tidak Sesuai Selamanya (Permanently not Suitable)


Lahan mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin
digunakan bagi suatu panggunaan yang lestari.

8.1.3 Kesesuaian pada Tingkat Sub Kelas

Subkelas kesesuaian lahan menunjukkan jenis pembatas atau macam


perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas kesesuaian.

Masing-masing kelas dapat dibagi manjadi satu atau lebih subkelas


kesesuaian tergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas
dicerminkan oleh simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas.
Misalnya S2n, artinya lahan tersebut mempunyai kelas kesesuaian S2
(cukup sesuai) dengan pembatas n (ketersediaan bara). Untuk kelas S1
tidak ada pembagian subkelas.

Jika terdapat lebih dari satu faktor pembatas, maka pembatas yang
paling utama (dominan) ditempatkan lebih awal. Misal S2tn berarti lahan
tersebut mempunyai kelas S2 dengan faktor pembatas yang dominan,
yaitu t (lereng) dan faktor pembatas tambahan, yaitu n (ketersediaan
hara).

8.1.4 Kesesuaian pada Tingkat Unit

Kesesuaian pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari


subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan atas besarnya faktor
pembatas. Dengan demikian, semua unit dari subkelas yang sama memiliki
tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan memiliki jenis pembatas
yang sama pada tingkat subkelas.

Perbedaan antara satu unit dengan unit yang lain merupakan


perbedaan dalam sifat-sifat atau gatra tambahan dari pengelolaan yang
diperlukan dan seringkali merupakan perbedaan detail dari pembatas-
pembatasnya. Jumlah unit dalam sub-kelas tidak dibatasi.

Pemberian simbol kesesuaian lahan pada tingkat unit dilakukan


dengan angka setelah simbol subkelas yang dipisahkan oleh tanda
penghubung, misalnya S2n-1, S2n-2.
8.1.5 Kesesuaian Bersyarat (Conditionally Suitable)

Penunjukkan kesesuaian bersyarat dilakukan dalam hal-hal tertentu untuk


menyingkat atau menyederhanakan penyajian. Hal ini perlu dilakukan
untuk melayani kondisi dimana suatu daerah dari lahan yang sempit di
daerah survei yang mungkin tidak sesuai atau kurang sesuai untuk
penggunaan tertentu dibawah pengelolaan tertentu bagi penggunaan
tcrsebut, tetapi akan menjadi sesuai jika kondisi-kondisi tertentu dipenuhi.

Pada dasarnya Sesuai Bersyarat merupakan fase dari ordo Sesuai,


yang ditandai dengan huruf kecil c di antara simbol ordo dan kelas
misalnya Sc2. Fase Sesuai Bersyarat (yang dibagi ke dalam kelas jika
memang diperlukan), selalu ditempatkan dibagian bawah (terakhir) dari
daftar dalam kelas S. Fase menunjukkan kasesuaian jika kondisi (e) telah
dipenuhi.

Menurut FAO (1976), sedapat mungkin pengunaan fase bersyarat


ini dihindari dalam survei tanah, kecuali jika:

a. Tanpa adanya kondisi yang dipenuhi, maka lahan tersebut


termasuk tidak sesuai atau termasuk ke dalam kelas sesuai yang
paling rendah.
b. Jika kondisi dipenuhi (misalnya dengan melakukan perbaikan
terhadap faktor pembatas), maka kelas kesesuaian lahan menjadi
nyata meningkat (biasnya paling sedikit meningkat 2 kelas).
c. Jika dibandingkan dengan luas daerah survei secara keseluruhan,
maka luas lahan yang sesuai bersyarat tersebut sangat kecil.
8.2 Prosedur Evaluasi Lahan
Dalam evaluasi lahan, suatu daerah yang akan dievaluasi, harus dibagi ke
dalam beberapa satuan peta lahan (SPL) yang merupakan daerah yang
dipetakan dengan karakteristik ter-tentu. Biasanya SPL ini, didasarkan
atas satuan peta tanah (SPT) dari hasil survei tanah.

Seperti halnya satuan peta tanah, maka satuan peta lahan (SPL)
jarang yang benar-benar homogen, oleh karena itu dibedakan atas:

SPL tunggal: mengandung hanya satu jenis lahan.


SPL majemuk: mengandung lebih dari satu jenis lahan.

Selain SPL, dikenal pula istilah satuan evaluasi lahan (SEL) yang
merupakan satuan yang menawarkan kemungkinan yang sama untuk tipe
penggunaan lahan yang spesifik. Hubungan antara SPL dan SEL disajikan
dalam Gambar 8.1.
Data yang diperlukan dalam evaluasi lahan meliputi data iklim,
tanah (termasuk lereng, relief, drainase dan lain-lain) serta S data
tanaman. Data iklim meliputi data stasiun, iklim (nama, lokasi, elevasi dan
sebagainya), serta data curah-hujan, suhu, lengas, evaporasi (rata-rata
bulanan dan tahunan).

Data tanah yang diperlukan meliputi komposisi satuan peta lahan


(SPL), sebaran SPL (administrasi, lembar peta, luasan) serta satuan
evaluasi lahan (komposisi satuan tanah dalam masing-masing SPL dan
sebaran masing-masing SPL.

Data tanaman meliputi data referensi tentang tanaman,


persyaratan tumbuh dan pengelolaannya.

Data tanah dan data iklim setiap SPL dikalompokkan ke dalam


kualitas lahan masmg-masing satuan tanah dalam SPL tersebut.
Persyaratan tumbuh setiap tanaman yang akan dievaluasi dibuat dalam
tabel persyaratan tumbuh (contoh dalam Tabel 8.2.). Dengan melakukan
'matching' (pembandingan) antara kualitas lahan dan persyaratan tumbuh
tanaman, akan dapat ditentukan kelas kesesuaian lahan dari suatu SPL.
Pada Tabel 8.3 diberikan contoh cara penentuan kelas suatu satuan peta
lahan (SPL Tm 32), untuk tanaman jagung. Rating kesesuaian ditentukan
berdasarkan tabel persyaratan tumbuh tanaman (Tabel 8.2).

8.3 Ragam Klasifikasi Kesesuaian Lahan FAO


Dalam kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976), dikenal empat macam
klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu:

Kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif.


Kesesuaian lahan yang bersifat kuantitatif.
Kesesuaian lahan aktual.
Kesesuaian lahan potensial.

Masing-masing klasifikasi kesesuaian lahan merupakan penilaian


dan pengelompokan satuan lahan dalam pengertian kesesuaian untuk
penggunaan tertentu.
8.3.1 Klasifikasi Kualitatif dan Kuantitatif
1. Klasifikasi kesesuaian lahan kualitatif

Klasifikasi kesesuaian lahan kualitatif merupakan kesesuaian lahan untuk


suatu penggunaan tertentu yang dinyatakan dalam istilah kualitatif tanpa
perhitungan yang teliti dari biaya dan pendapatan. Klasifikasi kualitatif
terutama didasarkan pada potensi produksi fisik lahan, dengan gatra
ekonomi hanya sebagai latar belakang belaka. Klasifikasi kualitatif
biasanya diterapkan dalam survei skala tinjau (1: 250.000) yang
dimaksudkan sebagai penilaian umum dari suatu daerah yang luas.

2. Klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif

Klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif merupakan kesesuaian untuk


penggunaan tertentu yang didasarkan atas faktor-faktor fisik dan
pertimbangan ekonomi (biaya produksi dan keuntungan yang diperoleh).
Klasifikasi kuantitatif umumnya diterapkan pada proyek
pembangunan tertentu, seperti studi yang berkaitan dengan proyek-
proyek yang memerlukan penanaman modal yang besar.

Evaluasi kualitatif memungkinkan intuisi untuk mengintegrasikan


berbagai aspek keuntungan sosial, lingkungan maupun ekonomi, yang
tidak dapat dilakukan pada evaluasi kuantitatif. Meskipun demikian,
klasifikasi kuantitatif menyediakan data sebagai dasar untuk menghitung
keuntungan bersih ataupun parameter ekonomi lainnyadari daerah yang
berbeda, serta pada penggunaan lahan yang berbeda. Klasifikasi
kuantitatif umunya cepat mengalami kedaluwarsa daripada klasifikasi
kualitatif, karena perubahan biaya dan keuntungan dapat terjadi dengan
cepat.

8.3.2 kesesuaian lahan aktual dan potensial


1. kesesuaian lahan aktual

kesesuaian lahan aktul disebut juga kesesuaian lahan saat ini (current
suitability) atau kesesuaian lahan alami. Kesesuaian ini menunjukan
kesesuaian pada kondisi saat dilakukan evaluasi lahan, tanpa perbaikan
yang berarti dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kendala atau faktor pembatas yang ada dalam suatu lahan
(satuan peta lahan).

Faktor-faktor pembatas dalam evaluasi lahan di bedakan atas


faktor pembatas yang bersifat permanen dan non-permanen (dapat
diperbaiki). Faktor pembatas yang bersifat permanen merupakan
pembatas yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki dan kalaupun dapat
diperbaiki, secar ekonomis sangat tidak menguntungkan. Faktor pembatas
yang dapat diperbaiki merupakan pembatas yang mudah diperbaiki dan
secara ekonomis masih dapat memberikan keuntungan dengan masukan
teknologi yang tepat.

2. Kesesuaian Lahan Potensial

Kesesuaian lahan potensial menunjukan kesesuaian terhadap penggunaan


lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaan yang akan dicapai,
setelah diadakan itu usaha-usaha perbaikan tertentu yang diperlukan,
terhadap faktor-faktor pembatasnya. Dalam hal ini hendaklah diperinci
faktor-faktor ekonomis yang disertakan dalam menduga biaya yang
diperlukan untuk perbaikan-perbaikan tersebut. Jenis usaha perbaikan
karakteristik kualitas lahan yang akan dilakukan disesuaikan dengan
tingkat pengelolaan yang akan diterapkan .

Tabel 8.4 menyajikan jenis-jenis perbaikan dan tingkat


pengelolaan yang diperlukan untuk memperbaiki beberapa karakteristik
kualitas lahan, sedangkan Tabel 8.5 menyajikan asumsi tingkat
pengelolaan yang dapat dilakukan untuk beberapa kualitas/ karakteristik
lahan.

Kegiatan ‘matching’ dapat dilakukan secara manual maupun


dengan bantuan komputer. Jika dilakukan secara manual akan memakan
waktu yang sangat lama. Untuk membantu proses 'matching', dapat
digunakan program Excell dari MS Office atau jenis spreadsheet yang lain.
Beberapa pakar mencoba menyusun suatu program komputer untuk
mempercepat proses ini serta menyusun suatu basis data yang dapat
memberikan kemudahan dalam melakukanevaluasi lahan. Beberapa
contoh program komputer tersebut misalnya program LECS (Wood dan
Dent, 1983) dan ALES (Rossiter dan Wambeke (1994). Evaluasi lahan
menggunakan komputer dengan program ALES akan dibahas dalam Bab
12.
Keterangan :

Tingkat pengelolaan rendah: pengelolaan dapat diilakukan oleh


petani dengan biaya yang relatif rendah.
Tingkat pengelolaan sedang: pengelolaan dapat dilakukan pada
tingkat petani menengah, memerlukan modal yang cukup besar
dan teknik pertanian sedang.
Tingkat pengelolaan tinggi: pengelolaan hanya dapat dilakukan
dengan modal yang relatif besar, umumnya dilakukan oleh
pemerintah atau perusahaan besar atau menengah.
Keterangan :

- tidak dapat digunakan perbaikan

+ perbaikan dapat dilakukan dan akan dihasilkan kenaikan kelas satu tingkat lebih
tinggi (S3 menjadi S2)

++ kenaikan kelas dua tingkat lebih tinggi (S3 menjadi S1)

+++ kenaikan kelas tiga tingkat lebih tinggi (N1 menjadi S1)
8.4 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan
Hasil evaluasi lahan menurut FAO (1976) biasanya mencakup beberapa
jenis informasi seperti dikemukakan di bawah ini, dimana cakupan
masing-masing informasi tersebut tergantung dari skala dan intensitas
kajian.
1. Kaitan fisik, sosial dan ekonomi yang mendasari dilakukannya
evaluasi. Hal ini menyangkut data dan asumsi.
2. Deskripsi tipe pengunaan lahan atau macam utama penggunaan lahan
yang relevan dengan daerah survei. Semakin intensif tingkat kajian,
semakin detail dan akurat deskripsi tersebut.
3. Peta, tabel dan bahan-bahan berupa naskah harus memperlihatkan
tingkat kesesuaian satuan peta lahan dari masing-masing macam
penggunaan lahan yang dinilai, beserta kriteria pencirinya. Masing-
masing macam penggunanan lahan dievaluasi secara terpisah. Contoh
peta keseuaian lahan disajikan dalam Gambar 8.2 dan Tabel 8.8.
4. Spesifikasi tingkat pengelolaan dan perbaikan masing-masing LUT
harus ditentukan untuk setiap satuan peta lahan (SPL) yang sesuai.
Semakin detail survei, semakin rinci dan semakin akurat pula
spesifikasi tersebut. Pada survei semi-detail kebutuhan akan drainase
harus dijelaskan, sedangkan pada survei detail, sifat dan biaya
pembuatan saluran drainase harus dikemukakan.
5. Analisis ekonomi dan sosial sebagai akibat beragamnya jenis
penggunaan lahan yang dipertimbangkan.
6. Data dan peta dasar yang menjadi pertimbangan dalam evaluasi.
Hasilnya, terutama klasifikasi kesesuaian lahan, didasarkan pada
berbagai informasi yang penting bagi pengguna individu. Informasi-
informasi tersebut harus tersedia baik sebagai lampiran dari laporan
utama atau sebagai dokumentasi tersendiri.
7. Informasi tingkat kepercayaan dari estimasi kesesuaian lahan.
Informasi ini berkaitan langsung dengan keputusan perencanaan. Juga
membantu langkah-langkah ke arah perbaikan klasifikasi kesesuaian
lahan berikutnya, dengan menunjukan beberapa kelemahan dari data
dan aspek-aspek yang harus dilengkapi dalam penelitian selanjutnya.
8.5 Prosedur Evaluasi Lahan
Menurut FAO (1976), kegiatan utama dalam evaluasi lahan adalah sebagai
berikut:

1. Konsultasi pendahuluan
2. Identifikasi jenis penggunaan lahan yang dipertimbangkan dan
persyaratan-persyaratan yang diperlukan
3. Deskripsi satuan peta lahan dan kualitas lahan
4. Pembandingan penggunaan lahan dengan lahan
5. Klasifikasi kesesuaian lahan
6. Penyajian hasil evaluasi
7. Di bawah ini diuraikan lebih rinci masing-masing kegiatan tersebut.

8.5.1 Konsultasi Pendahuluan

Konsultasi antara pihak perencana yang menghendaki studi evaluasi lahan


dengan organisasi yang melaksanakan evaluasi lahan merupakan tahap
awal yang sangat panting dalam suatu evaluasi lahan. Kedua pihak harus
menyepakati tujuan survei dan jenis evaluasi untuk mencapai tujuan
tersebut. TOR dibuat lebih fleksibel sehingga memungkinkan beberapa
kali modifikasi yang disesuaikan dengan temuan-temuan selama
pelaksanaa survei. Beberapa di antara yang harus diputuskan dalam tahap
ini adalah:

Tujuan evaluasi.
Data dan asumsi yang akan digunakan sebagai dasar dalam
melakukan evaluasi.
Luasan dan batas daerah yang akan dievaluasi.
Jenis penggunaan lahan yang yang relevan untuk dipertimbangkan.
Penetapan untuk menggunakan pendekatan dua tahap atau
paralel.
Jenis klasifikasi kesesuaian lahan yang akan di gunakan.
Skala dan intensitas survei.
Tahap-tahap kegiatan dalam evaluasi.

Dalam LREP II di kemukakan beberapa hal yang perlu dinyatakan


dalam asumsi evaluasi lahan semi-detail sebagai berikut:

Prosedur evaluasi lahan: secara fisik atau lainnya


Data: merupakan data tapak (site) atau rata-rata dari SPL
Kependudukan, sosial budaya: tidak dipertimbangkan dalam
evaluasi.
Infrastruktur dan assesibilitas: tidak dipertimbangkan.
Pemilikan tanah: tidak dipertimbangkan.
Tingkat pengelolaan: dibedakan atas rendah, sedang, dan tinggi.
Dijelaskan pula kriteria dari masing-masing tingkatdan usaha
perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencapai kesesuaian lahan
potensial.
Aspek ekonomi: hanya pertimbangan secara garis-besar, termasuk
dalam aspek ekonomi adalah faktor pemasaran, nilai-nilai input-
output serta keuntungan bersih.

8.5.2 Jenis Penggunaan Lahan yang Dipertimbangkan dan


Persyaratan yang Diperlukan
1. Deskripsi jenis penggunaan lahan

Beberapa kendala terhadap rentang penggunaan lahan yang relevan


untuk dipertimbangkan ditentukan oleh tujuan dan asumsi. Ada 2 situasi
yang dapat dijumpai yaitu :

Jenis penggunaan lahan ditentukan pada awal prosedur evaluasi.


Jenis penggunaan lahan secara garis-besar ditentukan pada awal
prosedur evaluasi, tetapi dapat di modofikasi dan di sesuaikan
sejalan dengan temuan dilapangan.

Situasi pertama dijumpai pada survei kualitatif yang dimaksudkan


untuk untuk mengevaluasi jenis penggunaan lahan utama (major kind of
land use) . jenis penggunaan lahan ini juga diterapkan pada studi untuk
menentukan lahan hanya untuk satu Tipe Penggunaan Lahan (TPL) atau
yang jumlah TPL-nya terbatas, misalnya untuk pohon buah-buahan
beririgasi atau untuk hutan lindung dan lain-lain.

Situasi kedua diterapkan pada proyek pembukaan lahan yang


mencakup berbagai macam usaha pertanian, peternakan, dan kehutanan.
Pada awalnya TPL dinyatakan dalam istilah yang umum, misalnya
pertanian untuk petani kecil (smallholder). Dengan teman-temuan selama
survei,dilakukan penentuan yang lebih rinci mengenai jenis tanaman yang
akan diusahakan, rotasi tanaman, tindakan konservasi tanah yang akan
diterapkan, luasan lahan petani yang optimal dan lain-lain, sehingga pada
akhir studi LUT diuraikan secara lebih rinci. Dalam praktiknya, kedua
situasi tersebut tidak terlalu tegas perbedaannya.

2. Identifikasi Persyaratan dan Kendala Penggunaan Lahan

Setiap jenis penggunaan lahan memerlukan kondisi lingkungan yang


berbeda untuk dapat berproduksi secara lestari dan menguntungkan dari
segi ekonomi. Misalnya kebanyakan tanaman tahunan memerlukan
ketersediaan lengas sepanjang tahun dalam zona perakarannya, padi
irigasi memerlukan lahan yang datr atau dapat di datarkan dengan biaya
yang layak, dan hutan memerlukan tempat berpijak tertentu untuk
perakarannya, sekalipuan tanaman hutan biasanya toleran pada lereng
curam. Pembatas untuk masing-masing LUT merupakn persyaratan yang
harus diperhatikan selama melakukan survei. Kunjungan

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xx

-l

bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah


masih tetap diperlukan.

9.3.2 Kelas II

Tanah-tanah dalam kelas II memiliki beberapa kendala yang mengurangi


pilihan penggunaannya atau memerlukan praktik/tindakan konservasi
yang sedang.
Tanah-tanah dalam kelas ini membutuhkan pengelolaan tanah
secara hati-hati, termasuk tindakan konservasi tanah untuk mencegah
kemerosotan tanah atau untuk meningkatkan hubungan air dan udara jika
tanah digunakan pertanian. Faktor penghambat pada kelas II adalah
sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah dilakukan. Tanah-tanah ini
dapat gunakan untuk tanaman semusim, padang rumput, padang
penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung dan cagar alam.

Penghambat yang ada dalam kelas II adalah salah satu atau


kombinasi dari pengaruh berikut: (1) lereng landai, (2) kepekaan erosi
atau bahaya erosi sedang atau telah mengalami erosi sedang, (3)
kedalaman efektif tanah agak dalam, (4) struktur tanah dan kemampan
tanah untuk diolah agak kurang baik, (5) salinitas ringan sampai sedang
atau terdapat garam natrium yang mudah diatasi, tetapi mungkin dapat
timbul kembali, (6) kadang-kadang mengalami luapan air (banjir) yang
merusak, (7) kelebihan air yang dapat diatasi dengan drainase, tetapi air
tetap ada sebagai pembatas yang tingkatannya sedang, dan (8) keadaan
iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan.

Tanah-tanah dalam kelas ini mungkin memerlukan sistem


penanaman konservasi khusus, tindakan-tindakan pencegahan erosi,
pengendarian air yang berlebihan, atau metode pengolahan tanah jika
akan digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan
pengolahan tanah. Misalnya, tanah yang dalam dengan lereng landai dan
memiliki bahaya erosi sedang jika digunakan untuk tanaman semusim
mungkin memerlukan salah satu atau kombinasi tindakan-tindakan
berikut: teras, penanaman dalam bidang-bidang teratur (strip-cropping),
pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman deengan rumput dan
tanaman legum, mulsa, pemupukan dan pengapuran.

9.3.3 Kelas III

Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai kendala yang berat sehingga


mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi
khusus atau keduanya.
Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai pembatas yang lebih
berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan untuk tanaman yang
memerlukan pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan
biasanya lebih sulit diterapkan dan dipertahankan. Lahan kelas III dapat
digunakan untuk tanaman semusim, padang penggembalaan, hutan
produksi, hutan lindung, dan suaka margasatwa.

Kendala yang terdapat pada tanah dalam kelas III adalah


terbatasnya waktu penggunaan dan waktu pengolahan, pilihan jenis
tanaman bagi tanaman semusim atau kombinasi dari ketiganya. Kendala-
kendala tersebut dapat disebabkan oleh salah satu atau lebih dari sifat
berikut: (1) lereng yang agak curam, (2) peka terhadap erosi atau telah
mengalami erosi yang agak berat, (3) seringkali mengalami banjir yang
merusak tanaman, (4) lapisan bawah tanah berpermeabilitas sangat
lambat, (5) terlalu basah atau terus-menerus jenuh air setelah didrainase,
(6) kedalaman yang dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras
(hardpan), fragipan atau claypan yarrg menghambat perakaran dan
simpanan air, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) tingkat kesuburan
rendah dan tidak mudah diatasi, (9) salinitas atau kandungan natrium
sedang, atau(10) hambatan iklim sedang.

Tanah yang selalu basah, berpemeabililas rendah tetapi hampir


datar, termasuk dalam kelas III. Jika diusahakan untuk tanaman semusim
dan tanaman pertanian, tanah ini memerlukan drainase dan pengelolaan
tanah yang dapat memelihara atau memperbaiki struktur sehingga
memudahkan pengolahan tanah.Untuk menghindari terjadinya
pelumpuran dan pemadatan serta memperbaiki permeabilitas tanah,
tambahan bahan organik dan disarankan untuk tidak mengolah tanah
dalam keadaan basah.

Di beberapa daerah beririgasi, beberapa tanah kelas III memiliki


penggunaan yang terbatas karena muka air-tanah dangkal, permeabilitas
rendah dan adanya bahaya akumulasi garam atau sodik.

9.3.4 Kelas IV
Tanah-tanah dalam kelas IV mempunyai kendala yang sangat berat
sehingga membatasi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan
pengelolaan yang sangat hati-hati atau keduanya.

Faktor penghambat dan bahaya kerusakan pada tanah-tanah di


dalam lahan kelas IV lebih berat daripada tanah-tanah di dalam kelas III,
sehingga pilihan penggunaannya juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk
semusim, tanah ini memerlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan
tindakan konservasi yang lebih sulit untuk diterapkan dan dipertahankan.
Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan
tanaman pertanian, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan
lindung atau suaka alam.

Tanah-tanah kelas IV mungkin hanya cocok untuk dua atau tiga


macam tanaman pertanian atau tanaman yang memiliki produksi rendah.
Beberapa kendala disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor
berikut: (1) lereng curam, (2) sangat peka terhadap erosi, (3) telah
mengalami masalalu yang parah, (4) tanah dangkal, (5) kapasitas menahan
air rendah, (6) sering tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada
tanaman, (7) kelebihan air bebas dan bahaya genangan setelah didrainase,
(8) salinitas atau kandungan natrium yang tinggi, dan (9) keadaan iklim
yang cukup merugikan.

9.3.5 Kelas V

Tanah-tanah dalam keras V tidak atau sedikit memiliki bahaya erosi, tetapi
memiliki pembatas lain yang sulit dihilangkan sehingga pilihan
penggunaannya menjadi sangat terbatas, yaitu untuk padang rumput,
padang penggembalaan, hutan produksi atau suaka-alam.

Tanah-tanah ini menyulitkan pengolahan tanah bagi tanaman


semusim, biasanya. terletak pada topografi datar atau hampir datar, tetapi
tergenang air, sering dilanda banjir, atau berbatu, atau iklim yang kurang
mendukung, atau memiliki kombinasi penghambat tersebut.

Ciri-cirinya adalah (1) terletak di dasar lembah yang sering


kebanjiran sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim
secara normal, (2) tanah-tanah yang hampir datar tetapi keadaan iklim
tidak memungkinkan tanaman untuk berproduksi secara normal, (3)
hampir datar tetapi berbatu-batu, dan (4) tanah-tanah rawa yang tidak
memungkinkan didrainase untuk tanaman semusim, akan tetapi dapat
ditanami rumput atau tanaman pohon dengan pengelolaan yang tepat.

9.3.6 Kelas Vl

Tanah-tanah dalam kelas VI memiliki penghambat yang berat sehingga


tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pertanian. Penggunaan tanah ini hanya
terbatas untuk padang rumput atau padang penggembalaan, hutan
produksi, hutan lindung atau cagar alam.

Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai penghambat atau bahaya


kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi
faktor-faktor berikut: (1) lereng curam, (2) bahaya erosi berat, (3) telah
tererosi berat, (4) berbatu, (5) zona perakaran dangkal, (6) kelebihan air
atau kebanjiran, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau
kandungan Na tinggi, atau (9) iklim yang tidak mendukung.

Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng yang agak curam


jika akan digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus
dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam
kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng
agak curam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan
konservasi yang berat. Tergantung pada sifat-sifat tanah dan iklim
setempat tanah dalam kelas VI dimungkinkan untuk hutan produksi.

9.3.7 Kelas VII

Tanah-tanah dalam kelas VII memiliki pembatas yang berat sehingga tidak
sesuai untuk pertanian dan penggunaannya sangat terbatas untuk padang
rumput, hutan produksi dan suaka-alam.

Jika tanah-tanah ini digunakan untuk padang rumput atau hutan


produksi, maka harus dilakukan usaha pencegahan erosi yang berat.
Tanah-tanah kelas VII memiliki beberapa penghambat atau bahaya
kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan, seperti (1) lereng
sangat curam, (2) mengalami erosi sangat berat, dan (3) tanah dangkal, (4)
berbatu, (5) tanah selalu tergenang (6) kandungan garam dan Na tinggi,
(7) iklim yang tidak mendunkung, atau (8) pembatas-pembatas lain yang
menyebabkan tidak sesuai untuk pertanian.

9.3.8 Kelas VIII

Tanah dan landform dalam kelas VIII memiliki pembatas yang


menghalangi penggunaan tanah ini untuk produksi tanaman secara
komersial dan membatasi penggunaannya hanya untuk pariwisata dan
suaka alam.

Tanah-tanah ini sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami.


Pembatas yang ada sulit atau tidak dapat diperbaiki akibat dari satu atau
lebih sifat berikut: (1) erosi dan bahaya erosi sangat berat, (2) iklim sangat
tidak mendukung, (3) tanah selalu basah, (4) sangat berbatu, (5) kapasitas
menahan air sangat rendah, dan (6) salinitas dan kandungan Na tinggi.

Contoh lahan kelas VIII adalah tanah-tanah yang telah rusak atau
sangat terdegradasi (badland), tanah-tanah dengan singkapan batuan,
pantai berpasir, tempat pembuangan sisa-sisa bahan tambang dan lahan-
lahan hampir gundul lainnya.

9.4 Subkelas Kemampuan Lahan


Subkelas merupakan pembagian lebih lanjut dari kelas dan dibedakan
berdasarkan jenis faktor pembatas atau bahaya kerusakan. Subkelas
merupakan pengelompokkan satuan-satuan kemampuan lahan yang
mempunyai jenis pembatas atau bahaya dominan yang sama jika
dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah dan iklim.
Beberapa tanah akan mengalami erosi jika tidak dilindungi, sedangkan
tanah lainnya selalu tergenang atau kelebihan air secara alami sehingga
harus didrainasekan agar dapat ditanami. Beberapa tanah memiliki
kedalaman efektif yang dangkal atau mudah kekeringan atau memiliki
kekurangan-kekurangan lain. Selain itu terdapat tanah yang terletak di
daerah yang mempunyai iklim yang tidak mendukung, sehingga
membatasi penggunaan tanah.

Ada beberapa jenis hambatan atau bahaya yang dikenal pada


subkelas, yaitu bahaya erosi (e); keadaan drainase atau kelebihan air atau
bahaya banjir (w); kedalaman efektif tanah menghambat perakaran (s);
dan hambatan iklim(c). Subkelas memberikan informasi tentang tingkat
dan jenis pembatas. Lahan atau tanah-tanah Keras I tidak memiliki
subkelas, karena tidak memiliki pembatas yang berarti.

Di bawah ini dijelaskan lebih rinci masing-masing faktor


penghambat yang menentukan subkelas kemampuan lahan.

Subkelas erosi (e), menunjukkan bahaya erosi atau tingkat erosi


yang telah terjadi merupakan masalah utama. Bahaya erosi disebabkan
oleh lereng yang curam dan kepekaan erosi (erodibilitas) tanah yang
tinggi.

Subkelas kelebihan air (w), menunjukkan bahwa tanah memiliki


penghambat yang disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan
bahaya banjir yang dapat merusak tanaman.

Subkelas daerah perakaran (s), menunjukkan bahwa tanah


memiliki penghambat di daerah perakaran, yang meliputi kedalaman
tanah terhadap batu atau lapisan menghambat perkembangan akar,
batuan di permukaan lahan , kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat
kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan natrium atau
senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan dan sulit
diatasi.

Subkelas iklim (c), menunjukkan faktor iklim (temperatur dan


curah hujan) yang tidak mendukung akan menjadi pembatas penggunaan
lahan.

Macam faktor penghambat tersebut ditulis di belakang angka


kelas, misalnya IIe, IIIw, IVs dan lain-lain. Faktor penghambat atau bahaya
yang disebabkan oleh bahaya erosi, kelebihan air, tanah dangkal, berbatu,
kapasitas menahan air yang rendah, salinitas atau kandungan garam,
dapat diubah atau sebagian dapat diatasi dan merupakan pembatas yang
didahulukan dari pada iklim dalam menentukan subkelas, dari subkelas
diberikan pada tanda e, w atau s. Tanah-tanah yang tidak ada pembatas,
kecuali iklim, ditandai dengan subkelas c.

Apabila terdapat dua jenis penghambat bernilai sama yang dapat


diperbaiki, maka penetapan subkelas dilakukan menurut prioritas berikut:
e, w, s. Artinya jika suatu tanah di daerah beriklim basah memiliki bahaya
erosi dan pembatas kelebihan air, maka tanah tersebut dimasukkan ke
dalam subkelas e. Jika suatu tanah memiliki pembatas drainase dan
kedalaman efektif dangkal, maka tanah tersebut dimasukkan ke dalam
subkelas w.

Tanah-tanah di daerah beriklim agak basah dan agak kering


dengan bahaya erosi dan penghambat iklim dikelompokan dalam subkelas
e. Tanah-tanah yang mempunyai penghambat perakaran dan iklim tanah
dikelompokan dalam subkelas s.

Jika suatu tanah memiliki dua penghambat, maka kedua


penghambat tersebut dapat ditulisjika diperlukan untuk penggunaan
secara lokal dengan menuliskan ygang dominan terlebih dahulu dan yang
dominan ditulis terlebih dahulu.

9.5 Satuan Kemampuan (Capability Unit)


Satuan atau unit kemampuan lahan, memberikan informasi yang lebih
spesifik dan terinci daripada subkelas. Satuan kemampuan merupakan
pengelompokan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya bagi
tanaman sehingga akan memerlukan pengelolaan yang sama atau
memberikan tanggapan yang sama terhadap pengelolaan yang diberikan.

Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam satuan kemampuan yang


sama harus memiliki keseragaman sifat-sifat tanah dan lingkungan yang
mempengaruhi kualitas lahan sehingga akan mempunyai potensi dan
penghambat yang sama. Lahan di dalam suatu satuan kemampuan
memiliki sifat-sifat yang sama dalam (1) kemampuan memproduksi
tanaman pertanian atau rumput makanan tenak di bawah tindakan
pengelolaan yang sarna, (2) kebutuhan akan tindakan konservasi dan
pengelolaan yang sama di bawah vegetasi penutup yang sama, dan (3)
kesetaraan dalam potensi produksi (perbedaan hasil rata-rata di bawah
sistem pengelolaan yang sama tidak lebih dari 25 persen).

Penulisan tingkat satuan kemampuan lahan, menggunakan


tambahan angka Arab di belakang simbol sub-kelas, misalnya IIIw-1, IIe-2
dan sebagainya. Angka-angka tersebut menunjukkan besarnya tingkat dan
faktor penghambat yang terdapat dalam subkelas tersebut.

9.6 Kriteria Klasifikasi


Pengelompokan dalam kelas kemampuan lahan diniiai untuk setiap satuan
peta yang diperoleh dari hasil survei tanah. Dalam setiap satuan peta
terdapat informasi tentang taksa tanah (pada kategori yang tergantung
dari skala peta tanah) dan komponen lahan lainnya seperti bentuk lahan,
lereng, hidrologi dan iklim dalam hubungannya dengan penggunaan lahan,
pengelolaan dan produktivitas lahan. Informasi tersebut terdapat pada
legenda peta.

Kelas kemampuan di dasarkan atas tingkat atau intensitas dan


jumlah faktor pembatas atau bahaya kerusakan yang mempengaruhi jenis
penggunaan lahan, resiko kerusakan tanah jika salah kelola, keperluan
pengelolaan tanah, dan resiko kegagalan tanaman. Untuk membantu
klasifikasi, di perlukan kriteria yang jelas yang memungkinkan
pengelompokan tanah pada setiap kategori, yaitu kelas, subkelas dan
satuan kemampuan. Oleh karena pengaruh sifat-sifat dan kualitas lahan
berbeda dengan sangat luas menurut iklim, maka kriteria disusun dengan
asumsi meliputi berbagai tanah untuk iklim yang sama.

Di bawah ini dikemukakan kriteria faktor pembatas yang


menentukan kelas atau sub-kelas maupun satuan kemampuan lahan
seperti dikemukakan oleh Arsyad (1989). Kriteria ini diharapkan dapat
diterapkan untuk lahan-lahan di Indonesia.

9.6.1 lklim
Ada dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan,
yaitu temperatur dan curah hujan. Di daerah tropis, faktor yang
memengaruhi temperatur udara adalah elevasi (ketinggian tempat dari
permukaan laut). Braak (1928) dalam Mohr et al (1972) berdasarkan hasil
penelitiannya di Indonesia memprediksi suhu menggunakan persamaan
berikut:

T=26.30C - 0.61h

Keterangan:

T = temperatur (0C);

26.3C = temperatur rata-rata pada permukaan laut,

h = ketinggian tempat dalam hektometer (100 meter).

Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas


atau rendah di daerah agak basah (sub-humid), agak kering (semi-arid),
dan kering (arid) memengaruhi kemampuan tanah. Oleh karena klasifikasi
pada setiap lokasi didasarkan atas penampilan tanaman, maka pengaruh
interaksi antara iklim dengan tanah harus diperhitungkan. Misalnya, di
daerah iklim agak basah, tanah berpasir, dapat diklasifikasikan dalam VI
atau kelas VII, sedangkan tanah yang mempunyai kapasitas menahan air
sama di daerah yang beriklim lebih basah diklasifikasikan dalam kelas III
atau IV.

Di daerah beriklim kering, air hujan tidak cukup memenuhi


kebutuhan tanaman. Oleh karena itu lahan beriklim kering hanya dapat
diklasifikasikan sebagai kelas I, II, III, III atau IV jika masalah kekurangan
air dapat diatasi dengan pemberian air irigasi. Jika masalah kekurangan air
dihilangkan dengan cara ini, maka tanah diklasifikasikan menurut
pengaruh sifat-sifat atau bahaya perrnanen lainnya yang merupakan
masalah atau bahaya penggunaan setelah pembangunan fasilitas irigasi
tersebut.

Beberapa sistem klasifikasi iklim atau hujan dapat dipergunakan


dalam menelaah masalah iklim. Di antara berbagai sistem tersebut yang
umum dipergunakan adalah sistem klasifikasi iklim Koppen, sistem
klasifikasi tipe hujan Schmidt dan Ferguson, dan sistem klasifikasi agro-
iklim Oldeman (1975) dan Oldeman, Las dan Darwis (1979).

9.6.2 Lereng, Bahaya Erosi, dan Erosi yang Telah Terjadi

Kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng (cekung atau


cembung) dapat memengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan.
Kecuraman lereng tercantum dalam legenda peta tanah. Panjang dan
bentuk lereng tidak tercatat pada peta tanah, akan tetapi lereng seringkali
dapat menjadi petunjuk jenis tanah tertentu dan pengaruhnya pada
penggunaan dm pengelolaan tanah dapat dievaluasi sebagai bagian satuan
peta. Jika data hasil penelitian tentang besarnya erosi di bawah sistem
pengelolaan tertentu atau kepekaan tanah (nilai K) tersedia, maka data
tersebut dapat digunakan untuk mengelompokkan tanah pada tingkat
kelas.

Pengelompokkan kecuraman lereng adalah sebagai berikut:

A = < 3% (datar)

B = 3 – 8% (landai atau berombak)

C = 8 - 15%(agak miring atau bergelombang)

D = 15 – 30% (miring atau berbukit)

E = 30 – 45% (agak curam)

F = 45 – 65%(curam)

G = > 65% (sangat curam)

Kepekaan erosi tanah (nilai K) dibedakan atas:

KE1 = 0,00 - 0,10 (sangat rendah)

KE2 = 0,11- 0,20 (rendah)

KE3 = 0,21- 0,32 (sedang)


KE4 = 0,38 - 0,48 (agak tinggi)

KE5 = 0,44 - 0,55 (tinggi)

KE6 = 0,56 - 0,64 (sangat tinggi)

Kerusakan erosi yang telah terjadi (erosi masa lalu) dibedakan atas:

e0 = tidak ada erosi

e1 = ringan (<25% lapisan atas hilang)

e2 = sedang (25 sampai 75% lapisan atas hilang)

e3 = agak berat (> 75% lapisan atas sampai < 25% lapisan bawah
hilang)

e4 = berat (> 25% lapisan bawah hilang)

e5 = sangat berat: erosi parit

9.6.3 Kedalaman Tanah

Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang baik bagi


pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat
ditembus oleh akar tanaman. Lapisan tersebut dapat berupa kontak lithik,
lapisan padas keras, padas liat, padas rapuh atau lapisan phlintit.
Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut:

k0 = dalam (> 90 cm)

k1 = sedang (90 - 50 cm)

k2 = dangkal (50 - 25 cm)

k3 = sangat dangkal (< 25 cm)

9.6.4 Tekstur Tanah


Tekstur tanah mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan
permeabilitas tanah serba berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya.
Definisi kelas tekstur tanah mengacu pada sistem USDA.

Untuk menentukan klasifikasi kemampuan lahan tekstur lapisan


atas tanah (0 - 30 cm) dan lapisan bawah (30 - 60 cm), perhatikan
pengelompokkan berikut:

t1 : tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu


dan liat.

t2 : tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat


berpasir, lempung berliat dan lempung liat berdebu.

t3 : tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung


berdebu dan debu.

t4 : tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir,


lempung berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus.

t5 : tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan


pasir.

9.6.5 Permeabilitas (p)

Permeabilitas tanah dikelompokkan sebagai berikut:

P1 = lambat (< 0,5 cm/jam)

P2 = agak lambat (0,5 - 2,0 cm/jam)

P3 = sedang (2,0 - 6,25 cm/jam)

P4 = agak cepat (6,25 - 12,5 cm/jam)

P5 = cepat (> 12,5 cm/jam)

9.6.6 Drainase (d)

Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut:


d0 = berlebihan (excessively drained); air yang berlebihan segera
keluar dari tanah dan tanah hanya akan menahan sedikit air
sehingga tanaman akan segera mengalami kekurangan air.

d1 = baik; tanah memiliki peredaran udara (aerasi) yang baik seluruh


profil tanah dari atas sampai ke bawah > 150 cm) berwarna terang
yang seragam dan tidak terdapat karatan (bercak-bercak kuning,
coklat atau kelabu).

d2 = agak baik; tanah beraerasi baik di daerah perakaran. Tidak


terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu pada
lapisan atas dan bagian lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari
permukaan tanah).

d3 = agak buruk; lapisan atas tanah beraerasi baik; tidak terdapat


bercak-bercak berwarna kuning, kelabu atau coklat. Bercak-bercak
terdapat pada seluruh, lapisan bagian bawah (sekitar 40 cm dari
permukaan tanah/.

d4 = buruk; bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat


warna atau bercak-bercak berwarna, coklat dan kekuningan.

d5 = sangat buruk; seluruh lapisan sampai permukaan tanah


berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau
terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang
menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga
menghambat pertumbuhan tanaman.

9.6.7 Faktor-faktor Khusus

Faktor-faktor penghambat lain yang mungkin ada adalah batu, bahaya


banjir dan salinitas.

1. Batu dan Kerikil

Bahan kasar dapat berada di dalam lapisan tanah atau di atas permukaan
tanah. Bahan kasar yang terdapat di dalam lapisan 20 cm atau di
bagian,atas tanah yang berukuran lebih besar dari 2 mm dibedakan
sebagai berikut:

a. Kerikil, adalah bahan kasar yarrg berdiameter > 2 mm – 7,5 cm (iika


berbentuk bulat) atau sampai 25 cm sumbu panjang (jika berbentuk
pipih). Kerikil di dalam lapisan 20 cm permukaan tanah
dikelompokkan sebagai berikut
b0 = tidak ada atau sedikit (<15% volume tanah)
b1 = sedang (15-50% volume tanah)
b2 = banyak (50 -90% volume tanah)
b3 = sangat banyak (> 90% volume tanah)
b. Batu kecil, adalah bahan kasar atau batu berdiameter 7,5 cm sampai 25
cm (iika berbentuk bulat), atau sumbu panjangnya berukuran 15 - 40
cm (iika berbentuk pipih). Jumlah batu kecil dikelompokkan sebagai
berikut:
b0 = tidak ada atau sedikit (0 – 15% volume tanah).
b1 = sedang (15-50% volumetanah); pengolahantanah mulai agak
sulit dan pertumbuhan tanaman agak terganggu.
b2 = banyak (50 – 90% volume tanah); pengolahan tanah sangat sulit
dan pertumbuhan tanaman terganggu.
b3 = sangat banyak (> 90% volume tanah); pengolahan tanah tidak
mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu.

Batu di atas permukaan tanah-tanah ada dua macam, yaitu batuan lepas
yang terletak di atas permukaan tanah (dalam bahasa Inggris disebut
stone), dan batuan tersingkap yang berada di atas permukaan tanah yang
merupakan bagian batuan besar yang terbenam di dalam tanah.
Pengelompokan batuan diatas permukaan tanah adalah sebagai berikut:

a. Batuan lepas, adalah batu yang tersebar di atas permukaan tanah dan
berdiameter > dari 25cm (berbentuk bulat) atau bersumbu memanjang
lebih dari 40 cm (berbentuk pipih). Penyebaran batuan lepas di atas
permukaan tanah dikelompokkan sebagai berikut
b0 = tidak ada (<0,01 % luas areal).
b1 = sedikit (0,01% - 3% permukaan tanah tertutup); pengolahan
tanah dengan mesin agak terganggu tetapi tidak mengganggu
pertumbuhan tanaman.
b2 = sedang ,(3% -15% permukaan tanah tertutup); pengolahan tanah
mulai agak sulit dan luas daerah produktif berkurang.
b3 = banyak (15% - 90% permukaan tanah tertutup); pengolahan
tanah dan penanaman menjadi sangat sulit.
b4 = sangat banyak ( >90% permukaan tanah tertutup); tanah sama
sekali tidak dapat digunakan untuk produksi pertanian.
b. Batuan tersingkap (rock). penyebaran batuan tersingkap
dikelompokkan sebagai berikut:
bo = tidak ada (< dari 2% permukaan tanah tertutup).
b1 = sedikit (2%- 10% permukaan tanah tertutup); pengolahan tanah
dan penanaman agak terganggu.
b2 = sedang ,(10%-50% permukaan tanah tertutup); pengolahan
tanah dan penanaman terganggu.
b3 = banyak, (50% - 90% permukaan tanah tertutup); pengolahan
tanah dan penanaman sangat terganggu.
b4 = sangat banyak (> 90% permukaan tanah tertutup); tanah sama
sekali tidak dapat diolah.
2. Bahaya Banjir/Genangan

Bahaya banjir atau penggenangan dikelompokkan sebagai berikut:

O0 = tidak pernah (dalam periode satu tahun tanah tidak pernah


kebanjiran selama > 24 jam).

O1 = kadang-kadang (tanah kebanjiran tergadinya tidak teratur dalam


periode < satu bulan).

O2 = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secara teratur


kebanjiran untuk selama > 24 jam.

O3 = selama 2 - 5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda


banjir yang lamanya lebih dari 24 jam.
O4 = selama waktu > 6 bulan tanah selalu dilanda banjir secara teratur
yang lamanya > 24 jam.

3. Salinitas (g)

Salinitas tanah dinyatakan dalam kandungan garam larut atau hambatan


listrik ekstrak tanah berikut:

g0 = bebas (<0,15% garam larut; 0-4 (EC x 103) mmhos/cm pada


suhu 25 0C).

g1 = sedikit terpengaruh (0,15 – 0,35% garam larut; 4 – 8 (EC x 103)


mmhos/cm pada suhu 25 0C ).

g2 = cukup terpengaruh (0,35 - 0,65% garam larut; 8-15 (EC x 103 )


mmhos/cm pada suhu 25 0C).

g3 = sangat terpengaruh (> 0,65% garam larut; > 15 (EC x 103


mmhos/cm pada suhu 25 0C)

Berdasarkan definisi kelas dan subkelas kemampuan lahan serta


pengelompokan sifat-sifat atau kualitas lahan, maka hubungan antara
kelas kemampuan dan kriteria klasifikasi lahan, oleh Arsyad (1989)
disusun menjadi suatu matriks seperti tertera pada Tabel 9.8 yang berlaku
secara umum untuk daerah beriklim basah dan panas.
***

X
KLASIFIKASI KAPABILITAS
KESUBURAN TANAH

P enelitian dan pengelolaan kesuburan tanah, terutama berkaitan


dengan unsur hara tanaman esensial yang meliputi jumlah,
ketersediaan bagi tanaman, reaksi kimia yang terjadi dalam tanah,
mekanisne kehilangan, proses-proses yang menyebabkan
ketidaktersediaan atau kurang tersedianya bagi tanaman dan cara
penambahannya dalam tanah.

Kesuburan tanah dari segi pertanian dinilai dari produksi tanaman


(bobot kering t/ha) dan kualitas tanaman (kandungan karbohidrat,
protein dan vitamin) yang merupakan hasil rata-rata dari beberapa tahun.
Tanah yang subur merupakan tanah yang secara terus-menerus
memberikan hasil yang baik tanpa penambahan, pupuk. Kesuburan tanah
dibedakan atas: (1) Kesuburan tanah potensial, yaitu sifat yang
menunjukkan kemampuan suatu tanah untuk menyediakan unsur hara,
menurut jumlah dan keseimbangan tertentu secara berkesinambungan
menunjang pertumbuhan tanaman pada lingkungan dengan faktor
pertumbuhan lainnya berada dalam keadaan yang optimal. (2) Kesuburan
tanah aktual, yaitu keadaan kesuburan tanah alami tanpa dilakukan upaya
perbaikan tingkat kesuburannya. Dengan demikian, suatu tanah pada
suatu satuan lahan tertentu dapat memiliki kesuburan alami yang tinggi,
namun tanaman yang tumbuh pada tanah tersebut berproduksi rendah
karena faktor produksi yang lain membatasi pertumbuhan tanaman.

Evaluasi kesuburan tanah ditujukan untuk menilai karakteristik


lahan dan menentukan kendala utama kesuburan tanah serta alternatif
pemecahannya dalam upaya meningkatkan produktivitas tanah. penilaian
sifat dan penentuan kendala kesuburan tanah dapat dilakukan dengan
klasifikasi kapabilitas kesuburan tanah atau Fertility Capability
Classificatton, disingkat dengan FCC, yang dikembangkan oleh Sanchez,
Couto dan Buol, (1982).

FCC dikembangkan dalam upaya menjembatani kesenjangan


antara klasifikasi tanah dan kesuburan tanah (Sanchez, Couto dan Buol,
(1982). Sebagaimana diketahui, Taksonomi Tanah USDA (Soil Survey Staff,
1999, 2003) dan the World Reference Base for Soil Resources (Deckers et
al,, 1998) hanya menitikberatkan pada sifat-sifat tanah sebagai tubuh
alami yang lebih menekankan pada sifat-sifat tanah lapisan bawah (yang
relatif lebih tetap) daripada sifat-sifat tanah lapisan atas. Dalam
kenyataannya, kebanyakan praktek pengelolaan tanah sangat ditentukan
oleh lapisan tanah atas, seperti dikemukakan dalam hasil penelitian di
Amerika oleh Sopher dan McCracken (1973) dalam Sanchez, Couto dan
Buol, (1982), yang menyatakan bahwa 70% keragaman hasil tanaman
disebabkan oleh sifat-sifat tanah yang terdapat dalam lapisan olah.
Berdasarkan sifat-sifat kuantitatif lapisan tanah-atas dan
taksonomi tanah, sistem FCC merupakan titik awal yang baik untuk
pendekatan kualitas tanah daerah tropis yang kini banyak digunakan. FCC
tidak berkaitan dengan sifat tanah yang dapat berubah karena pengelolaan
kurang dari 1 tahun, melainkan sifat-sifat yang bersifat dinamis dalam
kurun waktu setahun atau dalam bilangan dekade, seperti sifat inheren
yang tidak berubah dalam kurun waktu satu abad. Sifat-sifat FCC dapat
negatif atau positif tergantung pada penggunaan lahan dan skala waktu
dan ruang yang dimaksud.

Menurut Anonymous (2001), perubahan sifat-sifat tanah


tergantung dari waktu, seperti disajikan dalam Tabel 10.1. Pelapukan
kimia dan fisik sekalipun daiam kondisi ideal memerlukan ratusan atau
bahkan ribuan tahun untuk berkembang menjadi tanah dewasa.

Pedologi kuantitatif didasarkan pada taksonomi tanah (Soil Survey


Staff, 1999, 2003; the World Reference Base for Soil Resources (Deckers et
al.,1998). parameter yang diukur dalam taksonomi tanah telah secara
cermat dipilih yang penting untuk mengklasifikasikan tanah sebagai suatu
tubuh alami. Melalui survei tanah dan sistem informasi geografi, data
pedon di-scale-up ke dalam skala spasial yang lebih luas. salah satu
keterbatasan taksonomi tanah maupun world. Reference Base for soil
Resources adalah hanya mempertimbangkan sifat-sifat permanen tanah,
yang sebagian besar terletak di lapisan tanah bawah. Pencarian informasi
bertujuan untuk mengidentifikasi tanah-tanah yang tidak bermasalah
maupun tanah-tanah yang digarap untuk pertanian dalam taksa yang
sama. Taksonomi ini mengabaikan banyak sifat-sifat yang melekat
(inherent) atau yang bersifat dinamik yang penting untuk produktivitas
tanaman . Sifat-sifat tersebut umumnya berada di dalam lapisan tanah
atas, di tempat kebanyakan akar tumbuhan berada, baik dalam ekosistem
alami maupun dalam agro-ekosistem (Sanchez, palm dan Buol, 2003).

Untuk mengatasi kendala ini, sekitar 30-an tahun yang lalu telah
dikembangkan sistem FCC untuk mengintepretasi taksonomi tanah dan
sifat-sifat tanah tambahan sehingga relevan dengan pertumbuhan
tanaman (Buol et al., 1975; Buol and Couto, 1981; Sanchez et al., 1982).

Versi awal FCC dimulai tahun 1975, yang dikemukakan dalam


beberapa publikasi, antara lain Buol et al., (1975); Buol and Couto (1981),
Sanchez, Couto dan Buol, (1982). Disusul oleh versi kedua yang secara
spesifik mengikutsertakan interpretasi yang khas untuk tanah sawah
(Sanchez dan Buol, 1985; Buol, 1986). Kemudian dalam versi ketiga
ditambahkan kondisi modifier untuk permafrost dan penambahan
beberapa subdivisi dari divisi yang sudah ada. Pada versi keempat
(Sanchez, palm dan Buol, 2003), terdapat beberapa perubahan. Perubahan
yang pertama adalah menggabungkan kondisi modifier yang sebelumnya
disebut h (masam tetapi tidak keracunan Al) dengan ‘tanpa kendala kimia
utama’. Hal ini dilakukan karena pengalaman di lapangan menunjukkan
bahwa terjadi sedikit perubahan antara keduanya. Perubahan yang kedua
adalah penambahan kondisi modifier yang baru, yaitu m, yang
menunjukkan terjadinya penurunan bahan organik tanah yang kritis.
Perubahan selanjutnya adalah mengubah simbol kerikil, dari tanda
apostrof (‘) menjadi r, agar lebih jelas dan untuk mempertahankan
keseragaman, serta menggeser (sedikit merubah kisaran) beberapa nilai
pH tanah.

FCC pada skala nasional dan provinsi telah digunakan secara luas
di beberapa negara seperti Brasil, Venezuela, Taiwan, Amerika serikat,
Tailand, Peru, Kamboja, Indonesia dan lain-lain. Di Indonesia, FCC antara
lain digunakan dalam penyusunan basis-data dan informasi potensi
sumber daya tanah pada skala semi-detail (1 : 50.000) dalam proyek LREP
II-part C untuk beberapa daerah di Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara
(Tim Kelti Kesuburan Tanah, 1995). Dalam survei tersebut klasifikasi
tanah dilakukan hingga kategori seri.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah FCC masih


relevan dengan kualitas tanah? salah satu aspek penting dari kualitas
tanah adalah berkaitan dengan sifat tanah yang melintasi skala waktu dan
ruang. Sekalipun mudah berubah (dinamis), sifat-sifat kuantitatif yang
sangat sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan merupakan sifat
yang dikehendaki sebagai indikator kualitas lahan (Doran and Parkin,
1996). Sifat-sifat tanah inherent, walaupun statis, dikenal sebagai
komponen penting dari kualitas tanah (Karlen et al., 1997). Semula FCC
dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan sifat-sifat inherent tanah
yang merupakan hasil dari genesis tanah dan tidak mudah berubah
dengan waktu (Sanchez et al., 1982). FCC mempertimbangkan parameter
lapisan tanah atas sebagaimana sifat lapisan tanah bawah yang spesifik.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa sistem FCC tidak menyertakan uji
tanah rutin yang digunakan untuk rekomendasi pemupukan N dan P.
Alasan lainnya adalah, uji tanah semacam itu tidak terlalu bermanfaat
dalam sistem pertanian dimana penggunaan pupuk bukanlah merupakan
sumber masukan hara yang utama. Pertanyaannya sekarang adalah skala
waktu apa yang digunakan sebagai acuan (hari, bulan, tahun, dekade atau
abad)? Sistem FCC dapat menunjukkan suatu pendekatan yang bermanfaat
untuk menangani kualitas tanah tropis yang berbasis kuantitatif. FCC tidak
setara dengan kualitas tanah yang dalam banyak hal merupakan konsep
yang sulit untuk diterapkan dalam praktik dengan dukungan ilmiah yang
memadai (Sanchez, Palm dan Buol,2003).

Sistem klasifikasi kapabilitas kesuburan tanah (FCC) terdiri atas


tiga kategori, yaitu tipe (tekstur tanah atas), sub tipe atau tipe substrata
(tekstur tanah-bawah) dan modifier (Buol et al, 1975; Sanchez, Palm dan
Buol, 2003). Kombinasi ketiga kategori tersebut menghasilkan unit-unit
klasifikasi kemampuan kesuburan tanah yang dapat diinterpretasikan
dengan penaksiran sifat tanah dan penentuan alternatif teknofogi
pengelolaan yang diperlukan untuk mengatasi kendala utama kesuburan
tanah.
10.1 Kriteria Kelas dalam Masing-masing Kategori
Uraian masing-masing kategori disajikan dalam Tabel 10.2, mengacu pada
FCC versi IV yang dikemukakan dalam Sanchez,Palm dan Buol (2003).
Keterangan:
semua nilai pH diukur dengan nisbah tanah dan air 1 : 1, kecuali
dinyatakan lain. Parameter yang digunakan mengacu pada parameter
dalam taksonomi tanah USDA, kecuali dinyatakan lain.

Kejenuhan Al atau kejenuhan asam dihitung dengan rumus

[(1 M KCl Al3+/ Ca2+ + Mg2+ + K+ + Na+-tukar)100].

Kapasitas Tukar Kation Efektif (KTKE) = jumlah basa-basa + 1 M KCl Al3+


yang dinyatakan dalam cmol kg-1.

BS7 dan BS8,2 = persen kejenuhan basa dalam larutan penyangga masing-
masing pada pH 7 dan 8,2.

10.2 Cara Pemberian Simbol dalam Unit Klasifikasi


Kemampuan Kesuburan Tanah
Unit merupakan kelas kemampuan kesuburan tanah yang ditulis dengan
kombinasi simbol dari tipe, subtipe dan modifier secara beruntutan.
simbol subtipe hanya ditulis bila dalam lapisan bawah (20 - 50 cm)
bertekstur berbeda dengan tekstur pada tipe dalam lapisan olah (0 -
20cm) atau terdapat lapisan yang tidak tembus akar (R).

Simbol tipe dan subtipe ditulis dengan huruf kapital, sedangkan


untuk modifier ditulis dengan huruf kecil. Jumlah simbol kelas modifier
yang ditulis dalam unit tergantung dari jumlah sifat tanah yang menjadi
faktor pembatas.

Simbol kelas modifier (‘dan’) yang menyatakan keadaan butir


tanah berukuran > 2 mm yang terdapat dalam lapisan olah maupun
lapisan bawah. Bila dikehendaki dapat ditulis langsung di belakang kode
kelas tipe maupun subtipe. Demikian juga angka kisaran lereng bila
diperlukan dapat ditulis dalam tanda kurung ( ) yang diletakkan paling
belakang dari kode kelas modifier.

Contoh penulisan kode unit klasifikasi kemampuan kesuburan


tanah adalah sebagai berikut: LCdvb, Lgh, CLdv, SCgd dan L'C"geak(1 –
3%).
10.3 lnterpretasi Kelas-kelas dalam Kategori
10.3.1 lnterpretasi Tipe dan Subtipe (Sanchez et al., 1982)

S = Laju infiltrasi tinggi dan kemampuan menahan air (water


holding capacity) rendah.
L = Laju infiltrasi sedang dan kemampuan menahan air sedang.
Q = Laju infiltrasi rendah, kemampuan menahan air tinggi, jika
lahan miring potensial aliran permukaan tinggi. Tanah sukar
diolah kecuali mempunyai modifier.
(Ci) = Tanah mudah diolah, laju infiltrasi tinggi dan kemampuan
menahan air rendah.
O = Diperlukan drainase buatan dan berpotensi untuk terjadinya
subsiden (amblesan), kemungkinan dijumpai kahat unsur mikro
dan biasanya diperlukan herbisida berdosis tinggi.
SC, LC, LR, SR = Kemungkinan terjadi degradasi tanah cukup besar
akibat erosi terutama bila lahan miring.

10.3.2 lnterpretasi Modifier

Interpretasi modifier untuk tanah-tanah yang tergolong mempunyai rezim


lengas akuik seperti banyak dijumpai pada tanah-tanah yang disawahkan
perlu dibedakan dengan tanah-tanah yang tergolong tidak mempunyai
rezim lengas akuik. Jika dalam unit klasifikasi kemampuan kesuburan
tanah hanya dijumpai satu simbol modifier saja, maka faktor pembatas
atau cara pengelolaan yang diperlukan terhadap tanah tersebut dalam
interpretasi berikut dapat dipakai. Interpretasi boleh berbeda bila dalam
unit terdapat simbol modifier lebih dari 1 atau tekstur dalam tipe dan
subtipe berbeda.

1. Contoh Interterpretasi Modifier untuk Tanah-tanah yang


Tidak Mempunyai Rezim Lengas Akuik (Sanchez et al.,
1982)
g = Denitrifikasi sering terjadi dalam lapisan tanah bawah yang
anaerob;,sering sulit melakukan pengolahan tanah dan penanaman
akibat keadaan air yang berlebihan sehingga dibutuhkan
perbaikan drainase; kondisi lengas tanah baik untuk budidaya
padi.
d= Lengas tanah merupakan pembatas dalam musim kering kecuali
jika tanah diairi; hujan di awal musim sering tidak menentu
sehingga mengganggu perkecambahan; perlu pemilihan waktu
tanam dan waktu pemberian pupuk N yang tepat .
e= Kemampuan menyerap unsur hara rendah; terutama terhadap K,
Ca dan Mg sehingga diperlukan pemupukan unsur hara tersebut
dan pemupukan N dengan cara pemberian yang bertahap; perlu
dihindari pengapuran yang berlebihan.
a= Kemungkinan besar menimbulkan keracunan Al pada tanaman
yang peka. Namun hal tersebut dapat dihindari dengan melakukan
pengapuran. Kemungkinan terjadi keracunan Mn ada.
h= Kemasaman tanah rendah hingga sedang sehingga diperlukan
pengapuran untuk tanaman yang peka terhadap keracunan Al.
i= Kemampuan mengikat P tinggi sehingga diperlukan dosis pupuk P
tinggi atau cara pengelolaan pupuk P yang khusus dengan
penggunaan jenis sumber pupuk P dengan cara pemberian yang
tepat.
x= Kemampuan mengikat p tinggi sehingga perlu diperhatikan dalam
penggunaan dosis dan jenis sumber pupuk P yang tepat.
v= Tekstur tanah lapisan olah berliat dan bila kering banyak terjadi
retakan. Tanah sukar diolah bila kondisi tanah kering atau terlalu
basah. Potensi produktivitas tanah tinggi; umumnya kahat hara P.
k= Kemampuan menyediakan hara K rendah; ketersediaan hara K
sebaiknya sering dipantau dan mungkin dibutuhkan pemupukan K;
kemungkinan ketersediaan K-Ca-Mg tidak seimbang.
b= Tanah berkapur; penggunaan pupuk fosfat alam dan fosfat lain
yang tidak larut dalam air perlu dihindari; kemungkinan besar
terjadi kekahatan unsur mikro terutama Fe dan Zn.
s= Garam larut tinggi sehingga dibutuhkan drainase dan pengelolaan
khusus untuk tanaman yang peka terhadap kadar garam tinggi
atau penggunaan jenis dan varietas tanaman yang toleran.
n = Kadar Na tinggi; dibutuhkan teknik pengelolaan khusus untuk
tanah alkalin seperti penggunaan gipsum sebagai bahan pembenah
tanah dan perlu perbaikan drainase.
c = Tanah sulfat masam potensial; perlu teknik drainase yang khusus
dan penggunaan tanaman yang toleran.
2. Contoh Interpretasi Modifier untuk Budidaya Padi pada
Tanah-tanah yang Mempunyai Rezim Lengas Akuik (Sanchez
and Buol, 1985)
g = Tanah lahan basah, lengas tanah baik untuk bercocok-tanam padi.
g* = Pengenangan dalam waktu lama menyebabkan kahat Zn.
d = Lengas tanah merupakan pembatas dalam musimkering, kecuali
jika tanah diairi. Umumnya sawah tadah hujan hanya dapat
ditanami padi satu kali dalam setahun. Penanaman padi selama
musim kering yang diberi irigasi akan memberikan hasil yang lebih
tinggi dan respons terhadap pemupukan N dosis tinggi juga tinggi.
e = Kapasitas tukar kation efektif rendah; kurang mampu melepaskan
N secara lambat sehingga perlu pengelolaan hara N yang tepat.
Menunjukkan tanah-tanah sawah yang terdegradasi seperti yang
tergolong dalam Sla atau LCa dan kadar bahan organik rendah.
Dengan demikian potensial terjadi keracunan H2S bila pupuk
(NH4)2S04 digunakan sebagai sumber N. Potensial keracunan Fe
jika dekat dengan lahan kering yang tanahnya kaya Fe.
a = Kemungkinan akan terjadi keracunan Al bila tanah dalam kondisi
aerob. Perlu dilakukan uji tanah untuk mengetahui kekahatan hara
P.
h = pH pada kondisi aerob sangat optimal untuk bercocok-tanam padi
sawah.
i = Fiksasi fosfat (P) oleh Fe tinggi, umumnya kahat hara P. Tanah
berpotensi mengalami keracunan Fe; tanah sukar menjadi lumpur
karena tanah akan secara cepat kembali ke struktur aslinya.
x = Banyak mengandung bahan volkan yang menunjukkan kesuburan
tinggi dengan tidak kahat Si; umumnya kahat N dan P dan tanah
sukar dilumpurkan.
v = Dalam keadaan kering tanah mengalami retakan sehingga
menyebabkan kehilangan air: perkolasi berlebihan. Tanah mudah
dilumpurkan tetapi strukturnya sukar diperbaiki. Tanah dapat
mengikat NH4 yang ditambahkan dan kemudian akan dilepaskan
untuk tanaman padi berikutnya.
k= Kesuburan tanah rendah karena cadangan mineral mudah lapuk
rendah. Tanah ini memerlukan pengelolaan yang lebih tinggi
daripada tanah lainnya yang tanpa faktor pembatas k ini. Potensial
kekurangan hara K tergantung pada kandungan basa-basa dari air
irigasi.
b= pH tinggi merangsang terjadinya kahat Fe bila dalam kondisi aerob
dan kahat Zn bila kondisi anaerob atau tergenang. Potensial
kehilangan N tinggi melalui penguapan bila pemberian pupuk N
disebar. Kemungkinan terjadi fiksasi NH4 oleh liat tipe 2:1. Adanya
keping-keping Mollusca dapat digunakan sebagai petunjuk kahat
Zn.
s= Tanah salin. Drainase diperlukan tetapi harus mempertimbangkan
kecepatan aliran air irigasinya.
n= Tanah alkalin. Mungkin diperlukan tindakan reklamasi melalui
drainase dan pemberian gipsum.
c= Tanah sulfat masam; berpotensi mengalami keracunan Fe dan S
bila dalam kondisi anaerob dan keracunan Al bila kondisi aerob.
Kedalaman faktor pembatas c dari permukaan tanah menentukan
kesesuaian tanah untuk bercocok-tanam padi. Kekahatan P dan
keracunan AI akan nampak bila kondisi aerob.
3. Modifier

Modifier adalah sifat tanah yang menjadi faktor pembatas atau kendala
kesuburan tanah. Terdapat beberapa penciri yang digunakan dalam
modifier (Tabel 10.1). Penciri yang disebutkan pertama adalah yang
sebaiknya digunakan bila data tersedia, tetapi apabila data tidak tersedia
dapat juga digunakan penciri yang disajikan selanjutnya. Masing-masing
kondisi modifier ditulis dengan huruf kecil. Tanda + dan - (+ dan - yang
ditulis diatas atau sebagai tanda pangkat) menunjukkan, ungkapan lebih
besar atau lebih kecil dari modifier tersebut.

Tipe/tipe substrata dan kondisi modifier merupakan sifat tanah


dalam kaitannya dengan kapabilitas untuk pertumbuhan tanaman. setiap
unit dapat mencerminkan kapabilitas kesuburan tanah suatu lahan,
sehingga dapat diprediki tindakan lebih lanjut yang dapat dilakukan.

Cara interpretasi unit kapabilitas kesuburan tanah mengacu pada


kunci interpretasi menurut Sanches (1982) dalam Hardjowigeno dan
Widiatmaka (2001) yang mencotohkan bahwa unit SSdb (2 %) diartikan
dengan laju infiltrasi tinggi dan kemampuan menahan air (water holding
capacity) rendah. Lengas tanah merupakan pembatas dalam musim kering
kecuali tanah diairi; hujan di awal musim sering tidak menentu dan
mengganggu perkecambahan; perlu pemilihan waktu tanam dan waktu
pemberian pupuk N yang tepat. Tanah berkapur, sehingga penggunaan
pupuk fosfat alam dan fosfat lain yang tidak larut dalam air perlu
dihindari; kemungkinan besar terjadi kekahatan unsur mikro terutama Fe
dan Zn.

10.4 Contoh Aplikasi FCC


Di bawah ini disajikan contoh aplikasi klasifikasi kapabilitas kesuburan
tanah menggunakan kriteria versi Sanchez and Buol (1985). Dalam Tabel
10.2 disajikan unit kapabilitas kesuburan tanah setiap SPL. Cara penilaian
(penentuan) unit untuk setiap SPL disajikan dalam Tabel 10.3, sedangkan
peta sebaran unit kapabilitas kesuburan tanah disajikan dalam Gambar
10.1.
***

XI
PENDEKATAN PARAMETRIK UNTUK
EVALUASI LAHAN

11.1 Pendahuluan
Istilah pendekatan atau sistem parametrik untuk evaluasi lahan pertama
kali diusulkan oleh Require et al. (1970 dalam Sys et al., 1991). Sistem ini
merupakan sistem klasifikasi pembagian lahan atas dasar pengaruh atau
nilai ciri lahan tertentu dan kemudian mengkombinasikan pengaruh-
pengaruh tersebut untuk menyimpulkan tingkat kesesuaiannya.
Menurut Young (1976), telah dilakukan berbagai upaya untuk
menemukan sistem yang dapat memberikan indeks produktivitas atau
pengharkatan (rating) menggunakan metode parametrik. Dalam metode
tersebut, pengaruh dari lahan individu atau karakteristik tanah dinilai
secara individu, kemudian dikombinasikan secara matematika. Beberapa
di antaranya adalah Indeks Storie (Storie Index Rating) yang
dikembangkan diCalifornia pada tahun 1950 dan 1954; metode
pengharkatan produktivitas tanah yang diusulkan oleh Riquier et al. pada
tahun 1970; serta Sys dan Frankart pada tahun 1971. Borden dan
Warkentin mengembangkan Sys dan Frankart untuk daerah tropis dan
pengharkatan irigasi tanah di daerah Antiqua, India Barat pada tahun
1974.

Struktur umum dari sistem parametrik tersebut pada dasarnya


sama. Pengaruh gabungan dari faktor-faktor individu lebih bersifat
perkalian daripada bersifat penambahan, terutama untuk tanah-tanah
dengan beberapa kualitas yang sangat baik. Sebagai contoh, tanah yang
bersolum dalam dan berdrainasi baik dengan kandungan hara yang tinggi
dapat menjadi tidak produktif karena terdapat satu faktor yang bersifat
merugikan, misalnya keberadaan garam-garam yang dapat larut yang
besifat racun bagi tanaman.

Praktik yang umum dilakukan daram sistem parametrik adalah


mengestimasi penilaian (pengharkatan) dalam persen (%) untuk masing-
masing karakteristik pada suatu skala yang berkisar dari 0 hingga 100.
Angka 100% menunjukkan kondisi optimal, misalnya kedalaman efektif
profil tanah >150 cm. Angka 0 % menujukkan kondisi yang tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman sehingga menyebabkan
tanah menjadi hampir tidak produktif sama sekali, misalnya kedalaman
efektif tanah < 20 cm.

Angka-angka pengharkatan karakteristik tanah individu tersebut


kemudian dikalikan. Jika hasilnya adalah 100%, berarti indeks
produktivitas tanah tersebut 100% . Demikian pula jika jumlahnya 0%,
maka indeks produktivitasnya pun nol. Nilai ini berhubungan dengan
penggunaan faktor pembatas dalam klasifikasi FAO atau USDA. Sekalipun
demikian, pelaksanaan metode parametrik berbeda dengan penggunaan
faktor pembatas, yaitu pengaruh kombinasi beberapa faktor yang agak
merugikan dapat menghasilkan indeks yang lebih rendah dari sembarang
pengharkatan individu tunggal.

Berikut adalah contoh indeks produktivitas dari Riquire et al


(1970) yang menggunakan rumus dasar:

Indeks produktivitas = H x D x P x T x N atau S x O x A x M

Keterangan:

H = lengas;

D = drainase;

P = kedalaman efektif tanah;

T = tekstur/struktur tanah

N = kejenuhan basa; atau

S = konsentrasi garam-garam larut,

O = kandungan bahan organik;

A = KTK/ sifat lain;

M = cadangan mineral.

Proses konversi karakteristik tanah menjadi nilai produktivitas


terdiri dari dua tahap. Tahap pertama masing-masing karakteristik
diklasifikasikan pada skala ordinal dengan suatu bilangan yang beragam
dari kelas-keras. Misalnya kedalaman efektif dikelompokkan sebagai p1 =
kedalaman efektif tanah sangat dangkal, P2 = tanah dengan kedalaman <
30 cm, P3 = 30-60 cm, P4 = 60 - 90 cm, P5 = 90 - 120 cm, dan P6 = >120cm.
Masing-masing kelas ini dinyatakan dalam persen, dimana kelas tersebut
berbeda-beda tergantung pada jenis penggunaan lahan yang akan dinilai.
Misalnya untuk pertumbuhan tanaman perkebunan, P1 adalah 5 %, P2 =
20%, P3 = 50 %, P4 = 80 %, P5 dan P6 = 100% sedangkan untuk padang
rumput, P1 = 20 %, dan P2 = 60%. Kesulitan yang timbul karena adanya
interaksi tertentu antara faktor-faktor dapat dilayani dengan bantuan
beberapa tabel tambahan. Metode ini diperuntukkan untuk memperoleh
indeks produktivitas tanah pada kondisi saat ini (saat evaluasi dilakukan)
dan indeks potensial yang menunjukkan produktivitas potensial jika
dilakukan perbaikan (misalnya irigasi, drainase, pengolahan tanah dalam).

Kerugian metode ini adalah terlalu kaku dan penerapannya sangat


terbatas. Hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang baik antara
indeks produktivitas dengan produksi dari tanaman tertentu di daerah
tempat indeks tersebut dikembangkan (sangat bersifat lokal). Jika sistem
ini diterapkan di tempat lain yang iklimnya berbeda, maka diperlukan
perubahan nilai pengharkatan iklim agar sesuai dengan pengalaman
petani di tempat tersebut.

Menurut Young (1976), indeks ini lebih sesuai untuk menduga


produktivitas tanah dari pada produktivitas lahan dan hanya berlaku pada
lingkungan yang terbatas. Indeks ini lebih bemanfaat untuk riset dan
untuk tujuan fiskal (yang berhubungan dengan keuangan, misalnya untuk
penetapan pajak bumi), tetapi tidak cocok digunakan untuk tujuan
perencanaan pengembangan wilayah.

11.2 Beberapa Pendekatan Parametrik


Pendekatan parametrik (parametric approach) menentukan kelas lahan
atas dasar sejumlah sifat lahan tertentu, dimana pemilihan sifat tersebut
ditentukan oleh macam peruntukan atau penggunaan lahan yang sedang
dievaluasi. Pendekatan ini biasanya digunakan apabila individu dari sifat
lahan dianggap lebih penting daripada sifat lahan secara keseluruhan.
Penggunaannya sangat luas dan dapat berkisar dari survei untuk
keperluan yang sifatnya umum dengan mempertimbangkan bermacam
sifat sampai ke klasifikasi dengan dasar yang lebih sempit untuk
penggunaan-penggunaan yang bersifat khusus. pendekatan parametrik ini
berdasarkan atas nilai numerik, sehingga penilaian yang bersifat subyektif
dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan metode evaluasi ini banyak
menarik perhatian dalam pengembangannya.

Pendekatan parametrik terdiri atas beberapa tahapan berikut:

1. Mengevaluasi sifat-sifat tanah yang berbeda secara terpisah dan


memberikan nilai numeriknya secara terpisah pula menurut
kepentingannya di dalam atau di antara sifat-sifat tersebut.
2. Mengkombinasikan nilai-nilai numerik dari faktor-faktor tersebut
menurut hukum matematik dengan mempertimbangkan hubungan
dan interaksi antara faktor-faktor dalam menghasilkan indeks
penampilan akhir (final index of performance).
3. Gunakan hasil kombinasi tesebut untuk menggolongkan tanah
menurut tingkat kesesuaiannya untuk pertanian.

Interpretasi yang lebih spesifik dari pendekatan parametrik telah


diuraikan oleh Riquier (dalam FAO, 1974). Proses ini meliputi pemilihan
ciri tanah yang dievaluasi dan diberi nilai; kemudian nilai rata-rata dari
ciri-ciri ini disubstitusikan ke dalam rumus matematik untuk
menghasilkan indeks penampilan akhir. Nilai-nilai hasil perhitungan
rumus tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan penilaian,
seperti menetapkan urutan tanah dalam hubungan dengan nilai
pertaniannya.

Metode parametrik yang digunakan secara luas adalah Indeks


Storie (Storie, 1950; 1954). Metode ini diperoleh dengan jalan mengalikan
nilai dari sejumlah faktor-faktor tertentu seperti seri tanah, lereng dan
faktor-faktor lainnya. Metode parametrik awalnya dikembangkan untuk
membantu pemerintah dalam menilai lahan untuk keperluan perpajakan
di California.

Satuan lahan yang dibatasi dengan sejumlah kriteria nampaknya


mempunyai batas yang tidak pasti. Untuk mengatasi ketidakpastian ini,
terdapat dua prosedur. Pertama, dengan melakukan tumpang tindih peta-
peta dari berbagai sifat yang berbeda, batas komposit dapat dipilih sebagai
kompromi di antara batas-batas masing-masing sifat tersebut. Kedua, sifat
dapat diurutkan menurut urutan kepentingannya. Sifat yang paling
penting digunakan untuk menentukan batas-batas satuan lahan dan sifat
selanjutnya digunakan untuk membatasi satuan yang lebih kecil (sub-
divisions) di dalam satuan lahan.

Pendekatan parametrik berbagai keuntungan, yaitu kriteria yang


dapat dikuantifikasikan dapat dipilih, sehingga memungkinkan data yang
obyektif: keandalan, kemampuan untuk dikembangkan lebih lanjut
(reproducibility) dan ketepatannya tinggi. Kelemahan dalam pendekatan
parametrik ialah dalam hal pemilihan sifat, penarikan batas-batas kelas,
waktu yang diperlukan untuk mengkuantifikasikan sifat, serta kenyataan
bahwa masing-masing klasifikasi hanya diperuntukan bagi penggunaan
lahan tertentu.

Sistem klasifikasi lahan dengan pendekatan parametrik di dalam


menyusun sistem-sistem klasifikasi kemampuannya biasanya berbeda-
beda dalam memilih dan menggunakan faktor-faktor yang diikutsertakan
dalam pertimbangan serta manipulasi matematik yang digunakan.
Sedikitnya, terdapat tiga jenis manipulasi matematik yang sering
digunakan dalam mengkombinasikan faktor-faktor tersebut (FAO, l971),
yaitu:

Penjumlahan (additive) dan atau pengurangan (substractive) ;


misalnya = A + B – C
Perkalian (Multiplicative) ;misalnya P= A x B x C
Persamaan parametrik kompleks; misalnya : P = A √ (B x C x D)

P adalah indeks atau nilai parametrik yang berhubungan dengan


produksi (kg/ha), dan A, B, C, dan D adalah ciri tanah dan lokasi seperti
kedalaman tanah, tekstur, dan sebagainya. Tahapan penerapan
pendekatan parametrik dapat dikemukakan sebagai berikut:

Menentukan satuan yang akan dievaluasi, misalnya satuan peta.


Mengumpulkan data yang diperlukan dari profil tanah dan atau data
laboratorium sesuai dengan faktor yang akan dievaluasi.
Data yang dikumpulkan kemungkinan terdapat keragaman yang cukup
besar dalam ciri tanah dan lokasi di daerah yang akan dinilai, sehingga
harus dipilih apakah akan menggunakan nilai rata-rata atau nilai-nilai
yang dapat mewakili secara keseruruhan dari daerah tersebut.
Data mentah tersebut dikonversikan ke dalam skala kode (coding
scale).
Melakukan perhitungan-perhitungan matematik.
Memberlakukan indeks yang diperoleh ke seluruh daerah yang
dievaluasi.

Kombinasi yang ideal dari ciri tanah dan lokasi diharapkan akan
mencapai nilai maksimum pada lahan-lahan subur dan berangsur-angsur
menurun untuk lahan-lahan yang lebih miskin.

11.3 lndeks Storie


Menurut Buol et al. (2003), Indeks Storie menyatakan secara numerik
tingkat relatif dari kesesuaian tanah untuk penggunaan pertanian intensif
secara umum pada saat evaluasi dilakukan. Pengharkatan atau penilaian
dilakukan terhadap karakteristik tanah dan diperoleh dengan jalan
mengevaluasi sifat-sifat fisik permukaan tanah dan lapisan bawah serta
kenampakan permukaan lansekap. Dalam pengharkatannya tidak
dipertimbangkan ketersediaan air untuk irigasi, iklim setempat, ukuran
maupun aksesibilitas daerah yang dipetakan, jarak dari pasar dan faktor-
faktor lain yang dapat menentukan sifat yang diinginkan untuk
menumbuhkan tanaman tertentu dalam lokasi terbentu. Oleh karena itu,
indeks tersebut tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya indikator dari
nilai lahan. Namun demikian, di tempat dimana faktor ekonomi dan
geografi dikenal baik oleh pengguna, Indeks Storie dapat memberikan
informasi tambahan yang obyektif bagi perbandingan nilai jejak lahan
(land track value comparison).

Terdapat empat faktor yang umum digunakan untuk menentukan


pengharkatan indeks, yaitu A = permeabilitas, kapasitas air tersedia dan
kedalaman tanah; B = tekstur tanah atas; C = lereng dominan dari tubuh
tanah, dan X = kondisi-kondisi lain yang seringkali menjadi subjek
pengelolaan atau modifikasi oleh pengguna lahan. Kondisi-kondisi
tersebut meliputi drainase, genangan/banjir, salinitas, alkalinitas,
kesuburan, kemasaman, erosi, dan relief-mikro. Persamaan Storie Index
Rating (SIR) (Storie, 1944 dalam Sitorus, 1985), adalah sebagai berikut:

SIR= A x B x C x X

Keterangan:

A = sifat-sifat dari profiI tanah;

B = tekstur permukaan tanah;

C = lereng dan

X = faktor-faktor lain (seperti drainase, alkalinitas, kemasaman, erosi


dan lain-lain).

Untuk beberapa tanah, lebih dari satu dari kondisi X tersebut yang
digunakan untuk menentukan pengharkatan. Pengharkatan 100 %
menunjukan kondisi yang sangat sesuai (menguntungkan) untuk
produyksi tanaman secara umum. Nilai persen yang lebih rendah
menunjukan kondisi yang kurang menguntungkan. Nilai faktor dalam
persen dipilih dari tabel yang disiapkan dari data dan pengamatan yang
menghubungkan sifat tanah dengan pertumbuhan dan hasil tanaman. Dari
Tabel 11.1 disajikan faktor-faktor yang dipertimbangkan beserta nilainya
menurut Storie (1944,dalam Sitorus, 1985).
Masing-masing faktor dinyatakan sebagai persen tetapi dalam
perkalian dinyatakan dalam bentuk desimal. Indeks akhir dinyatakan
dalam persen.

Sebagai contoh adalah perhitungan SIR untuk Satuan Peta Tanah


Altamont di California sebagai berikut:

Faktor A : Tanah upland coklat Seri Altamont, bahan induk napal (shale),
batuan induk pada kedalaman 90 cm, profit grup VIII sehingga mempunyai
nilai 70 %.

Faktor B : Tekstur lempung berliat sehingga mempunyai nilai 85 %.

Faktor C : Topografi bergelombang sehingga mempunyai nilai 90 %.

Faktor X : Erosi permukaan sedang dengan parit dangkal sehingga


mempunyai nilai 70 %.

Dengan demikian maka

Index Rating = 0.70 x 0.85 x 0.90 x 0.70 = 0.37 dilaporkan sebagai 37 %.

Produk akhir dari faktor perkalian diubah menjadi persen antara 0


- 100%. Dalam contoh di atas, nilai Indeks Rating adalah 37%. Satuan-
satuan peta dinyatakan dalam kelas (grade) menurut kesesuaiannya untuk
pertanian secara umum, seperti yang diperlihatkan oleh nilai Indeks
Storie.

11.4 lnterpretasi Nilai Parametrik


Storie (1978 dalam Sitorus, 1985) membedakan enam kelas tanah di
California dengan jalan mengkombinasikan tanah dengan kisaran Storie
Index Rating (SIR) sebagai berikut:

1. Kelas 1 (baik sekali) : tanah-tanah yang mempunyai nilai 80-100 %


cocok untuk penggunaan yang luas, seperti alfalfa, buah-buahan, dan
field crops.
2. Kelas 2 (baik) : tanah-tanah yang mempunyai nilai antara 60- 79 %
cocok untuk sebagian besar tanaman. Hasil umumnya baik hingga baik
sekali.
3. Kelas 3 (sedang) : tanah-tanah yang mempunyai nilai antara 40 - 59 %
umumnya mempunyai kualitas sedang dengan kisaran penggunaan
atau kesesuaian lebih sempit daripada kelas 1 dan 2. Tanah dalam
kelas ini mungkin dapat memberikan hasil yang baik untuk tanaman
tertentu.
4. Kelas 4 (miskin) : tanah-tanah yang mempunyai nilai antara 20 - 39 %
mempunyai kisaran/kemungkinan penggunaan pertanian yang
terbatas. Sebagai contoh, tanah yang termasuk kelas ini mungkin baik
untuk padi tetapi kurang baik untuk penggunaan lainnya.
5. Kelas 5 (sangat miskin): tanah yang mempunyai nilai antara 10 - 19
%.mempunyai kemungkinan penggunaan yang sangat terbatas, kecuali
untuk padang rumput, karena kondisi-kondisi yang membatasi, seperti
kedangkalan tanah.
6. Kelas 6 (bukan untuk pertanian): tanah yang mempunyai nilai kurang
dari 10 %. sebagai contoh, tanah pasang surut; tanah dengan kadar
basa-basa tinggi; dan tanah dengan lereng yang curam.

FAO dalam mengevaluasi proyek-proyek pembangunan (Bramao dan


Riquier, 1967; Riquier, Bramao dan Cornet, 1970) telah mengusulkan
penggunaan Indeks koduktivitas Tanah (Index of Soil Productivity) dengan
persamaan sebagai berikut:
Indeks produktivitas tanah = P x T x (N atau S) x O x A x M x D x H

Keterangan :

P = kedalaman tanah efektif ;

T = tekstur dan struktur horison

A;N = status basa-basa;

S = kandungan garam-garam terlarut;

O = bahan organik horison

A, ; A = kapasitas pertukaran mineral dan keadaan liat di horison

B;M = cadangan mineral yang dapat diubah di horison

B; D = drainase; H = kadarairtanah.

Pengujian yang sebenarnya dari setiap sistem evaluasi lahan


secara tidak langsung adalah sampai seberapa jauh sistem tersebut dapat
memprediksi pertumbuhan atau hasil tanaman yang sebenarnya.
Beberapa penelitian yang terbatas untuk menghubungkan indeks
parametrik dengan hasil tanaman cenderung menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Sys dan Frankart (1971) menunjukkan korelasi yang
erat antara indeks parametrik kemampuan tanahnya dengan hasil coklat
(r = 0.98) dan kapas (r = 0.93) di lembah Congo. Frankart, Sys dun Verheye
(1972) juga menunjukkan hal yang sama untuk tanaman padi di Thailand
(r = 0.98). Bramao dun Riquier (1967) memperoleh korelasi (r = 0.83)
antara hasil tanaman kacang tanah dengan indeks perkalian (a
multiplicatiue index), sementara Riquier et al (1970) menyajikan beberapa
contoh hasil tanaman yang berkorelasi baik dengan indeks yang lebih
kompleks. Analisis perubah ganda (Multiuariate analysis) dapat digunakan
untuk mengoptimumkan sistem parametrik.

***
XII
EVALUASI LAHAN SISTEM KOMPUTER

Dalam upaya mempercepat matching antara kualitas lahan suatu satuan


peta dengan persyaratan penggunaan lahan serta meningkatkan ketelitian,
beberapa pakar mencoba menggunakan komputer agar proses tersebut
dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Beberapa program komputer
dalam evaluasi lahan adalah LECS (Land Evaluation Computer System)
yang dirancang oleh Dent dan Wood (1978) ketika menjadi konsultan FAO
di Lembaga Penelitian Tanah (kini Puslitbangtan). Selain LECS, program
yang saat ini banyak digunakan adalah ALES. Bab ini hanya membahas
mengenai program ALES.

12.1 Program ALES


The Automated Land Evaluation System, yang disingkat dengan ALES, di
Indonesia lebih dikenal sebagai Sistem Otomatisasi Evaluasi Lahan (SOEL).
Program ini merupakan program komputer yang memungkinkan
pengevaluasi lahan membangun sistem pakar untuk mengevaluasi lahan
menurut metode Kerangka Kerja Evaluasi Lahan (FAO, 1976). Semula
program ini hanya diperuntukkan bagr proyek evaluasi lahan berskala
regional atau proyek (skala detail). Entitas yang dievaluasi oleh ALES
adalah satuan peta yang dapat didefinisikan secara luas (seperti dalam
skala tinjau/rekonaisan) atau lebih sempit (seperti dalam survei
sumberdaya detail dan perencanaan pada skala petani).

Mengingat bahwa setiap model dibangun oleh pengevaluasi yang


berbeda untuk memenuhi kebutuhan daerah setempat yang berbeda-beda
pula, maka dalam program ini tidak disediakan suatu daftar persyaratan
penggunaan lahan yang tetap (baku) untuk mengevaluasi penggunaan
lahan. Selain itu, program ini juga tidak disediakan daftar seperangkat
karakeristik lahan yang harus digunakan secara tetap untuk
menyimpulkan atau menentukan kualitas lahan karena alasan di atas..
Dalam ALES, daftar-daftar tersebut ditentukan pelaku evaluasi untuk
disesuaikan dengan kondisi setempat serta tujuan evaluasi.

Yang harus disadari, pelaku evaluasi lahan biasanya membangun


sistem pakarnya sendiri menggunakan program ALES dengan
mempertimbangkan kondisi setempat serta tujuan evaluasi lahan yang
dilakukan. ALES bukanlah suatu sistem pakar dan tidak memasukkan
secara otomatis pengetahuan tentang lahan dan penggunaan lahan. ALES
merupakan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan pelaku evaluasi
untuk mengekspresikan pengetahuan lokalnya masing-masing.

Menurut Rossiter dan van Wambeke (1997) program ALES


memiliki 7 komponen, yaitu:

1. Kerangka basis pengetahuan (knowledge base) yang mendeskripsikan


penggunaan lahan yang diusulkan, baik dalam pengertian fisik maupun
ekonomi.
2. Kerangka basisdata yang mendeskripsikan lahan (satuan peta lahan)
yang dievaluasi.
3. Mekanisme pengambilan kesimpulan untuk menghubungkan
keduanya (penggunaan lahan dan satuan peta lahan) dalam rangka
menghitung kesesuaian secara fisik dan ekonomi dalam beberapa
satuan peta untuk berapa penggunaan lahan yang diusulkan.
4. Fasilitas yang dapat memberikan penjelasan sehingga memungkinkan
pembuat model untuk memahami sehingga mampu menyempurnakan
(fine-tune) model yang dibuat.
5. Fasilitas konsultasi yang memungkinkan pengguna awam untuk
mengajukan pertanyaan kepada sistem ini, tentang penggunaan lahan
yang ada (at a time).
6. Penyajian laporan pada layar monitor, printer atau CD (compact disk).
7. Modul impor-ekspor yang memungkinkan pertukaran data dengan
basisdata dari luar (eksternal), sistem informasi geografi dan lembar
kerja (spreadsheets, seperti excel, dBase dan lain-lain), termasuk
interface untuk berhubungan dengan sistem informasi geografi seperti
IDRISI, AicInfo dan ArcView.
ALES bukanlah suatu Sistem Informasi Geografi (SIG) dan tidak
dapat menyajikan hasil evaluasi lahan dalam bentuk peta. Untuk dapat
menyajikan hasil ALES dalam bentuk peta harus diekspor menggunakan
fasilitas SIG. ALES dapat menganalisis karakteristik geografi jika satuan
peta didefinisikan dengan tepat dan dapat secara langsung
mengklasifikasi-ulang peta IDRISI atau Arc/View dengan legenda satuan
peta yang sama sebagai basis-data ALES.

Pada Gambar 12.1 disajikan diagram alir program ALES untuk


evaluasi lahan secara kuantitatif fisik dan ekonomi.

Program ALES sangat interaktif dalam memanfaatkan monitor dan


keyboard komputer. Program ini dirancang untuk dapat menjelaskan
sendiri dan membantu pengguna melalui serangkaian menu, bentuk
masukan data, penjelasan tentang hasil keputusan, serta dialog-dialog
yang disertai dengan fasilitas ‘bantuan’. Pengguna program ini dapat
memilih bahasa yang akan digunakan karena sudah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Selain itu, program ini
juga dilengkapi dengan pembuatan, penyuntingan dan penampilan pohon
keputusan yang merupakan cara agar evaluator dapat mengemukakan
kepakarannya (expert knowledge) tentang hubungan antara lahan dan
penggunaan lahan.
12.1.1Tujuan dan Manfaat program ALES

Tujuan ALES adalah memungkinkan pengevaluasi lahan mengumpulkan,


menyusun dan menginterpretasi informasi yang bermacam-macam
menggunakan prinsip dasar Kerangka Kerja Evaluasi Lahan FAO (1976)
dan untuk menyajikan informasi yang diinterpretasikan (yaitu hasil dari
menjalankan evaluasi lahan) dalam bentuk yang secara langsung
bermanfaat bagi perencana penggunaan lahan. Metode dalam ALES adalah
membuat program komputer untuk digunakan oleh pengevaluasi lahan
yang hasilnya disampaikan ke perencana penggunaan lahan. Program ini
dirancang untuk memungkinkan dukungan dari semua sumber
pengetahuan yang relevan.

Tujuan ALES berikutnya adarah menggunakan informasi yang


telah dikumpulkan dalam survei tanah-dan inventarisasi sumber daya
lahan lainnya, yang sebagian besar tidak dimanfaatkan. Tujuan utama
ALES adalah memungkinkan penggunaan data lahan dalam segala macam
format yang berbeda dan memudahkan tukar-menukar data dari sumber
basis data tanah atau sumberdaya lahan lainnya. pekerjaan ini terutama
ditujukan untuk diaplikasikan di negara sedang berkembang, mengingat
peluang untuk perencanaan lebih terbuka daripada negara maju.
Perencanaan, keinginan untuk berubah di negara=negara dengan
pertanian yang maju yang biasanya terjadi pada tingkat petani, tidak
mencakup perencanaan dalam skala luas

12.1.2 Pengguna program ALES

Rossiter dan van Wambeke (1997) mengelompokkan pengguna program


ALES serta perannya masing-masing sebagai berikut:

Pembuat model, bekerja bersama-sama dengan pakar penggunaan


lahan, membangun model ALES dengan benar dan cermat untuk
sejumlah tipe penggunaan lahan (TPL) yang akan dipertimbangkan
dalam suatu studi.
Pengguna model, bertugas memasukkan data dan menjalankan
program ini untuk menentukan hasil evaluasi.
Pemakai hasil evaluasi, menggunakan hasil evaluasi untuk
memutuskan penggunaan lahan yang akan diusahakan.
Pengelola sistem, bertugas menjamin agar sistem komputer
termasuk ALES bekerja dengan benar.

Peran-masing kelompok tersebut diuraikan di bawah ini:


Pembuat model
Pembuat model merupakan orang yang membangun sistem pakar
dalam kerangka kerja ALES. Orang ini dapat merupakan pakar
evaluasi lahan atau pakar lain yang bekerja bersama dalam suatu
tim evaluasi lahan Pembuat model tidak harus seorang
programmer komputer atau analis sistem, akan tetapi lebih
diutamakan yang memahami prinsip-prinsip sistem analis.
Pembuat model seringkali merupakan pakar di bidang sumber
daya alam (misalnya ahli tanah) yang bertugas melakukan evaluasi
lahan. Karena tidak seorang pun yang ahli dalam semua bidang,
maka pembuat model harus menyusun tim dari pakar penggunaan
lahan untuk membantu membuat keputusan dalam pembuatan
model. Karena pakar-pakar ini tidak perlu menguasai istilah dalam
ALES maupun dalam metode evaluasi, maka pembuat model harus
menerjemahkan pertimbangan pakar dalam bentuk yang dapat
digunakan oleh ALES (misalnya dalam bentuk pohon keputusan).
Pembuat model harus berdiskusi dengan pengguna evaluasi lahan
sejak awal proyek untuk menentukan tujuan dan prioritas.
Pakar penggunaan lahan
Pakar penggunaan lahan merupakan ahli-ahli penggunaan lahan
yang bersama-sama dengan pembuat model menentukan tipe
penggunaan lahan (TPL) yang akan dipertimbangkan dalam model,
membuat persyaratan penggunaan lahan dan menentukan
seperangkat karakteristik lahan yang diperlukan untuk menilai
kualitas lahan. Mereka dapat berasal dari beberapa disiplin ilmu,
seperti agronomi, kehutanan, tanah, hidrologi, ekonomi, sosiologi,
klimatologi dan lain-lain. Pakar penggunaan lahan tidak
diharuskan mengunakan ALES secara langsung, tetapi mereka
harus meresensi atau memeriksa model yang sedang dibuat
dengan bantuan pembuat model.
Pengguna model
Jika model telah selesai dibuat, maka pembuat model akan
menyerahkannya ke pengguna model yang akan memasukan
definisi satuan peta dan data untuk semua satuan lahan yang ada
di daerah studi dengan menggunakan data entry templates yang
dirancang pembuat model. Pengguna model menjalankan dan
mencetak hasil evaluasi. Pengguna model tidak memiliki
kemampuan untuk mengubah model yang ada, karena mereka
hanya memasukkan data ke dalam basis-data seperti data
karakteristik lahan dan parameter ekonomi (misalnya harga,
bunga bank dan lain-lain).
Pemakai hasil evaluasi
Hasil evaluasi kesesuaian lahan akan disampaikan ke pemakai
hasil evaluasi. Mereka termasuk perencana penggunaan lahan,
petani, penyuluh maupun orang yang nantinya berperan dalam
membuat keputusan yang mempengaruhi penggunaan lahan.
Pemakai hasil evaluasi harus terlibat sejak awal. Merekalah yang
menentukan prioritas dan tujuan dari evaluasi lahan. pemakai
hasil evaluasi tidak perlu menggunakan ALES secara langsung,
tetapi pembuat model harus menyiapkan bahan yang menyajikan
hasil evalusi, termasuk melihat di monitor dan mengapa terjadi
keputusan seperti itu. Dengan kata lain, pemakai hasil evaluasi
dapat melihat bagaimana model tersebut dibuat.
Yang menarik dari penggunaan ALES adalah adanya fasilitas
konsultasi. Dalam hal ini, program akan menanyakan nilai untuk
masing-masing karakteristik lahan yang relevan sampai diperoleh
cukup informasi untuk menentukan kesesuaian masing-masing
satuan lahan untuk suatu tipe penggunaan lahan.
Pengelola sistem
Pengelola sistem bertanggung jawab dalam mempertahankan agar
ALES tetap jalan dengan baik, termasuk menginstal program ALES,
membuat backup data, menambah atau mengurangi perangkat
keras dan lain-lain.

12.2 Bagan Proses Evaluasi Lahan Menggunakan ALES


Struktur keseluruhan dari evaluasi lahan disajikan dalam Gambar 12.2.
Dalam gambar tersebut terlihat bahwa program ALES hanya berperan
dalam langkah ketujuh hingga kesebelas (yang diarsir).

Terdapat 5 pelaku dalam proses evaluasi lahan, yaitu:


1. Pihak yang terkait (stakeholder) : semua kelompok yang
akandipengaruhi oleh keputusan perencanaan yang dilakukan
berdasarkan hasil evaluasi lahan
2. Pelanggan (client): orang atau organisasi yang mengajukan
permohonan untuk melakukan evaluasi lahan dan yang akan
menerapkan hasil evaluasi lahan
3. Pelaku evaluasi (evaluator): orang yang melakukan evaluasi lahan.
Pelaku evaluasi harus memahami konsep-konsep dan metodologi serta
harus mampu menggunakan komputer. Ia bertindak sebagai perantara
antara pengguna dan pakar. Pelaku evaluasi lahan adalah orang yang
menggunakan ALES secara langsung
4. Pakar pengunaan lahan (land-use expert): orang yang memiliki
informasi tentang penggunaan lahan dan kualitas lahan dalam
kaitannya dengan lahan, misalnya ahli tanah agronomi, kehutanan dan
lain-lain.
5. Pakar sumber daya lahan (land resource expert): seorang yang
memiliki informasi tentang sumberdaya lahan, misalnya penyurvei
tanah, ahli klimatologi, petugas sensus dan lain-lain.

12.3 Struktur Program ALES


Dalam ALES setiap evaluasi terdiri atas sejumlah tipe penggunaan lahan
(TPL), yaitu penggunaan lahan yang diusulkan dan sejumlah satuan peta
lahan (SPL) yaitu satuan luasan lahan yang akan dievaluasi. Setiap satuan
peta dievaluasi untuk setiap TPL sehingga menghasilkan suatu matriks
kesesuaian lahan. Keseluruhan program ALES disajikan dalam Gambar
12.1.

Ada dua macam kesesuaian dalam kerangka kerja evaluasi lahan


FAO, yaitu kesesuaian secara fisik dan kesesuaian secara ekonomi. ALES
dapat mengevaluasi keduanya sebagai mana dijelaskan di bawah ini.

12.3.1 Evaluasi Lahan Fisik


Evaluasi kesesuaian secara fisik menunjukkan tingkat kesesuaian untuk
suatu penggunaan lahan tanpa memperhatikan kondisi ekonomi. Dalam
klasifikasi ini hanya ditekankan pada aspek kesesuaian yang relatif tetap,
seperti kondisi iklim, tanah dan bukan pada aspek yang mudah bembah
seperti harga. Evaluasi lahan secara fisik cenderung menekankan pada
risiko dan bahaya seperti terhadap lingkungan atau terhadap pembatas-
pembatas mutlak seperti iklim. Pertimbangannya adalah bahwa jika suatu
penggunaan terlalu beresiko atau secara fisik tidak memungkinkan, maka
tidak perlu dilakukan analisis ekonomi.

Dalam ALES jika suatu satuan peta yang dinyatakan secara fisik
tidak sesuai, maka satuan peta tersebut tidak akan dievaluasi secara
ekonomi. Lahan-lahan yang secara ekonomi tidak termasuk N2, dapat
dianalisis menggunakan evaluasi fisik untuk membagi lahan ke dalam
tingkat kesesuaian. Keuntungannya adalah bahwa kesesuaian fisik tidak
berubah dengan cepat. Namun, evaluasi tersebut juga memiliki kerugian,
diantaranya:

(1) Keputusan penggunaan lahan sangat sering didasarkan pada


pertimbangan ekonomi.
(2) Tanpa pertimbangan ekonomi, tidak ada kejelasan mengenai
bagaimana menentukan tingkat kesesuaian.
(3) Tanpa analisis ekonomi, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana
membandingkan dua TPL yang berbeda, tetapi memiliki
kesesuaian fisik yang sama.

Evaluasi fisik juga dapat digunakan untuk membagi satuan peta ke


dalam kelompok pengelolaan. Dalam hal ini subkelas kesesuaian fisik
dirancang untuk memperlihatkan tingkat keparahan (kerawanan) relatif
dari berbagai penghambat untuk penggunaan dan jenisnya. Misalnya
subkelas ‘3e/c’ dapatmenunjukkan bahwa satuan peta yang dinilai
memiliki pembatas sedang, (‘3’) untuk penggunaan lahan yang dinilai
dengan pembatas utama yang disebabkan bahaya erosi (‘e’) dan iklim(‘c’).

12.3.2 Penghitungan Kesesuaian Lahan dari Aspek Ekonomi

ALES bertujuan membekali perencana penggunaan lahan dengan estimasi


ekonomi yang realistis dari kelas kesesuaian lahan masing-masing satuan
lahan untuk setiap penggunaan lahan yang diusulkan. Evaluasi kesesuaian
lahan didasarkan atas pertimbangan keuntungan ekonomi, apabila suatu
tipe penggunaan lahan diterapkan di suatu daerah. Kesesuaian lahan
ekonomi dapat dievaluasi melalui ukuran-ukuran ekonomi (penghitungan
nilai), seperti yang dikemukakan dalam Marwan et al. (1998) berikut:

Gross Margin.
Prediksi keuntungan ekonomi didasarkan pada prediksi jumlah
pendapatan dikurangi jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan pada
suatu luasan lahan tertentu (misalnya per hektar) dalam jangka
waktu tertentu suatu proyek/usaha tani (misalnya per tahun),
tanpa mempertimbangkan harga lahan usaha. Gross margin
merupakan pendapatan hasil pertanian (produksi x. harga)
dikurangi biaya produksi.
Net present Value (NPV).
NPV dari suatu tipe penggunaan lahan (TPL) merupakan nilai
pendapatan sekarang (akhir usaha) dikurangi nilai biaya sekarang.
NPV adalah nilai uang sekarang yang diperoleh sebagai hasil
penerapan suatu TPL pada suatu luasan tertentu selama waktu
penggunaan lahan tersebut, bukan per tahun pembukuan seperti
pada gross margin.
Benefit - Cost Rasio.
B/C ratio merupakan nilai pendapatan sekarang di bagi dengan
nilai biaya sekarang. (Jika nilai B/C ratio <1, maka biaya lebih
besar dari pendapatan; B/C ratio = 1, biaya sama dengan
pendapatan; dan B/C ratio >1, maka pendapatan lebih besar dari
biaya).
Internal Rate of Return (IRR)
IRR merupakan besarnya potongan agar nilai pendapatan
sekarang sama dengan nilai biaya sekarang. Apabila IRR lebih
tinggi dari bunga bank, maka TPL yang diterapkan pada satuan
peta tersebut adalah menguntungkan. Secara matematis, IRR
adalah discount rate (bunga) dimana NPV adalah positif. IRR
merupakan positif risiko keuangan suatu TPL. Dengan demikian,
semakin tinggi IRR risiko semakin berkurang karena pendapatan
lebih pasti.
Discounted Cash Flow
Jumlah nilai uang sekarang yang lebih kecil dari yang akan datang
sesuai dengan besarnya bunga pinjaman yang berlaku.

Nilai sekarang = Nilai akan datang [ ] lama usaha

1000 diperoleh dalam 10 tahun dengan bunga 21%

100 + 21 [ ] 10 = 1.000 * 0,826410 = 148,64

Catatan:

Sekali pun B/C > 1 dan nilai NPV positif, belum menjamin bahwa
proyek tersebut menguntungkan.
Perlu dicek dengan besaran lain, yaitu IRR.
Hal ini penting terutama jika proyek tersebut menggunakan dana
pinjaman. Nilai rupiah yang diinvestasikan harus menghasilkan
nilai rupiah yang lebih tinggi untuk jangka waktu tertentu.
IRR (dinyatakan dengan %) merupakan tolok ukur keberhasilan
proyek.
Jika IRR > b (tingkat bunga pinjaman) dalam kondisi NPV = 0 dan
B/C >1, maka proyek tersebut lebih menguntungkan.

12.3.3 Evaluasi Lahan Secara Ekonomi Menggunakan ALES

Dalam model ALES, tipe penggunaan lahan (TPL) dapat memiliki berbagai
jumlah keluaran dengan berbagai jumlah tanaman dari masing-masing
keluaran dalam suatu cakrawala perencanaan. Masukan dialokasikan
untuk tahun-tahun spesifik dalam perencanaan atau mungkin
berhubungan dengan tingkat produksi dari berbagai keluaran. ALES dapat
menganalisis biaya ekonomi dari rotasi, sistem tumpang-sari dan
multiplecropping.

Keluaran dapat memiliki nilai negatif (harga), sehingga misalnya


kehilangan lapisan tanah atas dapat digambarkan dalam perhitungan
ekonomi. Degradasi lingkungan di luar kawasan daerah studi dapat
dilakukan dengan cara yang sama.

Ada 3 macam biaya, yaitu:

1. Biaya yang melekat (inherent) dalam implementasi LUT, dalam ALES


disebut biaya S1.
2. Biaya yang hanya dikeluarkan pada satuan lahan tertentu yang
memiliki kendala, yaitu tingkat kualitas lahan tidak optimal yang
dalam ALES disebut biaya tambahan.
3. Biaya yang berhubungan dengan tingkat produksi yang dalam ALES
disebut biaya tergantung produksi.

Contoh ketiga macam biaya tersebut secara berurutun adalah sebagai


berikut:
1. Praktek budidaya yang baku, seperti pembajakan, penanaman,
pemupukan dan lain-lain, jika dilakukan pada semua lahan yang
digunakan untuk TPL tersebut.
2. Penambahan kapur diperlukan untuk meningkatkan pH tanah masam
sehingga sesuai bagi suatu tanaman. Catatan : masukan ini tidak
diperlukan pada tanah yang netral, sehingga biaya hanya diberikan
pada lahan-lahan tertentu yang tidak-optimal. (Dalam hal ini, deskripsi
TPL harus dibuat spesifik sehingga petani mengetahui perbedaan
tersebut (dalam jumlah kapur yang diberikan) di antara satuan lahan
yang berbeda dan akan memperlakukan setiap satuan lahan menurut
kebutuhannya).
3. Tenaga-kerja manusia untuk panen yang tergantung jumlah panenan,
bukan berdasarkan luas lahan yang ditanami tanaman tersebut.

Analisis ekonomi ALES umumnya tidak memasukkan biaya tetap


dari satuan ekonomi (misalnya tanah pertanian) karena tidak tergantung
pada luasan lahan pertanian. Namun, jika TPL diasumsikan memiliki
ukuran tipikal, biaya tetap dapat dibagi berdasarkan ukuran ini dan
dimasukkan sebagai biaya S1 per hektar untuk TPL tersebut. Dalam hal ini
gross margin ALES merupakan net margin (dari biaya tetap).
Kaitan antara biaya produksi dengan persyaratan penggunaan
lahan adalah semakin meningkat tingkat kendala (misalnya tingkat
kerawanan yang lebih tinggi dari kualitas lahan yang setara) semakin
meningkat biaya produksi (biaya tambahan yang dikemukakan
sebelumnya) atau semakin menurun hasil produksi, atau bisa keduanya.
Biaya produksi mungkin berulang (yang dalam ALES disebut biaya
tahunan atau dalam tahun spesifik dalam skema perencanaan.

Biaya dinyatakan oleh daftar sejumlah satuan masukan yang


diperlukan, tetapi harga satuan dibuat dalam tabel terpisah. Jika harga dari
masukan (input) berubah maka biaya total produksi dapat dihitung-ulang.
ALES dengan mudah dapat menghitung hasil dan keuntungan ekonomi.
Dengan demikian, evaluasi ekonomi yang dianggap memiliki kelemahan
karena kondisi ekonomi dapat berubah dengan cepat dan dapat diatasi.
Dalam beberapa menit, pengguna ALES dapat memasukkan parameter
ekonomi yang baru ke dalam model ALES untuk kemudian menghitung-
ulang, mengevaluasi dan mencetak hasil perhitungan nilai slenemi yang
baru.

Kelas Kesesuaian Lahan Secara Ekonomi

Sekalipun ALES menyatakan hasil ekonomi dalam jumlah moneter yang


pasti, tetapi kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) mendefinisikan 2
ordo kesesuaian (S dan N) dan 5 kelas kesesuaian (S1, S2, S3, N1 dan N2).
Agar konsisten dengan kerangka kerja FAO, maka ALES memungkinkan
untuk mengklasifikasikan 4 kelas kesesuaian ekonomi. Kelas N2
merupakan lahan yang secara fisik tidak sesuai, sehingga tidak perlu
dianalisis secara ekonomi.

Djaenudin dan Hendrisman (2005), membedakan kelas kesesuaian


lahan ekonomi dan pengertiannya sebagai berikut:
Lahan yang termasuk kelas S1 adalah lahan yang tidak mempunyai
faktor pembatas yang berarti atau nyata pengaruhnya terhadap suatu
penggunaan atau pertumbuhan dan produksinya secara berkelanjutan,
atau lahan terdapat faktor pembatas tetap yang hanya bersifat minor
sehingga tidak akan mereduksi produktivitasnya secara nyata.

Lahan yang tergolong S2 memiliki faktor pembatas yang akan


berpengaruh terhadap produktivitas, sehingga untuk mengatasinya
diperlukan tambahan masukan (input).

Lahan yang tergolong S3 memiliki faktor pembatas yang berat


yang akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Untuk
mengatasinya diperlukan tambahan input dan teknologi yang lebih banyak
daripada lahan yang termasuk S2.

Lahan yang termasuk ordo N mempunyai faktor pembatas sangat


berat, yang kalau secara ekonomi tidak sesuai maka digolongkan sebagai
kelas N1. Sedangkan jika secara fisik tidak sesuai maka digolongkan
sebagai kelas N2.

Penelitian evaluasi lahan secara kuantitatif fisik mencakup dua


aspek. Yang pertama adalah aspek sumber daya lahan, terdiri atas
pengumpulan dan interpretasi data iklim, tanah dan keadaan medan
(kualitas/karakteristik lahan). Yang kedua adalah aspek agronomi yang
berkaitan dengan tipe penggunaan lahan (mencakup persyaratan tumbuh
tanaman dan input tingkat manajemen serta produksi (output) yang
diharapkan). Adapun evaluasi lahan ekonomi harus mencakup aspek ke-3,
yaitu yang berkaitan dengan parameter dan analisis sosial ekonomi serta
budaya petani setempat.
12.4 Hal-hal Penting dalam Evaluasi Lahan
Menggunakan ALES
Berikut ini diuraikan beberapa hal yang penting diperhatikan dalam
menggunakan program ALES, yaitu: (1) ALES mengevaluasi satuan Peta,
(2) ALES umumnya menggunakan data yang diklasifikasikan, (3) ALES
umumnya menggunakan pohon keputusan untuk menyimpulkan kelas
kesesuaian lahan (4) ALES mengestimasi hasil dalam bentuk nilai optimal.

12.4.1Evaluasi Satuan peta dengan ALES

Salah satu keterbatasan ALES adalah tidak memiliki kemampuan


georeferencing (acuan tentang posisi geografi) dan tidak dapat
menghasilkan peta, sehingga analisis mengalami kesulitan dalam
menghitung persyaratan proximity or adjacency (kedekatan atau
ketepatan). ALES umumnya membuat pernyataan tentang satuan peta,
yaitu seperangkat delineasi pada suatu peta dan beranggapan bahwa sifat-
sifat dari semua delineasi dengan nama yang sama adalah identik (serupa)
dalam deskripsi satuan peta.

Oleh karena delineasi satuan peta mempunyai lokasi yang


menyebar, maka sulit untuk menetapkan suatu nilai terhadap
karakteristik lahan secara geografi. Satuan peta dalam ALES secara tipikal
merupakan satuan-satuan ‘alami’ yang didefinisikan berdasarkan hasil
inventarisasi sumberdaya alam yaitu tanah, geomorfologi atau fisiografi.
Sistem informasi geografi (SIG) merupakan alat yang ideal untuk
melakukan analisis spasial dan sebagai hasil dari analisis ALES dan dapat
digunakan sebagai lapisan data dalam sistem ini. Namun demikian, sangat
memungkinkan menggunakan ALES untuk mengevaluasi delineasi atau
satuan pengelolaan yang memiliki lokasi yang spesifik dan untuk
mendefinisikan karakteristik lahan spasial, misalnya letak dari pasar,
kedekatannya dengan daerah yang dilindungi dan lain-lain. ALES juga
sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai Persyaratan Penggunaan
Lahan spasial, misalnya kedekatan (adjacency), dan dalam pohon
keputusan. Karena ALES tidak memiliki masukan atau keluaran dalam
bentuk peta, maka nilai data dari karakteristik lahan harus diperoleh dari
peta atau SIG dan dimasukkan ke dalam basisdata ALES secara manual.

12.4.2 Penggunaan Data yang Diklasifikasikan dalam ALES

Dalam ALES, entitas yang digunakan sebagai basis untuk membangun


model (yaitu karakteristik lahan) sebaiknya diperlakukan sebagai data
yang diklasifikasikan, yaitu nilai data yang berasal dari penggunaan small
finite set of possibilities. Data ini dapat berupa data ordinal yang berskala
kontinyu, seperti kelas lereng atau nominal (dengan atau tanpa harkat),
sebagai contoh kelas tekstur. ALES juga memungkinkan, pembuat model
untuk mendefinisikan karakteristik lahan kontinyu, yaitu nilai data dari
seperangkat kemungkinan tidak terhingga dalam beberapa selang (range)
dari bilangan real. Misalnya lereng yang dinyatakan dalam persen atau
derajat, sebagai lawan dari kelas lereng. ALES menghendaki agar nilai-nilai
tersebut dikonversi ke dalam klasifikasi data analog dengan jalan
mendefinisikan apa yang disebut karakteristik lahan sepadan
(commensurrate). (yaitu dengan skala pengukuran yang sama), sebelum
kualitas lahan dapat ditentukan.

Ada beberapa pertimbangan dalam menggunakan data skala yang


diklasifikasikan sebagai dasar untuk menyusun model. Yang penting
adalah bahwa ALES mengevaluasi dari lahan, bukan titik pengamatan
individu, sehingga nilai tunggal pada skala kontinyu tidak memiliki arti
sebagai suatu kelas.

Kelas ordinal mewakili selang di mana kebanyakan dari


keragaman dalam suatu satuan pita diperkirakan akan termasuk. Tentu
saja data nominal tidak memiliki analog yang kontinyu. Dalam ALES,
pembuat model ALES dapat mengkombinasikan nilai karakteristik lahan
ke dalam nilai komposit dengan rumus tertentu yang baku (misalnya
persamaan kehilangan tanah atau model regresi). Dengan demikian, suatu
karakteristik lahan yang kontinyu dapat berasal dari rumus seperangkat
karakteristik lahan kontinyu lainnya. Karakteristik yang diturunkan dari
suatu rumus tertentu dapat digunakan dalam rumus lain atau langsung
dikonversi menjadi suatu karakteristik lahan yang diklasifikasikan untuk
digunakan dalam pohon keputusan.

12.4.3 Penggunaan Pohon Keputusan (Decision Trees) untuk


menyimpulkan Kelas Kesesuaian Lahan dalam ALES

Cara pembuat model ALES mempertimbangkan data yang diklasifikasikan


adalah dengan membangun pohon keputusan. Pohon keputusan
merupakan kunci hirarki beragam cara di mana daun merupakan hasil
pengharkatan (rating) faktor tunggal. Kualitas lahan (tingkat kerawanan)
dan ruas bagian dalam (titik-titik cabang) pohon merupakan kriteria
keputusan seperti nilai karakteristik lahan. Pohon ini dibangun oleh
pembuat model yang berlangsung selama perhitungan hasil evaluasi
dengan menggunakan data lahan aktual untuk setiap satuan peta yang
dievaluasi.

Gambar 12.4 memperlihatkan pohon keputusan sederhana


menggunakan logika dari Sanchez et al. (1982) yang memungkinkan ALES
untuk menentukan nilai kualitas lahan potensial untuk fiksasi P oleh besi
dari karakteristik lahan; (1)Fe2O3 terhadap liat dalam tanah atas, (2)
persentase liat dalam tanah atas, (3) warna hue dari matriks tanah atas
dan (4) struktur tanah atas.

Sebagai catatan, pohon keputusan ALES memungkinkan data yang


kosong (tidak diketahui) digantikan oleh kriteria lain, tetapi kriteria
tersebut harus ditentukan secara tepat oleh pembuat model.

Dalam ALES, pohon keputusan digunakan untuk menentukan:

1. Faktor harkat atau tingkat (dalam ALES disebut tingkat kerawanan)


kualitas lahan yang berasal dari nilai-nilai karakteristik lahan.
2. Proporsi hasil yang diharapkan dari keluaran yang berasal dari nilai-
nilai kualitas lahan (hasil proporsional dapat juga ditentukan oleh
faktor pembatas atau faktor yang meningkatkan produksi).
3. Subkelas kesesuaian fisik nilai-nilai kualitas lahan. (Subkelas
kesesuaian lahan fisik dapat juga ditentukan menggunakan metode
pembatas maksimum.)
4. Nilai-nilai dari karakteristik lahan yang diklasifikasi, yang berasal dari
seperangkat karakteristik lahan 1 yang diklasifikasi lainnya.

Pohon keputusan memiliki beberapa keuntungan sebagai suatu


metode untuk menyimpulkan. Pertama, model dan penggunanya
mempunyai gambaran yang jelas mengenai proses untuk membuat
kesimpulan atau keputusan. pohon dapat ditelusuri secara manual
atau dengan bantuan ALES melalui penjelasan yang dapat dilihat pada
monitor dengan menekan tombol tertentu yang mengindikasi
pertanyaan ‘Mengapa/Why’ terjadi keputusan/kesimpulan seperti itu.
Dengan demikian, pembuat model dapat melihat secara tepat
bagaimana ALES mencapai kesimpulan tersebut, yang tentu saja
didasarkan pada logika pembuat model.

Jika banyak faktor yang harus dipertimbangkan, pohon keputusan


dapat menjadi tidak praktis, karena akan bertumbuh secara eksponensial
dengan semakin banyak faktor yang di pertimbangkan. Oleh karena itu,
ALES memungkinkan penggunaan multiplikatif (proporsional) dan faktor
pembatas hasil serta metode pembatas maksimum untuk kesesuaian fisik
selain pohon keputusan dalam lingkungan yang tepat. Selain itu, pelaku
evaluasi dapat memperkenalkan karakteristik lahan antara (intermediate
atau inferred) dalam rangka menguraikan satu pohon menjadi beberapa
komponen yang lebih kecil.

Alur penggunaan pohon keputusan dalam bentuk bagan


dikemukakan oleh Djaenudin dan Hendrisman (2005) seperti dalam
Gambar 12.4.

12.4.4 Hasil Estimasi ALES dalam Bentuk Nilai Optimal

ALES tidak dapat mengestimasi hasil melalui simulasi model yang dinamik
atau model statisik empiris. Dalam hal ini, pelaku evaluasi lahan
menggunakan data riwayat produksi dari lahan yang dievaluasi, model
atau pertimbangan ahli (expert judgment) untuk menentukan hasil optimal
dari setiap keluaran masing-masing TPL. Pelaku evaluasi lahan juga dapat
menentukan bagaimana hasil optimal diturunkan pada lahan yang kurang
optimal, baik melalui faktor pembatas hasil atau faktor yang melipat
gandakan hasil untuk kualitas lahan yang dapat mempengaruhi hasil.
Selain itu, pelaku evaluasi dapat menggunakan pohon heputusan produksi
yang sebanding atau sepadan..(a proportional yield decision tree) dan
kualitas lahan. Penentuan faktor-faktor hasil ini atau pembuatan hasil dan
pohon keputusan aspek penting evaluasi ekonomi ALES.

***

XIII
PELAPORAN

P ada Bab 1 telah disebutkan bahwa hasil dari suatu kegiatan


inventarisasi sumber daya lahan (survei tanah) adalah peta dan
laporan. Dalarn kegiatan inventarisasi sumber daya lahan, laporan
merupakan tahapan akhir pekerjaan. Pelaporan merupakan suatu
penyajian produk dari suatu kegiatan dalam bentuk naskah, gambar, tabel,
grafik, dan peta.

Kegiatan inventarisasi sumber daya lahan di Indonesia semakin


beragatn dan berkembang dengan gaya pelaporan yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam hal tingkat
pemetaan, skala, tujuan penggunaan, dan instansi pelaksana atau pelaku
kegiatan. Selain itu, belum ada pembakuan pedoman pelaporan yang dapat
digunakan sebagai acuan secara nasional. Oleh karena itu, Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat (1995) mengusulkan perlu disusun suatu pedoman
untuk pembuatan laporan hasil inventarisasi sumber daya lahan, sehingga
para pengguna dengan mudah dapat memahami dan memanfaatkan
laporan hasil kegiatan tersebut yang harus akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dengan tersedianya buku pedoman baku pelaporan hasil survei
dan pemetaan tanah, diharapkan siapapun pelaksana kegiatan
inventarisasi sumber daya lahan dapat mengikuti norma-norma yang telah
ditetapkan.

Dalam setiap laporan hasil survei dan pemetaan tanah,


penyajiannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu naskah laporan dan
lampiran yang berupa peta-peta.

Laporan survei hendaklah disusun secara sistematis, jelas dan


akurat dengan bahasa dan istilah yang mudah dipahami, sehingga
pengguna dapat dengan mudah membaca dan memanfaatkan data serta
informasi yang terdapat dalam laporan tersebut. Kegiatan survei yang
dilakukan di lapangan dengan susah payah yang dilanjutkan dengan
analisis contoh tanah di laboratorium yang dilakukan secara hati-hati dan
akurat serta memakan biaya yang tidak sedikit, akan kurang bernilai jika
laporan disajikan kurang teliti dan seadanya. Format laporan survei tanah
sangat beragam dan ditentukan oleh banyak faktor antara lain oleh skala,
tingkat pemetaan, tujuan survei dan pengguna.

Dalam setiap kegiatan inventarisasi sumber daya lahan pada


umumnya, laporan terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) Laporan pendahuluan;
(2) Laporan Kemajuan; (3) Konsep Laporan Akhir; dan (4) Laporan Akhir.
Laporan pada masing-masing tahap berbeda isi (kandungan) maupun
kelengkapannya.

Laporan Pendahuluan berisi persiapan-persiapan yang dilakukan


menjelang dilakukannya kegiatan lapangan. Dalam laporan ini disajikan
hasil-hasil pengumpulan data sekunder, peta-peta hasil interpretasi foto
udara maupun citra penginderaan jauh yang lain. Peta yang disajikan
berupa peta wujud-lahan (peta landform) serta peta vegetasi dan
penggunaan lahan. Selain itu yang terpenting adalah peta rencana
pengamatan.

Laporan Kemajuan dibuat setelah kegiatan survei lapangan


dilakukan. Laporan ini terdiri atas naskah dan atlas peta-peta. Dalam
naskah disajikan hasil pengolahan data sekunder berupa data iklim,
hidrologi dan pertanian. Peta-peta yang di laporkan adalah peta
pengamatan, peta tanah, legenda peta sementara (sebelum diperoleh data
analisis laboratorium), serta peta vegetasi dan penggunaan lahan.

Konsep Laporan Akhir memiliki format yang sama dengan laporan


akhir, tetapi masih berupa konsep yang perlu dibahas bersama-sama
dengan tim korelator/evaluator. Pada tahap ini beberapa hasil analisis
laboratorium sudah disajikan meskipun belum seluruhnya selesai.
Klasifikasi tanah dan hasii evaluasi lahan serta peta-peta dibahas secara
mendalam.

Dalam Laporan Akhir, sebaiknya data dan peta hasil diskusi telah
dibahas dengan cermat bersama tim korelator sehingga kesalahan-
kesalahan yang ada telah dapat direvisi.

Dalam suatu laporan biasanya pembaca menghendaki dalam


waktu yang relatif singkat dapat mengetahui keseluruhan isi laporan serta
kesimpulan dan saran-saran, sebelum mendalami hal-hal yang detail
dalam tiap-tiap bagian laporan. Untuk itu perlu dibuatkan ringkasan
(summary) dalam buku naskah laporan.

Hal-hal yang lebih detail yang bersifat teknis disajikan dalam


bagian Lampiran atau dalam buku yang terpisah. Peta-peta publikasi
(sesuai dengan skala pemetaan) sebaiknya disajikan dalam buku
tersendiri.

Pada umumnya laporan akhir suatu survei tanah terdiri atas


beberapa buku yang terpisah, misalnya Laporan survei dan Pemetaan
Tanah LREP II terdiri atas Buku I: Naskah; Buku: II Atlas Peta-peta; dan
Buku III: Lampiran.

Dalam Buku I diuraikan kegiatan yang dilakukan dalam survei


tanah yang meliputi latar belakang dan tujuan survei, metodologi, hasil
dan pembahasannya, serta kesimpulan dan rekomendasi.

Dalam Buku II disajikan peta-peta yang terdiri atas: (1)Peta


Topografi, (:2) Peta Wujud-lahan, (3) Peta Pengamatan, (4) Peta Tanah, (5)
Peta Vegetasi dan Penggunaan Lahan, (6) Peta Kesesuaian Lahan dan (7)
Peta Rekomendasi. Peta ini berskala sesuai dengan yang disajikan dalam
Kerangka Acuan (TOR).

Buku III menyajikan lampiran-lampiran yang sangat penting bagi


ahli tanah dan konsultan, berisi deskripsi seri/deskripsi profil tanah
berikut data-data hasil laboratorium, contoh tanah, kurva neraca air, data
analisis mineral liat, data-kimia dan kesuburan tanah, data fisika dan
konservasi tanah, data hasil analisis contoh air dan lain-lain yang
menunjang kegiatan survei.

Di bawah ini disajikan uraian yang dikemukakan oleh Pusat


Penelitian Tanah dan Agroklimat (1995) dalam upaya membakukan
bentuk-bentuk laporan dan peta-peta yang dihasilkan dalam suatu
kegiatan survei dan pemetaan tanah diIndonesia.

13.1 Penyajian Naskah Laporan


13.1.1 Jenis Laporan

Di atas telah disebutkan bahwa Laporan Inventarisasi sumber Daya Lahan


(survei tanah) dapat dibedakan atas 4 tahap, yaitu Tahap I (persiapan),
Tahap II (kemajuan), Tahap III (konsep akhir), dan Tahap IV (akhir).

Tahap I (Persiapan)

Laporan tahap I merupakan laporan hasil dari persiapan yang telah


dilakukan dan hasil kegiatan pra survei. Hasil tersebut berupa
pengumpulan data sekunder dan peta-peta hasil interpretasi foto udara
dan citra satelit, sesuai dengan kebutuhan tingkat survei yang dilakukan.
Bagan (outline) dari laporan tahap I disajikan dalam Tabel 12.1.

Tahap II Laporan Kemajuan

Laporan Tahap II dibuat setelah dilakukan kegiatan lapangan. Hasil yang


disajikan berupa naskah laporan dan peta-peta hasil pengamatan
lapangan. pada tahap ini dilakukan pengolahan data sekunder (antara lain:
iklim, hidrolog i, dan data pertanian) dan pengajuan analisis tanah dan air.
Bagan (outline) dari laporan tahap II disajikan dalam Tabel 12.2.

Tahap III Laporan Konsep Akhir

Laporan tahap III merupakan laporan konsep akhir yang sudah dilengkapi
data analisis, akan tetapi masih memerluka perbaikan-perbaikan sesuai
dengan saran-saran tim korelasi/evaluasi. Dalam evaluasi ini dilakukan
korelasi akhir terhadap klasifikasi tanah (satuan tanah/satuan taksonomi
tanah). Bagan (outline) dari laporan tahap III disajikan dalam Tabel 12.8.

Tahap lV Laporan Akhir

Laporan akhir merupakan laporan final dan semua uraian yang


disampaikan telah didukung data hasil analisis laboratorium. Dalam
iaporan akhir harus disampaikan arahan atau rekomendasi yang
diperlukan sesuai dengan maksud dan tujuan dari survei tanah tersebut.
Bagan (outline) dari iaporan tahap IV disajikan dalam Tabel 12.4.
13.1.2 Peta-peta dalam laporan Survei Tanah

Jenis dan format peta dikemukakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (1995) sepedi di bawah ini.

1. Jenis Peta
a. Peta penunjang
1. Peta situasi yangmenggambarkan situasi daerah survei.
2. Peta indeks, terdiri atas indeks peta dasar dan jalur (garis) terbang
foto udara dan atau indeks citra satelit lain yang meliput daerah
survei.
3. Peta iklim menurut Oldeman et al (1975 -1980), Schmidt
&Ferguson (1951) dan neraca air menurut Thornwaite dan Mather
(1957).
4. Peta geologi yang dikutip dari peta georogi Direktorat Geologi,
Bandung.
b. Peta utama
Penyajian peta utama dibedakan menurut tahap pelaporan
(persiapan kemajuan, konsep akhia akhir).
Laporan persiapan terdiri atas :
1. Peta landform (wujud lahan) hasil interpretasi foto udara
2. Peta vegetasi dan pertanian
3. Peta rencana pengamatan tanah (dapat disatukan dengan peta
landform)

Laporan kemajuan terdiri atas :

1. Peta landform dan pengamatan tanah


2. Peta tanah tentatif
3. Peta vegetasi dan pertanian

Konsep laporan final terdiri atas:

1. Peta pengamatan tanah


2. Peta vegetasi dan pertanian
3. Peta tanah
4. Peta kesesuaian lahan t
5. Peta rekomendasi

Laporan final, terdiri atas:

1. Peta pengamatan tanah


2. Peta vegetasi dan pertanian
3. Peta tanah
4. Peta kesesuaian lahan
5. Peta rekomendasi

13.2 Format Peta


Format peta menurut pembakuan nasional Rupa Bumi adalah tata letak
muka berdasarkan pembagian geografis yang sudah dibakukan
(Bakosurtanal). Indonesia menggunakan sistem proyeksi Transverse
Mercator (TM) dengan sistem grid Universal Transverse Mercator (UTM).
Pembagian lembar atau format peta berseri ditentukan oleh skala peta.

Format peta hasil inventarisasi sumber daya lahan menurut


tingkat ketelitian atau skala peta dapat disusun berdasar peta berseri atau
peta kelompok.

a. Peta berseri, mengacu kepada peta Rupa Bumi baku yaitu : (i). Peta
Tanah Tinjau skala 1:250.000 ukuran format 1o 3o’ x 10 0’ (ii). Peta
Tanah Semi detail skala 1:100.000 ukuran format 30' x 30', 1:50.000
ukuran format 15' x 15' (iii). Peta Tanah Detail skala 1:25.000 ukuran
format 7'30" x 7'30"
b. Peta kelompok dibuat atau disajikan menurut pembagian
administratif dan dibedakan atas: (i) Peta Tanah Tinjau skala
1:250.000: propinsi, kabupaten, kecamatan; (ii) Peta Tanah Semi detail
skala 1: 100.000-1:50.000: kabupaten, kecamatan; (iii) Peta Tanah
Detail skala 1:25.000: kecamatan.
c. Peta kelompok menurut daerah survei atau wilayah survei,
tergantung pada tingkat pemetaan dan skala peta tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2001. Soil Morphogenesis. Agro/Hort 100 Intro to Plant


Science Soil.
http://weather.nmsu.edu/TeachingMaterial/soil350/Soil%20Morp
hogenesis.htm. Diakses tanggal 1 juli 2003

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. penerbit IPB.


Bakosurtanal, 2002. Indeks Peta Rupa Bumi Pulau Sumatera. Bakosurtanal.
Cibinong, Jabar.

Balsem, T and P. Buurman, 1988. “Jenis Analisa Kimia dan Fisika yang
Disyaratkan untule Klasifikasi Tanah. Lap. Tenis No. 11a. Versi 1.1."
Puslitan-LREP.

Balsem, T and P. Buurman, 1990. “Guidelines for Land Unit Description


Center for Soil and Agrocrimate Research, Bogor. Technical Report
13. LREP-I.

Beek, K.J. 1978. Land Evaluation for Agricultural Development. ILRI


Publication 28, Wageningen: ILRI.

Brady, N. C. and R. R. Weil. 2004. Elements of the Nature and, Properties of


Soils. Prentice-Hall, Inc., NJ.

Buol, S. W., R. J. Southard , R.C. Graham and P.A. McDaniel, 2003. Soil
Genesis and Classification, 5th ed. Iowa state University Press. pp 494.

Buol, S.W., 1986. Fertility Capabitity Classification System and Its


Utilization. Soil Management Under Humid Conditions in Asia and
Pacific. ASIALAND. IBSRAM, Bangkok, pp. 318-331.

Buol, S.W., Couto, W., 1981. Soil Fertility Capability Assessment for Use in
The Humid, Tropics. In : Greenland, D.J. (Ed.), Characterization of
Soils in Relation to their Management for Crop Production: Examples
from the Humid Thopics. Clarendon Press, London, pp. 254-261.

Buol, S,W., Sanchez, P.A., Cate, R.8., Granger, M.A., 1975. Soil Fertility
Capability Classification. In: Bornemisza, E., Alvarado, A. (Eds.), Soil
Management in Tropical America. North Carolina State University,
Raleigh, pp. 126 - 141.

Burt, Rebecca (ed), 1995., "Soil Survey Laboratory Information Manual".


National Soil Survey Center (NSSC. Soil Survey Laboratory Lincoln,
Nebraska. Soil Survey Investigation Report No 45. Version 1.0, May
1995.
Buurman, P. and J. Dai, 1989. "The SoiI Database and Its Role in Soil Science
and Agricultural Development.” Indonesian Agricultural Research
and Development Journal. Vol 11, No 2: 47-56.

Carating, R. and T. Ohkura (eds), 1998. "The Soil Productivity Capability


Classification Sistem", Prepared as Part of the Work Program Under
the Tentative Schedule of Implementation, SRDC-JICA Technical
Cooperation Program, Phase II. Published as SPCC Technical
Information Series No. 3, Third Edition, June 1998.

CSAR, 1994. “Kerangka Acuan Survei Tanah Semi-Detail Daerah Prioritas."


TOR 1. LREP-II Part C. CSAR, Bogor.

Dent, D, and A. Young, 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen
and Unwin. London.

Desaunettes, J.R., 1977. "Catalogue of Landforms for Indanesia." Working


Paper no. 13. SRI, Bogor.

Dijkerman, J.C. and J. Widianingsih, 1985. "Evaluasi Lahan".


Communications Soil Sciences Unibraw No. 2. Jurusan Tanah FP
Unibraw.

Djaenudin, D., H. Basuni, S. Hardjowigeno, H. Subaryo, M. Sukardi,


Ismangoen, Marsoedi Ds., N. Suharta, L. Hakim. Widagdo, J. Dai, V.
Suwandi, S. Bachri, E.R. Jordens, 1994. "Kesesuaian Lahan Untuk
Tanaman pertanian dan Tanaman Kehutanan". (Land Suitabitity for
Agricultural and Silvicultural Plants). Laporan Teknis No. 7. Versi 1.0.
LREP-II Part C. CSAR, Bogor.

Djaenudin. D. H. Marwan, H. Subag;ro, A. Mulyani., 1997, Kriteria


Kesesuaian Lahan untuk Komoditi pertanian. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Bogor.

Djaenudin. D., Marwan H., Hidayatullah, K. Nugroho, E.R. Jordens, AJ.J. v.d.
Eelaart and D.G. Rossiter, 1997. "Standard Procedures for Land
Evaluation”. Technical Report No. 18 Version 3.0 LREP-II part C.
CSAR, Bogor.
Djaenudin, D. dan M. Hendrisman, 2005."Evaluasi Lahan Secara
Kuantitatif: Studi Kasus pada Tanaman Jagung, Kacang Tanah dan
Kacang Hijau di Daerah paguyaman, Kabupaten Boalemo, Provinsi
Gorontalo." Jurnal Tanah dan Lingkungan. Vol 7 No. 1: 27-35

Dorronsoro, C., 2006. Soil Evaluation; The Role of Soil Science in Land
Evaluation Available at URL
HTTP://edafologia.ugr.es/comun/congres/cartart.htm. Diakses tgl
30 Januari 2006

Elbersen, G.W.W., 1984. Syllabus Soil Survey Methodology. ITC, Enschede

EUROCONSULT. 1989. Agricultural Compendium for Rural Development in


The Tropics and Subtropics. Amsterdam: Elsevier. 740 pp.

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 1995. , “Survei dan Pemetaan


Tanah Semi Detil Daerah Pantai Dompu, Nusa Tenggara Barat; untuk
Pengembangan pariwisata”. Laporan Akhir. Buku I. Naskah.
Kerjasama Fak. Pertanian Unibraw dengan Bag. Proyek pengelolaan
Sumber Daya Tanah LREP II Part C. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 1995. "Survei dan Pemetaan


Tanah Semi Detil Daerah Pantai Tambora dan Sumbawa Besar, Nusa
Tenggara Barat; untuk Pengembangan Peternalean dnn Pariwisata".
Laporan Akhir. Buku I, II dan III. Naskah. Kerjasama Fak. Pertanian
Unibraw dengan Bag. Proyek Pengelolaan Sumber Daya Tanah LREP
II Part C. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

FAO, 1976. "A Framework for Land Evaluation" FAO Soil Bulletin 32. Soil
Resources Management and Conservation Service Land and Water
Development Division. Rome, Italy: FAO

FAO, 1983. "Guidelines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soil


Resources Management and Conservation Service Land and Water
Development Division". FAO Soil Bulletin No 52.
FAO, 1984. "Land Evaluation for Forestry". Forestry Paper 48, Rome,Italy:
FAO. 123 pp.

FAO, 1985. "Guidelines: Land Evaluation for Irigated. Agriculture". Soils


Bulletin 55, Rome, Italy: FAO. 231 pp.

FAO, 1990."Guidelines for Soil Description".3rd Edition. (revised) Soil Res.


Dev. and Coserv.derwice. Land and Water Dev. FAO, Rome.

FAO, 1991."Guidelines: Land Evaluation for Extensive Grazing”. Soils


Bulletin 58, Rome, Italy: FAO. 158 pp.

FAO, 1995. "Planning for Sustainable Use of Land Resources: Towards A New
Approach." FAO Land and Water Bulletin 2. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Viale belle Terme di Caracalla,
00100 Rome, Italy.

Fanning D.S. and M.S.B. Fanning, 1989. Soil Morphology, Genesis and
Classification. John Wiley & Sons. New York.

Forbes, T.R., Rossiter, D., & Van Wambeke, A. 1982. Guidelines for
Evaluating the Adequacy of Soil Resource Inventories. 1987 Printing
ed. SMSS Technical Monograph #4, Ithaca, NY: Cornell University
Department of Agronomy.

Goosen, D., 1967. "Aerial photo Interpretation in soil survey.” FAO Bulletin
No. 6. FAO, Rome.

Hardani, Y., 2004. "Analisis Spasial Kapabilitas Kesuburan Tanah


Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan.” Skripsi Jurusan Tanah
FP Unibraw.

Hardjowigeno, S, Ismangun, D. Djaenudin dan V, Suwandi 1994. “Pedoman


Klasifikasi Seri tanah." Laporan Teknis No. 1. CSAR, Bogor.

Hardjowigeno, S, Marsoedi Ds, dan Ismangun , 1994. “Satuan Peta Tanah


dan Legenda peta." Laporan Teknis No. 3. CSAR, Bogor.
Hardjowigeno, S, 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Edisi Revisi.
Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta.

Hardjowigeno. S., Widiatmaka, 2001, Kesesuaian Lahan dan Perencanaan


Tata Guna Lahan,Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hardjowigeno, S. dan M. L. Rayes. Tanah sawah: Karakteristik, Kondisi, dan


Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayumedia Publishing

Hoff.J., J. Dai, K Nugroho, N. Suharta. E.R. Jordens, S. Hardjowigeno and


U.Wood-Sichra, 1994. “Coding Instructians for site and Horizons
Descriptions.” Technical Report No.6. Ver. 2. CSAR, Bogor.

ISRIC, FAO, ISSS, 1998. "World Reference Base for Soil Resources," FAO

Klingibiel, A. A. and Montgomery, (2002). "Land Capability Classification."


USDA., Soil Conservation. Service. Agric. Handbook. No. 210. Issued
September 1961, Scanned and formatted for MS-Word February
2002. Available at URL
http://soils.usda.gov/technical/handbook/contents/part622p2.htm
l

Landon, J.R. (Ed.) 1984. Booker Tropical SoiI Manual. A Handbook for Soil
Survey and Agricultural Land Evaluation in The Tropics and
Subtropics. Booker Agriculture International Limited. London.

Marsoedi, Ds, Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno dan


J. Hof, 1994. "Pedoman Klasifikasi Landform", Laporan Teknis No. 5.
CSAR, Bogor.

Marwan H., D.Djaenudin, Subagyo H., S. Hardjowigeno, dan E.R. Jordens,


1998. "Petunjuk Teknis Pengoperasian Program.” Sistem Otomatisasi
Penilaian Lahan (Automated Land Evaluation System (ALES). Versi
2, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Mohr, E,C.J., F.A. van Baren & J. Schuylenborgh, 1972. Tropical Soils. A
Comprehensive Study of Their Genesis. Third revised and enlarged
edition. Moution-Ichtiar Baru-Van Hoeve. The Hague- Paris-Djakarta.

Mongkolsawat P, C., Thirangoon and P. Kuptawutinan., 1997. “A Physical


Evaluation of Land Suitability for Rice: A Methodological Study Using
GIS." Available at URL http://www.gisdevelop-
ment.net/aars/acrs/1997/ts11/ts11004.shtml

Mongkolsawat P., C., Thirangoon and P. Kuptawutinan, 1999."Land


Evaluation for Cambining Economic Crops Using GIS and Remotely
Sensed Data." Available at URL
http://www.gisdevelopment.net/aars/acrs/1999/ts1/ts1028.shtml

Notohadiprawiro, R. M. T., 1985. Selidik Cepat Ciri Tanah diLapangan.


Ghalia Indonesia.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1998 . Petunjuk Teknis Evaluasi


Lahan.

Pusat Penelitian dan pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005. Satu


Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah Indonesia 1905-2005.
Puslitbanetanak, Badan penelitian dan pengembangan pertanian
Dep. Pertanian.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1995. Konsep Pembakuan Sistem


Survei dan Pemetaan Nasional. Badan penelitian dan pengembangan
pertanian. Bogor.

Rayes, M.L., 1994. “Foto Udara dalam pemetaan Tanah. Jur. Tanah, Fak.
pertanian, Unibraw”.Diktat Kuliah

Rayes, M..L., 2006. Deskripsi Profil Tanah di Lapangan. Unit Penerbitan


Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Rossiter, D.G. & van Wambeke. A.R., 1995 ALES (Automated Land
Evaluation System) version 4.5 User’s Manual. SCAS Teaching Series
No. T93-2 Revision 5. Cornell University Departement of Soil, Crop &
Atmospheric Science,Ithaca, NY.

Rossiter, D.G. 1994. Lecture Notes: "Land Evaluation. College of Agriculture


and Life Sciences. Dept. of Soil, Crop & Atmospheric sciences. SCAS
Teaching Series T94-1. Cornell University.

Rossiter, D.G., 1996. A Theoretical Framework for Land, Evaluation


GEODERMA, 72 (1996): 165-202

Rossiter, D.G-, 2000. “Methodologi for soil Resource Inventories.” ITC


Lecture Notes & Reference. Soil Science Division International
Institute for Aerospace Survey & Earth Sciences (ITC). March 2000.

Sanchez, P.A., C. A. palma, S. W. Buol, 2003. Fertility Capability Soil


Classification: A Tool to Help Assess soil Quality in The Tropics.
Geoderma 114 (2003) 157-185.

Sanchez, P.A., Couto, W., Buol, . S.W., 1982. The Fertility Capablity so
Classification System: Interpretation Applicability and Modification.
Geoderma 27, 283- 309.

Schoeneberger P.J., D. A. Wysocki, E.C. Benham, and W.D. Broderson. 1998.


"Field Book for Describing and Sampling Soils" National Soil Survey
Service –U.S . Department of Agriculture, Lincoln, Nebraska.

Sichra, U. Wood, 1994. SHDE4 ver 2.0. "A site and Horizon Data Base Using
Data Ease 4.2.” Technical Report No. 12. Ver. 2.0. CSAR, Bogor.

Sitorus, S.R.P., 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. TARSITO Bandung.

Sitorus, S.R.P., 1986. Survei Tanah dan Penggunaan Lahan. Lab. Survei
Tanah dan Evaluasi Lahan, Jur. Tanah ,IPB

Soil Survey Division staff. 1993. “Soil survey Manual. Soil Conservation
Service." U.S.Department of Agriculture Handbook 18.
Soil Survey Staff. 1999. National Soil survey Handbook, title 430-VI. USDA -
Naturai Resource Conservation Service. US Government printing
Office. Washington DC, USA.

Soil Survey Staff. 2003. The Keys to Soil Taxonomy, Ninth Edition. USDA,
Natural Resources Conservation Service.

Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy: A Basic System of Soil Classification
for Making and Interpreting Soil Surveys, 2nd edition . Agriculture
Handbook No. 436. Washington: United States Department of
Agriculture.

Soil Survey Team, FP Unibraw., 1982. "Soil Survey Kali Sereng Watershed
Area (DAS KaIi Konto - East Java). " An Interim Report. NUFFIC -
UNIBRAW Soil Science Project. Malang.

Subaryo, H., N. Suharta dan A. B. Siswanto,2004. Tanah-tanah Pertanian di


Indonesia. Dalam: Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Sys C., E. Van Ranst, J. Debaveye, and F. Beernaert, 1993. Land Evaluation
Part I - III Crop Requirements. International Training Centre for Post-
Graduate Soil Scientists University Gent. Agricultural Publication - No.
7.

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994. Survei dan Pemetaan
Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering
dan Konservasi Hutan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagian
Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat.

Tim Survei Tanah DAS Brantas, Puslittan, 1988. Laporan Survei dan
Pemetaan Tanah Detil DAS Brantas Hulu, Kab. Malang, Blitar,
Tulungagung dan Trenggalele Propinsi Jawa Timur. Proyek
Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Bappeda Jatim-
Puslittan Bogor.
Tisdale, S.L., Nelson, W.L., & Beaton, J.D. 1985. Soil Fertility and Fertilizers,
4th ed. New York: Macmillan.

Unibraw, Malang – Agric. Univ., Wageningen, 1984. Soils and Soil


Conditions KaIi Konto Upper Watershed, East Java. Unibraw-Kali
Konto Project.

USDA-NCRS, 1995. "SoiI Survey Laboratory Information Manual." Soil


Survey Investigations Report No. 45, Version 1.0. National Soil
Survey Center, Soil Survey Laboratory, Lincoln, NE, p. 305

USDA-NCRS, 1996. "Soil Survey Laboratory Methods Manual." Soil Survey


Investigations Report No. 42, Version 3.0, p. 693

USDA-NRCS. 2003. National Soil Survey Handbook, title 430-VI. Available at


URL http://soils.usda.gov/technical/handbook/ (last verified
3/25/20O4). Diakses tanggal: 5 Mei 2005.

Wambeke van A., P. Hasting, & M. Tolomeo, 1986. Newhall Simulation


Model. Computer program. Departement of Agronomy. Bradfield
Hall. Cornell University. Ithaca NY 14851. Copyright 1986.

van Diepen, C.A., Van Keulen, H., Wolf, J., & Berkhout, J.A.A. 1991. Land
Evaluation: from Intuition to Quantification, in Advances In Soil
Science, Stewart, B.A., Editor. New york: Springer. p. 139-204.

van Wambeke, A. and T. Forbes, 1986 (Eds). Guidelines for Using Soil
Taxonomy in the Names of Soil Map Units. SMSS Technical
Monograph no. 10. SMSS-SCS, USDA- Cornell University.

Walmsley (1997). Soil Inventory Methods for British Columbia. The


Resources Inventory Committee (RIC).
http://srmwww.gov.bc.ca/risc/pubs/teecolo/soil/index.htm

Wood, S.R. and F.J. Dent, 1983. LECS, A Land, Evaluation Computer System.
Methdodology. Min. Agric. Govt. Of Indonesia/ FAO,
AGOF/INS/78/006. Manual 5.
Young, A., 1976. Tropical Soils and Soil Survey. Cambridge University Press.
Cambride.

M. Luthfi Rayes lahir di Sumbawa, 5 Mei 1954.


Memperoleh gelar Sarjana (S1) dari Jurusan Tanah dan
Pemupukan, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya,
Malang, Januari 1978. Pada tahun 1985 mengikuti
pendidikan Postgraduate Diploma bidang Survei Tanah di
International Institute for Aerospace Survey and Earth
Sciences (ITC) di Enchede, The Netherlands. Pada tahun
1987 di perguruan tinggi yang sama mengikuti Program Master of Science
dan mendapat gelar M.Sc. pada tahun 1988. Memper-oleh gelar Doktor
(S3) dari Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Tanah pada tahun
2000.

Bekerja sebagai Dosen di Jurusan Tanah Fakultas pertanian Universitas


Brawijaya sejak tahun 1980 dan kini menjabat sebagai Ketua Jurusan
Tanah. Selain itu, penulis juga menjadi dosen pada Program Pascasarjana,
unversitas Brawijaya.

Sejak tahun 1980-an, penulis ikut terlibat dalam berbagai kegiatan survei
dan pemetaan tanah di beberapa daerah di Indonesia, mulai dari proyek
P3MT, LREP I hingga LREP II.

Penulis mengajar beberapa mata kuliah untuk mahasiswa S1 Universitas


Brawijaya, antara lain Dasar-dasar Ilmu Tanah, Morfologi dan Klasifikasi
Tanah, Survei Tanah dan Evaluasi Lahan, Taksonomi Tanah, Dasar-dasar
Penginderaan Jauh dan Interpretasi Foto Udara, Sistem Informasi Sumber
Daya Lahan serta Dasar-dasar Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Pada Program Pascasarjana Unibraw, penulis mem-beri mata kuliah
Pedologi, Evaluasi Lahan dan Penggunaan Lahan, serta Sistem Informasi
Geografi .

Buku yang sudah diterbitkan adalah Tanah Sawah, (bersama prof.Dr. Ir. H.
Sarwono Hardjowigeno, M.Sc.), Deskripsi ProfiI Tanah di Lapangan.
l

You might also like