You are on page 1of 18

STATUS DAN WEWENANG DIKSA

STATUS DAN WEWENANG DIKSA

Status dan wewenang Diksa atau Sang Diksita ( Sulinggih) ada termuat di dalam beberapa pusta
ka agama Hindu. Di antaranya Sarassamuscaya menguraikan : “ Sang apta, sanga sistacara, sang
panadahan upadesa”. Artinya kepada sulinggih ada tiga kekuatan suci pada pribadinya yaitu yan
g mengetahui (berilmu tinggi), kehidupan suci dan merupakan tempat orang memperoleh keben
aran / dharma.

Rontal Bhisma Parwa menguraikan bahwa sang pandita wenang muput upakara / yadnya : “ Kali
nganya kantas kreta dening jnana”. Artinya pada hakekatnya Karma Yadnya ( upakara) itu dipim
pin dan diselesaikan oleh jnana (ilmu suci keagamaan) atau yang memiliki ilmu keagamaan.

Rontal Udiyoga ada menyebutkan : “ Apan hana dharma prabala ring sang maha widon, matan
gyan wenang sira mantranang waneh”. Artinya karena dharma pada sulinggih itu maha kuat sehi
ngga dapat menyempurnakan pihak lain yang dengan kata ( mantra) dapat menyelesaikan upaka
ra / yadnya.

Rontal Bomantaka ada menyebutkan : “ Dharma ri sang pinandita tan mahardika, pinaka patirtan
ing jagat”. Artinya bahwa kewajiban hidup dari sulinggih adalah membebaskan jiwa pikirannya da
ri hawa nafsu ( dasendrya) sehingga gejolak suka dukanya di dalam kehidupan tidak menggetark
an kesucian pribadinya dengan kewajiban pada masyarakat menyelesaikan ( muput) upakara yad
nya untuk kesucian jagat.

Dalam rontal Sesana demikian pula Brati Sesana, Sila krama juga menguraikan tentang kewajiban
suci bagi Sulinggih adalah untuk menyelesaikan atau muput upakara / yadnya yang dilaksanaka
n oleh masyarakat termasuk memberikan bimbingan keagamaan dan kewajiban dharma loka pala
sraya, artinya selalu memenuhi permintaan masyarakat dalam hal menyelesaikan (muput) upaka
ra yadnya.

Sehubungan dengan status dan wewenang sulinggih berdasarkan uraian di atas dapatlah diketah
ui bahwa para sulinggih mempunyai kewajiban dan tugas tertentu dalam kehidupannya sehari –
hari.

A. Wewenang para diksa secara umum

Adapun wewenang diksa secara umum yaitu memimpin umat – umat dalam bidang hidupnya u
ntuk mencapai kebahagiaan lahiriah batiniah di dalam melaksanakan upacara yadnya di masyarak
at. Selain dari hal tersebut juga ada diuraikan beberapa wewenang para diksa sebagai berikut :

1. Berbuat kerti : berarti melakukan pertolongan terhadap semua makhluk terutama manusia.

2. Taat dengan brata : artinya taat melakukan puasa sebagai pantangan seorang sulinggih terma
suk Yama brata dan Nyamabrata.

3. Samadi : yaitu sering melatih diri dalam ajaran yoga antara lain Asana, Pranayama, Darana, D
yana, Pratiara, Yama, Nyama dan Samadi. Samadi dalam pengertian ini berarti memusatkan pikir
an sehingga dapat bersatu dengan Tuhan.

4. Aji adyatmika : adalah belajar untuk mengetahui ilmu kebatinan.

5. Aji tarka : berarti tekun mempelajari tentang huruf suci yang terdapat dalam badan.

6. Tri kaya parisudha : yaitu tiga perbuatan yang patut disucikan.


7. Sojaring manu : adalah mengetahui sekalian ajaran – ajaran orang suci terutama Manawa Dha
rmasastra dan ajaran tata tertib kesusilaan serta pengetahuan hukum.

8. Kamoksan : artinya harus mempunyai tujuan hidup bersatu dengan asalnya yaitu Tuhan Yang
Maha Esa.

9. Asta brata : artinya delapan tindakan yang baik / dharma :

- Akrodha : artinya tidak pernah marah.

- Satyam : artinya berbicara yang benar atau tepat pada janji.

- Samwibaga : artinya bersifat adil dan jujur.

- Arjawam : artinya berpendirian teguh.

- Sekapraya : artinya senang membantu dan menolong sesama makhluk.

- Awyawahara : artinya menghindari semua macam pertengkaran.

- Wakparusya : artinya berbudi bahasa yang baik.

- Saputram : artinya mempunyai keturunan yang sah.

10. Bhuana rwa : yaitu harus mempunyai pengetahuan filsafat makrokosmos dan mikrokosmos at
au Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
11. Desa pakraman : yaitu harus mengetahui dan menghayati tata tertib aturan adat dari desa.

12. Panyupatan mahayuning rat : yaitu segala pengetahuan menyucikan, menyelamatkan alam be
serta isinya.

13. Tattwa jnana : yaitu agar mengetahui dan memiliki pengetahuan tentang hakekat kebenaran
yang hakiki, terutama hubungan jiwa dengan Tuhan.

B. Wewenang para diksa secara khusus

Berdasarkan ucap dari beberapa sastra-sastra yang ada para diksa berhak muput segala upakara
/ yadnya baik yang rutin ( nityam eka yadnya) maupun yang bersifat suatu karya ( anityam eka
yadnya). Jadi muput yang di maksudkan adalah dapat menyelesaikan yadnya di dalam upacara k
eagamaan dari tingkat kecil ( nista) sampai tingkat besar ( uttawa), seperti misalnya ngarga tirtha
yang artinya membuat atau “ member” dengan puja wedanya untuk upacara itu.

Dalam melaksanakan suatu upacara yang besar, seperti Tawur Kasanga, Panca Walikrama, Eka D
asa Rudra biasanya yang muput adalah Sang Tri Sadaka. Sang Tri Sadaka yang dimaksud adalah
Sulinggih Siwa, Buddha atau sering juga diucapkan Sang Resi, Siwa Sogata. Ketiga Sulinggih ini
mempunyai wewenang khusus sebagai berikut :

1. Sang Sulinggih Siwa : sebagai pembersih atau menyucikan alam atas yaitu akasa. Melalui p uja
nya Sang Sulinggih Siwa berwenang menghaturkan munggah ke sanggar surya yang maksudnya
mempersembahkan yadnya dari alam atas ke bawah. Sulinggih Siwa berasal dari mazab Siwa. Ar
tinya Sang Sulinggih Siwa memiliki keahlian menyucikan alam atas dan menurunkan kekuatan da
ri Sang Hyang Widhi.

2. Sang Sulinggih Buddha : mempersembahkan atau mengaturkan yadnya pada alam tengah ata
u awang – awang. Sang Sulinggih Buddha berasal dari mazab Buddha yang memiliki keahlian m
enyucikan alam tengah dan mempertemukan kekuatan suci Hyang Widhi dengan kekuatan Bhuta
– kala yang telah disomya di alam bawah.

3. Sang Sulinggih Resi, Bhujangga, Sengghu : beliau mempunyai wewenang sebagai pembersih a
tau menyucikan alam bawah ( bumi sapuh jagat). Beliau mempunyai keahlian menyucikan alam
bawah dan untuk nyupat Bhuta – kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan Bhuta – kala sehingg
a menjadi somya.

SÃSANA DIKSA

A. S ã s a n a.

Sãsana adalah bahasa Sanskerta artinya tempat duduk, peraturan, hukum. Jadi sasana berarti per
aturan – peraturan dalam pengendalian diri baik lahiriah maupun batiniah. Sehubungan dengan
“ diksa”, sasana dapat di artikan tingkah laku atau norma – norma kesusilaan yang luhur dari pa
ra Sulinggih (Wiku). Di dalam Silakrama ditekankan pada ajaran Yamabrata dan Nyamabrata atau
Panca Yamabrata dan Panca Nyamabrata.

1. Yamabrata ( Panca Yamabrata)

Yamabrata berarti brata pengendalian diri untuk mencapai kesempurnaan rokhani dan kesucian b
athin berupa Dharma dan Moksa. Panca Yamabrata (Yamabrata) itu terdiri dari Ahimsa, Brahmac
ari, Satya, Awyawaharika, Asteya sebagai berikut :

a. Ahimsa : artinya tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai atau tidak mengambil nyawa
makhluk apapun. Namun Himsa (menyakiti/pembunuh) itu boleh dilakukan untuk keperluan Dhar
ma, keperluan agama, bersedekah, untuk Dewapuja, Pitrapuja, Astithipuja ( untuk disuguhkan kep
ada tamu). Bila penjahat telah dating dan mengancam nyawa anak atau istrinya yang tidak ber d
osa, wiku boleh melakukan Himsa.
b. Brahmacari : artinya bergerak di dalam ilmu pengetahuan suci Weda atau berkecimpung di d
alam ajaran suci kerokhanian.

c. Satya : artinya benar setia atau jujur.

Satya yang berarti benar setia atau jujur memegang peranan yang penting di dalam ajaran sastr
a kerokhanian untuk mencapai kesempurnaan rokhani kebahagiaan akhirat, penjelmaan yang baik
dan kelepasan atau Moksa. Wiku hendaknya satya dalam pikiran, perkataan, perbuatan serta juj
ur dan satya terhadap teman, terhadap janji.

d. Awyawahara atau Awyawaharika : artinya peraturan hidup atau undang – undang. Para Wiku
hendaknya melakukan usaha – usaha yang selalu mengacu pada kedamaian dan ketulusan. Juga
disebutkan Awyawahara berarti tidak terlibat atau terikat akan gelombang hidup sehari – hari ata
u pasang surut hidup keduniawian. Jika seorang sulinggih dalam kehidupan sehari – harinya mas
ih terikat akan hal – hal keduniawian, maka beliau akan terganggu ketentramannya termasuk piki
ran dan kesucian batinnya.

e. Asteya artinya tidak mencuri atau berpantang terhadap perbuatan mencuri memperkosa hak
milik orang lain. Mengambil hak milik orang lain, mencuri dan memaksa disebut steya atau staiy
a.

2. Niyamabrata ( Panca Niyamabrata)

Selain dari Yamabrata seorang Wiku hendaknya berpegang teguh pada ajaran Niyamabrata. Nya
mabrata berarti pengendalian diri untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin berupa Dh
arma dan Moksa. Naskah – naskah Jawa Kuna seperti Wrhaspati Tattwa, Pancasiksa dan Silakram
a, ketiga – tiganya menyebut Niyamabrata sama.

Salah satu sloka dari Silakrama menguraikan tentang Niyamabrata sebagai berikut :
“ Akrodha guruś uś rusa,

saucam ãhãralaghwa,

apramãdac ca pancaite,

niyamãh ś iwabheasitah”.

Artinya :

Yang bernama akrodha adalah tidak suka marah, yang bernama guru susrusa ialah ingin berhub
ungan rapat dengan guru karena ingin mendengar pelajaran guru, yang bernama sauca selalu
mendoa mohon kebersihan lahir bathin terhadap Tuhan, yang bernama aharalaghawa tidak semb
arangan makanan yang dimakan, apramada namanya tidak segan – segan membiasakan ajaran k
ependetaan ( kerokhanian), kelima itu bermakna Niyamabrata sabda Bhatara Siwa.

Selanjutnya Panca Niyamabrata itu diuraikan sebagai berikut :

a. Akrodha : artinya tidak marah atau tidak dikuasai oleh kemarahan. Dalam Silakrama ada diurai
kan antara lain :

“Krodhãt bhawati samamohah,

sammohat smrtti wibramah,

smrtibhramś ãd budhinaśo,
buddhinãsat pramaśyati”.

Artinya :

Dari marah timbul kebingungan, karena kebingungan ingatan menjadi kalut, karena kekalutan ing
atan kebijaksanaan jadi lenyap, karena lenyapnya kebijaksanaan seseorang akan hancur. Demikian
lah hendaknya para Wiku insaf dengan kejahatan Krodha itu dan para Wiku hendaknya memega
ng teguh brata Akrodha dari Niyamabrata.

b. Guru ś uś rusa : artinya mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran - ajaran dan n
asehat - nasehat Guru. Guruś uś rusa itu bertalian erat dengan Gurubhakti atau sujud terhadap G
uru dan Asewaka guru yaitu mengabdi kepada Guru.

c. Ṥ auca : berarti kebersihan, kemurnian atau kesucian lahir bathin. Dalam Wrhaspati Tatwa dan
Panca siksa ada diuraikan :

“ Ṥ auca ngaranya nitya majapa maradina sarira”.

Artinya :

Ṥ auca namanya tetap berdoa dan membersihkan tubuh.

d. Aharalaghawa : artinya makan serba ringan tidak semau - maunya saja. Oleh karena itu disar
ankan hendaknya orang - orang yang ingin mencapai kesempurnaan, harus berbadan sehat, kar
ena sehat jasmani bias mempengaruhi keadaan rokhani. Makan yang melebihi batas kemampuan
perut untuk mencernanya akan membawa penyakit. Dalam Slokantara ada menguraikan tentang
Aharalaghawa sebagai berikut :
“Aharalaghawa ngaranya adangan ring pinangan, tan pinangan tan pinangan asing dinalih camah
ring loka, kunang yan amangan asing dinalih, camah de sang suddha brata, tan brahma saiwa
sogata ngaranya, janma tuccha ngaranya, yeka pataka, tan wurung tumampuh ring kawah temah
anya”.

Artinya :

Aharalaghawa namanya serba ringan dengan apa yang dimakan, segala yang disebut tidak suci
atau kotor di dunia tidaklah dimakan, maka bila makan segala yang disebut tidak suci, oleh ora
ng suci yang melakukan brata, tidak Brahmana Siwa Buddha namanya, manusia hina namanya, b
erdosalah ia pasti jatuh di dalam neraka akhirnya.

e. Apramada : artinya tidak bersifat ingkar atau mengabaikan kewajiban. Dapat pula diartikan taa
t tanpa ketekeburan mempelajari dan mengamalkan ajaran suci. Dalam Pancasiksa diuraikan tent
ang arti Apramada sebagai berikut :

“ Apramada ta kita tan paleh - paleha asing sakaryanta, nguniweh sapangutus sang Guru”.

Artinya :

Apramadalah kamu tidak segan - segan terhadap tiap - tiap yang kamu kerjakan, lebih - lebih
dengan perintah Guru.

Demikianlah uraian Yamabrata dan Niyamabrata yang menjadi dasar sasana atau kesusilaan untu
k mencapai kesempurnaan rokhani dan kesucian bathin. Gabungan antara Yamabrata dan Niyam
abrata itu disebut pula Dasasila, yaitu sepuluh aturan-aturan hidup kesusilaan bagi orang-orang
yang melakukan atau hendak menceburkan diri dalam hidup kerokhanian.
B. Pantangan.

Para Sulinggih atau Wiku dalam kehidupan sehari - hari memiliki wewenang dan sasana tertentu.
Selain daripada itu para Sulinggih atau Diksa memiliki aturan - aturan tertentu yang merupakan
pantangan atau larangan bagi seorang akan dapat dibedakan atas dua bagian sebagai berikut :

1. Pantangan atau larangan dalam hubungan dengan perilaku Wiku sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari - hari para Wiku atau Diksa, patut menjauhi pantangan atau larangan y
ang dapat menodai dan mengurangi kesucian, kesempurnaan bathin seorang Wiku antara lain :

a. Pantangan atau larangan perilaku yang patut dijauhi dengan Guru (Nabe) sebagai berikut :

- Janganlah tidak bakti terhadap Nabe.

- Jangan mencaci maki Nabe.

- Jangan tidak tulus, jangan menentang segala perintah Nabe.

- Jangan menginjak bayangan Nabe.

- Jangan menduduki tempat duduk Nabe.

- Tidak boleh duduk berhadap-hadapan dengan Nabe.


- Tidak diijinkan memutus-mutus pembicaraan Nabe.

- Tidak boleh berjalan mendahului Nabe.

- Tidak boleh tidak menuruti apa yang diucapkan oleh Nabe.

- Tidak boleh menoleh ke sebelah dan ke belakang bila Nabe berbicara.

- Tidak boleh menyahut dengan ucapan yang tidak menyenangkan Nabe.

- Tidak boleh tidak menuruti nasehat Nabe walaupun bagaimana marahnya.

b. Pantangan atau larangan perilaku Wiku dalam pergaulan sehari-hari :

- Tidak membunuh.

- Tidak berdusta.

- Tidak suka bertengkar.

- Tidak menunjukkan kecakapan.

- Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain.

- Tidak mengambil milik orang lain bila tidak dapat persetujuan kedua belah pihak.
- Tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai atau tidak mengambil nyawa apapun.

- Tidak berkata - kata yang tidak selayaknya.

- Tidak boleh berhasrat jahat terhadap orang lain.

- Tidak boleh mengadakan hubungan sex, bila bukan istrinya.

- Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istri pada hari-hari yang terlarang.

- Tidak mengucapkan ucapan-ucapan yang tidak sopan.

- Tidak boleh berkata-kata yang pedas dan menyakiti telingga.

- Tidak boleh berkata-kata sambil memaki-maki sumpah serapah.

- Tidak boleh berjual beli atau berdagang ( Adolawiya).

- Tidak boleh terlihat utang-piutang ( Rnarni).

- Tidak boleh segala usaha untuk mencari keuntungan (terlarang).

- Tidak boleh mengambil hak milik orang lain dengan memaksa.

- Tidak boleh mencopet, merampok.


- Tidak boleh marah atau bersifat pemarah (dikuasai kemarahan).

- Tidak boleh ingkar atau mengabaikan kewajiban.

- Tidak mementingkan diri sendiri.

- Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal.

- Tidak berpikiran buruk terhadap makhluk lain.

- Tidak mengingkari akan karma-phala.

- Tidak mencaci maki.

- Tidak berkata kasar kepada makhluk lain.

- Tidak memfitnah.

- Tidak ingkar pada janji atau ucapan.

- Tidak berjina.

- Tidak boleh memberikan tempat pada pencuri.

- Tidak boleh memberikan makan dan minum pada pencuri.


- Tidak boleh memberi persembunyian pada pencuri.

- Tidak boleh menerima hasil pencurian.

- Tidak boleh memberi pertolongan pada pencuri.

- Tidak boleh memberi petunjuk jalan pada pencuri.

- Tidak boleh ikut campur pada pencuri.

- Tidak boleh menyuruh atau memerintah mencuri.

- Tidak boleh berkenalan dengan pencuri.

- Tidak boleh bersahabat dengan pencuri.

c. Pantangan atau larangan yang lainnya :

- Tidak boleh mengendarai sepeda motor, mobil.

- Tidak boleh terlibat tindak pidana ( pengadilan).

2. Pantangan atau larangan dalam hal makanan, minuman dan tempat.


Para Diksa atau Wiku untuk kesempurnaan dan kesucian bathin dalam kehidupan sehari-hari pat
ut menjauhi aturan-aturan yang menyangkut pantangan atau larangan dalam hal makanan, minu
man, dan tempat tinggal sebagai berikut :

a. Pantangan terhadap makanan dan minuman.

- Tidak boleh makan daging babi peliharaan ( celengwanwa).

- Tidak boleh makan daging ayam yang terdapat di desa (ayamwanwa)

- Tidak boleh makan daging anjing, kucing, tikus, ular, harimau (macam), rasi ( rase), kera ( wre
), kera hitam ( lutung), tupai (wut), semacam kadal yang suaranya besar ( wiyung), kade (dingd
ang kadal), dan binatang-binatang yang tidak dikenal serta binatang yang berkuku satu, berjari li
ma ( pancanaka).

- Seorang Wiku tidak boleh makan binatang kecil-kecil yang hidup di dalam tanah, belut ( kutis
a), ulat yang berumah di dalam tanah dan binatang yang kecil-kecil lainnya ( pramikrini) seperti
lalat ( laler), nyamuk ( namuk), pijat-pijat, kutu putih (tuma), kutu anjing ( limpit).

- Seorang Sulinggih atau Wiku tidak boleh memakan daging kuda, unta ( konta), keledai ( gard
obha), dan daging sapi (gomangsa).

- Tidak boleh makan daging burung buas yang memakan sesamanya (kurapaksi) seperti burung
hantu, burung elang (rajawali), burung yang berwarna hitam (nilapaksi), seperti burung gagak, b
urung jalak, burung cangkilung, burung yang dapat berbicara manusia seperti burung kakak tua
(atat), burung beo ( siung), burung jalak.
- Seorang Wiku atau Diksa tidak boleh makan daging burung bangau ( baka), jenis burung-buru
ng yang waktu makan mematuk-matukkan paruhnya, burung berkaki jarang (koyasyhi), unggas p
enyelam yang hidup dari memakan ikan.

- Seorang Wiku atau Sulinggih tidak boleh memakan jenis tumbuh-tumbuhan seperti bawang pu
tih, bawang bakung, bawang merah, cendawan dan semua tumbuh-tumbuhan yang berasal dari
bahan-bahan busuk, semuanya itu tidak cocok dimakan oleh seorang Wiku.

- Ikan yang tak boleh dimakan oleh Wiku adalah ikan yang terlalu besar ( awak atyanta ring go
ng) dan ikan yang buas (minarodra).

- Seorang Wiku atau Sulinggih tidak boleh makan makanan yang tidak suci dan minuman keras
yang terlarang.

- Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau terleta
k di bawah benda-benda yang dipandang tidak suci.

- Tidak boleh makan, makanan yang telah dapat dimakan oleh binatang seperti anjing, ayam da
n babi, hal yang demikian terlarang.

- Makanan yang diragukan kesuciannya tidak boleh dimakan.

- Tidak boleh makan nasi-nasi yang dimasak dengan biji wijen, gandum dicampur mentega, susu
dan gula, nasi campur, susu dan kue tepung yang tidak dibuat untuk upacara, bias dimakan se
telah untuk upacara atau diperciki tirtha ( air suci).

- Seorang Wiku tidak boleh minum minuman keras seperti tuak atau nira dan sejenisnya.
- Tidak boleh minum semua jenis susu dari binatang buas dan susu sapi atau kerbau yang tela
h berubah atau rusak.

- Tidak boleh minum cairan merah dari kayu dan getah dari takikan ( torehan pada batang poh
on), susu kental dari sapi yang merupakan sisa telah sapi itu menyusui.

b. Tempat yang terlarang bagi seorang Wiku atau Diksa :

- Tempat yang terlarang adalah tempat tanah atau pekarangan yang pernah ditempati Wiku tida
k boleh ditempati, setelah lewat 24 tahun boleh.

- Seorang Wiku tidak boleh tinggal di tanah yang dikerjakan oleh petani biasa.

- Seorang Wiku tidak boleh mengunjungi rumah orang yang mempunyai pekerjaan hina, misalny
a rumah tukang potong (jagal), lebih-lebih makan di rumahnya.

- Seorang Wiku atau Sulinggih tidak boleh duduk di tempat perjudian, segala macam permainan
bertaruh-taruhan tidak boleh dikunjungi.

- Seorang Sulinggih atau Diksa tidak boleh mengadakan perjudian.

Demikianlah jenis-jenis pantangan atau larangan yang patut diindahkan atau dijauhi oleh para Su
linggih atau Wiku.

You might also like