Professional Documents
Culture Documents
Universal
Tugas Antropologi
Keanekaragaman Suku Bali
BAB I
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen
dengan kurang lebih 300 suku bangsa (etnik). Heteroginitas masyarakat yang sangat besar ini
memiliki sistem nilai dan norma budaya masing-masing. Keunikan kebudayaan, yang
kebudayaan itu biasanya menjadi acuan berpikir dan pegangan bertindak, sangat berpengaruh
pada sikap hidup dan pola perilaku dalam masyarakat. Kebudayaan memiliki arti yang sangat
luas dan pemaknaannya sangat beragam, serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia
untuk memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut pandangan tentang
dunia, maupun sistem pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Sistem simbol terekam dalam
pikiran yang dapat teraktualisasikan ke dalam bahasa tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan
tingkah laku manusia.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam tersebut terjadi karena adanya varian
budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal yg dibahas dalam penulisan
ini adalah kebudayaan Bali, kebudayaan Bali merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif
dimiliki oleh masyarakat etnik Bali itu sendiri, bahkan sampai pada tingkat subetnik. Adanya
variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat Bali
tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam organisasi juga tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh varian lokalitas budaya yang berkembang. Birokrasi, sebagaimana
organisasi lainnya yang tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam
aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya
dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi yang berkembang di suatu daerah
tertentu, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang
melingkupinya.
1.2 Profil
Berikut ini adalah informasi profil mengenai propinsi Bali yang berada di Negara
Kesatuan Republik Indonesia :
· Nama Provinsi : Bali
· Tanggal Berdiri : 14 Agustus 1958
· Dasar Pendirian : Undang-Undang No. 84 Tahun 1958
· Ibu Kota : Denpasar
· Luas Wilayah : Kurang lebih 5.632,86 km2
· Posisi/Letak Geografis : 8,3 derajad - 8,5 derajat lintang selatan dan 114 derajat - 116
derajat bujur timur
· Pulau : Pulau Bali
· Jumlah Kabupaten : 8 Kabupaten / 1 kota
8 Kabupaten :
1. Jembrana
2. Tabanan
3. Badung
4. Gianyar
5. Karangasem
6. Klungkung
7. Bangli
8. Buleleng
9. Kota Denpasar
Batas-batas provinsi :
Utara : Laut Bali
Timur : Selat Lombok (Povinsi Nusa Tenggara Barat)
Barat : Selat Bali (Povinsi Jawa Timur)
Selatan : Samudera Indonesia
Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.
Lambang Daerah Bali berbentuk segi lima dengan warna dasar biru tua dengan garis
dipinggir puti. Di dalam segi lima ini terdapat lukisan-lukisan yang merupakan unsure dari
lambang, yaknin :
1) Bintang kuning emas yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa ;
2) Candi yang tertera di tengah-tengah ialah diambil dari candi Margarana yang melabangkan
jiwa kepahlawanan rakyat Bali dalam menentang penjajah ;
3) Candi bentar yang artistic merupakan lambing keagamaan rakyat Bali ;
4) Rantai yang melintang dari kiri ke kanan melambangkan persatuan dan jiwa gotong-royong ;
5) Kipas yang terlukis sebelah kiri dan kanan bunga teratai melambangkan kesenian dan
kebudayaan daerah Bali ;
6) Bunga teratai (padma) yang terlukis sebagai dasar di bawah candi melambangkan singgasana
Ciwa ;
7) Padi dan kapas melambangkan kemakmuran.
Tata warna yang terpakai dalam lambing daerah ini, seperti :
a) Biru tua yang mendasari lambing ini, yang disertai tulisan “Bali Dwipa Jaya”, berarti ‘toleransi’
;
b) Kuning emas yang mewarnai gambar bintang, candi, candi bentar, pinggiran padi, kapas dan
kipas ini melambangkan maksud yang luhur dan agung ;
c) Merah yang mewarnai gambar rantai, padma di muka candi mengandung arti sifat yang
perwira; dan
d) Putih yang mewarnai dasar tulisan, bunga kapas, buah padi, dan pinggiran lambing berarti suci.
· Topografi
Terbentang di tengah-tengah Pulau Bali adalah pegunungan yang memanjang dari barat ke
timur. Sepanjang pegunungan ini ada beberapa gunung yang merupakan puncaknya yaitu
Gunung Merbuk (1.386 m), Gunung Patas (1.414 m), Gunung Watukaru (2.276 m), Gunung
Pahen (2.069 m), Gunung Penggilingan (2.098 m), Gunung Batur (1.717 m), Gunung Agung
(3.140 m), dan Gunung Seraya (1.174 m). Gunung Batur dan Gunung Agung adalah gunung
berapi yang masih aktif.
Dibagian selatan Pulau Bali terdapat semenanjung bukit yang tingginya 202 m. Sedangkan
Pulau Nusa Penida yang merupakan perbukitan kapur dan puncak tertinggi yaitu 529 m.
Di tengah-tengah Pulau Bali terdapat tiga buah danau, masing-masing Danau Beratan
dengan luas ± 370 ha, Danau Tamblingan dengan luas ± 110 ha. Di sebelah timur terdapat
danau yang berkepundan yaitu Danau Batur, luasnya ± 1.718,75 ha.
Dari pegunungan yang memanjang ini mengalirlah sungai-sungai kea rah selatan dan utara
tetapi yang ke selatan lebih panjang daripada yang ke utara. Sungai-sungai ini ada yang bersifat
permanen yang mengalirkan air sepanjang tahun dan ada yang bersifat intermittent yang hanya
mengalirkan air pada musim hujan saja.
1.4 Sejarah
Denpasar adalah ibu kota Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan
bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya
yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah
melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali
membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain.
Sebagaimana dengan wilayah lain di Nusantara, masa-masa awal kehidupan bermasyarakat di
Bali dikelompokkan sebagai jaman pra sejarah.
Pada masa pra sejarah ini tidak ditemukan catatan-catatan yang menggambarkan
tatanan kehidupan bermasyarakat. Yang menjadi acuan adalah temuan berbagai peralatan yang
dipergunakan sebagai sarana menopang kelangsungan hidup manusia Bali ketika itu. Dari
berbagai temuan masa pra sejarah itu, jaman pra sejarah Bali - sebagaimana dengan
kebanyakan wilayah lain - meliputi tiga babak tingkatan budaya. Lapis pertama adalah masa
kehidupan yang bertumpu pada budaya berburu. Secara alamiah, berburu adalah cara
mempertahankan kelangsungan hidup yang amat jelas dan mudah dilakukan. Dengan alat-alat
sederhana dari bahan batu, yang peninggalannya ditemukan di daerah Sembiran di Bali utara
dan wilayah Batur, manusia Bali diperkirakan mampu bertahan hidup
Peninggalan peralatan sejenis yang lebih baik, dengan menggunakan bahan tulang,
ditemukan pula di gua Selonding di daerah Bulit, Badung Selatan. Ini menunjukkan bahwa
masa berburu melewati masa cukup panjang disertai dengan peningkatan pola pikir yang makin
baik. Masih berdasar pada temuan benda-benda purbakala, tergambar bahwa Bali mulai
meninggalkan masa berburu dan masuk pada masa bercocok tanam. Kendati sudah memasuki
tatanan hidup yang lebih terpola pada masa bertanam, kelompok manusia Bali pada masa itu
dipastikan hidup secara berpindah. Berbagai peninggalan sejenis ditemukan sebagai temuan
lepas di berbagai wilayah Bali barat, Bali utara, dan Bali selatan.
Tatatan hidup dengan permukiman diyakini sebagai peralihan tatanan hidup manusia
Bali dari jaman pra sejarah ke jaman sejarah. Peninggalan purbakala berupa nekara perunggu
dan berbagai barang dari bahan logam di daerah Pejeng Gianyar, membuktikan bahwa kala itu
telah terbentuk tatanan masyarakat yang lebih terstruktur. Berbarengan dengan peralihan jaman
pra sejarah ke jaman sejarah, pengaruh Hindu dari India yang masuk ke Indonesia diperkirakan
memberi dorongan kuat pada lompatan budaya di Bali.
Masa peralihan ini, yang lazim disebut sebagai masa Bali Kuno antara abad 8 hingga
abad 13, dengan amat jelas mengalami perubahan lagi akibat pengaruh Majapahit yang berniat
menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa Gajah Mada di awal abad 13. Tatanan
pemerintahan dan struktur masyarakat mengalami penyesuaian mengikuti pola pemerintahan
Majapahit. Benturan budaya lokal Bali Kuno dan budaya Hindu Jawa dari Majapahit dalam
bentuk penolakan penduduk Bali menimbulkan berbagai perlawanan di berbagai daerah di
Bali. Secara perlahan dan pasti, dengan upaya penyesuaian dan percampuran kedua belah
pihak, Bali berhasil menemukan pola budaya yang sesuai dengan pola pikir masyarakat dan
keadaan alam Bali. Model penyesuaian ini kiranya yang kemudian membentuk masyarakat dan
budaya Bali yang diwarisi kini menjadi unik dan khas, menyerap unsur Hindu dan Jawa
Majapahit namun kental dengan warna lokal. Pola perkembangan budaya Bali di masa-masa
berikutnya, jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan, secara alamiah mengikuti alur yang
sama yaitu menerima pengaruh luar yang lebur ke dalam warna budaya lokal.Sejarah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bahasa Bali
Bahasa Bali adalah wahana budaya vocal masyarakat Bali, bahasa perolehan pertama
(bahasa ibu) masyarakat Bali. Bahasa itu juga salah satu unsur budaya nasional bangsa
Indonesia. Bagi rakyat Bali selain berfungsi sebagai alat komunikasi vocal, juga berfungsi
sebagai penunjuk identitas rakyat Bali.
Penutur bahasa Bali adalah masyarakat Bali dengan perkiraan jumlah tiga juta orang.
Mereka berdiam terutama di wilayah Provinsi Bali. Di bebrapa wilayah Indonesia di luar
Provinsi Bali, penutur bahasa Bali terdapat pula di Lombok Barat, di beberapa tempat
transmigran orang Bali di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawam dan Timor Timur.
Penutur bahasa Bali umumnya penganut agama Hindu seperti yang dianut oleh masyarakat
penutur bahasa Bali di wilayah Bali pada umumnya.
Bahasa Bali sangat menarik sejumlah peneliti, baik peneliti asing, maupun peneliti
bangsa Indonesia. Peneliti bangsa Indonesia terutama peneliti penutur bahasa Bali yang
umumnya berdomisili di Bali.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu masuk ke Bali pada mulanya
melalui media bahasa Sanskerta kemudian sejak pemerintahan
Mahendradattagunapriyadharmapatni (permaisuri raja Dharmodayana Varmedeva), maka
bahasa Jawa Kuno menggantikan media berbagai susastra Hindu dan hal ini tampak
pengaruhnya terhadap bahasa Bali dewasa ini. Dalam mantra stuti masih menggunakan
bahasa Sanskerta4.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran
yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Di
pekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon
pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat Bali akan dilanjutkan
dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan
sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan
lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara
penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai
kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang
bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah
siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
Ø Upacara Mesegehagung
Ø Madengen-dengen
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari
energy negative dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau
Balian.
Ø Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi
Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan
penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang
telah dilakukan pada acara-acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu
tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh
seorang pemangku merajan.
a). Perkawinan
Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System
kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita
yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan
karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan
gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin (
petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah
menghilang.
b). Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu
masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal
adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum
kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri
ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu:
Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya
Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
c). Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu :
desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam
hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah
kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan,
sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
Ketika Agama Hindu masuk ke Bali, masyarakat Bali saat itu telah menganut
kepercayaan kepada roh suci leluhur, adanya penguasa alam, dan gunung-gunung yang
dianggap suci. Agama Hindu yang memiliki keyakinan (Sraddha) yang sama dengan
kepercayaan setempat, yakni Pitrapuja (pemujaan kepada roh suci leluhur) mudah saja
diterima oleh masyarakat Bali saat itu. Dan hal tersebut berlangsung hingga saat ini.
Kedatangan Agama Hindu ke Bali tidak mengubah kepercayaan setempat tetapi memberikan
pencerahan dengan lebih mengembangkan kepercayaan setempat.
Pemujaan kepada penguasa tertinggi masyarakat Terunyan yakni Da Tonta berupa
arca batu megalitik, dipermulia dengan menempatkan kata Bhattara pada nama sebelumnya
dan kemudian disemayamkan pada bangunan Meru. Hal ini dapat diketahui antara lain dari
prasasti Terunyan yang berasal dari 818 Saka (896 M), isinya tentang pemberian ijin kepada
nanyakan pradhana dan bhiksu agar membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa
Banua Bharu. Prasasti lainnya berasal dari tahun 813 Saka (891 M) isinya tentang pemberian
ijin kepada penduduk desa Turuñan untuk membangun kuil bagi Bhatara Da Tonta. Oleh
karena itu mereka dibebaskan dari beberapa jenis pajak, tetapi mereka ini dikenakan
sumbangan untuk kuil tadi. Beberapa jenis pajak harus dibayar setiap bulan Caitra dan
Magha, pada hari kesembilan (mahanavami). Bila ada utusan raja datang menyembah
(sembahyang) pada bulan Asuji, mereka harus diberi makanan dan sebagainya (Sartono,
1976:136). Dalam prasasti itu juga menyebutkan haywahaywan di magha mahanavami
(Goris, 1954:56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata mahaywahaywa (dari kata mahayu-
hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di magha mahanavami berarti perayaan Magha
Mahanavami. Di India Mahanavami identik dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan
kepada para leluhur (Dubois, 1981:569). Swami Sivananda (1991:8)
mengidentikkan Dasara dengan Durgapuja yang dirayakan dua kali setahun, yakni
Ramanavaratri atau Ramanavami pada bulan Caitra, dan Durganavaratri atau Durganavami
pada bulan Asuji (September-Oktober). Perayaan ini disebut juga Wijaya Dasami atau
Sraddha Wijaya Dasami (hari pemujaan kepada leluhur dan perayaan kemenangan selama
sepuluh hari). Hari raya ini di Bali (dirayakan dua kali dalam setahun) dikenal dengan nama
Galungan yang hakekatnya adalah Durgapuja atau Sraddha Vijaya Dasami (hari pemujaan
kepada leluhur dan perayaan kemenangan selama sepuluh hari) yang dirayakan secara besar-
besaran sejak Gunapriyadharmapatni di-dharma-kan sebagai Durgamahisasuramardhini di
pura Kedharma Kutri, Blahbatuh, Gianyar5.Beberapa hari raya Hindu di India dipribhumikan
ke dalam bahasa lokal antara lain Ayudhapuja di Bali disebut Tumpek Landep, Pasupatipuja
disebut Tumpek Uye, dan Sankarapuja disebut Tumpek Pengarah. Yatra disebut Melis,
Makiyis, atau Melasti dan beberapa persembahan seperti puja disebut daksina, jajan dari
beras berlobang di India selatan disebut Kalimaniarem, di Bali disebut Kaliadrem6 dan
sebagainya. Karena adanya persamaan dalam keyakinan dengan religi prasejarah, maka
masyarakat Bali saat itu tidak kesulitan dalam memeluk Agama Hindu yang ajarannya telah
terdokumentasi dalam bentuk tulisan atau dibawa oleh para pandita.
2. 7 Sistem Kesenian.
Sistem ini (kesenian Bali) walaupun tidak bisa dirunut asalnya secara pasti namun
adanya pertunjukkan wayang kulit yang oleh Brandes disebut sebagai kesenian asli
Indonesia, di India selatan kita jumpai seni yang disebut Kathakali yang mirip dengan
wayang kulit yang dipentaskan baik malam maupun siang hari (seperti wayang lemah),
demikian pula pementasan cerita Ramayana, dan Bhimakumara seperti disebutkan dalam
prasasti Jaha di Jawa Tengah bersumber kepada Ramayana dan Mahabharata yang di India
disebut Ramalila dan Mahabharatalila atau Krishnalila. Beberapa tari lepas di Bali tampak
seperti Bharatnatyam di India. Dalam seni arsitektur, struktur bangunan yang disebut Meru
dapat dijumpai di Nepal dan di India utara7.
1) Seni Bangunan
Seni bangunan nampak pada bangunan candi yang banyak terdapat di Bali, seperti Gapura
Candi Bentar.
2) Seni Tari
Tari tradisional Bali antara lain tari sanghyang, tari barong, tari kecak, dan tari gambuh. Tari
modern antara lain tari tenun, tari nelayan, tari legong, dan tari janger.
Gambar 2. Rahwana dalam tarian kecak epos Ramayana menculik Sita dengan berubah
wujud menjadi seorang kakek tua. (Foto : detik.com)
3) Pakaian daerah
Pakaian daerah Bali sangat bervariasi, meskipun bentuknya hampir sama. Masing-
masing daerah memiliki ciri khas simbolik dan ornamen yang didasarkan kepada
kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dari seseorang juga dapat
diketahui berdasarkan corakbusana dan ornamen perhiasan yang dipakai
Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
a. Udeng (ikat kepala)
b. Kain kampuh
c. Umpal (selendang pengikat)
d. Kain wastra (kemben)
e. Sabuk
f. Keris
g. Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
a. Gelung (sanggul)
b. Sesenteng (kemben songket)
c. Kain wastra
d. Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
e. Selendang songket bahu ke bawah
f. Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
g. Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.
4) Rumah Adat
Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang
mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila
terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan.
Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa
disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus
ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan,
berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu
sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk
ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam
patung.
BAB III
KESIMPULAN
Seperti Indonesia yang memiliki berbagai macam keragaman bahasa dari berbagai
daerah. Begitupun Pulau Bali yang mmiliki keragaman budaya yang dimilikinya. Kebudayaan
itu adalah system nilai dan ide vital yang dianut oleh suatu kelompok bangsa di dalam kurun
waktu tertentu. Bertolak dari pengertian tersebut dapat dipastikan bahwa kebudayaan itu tidak
statis serta mempunyai perbedaan nilai antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula
nilai seni dari suatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya. Terbukti didalam
perkembangan sejarahnya bahwa beberapa seni Bali dapat bertahan sampai berabad-abad . ini
merupakan suatu pertanda bahwa nilai luhur yang terkandung dalam seni tersebut sudah
lestari, dlihat dari segi artistic, estetik, maupun etiknya. Karena dari itu setiap kebudayaan-
kebudayaan yang ada patut dilestarikan agar selalu dikenal dan menjadi jati diri dari setiap
daerah/kepulauan