You are on page 1of 145

LAPORAN HASIL TUTOTIAL

Pembimbing :

dr.Teti Suratika ,Sp.PD

Disusun oleh:

Daffi Pratama
Chandrika Karisa Ismail
Ryko Anggrean
Novan Fachrudin
Ilhami Muttaqin
Lisa Nopiyanti
Siti Nur Fauziah
Tia Gita Wulandari

STASE INTERNA

RSUD CIANJUR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2017

BAB I
Analisa Kasus

Kasus

Pasien seorang laki-laki usia 54 tahun datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan muntah
darah berwarna merah segar. Keluhan disertai dengan mual yang muncul setiap sehabis
makan dan setelah itu pasien muntah. Pasien muntah sehari ±6x/hari. Selain itu pasien juga
merasakan nyeri pada ulu hatinya, lemas dan BAB berwarna hitam. BAK tidak ada keluhan.

Pasien merupakan seorang penderita hipertensi yang rutin memeriksa tekanan darahnya di
puskesmas setiap 1x/ minggu. Pasien menyangkal pernah menderita penyakit kuning
sebelumnya. Pasien menyangkal pernah menderita penyakit DM, Jantung dan Asma. Pasien
merupakan seorang perokok sejak ia masih muda, sehari menghabiskan 1 bungkus
rokok/hari. Pasien menyangkal pernah mengkonsumsi minuman beralkohol sebelumnya.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : komposmentis

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 74x/m, regular, kuat angkat isi cukup

RR : 20x/menit, regular

Suhu : 36,8oC (aksilla)

Sistem Deskripsi

Kepala Bentuk normocephal, warna rambut hitam, distribusi rambut merata, rambut
tidak mudah rontok

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)

Hidung Sekret (-/-), epistaksis (-/-), septum deviasi (-/-), nafas cuping hidung (-)
Mulut Mukosa mulut dan bibir agak kering (+), tidak terdapat sianosis, faring
hiperemis (-), tonsil (T1-T1), stomatitis (-), lidah kotor (-).
Telinga Normotia, simetris, serumen (-/-).
Leher Tidak didapatkan pembesaran KGB, pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP
adanya peningkatan
Thorax Simetris

Jantung Inspeksi: iktus kordis tidak tampak


Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga 5 linea axilaris sinistra
Perkusi: Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung : linea midclavicularis sinistra
Auskultasi: BJ I dan BJ II normal, murmur (-), gallop (-)

Paru Inspeksi : dada simetris (+/+), retraksi dinding dada (-/-) penggunaan
otot bantu pernafasan (-/-)
Palpasi : Vokal fremitus sama di kedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada ke 2 lapang paru, batas paru dan hepar setinggi
ICS 5
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Abdomen Inspeksi : cembung (+), scar (-), caput medusa (-),venektasi vena (-
),asites (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : redup (+), shifting dullness (+)

Ekstremitas teraba hangat, CRT kurang dari 2 detik, sianosis (-/-),palmar eritema (-)
atas edema ( + + )

Rectal Toucher feses hitam (-),spingter ani (+),masa (-)

Kimia klinik

Glukosa Rapid 54 <180 mg/dL


Sewaktu
Elektrolit

Natrium 129.7 135-148 mEq/L

Kalium 3.07 3.50-5.30 mEq/L

Calcium ion 0.98 1.15-1.29 mEq/L

Imunoserologi

Widal

Salmonella Typhi- Negatif Negatif


O

Salmonella Typhi- Positif (+) 1/80 Negatif


H

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan

Hematologi

Hemoglobin 12,8 13.5 – 17.5 g/dl

Hematokrit 34,4 42 – 52 %

Eritrosit 3,81 4.7 – 6.1 10^6/ul

Leukosit 7.0 4.8 – 10.8 10^3/ul

Trombosit 150 150 – 450 10^3/ul

MCV 90.3 80 – 94 fL

MCH 36.9 27–31 pg

MCHC 37.3 33 – 37 %

RDW-CV 15.4 10-15 fL

HDW 3.1 2.2-3.2 fL


MPV 7.9 8 – 12 fL

Differential

Limfosit% 39.0 26 – 36 %

Monosit % 8.7 4-8 %

Neutrofil % 47.1 40–70 %

Eosinofil% 0.8 1-3 %

Basofil% 0.30 0-0.2 %

LUC % 4.1 0-4 %

NRBC% 0.0 0.0-0.20 %

Absolut

Limfosit# 2.71 1.00 – 1.43 10^3/μL

Monosit # 0.61 0.16 – 1.0 10^3/μL

Neutrofil # 3.28 1.8 – 7.6 10^3/μL

Eosinofil # 0.1 0 – 0.8 10^3/μL

Basofil # 0.02 0 – 0.2 10^3/μL

LUC 0.29 0-0.4 10^3/μL

Kimia Klinik

Glukosa Rapid Sewaktu 114 70-110 mg/dL

Kolestrol Total 141 <200 mg/dL

Faal Ginjal
Ureum 3.4 10-50 mg%

Kreatinin 1.0 0.5-1.1 mg%

Faal Hati

SGOT 164 15-37 U/L

SGPT 133 16-63 U/L

Elektrolit

Na 120.6 135-148 mEq/L

K 2.24 3.50-5.30 mEq/L

Ca 0.86 1.15-1.29 mmol/L

Imunoserologi

HBsAg Reactive Non reactive Index

Kimia Klinik

Fungsi Hati

Albumin 2.03 3.4-5.0 g/dL

Kimia Klinik

Fungsi Hati

Bilirubin Total 2.74 <1.1 mg%

Direk /Indirek Bilirubin

Bilirubin direk 1.90 0-0.3 mg%


Bilirubin Indirek 0.84 0.2-0.8 mg%

Daftar Masalah :

1. Varises Esofagus dd
2. Dyspnea Dan Anemia
3. Ppok Dan Cpc
4. Dc
5. Asites
6. Jaundice Dan Hepatitis B
7. Panhipoelektrolit
8. Hipoalbumin Dan Hipoglikemia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 VARISES ESOFAGUS

A. Definisi
Varises esophagus adalah pelebaran pembuluh darah di esophagus yang terjadi
semakin besar. Pecah Varises Esofagus (PVO) adalah perdarahan dari esophagus atau
gaster yang telah dikonfirmasi melalui endoskopi. Sekitar 70% perdarahan varises
terjadi akibat komplikasi hipertensi porta pada kasus sirosis hati. Etiologi lain antara
lain vaskulopati hipertensif atau lesi Mallory-Weiss.
Disebut perdarahan varises akut, apabila episode terjadi dalam 48 jam (dihitung dari
waktu nol. T0) tanpa bukti perdarahan yang bermakna antara waktu ke 24 dan ke 48.
Sementara disebut perdarahan ulang varises, apabila terjadi hematemesis melena baru
setelah periode 48 jam atau lebih (dihitung dari waktu nol, T0).
B. Patofisiologi
Varises esophagus merupakan komplikasi langsung akibat hipertensi porta. Disebut
hipertensi porta, apabila gradient tekanan hepatica >5 mmHg. Varises akan terbentuk
apabila gradient tekanan vena hepatica >10 mmHg : umumnya kondisi tersebut
berada pada sirosis stadium klinis 2. Sementara itu, beberapa factor yang berkorelasi
dengan risiko kejadian perdarahan varises, antara lain tekanan portal, ukuran varises,
dinding varises dan tegangannya, serta derajat sirosis (Child-Pugh)
C. Manifestasi Klinis
Varises Esofagus bersifat asimtomatis, hingga akhirnya pecah dan menimbulkan
hematemesis (muntah darah berwarna merah terang atau seperti kopi) dengan/tanpa
melena (berwarna hitam seperti tar dan berbau busuk). Pecah varises esophagus sering
digambarkan dengan darah yang berkumpul pada kerongkongan dan sebenarnya bias
dimuntahkan. Adanya melena menandakan bahwa darah tersebut telah berada dalam
saluran cerna minimal selama 14 jam. Perdarahan varises yang berat dapat
menimbulkan gejala/tanda hipovolemik dan mengancam nyawa.
D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan hematologi rutin, analisis gas darah dan saturasi O2, serta fungsi
ginjal dan hati untuk evaluasi kegawatdaruratan
 Prosedur endoskopi, untuk memastikan etiologi perdarahan sekaligus sebagai
agen terapeutik
E. Diagnosis dan Penilaian Derajat Varises
Adanya varises esophagus harus dideteksi dengan endoskopi. Temuan varises pada
endoskopi dapat dikategorikan sebagai berikut :
 Derajat 1 : varises yang kolaps bila esophagus dikembangkan dengan udara
 Derajat 2 : varises antara derajat 1 dan derajat 3
 Derajat 3 : varises yang cukup besar untuk menutup lumen

Untuk menilai ada/tidaknya perdarahan varises pada endoskopi, dapat digunakan


beberapa indicator berikut :

 Perdarahan aktif yang terlihat kasat mata muncul dari varises esophagus,
biasanya menyembur (ooz-ing) atau mengalir (spurting)
 Adanya tanda bekas perdarahan pada varises berupa white nipple sign
atau temuan bekuan darah
 Tampak varises esophagus yang berwarna merah, dan ditemukan darah
pada lambung tanpa adanya sumber perdarahan lain
 Terlihat varises esophagus yang berwarna merah, dengan manifestasi
klinis perdarahan saluran cerna atas, tanpa darah pada lambung.
F. Prognosis
Terjadinya perdarahan pada varises ialah 5% pertahun (bila berukuran kecil), atau
15% pertahun (bila berukuran sedang-besar). Dalam dua decade terakhir. Angka
mortalitas akibat perdarahan varises ialah 20%. Sementara itu, risiko perdarahan
ulang dalam 1 tahun pertama sangat tinggi (70%), dengan angka mortalitas yang juga
lebih tinggi (33%).

2.2 MALLORY-WEISS
A. Definisi
Sindrom Mallory-Weiss adalah suatu kondisi yang ditandai dengan robekan pada selaput
lendir yang terletak di bagian bawah kerongkongan. Robekan tersebut biasanya linear dan
muncul di persimpangan yang menghubungkan esofagus dan lambung. Robekan tersebut
rentan terhadap perdarahan. Menurut data, robekan tersebut menjadi 5% penyebab dalam
kasus perdarahan gastrointestinal bagian atas.
Kebanyakan pasien yang menderita Sindrom Mallory-Weiss, hanya memiliki satu robekan
dengan panjang 2 – 3 cm dan lebar beberapa millimeter. Robekan Mallory-Weiss biasanya
memengaruhi mukosa dan submukosa, sementara lapisan otot tidak terpengaruh. Jika
lapisan muskular juga terpengaruh, kondisinya disebut sindrom Boerhaave.
Sindrom Mallory-Weiss yang juga disebut sindrom laserasi gastro-esofagus dan sindrom
de Mallory-Weiss, pertama kali diidentifikasi pada 15 pasien alkoholik oleh G. Kenneth
Mallory dan Soma Weiss pada tahun 1929. Sindrom ini dianggap sebagai kelainan
esofagus dan gangguan pada kemampuan menelan pasien.
B. Etiologi
Robekan Mallory-Weiss dapat terjadi karena batuk atau muntah berat yang intens atau
kronis, begitu juga cegukan dan ketegangan pada saluran pencernaan bagian atas. Kondisi
ini biasanya dipicu oleh:
 Alkoholisme
 Kejang epilepsi
 Gangguan makan, seperti bulimia
 Keracunan makanan
 Hiperemesis gravidarum, atau morning sickness parah yang menyebabkan mual dan
muntah pada saat kehamilan.

Meski kondisinya pertama diyakini hanya disebabkan oleh konsumsi alkohol berlebihan,
penelitian lebih lanjut dan endoskopi menunjukkan bahwa kondisi ini juga bisa terjadi
pada pasien yang tidak pernah mengonsumsi alkohol. Robekan bisa terjadi baik setelah
seseorang muntah terus-menerus maupun atau setelah satu episode muntah parah atau
episode tekanan intragastrik yang meningkat. Selain itu, robekan juga dapat terjadi setelah
prolaps lambung ke bagian atas ke kerongkongan yang parah.

Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa memiliki hernia hiatal dan penggunaan obat
nirteroid antiinflamasi yang berlebihan (NSAID) dapat meningkatkan risiko
berkembangnya sindrom Mallory-Weiss. Penelitian menunjukkan bahwa 30% pasien
dengan robekan Mallory-Weiss disebabkan oleh konsumsi aspirin secara berlebihan.

Selain itu, kondisi ini juga bisa disebabkan oleh trauma tumpul pada abdomen, resusitasi
kardiopulmoner, atau terapi primal scream. Namun, pada 25% kasus, tidak ada faktor
risiko atau presipitasi yang berhasil ditemukan.
Sindrom Mallory-Weiss dapat menyerang segala usia, namun lebih sering ditemui pada
pria berusia lanjut di atas 60 tahun. Jika sindrom ini ditemukan pada pasien wanita, maka
ia juga perlu diperiksa untuk kemungkinan bahwa ia sedang mengandung, atau menderita
bulimia atau anoreksia nervosa. Dalam kebanyakan kasus, sindrom Mallory-Weiss yang
menyerang anak-anak umumnya terkait dengan kondisi predisposisi seperti hipertensi
portal atau penyakit gastroesofagus berat.

C. Manifestasi Klinis
Gejala sindrom Mallory-Weiss adalah sebagai berikut:
 Muntah darah dengan warna merah cerah (hematemesis), yang terjadi pada 85%
pasien
 Tinja berdarah (melena)
 Hematochezia, atau darah segar mengalir melalui anus
 Pingsan
 Sakit perut

2.3 ANEMIA

DEFINISI

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.

KRITERIA ANEMIA

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Ukuran normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO menetapkan cut off point anemia untuk
keperluan penelitian lapangan yaitu

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)


Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit


oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis), gambaran lebih rinci tentang etiologi
anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :

Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang


a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MCV > 95 fl.

Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada
tabel di bawah ini :

Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi

I. Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.

GEJALA ANEMIA
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di
bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme
kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki
terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7
gr/dl).
2) Gejala Khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
 Anemia defisiensi Besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku
sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pameriksaan laboratorium.

TERAPI

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :

1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan


terlebih dahulu
2) Pemeberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibT nemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.
4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan
yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat
simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan
whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena
itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi.

Adapun Anemia yang sering kita jumpai di masyarakat yaitu seperti

A. ANEMIA DEFISIENSI BESI

a. Definisi

Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang.

c. Etiologi

Adanya keseimbangan negatif Fe yang disebabkan :

a. Berkurangnya asupan Fe
 Diet tidak ade kuat
 Gangguan absorpsi: aklorhidria, operasi lambung, penyakit celiac
b. Kehilangan Fe
 Perdarahan traktus gastrointestinal
 Perdarahan traktus urogenitalis
 Hemoglobinuria
 Hemosiderosis pulmonari idiopatik
 Tlengiektasia hemoragik herediter
 Gangguan hemostasis

c. Patofisiologi
Defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung lama.
Terdapat 3 stadium defisiensi Fe yaitu:
1) Defisiensi Fe pre laten/deplesi Fe
Berkurangnya cadangan Fe tanpa dsertai berkurangnya kadar Fe serum
2) Defisiensi Fe laten
Cadangan Fe habis, tetapi kadar hemoglobin masih di atas batas terendah kadar
normal.
3) Anemia defisiensi Fe
Kadar hemoglobin di bawah batas terendah kadar normal.

d. Tanda dan Gejala Klinis


1) Anemia
2) Gangguan fungsi/struktur jaringan epitel : kulit kering,rambut kering tipis,
mudah dicabut, papil atrofi, glositis, stomatitis angular, fisura, disfagia
(sideropenik disfagia, kuku tipis, kusam,koilonycia/spoon nail, Web, striktur
pada mukosa antara hipofaring dan esofagus, atropi lambung, aklorhidria
3) Gangguan neuromuskuler : gangguan fungsi otot, gangguan tingkah laku,
gangguan mempertahankan suhu tubuh di udara dingin, neuralgia, gangguan
vasomotor, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, pseudotumor
serebri.
4) Gangguan imunitas seluluer dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi

e. Diagnosis
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan
2. Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, Fe serum rendah,TIBC tinggi, nilai
absolut menurun, saturasi transferin menurun
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast negatif)
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
f. Terapi
1. Prinsip : Menentukan penyebab defisiensi Fe, eliminasi penyebab defisiensi
Fe,terapi Fe.
2. Terapi Fe
 Oral
Dosis : 200mg Fe/hari, penyerapan lebih baik dalam keadaan lambung
kosong
Efek samping : iritasi gastro intestinal: heart burn, nausea, diare.

ANEMIA APLASTIK
a. Definisi
Anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia/aplasia sumsum
tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik.
b. Etiologi
1. Didapat
 Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen,arsen, sulfur, nitrogen mustard,antimetabolit, antimitotik :kolsisin,
daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,kuinakrin,
metilfenilhidantoin, trimetadion, fenilbutazon,senyawa emas.
 Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV,Dengue
 Infeksi mikobakterium
 Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
c. Patofisiologi
Kegagalan Produksi eritrosit, lekosit, dan trombosit merupakan kelainan dasar pada
anemia aplastik yang dapat disebabkan oleh:
1. Defek kualitatif populasi stem cell
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang (microenvironment deficiency)
3. Gangguan produksi/efektivitas hematopoietik growth factor atau supresi imun
d. Tanda dan gejala klinik
o Anemi
o Tanda-tanda infeksi: demam dan sebagainya
o Perdarahan : ptekie, purpura, perdarhan gusi dan sebagainya
o Tidak ada pembesaran organ/infiltrasi

e. Diagnosis
o Pansitopenia Perifer
o Anemia normokrom normositer
o Sumsum tulang : aplasia atau hipoplasia dengan infiltrasi sel lemak

f. Terapi
1. Menghindari kontak dengan toksin /obat penyebab
2. Umum: hindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, sabun antiseptik, sikat gigi
lunak,obat pelunak buang air besar, pencegahan menstruasi : obat anovulation.
3. Transfusi
4. Penanganan infeksi
5. Transplantasi sumsum tulang
6. Imunosupresif
7. Simulasi hematopoesis dan regenerasi sumsum tulang

ANEMIA MEGALOBLASTIK
a. Definisi
Anemia yang disebabkan abnormalitas hematopoiesis dengan karakterisitik dismaturasi
nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
b. Etiologi
1. Defisiensi asam folat
 Asupan kurang:
 Gangguan Nutrisi : alkoholisme, bayi prematur, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
 Malabsorbsi : alkoholisme, celiac,dan tropical sprue, gastrektomi
parsial, rseksi usus halus, penyakit Crohn’s, skleroderma, obat
antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine,
kolestiramine, limfoma intestinal, hipotiroidisme.
 Peningkatan Kebutuhan :kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,
hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia
pernisiosa, anemia sideroblastik, leukimia, anemia hemolitik,, mielofibrosis)
 Gangguan metabolisme folat : alkoholisme, antagonis folat (metotreksat,
pirimetamin, trimetoprim), defisiensi enzim.
 Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkoholik,
hepatoma.
2. Defisiensi vitamin b12 :
 Asupan kurang : vegetarian
 Malabsorbsi :
o Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi total (parsial, gastritis
atropikan, tropical sprue, blind loop syndrome (operasi striktur,
divertikel, reseksi ileum), penyakit Crohn’s, parasit (Diphyllobothrium
latum), limfoma usus halus, skleroderma, obat-obat (asam
paraaminosalisilat, kolsisin, neomisin, etanol, KCl)
o Anak-anak: anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsik
lambung, gangguan fungsi faktor intrinsik lambung, gangguan reseptor
kobalamin di ileum.
 Gangguan metabolisme seluluer : defisiensi enzim, abnormalitas protein
pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan nitrit oksida yang
berlangsung lama.
c. Riwayat Penyakit
Biasanya penderita datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik,
diare dan bukan oleh keluhan aneminya. Penyakit biasanya berjalan secara perlahan-
lahan. Keluhan lain berupa rambut cepat memutih, lemah badan, penurunan berat badan,
Pada defisiensi B12 diagnosis ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset
gejala,biasanya didapatkan trias : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan
berjalan.
d. Tanda dan gejala klinik
Umumnya terjadi pada usia pertengahan dan usia tua.
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan
lateral medulla spinalis, korteks serebri dan degenerasi saraf perifer sehingga
disebut suacute combined degeneration / combined system disease.

Pada defisiensi B12 dapat ditemukan (gangguan mental, depresi, gangguan


memori, gangguan kesadaran, delusi,halusinasi, paranoid,skizopren,. Gejala
neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi,
hipotensi ortostastik (neuropati otonom) dan neuritis retrobulbar.
e. Laboratorium
 Anemia makrositer dengan peningkatan MCV
 Neutropenia dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami hipersegmentasi
dengan granula kasar (Glant Stab-cell)
 Trombositopenia ringan (rata-rata 100-150x103/mm3)
 Sumsum tulang dengan gambaran megaloblastik
f. Diagnosis
 Gejala : anemia, ikterus ringan, glositis, stomatitis, purpura, neuropati
 Apus darah tepi : eritrosit yang besar dengan bentuk lonjong, trombosit dan leukosit
agak menurun, didapatkan hipersegmentasi neutrofil, Glant stab-cell, retikulosit
menurun
g. Terapi
1. Suportif : transfusi bila ada hipoksia
2. Defisiensi B12 :
a. Sianokobalamin :
Dosis : 100 µg IM/ hari selama 6-7 hari, bila ada perbaikan klinis dalam 1 minggu,
dosis diturunkan 100 µg Imselang sehari sebanyak 7 dosis, kemudian tiap 3-4 hari
selama 2-3 minggu (dosis total 1,8-2 mg B12 dalam 5-6 minggu). Pada saat ini
kelainan hematologis harus mencapai normal. Setelah kelainan hematologis
normal, pada anemia pernisiosa diberikan sianocobalamin 100 µg IM/bulan seumur
hidup.
b. Hidroksobalamin :
Diretensi dalam tubuh lebih baik daripada sianokobalamin, 28 hari setelah injeksi.
Preparat : 100µg/mL, 1000 µg/mL
Dosis : 1000 µg IM setiap 5 minggu
Atau
1000 µg setiap hari IM selama 1-2 minggu lalu tiap 3 bulan

ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIS


a. Definisi
Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis,
peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak
disertai penyakit hati,ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag.
b. Etiologi
Anemia Penyakit kronik dapat dsebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi seperti
infeksi kronik (infeksi paru,endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkoholik,gagal jantung kongestif dan idiopatik.
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Secara garis besar patogenensis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3
abnormalitas utama :1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit,2) adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, 3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.

d. Gambaran klinik
Anemia pada penyakit kronis biasanya ringan sampai dengan sedang terjadi setelah 1-
2 bulan menderita sakit.Anemianya tidak bertambah progresif atau stabil dan berat
ringannya anemia yang diderita seseorang tergantung pada beratnya penyakit yang
dideritanya dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya
sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).Pada
pasien-pasien lansia oleh karena menderita penyakit vaskular degeneratif kemungkinan
juga dapat ditemukan gejala-gejala kelelahan lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat.
e. Laboratorium
 Gambaran morfologi darah tepi biasanya normositik normokromik atau mikrositik
ringan.
 Nilai MCV biasanya normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl)
 Besi serum (serum iron) menurun (<60 mug/dL)
 TIBC (Total Iron Binding Capacity) menurun (<250 mug/dL)
 Feritin serum normal atau meninggi (>100 ng/mL)
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit kronis tidak ada yang spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya telah diberikan pengobatan dengan baik maka anemianya juga akan
membaik.
2.4 DISPEPSIA
DEFINISI
Definisi dispepsia menurut kriteria Roma III tahun 2006 adalah salah satu atau lebih
gejala dibawah ini :
 Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress syndrome)
 Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk menghabiskan ukuran makan
normal atau rasa penuh setelah makan)
 Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan epigastric pain syndrome)

ETIOLOGI
Penyebab terjadinya dispepsia tergantung dari klasifikasinya sendiri. Penyebab dispepsia

organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna

bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional

mengeksklusi semua penyebab organik.

Tabel. Etiologi dispepsia.

Esofago – gastro – duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID,

keganasan

Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik

Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan,

Disfungsi sfinkter Oddi

Pankreas Pankreas Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,

kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

24
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Tabel . Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional.

1. Hipersensitivitas visceral

a. Meningkatnya persepsi distensi

b. Gangguan persepsi asam

c. Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik

2. Gangguan motilitas

a. Hipomotilitas antral post prandial

b. Menurunnya relaksasi fundus gaster

c. Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung

d. Refluks gastro-esofageal

e. Refluks duodeno-gaster

3. Perubahan sekresi asam

a. Hiperasiditas

4. Infeksi kuman Helicobacter pylori

5. Stress

6. Gangguan dan kelainan psikologis

7. Predisposisi genetic

Tabel. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia.

25
Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia

1. Acarbose

2. Aspirin

3. Colchicine

4. Digitalis

5. Estrogen

6. Gemfibrozil

7. Glukokortioid

8. Preparat besi

9. Levodopa

10. Narkotik

11. Niasin

12. Nitrat

13. Orlistat

14. Potassium klorida

15. Quinidine

16. Sildenafil

17. Teofilin

KLASIFIKASI

Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu dll) dan kelompok
dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi,

26
laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau
biokimiawi, atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut sebagai dispepsia fungsional.
Dispepsia organik adalah dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak
ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun.
Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi :
 Dispepsia Tukak
 Refluks Gastroesofageal
 Ulkus Peptik

Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah


berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan
struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium, radiology dan
endoskopi.
Dalam konsensus Rome III (tahun 2006) dispepsia fungsional didefinisikan sebagai:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakan.
Tabel. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Rome II dan III

ROME II ROME III


Dispepsia Fungsional Dispepsia Fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya Kriteria diagnosis*
selama 12 minggu, dalam 12 bulan Harus termasuk didalamnya:
ditandai dengan: Satu atau lebih gejala dibawah ini:
 Gejala yang menetap atau berulang
a. Rasa tidak nyaman setelah makan
(nyeri atau tidak nyaman yang
b. Cepat merasa kenyang
berpusat di abdomen atas);
c. Nyeri epigastrium

27
 Tidak ada bukti penyakit organik d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
(berdasarkan endoskopi) Dan
 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan
berkurang setelah defekasi atau endoskopi) yang menyebabkan gejala-gejala
perubahan pola dan bentuk defekasi tesebut diatas.
*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset
gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis
a. Dispepsia like-ulcer a. Sindroma distress postprandial
Rasa nyeri terutama dirasakan pada Kriteria diagnosis*
abdomen atas Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala
dibawah ini

1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan


sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali
seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan
sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali
seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset
gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis
Kritria supportif

1. Terasa kembung pada perut atas atau mual


setelah makan atau sendawa yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik
b. Dispepsia like-dysmotility b. Sindroma Nyeri Epigastrik
Rasa tidak nyaman terutama Kriteria diagnosis*
dirasakan pada abdomen atas Harus termasuk didalamnya::
berupa rasa penuh, lekas kenyang, Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di
sebah dan mual epigastrium derajat sedang sekurang-kurangnya

28
sekali seminggu

1. Nyeri bersifat intermitten


2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya
atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung
empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset
gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis
Kriteria supportif

1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa


nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan
makanan tetapi timbul saat puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma
post prandial.
c. Dispepsia Unspecified
(Nonspesific)
Gejala yang ditunjukkan tidak
memenuhi criteria like-ulcer atau
like-dysmotility

MANIFESTASI KLINIS
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan atau gejala yang
dominan menjadi tiga tipe yakni:
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus - like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida

29
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility - like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Tabel. Alarm symptom.


Alarm symptoms sakit perut berulang

karena kelainan organic

1. Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilicus


2. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
3. Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
4. Nyeri timbul tiba – tiba
5. Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
6. Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
7. Disertai perdarahan saluran cerna
8. Terdapat dysuria
9. Berhubungan dengan menstruasi
10. Terdapat gangguan tumbuh kembang
11. Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
12. Terjadi pada usia < 4 tahun
13. Terdapat organomegali
14. Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
15. Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

30
DIAGNOSIS
Dispepsia menurut kriteria Rome lll adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih
gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang

Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya sesuai indikasi atau untuk menyingkirkan


diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian:
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-
tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada
pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita
dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA
19-9 (dugaan karsinoma pankreas).
2. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp, urea breath test,
dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
 Radiologis
Pada tukak di lambung akan terlihat gambar yang disebut niche yaitu suatu kawah dari
tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya regular,
semisirkuler, dasarnya licin. Kanker di lambung secara radiologist akan tampak massa
yang irregular, tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung
berubah.
 Endoskopi
Yang perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Kelainan di
lambung yang sering ditemukan adalah tanda peradangan tukak yang lokasinya
terbanyak di bulbus dan parsdesenden, tumor jinak dan ganas yang divertikel. Pada
endoskopi ditemukan tukak baik di esophagus, lambung maupun duodenum maka

31
dapat dibuat diagnosis dispepsia tukak. Sedangkan bila ditemukan tukak tetapi hanya
ada peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak. Pada pemeriksaan
ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Helicobacter pylori, dimana
cairan tersebut diambil dan ditumbuhkan dalam media Helicobacter pylori.
Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan dengan metode
Passive Haem Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan antigen pada
permukaan sel darah merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang dapat diamati
secara mikroskopik. Bila di dalam serum sampel terdapat anti Helicobacter pylori
maka akan terjadi aglutinasi dan dinyatakan positif terinfeksi Helicobacter pylori.
 Ultrasonografi (USG)
Merupakan saran diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan
untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit. Apalagi alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi pasien yang
berat pun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada pasien dispepsia terutama
bila dugaan kearah kelainan di traktus biliaris, pankreas, kelainan di tiroid, bahkan
juga ada dugaan tumor di esophagus dan lambung.

TATALAKSANA

1. Dispepsia organik

Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi

dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam

kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik duodenitis,

ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan.

Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan

antara lain kombinasi PPl, misalnya rabeprazole 2x20 mg/ lansoprazole 2x30 mg

dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

32
2. Dispepsia fungsional

Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain

sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan

dispepsia fungsional.

2.5 PPOK

DEFINISI
Penyakit Paru Kronik Obstruktif (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan oleh
hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non reversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.1
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.2 Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat diobati yang
ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan pembatasan aliran udara yang disebabkan
oleh kelainan jalan napas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan partikel atau
gas berbahaya. Keterbatasan aliran udara kronis yang khas pada PPOK disebabkan oleh
campuran penyakit saluran udara kecil (mis, Bronchiolitis obstruktif) dan penghancuran
parenkim (emfisema), yang kontribusi relatifnya bervariasi dari orang ke orang.2

FAKTOR RESIKO

Di seluruh dunia, faktor risiko COPD yang paling banyak ditemui adalah merokok
tembakau. Jenis tembakau lainnya, (misalnya pipa, cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan
faktor risiko COPD. Polusi udara di luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan - yang terakhir
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa - merupakan faktor risiko PPOK utama
lainnya.2
Orang yang tidak merokok juga dapat mengembangkan PPOK. PPOK adalah hasil dari
interaksi kompleks dari keterpaparan kumulatif jangka panjang terhadap gas dan partikel
berbahaya, dikombinasikan dengan berbagai faktor inang termasuk genetika, responsivitas
saluran napas dan pertumbuhan paru yang buruk selama masa kanak-kanak.2

33
Seringkali, prevalensi PPOK terkait langsung dengan prevalensi merokok tembakau,
meskipun di banyak negara di luar ruangan, polusi udara kerja dan ruangan (akibat pembakaran
kayu dan bahan bakar biomassa lainnya) adalah faktor risiko PPOK utama.2

Beberapa faktor resiko antara lain :


1. Pajanan dari partikel antara lain :

a. Merokok. Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di


negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipereksresi mukus dan
obstruksi jalan nafas kronik.1
b. Polusi indoor. Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberikan kontribusi sampai 35%.3
c. Polusi outdoor. Polusi udara memberikan pengaruh buruk pada YEP. Inhalan
yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu bahan
asap pembakaran.2
d. Polusi di tempat kerja. Polusi dari tempat kerja misalnya debu - debu organik,
industri tekstil dan lingkungan industri besi baja, bahan kimia pabrik seperti cat,
tinta sebagainya diperkirakan mencapai 19%.4
2. Genetik. Defisiensi Alpha 1-antitrypsin merupakan faktor resiko dari genetik yang
memberikan kontribusi 1-3% pada pasien PPOK.5
3. Riwayat infeksi saluran nafas berulang. Infeksi saluran nafas akut yang banyak
terjadi pada anak-anak memberikan kecatatan sampai dewasa dimana hal ini
memberikan hubungan dengan terjadinya PPOK.6
4. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurangnya melakukan aktivitas fisik memberikan
kontribusi terjadinya PPOK.2
5. Asthma dan airway hyper-reactivity: asthma dapat menjadi faktor resiko
berkembangnya dari keterbatasan airflow dan PPOK.
6. Chronic bronchitis: dapat meningkatkan jumlah eksaserbasi dan meningkatkan
keparahan PPOK.

34
PATOFISIOLOGI

Salah satu karakteristik dari PPOK adalah terjadinya inflamasi kronis yang dimulai
dari saluran nafas, parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Pada awalnya proses
inflamasi terjadi dikarenakan adanya proses kontak terhadap inhalan bahan yang berbahaya,
namun lama kelamaan inflamasi ini terjadi terus menerus sehingga menjadi kronik. Pada
perubahan patologis disini dapat ditemukan infiltrasi sel- sel radang pada permukaan epitel.
Kelenjar-kelenjar mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini
menyebabkan hipersekresi bronkus.1
Proses berulangnya siklus injury dan repair pada inflamasi kronis akan mengakibatkan
terciptanya structural remodeling dari dinding saluran pernafasan dengan peningkatan
kandungan kolagen dan pembentukkan jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen
dan obstruksi kronis saluran pernafasan. Pada parenkim paru akan terjadi dekstruksi terus
menerus.Perubahan struktur yang pertama kali terjadi yaitu penebalan tunika intima yang diikuti
dengan peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembulu darah oleh sel-sel radang. Jika
penyakit bertambah lanjut, produksi proteoglikan dan kolagen akan bertambah banyak sehingga
dinding pembuluh darah akan semakin tebal.1
Pada bronkitis sakut maupun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan
ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronis saluran nafas
akan menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi dikarenakan metaplasia
sel-sel goblet dan hiperplasia kelenjar mukus. Sedangkan pada emfisema terjadi penyempitan
saluran pernafasan yang disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru.1

35
Gambar 2.1 Patofisiologi PPOK1

DIAGNOSIS

PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang menderita dispnea, batuk kronis atau
produksi sputum, dan / atau riwayat terpapar faktor risiko penyakit ini. Riwayat medis rinci
tentang pasien baru yang diketahui atau dicurigai memiliki PPOK sangat penting. Spirometri
diperlukan untuk membuat diagnosis dalam konteks klinis ini ; kehadiran post-bronchodilator
FEV1 / FVC <0.70 mengkonfirmasi adanya pembatasan aliran udara persisten dan dengan
demikian PPOK pada pasien dengan gejala yang tepat dan eksposur yang signifikan terhadap
rangsangan berbahaya. Spirometri adalah ukuran pembatasan aliran udara yang paling mudah
direproduksi dan obyektif. Ini adalah tes noninvasif dan mudah didapat. Meskipun
sensitivitasnya bagus, pengukuran arus ekspirasi puncak saja tidak dapat diandalkan sebagai
satu-satunya tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah.2

36
Tabel 2.1 Indikator Kunci Diagnosis PPOK1

a. Anamnesis1

1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik1

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan


 Inspeksi :
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas

37
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
Pada PPOK fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi
Pada PPOK hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
 Auskultasi :
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer: Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasanpursed-lips breathing
Blue bloater: Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing: sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

c. Pemeriksaan Penunjang7

 Pemeriksaan Radiologis

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :

o Hiperinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar

38
o Hiperlusen

o Ruang retrosternal melebar

o Diafragma mendatar

o Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :

o Normal

o Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

 Pemeriksaan fungsi paru (Spirometri)

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).

- Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75%

- VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai


beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dansore, tidak lebih dari 20%

 Uji Bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit


kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
<20% nilai awal dan <200 ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

 Pemeriksaan analisa gas darah

Terutama untuk menilai :

39
o Gagal napas kronik stabil

o Gagal napas akut pada gagal napas kronik

 Pemeriksaan elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan


hipertrofi ventrikel kanan

 Pemeriksaan laboratorium

Hb, Ht, Tr, Lekosit

ASSESMENT

Tujuan penilaian COPD adalah untuk menentukan tingkat keparahan pembatasan aliran
udara, dampaknya terhadap status kesehatan pasien dan risiko kejadian di masa depan (seperti
eksaserbasi, penerimaan di rumah sakit atau kematian), untuk akhirnya memberi panduan terapi.
Untuk mencapai tujuan ini, penilaian COPD harus mempertimbangkan aspek penyakit berikut
secara terpisah :2
 Kehadiran dan tingkat keparahan kelainan spirometrik
 Sifat dan besarnya gejala pasien saat ini
 Riwayat eksaserbasi dan risiko masa depan
 Adanya komorbiditas

40
Tabel 2.2 Assaessment of Symptoms PPOK5

Tabel 2.3 CAT Assessment5

41
Gambar 2.2 ABCD Assessment tool untuk Terapi

PENATALAKSANAAN

Tabel 2.4 Manajemen Non-Pharmacologic dari PPOK2

a. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.1

42
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :1
 Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
 Melaksanakan pengobatan yang maksimal
 Mencapai aktiviti optimal
 Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan
di poloklonik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti.
Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan soaial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.1
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :1
 Pengetahuan dasar tentang PPOK
 Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari pencetus (berhenti merokok)
 Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioriti bahan edukasi sebagai berikut :1
 Berhenti merokok Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan
 Penggunaan obat-obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu atau kalau perlu
saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
 Penggunaan oksigen

43
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
 Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
 Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau dan sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
 Mendeteksi dan menghinddari pencetus eksaserbasi
 Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK
merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.1

b. Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.1
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:1
a. Ask (Tanyakan) Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise(Nasihati) Dorongan kuatpadasemua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess(Nilai) Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke
depan).
d. Assist(Bimbing) Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange(Atur) Buat jadwal kontak lebih lanjut.

c. Farmakologi
1. Bronkodilator

44
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).1
Macam-macam bronkodilator :1
- Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis ẞ-2 Bentuk inhaler digunakan unttuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek
panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis ẞ-2 Kombinasi kedua golongan obat ini
akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat
kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
2. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. Digunakan pada PPOK
stabil mulai derajat III dalam bentuk glukokortikoid,kombinasi LABACs danPDE-4.1
3. Inhaled Cortico Steroid (ICS)

45
ICS dikombinasikan dengan terapi bronkodilator jangka panjang. Pada pasien
dengan PPOK moderat dan sangat parah dan eksaserbasi, ICS dikombinasikan
dengan LABA lebih efektif daripada komponen baik saja dalam memperbaiki fungsi
paru-paru, status kesehatan dan pengurangan eksaserbasi.5
4. Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.1
5. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous
(misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis
kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.1
6. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase-4 inhibitor, roflumilast
dapat mengurangi eksaserbasi, diberikan secara oral dengan glukokortikosteroid.
Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA.
Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingakan Roflumilast dengan
glukokortikosteroid inhalasi.1

46
Gambar 2.3 Algotitma tatalaksana dengan GOLD Grade2

47
48
Tabel 2.5 Obat-obatan yang digunakan pada PPOK

d. Oksigen

Gambar 2.4 Tatalksana Oksigen pada PPOK2

e. Rehabilitasi Medik
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi letihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah
mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :2
 Simptom pernapasan berat

49
 Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
 Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitasi terdiri
dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
f. Ventilator Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal
napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :1
 Ventilasi mekanik tanpa intubasi
 Ventilasi mekanik dengan intubasi

2.6 COR PULMONALE CHRONICUM

Definisi
Cor pulmonale didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi dari ventrikel kanan
yang disebabkan oleh gangguan utama dari sistem pernapasan. Hipertensi paru adalah link
umum antara disfungsi paru dan jantung di cor pulmonale. Sisi kanan ventrikel penyakit yang
disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri jantung atau penyakit jantung bawaan tidak
dianggap cor pulmonale, tetapi cor pulmonale dapat mengembangkan sekunder untuk berbagai
proses penyakit cardiopulmonary. Meskipun cor pulmonale biasanya memiliki kursus kronis dan
progresif lambat, onset akut atau memburuknya cor pulmonale dengan komplikasi yang
mengancam jiwa dapat terjadi.

Etiologi
Penyebab penyakit cor pulmonale antara lain :
1. Penyakit paru menahun dengan hipoksia
- penyakit paru obstruktif kronik
- fibrosis paru

50
- penyakit fibrokistik
- cyrptogenik fibrosing alveolitis
- penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
2. Kelainan dinding dada
- Kifoskoliosis, torakoplasti, fibrosis pleura
- Penyakit neuro muskuler
3. Gangguan mekanisme kontrol pernafasan
- Obesitas, hipoventilasi idiopatik
- Penyakit serebrovaskular
4. Obstruksi saluran nafas atas pada anak
- hipertrofi tonsil dan adenoid
5. Kelainan primer pembuluh darah
- hipertensi pulmonal primer, emboli paru berulang, vaskulitis pembuluh darah paru.
Pada pasien ini, kemungkinan etiologi yang menjadi penyebab cor pulomnale adalah PPOK.

Patogenensis
Apapun penyebab penyakit awalnya, sebelum timbul cor pulmonale biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada
akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan
kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskular paru-paru para arteria dan arteriola kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru-paru
adalah (1) vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru dan (2) obstruksi dan atau
obliterasi anyaman vaskuler paru-paru. Mekanisme yang pertama paling penting dalam
patogenesis cor pulamale. Hipoksemia, hipercapnea, asidosis merupakan ciri khas PPOM
bronchitis lanjut adalah contoh yang paling baik. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan
rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokonstriksi pulmonar daripada hipoksemia.
Hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hipercapnea dan
hipoksemia bekerja secara sinergistrik dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas
(kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang

51
dirangsang oleh hipoksia kronik dan hipercapnea juga ikut meningkatkan tekanan arteria paru-
paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan tekanan arteria paru-
paru adalah bentuk anatomisnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan
berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru
juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan
obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting
vasokontriksi hipoksik dalam patogenesa cor pulmonale. Kira-kira dua pertiga sampai tiga
perempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi
peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada
beberapa penyakit pernafasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar
umum atau akibat kelainan perfusi ventilasi.
Jadi setiap penyakit paru-paru yang mempengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi
atau anyaman vaskuler paru-paru dapat mengakibatkan cor pulmonale.
Menurut New York Heart Association (NYHA), hipertensi pulmonal secara fungsional
dibagi menjadi empat derajat sesuai dengan keadaan klinis pasien (Humbert et al., 2004).

Klasifikasi hipertensi pulmonal


Klasifikasi Deskripsi
Derajat I Hipertensi pulmonal tanpa menyebabkan keterbatasan aktivitas.
Aktivitas sehari-hari tidak menyebabkan sesak nafas, letih, nyeri
dada, atau hampir pingsan.

Derajat II Hipertensi pulmonal menyebabkan keterbatasan aktivitas minimal.


Pasien merasa nyaman isaat istirahat, tetapi pada aktivitas sehari-hari
menyebabkan sesak nafas, letih, nyeri dada, atau hampir pingsan.

Derajat III Hipertensi pulmonal menyebabkan keterbatasan aktivitas yang nyata.


Pasien merasa nyaman disaat istirahat, tetapi pada aktivitas yang
lebih ringan dari aktivitas sehari-hari menyebabkan sesak nafas, letih,

52
nyeri dada, atau hampir pingsan.

Derajat IV Hipertensi Pulmonal yang menyebabkan terjadinya gejala pada saat


apapun juga. Pasien memiliki tanda-tanda gagal jantung kanan.
Merasa sesak dan cepat letih atau keduanya walaupun saat istirahat
dan diperberat dengan aktivitas fisik.

Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat


mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini
diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya
retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac output (Allegra et al.,2005). Ketika
jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul
kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu
terjadinya hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada masing-
masing orang berbeda-beda (Naeije, 2005).

Secara garis besar patognesis cor pulmonale dapat digambarkan sebagai berikut
(gambar II.3):
1. Hipoventilasi alveoli
2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
3. Terjadinya pintas (shunt) dalam paru
4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
5. Kelainan jantung kanan
6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miokardium
7. Gagal jantung kanan
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, cor pulmonale dibagi menjadi 5 fase, yakni
(Naeije, 2005):
a) Fase: 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bronkitis kronis, Tuberkulosis paru,

53
bronkiektasis dan sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan
kebiasaan banyak merokok.
b) Fase: 2
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara
lain, batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas, mengi, sesak napas
ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum
nampak. Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa, hipersonor, suara napas
berkurang, ekspirasi memanjang, ronki basah dan kering, mengi. Letak diafragma rendah
dan denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya
corakan bronkovaskular, letak diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.
c) Fase: 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya
nafsu makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
d) Fase: 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada
keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.
e) Fase: 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat. Tanda-
tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat
kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung
kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis, hepatomegali,
edema tungkai dan kadang asites.

54
Gejala & Tanda
Manifestasi klinis dari cor pulmonale biasanya tidak spesifik. Terutama pada stadium awal
penyakit, dan mungkin keliru karena disebabkan patologi paru yang mendasari.

Gejala

Pasien mungkin mengeluh kelelahan, takipnea, dispnea de’effort, dan batuk. Nyeri dada angina
juga dapat terjadi dan mungkin karena iskemia ventrikel kanan atau peregangan arteri
pulmonalis. Berbagai gejala neurologis dapat dilihat karena curah jantung menurun dan
hipoksemia.

Hemoptisis dapat terjadi karena pecahnya dilatasi arteri pulmonalis atau aterosklerosis. Kondisi
lain, seperti tumor, bronkiektasis, dan infark paru, harus dikeluarkan sebelum menghubungkan

55
hemoptisis pada hipertensi pulmonal. Pasien mungkin mengeluh suara serak tapi jarang karena
kompresi saraf laring rekuren kiri oleh arteri paru melebar.

Pada tahap lanjut, kongesti hepar pasif sekunder untuk gagal ventrikel kanan yang parah dapat
menyebabkan anoreksia, ketidaknyamanan perut pada kuadran kanan atas, dan jaundice. Selain
itu, sinkop karena kelelahan, yang juga dapat dilihat pada keparahan penyakit, mencerminkan
ketidakmampuan untuk meningkatkan output jantung selama latihan dengan penurunan
berikutnya dalam tekanan arteri sistemik.

Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan tingginya tekanan vena atrium kanan,
perifer, dan tekanan kapiler. Dengan meningkatkan gradien hidrostatik, itu mengarah ke
transudasi cairan dan akumulasi edema perifer. Meskipun ini adalah penjelasan sederhana untuk
edema perifer di cor pulmonale, hipotesis lainnya menjelaskan gejala ini, terutama di sebagian
kecil dari pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang tidak menunjukkan
peningkatan tekanan atrium kanan. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan filtrasi natrium
dan stimulasi arginin vasopressin (yang menurunkan ekskresi air bebas) karena hipoksemia
memainkan peran penting dalam patofisiologi pengaturan ini dan bahkan mungkin memiliki
peran untuk edema perifer pada pasien dengan cor pulmonale yang memiliki tekanan atrium
kanan meningkat.

Tanda

Temuan fisik mungkin mencerminkan penyakit paru-paru yang mendasari atau hipertensi paru,
hipertrofi ventrikel kanan (RVH), dan kegagalan RV. Peningkatan diameter dada, ada upaya
pernafasan dengan retraksi dinding dada, distensi vena jugularis di leher, dan sianosis dapat
dilihat.

Pada auskultasi paru-paru, mengi dan ronki mungkin terdengar sebagai tanda-tanda penyakit
paru-paru yang mendasari. Aliran turbulen melalui pembuluh darah dalam hipertensi
tromboemboli paru kronis dapat didengar sebagai bising sistolik di paru-paru.

Memisahkan dari bunyi jantung ke 2 dengan aksen komponen pulmonal dapat didengar dalam
tahap awal. Sebuah murmur ejeksi sistolik ejeksi pada daerah arteri pulmonal bisa terdengar
dalam penyakit lanjut, bersama dengan murmur regurgitasi diastolik paru. Temuan lain pada

56
auskultasi dari sistem kardiovaskular mungkin terdengar ketiga dan keempat dari murmur
jantung sistolik dan regurgitasi trikuspid.

RVH ditandai oleh denyut kuat angkat di parasternal atau subxiphoid kiri. Refluks Hepatojugular
adalah tanda-tanda kegagalan RV dengan kongesti vena sistemik.

Pada perkusi, hyperresonance dari paru-paru mungkin tanda PPOK yang mendasari; ascites
dapat dilihat pada penyakit yang parah.

Peme riksaan ekstremitas bawah menunjukkan bukti pitting edema. Edema pada cor pulmonale
sangat terkait dengan hiperkapnia.

Diagnosis
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari dan untuk
menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
- Hematokrit untuk polycythemia, yang dapat merupakan konsekuensi dari penyakit paru
yang mendasarinya, tetapi yang juga dapat meningkatkan tekanan arteri paru oleh
viskositas meningkat
- Serum alpha1-antitripsin, jika kekurangan diduga
- Tingkat antibodi untuk penyakit kolagen Antinuclear vaskular, seperti scleroderma
- Proteins S dan C, antitrombin III, factor V Leyden, antikardiolipin antibodi, dan
homocysteine untuk mengetahui hiperkoagulasi
- Analisis gas darah untuk mengetahui saturasi oksigen
- Pemeriksaan kadar BNP (Brain Natruretic Peptide) untuk mengatahui hipertensi pulmonal
dan gagal jantung kanan, serta
- Pemeriksaan spirometri untuk mengetahui status fungsional paru

Rontgen Toraks
Terdapat kelainan disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonal dan atrium kanan
yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh hiper inflasi paru yang menekan diafragma
sehingga jantung tampaknya normal karena vertikal. Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada
posisi oblik atau lateral. Selain itu didapatkan juga diafragma yang rendah dan datar serta ruang

57
udara retrosternal yang lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak
membuat jantung menjadi lebih besar dari normal.

Ekokardiografi
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada
gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi
pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal
karena “accoustic window” sempit akibat penyakit paru.

Kateterisasi jantung
Ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan pembuluh paru. Tekanan atrium kiri
dan tekanan kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi pulmonal berasal dari prekapiler
dan bukan berasal dari jantung kiri. Pada kasus yang ringan, kelainan ini belum nyata. Penyakit
jantung paru tidak jarang disertai penyakit jantung koroner terlebih pada penyakit paru obstruksi
menahun karena perokok berat (stenosis koroner pada angiografi).

EKG (Elektro Kardio Grafi)


Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa :
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya
hiperinflasi.
i. Hipertropi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran gelombang Q di
sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium terisolasi
hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial
multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan

58
penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan asam-basa,
gangguan elektrolit, serta penggunaan bronkodilator berlebihan).

Penatalaksanaan

Penanganan cor pulmonale secara umum adalah mencegah berlanjutnya proses patogenesis
yang masih bisa ditangani secara langsung dan secara bersamaan menangani komplikasi yang
terjadi seperti hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis.
Pemberian terapi pada cor pulmonale ditujukan untuk mengurangi hipoksemia,
meningkatkan toleransi aktivitas pasien dan jika memungkinkan menghilangkan faktor yang
mendasari. Untuk mengatasi faktor-faktor tersebut diatas perlu diambil tindakan berikut
(Humbert et al., 2004; Palevsky dan Fishman, 1991):
a) Mengusahakan supaya jalan nafas tetap terbuka dengan jalan memberikan obat-obatan
(bronkodilator, mukolitik), drainase postural, pengisapan lendir dari jalan nafas dan lain-
lain.
b) Pemberian 02
Terapi 02 pada penderita cor pulmonale yang disebabkan oleh PPOK harus berhati-hati
oleh karena dapat mengakibatkan retensi CO2.. Oleh karena itu pemeriksaan analisa gas
darah yang berulang-ulang sangat penting. Biasanya 02 diberikan dengan konsentrasi
rendah. Pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK terbukti memperbaiki
prognosis dan dapat mencegah terjadinya hipertropi ventrikel kanan.
c) Memberantas infeksi saluran nafas. Dengan pemberian antibiotik yang sesuai dan adekuat.
d) Pemberian glikosida jantung (digoxin) pada pasien dengan gagal jantung kanan. Digoxin
bersifat inotropik positif sehingga dapat meningkatkan cardiac output pada pasien dengan
gagal jantung kanan.
e) Vasodilator arteri pulmonal seperti diazoxide, nitroprussid, hydralazin, ACE inhibitor,
penyekat kanal kalsium, atau prostaglandin. Pemberian inhalasi vasodilator dalam jangka
panjang harus dihindari karena efek toksiknya. Pada pasien PPOK pemberian vasodilator
masih dipertanyakan. Hal ini dikarenakan hipertensi pulmonal pada PPOK cenderung
ringan tetapi dapat menjadi berat saat terjadi eksaserbasi.
f) Flebotomi untuk mengurangi jumlah sel darah merah. Hal ini jarang dilakukan karena
prosedur yang invasif. Tujuannya adalah menghilangkan polisitemia.

59
g) Antikoagulan untuk mengurangi resiko tromboemboli.
h) Diet rendah garam, pembatasan asupan cairan, pemberian diuretic, untuk mengurangi
edema dan mengurangi afterload.

2.7 DECOMPENSATIO CORDIS


Definisi
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan
peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan
dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan
fungsi pompa jantung.
Gagal Jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang dihasilkan dari setiap gangguan
struktural atau fungsional pengisian ventrikel atau ejeksi darah. Manifestasi utama dari HF
adalah dyspnea dan kelelahan saat istirahat atau saat aktifitas yang disebabkan oleh kelainan
struktur / fungsi jantung, disertai tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan
kaki).

Epidemiologi
20 per 1000 individu berusia 65-69 tahun, > 80 per 1000 individu di antara mereka yang
berusia ≥85 tahun. Sekitar 5,1 juta orang di Amerika Serikat memiliki gejala gagal jantung.
Prevalensi gagal jantung meningkat menjadi 90-121 per 1.000 pada tahun 1994-2003. Kulit
hitam memiliki risiko tertinggi untuk gagal jantung. Dalam ARIC (Atherosclerosis Risk in
Communities) studi, tingkat kejadian per 1.000 orang-tahun adalah terendah di antara perempuan
berkulit putih dan tertinggi pada laki-laki hitam dengan tingkat mortalitas 5 tahun lebih besar.
Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei
Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab
kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan
bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab
kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia.2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem
sirkulasi darah, stroke tidak berdarahah atau infark menduduki urutan penyebab kematian
utama, yaitu sebesar 27 % (2002), 30%( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati
urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005.

60
Etiologi
Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang
terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi tertentu,
bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik
ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya
masalah mekanik seperti regurgitasi katup berat, dan lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi
tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat
menyebabkan gagal jantung, tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung
pada orang-orang dengan penyakit jantung dasar.
Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation),
emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid
(hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure,
gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems),
intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.
Menurut penyebabnya gagal jantung dibagi berdasarkan :
1. Myocardial damage
a. Ischemic Heart Disease (IHD) difus atau regional
b. Miokarditis
Viral, demam rematik, bakterial, fungal.
c. Kardiomiopati
Kardiomiopati iskemik, kardiomiopati diabetik, kardiomiopati periapartal,
kardiomiopati hipertensi (HHD), idiopathic hypertrophic subortic stenosis.
2. Beban ventrikel yang bertambah
a. Beban Tekanan / Pressure Overload
- Hipertensi Sistemik
- Koarktasio Aorta
- Aorta Stenosis
- Pulmonal Stenosis
- Hipertensi pulmonal pada ppok atau hipertensi pulmonal primer
b. Beban Volume / Volume Overload
- Mitral Regurgitasi

61
- Aorta Regurgitasi
- Ventricular Septal Defect (VSD)
- Atrial Septal Defect (ASD)
- Patent Ductus Arteriosus (PDA)
c. Restriksi dan Obstruksi Pengisian Ventrikel
- Mitral Stenosis
- Triskupid Stenosis
- Tamponade Jantung
- Atrial Miksoma
- Kardiomiopati Restriktif
- Perikarditis Kontriktif
d. Kor pulmonal
e. Kelainan Metabolik
- Beri-beri
- Anemia Kronik
- Penyakit Tiroid
f. Kardiomiopati Toksik
- Alkohol
- Vincristin
- Bir, kokain
g. Trauma
- Miokardial Fibrosis
- Perikardial Kontriktif
h. Kegananasan
- Limfoma
- Rabdomiosarkoma

Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus


 Faktor Predisposisi

62
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis
mitral, dan penyakit perikardial.
 Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan
(intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard
akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis,
kehamilan, dan endokarditis infektif.

2.1.1. Klasifikasi

Kapasitas Klasifikasi New York Heart Association Penilaian


Fungsional Objektif

Class I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan


pada aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal

Class II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan


keterbatasan aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman
pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa mengakibatkan
kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.

Class III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan


keterbatasan bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa
nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang lebih
ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak,
dan nyeri anginal..

Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan


ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun
tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau sindroma
angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas
fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.

63
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood
Vessels: Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2008

 Berdasarkan New York Heart Association (NYHA) diklasifikasikan menjadi 4 kelas


fungsional

1. Kelas I

Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak mempunyai batasan aktivitas fisik.

2. Kelas II

Pasien dengan penyakit jantung tetapi mempunyai sedikit batasan aktivitas fisik.

3. Kelas III

Pasien dengan penyakit jantung yang mempunyai batasan yang harus diperhatikan dalam
aktivitas fisik.

4. Kelas IV

64
Pasien dengan penyakit jantung yang tidak dapat melakukan berbagai aktivitas fisik yang
disebabkan dyspnea.

Berdasarkan American College of Cardiology and the American Heart Association, gagal
jantung telah diklasifikasikan menjadi beberapa tahap dan juga terapi yang diberikan yaitu antara
lain :
1. Tahap A

Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak menunjukkan
struktur

abnormal dari jantung .

2. Tahap B

Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak bergejala.

3. Tahap C

Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.

4. Tahap D

Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan standar.

Patofisiologi
Jantung kanan yang telah lemah, tidak kuat lagi memindahkan darah yang cukup banyak
dari susunan pembuluh darah venosa (vena kava, atrium, dan ventrikel kanan) ke susunan
pembuluh darah arteriosa (arteri pulmonalis). Oleh karena itu, darah akan tertimbun di dalam
ventrikel kanan, atrium kanan, dan di dalam vena kava sehingga desakan darah dalam atrium
kanan dan vena tersebut meninggi. Makin tinggi desakan darah dalam vena, vena makin
mengembang (dilatasi).
Dalam praktik, desakan venosa yang meninggi ini dapat dilihat pada vena jugularis
eksterna. Penimbunan darah venosa sistemik akan menyebabkan pembengkakan hepar atau
hepatomegali. Pada gagal jantung yang sangat, pinggir bawah hati dapat mencapai umbilikus.
Hati yang membengkak ini konsistensinya keras, permukaannya licin, dan sering sakit tekan
terutama pada linea mediana. Hepatomegali merupakan suatu gejala yang penting sekali pada

65
gagal jantung kanan. Timbunan darah venosa pada vena-vena di bagian bawah badan akan
menyebabkan terjadinya udem. Mula-mula udem timbul pada tempat mata kaki (pada anak yang
sudah berdiri), jadi pada tempat terendah, karena meningginya tekanan hidrostatis merupakan
suatu faktor bagi timbulnya udem. Mula-mula, udem timbul hanya pada malam hari, waktu tidur,
dan paginya udem menghilang.
Pada stadium yang lebih lanjut, udem tetap ada pada waktu siang hari, dan udem tidak
timbul pada mata kaki saja, tetapi dapat juga terjadi pada punggung kaki, paha, kulit perut, dan
akhirnya pada lengan dan muka. Akibat selanjutnya dari timbunan darah ini adalah asites, dan
asites ini sangat sering dijumpai pada anak yang menderita gagal jantung. Dapat juga terjadi
hidrotoraks, meskipun pada anak agak jarang dijumpai. Bila hidrotoraks, terlalu banyak akan
memperberat keadaan dispnea penderita.
Adanya kelemahan jantung kanan mula-mula dikompensasi dengan dilatasi dinding
jantung kanan, terutama dinding ventrikel kanan. Adanya dilatasi dinding ventrikel akan
menambah keregangan miokardium sehingga akan memperkuat sistole yang berakibat
penambahan curah jantung. Adanya dilatasi dan juga sedikit hipertrofi jantung akan
menyebabkan pembesaran jantung atau disebut kardiomegali.
Upaya penambahan curah jantung karena kelemahan juga dilakukan dengan menaikkan
frekuensi jantung (takikardi). Pada akhirnya kelemahan jantung kanan ini tidak dapat
dikompensasi lagi, sehingga darah yang masuk ke dalam paru akan berkurang dan ini tentunya
akan merangsang paru untuk bernapas lebih cepat guna mengimbangi kebutuhan oksigen,
akibatnya terjadi takipnea.

Gagal Jantung Kiri


Jika darah dari atrium kiri untuk masuk ke ventrikel kiri pada waktu diastole mengalami
hambatan akan menyebabkan tekanan pada atrium meninggi sehingga atrium kiri mengalami
sedikit dilatasi. Makin lama dilatasi ini semakin berat sehingga atrium kiri, disamping dilatasi
juga mengalami hipertrofi karena otot atrium ini terus menerus harus mendorong darah yang
lebih banyak dengan hambatan yang makin besar. Oleh karena dinding atrium tipis, dalam waktu
yang relatif singkat otot atrium kiri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya untuk
mengosongkan atrium kiri. Menurut pengukuran, tekanan ini mencapai 24-34 mmHg, padahal
tekanan normal hanya 6 mmHg atau ketika ventrikel kiri tidak mampu memompa darah ke aorta

66
(karena kelemahan ventrikel kiri), darah tertumpuk di ventrikel kiri, akibatnya darah dari atrium
kiri tidak tertampung di ventrikel kiri, kemudian makin lama makin memenuhi vena pulmonalis
dan akhirnya terjadi udem pulmonum.
Pengosongan atrium kiri yang tidak sempurna ini ditambah meningginya tekanan
didalamnya, menyebabkan aliran di dalamnya, menyebabkan aliran darah dari paru ke dalam
atrium kiri terganggu atau terbendung. Akibatnya tekanan dalam vena pulmonales meninggi, dan
ini juga akan menjalar ke dalam kapiler di dalam paru, ke dalam arteri pulmonalis dan akhirnya
ke dalam ventrikel kanan.
Akhirnya atrium kiri makin tidak mampu mengosongkan darah, bendungan dalam paru
semakin berat, terjadilah kongesti paru. Akibatnya, ruangan di dalam paru yang disediakan untuk
udara, berkurang dan terjadilahsuatu gejala sesak napas pada waktu bekerja (dyspnoe d’effort).
Disini, ventrikel kanan masih kuat sehingga dorongan darah dari ventrikel kanan tetap
besar,sedangkan atrium kiri tetap tidak mampu menyalurkan darah, akibatnya bendungan paru
semakin berat sehingga akan terjadi sesak napas meskipun dalam keadaan istirahat (orthopnea).
Pada umumnya, adanya kongesti paru ini akan memudahkan terjadinya bronkitis sehingga anak
sering batuk-batuk.
Darah yang banyak tertimbun dalam ventrikel kanan menyebabkan ventrikel kanan
dilatasi, kemudian diikuti dengan hipertrofi, yang akibatnya akan terjadi kardiomegali. Dalam
rangka memperbesar curah jantung, selain jantung memperkuat sistol karena adanya keregangan
otot berlebihan, jantung juga bekerja lebih cepat, artinya frekuensi naik. Dengan demikian,
terjadi takikardi. Oleh karena yang lemah adalah atrium kiri dan atau ventrikel kiri maka disebut
gagal jantung kiri.
Gejala Klinis

67
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2008

68
Gagal Jantung Kiri

Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal jantung kiri
terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan
kongesti pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katub aorta/mitral. Gagal ventrikel kiri paling
sering mendahului gagal ventriel kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru
akut. Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel
dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel
kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Dispnu dapat
terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Mudah lelah

69
dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan
oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya
energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan
batuk.
Tabel 2. Gambaran klinis gagal jantung kiri

Gejala Tanda

- Penurunan kapasitas aktivitas - Kulit lembab

- Dispnea (mengi, orthopnea, PND) - Tekanan darah (tinggi, rendah atau


normal)
- Batuk (hemoptisis)
- Denyut nadi (volume normal atau
- Letargi dan kelelahan
rendah) (alternans/takikardia/aritmia)
- Penurunan nafsu makan dan berat badan
- Pergeseran apeks

- Regurgitasi mitral fungsional

- Krepitasi paru

- (± efusi pleura)

Gagal Jantung Kanan

Gagal jantung kanan disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat gagal jantung kiri yang
berlangsung cukup lama sehingga cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik di
kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura, dll. Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah
kongesti viscera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasikan semua
darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat
meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher,
asites, anoreksia, mual dan nokturia.

70
Tabel 3. Gambaran klinis gagal jantung kanan

Gejala Tanda

- Pembengkakan pergelangan kaki - Denyut nadi (aritmia takikardia)

- Dispnea (namun bukan orthopnea atau - Peningkatan JVP


PND)
- Edema
- Penurunan kapasitas aktivitas
- Hepatomegali dan ascites
- Nyeri dada
- Gerakan bergelombang parasternal

- S3 atau S4 RV

- Efusi pleura

Diagnosis
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi
disfungsi sistolik dan diastolic.

71
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, yang
hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan
yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara
detail.
Anamnesa
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah.
Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada gagal
jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia
dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat
pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada
aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini
kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru, yang
diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal
tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan
pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea.

72
Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah
kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma,
dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung
kanan dan regurgitasi trikuspid.

Orthopnu Dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea


Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar, dan
biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.
Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan bantal
tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas
bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan
seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang
relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan
obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang
memberat pada posisi tidur.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang
umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1
hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi, umumnya
diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi
jalan nafas,disertai edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi
jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur
dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang
menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut.
Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale)
berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing sekunder
akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner
wheezing lainnya.
Edema Pulmoner Akut
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya fungsi

73
jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk
atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat bermanifestasi
sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema
pulmoner akut dapat mematikan.
Respirasi Cheyne Stokes
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal
jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah. Respirasi
cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap kadar PCO2
arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada
gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi
dan hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat
dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas
sesaat.
Gejala Lainnya
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal. Anorexia,
nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan kembung adalah
gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari dinding usus
dan/atau kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri
pada kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan
emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama pada pasien lanjut usia
dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi serebral. Nocturia juga umum
ditemukan dan dapat memperberat keluhan insomnia.
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas sangatlah
bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin
berkurang dengan pengobatan jantung. Walau orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspeu
relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala tersebut tidak sensitif untuk diagnosis gagal jantung.
Banyak orang dengan gagal jantung tidak memiliki gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh
berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat sangat spesifik, tapi tidak sensitif dan
membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.

74
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan
gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan apa penyebab gagal
jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi
tambahan mengenai profil hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan
prognosis adalah tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik.

Keadaan Umum Dan Tanda Vital


Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki keluhan, kecuali
merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan
gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan
untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi
pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun.
Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik
arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non
spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer
mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari
juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.
Pemeriksaan Vena Jugularis Dan Leher
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan, dan secara
tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat
pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung dengan
satuan sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom
darah vena jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada
postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat,
tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen
(refluk hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.
Pemeriksaan Paru
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari rongga
intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua
lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan

75
pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus
ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik,
bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien
sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat.
Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya
adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena
sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel
(biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada
rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.
Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan informasi yang
berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal
(ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral)
linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus)
teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk
mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat
didengar dan teraba pada apex.
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi dapat
memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal kiri (right
ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan volume
overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi
hemodinamik yang berat. Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi
biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid
umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.
Pemeriksaan Abdomen Dan Ekstrimitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan gagal
jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat
sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi
karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase
peritenium.

76
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya
kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan
terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan hipoksia
hepatoselular.
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau demikian tidaklah
spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer
pada pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung yang
terjadi, dan paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang
masih beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum.
Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang
bertambah.
Kakeksia Kardiak
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat badan dan
kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti, kemungkinan besar faktor
penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik
rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali
dan rasa penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi,
dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat
kakeksia maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk.
Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi (EKG)

Electrocardiography tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya
merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder dalam
mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan ECG tidak spesifik menunjukkan adanya
gagal jantung.
Elektrokardiografi dapat membantu menentukan tipe defek, adanya sinur takikardia,
pembesaran atrium dan hipertrofi ventrikel, tetapi tidak untuk menentukan apakah terdapat gagal
jantung atau tidak.

77
Radiologi (foto thorax)
Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya
ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada
tampilan postanterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada
disfungsi siltolik karena ukuran bias terlihat normal.
Foto toraks menunjukkan adanya kardiomegali. Namun kardiomegali bukan selalu berarti
adanya gagal jantung. Selain itu juga dapat menunjukkan adanya edema paru, atelektasis
regional, dan kemungkinan adanya penyakit penyerta seperti gambaran pneumonia.
Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi ventrikel
kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali. Kardiomegali mendukung
diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi vena lobus atas. Foto rontgen adalah
indicator penting untuk menentukan ukuran jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling
umum digunakan adalah CTR (cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter
tranversal jantung. CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter
transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan Negro). Rasio ini
meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai 60%. Metode ini tidak bisa
dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar (horizontal) atau vertical dan orang dengan
pericardium penuh lemak.
 Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kanan
Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:
1. Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan sampai ke atas.
2. Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm.
3. Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral.
4. Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor, bentuknya oval
atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut menghilang, sehingga
dinamakan vanishing lung tumor sebab bentuknya mirip tumor paru.
5. Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial.

 Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kiri


1. Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru

78
2. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang lurus
mendatar ke lateral
3. Batas hilus pulmo terlihat kabur
4. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal.
5. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan alveolar.

Echocardiography
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini membantu
menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi. Kelemahan echocardiography adalah
relative mahal, hanya ada di rumah sakit dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang
rutin untuk hipertensi pada praktek umum. Ekokardiografi dapat secara nyata menggambarkan
stuktur jantung, data tekanan, dan status fungsional jantung sehingga dapat mengetahui
pembesaran ruang jantung dan etiologi.
Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu
pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT-pro BNP (N Terminal
protein BNP. Kegunaan pemeriksaan BNP adalah untuk skrining penyakit jantung, stratifikasi
pasien dengan gagal jantung, deteksi left ventricular systolic dan atau diastolic dysfunction serta
untuk membedakan dengan dispnea. Berbagai studi menunjukkan kosentrasi BPN lebih akurat
mendignosis gagal jantung.

2.1.2. Penatalaksanaan

79
80
Medikamentosa
Obat untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut

Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Vasodilators

Nitroglycerin 20 µg/menit 40–400 µg/menit

Nitroprusside 10 µg/menit 30–350 µg/menit

Nesiritide Bolus 2 µg/kg 0.01–0.03 µg/kg per menita

Inotropes

Dobutamine 1–2 µg/kg per menit 2–10 µg/kg per menitb

Milrinone Bolus 50 µg/kg 0.1–0.75 µg/kg per menitb

Dopamine 1–2 µg/kg per menit 2–4 µg/kg per menitb

Levosimendan Bolus 12 µg/kg 0.1–0.2 µg/kg per menitc

Vasoconstrictors

Dopamine for hypotension 5 µg/kg per menit 5–15 µg/kg per menit

Epinephrine 0.5 µg/kg per menit 50 µg/kg per menit

Phenylephrine 0.3 µg/kg per menit 3 µg/kg per menit

Vasopression 0.05 units/menit 0.1–0.4 units/ menit

81
Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)

Dosis Awal Dosis Maksimal

Diuretics

Furosemide 20–40 mg qd or bid 400 mg/da

Torsemide 10–20 mg qd bid 200 mg/da

Bumetanide 0.5–1.0 mg qd or bid 10 mg/da

Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da

Metolazone 2.5–5.0 mg qd or bid 20 mg/da

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors

Captopril 6.25 mg tid 50 mg tid

Enalapril 2.5 mg bid 10 mg bid

Lisinopril 2.5–5.0 mg qd 20–35 mg qd

Ramipril 1.25–2.5 mg bid 2.5–5 mg bid

Trandolapril 0.5 mg qd 4 mg qd

Angiotensin Receptor Blockers

Valsartan 40 mg bid 160 mg bid

Candesartan 4 mg qd 32 mg qd

Irbesartan 75 mg qd 300 mg qdb

Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd

β Receptor Blockers

82
Dosis Awal Dosis Maksimal

Carvedilol 3.125 mg bid 25–50 mg bid

Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd

Metoprolol succinate 12.5–25 mg qd Target dose 200 mg qd


CR

Additional Therapies

Spironolactone 12.5–25 mg qd 25–50 mg qd

Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd

Kombinasi 10–25 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid


hydralazine/isosorbide
dinitrate

Dosis tetap 37.5 mg/20 mg (one tablet) 75 mg/40 mg (two tablets) tid
hydralazine/isosorbide tid
dinitrate

Digoxin 0.125 mg qd <0.375 mg/db

ACE-inhibitor
 Lini pertama (I,A)
 Terapi awal (tanpa retensi cairan), bila dengan retensi cairan diberikan bersama diuretik.
 Dosis dititrasi – dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti klinis
 Teratogenik, terutama pada 6 bulan terakhir (kehamilan).
Diuretik
 Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru
dan adema perifer. (1 A)
 Kehamilan : Tidak dianjurkan karena dapat membahayakan penyaluran darah ke janin.

Digitalis
 Indikasi pada fibrilasi atrium (I B)
 Kombinasi dengan B-blocker > tunggal

83
 Dianggap aman bagi bumil, yang setelah digunakan selama jangka waktu panjang tidak
menampilkan efek buruk pada janin.
Non medikamentosa

Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja
jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar – benar dengan tirah baring ( bed
rest ) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.
Sering tampak gejala – gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet
umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan
sebanyak 80 – 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
Intervensi Mekanik dan Operasi
Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka
intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi
ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.

2.1.3. Prognosis

Pada bayi dan anak lebih baik daripada orang dewasa bila ditolong dengan segera. Hal ini
disebabkan oleh karena belum terjadi perburukan pada miokardium.

Ada beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :

 Timbul serangan akut atau menahun.

 Derajat beratnya gagal jantung.

 Keadaan paru.

 Cepatnya pertolongan pertama.

 Respons dan lamanya pemberian digitalisasi.

 Seringnya gagal jantung kambuh

84
2.8 ASITES
• Adanya cairan berlebih di dalam cavitas peritoneal.

• Akumulasi cairan patologi di dalam cavitas peritoneal.

patogenesis pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut
faktorlokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sistemik.Sirosis (pembentukan
jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi danfibrotisasi sinusoid. Akibatnya
terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujungkepada hipertensi porta. Hipertensi
porta ini dibarengi dengan vasodilatasisplanchnicbed
(pembuluh darah splanknik) akibat adanya vasodilator endogen (seperti NO,calcitone gene
related peptide,endotelin dll). Dengan adanya vasodilatasisplanchnic bed
tersebut, maka akan menyebabkan peningkatan aliran darah yang justru akan membuathipertensi
porta menjadi semakin menetap. Hipertensi porta tersebut akan meningkatkantekanan transudasi
terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akanterkumpul di rongga peritoneum
dan selanjutnya menyebabkan asites
• Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed , vasodilator endogen juga
akanmempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer
danpenurunan volume efektif darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons
terhadapperubahan ini, tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan
sumbu

• sistem renin-angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanya itu


akanmeningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti dengan
reabsorpsiair (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di
rongga tubuh.Beberapa penyebab lain dari asites berhubungan dengan gradien tekanan
yang meningkatseperti gagal jantung kongestif dan gagal ginjal yang telah lanjut.Pada

85
kasus yang jarang terjadi, tekanan yang meningkat dalam sistim portal dapatdisebabkan
oleh hambatan internal atau eksternal dari pembuluh portal,yang berakibathipertensi
portal tanpa cirrhosis. Contohnya dapat berupa massa yang menekan padapembuluh-
pembuluh portal dari rongga perut bagian dalam atau pembentukan bekuandarah dalam
pembuluh portal yang menghalangi aliran normal dan meningkatkan tekanandalam
pembuluh Ada juga pembentukan asites sebagai akibat dari kanker, yang disebut
malignant asitesTipe-tipe asites ini secara khas adalah manifestasi dari kanker yang
telah lanjut dariorgan-organ dalam rongga perut, seperti,kanker usus besar, kanker
pankreas,kankerlambung,kanker payudara,lymphoma,kanker paru-paru,atau kanker
indung telur.

Berdasarkan jumlahnya ada tingkatan:


Grade 1: Sedang, hanya tampak pada pemeriksaan USG
Grade 2: asites sedang dan terlihat distensi abdomen yang sedang.
Grade 3: tampak besar pada pemeriksaan inspeksi dan terdapat distensi abdomen
• Secara klinis dikelompokkan menjadi eksudat dan transudat:

Asites eksudatif:Biasanya terjadi pada proses peradangan (biasanya infektif, misalnya


pada tuberculosis) danproses keganasan. Eksudat merupakan cairan tinggi protein, tinggi
LDH, ph rendah (<7,3), rendahkadar gula, disertai peningkatan sel darah putih.Beberapa
penyebab dari asites eksudatif: keganasan (primer maupun metastasis),
infeksi(tuberkulosis maupun peritonitis bakterial spontan), pankretitis, serositis, dan
sindroma nefrotik
• Asites transudatif:Terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan bersihan
(clearance) natriumginjal, juga bisa terdapat pada konstriksi perikardium dan sindroma
nefrotik. Transudatmerupakan cairan dengan kadar protein rendah (<30g/L), rendah
LDH, pH tinggi, kadar gulanormal, dan sel darah putih kurang dari 1 sel per 1000
mm³.Beberapa penyebab dari asites transudatif: sirosis hepatis, gagal jantung, penyakit
venaoklusif, perikarditis konstruktiva, dan kwasiokor.

86
• Gradien nilai Albumin serum dan asites (serum ascites albumine gradient )Pemeriksaan
ini sangat penting untuk membedakan asites tansudat atau asiteseksudat. Gradien tinggi
bila nilainya >1,1 gram/dL sedangkan Gradien rendahbila nilainya < 1,1
gram/dL.Gradien tinggi biasanya terdapat pada asites transudat sedangkan gradien
rendahbiasanya berhubungan dengan asites eksudat.

Albumin serum 2.03 (rendah)


Albumin ascites
SAAG = albumin serum – albumin ascites
• Penatalaksanaan

Pengobatan asites sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi :


1.Tirah baring
Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites transudatyang
berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika berhubungandengan
perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah baring.Tirah baring akan
menyebabkan aktifitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Yang
dimaksud dengan tirah baring disini bukan istirahattotal ditempat tidur sepanjang hari
tetapi tidur terlentang dengan kaki sedikitdiangkat selama beberapa jam setelah minum
obat diuretika
• Diet

Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsigaram
(NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 meq/hari. Membatasikonsumsi sodium
(garam) makanan kurang dari 2 gram per hari adalah sangatpraktis
• Diuretika

Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteronmisalnya


spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerjapada tubulus
distal dan menahan reasorbsi Na. Sebenarnya potensi natriuretik diuretik distal lebih
rendah dari pada diuretika loop bila etiologi peningkatan airdan garam tidak berhubungan
dengan hiperaldosteronisme
Efektifitas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya diplasma, semakintinggi
semakin efektif. Dosis yang dianjurkan antara 100-600 mg/hari.Diuretika loop sering
dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnyalebih berpotensi daripada
diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanismeutama reasorbsi air dan natrium
adalah hiperaldosteronismu, diuretika loopmenjadi kurang
efektif.Diuretik meningkatkan ekskresi air dan garam dari ginjal. Aturan penggunaandiur
etik yang direkomendasikan dalam penatalaksanaan dari asites yangberhubungan dengan
hati adalah kombinasi dari spironolactone (Aldactone) dan furosemide (Lasix) Dosis
87
tunggal harian dari 100 miligram spironolactone dan40 miligram furosemide merupakan
dosis awal yang biasanya direkomendasikan.Ini dapat ditingkatkan secara berangsur-
angsur untk memperoleh respon yangtepat pada dosis maksimum 400 miligram
spironolactone dan 160 miligram furosemide
Varises Esofagus
• Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol).
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prparat somatostatin atau okreotid, diteruskan
dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.

2.9 JAUNDICE

1. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘ jaune’ yang berarti kuning. Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang
menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin seperti sklera dan permukaan bawah lidah
biasanya pertama kali menjadi kuning. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera
mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L).
jika icterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah
mencapai angka 7 mg/dl. Kadar bilirubin serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL,
dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL.

2. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3
fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan. Pentahapan yang baru
menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu
fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier.
Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

· Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh hal
- hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4


mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari

88
pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30%
berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum
tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air
seni.
· Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati
yang mengganggu proses pembuangan bilirubin

a. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan


berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /
bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi
merupakan bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin
terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin.
Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus
dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan
oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin
pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin
terkonjugasi / bilirubin direk.
· Fase Pascahepatik
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati
oleh batu empedu atau tumor

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus


bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin
menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam
tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan

89
kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air
seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi
tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni
yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat
mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi
hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik
atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).

A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek

1. Over produksi

Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua
atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran
eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis
intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat
resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik.

Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak
terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek
meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat
diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan
urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces
(warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal (cickle sel
anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas
transfusi), dan malaria tropika berat.

2. Penurunan ambilan hepatik

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari


albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti
asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.

3. Penurunan konjugasi hepatik

90
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil
transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I,
Sindroma Crigler Najjar II.

B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk

Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi


bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan
dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat
yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus
pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan
Rotor, ikterus pasca bedah.

Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia


terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat
total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab
tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :

 Obstruksi sal.empedu di dalam hepar : sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis,


tumor maligna primer dan sekunder.
 Obstruksi di dalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
 Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor saluran
empedu.
 Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery,
pancreatitis, metastasis tumor di lig.hepatoduodenale.

3. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menegakkan
diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan mengadakan penilaian

91
klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada apakah hiperbilirubinemia
bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap
harus difikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia indirect yang mungkin disebabkan
oleh hemolisis, sindroma Gilbert atau sindroma Crigler Najjar, dan bukan karena penyakit
hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin yang gelap
menandakan penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan
segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu
atau keganasan kaput pankreas).
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung
empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian kepala/kaput) sering
timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-
kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi, warna kuning pada sklera mata
sering memberi kesan yang berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish
jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis
intrahepatik.
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui penggabungan
dari gejala - gejala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar serta beberapa
prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai demam, dan terdapat fase
prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar menandakan hepatitis. Ikterus
yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu penyakit xanthomatous atau
suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik.

4. Pemeriksaan Penunjang
· Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan juga
keadaan infeksi.

· Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan
melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.

· Bilirubin

92
Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan menyebabkan peningkatan
bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin indirek
maupun direk. Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.

· Aminotransferase dan alkali fosfatase


· Tes serologi hepatitis virus
IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis
B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.

· Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler
dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik
akibat obat-obatan (drug induced).

· Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga untuk mendiagnosis penyakit infiltratif
dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis
dan penyakit fokal pada hati.

· Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC (Percutans


Transhepatic Colangiography).
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan radiologi
untuk mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan
sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). ERCP merupakan modalitas yang
sangat bermanfaat dalam membantu diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi
sejumlah kasus ikterus bedah yang inoperabel. Indikasi ERCP diagnostik pada
ikterus bedah meliputi:

· Kolestasis ekstra hepatik


· Keluhan pasca operasi bilier
· Keluhan pasca kolesistektomi
· Kolangitis akut
· Pankreatitis bilier akut.

93
Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted stone) yang
juga sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat terlihat jelas dengan teknik
endoskopi ini.

5. Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika


penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan
menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup
mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,
pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi.

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan


tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan drainase
via kateter untuk striktura (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian.
Untuk sumbatan maligna yang non-operabel, drainase bilier paliatif dapat dilakukan
melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik
(ERCP). Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang mempunyai risiko tinggi dapat
dilakukan "ERCP terapeutik". Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter
papila Vateri dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi
besar (spingterotomi endoskopik). Kebanyakan tumor ganas yang menyebabkan
obstruksi biliaris sering sekali inoperabel pada saat diagnosis ditegakkan. Papilotomi
endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparatomi pada pasien
dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin
diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu.

94
2.10 Hepatitis B

A. Definisi

Hepatitis B adalah infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV).
Hepattis B bisa menyebabkan kondisi akut dan kronis pada pasien.

B. Epidemiologi

Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehatan dunia. Sebanyak 2 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi virus ini, dengan 450 juta mengalami infeksi kronik. Sebanyak 500
juta hingga 1 juta pasien dengan hepatitis B meninggal setiap tahunnya. Hepatitis B
menyumbang 80% penyebab terjadinya karsinoma hepatoselular primer yang menduduki
peringkat kedua setelah rokok sebagai penyebab kanker.

Sebanyak 15 – 25% pasien dengan infeksi kronik hepatitis B meninggal akibat penyakit
hati kronik yang disebabkan oleh virus hepatitis B. pasien yang terinfeksi virus hepatitis B
pada awal kehidupan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami infeksi
kronik virus hepatitis B, dibandingkan dengan pasien yang terinfeksi pada saat anak – anak
ataupun dewasa muda.

Hepatitis B kronik merupakan masalah kesehatan besar terutama di Asia, dimana


terdapat sedikitnya 75% dari seluruhnya 300 juta individu HBsAg positif menetap di
seluruh dunia. Di Asia sebagian pasien B kronik mendapat infeksi pada masa perinatal dan
kebanyakan pasien ini tidak mengalami keluhan ataupun gejala sampai akhirnya terjadi
penyakit hati kronik.

C. Cara Penularan
Penularan hepatitis B dapat melalui cairan tubuh, perkutan, dan melalui mebran
mukosa. Hepatitis B terkonsentrasi dalam jumlah tinggi dalam cairan tubuh berupa darah,
serum, dan eksudat luka. Sementara itu konsentrasi yang sedang terdapat pada semen,
cairan vagina dan air liur. Konsentrasi yang rendah / tidak ada dijumpai pada urin, feses,
keringat, air mata dan ASI.
Penularan yang lebih rendah dapat terjadi melalui kontak dengan karrier hepatitis B,
hemodialisis, paparan terhadap pekerja kesehatan yang terinfeksi, alat tattoo, alat tindik,

95
hubungan seksual, dan inseminasi buatan. Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui
transfusi darah dan donor organ. Hepatitis B dapat menular melalui pasien dengan HBsAg
yang negatif tetapi anti HBc positif, karena adanya kemungkinan DNA virus hepatitis B
yang tersirkulasi, yang dapat dideteksi dengan PCR (10 – 20% kasus). Virus hepatitis B
100 kali lebih infeksius pada pasien dengan infeksi HIV dan 10 kali lebih infeksius pada
pasien hepatitis C. adanya HBeAg yang positif mengindikasikan resiko transmisi virus
yang tinggi.

D. Gambaran Klinis

Masa inkubasi hepatitis B adalah 30 – 120 hari. Setelah masa inkubasi, pasein masuk ke
dalam periode prodromal, dengan gejala berupa malaise, anoreksia, mual, muntah,
myalgia, dan mudah lelah. Pasien dapat mengalami perubahan rasa pada indra pengecap
dan perubahan sensasi bau – bauan. Sebagian pasien dapat mengalami nyeri abdomen
kuadran kanan atas atau nyeri epigasrium intermiten yang ringan sampai moderat. Demam
lebih jarang terjadi pada pasien dengan infeksi hepatitis B. Gejala diatas terjadi pada
umumnya 1 – 2 minggu sebelum terjadi ikterus. Sekitar 70% pasien mengalami hepatitis
subklinis atau hepatitis anikterik, hanya 30% pasien yang mengalami hepatitis dengan
ikterus.

Gejala klinis dan ikterus biasanya hilang setelah 1 – 3 bulan, tetapi sebagian pasien
dapat mengalami kelelahan persisten meskipun kadar transaminase serum telah mencapai
kadar normal. Kelainan fisik yang sering ditemui adalah demam dengan suhu yang tidak
terlalu tinggi, ikterus, dan hepatomegali ringan. Splenomegali dapat dijumpai pada 5 –
15% kasus. Limfadenopati ringan dapat terjadi. Selain itu,palmar eritema atau spider nevi
dapat dijumpai meskipun jarang.

E. Diagnosis

Pada hepatitis B akut, HBsAg muncul di serum dalam waktu 2 – 10 minggu setelah
terpapar virus, sebelum onset gejala dan peningkatan kadar ALT. pada sebagian pasien
dewasa, HBsAg hilang dalam waktu 4 – 6 bulan. Anti HBs dapat muncul beberapa minggu
setelah serokonversi HBsAg. Setelah serokonversi HBsAg menjadi anti HBs, HBV DNA
masih dapat dideteksi pada hati, dan respon sel T spesifik terhadap virus hepatitis B dapat
96
dijumpai pada beberapa dekadeberikutnya. Adanya HBsAg yang persisten lebih dari 6
bulan menunjukkan bahwa pasien menderita infeksi hepatitis B kronik.

Diagnosis serologi untuk HBV tergantung dari perjalanan penyakitnya apakah akut atau
kronik. Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan sekurang - kurangnya dua pertanda
serologi.

 HbsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang muncul dan terdapat pada
hampir semua orang yang terinfeksi, kenaikannya sangat bertepatan dengan mulainya
gejala.

 Anti-HBs umumnya tanda sembuh dan kekebalan seumur hidup terhadap reinfeksi
hapatitis B.

 HbeAg sering muncul selama fase akut dan menunjukkan status yang sangat
infeksius, muncul sebelum timbulnya gejala dan kurang lebih bersamaan waktunya
dengan terdeteksinya HbsAg.

 Anti-Hbe tanda remisi replikasi virus tidak aktif

 IgM anti-HBc tanda infeksi akut atau kronis yang mengalami eksaaserbasi akut.

 IgG anti-HBc tanda sedang atau pernah terinfeksi.

Uji serologis infeksi hepatitis B terhadap serum pasien


HbsAg IgM anti-HBc Interpretasi
Hepatitis B akut atau Hepatitis B kronik
+ +
yang mengalami eksaserbasi akut
+ - Hepatitis B kronik
- + Hepatitis B akut
Fungsi hati yang abnormal yang bukan
- -
disebabkan virus Hepatitis B

97
Peningkatan kadar Alt dan AST sampai 1000 – 2000IU/L sering dijumpai. Dimana ALT
lebih tinggi daripada AST. Peningkatan kadar bilirubin biasanya muncul setelah
peningkatan ALT. Peningkatatn kadar ALT puncak tidak berkorelasi dengan prognosis.
Leukopenia ringan dengan limfositosis relatif sering dijumpai. Pada pasien yang sembuh,
ALT biasanya kembali normal setelah 1 – 4 bulan diikuti kadar bilirubin yang menjadi
normal.

F. Tatalaksana
Infeksi virus hepatitis B akut tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang diberikan
hanya terapi suportif dan simptomatik. Karena sebagian besar infeksi hepatitis B akut pada
dewasa dapat sembuh spontan.

Pada infeksi hepatitis B kronik dikenal 2 kelompok terapi yaitu :

1. Kelompok imunomodulasi
 Interferon alfa
Tidak memiliki khasiat antivirus langsung tetapi merangsang terbentuknya
berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. IFN
merupakan pilihan untuk pasien hepatitis B kronik nonsirotik dengan HBeAg
positif dengan aktifitas penyakit ringan sampai sedang. Dosis IFN yang
dianjurkan adalah 5 – 10 MU 3x seminggu selama 16 – 24 minggu. Terapi IFN
98
untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif sebaiknya diberikan sedikitnya
selama 12 bulan.
Kontraindikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat
depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat.
 Timosin alfa 1
Timosin adalah jenis sitotoksin yang dapat menurunkan replikasi VHB dan
menurunkan konsentrasi atau menghilangkan DNA VHB. Keunggulan obat ini
tidak ada efek samping seperti IFN. Jika kombinasi dengan IFN dapat
meningkatkan efektifitas IFN.
2. Kelompok terapi antivirus
 Lamivudin
Merupakan suatu analog nukleosid yang berkhasiat menghambat produksi
VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi,
tetapi tidak mempengaruhi sel – sel yang telah terinfeksi. Jika dosis 100mg tiap
hari, akan menurunkan konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam
waktu 1 minggu. Khasiat semakin meningkat bila diberikan dalam waktu yang
lebih panjang. Namun jika dihentikan DNA VHB akan kembali lagi seperti
semula karena sel – sel yang terinfeksi memproduksi virus baru lagi. Pemberian
lamivudin sedini mungkin dapat mencegah terjadinya karsinoma hepatoselular.

G. Pencegahan
Pencegahan terhadap infeksi virus hepatitis B dilakukan melalui vaksinasi. Pemberian
dilakukan secara intramuscular di daerah deltoid, sebanyak 3x pada 0, 1 dan 6 bulan,
dengan dosis bervariasi tergantung jenis vaksinasi. Vaksinasi hepatitis B dapat melindungi
80 – 90% pasien selama sekurangnya 5 tahun dan 60 – 80% selama 10 tahun. Booster tidak
direkomendasikan untuk diberikan secaca rutin, kecuali pada pasien dengan sistem
imunokompromais.

H. Komplikasi
Pada 10 % pasien dapat menjadi : Hepatitis Fulminant, Hepatitis Kronik, Cirrhosis
hepatis, Karsinoma hepatoseluler. HBsAg yang didapat pada neonatus dan menetap
ditemukan pada 70-90 % kasus dan menjadi carier. Hepatitis B kronik dapat berkembang
menjadi carsinoma hepatoseluler setelah 8-10 tahun terpapar.
99
2.11 DASAR-DASAR TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Pendahuluan

Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisi elektrolit
di dalamnya tetap stabil adalah penting bagi homeostatis. Beberapa masalah klinis timbul
akibat adanya abnormalitas dalam hal tersebut. Untuk bertahan, kita harus menjaga
volume dan komposisi cairan tubuh, baik ekstraseluler (CES) maupun cairan intraseluler
(CIS) dalam batas normal. Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa penderita
dalam kegawatan yang kalau tidak dikelolam secara cepat dan tepat dapat menimbulkan
kematian. Hal tersebut terlihat misalnya pada diare, peritonitis, ileus obstruktif, terbakar,
atau pada pendarahan yang banyak.

Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam darah, jaringan,


dan sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif (kation) maupun yang negatif (anion)
menghantarkan arus listrik dan membantu mempertahankan pH dan level asam basa
dalam tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi pergerakan cairan antar dan dalam sel melalui
suatu proses yang dikenal sebagai osmosis dan memegang peraran dalam pengaturan
fungsi neuromuskular, endokrin, dan sistem ekskresi.

Jumlah asupan air dan elektrolit melalui makan dan minum akan dikeluarkan
dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan homeostasis dimana jumlah yang
masuk dan keluar tidak seimbang, harus segera diberikan terapi untuk mengembalikan
keseimbangan tersebut.

Anatomi Cairan Tubuh

Total Body Water ( TBW )

100
Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari berat
badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung beberapa faktor
diantaranya:

101
TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan. Kisaran ini
tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adipose yang
berbeda, yang mana jaringan ini hanya mengandung sedikit air.

TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada umur yang
sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya lebih banyak
mengandung jaringan lemak.
TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan

Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan jumlah
kandungan total air tubuh

TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan

ekstra seluler (CES) seperti terlihat pada gambar

Body
100%

Water Tissue

60 % (100) 40 %

Intracellular
space Extracellular space
20 %
40 % (60) (40)

Interstitial
space Intravascular space
15 % (30) 5 % (10)

102
Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki- laki dewasa
dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah merah
yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya bervariasi
menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki jumlah air yang lebih
sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya.

Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat perbedaan
umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang
lebih rendah dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein
yang merupakan komponen utama intra seluler.

103
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan stabil namun
tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme pasif seperti osmosis dan
difusi, yang mana tidak membutuhkan energi sebagaimana transport aktif.

Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu seluruh
cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler adalah cairan
interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan plasma, yaitu
seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus
menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membran kapiler.
Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan
ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus bercampur, sehingga
plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk protein, yang
konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.

Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh terpisah dari
plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti dalam keseimbangan
cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan dimana terjadi pengeluaran jumlah
cairan transeluler secara berlebihan maka akan tetap mempengaruhi keseimbangan cairan
dan elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk cairan transseluler yaitu :Cairan serebrospinal,
cairan dalam kelenjar limfe, cairan intra okular, cairan gastrointestinal dan empedu,
cairan pleura, peritoneal, dan perikardial.

Komponen cairan ekstraseluler terbagi menjadi seperti pada tabel berikut:

Komponen CES pada seorang laki-laki dewasa ( BB 70 Kg)

Cairan Berat Badan (%) Volume (%)

Cairan interstitial 15 10,5


Plasma 5 3,5
Cairan transeluler 1 0,7
Total CES 21 14,7

104
Arterial end Venous end

πp = 28 πp = 28

πi = 3

πi = 3
Pc = 15

mmHg
Pc = 35
mmHg

Pressure = (15-0) - (28-3)


Pressure = (35-0) - (28-3)
= 15-25
= 35-25
→ 10 mmHg INTO
capillary
→10 mmHg OUT of capillary

105
Komposisi Cairan Tubuh

Secara garis besar, komposisi cairan tubuh yang utama dalam plasma, interstitial
dan intraseluler ditunjukkan pada tabel berikut:(4)

Komposisi Plasma, interstitial, dan Intraselular ( mmol/L)

Substansia Plasma Cairan interstitial Cairan intraseluler

Kation

Na+ 153 145 10


K+ 4,3 4,1 159
Ca2+ 2,7 2,4 <1
Mg2+ 1,1 1 40
Total 161,1 152,5 209
Anion

Cl- 112 117 3


HCO3 - 25,8 27,1 7
Protein 15,1 <0,1 45
Lainnya 8,2 8,4 154
Total 161,1 152,5 209

106
Kebutuhan Air dan Elektrolit

Bayi dan anak:(7)

Pada bayi dan anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini :

Berat badan Kebutuhan air perhari

Sampai 10 kg 100 ml/kgBB


11-20 kg 1000 ml + 50 ml/kgBB
( untuk tiap kg diatas 10 kg)
>20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB
( untuk tiap kg diatas 20 kg)
Kebutuhan kalium 2,5 mEq/kgBB/hari
Kebutuhan natrium 2-4 mEq/kgBB/hari

Orang dewasa:(2)
Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu :
Kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari

Kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari

Kebutuhan natrium 2-3 mEq/kgBB/hari

Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan

Yang menyebabkan adanya suatu peningkatan terhadap kebutuhan cairan harian


diantaranya :

Demam ( kebutuhan meningkat 12% setiap 10 C, jika suhu > 370 C )


Hiperventilasi

Suhu lingkungan yang tinggi

Aktivitas yang ekstrim / berlebihan

Setiap kehilangan yang abnormal seperti diare atau poliuria

Yang menyebabkan adanya penurunan terhadap kebutuhan cairan harian


diantaranya yaitu :

Hipotermi ( kebutuhannya menurun 12% setiap 10 C, jika suhu <370 C )


107
Kelembaban lingkungan yang sangat tinggi

Oliguria atau anuria

Hampir tidak ada aktivitas

Retensi cairan misal gagal jantung

108
Proses Pergerakan Cairan Tubuh

Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan


mekanisme transport pasif dan aktif. Mekanisme transport pasif tidak membutuhkan
energi sedangkan mekanisme transport aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis
adalah mekanisme transport pasif. Sedangkan mekanisme transport aktif berhubungan
dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompartemen dapat berlangsung secara :


a. Osmosis

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel


(permeabel selektif dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih
tinggi hingga kadarnya sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat

dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.1,4
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan
osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-laktat),
lebih rendah disebut hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik.1

b. Difusi

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik
pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi
difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.

c. Pompa Natrium Kalium

Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar
ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan
hiperosmolar di dalam sel

Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau diperlukan
proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi elektrolit di dalam dan di
luar sel berbeda. Cairan intraselular banyak mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat,
sedangkan ekstraselular banyak mengandung ion Na dan ion Cl.

109
Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau miliosmol/liter. Tekanan
osmotik suatu larutan ditentukan oleh banyaknya partikel yang larut dam suatu larutan.
Dengan kata lain, makin banyak partikel yang larut maka makin tinggi tekanan osmotik yang
ditimbulkannya. Jadi, tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya pertikel yang larut bukan
tergantung pada besar molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara cairan
intraseluler dan ekstraseluler dipertahankan oleh dinding yang bersifat semipermeabel.

Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kandungan air dalam tiap organ1

Jaringan Presentasi Air

Otak 84

Ginjal 83

Otot Lurik 76

Kulit 72

Hati 68

Tulang 22

Lemak 10

Perubahan Cairan Tubuh

Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :

1. Volume,

110
2. Konsentrasi, dan

3. Komposisi.

Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan
yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian, dapat juga terjadi
secara terpisah atau sendiri yang dapat member gejala-gejala tersendiri pula. Yang paling
sering dijumpai dalam klinik adalah gangguan volume.

1. Perubahan Volume
Defisit Volume
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat,
lebih dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.
Dehidrasi

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari


natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (.150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus.
Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama
dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya
relatif sama dalam kompartemen intravascular maupun kompartemen ekstravaskular.3
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis).
Sedangkan dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah.3
Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit yang hilang, maka
dehidrasi dapat dibagi atas :

111
1. Dehidrasi ringan (defisit 4%BB)

2. Dehidrasi sedang (defisit 8%BB)

3. Dehidrasi berat (defisit 12%BB)

Tabel 4. Rumatan Cairan menurut rumus Hollyday-Segar3

Berat Badan Jumlah Cairan

< 10 kg 100 ml/kg/hari


11 – 20 kg 1000 ml + 50 ml/kg/hari untuk setiap kg
di atas 10 kg
> 20 kg 1500 ml + 20 ml/kg/hari untuk setiap kg
di atas 20 kg

Cara rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan + penggantian defisit)
untuk 24 jam pertama. Berikan separuhnya dalam 8 jam pertama dan selebihnya
dalam 16 jam berikutnya.

112
Kelebihan Volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic


(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl
ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air)
ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan GFR), sirosis, ataupun
gagal jantung kongestif.

2. Perubahan Konsentrasi

Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau hiponatremia


maupun hiperkalemia atau hipokalemia.

Rumus untuk menghitung defisit elektrolit :3,4

o Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na serum sekarang)
x 0,6 x BB (kg)

o Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter] – K serum


yang diukur) x 0,25 x BB (kg)

o Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan [mEq/liter] – Cl serum
yang diukur) x 0,45 x BB (kg)

3. Perubahan komposisi

Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi osmolaritas


cairan ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya kenaikan konsentrasi K dalam darah
dari 4 mEq menjadi 8 mEq, tidak akan mempengaruhi osmolaritas cairan
ekstraseluler tetapi sudah cukup mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya
dengan gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang
dari 8 mEq, sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum banyak menimbulkan
perubahan osmolaritas.

113
Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit

Gangguan keseimbangan air dan elektrolit dapat terjadi karena:


Gastroenteritis, demam tinggi ( DHF, difteri, tifoid )

Kasus pembedahan ( appendektomi, splenektomi, section cesarea, histerektomi )

114
Penyakit lain yang menyebabkan pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang (
kehilangan cairan melalui muntah )

Dehidrasi

Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya terjadi kekurangan jumlah


cairan tubuh dari jumlah normal akibat kehilangan, aasupan yang tidak memadai atau
kombinasi keduanya. Menurut jenisnya dehidrasi dibagi atas ;

Dehidrasi hipotonik

Dehidrasi hipertonik

Dehidrasi isotonik

Sedangkan menurut derajat beratnya dehidrasi yang didasarkan pada tanda interstitial
dan tanda intravaskuler yaitu ;

Dehidrasi ringan ( defisit 4% dari BB)

Dehidrasi sedang ( defisit 8% dari BB)

Dehidrasi berat ( defisit 12% dari BB)

Syok ( defisit dari 12% dari BB)

Defisit cairan interstitial dengan gejala sebagai berikut :


Turgor kulit yang jelek

Mata cekung

Ubun-ubun cekung

Mukosa bibir dan kornea kering

Defisist cairan intravaskuler dengan gejala sebagai berikut :


Hipotensi, takikardi

Vena-vena kolaps

Capillary refill time memanjang

Oliguri

Syok ( renjatan)

Dehidrasi hipotonik ( hiponatremik )

115
Pada anak yang diare yang banyak minum air atau cairan hipotonik atau diberi
infus glukosa 5%
Kadar natrium rendah ( <130 mEq/L)

Osmolaritas serum < 275 mOsm/L

Letargi, kadang- kadang kejang

10

116
Dehidrasi hipertonik
Biasa terjadi setelah intake cairan hipertonik ( natrium, laktosa ) selama diare

Kehilangan air >> kehilangan natrium

Konsentrasi natrium > 150 mmol/ L

Osmolaritas serum meningkat > 295 mOsm/L

Haus, irritable

Bila natrium serum mencapai 165 mmol/L dapat terjadi kejang

Berikut tabel yang menggambarkan tentang beberapa gangguan elektrolit.

Ion dan batas CES Terganggu ( mEq/L) Gejala- gejala Penyebab


normal ( mEq/L)

Natrium ( 136- 142) Hipernatremia ( >150) Haus, kulit kering Dehidrasi, kehilangan
dan mengkerut, cairan hipotonik
penurunan tekanan
dan volume darah,
bahkan kolaps
sirkulasi

Hiponatremia (<130) Gangguan fungsi Infuse atau ingesti solusi


SSP (intoksikasi air hipotonik dalam jumlah
konfusi, halusinasi, besar
kejang, koma,
kematian pada
beberapa kasus

Kalium ( 3,8-5,0) Hiperkalemia ( >8) Aritmia jantung Gagal ginjal,


berat penggunaaan diuretic,
asidosis kronik

Hipokalemia ( <2) Kelemahan dan Diit rendah kalium.

117
paralysis otot Ddiuretik dan
hipersekresi aldosteron

Kalsium ( 4,5-5,3) Hiperkalsemia ( >11) Konfusi, nyeri otot, Hiperparatiroid, kanker,


aritmia jantung, batu toksisitas vit. D.
ginjal, kalsifikasi suplemen kalsium
pada jaringan lunak dengan dosis yang

11

118
sangat berlebihan

Hipokalsemia (<4) Spasme otot, Diit yang jelek, kurang


kejang, kram usus, vitamin D, gagal ginjal,
denyut jantung yang hipoparatiroid,
lemah, aritmia hipomagnesemia
jantung, osteoporosi

Terapi Cairan

Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;


Resusitasi cairan

Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali


dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansicepat dari
cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.

Terapi rumatan

Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang


diperlukan oleh tubuh

Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

Terapi cairan

Resusitas Rumatan

Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi


119
Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :
Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan feses

Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil

Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :
Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )

Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )

12

120
Caitran pengganti ( replacement )

o Sekuestrasi ( cairan third space )

o Pengganti darah yang hilang

o Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan penghitungan untuk

menghitung berapa besarnya cairan yang hilang tersebut :


Refraktometer

Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml


Ket. BD plasma = 0,001

Dari serum Na+

Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 )


Ket. Plasma Na = 140

Dari Hct

Defisit plasma (ml) = vol.darah normal – (vol.darah normal x nilai Hct awal )

Hct terukur
Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa
kriteria klinis seperti pada tabel di bawah ini ;

Klas I Klas II Klas III Klas IV

Kehilangan darah Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000


( ml)

Kehilangan darah Sampai 15% 15-30% 30-40% >40%


( %EBV)

Denyut nadi <100 >100 >120 >140

Tek. Darah Normal Normal Menurun Menurun


(mmHg)
121
Tek. Nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
(mmHg) meningkat

Frek. Napas 14-20 20-3- 30-35 >35

Produksi urin >30 20-30 5-15 Tidak ada


(ml/jam)

SSP / status Gelisah ringan Gelisah sedang Gelisah dan Bingung dan

13

122
mental bingung letargi

Cairan pengganti Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan


( rumus 3 :1) darah darah

Pemilihan Cairan

Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid


merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air.
Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid
memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun
kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya
terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.

Kristaloid

Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer
laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena
perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya
dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.

Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan
jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan adanya
peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.

123
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah yang
rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi
dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitas-
hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.

Tabel 6. Komposisi Cairan Kristaloid5

Solution Glucose Sodium Chloride Potassium Kalsium Lactate (mOsmol/L)


(mg/dL) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)

14

124
5% 5000 253
Dextrose in
water

D5 ½ NS 5000 77 77 406

D5 NS 5000 154 154 561

0,9% NaCl 154 154 308

Ringer 130 109 4.0 3.0 28 273


Laktat

D5 RL 5000 130 109 4.0 3.0 28 525

5% NaCl 855 855 1171

Koloid

Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler.

Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien
daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan
lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar
dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus.
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan

125
tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang
intravaskular.

Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskular,


namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma akan
menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma,
sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan. Albumin

Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma manusia.

Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10 jam untuk meminimalisir

resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh

albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam

intravascular 2 jam setelah pemberian.

Dekstran

15

126
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari
sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim
dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan oleh
hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan
produk akhir dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis
tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM 40.000) dicampur dengan
garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.

Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis


tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam. Pemakaian
dekstran untuk mengganti volume darah atau plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter
(1,5 gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20
ml/kgBB/hari.

Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine

dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan

oleh sel-sel sistem retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu

hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan

alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah

dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran

40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat menyumbat tubulus

ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

Gelatin

Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum
dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan pelarut
NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL
isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.

127
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada
koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis yang
mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine yang
mungkin sebagai akibat efek langsung gelatin pada sel mast.

Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan termasuk
ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat ginjal
dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil

128
dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi,

maka tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan

adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal

bahkan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian volume

primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi

adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal jantung kongestif dan syok

normovolemik.
Hydroxylethyl Starch (HES)
Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok koloid sintetik
polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural. Kurang dapat diterima kanji
hidroksi (HES ) untuk pengantian volume paling mungkin akibat laporan-laporan adanya
koagulasi abnormal yang menyertai subtitusi plasma ini. Laporan laporan tentang HES
yang memperlihatkan koagulasi darah yang terganggu dan kecenderungan perdarahan
yang meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian preparat HES berat molekul
tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari 90% partikel HES adalah 17 hari

Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan dengan reaksi
anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi pemberian HES
adalah :Terapi dan profilaksis defisiensi volume (hipovolemia) dan syok (terapi
penggantian volume) berkaitan dengan pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok
traumatik), infeksi (syok septik), kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi
adalah : Gagal jantung kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL dan >177
mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam nyawa).
Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.

Kontroversi kristaloid versus koloid


Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi terus
merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji unruk resusitasi,
antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein
murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch, dan dekstran 70.3,5

129
Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi
hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal. Cairan
ideal adalah yang dapat membawa O2. Larutan koloid yang ada terbatas karena ketidak

17

130
mampuan membawa O2. Darah lengkap marupakan ekspander volume fisiologis dan
komplit, namun terbatas masa simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam penyimpanannya,
risiko kontaminasi viral, reaksi alergi dan mahal.

Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat bermanfaat
karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah. resusitasi hemodinamik lebih
cepat dilaksanakan dengan koloid karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskular dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan
kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam
plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan protein plasma sehingga
TOK menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi cairan
kristaloid dapat pula berakibat pemberian garam dan air yang berlebihan dengan
konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan yang cukup banyak, tetapi yang
tidak memerlukan transfusi, dapat dipakai koloid dengan waktu paruh yang lama
misalnya : Haes steril 6 %.

Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat memberi
koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin, Plasmafusin, Haemaccel,
Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu, manakala darah siap untuk ditransfusikan
sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat melakukannya langsung, tanpa khawatir terjadi
kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.

Tabel 7. Perbandingan Kristaloid dan Koloid3

Kristaloid Koloid

Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia dan 1. Ekspansi volume plasma


murah tanpa ekspansi interstitial

2. Komposisi serupa dengan 2. Ekspansi volume lebih besar


plasma (Ringer asetat/ringer
3. Durasi lebih lama
laktat)
3. Bisa disimpan di suhu kamar 4. Oksigenasi jaringan lebih

131
baik
4. Bebas dari reaksi anafilaktik
5. Insiden edema paru dan/atau
5. Komplikasi minimal edema sistemik lebih rendah

Kekurangan 1. Edema bisa mengurangi 1. Anafilaksis

132
ekspansibilitas dinding dada 2. Koagulopati

2. Oksigenasi jaringan 3. Albumin bisa memperberat


terganggu karena depresi miokard pada pasien
bertambahnya jarak kapiler syok
dan sel

3. Memerlukan volume 4 kali


lebih banyak

Berikut ini tabel beberapa jenis cairan kristaloid dan kandungan masing- masing :

Nama produk Na+ K+ Mg+ Cl- Laktat Dekstrose (gr/L) Kalori (Kcal/L)

Ringer laktat 130 4 - 109 28 - -

NaCl 0,9% 154 - - 154 - - -

Dextrose 5% - - - - - 27 108

Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk suatu
kehilangan cairan yaitu ;

Kandungan rata- rata


Kehilangan (mmol/ L) Cairan pengganti yang sesuai

Na+ K+

133
Darah 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% / koloid / produk
darah

Plasma 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% / koloid

Rongga ketiga 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9%

Nasogastrik 60 10 NaCl 0,45% + KCl 20 mEq/L

Sal. Cerna atas 110 5-10 NaCl 0,9% ( periksa K+ dengan teratur )

Diare 120 25 NaCl 0,9% + KCl 20 mEq/L

mmm

134
2.12 HIPOGLIKEMIA

1. Definisi dan diagnosis


Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah normal.1 kadar
glukosa darah < 60mg/dl atau kadar glukosa darah <80 mg/dl dengan gejala klinis. 3
Walaupun kadar glukosa plasmapuasa pada orang normal jarang melampaui 99 mg% (5,5
mmol/L), tetapi kadar < 108 mg% (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar glukosa
plasma kira-kira 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan
karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relative lebih rendah. Kadar glukosa
arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena, sedangkan kadar glukosa darah kapiler
diantara kadar arteri dan vena.1
Pada individu normal, sesudah puasa semalaman kadar glukosa darah jarang lebih
rendah dari 4 mmol/L, tetapi kadar kurang dari 50 mg% (2,8 mmol/L) pernah dilaporkan
dijumpai sesudah puasa yang berlangsung lebih lama.1
Hipoglikemia spontan yang patologis mengkin terjadi pada tumor yang mensekresi
insulin atau insulin-like growth factor (IGF). Dalam hal ini diagnosis hipoglikemia
ditegakkan bial kadar glukosa < 50 mg% atau bahkan 40 mg%. Walaupun demikian
berbagai studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi
pada kadar glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L). lebih lanjut diketahui bahwa kadar glukosa
darah 55 mg% yang terjadi berulang kali merusak mekanisme proteksi endogen terhadap
hipoglikemia yang lebih berat.1Gejala hipoglikemi dapat ringan berupa gelisah sampai
berat berupa koma disertai kejang.4
Respon regulasi non pakreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah
63-65 mg% (3,5-3,6 mmol/L). oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnose
hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma ≤ 63 mg% (3,5 mmol/L).1

2. Klasifikasi
Pada diabetes, hipoglikemia juga didefinisikan sesuai dengan gambarab klinisnya.
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dari Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi
klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi : 1,2
a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah yang rendah.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L, hipoglikemia pada diabetes).
c. Hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.

13
Akan tetapi pada pasien diabetes dan insulinoma dapat kehilangan kemampuannya untuk
menunjukkan atau menddeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah criteria
klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi
hipoglikemia ringan, sedang dan berat (tabel 1).1

Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut.1

Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada


gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata.

Simtomatik, dapat diatasi sendiri,


Sedang
menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari
yang nyata.

Sering (tidak selalu) tidak simtomatik,

Berat karena ganguan kognitif pasien tidak


mampu mengatasi sendiri.

Epidemiologi

Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan kekerapan kejadian


hipoglikemia dari berbagai studi harus dilakukan dengan hati-hati. Sangat bermanfaat untuk
mencatat kekerapan kejadian hipoglikemia agar pengaruh berbagai regimen terapi terhadap
timbulnya hipoglikemia dan cirri-ciri klinik yang menyebabkan pasien beresiko dapat
dibandingkan. Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang
dilaksanakan pada pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60
pasien/tahun pada kelompok yang mendapat terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20
pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi konvensional. Sebaliknya dengan kriteria
yang berbeda kelompok the Dusseldorf mendapat kejadian hipoglikemia yang berat
didapatkan pada 28 dengan terapi insulin intensif dan 17 dengan terapi konvensional.1

Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap


sebagai konsukuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak dapat dihindari. Walaupun
demikian, hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan karena potensial dapat diikuti kejadian
hipoglikemia yang lebih berat.1

14
Penyebab Hipoglikemia

Pada pasien diabetes hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang
tepat, naik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang menyebabkan
meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonylurea. Oleh sebab itu dijumpai saat-saat dan
keadaan tertentu dimana pasien diabetes mungkinakan mengalami kejadian hipoglikemia.
Sampai saat ini pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan pola sekresi
insulin yang fisiologis. Makan akan meningkatkan glukosa darah dalam beberapa menit dan
mencapai puncak sesudah 1 jam. Bahkan insulin yang bekerjanya paling cepat, bila diberikan
subkutan belum mampu menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan
berakibat menghasilkan puncak konsentrasi insuli 1-2 jam sesudah disuntikan. Oleh sebab itu
pasien rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan yang
berikutnya. Oleh seba itu waktu dimana resiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat
menjelang makan berikutnya dan malam hari.1

Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang
mendapat sulfonylurea, pernah mengalami keadaan dimana kadar insulin disirkulasi tetap
tinggi sementara kadar glukosa darah sudah dibawah normal. Untuk menghindari timbulnya
hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan
insulindengan waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap
kadar glukosa darah, tanda-tanda dini hipoglikemia dan cara penanggulangannya. Resiko
hipoglikemia terkait dengan penggunaan sulfonylurea dan insulin.1

Pada pasien diabetes tipe 2 kejadian hipoglikemia berat jauh lebih sedikit. Dari the
United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), pada kadar HbA1c yang setara
dengan DCCT dalam 10 tahun pertama kejadian hipoglikemia berat dengan terapi
klorpropamid timbul pada 0,4%, glibenklamid 0,6% dan insulin 2,3%. Kejadian hipoglikemia
berat juga meningkat dengan penggunaan insulin yang makin lama.1

Tabel 2. Faktor Yang Merupakan Predisposisi atau Mempresipitasi Hipoglikemia1

Berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau presipitasi hipoglikemia adalah :

1. Kadar insulin yang berlebihan


 Dosis berlebihan : kesalahan dokter, farmasi, pasien ; ketidaksesuaian dengan

15
kebutuhan pasien atau gaya hidup.
 Peningkatan bioavabilitas insulin : absorbs yang lebih cepat (aktivitas jasmani), suntik
diperut, perubahan ke human insulin ; antibody insulin ; gagal ginjal..
2. Peningkatan sensitivitas insulin
 Defisiensi hormone counter-regulatory : penyakit Addison ; hipopituitarisme
 Penurunan berat badan
 Latihan jasmani, postpartum ; variasi siklus menstruasi.
3. Asupan karbohidrat kurang
 Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang
 Diet slimming, anoreksia nervosa
 Muntah, gastroparesis
 Menyusui
4. Lain-lain
 Absorpsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
 Alcohol, obat (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonylurea ; penyekat β non
selektif, pentamidin)

Keluhan dan Gejala Hipoglikemi

Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes


adalah ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus menerus. Gangguan
asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan system saraf
pusat, dengan gejala gangguan kognisi, bingung, dan koma. Seperti jaringan yang lain,
jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energy alternative, yaitu keton dan laktat. Pada
hipoglikemia yang disebabkan oleh insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan
mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai
sumber energy alternative.1

Pada individu yang mengalami hipoglikemia, responfisiologi terhadap glukosa darah


tidak hanya membatasi makinparahnya metabolisme glukosa, tetapi juga menghasilkan
berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar
mengenai keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera
melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk
karbohidrat “refined” yang lain. Kemampuan mengenali gejala awal sangat penting bagi

16
pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan
kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Terdapat keluhan yang menonjol
diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda. Walaupun
demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu, sesuai komponen
fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda.1

Tabel 3. Keluhan dan gejala hipoglikemia akutyang sering dijumpai pada pasien diabetes.1.3

Otonomik Neuroglikopenik Malaise

Berkeringat Bingung Mual

Jantung berdebar Mengantuk Sakit kepala

Tremor Sulit berbicara

Lapar Inkoordinasi

Perilaku yang berbeda

Gangguan visual

Parestesi

Pada pasien diabetes yang masih relative baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan
system saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat yang lebih menonjol dan
biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh
neroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau koma.sakit kepala dan mual mungkin bukan
merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan
otonomik cenderung berkurang atau menghilang. Hal tersebut menunjukkan kegagalan yang
progresif aktivasi system saraf otonomik. 1

Terapi Hipoglikemia
Bila hipoglikemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanakan terutama
gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap penurunan glukosa darah.
Berdasarkan stadium terapi hipoglikemi:3,4
1. Stadium permulaan (sadar)

17
Berikan gula murni ± 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula dan makanan yang mengandung karbohidrat.
Stop obat hipoglikemi
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
2. Stadium lanjut (koma hipoglikemi atau tidak sadar + curiga hipoglikemi)
a. Berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon (= 50 ml) bolus intravena
b. Diberikan cairan dextrose 10% per infuse. 6 jam per kolf
c. Periksa GD sewaktu, kalau memungkinkan dengan glukometer.
 Bila GDs < 50 mg/dl, bolus dextrose 40% 50 ml IV
 Bila GDs < 100 mg/dl, tambahbolus dextrose 40% 25ml IV
d. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian dextrose 40% :
 Bila GDs < 50 mg/dl , tambah bolus dextrose 40% 50 ml IV
 Bila GDs < 100 mg/dl, bolus dextrose 40% 25 ml IV
 Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus dextrose 40%
 Bila GDs >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip dextrose
10%.
e. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.

Glukosa oral
Sesudah diagnose hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly atau 150-
200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola.
Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat
absorpsi glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan
10-20 g karbohidrat kompleks.1
Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan terlalu gawat, pemberian madu
atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut mungkin dapat dicoba.1
Glukagon intramuscular

18
Glukagon 1 mg intramuscular dapat diberikan oleh tenaga ni=on professional yang
terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut
sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukosa
harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g
karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa
yang panjang atau hipoglikemia yang diinduksi alcohol, pemberian glukagon mungkin
tidak efektif. Efektivitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.1
f. Glukagon intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan
konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20% atau 150-200
ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasi glukosa 50% dapat menimbulkan
nekrosis yang memerlukan amputasi.1

19
Algoritma Tatalaksana Hipoglikemi
menurut Lovelace Medical Center Diabetes
Episodes of Care*

*Diabetes Spectrum
2005;18:1 GD  70
mg/dl

INFUS D
MENU BOLUS
KESADARAN
RUN 25 ml

CEK
BISA BA GD
15-20 g KH @1
MAK IK
ORAL
AN
TDK
CEK BISA KES
GD MAKA
@ 15

INFUS D10%
MEN
BOLUS D40% MEMB RUN
GD > 70 GD  70 25 ml IV AIK
mg/dl mg/dl
MONITO
KETAT
- SNACK DLM ULANG :
15-20 g KH INFUS D
30 MNT ORAL
- CARI BOLUS D
PENYEBA 25 ml IV
CEK BISA TDK
GD MAK BISA
@ 15 AN MAKA
15-20 g KH
GD > 70 GD  70 17 ORAL
mg/dl mg/dl MONITOR
Gambar 3. Algoritma tatalaksana hipoglikemi.

KESIMPULAN

Untuk mencegah timbulnya komplikasi menahun, ancaman timbulnya hipoglikemia


merupakan faktor limitasi utama dalam kendali glikemia pada pasien DMT 1 dan DMT 2
yang mendapat terapi insulin. Dengan mengenal gejala awal hipoglikemia pasien dan
keluarga dapat mencegah kejadian hipoglikemia yang lebih berat. Ketidakmampuan pasien

20
mengenal gejala dini hipoglikemia menyebabkan pasien terhadap kejadian hipoglikemia.
Hipoglikemia unawareness timbul akibat gangguan respon fisiologi simpatoadrenal dan
sekresi glukagon yang sering didapatkan pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin.
Hipoglikemia akut harus segera diterapi dngan pemberian glukosa oral 10-20 g dalam bentuk
larutan. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian glukagon 1 mg IM atau 75-100 ml
larutan glukosa intrvena 20% merupakan terapi yang efektif.1

HIPOALBUMINEMIA

Definisi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal atau
keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik
Soemyarso, 2006 dan Diagnose-Me.com, 2007). Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan
asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta
protein lain oleh hati (Murray, dkk, 2003).
Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-50% pasien mengalami
hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya hipoalbuminemia berat,
serta masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition menunjukkan 90% lebih lama
daripada pasien dengan gizi baik (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005).

Klasifikasi Hipoalbuminemia
Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau jarak
dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl atau total kandungan albumin dalam
tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006). Klasifikasi
hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai berikut:
1. Hipoalbuminemia ringan : 3,5–3,9 g/dl
2. Hipoalbuminemia sedang : 2,5–3,5 g/dl
3. Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl

Penyebab Hipoalbuminemia
Menurut Iwan S. Handoko (2005), Adhe Hariani (2005) dan Baron (1995)
hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien. Hipoalbuminemia
dapat disebabkan olehmasukan protein yang rendah, pencernaan atau absorbsi protein yang

21
tak adekuat dan peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien
dengan kondisi medis kronis dan akut:
1. Kurang Energi Protein,
2. Kanker,
3. Peritonitis,
4. Luka bakar,
5. Sepsis,
6. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi setelah
trauma),
7. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin menurun),
8. Penyakit ginjal (hemodialisa),
9. Penyakit saluran cerna kronik,
10. Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),
11. Diabetes mellitus dengan gangren, dan
12. TBC paru.

Terapi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi albumin
(Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih telur, atau ekstrak
albumin dari bahan makanan yang mengandung albumin dalam kadar yang cukup tinggi.
Penangan pasien hipoalbumin di RS dr. Sardjito Yogyakarta dilakukan dengan pemberian
putih telur sebagai sumber albumin dan sebagai alternatif lain sumber albumin adalah ekstrak
ikan lele (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005). Sedangkan pada RS dr. Saiful Anwar
Malang, penanganan pasien hipoalbuminemia dilakukan dengan pemberian BSA (Body
Serum Albumer), dan segi gizi telah dilakukan pemanfaatan bahan makanan seperti estrak
ikan gabus, putih telur dan tempe kedelai (Illy Hajar Masula, 2005).

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Antariksa, Budhi et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia.


PDPI. 2011
2. Agusti, Albar et al. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease : Pocket
Guide To COPD Diagnosis, Management, And Prevention. GOLD, Inc. 2017.
3. Katleen H, Dong Peng Gu. Risk Factors for COPD mortality in Chinese Adult.
AM Journal of Epidemiology Yol 167 issue 8.hal 1998- 1004
4. Di Pede C. Chronic Obstructive Lung Disease and Occupational Exposure. Curt
Op in Allergy Clin Immuno. 2012. Hal 115-121
5. Romieu, Trenga C. Diet and Obstruetive Lung Disease. Epidemiol Dev : hal 268-287
6. Rojas S, Romieu, Perez P. Lung Punetion Growth im Children with Longterm
Exposure to Air Pollutans in Mexieo City. Epidemiology 2006: 17. hal 266-67
7. Alsaggaf. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University;2004

23

You might also like