You are on page 1of 45

Analisa Kuantitatif Wireline Log

Posted in Minyak dan Gas Bumi, Petrofisika with tags Analisa Log Kuantitatif, Eksplorasi Minyak dan Gas
Bumi, Geofisika, Geologi, Logging, Petrologi on February 26, 2015 by rachelyanna

Pengukuran log/logging, yaitu perekaman dan pengukuran data bawah permukaan (sifat-sifat fisik batuan)
di sepanjang lubang pemboran, guna membuktikan keberadaan Minyak dan Gas Bumi/Hidrokarbon yang
kemungkinannya terindikasi dari interpretasi seismik. Data log yang diperoleh, kemudian dilakukan
evaluasi/analisa, baik secara kualitatifmaupun kuantitatif. Pada analisa kuantitatif, lebih ditujukan untuk
mengetahui parameter-parameter fisik batuan reservoar yang telah terindikasi dari analisa kualitatif.
Parameter tersebut berupa porositas efektif, saturasi air, dan permeabilitas.

Evaluasi secara kuantitatif membutuhkan beberapa data log, yang utamanya berupa Log Gamma Ray, Log
Resistivitas, Log Densitas, Log Neutron, dan Log Sonik. Pada mulanya, analisa secara kuantitatif dilakukan
dengan menghitung volume serpih (shale), yang merupakan jumlah kandungan serpih pada batuan
reservoar. Karena serpih memiliki porositas non-efektif, maka akan mempengaruhi hasil pengukuran log
Porositas/Neutron, dan menyebabkan nilai porositasnya menjadi lebih tinggi. Oleh karenanya, perhitungan
volume serpih dilakukan sebagai koreksi pada porositas total sehingga dapat diperoleh porositas efektif
batuan reservoar.

Perhitungan volume serpih (Vsh) dapat dilakukan secara linear berdasarkan Log Gamma Ray, berdasarkan
persamaan Index Gamma Ray (IGR) :

IGR=((GRlog–GRmin)/(GRmax–GRmin))x100%
Beberapa metode lain digunakan untuk menghitung volume serpih terhadap nilai Index Gamma Ray, yaitu :

Pada metode Bateman, GRfactor merupakan konstanta untuk menghubungkan metode Clavier dengan

Stieber, sesuai dengan grafik berikut :

1. Porositas

Porositas adalah fraksi ruang pori dalam batuan, atau dapat dikatakan sebagai kemampuan batuan
reservoar untuk menyimpan fluida. Secara matematis dinyatakan dengan :

Φ(%)=((Volume of pores)/(Bulk volume))×100%

Porositas batuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran butir, bentuk butir, sortasi, dan
fabrics.

Terdapat dua macam porositas batuan, berdasarkan tingkat efektivitasnya, yaitu :


 Porositas efektif; dimana tiap pori saling terhubung.
 Porositas non-efektif; dimana tiap pori saling tertutup.

Selain itu, berdasarkan pembentukannya, porositas dapat dibedakan menjadi :

 Porositas primer; porositas batuan yang terbentuk ketika/seiring dengan batuan tersebut terbentuk.
Porositas primer dapat berkurang akibat terbebani (overburden) oleh batuan di atasnya, atau akibat
proses sementasi.
 Porositas sekunder; porositas batuan yang terbentuk setelah terbentuknya batuan tersebut, akibat
adanya proses disolusi dan rekahan.

Dalam kegiatan eksplorasi Minyak dan Gas Bumi, perlu diperhatikan juga tingkat kualitas porositas batuan,
yang oleh Koesomadinata (1980) diklasifikasikan menjadi :

 0 – 5 % : Diabaikan (negligible)
 5 – 10 % : Buruk (poor)
 10 – 15% : Cukup (fair)
 15 – 20 % : Baik (good)
 20 – 25 % : Baik sekali (very good)
 >25 % : Istimewa (excellent)

Dalam analisa kuantitatif data log, porositas dapat dihitung berdasarkan data Log Sonik, Log Densitas,
maupun Log Neutron.

a. Perhitungan Porositas berdasarkan Log Sonik

Dengan berdasarkan pada persamaan Wyllie, porositas (Φe) pada batuan clean dapat diperoleh dengan :

Φe=((DT–DTma)/(DTfl–DTma))⋅1/CP

Sedangkan pada batuan shaly, porositas dapat dihitung dengan :


Φe=[((DT–DTma)/(DTfl–DTma))⋅1/CP]-Vsh[((DTsh–DTma)/(DTfl–DTma))]

Dimana : Φe = Porositas efektif, DT = Waktu transit gelombang dari data Log Sonik (μs/m), DTma = Waktu
transit gelombang pada matriks batuan (μs/m), DTfl = Waktu transit gelombang pada fluida (μs/m), CP =
Faktor kompaksi; CP=(DTsh)/100, DTsh = waktu transit gelombang pada serpih (μs/m).

b. Perhitungan Porositas berdasarkan Log Densitas (Φd)

Berdasarkan data log Densitas, porositas (Φd) pada batuan yang cleandapat diperoleh dengan :

Φd=((ρma-ρlog)/(ρma-ρfl))

Sedangkan pada batuan yang shaly, dengan :

Φd=[((ρma-ρlog)/( ρma-ρfl))]-Vsh[((ρma-ρsh)/(ρma-ρfl))]

Dimana : Φd = porositas dari Log Densitas, ρma = nilai densitas matriks batuan, ρlog = nilai densitas dari
pembacaan data log, ρma = nilai densitas fluida, ρsh = densitas serpih.

c. Perhitungan Porositas berdasarkan Log Neutron (Φn)

Berdasarkan data Log Neutron, porositas pada batuan yang clean dapat dihitung dengan :

Φn=[(1,02⋅Φnlog)+0,0425]

Sedangkan pada batuan yang shaly, dengan :

Φn=[(1,02⋅Φnlog)+0,0425]-(Vsh⋅Φnsh)

Dimana : Φnlog = nilai porositas Log Neutron, Φnsh = nilai porositas serpih.

d. Perhitungan Porositas berdasarkan Log Neutron-Densitas

Porositas efektif (Φe) juga dapat dihitung dengan menggunakan crossplotantara Log Densitas dengan
Neutron, yaitu :

 Pada zona Minyak Bumi ; Φe=(Φn+Φd)/2


 Pada zona Gas ; Φe=√((Φn^2+Φd^2 )/2)

Dimana : Φn = porositas dari perhitungan berdasar data Log Neutron, Φd= porositas dari perhitungan
berdasar data Log Densitas.
2. Permeabilitas

Permeabilitas, kemampuan pori batuan untuk meloloskan fluida. Konsepnya diperkenalkan oleh H. Darcy di
tahun 1856, yang dinyatakan dalam :

Q=K(P1–P2 )A/(μ.L)

Dimana : Q = laju aliran fluida (cm3/sec), A = luas penampang media berpori (cm2), μ = viskositas fluida
(cps), P1–P2 = perbedaan tekanan (atm), L = panjang media berpori (cm), K = permeabilitas (Darcy).

Permeabilitas dapat diklasifikasikan menjadi :

 Permeabilitas absolut (K) = (250.phi3/Swi)2; kemampuan batuan meloloskan satu jenis fluida yang
100% jenuh.
 Permeabilitas efektif; kemampuan batuan meloloskan satu macam fluida apabila terdapat dua
macam fluida yang terpisah.
 Permeabilitas relatif; perbandingan antara permeabilitas absolut dan efektif.

Skala kualitas dari permeabilitas suatu batuan (Koesoemadinata, 1980) :

 < 5 mD : Ketat (tight)


 5 – 10 mD : Cukup (fair)
 10 – 100 mD : Baik (good)
 100 – 1000 mD : Baik sekali (very good)

Perhitungan permeabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan metode, yang salah satunya
adalah Coates Free Fluid Index yang dikembangkan oleh Coates tahun 1973.

k=[(Φ/C)^2⋅(FFI/BVI)]^2
dimana :k= permeabilitas, Φ = porositas, C = konstanta Coates, BVI = Bulk Volume
Irreducible, FFI = Free Fluid Index (FFI = Φ – BVI).

3. Saturasi Air

Saturasi air adalah persentasi volume pori batuan yang terisi air, dimana pada umumnya suatu reservoar
dapat terisi oleh perpaduan air dan hidrokarbon. Saturasi hidrokarbon (Sh) terhadap saturasi air (Sw) dalam
reservoar dapat dihitung dari :

Sh = (1 – Sw), dimana Sw = (Vw/Vp).100%

Saturasi air dapat dibedakan menjadi dua, yaitu saturasi air total (SWt) dan saturasi air efektif (SWe).
Saturasi air total adalah rasio antara volume air total dengan porositas total. Sedangkan saturasi air efektif
adalah rasio volume air bebas (free water volume) dengan porositas efektif.

SWt=(BVW+CBW)/Φt

Swe=BVW/Φe

Dimana : BVW = Free Volume Water; bagian dari air yang masih dapat bergerak/mengalir, CBW = Clay
Bound Water; air yang terkandung dalam lempung, Φt = Porositas total, Φe = Porositas efektif.

Perhitungan saturasi air (Sw) secara sederhana, pada batuan clean, dapat dilakukan dengan persamaan
Archie yaitu :

Sw=((A⋅Rw)/(Φ^M⋅RT ))^(1/N)

dimana : A = Tortuosity Factor, M = Faktor semetasi, N = Eksponen saturasi, Φ = Porositas, Rw =


Resistivitas air formasi pada suhu formasi, RT = Resistivitas formasi.

Untuk batuan shaly, perhitungannya dapat dilakukan dengan persamaan Simandoux :

Sw=(((Vsh/Rsh)^2+(4⋅Φe^M)/(A⋅Rw(1-Vsh)⋅RT)-Vsh/Rsh)/((2Φe^M)/(A⋅Rw(1-Vsh ) )))^(1⁄2)

Dimana : Vsh = volume serpih, Rsh = resistivitas serpih.

Terdapat suatu irreducible water (SWirr), yaitu air yang tertahan oleh surface tension pada permukaan
butiran dan mengisi celah-celah yang paling kecil.

.
.

[dicuplik dari laporan tugas milik pribadi ]

Report this ad

Report this ad

Leave a comment »

Analisa Kualitatif Wireline Log


Posted in Minyak dan Gas Bumi, Petrofisika with tags Analisa Log Kualitatif, Eksplorasi Minyak dan Gas
Bumi, Geofisika, Geologi, Logging, Petrologi on February 25, 2015 by rachelyanna

Kegiatan eksplorasi Minyak dan Gas Bumi (Hidrokarbon) merupakan serangkaian kegiatan yang panjang,
dari studi geologi permukaan, survey seismik, hingga dilakukan pemboran. Khususnya dalam kegiatan
pemboran, dilakukan suatu kegiatan pengukuran log/logging, yaitu perekaman dan pengukuran data bawah
permukaan (sifat-sifat fisik batuan) di sepanjang lubang pemboran. Tujuan utamanya adalah untuk
membuktikan keberadaan hidrokarbon, yang kemungkinannya terindikasi dari penafsiran/interpretasi
seismik.

Instrumen logging,
ilustrasi logging, dan data grafik hasil logging.

Data log yang diperoleh, kemudian dilakukan evaluasi/analisa. Dalam perspektif luas, sesungguhnya
evaluasi data log mencakup beberapa bidang kajian yang saling terkait; Geologi, Geofisika, Petrofisika,
Geokimia, Matematika, Ekonomi, dll, dimana dari serangkaian panjang eksplorasi hidrokarbon pada akhirnya
membawanya pada kesimpulan berdasarkan nilai ekonomisnya, dan evaluasi data log menjadi salah satu
inti kajiannya.

Terdapat beberapa kajian pokok di dalam evaluasi data log, antara lain untuk :
 Identifikasi porositas dan permeabilitas batuan reservoar.
 Perhitungan porositas dan saturasi air.
 Identifikasi jenis fluida (gas, minyak, air) dan kontak di antaranya.

BOREHOLE ENVIRONMENT

Dalam kegiatan pemboran, akan digunakan suatu lumpur pemboran khusus (mud filtrate) yang digunakan
dan diinjeksikan selama pemboran berlangsung. Lumpur pemboran ini memiliki berbagai fungsi, yaitu guna
memindahkan cutting, melicinkan dan mendinginkan mata bor, dan menjaga tekanan antara bor dan
formasi batuan. Densitas lumpur tersebut dijaga agar tetap tinggi supaya tekanan pada kolom lumpur selalu
lebih besar daripada tekanan formasi. Perbedaan tekanan ini menyebabkan terdorongnya sebagian lumpur
untuk merembes ke dalam formasi batuan. Rembesan fluida lumpur tersebut kemudian mengakibatkan
adanya tiga zona di sekitar lubang pemboran yang mempengaruhi pengukuran log, khususnya pengukuran
log yang berdasarkan prinsip kelistrikan (log SP, dan log Resistivitas). Tiga zona tersebut, yaitu :

1. Zona Terinvasi (Flushed Zone); zona yang umumnya diasumsikan bahwa air formasi telah tergantikan
seluruhnya oleh mud filtrate.
2. Zona Transisi (Transition Zone); zona yang mengandung sebagian air formasi dan sebagian hidrokarbon
yang tergantikan mud filtrate.
3. Zona Jauh/Tidak Terinvasi (Undisturbed Zone); zona yang tidak terpengaruh oleh mud filtrate.
Penampang lingkungan
sekitar lubang pemboran.

Zona terinvasi memiliki diameter df, ketebalan sekitar 6 inch, dan mengandung mud filtrate dengan nilai
resistivitas Rmf, serta mengandung residual hydrocarbon dengan nilai resistivitas Rxo. Sedangkan zona
transisi dengan diameter dj dan rentang beberapa kaki. Untuk zona jauh memiliki resistivitas air Rw,
resistivitas formasi Rt, dan nilai saturasi air Sw.

ANALISA KUALITATIF LOG SUMUR PEMBORAN

Analisa data log sumur pemboran dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif,
praktisnya adalah dengan menganalisa karakteristik grafik data log, untuk langkah awal identifikasi dan
zonasi reservoar hidrokarbon. Sedangkan analisa secara kuantitatif, yaitu dengan perhitungan
menggunakan persamaan-persamaan tertentu, untuk identifikasi tahap lanjut terhadap tingkat porositas,
permeabilitas batuan reservoar, dan saturasi air. Di dalam industri jasa survey eksplorasi Minyak dan Gas
Bumi, terdapat berbagai macam jenis pengukuran log sesuai dengan prinsip kerja dan fungsinya. Namun,
dari bermacam pengukuran log yang tersedia, terdapat jenis pengukuran log yang utama, yaitu;
Log Gamma Ray, Log Spontaneous Potential, Log Resistivitas, Log Densitas, Log Neutron, Log Sonik, dan
Log Kaliper. [lihat:Wireline Log untuk sekilas prinsip kerjanya]

1. Log Gamma Ray


Dalam analisa kualitatif, log Gamma Ray (GR Log) dapat digunakan untuk identifikasi dan korelasi litologi
serta estimasi tingkat kelempungan, karena prinsip kerjanya yang mengukur tingkat radioaktivitas alami
(sinar gamma) dari unsur-unsur tertentu pada mineral mika, glaukonit, dan potasium feldspar, yang umum
ditemukan pada batu serpih (shale) dan lempung (clay). Secara umum (konvensional), kegiatan eksplorasi
dilakukan untuk mencari hidrokarbon pada batuan reservoar yang memiliki porositas dan permeabilitas yang
baik, yaitu batupasir dan batugamping. Karena karakteristik batu serpih dan lempung yang memiliki
porositas dan permeabilitas yang kecil (kemudian dianggap sebagai batuan non-reservoar), dan bersifat
“menyerpih” dalam suatu tubuh batuan, maka dengan analisa log Gamma Ray ini dapat dilakukan
identifikasi litologi, membedakan zona reservoar dengan zona non-reservoar.

Batupasir dan batugamping yang clean (bebas kandungan serpih), pada umumnya akan memiliki
kandungan material radioaktif yang rendah, sehingga akan menghasilkan pembacaan nilai GR yang rendah
pula. Seiring dengan bertambahnya kandungan serpih dalam batuan, maka kandungan material radioaktif
akan bertambah dan pembacaan nilai GR akan meningkat. Teknik interpretasinya, secara sederhana yaitu
dengan membuat suatu garis batas (cut off) antara shale base line (yang menyatakan nilai GR tertinggi)
dengan sand base line (yang menyatakan nilai GR terendah). Sehingga diperoleh zona di sebelah kiri cut
off sebagai zona reservoar, dan zona non-reservoar di sebelah kanan garis cut off.

(1)Respon Gamma Ray di


berbagai litologi, (2)Analisa kualitatif log GR.

Pengukuran log Gamma Ray memiliki kelemahan, terutama apabila terdapat batuan selain serpih dan
lempung yang memiliki radioaktivitas alami tinggi, seperti tuff. Sehingga identifikasi litologi umumnya
diperkuat dengan pengukuran Spectral Gamma Ray, yang mampu mengetahui sumber radiasi.

2. Log Spontaneous Potential


Dari prinsip kerjanya, log SP ini dapat digunakan untuk identifikasi batuan permeable, identifikasi lapisan
serpih (non-reservoar) dan non-serpih (reservoar), membantu korelasi litologi, dan menghitung nilai
salinitas fluida formasi (Rw). Pengukurannya berdasarkan adanya beda potensial karena perbedaan salinitas
antara lumpur pemboran (Rmf) dengan fluida formasi (Rw), dimana pada dasarnya nilai salinitas berbanding
terbalik dengan resistivitas.

Teknis pengukuran log SP,


beserta responnya.

Dalam interpretasinya, apabila data log SP menunjukkan kurva lurus (tidak ada perubahan nilai) maka
mengindikasikan salinitas fluida formasi sama dengan salinitas lumpur pemboran, atau dapat juga sebagai
indikasi lapisan batuan yang pejal (tight) atau impermeable. Sedangkan apabila terdapat defleksi
grafik/perubahan nilai log SP, maka menunjukkan adanya perbedaan salinitas, adanya lapisan
batuan permeable, dan dapat diasumsikan sebagai reservoar. Dan apabila lapisan permable tersebut
mengandung saline water maka nilai Rw << Rmf, dan akan terjadi perubahan nilai SP yang negatif,
sedangkan lapisan yang mengandung fresh water memiliki nilai Rw >> Rmf, mengakibatkan perubahan nilai
SP positif.

3. Log Resistivitas
Log Resistivitas dapat digunakan untuk membedakan lapisan reservoar dan non-reservoar, identifikasi jenis
fluida (air formasi dan hidrokarbon) dan batas kontak fluidanya, menghitung nilai resistivitas air formasi dan
salinitas air formasi.

Terdapat dua macam pengukuran log resistivitas, yaitu Lateral Log; meliputi Lateralog
Deep (LLD), Lateralog Shallow (LLS), Micro Spherically Focused Log (MSFL), dan Induction Log; yang
meliputi Inductionlog Deep(ILD), Inductionlog Shallow (ILS), Micro Spherically Focused (MFS). Mengacu dari
adanya perbedaan zona di sekitar dinding lubang pemboran, zona terinvasi dapat terindikasi dari rekaman
log MSFL atau SFL. Sedangkan untuk zona transisi dapat terindikasi dari rekaman log LLS atau ILM. Untuk
zona jauh dapat terbaca dari log LLD atau ILD.
Rekaman log Resistivitas.

Dalam teknik interpretasinya, analisa log resistivitas, utamanya adalah untuk mengetahui indikasi batuan
yang porous dan permeable yang mengandung fluida hidrokarbon atau air. Nilai-nilai LLD/ILD, LLS/ILS, dan
MSFL umumnya ditampilkan pada satu kolom grafik, dab berdasarkan karakteristik grafiknya, indikasi
hidrokarbon ditunjukkan oleh adanya perubahan nilai/defleksi grafik LLD/ILD yang relatif berada di kanan
terhadap defleksi grafik LLS/ILM dan MSFL. Sedangkan defleksi grafik LLD yang relatif lebih negatif terhadap
LLS/ILM dan MSFL akan mengindikasikan adanya kandungan fluida air. Namun apabila ketiga grafik tersebut
menunjukkan grafik yang saling berhimpit tanpa adanya separasi yang jelas maka dapat mengindikasikan
suatu zona yang impermeable atau tight.

4. Log Densitas

Log Densitas dapat digunakan untuk perhitungan densitas, perhitungan porositas, dan identifikasi
kandungan fluida. Dengan memanfaatkan pancaran sinar gamma dan prinsip Hamburan Compton, prinsip
kerjanya yaitu dengan mengukur densitas bulk batuan, yang merupakan fungsi dari densitas elektron dalam
batuan. Secara teori, batuan berpori (umumnya berupa batupasir atau batugamping) akan memiliki
kandungan elektron yang lebih sedikit dibandingkan dengan batuan pejal (tight). Untuk batupasir (densitas
ρ = 2,65 gr/cc) dan batugamping (ρ = 2,71 gr/cc) yang mengandung fluida gas akan memiliki
densitas bulkyang tinggi. Sedangkan serpih akan memiliki nilai densitas bulk yang sangat tinggi apabila
memiliki kandungan air terikat (clay-bound water).

Respon log Densitas di


berbagai litologi.
Interpretasi log Densitas dilakukan dengan mengamati karakteristik grafik yang akan mengalami defleksi ke
nilai yang lebih rendah apabila melalui suatu yang mengandung fluida berupa gas, sedangkan akan
mengalami defleksi ke arah nilai yang lebih tinggi apabila melalui suatu yang mengandung fluida air maupun
fluida minyak.

5. Log Neutron

Log Neutron dapat digunakan untuk perhitungan porositas batuan, evaluasi litologi, dan deteksi keberadaan
gas. Prinsipnya adalah dengan mengukur persentase pori batuan dari intensitas atom hidrogen di dalamnya,
yang diasumsikan bahwa hidrogen tersebut akan berupa hidrokarbon maupun air. Hasil pengukuran log
Neutron kemudian dinyatakan dalam Porosity Unit (PU).

Pada formasi yang mengandung minyak dan air, dimana kandungan hidrogennya tinggi maka menyebabkan
nilai Porosity Unit juga tinggi. Sedangkan pada formasi yang mengandung gas yang memiliki kandungan
hidrogen yang rendah menyebabkan nilai PU yang rendah pula. Rendahnya nilai PU karena kehadiran gas
kemudian disebut dengan gas effect.
Respon log Neutron di
berbagai litologi.

Suatu grafik log Neutron akan menunjukkan defleksi ke arah nilai yang lebih tinggi (ke arah kiri) apabila
melalui suatu zona berporositas tinggi, dan sebaliknya, grafik akan mengalami defleksi ke kanan apabila
melalui zona berporositas rendah.

Log Neutron, umumnya tidak terlepas dari log Densitas, karena kedua log tersebut memiliki korelasi dalam
menentukan jenis fluida yang terindikasi, antara gas, minyak, dan air, serta batas kontak antar fluida
tersebut. Grafik log Neutron dan log Densitas biasanya ditampilkan pada satu kolom, dan berdasarkan
karakteristik grafik keduanya, apabila terdapat suatu cross-over dengan jarak separasi yang besar maka
merupakan indikasi dari adanya gas. Sedangkan apabila jarak separasinya sempit dapat mengindikasikan
adanya minyak, lebih sempit lagi menunjukkan adanya fluida air.
Analisa kualitatif log Neutron-Densitas
untuk identifikasi jenis fluida hidrokarbon.

[sumber:dicuplik dari laporan milik pribadi ]

Leave a comment »

Petroleum System
Posted in Geologi, Minyak dan Gas Bumi with tags Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi, Geofisika, Geologi, Petroleum
System on February 24, 2015 by rachelyanna

Petroleum, suatu istilah yang


sudah umum didengar. Biasanya ‘Petroleum’ diasosiasikan dengan ‘Oil’, ‘Minyak dan Gas Bumi’, atau lebih
tepatnya merujuk pada ‘Minyak Mentah’. Pada dasarnya, Petroleummerupakan senyawa hidrokarbon beserta
beberapa unsur lainnya, seperti sulfur, nitrogen, oksigen, helium, dll. Sedangkan Oil, atau Minyak Bumi,
merupakan suatu zat berbentuk cair pada kondisi suhu dan tekanan di permukaan Bumi. Sebagaimana
Minyak Bumi, Gas Bumi juga merupakan zat berbentuk gas pada kondisi suhu dan tekanan permukaan.
Minyak dan Gas Bumi, tergolong sebagai senyawa hidrokarbon, yaitu senyawa yang hanya terdiri atas
hidrogen dan karbon. Kemudian, dalam dunia industri Migas, Minyak dan Gas Bumi disebut sebagai
Hidrokarbon. Jadi, dapat dikatakan bahwa Petroleum merupakan Minyak dan Gas Bumi yang masih terdapat
beberapa unsur “pengotor: lainnya, dimana terkadang ditemukan Petroleum dalam fase padat, seperti
aspal, bitumen, tar.

Minyak dan Gas Bumi/Hidrokarbon terbentuk dan tersimpan di bawah permukaan Bumi. Pembentukannya,
diyakini bahwa hidrokarbon terbentuk dari material-material organik yang terpendam berjuta-juta tahun
yang lalu. Karena pengaruh temperatur dan tekanan yang tinggi di bawah permukaan, material organik
tersebut terurai menjadi hidrokarbon. Keberadaan hidrokarbon di bawah permukaan, tidak terlepas dari
adanya beberapa komponen geologis yang saling terkait, sebagai Petroleum System. Dari rangkaian
kegiatan eksplorasi Minyak dan Gas Bumi, salah satunya adalah untuk mempelajari dan memastikan
adanya Petroleum System, yang meliputi adanya Batuan Induk (source rock), Perangkap (trap), Batuan
Reservoar (reservoir rock), Batuan Penutup (cap rock), Lapisan Pembawa (carrier bed), dan Waktu Migrasi
yang Tepat (proper timing of migration).

1. Batuan Induk

Minyak dan Gas Bumi terbentuk di dalam batuan induk (source rock). Pada masa berjuta tahun silam,
material organik sisa-sisa kehidupan terkumpul dalam suatu lingkungan pengendapan/sedimentasi, suatu
kontur cekungan geologi (basin), baik berupa lingkungan marine (laut) maupun non-marine (lakustrin,
fluvial, rawa). Seiring dengan bertambahnya waktu dan perubahan geologis, lingkungan tersebut kemudian
menjadi lapisan batuan yang mengandung material-material organik, disebut sebagai batuan induk bagi
pembentukan Minyak dan Gas Bumi.
Lingkungan
pengendapan marine (atas), dan non-marine (bawah).

Batuan induk adalah batuan yang sedang, akan, atau telah menghasilkan hidrokarbon. Sehingga dapat
dikatakan bahwa batuan induk merupakan sumber hidrokarbon, dan tanpanya tidak akan ada hidrokarbon
yang terbentuk. Batuan induk yang dapat menghasilkan hidrokarbon (dan terhitung dalam Petroleum
System) adalah batuan induk telah matang, dimana batuan induk telah mencapai suatu kondisi kematangan
termal dan memiliki kandungan material organik yang cukup tinggi. Batuan induk umumnya berupa batuan
serpih (shale), batuan karbonat, dan batubara.

2. Perangkap
Perangkap (trap) disini merupakan suatu kondisi geologis yang mampu menjebak aliran hidrokarbon dalam
batuan reservoar. Perangkap geologis ini berguna untuk menampung aliran hidrokarbon dan
mengakumulasinya. Tanpanya, hidrokarbon akan terus mengalir dan tidak akan ada akumulasi hidrokarbon
(dalam jumlah yang ekonomis) di batuan reservoar di bawah permukaan.

Perangkap geologis ini dapat berbentuk sebagai perangkap struktur, perangkap stratigrafi, maupun
perangkap kombinasi (struktur dan stratigrafi).

Macam perangkap (traps).

3. Batuan Reservoar

Batuan reservoar, batuan di bawah permukaan Bumi sebagai tempat terakumulasinya hidrokarbon. Batuan
reservoar adalah batuan yang memiliki porositas dan permeabilitas yang tinggi. Porositas batuan reservoar
dapat diartikan sebagai kapasitas penyimpanan hidrokarbon pada batuan reservoar, dan permeabilitas
dapat diartikan sebagai kapasitas produksi hidrokarbon pada batuan reservoar.

Penampang sederhana reservoar hidrokarbon.

Batuan reservoar pada umumnya berupa batuan sedimen (batupasir). Selain itu juga, batuan karbonat juga
dapat menjadi batuan reservoar apabila memiliki rongga porositas yang besar. Namun, pada beberapa
kasus tertentu, fraktur/celah retakan pada batuan serpih, batuan beku atau metamorfik dapat menjadi
suatu reservoar. Lebih detail lagi, batuan reservoar dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Batuan Reservoar Fragmental


 Kongklomerat
 Batupasir
 Batulanau
 Batugamping fragmental

b. Batuan Reservoar Kimiawi

 Batuan karbonat (dolomit)


 Batuan karbonat (terumbu)
 Batuan Reservoar Silika
 Batuan evaporat (anhydrit dan gypsum)

c. Batuan Reservoar Lainnya

 Batuan Beku
 Batuan Metamorf
 Batuan Piroklastik

4. Batuan Penutup

Batuan penutup (cap rock) merupakan batuan yang memiliki porositas dan permeabilitas yang rendah,
sehingga mampu menghambat hidrokarbon dalam reservoar untuk berpindah/bermigrasi. Dengan adanya
batuan penutup, maka hidrokarbon akan tetap berada dalam batuan reservoar.

Batuan penutup memiliki efektivitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti litologi, ductility (mudah
diubah), ketebalan, kemenerusan secara lateral, dan kedalaman lapisan batuan penutup. Pada umumnya,
litologi yang efektif untuk menjadi batuan petutup adalah batuan klastik berbutir halus, dan batuan
evaporit. Pada daerah yang mendapat pengaruh proses tektonik kuat, ductilitty menjadi penting, dimana
garam (salt) dan anhidit, dan serpih kaya organik (organic-rich shale) bisa begitu ductile.

Dari prinsip fisika, efektivitas batuan penutup juga dipengaruhi oleh tekanan kapiler pori batuan penutup
dan gaya apung (buoyancy) dari akumulasi hidrokarbon di bawahnya. Suatu batuan penutup akan efektif
apabila tekanan kapiler lebih besar dari gaya apung tersebut.
5. Waktu Migrasi (Migration Time)

Migrasi adalah proses perpindahan hidrokarbon secara alami dari batuan induk ke batuan reservoar. Yang
diperlukan adalah adanya waktu migrasi yang tepat (proper timing of migration), karena apabila waktu
migrasi tidak tepat dalam suatu Petroleum System maka tidak akan ada akumulasi hidrokarbon dalam suatu
reservoar.

Proses migrasi disebabkan oleh beberapa faktor, yang secara prinsip fisika berupa adanya gaya kompaksi
(akibat beban lapisan batuan di atasnya), tekanan kapiler, daya serap batuan terhadap fluida, dilatansi
(perubahan volume lapisan batuan karena suatu gaya), diastrofisme tekanan hidrostatis, dan tekanan
hidrodinamis.

Proses migrasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu Migrasi Primer dan Migrasi Sekunder. Migrasi Primer
adalah migrasi hidrokarbon ketika keluar dari batuan induk menuju ke Lapisan Pembawa (carrier rock),
sedangkan Migrasi Sekunder adalah migrasi hidrokarbon secara dalam Lapisan Pembawa/Jalur Migrasi
hingga mencapai dan terakumulasi dalam batuan reservoar.
Migrasi hidrokarbon.

Skema Petroleum
System secara utuh.

Leave a comment »

Wireline Log
Posted in Minyak dan Gas Bumi, Petrofisika with tags Eksplorasi, Eksplorasi Minyak dan Gas
Bumi, Geofisika, Geologi, Hidrokarbon, Logging, Petrofisika on February 22, 2015 by rachelyanna

Minyak dan Gas Bumi, sumber energi utama dunia saat ini. Minyak dan Gas Bumi, atau dapat juga disebut
hidrokarbon, suatu senyawa yang terdiri dari hidrogen dan karbon. Hidrokarbon terbentuk dan tersimpan
dalam batuan (reservoar) di bawah permukaan Bumi. Untuk menemukan dan membawa hidrokarbon
tersebut ke permukaan, diperlukan suatu rangkaian panjang pekerjaan eksplorasi. Di mulai dari studi
geologi permukaan, survey seismik, hingga dilakukan pemboran.

Di dalam kegiatan pemboran, terdapat suatu kegiatan pengukuran log/logging, yaitu kegiatan perekaman
dan pengukuran data bawah permukaan (sifat-sifat fisik batuan) di sepanjang lubang pemboran.
Dengan logging dapat dilakukan penelitian terhadap formasi batuan yang meliputi zona reservoar,
kandungan fluida dalam formasi, petrofisika reservoar, dan tekanan bawah permukaan. Data log sumur
pemboran yang diperoleh, dianalisa untuk memperoleh gambaran secara rinci kondisi dan strata bawah
permukaan suatu area. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui dengan pasti keberadaan hidrokarbon,
yang dipadukan dengan berbagai data hasil studi lainnya yang terkait, dapat diketahui nilai ekonomis dari
kandungan hidrokarbon tersebut. Data log tersebut disajikan dalam bentuk grafik, memanjang secara
vertikal (fungsi kedalaman).

Instrumen logging,
ilustrasi logging, dan data hasil logging.

Di dalam industri jasa survey eksplorasi Minyak dan Gas Bumi, terdapat berbagai macam jenis pengukuran
log sesuai dengan prinsip kerja dan fungsinya. Namun, dari bermacam logging yang tersedia, terdapat
jenis logging yang utama, yaitu :

 Log Radioaktif : Log Gamma Ray, Log Densitas, Log Neutron


 Log Listrik : Log Resistivitas, Log Spontaneous Potential
 Log Akustik : Log Sonik
 Log Mekanik : Log Kaliper

<>
1. Log Gamma Ray
Prinsip pengukuran log Gamma Ray, yaitu mengukur tingkat radioaktivitas (sinar gamma) alami dari unsur
Potasium (K), Thorium (Th), dan Uranium (U), yang menyusun batuan. Unsur tersebut umum ditemukan
pada batu serpih atau lempung, sehingga pengukuran ini dapat dilakukan untuk identifikasi dan korelasi
litologi, analisa fasies dan sekuen pengendapan.

Pengukuran log Gamma Ray dilakukan dengan perangkat Single GR Detector (Geiger-Muler counter). Hasil
pengukurannya berupan nilai GR yang dinyatakan dalam satuan API Unit.

2. Log Densitas
Prinsipnya adalah dengan mengukur densitas bulk, densitas keseluruhan batuan, termasuk matriks dan
kandungan fluida dalam pori-porinya. Dengan menggunakan sumber pemancar sinar gamma dan dua
detektor pada suatu alat, dan diposisikan pada dinding lubang pemboran. Sinar gamma yang dipancarkan
ke batuan akan mengalami gajala Hamburan Compton dengan elektron, dan energi yang hilang akibat
gejala tersebut menunjukkan densitas elektron dalam batuan. Densitas elektron, dalam hal ini dapat
dihubungkan sebagai densitas bulk batuan.

3. Log Neutron
Prinsipnya adalah dengan mengukur persentase pori batuan, dari intensitas atom hidrogennya, dengan
asumsi bahwa pori batuan terisi oleh hidrogen sebagai air atau hidrokarbon. Dengan menggunakan
pemancar neutron dan dua detektor yang ditempatkan pada dinding lubang pemboran, setelah neutron
dipancarkan, akan terjadi gejala Hamburan Elastik (neutron dengan atom hidrogen). Detektor akan
mendeteksi dan menghitung neutron yang terpantul kembali, yang dapat mengindikasikan intensitas atom
hidrogen dalam batuan. Hasil pengukuran log Neutron dinyatakan dalam Porosity Unit.

4. Log Spontaneous Potential


Prinsipnya adalah dengan mengukur beda potensial dari elektroda yang bergerak sepanjang lubang
pemboran terhadap elektroda di permukaan, yang dinyatakan dalam skala millivolt (mV). Beda potensial
tersebut terjadi karena adanya perbedaan salinitas antara lumpur pemboran dengan fluida dalam batuan.

5. Log Resistivitas
Prinsipnya adalah dengan mengukur resistivitas batuan beserta kandungan fluidanya terhadap arus listrik
yang melaluinya. Sifat resistivitas tersebut, utamanya merupakan fungsi dari fluida dalam pori batuan. Pada
awalnya, arus listrik searah DC dilepaskan dari satu atau beberapa elektroda, dan akan melalui batuan
hingga tiba di permukaan. Beda potensial (kebalikannya resistivitas) dan arus listrik diukur menggunakan
dua unit elektroda tambahan di permukaan, dan dari hasil pengukuran dapat diketahui nilai resistivitasnya
(dalam satuan ohm-meter/Ωm).

Log Resistivitas dapat digunakan untuk membedakan antara zona berisi air dan hidrokarbon dalam formasi
batuan. Dalam penerapannya, terdapat dua macam log Resistivitas, yaitu :

 Lateral Log; dirancang untuk mengukur resistivitas batuan yang dibor dengan lumpur pemboran
yang salty, dan dilakukan dengan menggunakan sonde yang memiliki elektroda dan penyangga.
 Induction Log; prinsipnya dengan mengukur konduktivitas batuan sehingga diperoleh nilai
resistivitas. Dengan prinsip arus Eddy, di dalam kumparan transmitter dialirkan arus bolak-balik
berfrekuensi tinggi dan amplitudo yang konstan.
Skema prinsip kerja Lateral
Log (kiri), dan Induction Log (kanan).

6. Log Sonic
Prinsipnya adalah dengan mengukur lamanya waktu yang diperlukan gelombang suara untuk merambat
melalui batuan. Ketika gelombang suara dilepaskan dari transmitter, kemudian akan merambat melalui
formasi batuan hingga diterima oleh dua detektor. Perbedaan waktu tiba gelombang (Δt) diukur dan dibagi
dengan jarak (μs/m);

Δtlog=Φ.Δtfl + (1–Φ).Δtma

dimana : Φ = porositas, tfl = travel time of pore fluid, tma = travel time of matrix.

Lama rambat gelombang suara, berbanding terbalik dengan kecepatan rambatnya. Kecepatan tersebut
dipengaruhi oleh litologi, porositas, dan kandungan fluida dalam batuan.

7. Log Resistivitas
Log Caliper berfungsi untuk mengetahui kondisi lubang pemboran, terutama ukuran diameter lubang
pemboran (borehole diameter). Pengukuran log ini kemudian digunakan sebagai koreksi tanggapan alat-
alat logging terhadap diameter lubang pemboran. Melalui pengukuran log ini, dapat diketahui adanya gejala
penimbunan lumpur pemboran (mud cake) maupun pengikisan lubang pemboran (cave).

<sumber:dicuplik dari laporan tugas milik pribadi >

Leave a comment »

Akuisisi Data Seismik (Refleksi)


Posted in Geofisika, Minyak dan Gas Bumi with tags Akuisisi Data Seismik, Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi, Metode
Seismik, Metode Seismik Refleksi on February 19, 2015 by rachelyanna

Akuisisi data seismik adalah tahapan survey guna mendapatkan data seismik berkualitas baik di lapangan.
Sebagai tahap terdepan dari serangkaian survey seismik, data seismik yang diperoleh dari tahapan ini akan
menentukan kualitas hasil tahapan berikutnya. Sehingga, dengan data yang baik akan membawa hasil
pengolahan yang baik pula, dan pada akhirnya, dapat dilakukan interpretasi yang akurat, yang
menggambarkan kondisi bawah permukaan sebagaimana mestinya.

Untuk memperoleh data berkualitas baik perlu diperhatikan berbagai macam persiapan, penentuan
parameter-parameter lapangan yang sesuai. Penentuan parameter lapangan tersebut umumnya tidak sama,
sesuai karakteristik dan kondisi daerah lokasi survey. Perlunya penentuan parameter ini dimaksudkan untuk
menetapkan parameter awal dalam suatu rancangan survey akuisisi data seismik, yang dipilih sedemikian
rupa, sehingga dalam pelaksanaannya akan diperoleh informasi target bawah permukaan selengkap
mungkin dengan noise serendah mungkin.

Dalam eksplorasi minyak dan gas bumi pada khususnya, sebelum melakukan akuisisi data, perlu untuk
menentukan target yang akan dicapai, mengidentifikasikan terlebih dahulu permasalahan yang mungkin
terjadi. Paling tidak ada delapan permasalahan yang perlu diselesaikan, antara lain :

1. Kedalaman target (?)


2. Kualitas refleksi batuan (?)
3. Resolusi vertikal yang diperlukan (?)
4. Besar kemiringan target tercuram (?)
5. Ciri-ciri jebakan hidrokarbon sebagai target (?)
6. Permasalahan noise yang khusus (?)
7. Permasalahan logistik tim (?)
8. Kemungkinan adanya suatu proses khusus yang diperlukan (?)
Dari permasalahan tersebut, jawabannya akan menentukan nilai dari parameter-parameter yang akan
digunakan. Terdapat 15 parameter utama lapangan yang akan mempengaruhi kualitas data, yang juga perlu
dipertimbangkan secara teknis dan ekonomis, yaitu :

1. Offset Terjauh (Far Offset); jarak antara sumber seismik dengan sensor penerima/receiver terjauh, yang
didasarkan pada pertimbangan kedalaman sasaran paling dalam.

2. Offset Terdekat (Near Offset); jarak antara sumber seismik dengan sensor penerima terdekat, didasarkan
pada pertimbangan kedalaman sasaran paling dangkal.

3. Group Interval; jarak antara satu kelompok sensor penerima/receiverdengan kelompok penerima
berikutnya, dimana satu kelompok memberikan satu trace seismik sebagai stack/superposisi beberapa
sensor penerima.

4. Ukuran Sumber Seismik (Charge Size); sumber seismik umumnya menggunakan peledak/dinamit
atau vibroseis truck (untuk survey darat), atau air gun (untuk survey laut). Ukuran sumber seismik
menyatakan ukuran energi yang dilepaskan oleh sumber seismik, yang disesuaikan dengan kedalaman
target dan kualitas data yang baik yang dapat dipertahankan.

5. Kedalaman Sumber (Charge Depth); sumber seismik sebaiknya ditempatkan di bawah lapisan lapuk,
sehingga energi sumber seismik dapat ditransfer secara optimal ke dalam sistem pelapisan medium di
bawahnya.

6. Kelipatan Cakupan (Fold Coverage); merupakan jumlah suatu titik di bawah permukaan yang terekam
oleh perekam di permukaan. Semakin besar kelipatannya, maka kualitas data akan semakin baik.

7. Laju pencuplikan (Sampling Rate); laju pencuplikan akan menentukan batas frekuensi maksimum seismik
yang masih dapat direkam dan direkontruksi dengan baik sebagai data, dimana frekuensi yang lebih besar
dari batas akan menimbulkan aliasing.

8. Tapis Potong Bawah (Low-Pass Filter); merupakan filter pada instrumen perekam untuk memotong
amplitudo frekuensi gelombang seismik/trace yang rendah.

9. Frekuensi Perekam; merupakan karakteristik instrumen perekam dalam merespon suatu gelombang
seismik.

10. Panjang Perekaman (Record Length); merupakan lamanya waktu perekaman gelombang seismik yang
ditentukan oleh kedalaman sasaran.
11. Rangkaian Penerima (Receiver Group); merupakan suatu kumpulan instrumen sensor
penerima/receiver yang disusun sedemikian hingga, sehingga noise dapat diredam seminimal mungkin.

12. Panjang Lintasan; panjang lintasan survey ditentukan dengan mempertimbangkan luas sebaran/panjang
target di bawah permukaan terhadap panjang lintasan survey di permukaan.

13. Larikan Bentang Penerima (Receiver Array); bentang penerima menentukan informasi kedalaman
rambatan gelombang seismik, nilai kelipatan cakupan, dan alternatif skenario peledakan sumber seismik,
seperti ketika lintasan melalui sungai yang lebar.

14. Arah Lintasan; ditentukan berdasarkan informasi studi pendahuluan terhadap target.

15. Spasi Antar Lintasan; jarak antar satu lintasan ke terhadap lintasan yang lain.

SISTEM PEREKAMAN

Geophone/Hydrophone

Metode seismik memanfaatkan fenomena rambat gelombang seismik, yang merupakan gelombang usikan
mekanis yang menjalar dari suatu tempat ke tempat yang lain melalui lapisan batuan bawah permukaan
bumi. Gelombang ini dapat mengalami pemantulan oleh perlapisan batuan yang memiliki perbedaan
densitas dan kecepatan dalam merambatkan gelombang, dan kemudian terekam sebagai fungsi waktu.
Sebagai unit perekam fenomena seismik tersebut, dalam dunia seismik eksplorasi pada khususnya,
digunakan suatu sensor perekaman/receiverkhusus, yang juga jenisnya berbeda sesuai dengan
daerah/lingkungan pengukuran. Untuk survey seismik darat, alat ini berupa geophone, dan untuk survey
seismik laut berupa hydrophone.
Fenomena pemantulan
gelombang seismik.

Sensor geophone umumnya berjenis moving coil, yang bekerja atas prinsip fisika Hukum Lenz, yang berupa
kumparan kawat yang bergerak di dalam medan magnet). Sedangkan hydrophone, sensornya berupa kristal
piezo elektrik yang peka terhadap perubahan tekanan.

Sensor geophone.
Sensor hydrophone.

Multi Channel Digital Seismic Recorder

Sistem perekaman data lapangan terdiri dari satu sumber seismik dan banyak penerima, dimana
gelombang-gelombang seismik terpantul (refleksi) tiba ke permukaan hampir bersamaan. Kondisi tersebut
mengakibatkan perekaman dilakukan secara simultan, dengan suatu
instrumen multiplexer. Multiplexer berfungsi sebagai pencuplik amplitudo gelombang, yang dengan
mekanismenya berputar sangat cepat, mencuplik gelombang 1 dari penerima 1 ke 2, 3, dst, mencuplik
gelombang 2 dari penerima 1,2,3, dst. Mekanisme tersebut menyebabkan amplitudo gelombang seismik
tidak terekam berdasarkan urutan waktu/trace seismik, namun berdasarkan urutan posisinya. Hal ini pun
akan menjadi permasalahan tersendiri, yang dalam tahapan Pengolahan Data Seismik dilakukan
proses demultiplexing untuk mengatasinya.
Mekanisme instrumen
perekaman data seismik.

Melalui alat ini juga dilakukan pengaturan laju pencuplikan (sampling rate), sehingga data yang terekam
terhindar dari gejala aliasing.

Amplifier Gelombang Seismik

Banyak faktor yang mempengaruhi perambatan gelombang seismik melalui medium bumi, sehingga
mengakibatkan adanya pelemahan amplitudo yang akan menjadi sulit untuk direkam seiring bertambahnya
waktu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dipergunakan instrumen penguat elektronik (amplifier)
yang nilai penguatannya (gain) dapat diatur sesuai dengan bertambahnya waktu. Terdapat dua macam
amplifier yang umumnya digunakan :

 Binary Gain Amplifier, dimana penguatannya dapat diatur naik +6 dB (penguatan sekitar 12 kali)
dan turun -6 (pelemahan sekitar 0,5 kali).
 Automatic Gain Control (AGC), amplifier yang mampu menguatkan sinyal yang terlalu lemah,
sekaligus melemahkan sinyal yang terlalu kuat, sesuai dengan batas dynamic range-nya.

Formater; instrumen pemformat ini berfungsi untuk mengatur penempatan data di dalam pita magnetik.

MACAM-MACAM GANGGUAN/NOISE

Dalam segala survey seismik perlu diantisipasi adanya berbagai macam jenis gangguan-
gangguan/noise yang mempengaruhi dan mengurangi kualitas data yang terekam. Berbagai
macam noise tersebut dapat berupa :

1. Noise koheren; noise ini dapat diidentifikasi dalam bentuk pola-pola khusus gelombang yang terekam.
Beberapa contoh noise yang koheren antara lain :
 Ground Roll, terdapat di data seismik darat yang dicirikan dengan amplitudo yang kuat dan
frekuensi yang rendah.
 Multiple, umumnya terdapat pada data seismik laut dalam bentuk kenampakan refleksi sekunder
akibat gelombang yang terperangkap.
 Gelombang langsung (direct wave), dicirikan dengan frekuensi yang cukup tinggi dan dengan waktu
datang (arrival time) lebih awal.

2. Noise tidak koheren; muncul pada rekaman data seismik dengan pola yang acak.

Sedangkan berdasarkan sumbernya, noise dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Shot-related (“Correlated”); merupakan noise yang ditimbulkan oleh energi dari sumber seismik itu
sendiri, dimana secara umum noise ini akan muncul secara berulang ketika pengukuran yang sama
dilakukan secara berulang pula, dan tidak akan muncul apabila tidak ada ledakan/sumber seismik yang
diberikan.

2. Ambient (“Uncorrelated”); noise yang diakibatkan oleh energi dari gangguan-gangguan lingkungan di
sekitar daerah pengukuran seperti angin, mesin, vegetasi, hewan, berbagai aktivitas manusia, dll. Noise ini
akan selalu muncul walaupun tidak ada ledakan/sumber seismik yang diberikan.

3. Recording; noise yang muncul karena adanya masalah pada perlengkapan, seperti bad geophones, bad
cables, noise bursts, electronic hum, spikes, dan gangguan pada amplifier.

Sumber noise seismik (kiri),


dan noise dalam rekaman data seismik (kanan).
Sekilas berbagai macam
instrumen sumber seismik buatan.

<sumber:various; acuan utama dari handout metode seismik oleh prof.sismanto>

Leave a comment »
Pengolahan Data Seismik (Refleksi)
Posted in Geofisika, Minyak dan Gas Bumi with tags Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi, Metode Seismik, Metode Seismik
Refleksi, Pengolahan Data Seismik Refleksi on February 18, 2015 by rachelyanna

Pengolahan data seismik, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengubah data seismik lapangan yang
terekam menjadi suatu penampang seismik yang kemudian dapat dilakukan interpretasi darinya. Sedangkan
tujuan pengolahan data seismik adalah untuk menghasilkan penampang seismik dengan kualitas signal to
noise ratio (S/N) yang baik tanpa mengubah bentuk kenampakan-kenampakan refleksi/pelapisan batuan
bawah permukaan, sehingga dapat dilakukan interpretasi keadaan dan bentuk dari struktur pelapisan bawah
permukaan bumi seperti kenyataannya. Atau dapat dikatakan bahwa pengolahan data seismik didefinisikan
sebagai suatu tahapan untuk meredam noise dan memperkuat sinyal.

Pengolahan data seismik dilakukan melalui serangkaian tahapan-tahapan. Oleh karena geologi setiap medan
survey seismik berbeda-beda, yang secara umum dapat dibedakan menjadi lingkungan laut (marine),
lingkungan darat (land), dan transisi (transition), perbedaan ini akan menghasilkan data dengan
karakteristik yang berbeda-beda dan akan menyebabkan tahapan-tahapan pengolahan data seismik pun
berbeda-beda. Selain itu, urutan/tahapan dalam pengolahan data seismik juga dipertimbangkan atas dasar
kualitas data lapangan yang terekam, hingga kemampuan/pengalaman orang yang mengerjakan, dan biaya.

Secara prinsip, tahapan dalam pengolahan data seismik dapat dikelompokkan dalam :

 Pre Processing/Editing (Conditioning Data)


 Main Processing
 Post Processing

Secara garis besarnya, serangkaian tahapan pengolahan data seismik dapat disajikan sebagai berikut :
Diagram alir tahapan
Pengolahan Data Seismik secara umum.

1. Demultiplexing

Demultiplexing, suatu tahapan untuk mengatur kembali atau mengurutkan data berdasarkan
kelompok trace/channel-nya. Gelombang seismik yang diterima oleh sensor geophone pada mulanya
berbentuk analog, yang kemudian dilakukan sampling dan digitalisasi dengan
menggunakan multiplexer pada interval tertentu saat perekaman berlangsung. Ketika sampling dimulai
dari channel A hingga channelterakhir dan kembali ke channel A dan seterusnya, sehingga akan diperoleh
sampel data 1 dari channel A, sampel data 1 channel B, hingga sampel 1 channel terkahir (n), dan
kemudian terulang kembali untuk sampel data 2 dengan waktu sampling Δt.
Proses demultiplexing dari
data berdasarkan sampling time ke berdasarkan trace.

2. Trace Gathering

Merupakan tahapan pengelompokan berdasarkan kesamaan dari masing-masing channel/trace.


Pengelompokan tersebut dapat berupa :

1. Common Source Point (CSP)


2. Common Depth Point (CDP)
3. Common Offset
4. Common Receiver

Ilustrasi berbagai trace


gathering beserta respon seismiknya.

3. Editing dan Muting

Tahapan editing merupakan tahapan untuk mengkoreksi amplitudo-amplitudo yang dianggap buruk pada
setiap trace seismiknya. Sedangkan muting adalah tahapan untuk menghapus sinyal-sinyal gelombang
langsung (direct wave) yang terekam selama pengukuran dan gelombang-gelombang refraksi yang tidak
dibutuhkan.

Perbedaan dari sebelum


proses muting (gambar kiri) dan setelah proses muting (gambar kanan).

Gambar kiri: hasil proses editing, gambar kanan: sebelum proses editing.

4. Gain Recovery

Ketika perekaman berlangsung, data yang terekam telah diberikan penguatan (gain), namun dengan fungsi
yang bersifat instantaneous floating point yang dapat menyebabkan adanya distorsi pada data. Fungsi
penguatan tersebut kemudian dapat dikoreksi dengan cara mengalikan nilai-nilai trace seismik dengan
inversi dari fungsi penguatan, dan nilai rata-rata amplitudo trace seismik dikalkulasi sebagai fungsi waktu,
sehingga hasilnya dapat diketahui parameter-parameter fungsi penguatan yang baru.

Fungsi penguatan yang benar akan menghasilkan trace seismik dengan perbandingan amplitudo-amplitudo
yang sesuai dengan perbandingan dari masing-masing koefisiensi refleksinya, sehingga akan mempermudah
dalam interpretasi. Fungsi penguatan g(t) secara dapat dinyatakan sebagai :

Gain (dB) = A.t + B.20 log (t) + C


dimana t merupakan waktu, A sebagai faktor atenuasi, B sebagai faktor spherical divergence, dan C adalah
nilai tetapan penguatan.

Dalam penerapannya, terdapat beberapa jenis penguatan, yaitu :

 Programmed Gain Control (PGC); fungsi penguatan berdasarkan interpolasi antara nilai skalar
amplitudo sampel pada laju samplingdengan satu window tertentu.
 Automatic Gain Control (AGC); fungsi penguatan berdasarkan root mean square (RMS), dimana
dikalkulasikan RMS dari kuadrat amplitudo di tiap sampel pada satu window tertentu.

5. Koreksi Statik

Koreksi static dilakukan untuk mengembalikan waktu penjalaran gelombang seismik yang bergeser karena
adanya perbedaan ketinggian antara sumber seismik dan geophone. Selain itu juga karena adanya lapisan
lapuk dengan ketebalan yang bervariasi, sekaligus cepat rambat gelombang yang variatif dalam lapisan
lapuk tersebut. Koreksi static ini dilakukan sedemikian hingga sumber seismik dan
penerima/geophoneberada pada satu garis horisontal (datum), sehingga dapat diperoleh bentuk refleksi
yang kurang lebih sesuai dengan kenyataannya dan diperoleh sinyal yang sefase yang saling memperkuat
pada saat proses stacking dilakukan.

Gambar kanan : hasil


koreksi static, gambar kiri : data sebelum koreksi static.

6. Filtering
Definisi data dalam geofisika adalah suatu hasil pengukuran terhadap suatu objek dimana data belum
mengalami proses/pengolahan dan masih mengandung sinyal dan gangguan (noise). Sinyal adalah data
yang membawa informasi dari objek yang diukur, sedangkan noise merupakan data yang mengganggu hasil
pengukuran dan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengukuran.

Dalam seismik refleksi, data lapangan yang terekam juga mengandung sinyal dan noise. Untuk
menghilangkan noise tersebut dan untuk memperkuat sinyal maka dilakukan tahapan filtering. Filter yang
biasa digunakan dalam tahap ini antara lain :

a. Filter Frekuensi (1D); filter yang bekerja meredam noise frekuensi tertentu. Filter frekuensi berupa :

 Low Pass Filter


 Hi-Pass Filter
 Band Pass Filter
 Notch Filter

Berbagai jenis filter frekuensi


1D.

b. Filter F-K (2D); filter yang digunakan untuk meredam noise frekuensi tertentu yang sama dengan
frekuensi sinyal data namun dengan bilangan gelombang yang berbeda.
7. Dekonvolusi

Gelombang seismik yang merambat dari sumber seismik melalui medium akan mengalami konvolusi hingga
terekam oleh geophone. Oleh karena itu, medium (bumi) memiliki sifat filtering terhadap energi gelombang
seismik, sehingga mengakibatkan wavelet seismik dari sumber seismik yang semula tajam dan memiliki
amplitudo tinggi (dalam fungsi waktu) menjadi lebih lebar, dengan amplitudo yang berkurang.

Dekonvolusi merupakan tahapan untuk melakukan koreksi terhadap efek filter bumi tersebut sehingga
diperoleh hasil dimana wavelet yang terekam dapat dikembalikan menjadi tajam dan dengan amplitudo
yang tinggi.

Model konsep konvolusi.

8. Normal Move Out

Koreksi Normal Move Out (NMO) merupakan tahapan yang diterapkan guna mengkoreksi adanya efek yang
disebabkan oleh jarak offset antara sumber gelombang seismik dengan geophone pada suatu trace yang
berasal dari satu CMP (Common Mid Point) atau CDP (Common Depth Point). Oleh karena efek tersebut,
maka untuk satu titik CMP atau CDP akan terekam oleh sejumlah penerima sebagai garis lengkung
(hiperbola). Dengan menerapkan koreksi NMO ini maka gelombang pantul yang terekam akan seolah-olah
datang dalam arah vertikal (normal incident), sehingga dalam tahap stacking berikutnya akan diperoleh
hasil yang maksimal.
Konsep koreksi NMO pada
CMP gather.

9. Stacking

Stacking merupakan proses penjumlahan trace seismik dalam satu gatherdata yang bertujuan untuk
meningkatkan S/N ratio. Setelah semua tracedilakukan koreksi-koreksi, maka dalam format CDP
gather setiap refleksinya menjadi horisontal, dan apabila trace-trace yang telah menjadi horisontal tersebut
dilakukan stacking dalam tiap-tiap CDP maka akan mampu meningkatkan S/N ratio.
Konsep staking pada CMP
gather.

10. Analisa Kecepatan

Dengan analisa kecepatan akan diketahui nilai kecepatan yang sesuai dan cukup akurat untuk menentukan
kedalaman, ketebalan, kemiringan dari suatu reflektor. Namun, nilai kecepatan suatu medium akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti litologi batuan, tekanan, suhu, porositas, densitas, kandungan
fluida, umur batuan, ukuran butir, dan frekuensi gelombang itu sendiri.

Pada grup trace dari suatu titik pantul, sinyal refleksi yang dihasilkan akan mengikuti bentuk pola hiperbola.
Sehingga secara prinsipnya, analisa kecepatan adalah mencari persamaan hiperbola yang tepat sehingga
menghasilkan nilai kecepatan yang sesuai, dan pada tahap stacking berikutnya akan diperoleh hasil
maksimum.

11. Migrasi

Proses migrasi pada penerapannya merupakan satu tahapan alternatif dalam proses pengolahan data
seismik, namun proses migrasi pada umumnya diperlukan karena perumusan pemantulan yang diturunkan
pada CMP berasumsi pada model lapisan datar (persamaan gelombang Snellius), sehingga apabila terdapat
reflektor miring maka letak titik-titik CMP akan bergeser. Oleh karena itu, proses migrasi memiliki tujuan
untuk memindahkan kedudukan reflektor pada posisi dan waktu pantul yang sebenarnya, berdasarkan
lintasan gelombang. Selain itu, proses migrasi juga mampu untuk menghilangkan efek difraksi gelombang
yang muncul sebagai akibat dari adanya struktur-struktur seperti patahan, lipatan, dll, sehingga dapat
memperjelas gambaran struktur bawah permukaan secara lebih detail.

Migrasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu :

 Metode Kirchoff
 Metode F-K
 Metode Beda-Hingga (finite-differece)
 Metode Reverse Time

Melalui proses migrasi akan diperoleh beberapa parameter yang berbeda sebagai koreksi, antara lain :

 Migrasi memperbesar sudut kemiringan


 Migrasi memperpendek reflektor
 Migrasi memindahkan reflektor ke arah up-dip
 Migrasi memperbaiki resolusi vertikal
Perbedaan sebelum dilakukan proses migrasi (a), dan sesudah proses migrasi (b).

You might also like