You are on page 1of 42

A.

KELOMPOK UMUM HAL

1. Tubrkulosis (TB) Paru 13


2. Morbili 21
3. Varisela 23
4. Malaria 26
5. Demam Dengue Demam Berdarah Dengue 30
6. Leptospirosis 33
7. Inpeksi pada Umbilikus 35
8. Kandiliasis Mulut 37
9. Lepra 39
10. Keracunan Makanan 47
11. Alergi Makanan 49
12. Exanthematous Drug Eruption 52
13. Fixed Drug Eruption (FDE) 54
14. Reaksi Anafilaktik 57
15. Syok 62

B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH, SISTEM IMUN HAL

1. Anemia 67
2. HIV/ AIDS Tanpa konflikasi 71
3. Limfadenitis 84

C. DIGESTIVE HAL

1. Refluks gastroesofageal 88
2. Gastritis 91
3. Intoleransi Makanan 93
4. Malabsorbsi Makanan 95
5. Demam Tifoid 97
6. Gastroenteritis 102
7. Disentri Basiler dan Disentri Amuba 108
8. Apendisitis Akut 111
9. Perdarahan saluran makan bagian atas 115
10. perdarahan saluran makan bagian bawah 119
11. Hemoroid Grade 1-2 125
12. Hepatitis A 128
13. Hepatitis B 130
14. Parotitis 133
15. Askariasis 135
16. Lutaneus Larvah Migrans 137
17. Penyakit cacing tambang 139
18. Skistosomiasis 141
19. Strongiloidiasis 144
20. Taeniasis 146
21. Peritonitis 148
22. Kolesistisis 150
D. MATA HAL

1. Mata Kering / Dry Eye 153


2. Buta senja 154
3. Hordeolum 156
4. Konjungtivitis 158
5. Blefaritis 160
6. Perdarahan Subkonjungtiva 162
7. Benda Asin di konjungtiva 163
8. Astigmatism 165
9. Hiper Metropia 167
10. Miopia Ringan 169
11. Presbiopia 170
12. Katarak pada pasien dewasa 172
13. Glaukoma akut 174

E. TELINGA HAL

1. Otitis Eksterna 177


2. Otitis Media Akut 180
3. Serumen prop 185

F. HIDUNG HAL
Benda Asing Dihidung 187

G. Kardiovaskular HAL

1. Angka pektoris 189


2. Infark miokard 194
3. Takikardia 197
4. Gagal jantung Akut dan Koornik 200
5. Cardiores piratory Arrest 204
6. Hipertensi Esensial 206
7. Infark serebral / stroke 212

H. MUSKULOSKELETAL HAL

1. Fraktur terbuka 215


2. Fraktur tertutup 219
3. Polimalgia Reumatik 221
4. Artritis Reomatoid 223
5. Artritis Osteoartritis 228
6. Lipoma 230

I NEUROLOGI HAL

1. Kejang demam 231


2. Vertigo 235
3. Delirium 241
4. Tetanus 244
5. Rabies 249
6. Epilepsi 253
7. Status Epileptikus 263
8. Migren 265
9. Bell's palsy 271
10. Tension headace 276

J. PSIKOLOGIS HAL

1. Insomnia 279
2. Demensia 281
3. Gangguan campuran Anvietas dan depresi 284
4. Gangguan psikotik 287

K. RESPIRASI HAL

1. Epistaksis 291
2. Furunkel pada hidung 297
3. faringitis 298
4. Rhinitis Akut 303
5. Rhinitis Alergik 307
6. Rhinitis vasomotor 312
7. Tonsilitis 315
8. Caringitis 322
9. Bionkitis Akut 327
10. influensa 331
11. Pneumonia Aspirasi 333
12. pneumonia dan biongkopnemonia 335
13. Pertusis 339
14 Asma bronkial 341

L. KULIT HAL

1. Miliariah 345
2. Veruka vullgaris 348
3. Reaksi gigitan serangga 350
4. Herpes zoster 353
5. Herpes simpleks 356
6. Skabies 359
7. Pedikulosis kapitis 362
8. Dermatopitosis 364
9. Pitiriasis versikolor / tinea versikolor 368
10. Pioderma 370
11. Dermatisis seboroik 374
12. Dermatisis Atopik 377
13. Dermatisis Numuralis 382
14. Liken Simpleks kronik (meorodermatis) sirkum kripta 385
15. Dermatitis kontrak Alergik 397
16. Dermatitis kontak iritan 390
17. Napkin eczema (Dermatitis popok) 393
18. Pitiriasis rosea 396
19. Moluskum kontagiosum 398
20. Urtikaria 400
21. Filariasis 404
22. Luka bakar derajat I dan II 410

M. METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI HAL

1. Obesitas 414
2. Tirotoksikosis 417
3. Hiperglikemia Hiperosmolar Non ketotik 420
4. Hipoglikemia 423
5. Diabetes melitus 427
6. Malnutrisi Energi protein (MEP) 438
7. Hiperuricemia - gouth arthritis 442

N. SALURAN KEMIH 452

O. KESEHATAN WANITA HAL

1. Hiperemesis gravidarum 454


2. kehamilan normal 457
3. Pre-eklampsia 465
4. eklampsi 467
5. Abortus 470
6. Anemia Depisiensi besi pada kehamilan 475
7. Ketuban pecah dini 478
8. Persalinan lama 479
9. Perdarahan post partum 485
10. Ruptur Perineum tingkat 1-2 493
11. Mastitis 497

P. PENYAKIT KEKLAMIN HAL

1. Fluor albus / vaginal discharge non gonore 500


2. sifilis 503
3. Gonore 510
4. Vaginitis 513
5. vullvitis 517
KRITERIA RUJUKAN PER DIAGNOSA SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO

NO DIAGNOSA
A. KELOMPOK UMUM

1 Tuberkulosis (TB) Paru

2 Morbili

3 Varisela

4 Malaria

5 Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue

6 Leptospirosis

7 Inpeksi pada Umbilikus

8 Kandiliasis Mulut
9 Lepra

10 Keracunan Makanan
NO DIAGNOSA

11 Alergi Makanan
NO DIAGNOSA
12 Exanthematous Drug Eruption

13 Fixed Drug Eruption (FDE)

14 Reaksi Anafilaktik

15 Syok
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH, SISTEM IMUN

16 Anemia

17 HIV/ AIDS Tanpa konflikasi

18 Limfadenitis
NO DIAGNOSA
NO DIAGNOSA
C. DIGESTIVE

19 Refluks gastroesofageal

20 Gastritis

21 Intoleransi Makanan

22 Malabsorbsi Makanan

23 Demam Tifoid

24 Gastroenteritis

25 Disentri Basiler dan Disentri Amuba

26 Apendisitis Akut
27 Perdarahan saluran makan bagian atas
28 Perdarahan saluran makan bagian bawah
29 Hemoroid Grade 1-2
NO DIAGNOSA
30 Hepatitis A

31 Hepatitis B

32 Parotitis

33 Askariasis
34 Cutaneus Larva Migrans
35 Penyakit cacing tambang
36 Skistosomiasis
37 Strongiloidiasis
38 Taeniasis
39 Peritonitis
40 Kolesistitis

D. MATA

41 Mata Kering/Dry eye


42 Buta Senja
43 Hordeolum

44 Konjungtivitis

45 Blefaritis
46 Perdarahan Subkonjungtiva

47 Benda asing di konjungtiva


NO DIAGNOSA
48 Astigmatism
49 Hipermetropia
50 Miopia Ringan
51 Presbiopia
52 Katarak pada Pasien Dewasa

53 Glaukoma Akut
NO DIAGNOSA
E. TELINGA

54 Otitis Eksterna

55 Otitis Media Akut

56 Serumen Prop
F. HIDUNG

57 Benda Asing Dihidung


G. Kardiovaskular

58 Angina Pektoris

59 Infark Miokard

60 Takikardia
61 Gagal Jantung Akut dan Kronik

62 Cardiorespiratory Arrest

63 Hipertensi Esensial

64 Infark Serebral/Stroke
NO DIAGNOSA
H. MUSKULOSKELETAL

65 Fraktur Terbuka
66 Fraktur Tertutup
67 Polimialgia Reumatik
68 Artritis Reumatoid
NO DIAGNOSA
69 Artritis, Osteoartritis

70 Lipoma

I. NEUROLOGI

71 Kejang Demam

72 Vertigo

73 Delirium

74 Tetanus

75 Rabies

76 Epilepsi

77 Status Epileptikus

78 Migren

79 Bells’ Palsy
NO DIAGNOSA

80 Tension Headache
NO DIAGNOSA
J. PSIKOLOGIS

81 Insomnia

82 Demensia

83 Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi

84 Gangguan Psikotik

K. RESPIRASI

85 Epistaksis

86 Furunkel Pada Hidung


87 Faringitis

88 Rhinitis Akut
89 Rhinitis Alergik

90 Rhinitis Vasomotor
91 Tonsilitis
NO DIAGNOSA

92 Laringitis
NO DIAGNOSA
93 Bronkitis Akut

94 Influenza

95 Pneumonia Aspirasi

96 Pneumonia dan Bronkopneumonia

97 Pertusis
98 Asma Bronkial

L. KULIT

99 Miliaria
100 Veruka Vulgaris

101 Reaksi Gigitan Serangga

102 Herpes Zoster


NO DIAGNOSA

103 Herpes Simpleks

104 Skabies
105 Pedikulosis Kapitis
106 Dermatofitosis

107 Pitiriasis versikolor/ Tinea versikolor


108 Pioderma

109 Dermatitis Seboroik


110 Dermatitis Atopik

111 Dermatitis Numularis

112 Liken simpleks kronik (neurodermatitis sirkumkripta)


NO DIAGNOSA
113 Dermatitis Kontak Alergik (DKA)

114 Dermatitis Kontak Iritan

115 Napkin Eczema (dermatitis popok)


116 Pitiriasis Rosea
117 Moluskum Kontagiosum
NO DIAGNOSA
118 Urtikaria

119 Filariasis

120 Luka Bakar Derajat I dan II


M. METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI

121 Obesitas

122 Tirotoksikosis

123 Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

124 Hipoglikemia

125 Diabetes Melitus

126 Malnutrisi Energi Protein (MEP)


NO DIAGNOSA
127 Hiperuricemia-Gout Arthritis

N. SALURAN KEMIH
128 Infeksi Saluran Kemih

O. KESEHATAN WANITA

129 Hiperemesis Gravidarum


130 Kehamilan Normal

131 Pre-eklampsia

132 Eklampsi
133 Abortus
134 Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan
NO DIAGNOSA

135 Ketuban Pecah Dini (KPD)


136 Persalinan Lama

137 Perdarahan Post Partum


138 Ruptur Perineum Tingkat 1-2
139 Mastitis
P. PENYAKIT KELAMIN

140 Fluor Albus / Vaginal discharge Non Gonore

141 Sifilis

142 Gonore

143 Vaginitis
144 Vulvitis
RIA RUJUKAN PER DIAGNOSA SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 5 TAHUN 2014

KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014

a. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid) seperti TB pada orang dengan HIV, TB
dengan penyakit metabolik, TB anak, perlu dirujuk ke layanan sekunder.Pasien TB yang telah mendapat
advis dari layanan spesialistik dapat melanjutkan pengobatan di fasilitas pelayanan primer.

b. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke layanan sekunder.


Perawatan di Rumah Sakit untuk campak dengan komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia, dehidrasi,
croup, ensefalitis)
a. Terdapat gangguan imunitas
b. Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.
a. Malaria dengan komplikasi
b. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi dosis awal Artemisinin atau Artesunat per
Intra Muskular atau Intra Vena dengan dosis awal 3,2mg /kg BB.
a. Terjadi perdarahan masif (hematemesis, melena).
b. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/ jam kondisi belum membaik.
c. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim, seperti kejang, penurunan kesadaran, dan
lainnya.
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam) yang memiliki fasilitas hemodialisa
setelah penegakan diagnosis dan terapi awal.
a. Bila intake tidak mencukupi dan anak mulai tampak tanda dehidrasi.
b. Terdapat tanda komplikasi sepsis.
Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit lainnya, seperti HIV
a. Terdapat efek samping obat yang serius. b. Reaksi kusta dengan kondisi:
1. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis.
2. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis.
3. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak
lambung berat.
a. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani dengan adekuat.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
b. Pasien mengalami perburukan.
Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi reaksi
anafilaksis
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
a. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan berkembang
menjadi Sindroma Steven Johnson.
b. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab :
1. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan dengan
2. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
3. Uji provokasi
c. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar dan menghindari obat selama 7 hari

d. Lesi meluas
a. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan berkembang menjadi
Sindroma Steven Johnson.
b. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab:
1. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan
2. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
3. Uji provokasi.
c. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar selama 7 hari dan menghindari obat.

d. Lesi meluas.
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak terdapat perbaikan,
pasien dirujuk ke layanan sekunder.
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien dirujuk ke layanan sekunder.

a. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 6 mg%).


b. Untuk anemia karena penyebab yang tidak termasuk kompetensi dokter layanan primer, dirujuk ke
dokter spesialis penyakit dalam.
a. Rujukan horizontal bila fasilitas untuk pemeriksaan HIV tidak dapat dilakukan di layanan primer.

b. Rujukan vertikal bila terdapat pasien HIV/AIDS dengan komplikasi.


a. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dirujuk untuk mencari penyebabnya (indikasi untuk
dilaksanakan biopsi kelenjar getah bening).
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
b. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan, KGB yang
menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014

a. Pengobatan empirik tidak menunjukkan hasil


b. Pengobatan empirik menunjukkan hasil namun kambuh kembali c. Adanya alarm symptom:
1. Berat badan menurun
2. Hematemesis melena
3. Disfagia (sulit menelan)
4. Odinofagia (sakit menelan)
5. Anemia
a. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan. b. Terjadi komplikasi.
c. Terjadi alarm symptoms seperti perdarahan, berat badan menurun 10%
dalam 6 bulan,
Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit bila keluhan tidak menghilang walaupun tanpa
terpapar.
Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi kemudian
ditatalaksana sesuai penyebabnya.
a. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
b. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
c. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak mencukupi.
a. Tanda dehidrasi berat
b. Terjadi penurunan kesadaran
c. Nyeri perut yang signifikan
d. Pasien tidak dapat minum oralit
e. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan
Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat intensif dan konsultasi ke pelayanan sekunder (spesialis
penyakit dalam).
Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.
Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab perdarahan.
Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab perdarahan
Jika dalam pemeriksaan diperkirakan sudah memasuki grade 2-3-4.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
a. Penderita Hepatitis A dengan keluhan ikterik yang menetap tanpa disertai keluhan yang lain.

b. Penderita Hepatitis A dengan penurunan kesadaran dengan kemungkinan ke arah ensefalopati


hepatik.
Pasien yang telah terdiagnosis Hepatitis B dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam)

Bila kasus tidak membaik dengan pengobatan adekuat di layanan primer, segera rujuk ke layanan sekunder
dengan dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit dalam.
-
Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu tidak membaik dengan terapi.
-
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai komplikasi.
-
Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada sistiserkosis
Rujuk ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis bedah
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke spesialis penyakit dalam, sedangkan bila terdapat
indikasi untuk pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis bedah.

Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika timbul komplikasi

a. Bila tidak memberikan respon dengan pengobatan konservatif.


b. Hordeolum berulang.
a. Pada bayi dengan konjungtivitis gonore jika terjadi komplikasi pada kornea dilakukan rujukan ke
spesialis mata.
b. Konjungtivitis alergi dan viral tidak ada perbaikan dalam 2 minggu rujuk ke spesialis mata
c. Konjungtivitis bakteri tidak ada perbaikan dalam 1 minggu rujuk ke spesialis mata.
Apabila tidak membaik dengan pengobatan optimal.
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan penurunan visus.

Bila terjadi penurunan visus.


KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
Apabila visus tidak dapat mencapai 6/6.
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Kelainan refraksi yang progresif, tidak maju dengan koreksi dan tidak maju dengan pinhole.
-
a. Indikasi sosial jika pasien merasa terganggu.
b. Jika katarak telah matur dan membutuhkan tindakan operasi.
c. Jika timbul komplikasi
Pada glaukoma akut, setelah dilakukan penanganan pertama.
Pada glaukoma kronik, dilakukan segera setelah penegakan diagnosis.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014

a. Pada kasus herpes zoster otikus


b. Kasus otitis eksterna nekrotikan
a. Jika indikasi miringotomi.
b. Bila membran tymphani tidak menutup kembali setelah 3 bulan
-

Pengeluaran benda asing tidak berhasil karena perlekatan atau posisi benda asing sulit dilihat.

Dilakukan rujukan ke layanan sekunder (spesialis jantung/spesialis penyakit dalam) untuk tatalaksana lebih
lanjut
Segera dirujuk setelah mendapatkan terapi MONACO ke layanan sekunder dengan spesialis jantung atau
spesialis penyakit dalam
Segera rujuk setelah pertolongan pertama dengan pemasangan infus dan oksigen.
Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas peayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jantung atau Sp. Penyakit Dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan seperti
ekokardiografi.

Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan dalam waktu cepat harus segera dirujuk
Layanan Sekunder (Sp. Jantung/Sp. Penyakit Dalam) untuk dilakukan penanganan lebih lanjut.

Pasien dirujuk ke spesialis berdasarkan kemungkinan penyebab (SpPD, SpJP atau SpB, dan seterusnya)
untuk tatalaksana lebih lanjut.
a. Hipertensi dengan komplikasi.
b. Resistensi hipertensi.
c. Krisis hipertensi (hipertensi emergensi dan urgensi).
Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis dan diberikan penanganan awal selanjutnya dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014

Langsung dirujuk dengan tetap mengawasi tanda vital dan memberikan penanganan awal.
Pasien segera dirujuk ke RS
Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien dirujuk ke spesialis penyakit dalam.
a. Tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis rendah.
b. RA dengan komplikasi.
c. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
a. Bila ada komplikasi, termasuk komplikasi terapi COX 1
b. Bila ada komorbiditas
a. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan yang cepat.
b. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
c. Predileksi di lokasi yang berisiko bersentuhan dengan pembuluh darah atau saraf.

a. Apabila kejang tidak membaik setelah diberikan obat antikonvulsi.


b. Apabila kejang demam sering berulang disarankan EEG.
a. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk.
b. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah diterapi farmakologik dan non
farmakologik.
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan rujukan sekunder
untuk memperbaiki penyakit utamanya.
a. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
b. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
c. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis neurologi.

a. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies.


b. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis neurolog.
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder yang
memiliki dokter spesialis saraf.
Semua pasien dengan status epileptikus setelah ditegakkan diagnosis dan telah mendapatkan penanganan
awal segera dirujuk untuk:
a. Mengatasi serangan
b. Mencegah komplikasi c. Mengetahui etiologi
d. Pengaturan obat
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari nyeri kepala unilateral, berdenyut,
bertambah berat dengan gerakan, intensitas sedang sampai berat ditambah satu dari mual atau muntah,
fonopobia atau fotofobia.

a. Bila dicurigai kelainan supranuklear


KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
b. Tidak menunjukkan perbaikan
a. Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki
dokter spesialis saraf.
b. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke pelayanan sekunder
yang memiliki dokter spesialis jiwa.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014

Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak menunjukkan perbaikan, atau apabila terjadi perburukan
walaupun belum sampai 2 minggu, pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter
spesialis kedokteran jiwa.

a. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis dan penatalaksanaan lanjutan.


b. Apabila pasien menunjukkan gejala agresifitas dan membahayakan dirinya atau orang lain.

Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis mengalami gangguan ini, terutama apabila gejala progresif dan
makin bertambah berat yang menunjukkan gejala depresi seperti pasien menolak makan, tidak mau
merawat diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak ada perbaikan yang signifikan dalam 2-3 bulan
terapi.

a. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk konfirmasi diagnostik ke fasyankes sekunder yang memiliki
pelayanan kesehatan jiwa setelah dilakukan penatalaksanaan awal.
b. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan perawatan inap karena berpotensi membahayakan diri
atau orang lain segera dirujuk setelah penatalaksanaan awal.

a. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau nasofaring.
b. Epistaksis yang terus berulang.
-
a. Faringitis luetika.
b. Timbul komplikasi: epiglotitis, abses peritonsiler, abses retrofaringeal, septikemia, meningitis,
glomerulonefritis, demam rematik akut.
Pasien dengan rhinitis difteri.
a. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis alergen.
b. Bila perlu dilakukan tindakan operatif.
Jika diperlukan tindakan operatif
a. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis, glomerulonephritis, demam
rematik akut.
b. Adanya indikasi tonsilektomi.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
c. Pasien dengan tonsilitis difteri.
Indikasi masuk rumah sakit apabila:
a. Usia penderita dibawah 3 tahun.
b. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas.
c. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted.
d. Curiga adanya tumor laring.
e. Perawatan di rumah kurang memadai.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
Pada pasien dengan keadaan umum buruk, perlu dirujuk ke rumah sakit yang memadai untuk monitor
secara intensif dan konsultasi ke spesialis terkait.
Bila didapatkan tanda-tanda pneumonia (panas tidak turun 5 hari disertai batuk purulen dan sesak napas)

Apabila terdapat indikasi untuk dirawat di RS. Pada pasien anak, yaitu:
a. Ada kesukaran napas. b. Sianosis.
c. Umur kurang dari 6 bulan.
d. Ada penyulit misalnya: muntah, dehidrasi, empiema.
e. Diduga infeksi oleh Staphylococcus.
f. Imunokompromais.
g. Perawatan di rumah kurang baik.
h. Tidak respon dengan pemberian antibiotik oral.
a. Kriteria CURB (Conciousness, kadar Ureum, Respiratory rate>30 x/m,Blood pressure:Sistolik <90
mmHg dan diastolik <60 mmHg; masing masing bila ada kelainan bernilai 1). Dirujuk bila total nilai 2.

b. Untuk anak, kriteria rujukan memakai Manajemen Terpadu pada Balita Sakit (MTBS).
-
a. Bila sering terjadi eksaserbasi.
b. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
c. Asma dengan komplikasi.

Tidak ada indikasi rujukan


Rujukan sebaiknya dilakukan apabila:
a. Diagnosis belum dapat ditegakkan.
b. Tindakan memerlukan anestesi/ sedasi.
Jika kondisi memburuk, yaitu dengan makin bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau disertai gejala
sistemik atau komplikasi.
Pasien dirujuk apabila:
a. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.
b. Terjadi pada pasien bayi, anak dan geriatri (imunokompromais).
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
c. Terjadi komplikasi.
d. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka
Pasien dirujuk apabila:
a. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.
b. Terjadi pada pasien bayi dan geriatrik (imunokompromais).
c. Terjadi komplikasi.
d. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.
Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih dirasakan setelah 1 bulan pasca terapi
Apabila terjadi infestasi kronis dan tidak sensitif terhadap terapi yang diberikan.
Pasien dirujuk apabila:
a. Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
b. Terdapat imunodefisiensi.
c. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.
Sebagian besar kasus tidak memerlukan rujukan.
Pasien dirujuk apabila terjadi:
a. Komplikasi mulai dari selulitis.
b. Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari.
c. Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik endokrin dan imunodefisiensi).
Apabila tidak ada perbaikan dengan tatalaksana standar
Kriteria Rujukan
a. Dermatitis atopik luas, dan berat
b. Dermatitis atopik rekalsitran atau dependent steroid
c. Bila diperlukan skin prick test/tes uji tusuk
d. Bila gejala tidak membaik dengan pengobatan standar selama 4 minggu
e. Bila kelainan rekalsitran atau meluas sampai eritroderma
a. Apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal standar.
b. Apabila diduga terdapat faktor penyulit lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, maka konsultasi
dan/atau disertai rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: Gigi mulut, THT, obsgyn, dll)
untuk penatalaksanaan fokus infeksi tersebut.

Rujukan dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi penyebab lain yang mendasari dengan
berkonsultasi kepada psikiatri atau dokter spesialis kulit.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
a. Apabila dibutuhkan melakukan patch test.
b. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar dan sudah menghindari kontak.

a. Apabila dibutuhkan patch test


b. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar dan sudah menghindari kontak.

Bila keluhan tidak membaik setelah pengobatan standarselama 2 minggu


Tidak perlu dirujuk
a. Tidak ditemukan badan moluskum
b. Terdapat penyakit komorbiditas yang terkait dengan kelainan hematologi
c. Pasien HIV/AIDS
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
a. Rujukan ke spesialis bila ditemukan fokus infeksi.
b. Jika urtikaria berlangsung kronik dan rekuren.
c. Jika pengobatan first-line therapygagal.
d. Jika kondisi memburuk, yang ditandai dengan makin bertambahnyapatch eritema,
timbul bula, atau bahkan disertai sesak.
Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan pengobatan
konservatif.
Rujukan dilakukan pada luka bakar sedang dan berat

a. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit dalam bila pasien merupakan obesitas dengan risiko tinggi dan
risiko absolut.
b. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi gaya hidup (diet yang telah diperbaiki, aktifitas fisik yang
meningkat dan perubahan perilaku) selama 3 bulan, dan tidak memberikan respon terhadap penurunan
berat badan, maka pasien dirujuk ke spesialis penyakit dalam untuk memperoleh obat-obatan penurun
berat badan.

Setelah penanganan kegawatan (pada krisis tiroid) teratasi perlu dilakukan rujukan ke layanan kesehatan
sekunder (spesialis penyakit dalam).
Pasien harus dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah mendapat terapi rehidrasi
cairan.
Pasien hipoglikemia dengan penurunan kesadaran harus dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit
dalam) setelah diberikan dekstrose 40% bolus dan infus dekstrose 10% dengan tetesan 6 jam per kolf.

untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:


a. DM dengan komplikasi
b. DM dengan kontrol gula buruk
c. DM dengan infeksi berat
d. DM dengan kehamilan e. DM type 1
a. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis, dehidrasi berat, anemia berat, penurunan kesadaran.
b. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti: pneumonia berat.
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
Apabila pasien mengalami komplikasi atau pasien memiliki penyakit komorbid, perlu dirujuk ke dokter
spesialis penyakit dalam.

Jika ditemukan komplikasi dari ISK maka dilakukan ke layanan kesehatan sekunder (spesialis penyakit
dalam)

Pasien dirujuk setelah mendapat penanganan awal.


Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan trimester 1 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
a. hyperemesis
b. perdarahan per vaginam atau spotting
c. trauma

Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan trimester 2 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
a. Gejala yang tidak diharapkan
b. Perdarahan pervaginam atau spotting
c. Hb selalu berada di bawah 7 gr/dl
d. Gejala Pre-eklampsia, hipertensi, proteinuria
e. Diduga adanya fetal growth retardation (gangguan pertumbuhan janin)
f. Ibu tidak merasakan gerakan bayi

Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan trimester 3 bila ditemukan keadaan di bawah ini:
a. Sama dengan keadaan tanda bahaya semester 2 ditambah
b. Tekanan darah di atas 130 mmHg
c. Diduga kembar atau lebih
Rujuk bila ada satu atau lebih gejala dan tanda-tanda pre-eklampsia berat ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis obstetri dan ginekologi setelah dilakukan tata laksana pada pre-
eklampsia berat.

Lihat Hal. 463 s/d 466


-
a. Anemia yang tidak membaik dengan pemberian suplementasi besi selama 3 bulan
KRITERIA RUJUKAN SESUAI PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 5 TAHUN 2014
b. Anemia yang disertasi perdarahan kronis, agar dicari sumber perdarahan dan ditangani.
Lihat Hal. 474 s/d 475
Apabila tidak dapat ditangani di pelayanan primer atau apabila level kompetensi SKDI dengan kriteria
merujuk (<3B)
Jika kadar Hb < 8 g/dl rujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis obstetri dan ginekologi)
-
Lihat Hal. 493 s/d 496

Pasien dirujuk apabila:


a. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk pasangan b. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman gonore

c. Adanya arah kegagalan pengobatan


Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter
spesialis kulit dan kelamin.
a. Apabila tidak dapat melakukan tes laboratorium
b. Apabila pengobatan di atas tidak menunjukkan perbaikan dalam jangka waktu 2 minggu, penderita
dirujuk ke dokter spesialis karena kemungkinan terdapat resistensi obat.
-
Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin jika pemberian salep Kortison tidak memberikan respon

You might also like