You are on page 1of 19

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit menular endemik yang dapat
menyerang kebanyakan orang. Penyakit ini termasuk penyakit infeksi
sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif
Salmonella typhi. Penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan di
daerah tropis terutama di negara-negara sedang berkembang, salah satunya
Indonesia. Keterkaitan penyakit ini erat hubungannya dengan higienitas
dan sanitasi yang kurang baik (Widoyono, 2011).
Insidensi demam tifoid di dunia menurut WHO 2010 mencapai 17
juta orang dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang setahun dan
70% kematian terjadi di benua Asia. Angka kematian demam tifoid
menurut WHO mencapai 10-20%, sebelum ditemukan antibiotik yang
tepat, tetapi saat ini angka kematian berkurang sampai 1%. Insidensi
demam tifoid di Indonesia sendiri adalah 800 penderita per 100.000
penduduk pertahun dengan angka kematian 2% (Widoyono, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
berdasarkan sistem surveilans terpadu terhadap beberapa penyakit terpilih
pada tahun 2009 penderita demam tifoid ada 44.422 penderita, termasuk
urutan ketiga di bawah diare dan tuberkulosis, sedangkan pada tahun 2010
jumlah penderitanya meningkat menjadi 46.142 penderita. Hal ini
menunjukan bahwa kejadian demam tifoid di Jawa Tengah termasuk
tinggi.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
oleh infeksi bakteri gram negatif Salmonella typhi. Infeksi ini terdapat
pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran. Potensial terbesar transmisi penularan bakteri
Salmonella typhi kepada manusia yaitu melalui makanan dan air yang
telah terkontaminasi feses dengan kandungan bakteri Salmonella typhi.
(Kidgell et al, 2002).

B. Etiologi
Demam tifoid terjadi akibat infeksi bakteri Salmonella enterica
dengan serotipe typhi. Salmonella typhi adalah bakteri yang menginfeksi
organ usus dan hati. Pada metode pewarnaan gram untuk mengetahui
bakteri Salmonella typhi maka akan terlihat bakteri yang memiliki bentuk
batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagel, susunan
tunggal, berwarna merah dengan sifat bakteri gram negatif serta bakteri
fakultatif anaerob (Cita, 2011).
Salmonella typhi memiliki ukuran 0,7-1,5 x 2-5 μm. Bakteri
Salmonella typhi memiliki beberapa 3 komponen antigen antara lain:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida
atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagella), yang terletak pada flagella dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah
memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi seluruh permukaan sel dan menghambat proses aglutinasi

2
antigen O oleh anti O serum serta melindungi antigen O dari proses
fagositosis. Antigen Vi ini berhubungan dengan daya invasif bakteri
dan efektivitas vaksin.
S.typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian terluar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida,
dan lipid A. Antibodi O, H, dan Vi akan membentuk antibodi aglutinin di
dalam tubuh. Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella
typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membran sitoplasma
dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya. OMP sebagian besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme
respon imun host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya
zat dan cairan ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor
untuk bakteriofag dan bakteriosin (Cita 2011; Sudoyo, 2010).

Gambar 2.1 Morfologi Salmonella typhi

C. Sumber Penularan
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan
atau minuman yang terkontaminasi, biasanya kontaminasi dari bahan
feses, muntahan, urin, maupun cairan badan. Salmonella typhi dapat
menyebar melalui tangan penderita, lalat, dan serangga lain. Infeksi dapat

3
terjadi secara langsung maupun tidak secara langsung dengan kuman
Salmonella thypi. Kontak langsung berarti ada kontak antara orang sehat
dan bahan muntahan penderita demam tifoid. Kontak tidak langsung dapat
melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak, air es yang dibuat dari
air yang terkontaminasi, atau dilayani oleh orang yang membawa kuman,
baik penderita aktif maupun carrier (Kidgell et al, 2002).

D. Patogenesis
Bakteri Salmonella typhi adalah bakteri yang melakukan transmisi
ke dalam tubuh manusia melalui fecal-oral, yaitu kebanyakan melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Bakteri tersebut tahan terhadap
asam yang terdapat dalam lambung. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika
(Sudoyo, 2010).
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo, 2010).

4
Gambar 2.2 Patogenesis Demam Tifoid oleh infeksi S.typhi

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan


diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman
S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit,
berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan
antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit
B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis
immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer
adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul
antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar
antigen, namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan
muncul pada hari ke 3-4 demam (Rustandi, 2010).

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan
jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20
hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu

5
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian. Adapun gejala klinis yan biasa
ditemukan yaitu (Sudoyo, 2010):
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung lebih dari 7
hari, dapat berlangsung selama 3 minggu. Karakter demam tifoid adalah
demam remiten dengan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya kemerahan, dapat diertai tremor. Pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).
Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Gejala
gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat
mengeluhkan adanya diare, konstipasi atau didahului dengan konstipasi
dan dilanjutkan dengan diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau
gelisah kecuali terjadi komplikasi lebih lanjut.
Menurut WHO, manifestasi klinis demam tifoid dibagi 2 yaitu
(Manangazira et al, 2011):
1. Penyakit akut tanpa komplikasi
Demam tifoid akut mempunyai karakteristik yaitu demam dalam jangka
waktu lama, gangguan saluran cerna (konstipasi pada dewasa dan diare

6
pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoreksia. Batuk (bronkitis)
sering terjadi pada awal fase penyakit.
2. Penyakit dengan komplikasi
Demam tifoid akut dapat menjadi berat. 10% penderita demam tifoid
akut dapat berkembang menjadi komplikasi serius. Apabila komplikasi
serius pada jaringan limfoid usus maka akan ditemukan perdarahan
pada tinja pada 10-20% pasien. Pada 3% penderita dengan komplikasi
serupa terdapat temuan melena ataupun perforasi usus. Rasa nyaman
pada bagian abdominal akan terus berkembang dan meningkat. Apabila
terjadi perforasi usus ataupun peritonitis akan diikuti dengan
peningkatan denyut nadi secara tiba-tiba disertai dengan hipotensi,
ditandai dengan nyeri perut, nyeri lepas, serta nyeri alih dan selanjutnya
perut kaku. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit akan menunjukan
adanya pergeseran ke arah kiri. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan
adanya udara bebas pada bagian abdomen.

F. KOMPLIKASI
Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi
atas dua bagian, yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis
perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang

7
kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya
adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan
perinefritis.
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan
artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dipergunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid yaitu:
1. Pemeriksaan darah tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita
demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid
(Hoffman, 2002).

8
2. Pemeriksaan biakan kuman
Diagnosis pasti ditegakkan dari hasil biakan darah/sumsum
tulang (pada awal penyakit), urin, dan feses. Berkaitan dengan
patogenesis penyakit, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam
darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urin dan feses.
a. Biakan Darah
Metode biakan darah mempunyai spesifisitas tinggi (95%)
akan tetapi sensitivitasnya rendah (± 40%) terutama pada anak dan
pada pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Pemeriksaan biakan perlu waktu lama (± 7 hari), harganya relatif
mahal dan tidak semua laboratorium bisa melakukannya. S. typhi
bukan satu-satunya bakteri patogen ditemukan dalam darah,
subkultur dilakukan pada hari 1, 2, 3, dan 7 pada agar non-selektif.
Agar terbaik adalah agar darah karena hal ini memungkinkan
pertumbuhan yang paling bakteri patogen. Jika agar darah tidak
tersedia, nutrien agar dapat digunakan dalam kombinasi dengan agar
MacKonkey. Untuk dicurigai demam tifoid, piring subkultur harus
diinkubasi pada 37°C untuk 18-24 jam dalam inkubator aerob
(WHO, 2003).
b. Biakan feses
Feses dapat dikumpulkan dari pasien akut dan sangat berguna
untuk diagnosis demam tifoid. Isolasi S. typhi dari tinja adalah
sugestif demam tifoid. Namun, kondisi klinis pasien harus
dipertimbangkan. Spesimen tinja harus dikumpulkan dalam wadah
plastik steril. Kemungkinan mendapatkan hasil positif meningkat
dengan jumlah tinja yang dikumpulkan. Spesimen sebaiknya
diproses dalam waktu dua jam setelah pengumpulan. Jika ada
penundaan, spesimen harus disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu 4°C atau di kotak dengan kemasan freezer dan harus diangkut
ke laboratorium dalam kotak dingin. Kultur feses dapat
meningkatkan hasil kultur positif hingga 5% pada demam tifoid akut.

9
Meskipun hasil pemeriksaan dengan biakan kultur kuman
negatif, akan tetapi hal tersebut tidak menyingkirkan adanya demam
tifoid. Hasil pemeriksaan kultur dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
a. Telah mendapat terapi antibiotik, yang menyebabkan pertumbuhan
bakteri dalam media biakan terhambat.
b. Volume darah yang kurang (minimal 5 cc darah).
c. Saat pengambilan darah pada minggu pertama, dimana saat itu
aglutinin semakin meningkat.
3. Pemeriksaan serologis
a. Uji Widal
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
yang disebut aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen Salmonella typhi
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang
sama sehingga terjadi reaksi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan infeksi
ini. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid (Sudoyo, 2010).
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Reaksi Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/160 atau
titer antibodi H 1/320 menunjang diagnosis demam tifoid pada
penderita dengan gejala klinis yang khas. Peningkatan titer 4 kali
setelah satu minggu dapat memastikan demam tifoid.
Interprestasi uji widal harus memperhatikan beberapa faktor
yaitu sensitivitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis), faktor antigen, teknik, serta reagen yang
digunakan. Uji widal mempunyai keterbatasan nilai diagnostik

10
karena sulit diinterprestasikan terutama di daerah endemis seperti
Indonesia dan bila pemeriksaan hanya dilakukan satu kali.
Pemeriksaan Widal baru mempunyai nilai diagnostik bila pada
pemeriksaan serum fase konvalesen terdapat peningkatan titer anti O
dan anti H sebanyak empat kali. Uji Widal mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas moderat (± 70%), dapat negatif palsu pada 30%
kasus demam tifoid dengan kultur positif.
b. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang
cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini
mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang
terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak
secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan
memberikan hasil negatif (Sudoyo, 2010).
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan
sehingga dapat merangsang respon imun secara independen terhadap
timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena
sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat
sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi
IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau
(Sudoyo, 2010). Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3
macam komponen, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang juga
berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen A, yang
mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan
antigen S.typhi O9, 3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks
berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik

11
untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu
tetes serum (25 μL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes
(25 μL) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 μL)
ditambahkan ke dalam tabung. Hal tesebut dilakukan pada kelima
tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada
rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit
dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan
warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan
hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang
interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Interpretasi Skor Pemeriksaan Tubex (Sudoyo, 2010)
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.
Ulangi pengukuran, apabila masih
meragukan lakukan pengulangan
beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tiofid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B


ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah
mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang
dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan
membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai
akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum
mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan
dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet
rak dan memberikan warna biru pada larutan (Sudoyo, 2010).

12
c. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif
pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap
antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa
(Sudoyo, 2010).
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi
secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan
sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat
digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus
reinfeksi atau konvalesen pada kasus uji primer. Untuk mengatasi
masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal
dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen
dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien (Sudoyo, 2010).

G. Penegakan Diagnosis
Penegakkan diagnosis pasti dari demam tifoid adalah berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan tanda dan gejala
klinis yang khas dari demam tifoid, serta pemeriksaan penunjang berupa
biakan Salmonella typhi. Hasil anamnesis menunjukkan keluhan yang
dialami oleh pasien, dapat berupa demam remiten yang terjadi 7 hari atau
lebih, disertai gangguan gastrointestinal, dengan atau tanpa terjadinya
penurunan kesadaran. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan hasil yang
mendukung anamnesis, berupa tingkat kesadaran (dapat atau tanpa
penurunan kesadaran), suhu tubuh yang meningkat (jika terjadi penurunan
suhu tidak mencapai normal), terdapat lidah kotor yang mana tepi lidah
tampak hiperemis dan bagian tengah lidah tampak putih, dapat disertai
hepatosplenomegali, nyeri abdomen, atau ruam kulit. Pemeriksaan isolasi
bakteri Salmonella typhi merupakan gold standard tegaknya diagnosis,
namun untuk mengarahkan diagnosis, pemeriksaan widal dapat

13
dipergunakan. Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan biakan bakteri
Salmonella typhi ialah darah, urin dan tinja. Pemeriksaan darah dapat
dilakukan pada minggu pertama perjalan penyakit, kemudian disusul
dengan pemeriksaan tinja dan urin akan positif pada minggu kedua
(Sudoyo, 2010; WHO, 2003).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah untuk mencapai
keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari
kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri
untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.1
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella
typhi setempat.1 Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap
banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap
antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotic fluoroquinolone.11 Nalidixic acid resistant Salmonella typhi
(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap
fluoroquinolone.11 Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.11
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin,
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan
angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.1
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik,
dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta
mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan
antibiotik lain.11
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas
fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti

14
dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif,
acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap
obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.12

Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan cipro

oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing

selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levo

oxacin lebih bermanfaat dibandingkan cipro oxacin dalam hal waktu

penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek

samping yang lebih sedikit dibandingkan cipro oxacin.12

Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI

mengenai e kasi dan keamanan levo oxacin pada terapi demam

tifoid tanpa komplikasi.13 Levo oxacin diberikan dengan dosis 500 mg,

1 kali sehari selama 7 hari. E kasi klinis yang dijumpai pada studi ini

adalah 100% dengan efek samping yang minimal. Dari studi ini juga
terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara

berbagai jenis uoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana

penurunan demam pada levo oxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.13

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009

menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa, uoroquinolone

lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan.14

Namun, uoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena

dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.1,2,11


Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi
standar pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol
adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier
juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.11,15

15
Azithromycin dan ce xime memiliki angka kesembuhan klinis

lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier
terjadi pada kurang dari 4%.1
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi
abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien
dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang
berat.1 Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2.11 Walaupun di tabel ini tertera
cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia
sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid
dengan cefotaxime.
Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta
terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.1,2 Nutrisi yang
adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan
mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.1,
Tabel 2. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi
(WHO, 2003)

Tabel 3. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat (WHO, 2003)

16
I. Prognosis

17
III. KESIMPULAN

18
DAFTAR PUSTAKA

Cita, YP., 2011. Bakteri Salmonella typhi dan demam tifoid. Jakarta: Jurnal
Kesehatan Masyarakat.

Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Haunter’s tropical medicine, 7th ed.
Philadelphia: WB Saunders Co.

Kidgell, C., Reichard, U., Wain, J., Linz, B., Torpdahl, M., Dougan, G., Achtman,
M., 2002. Salmonella typhi, the causative agent of typhoid fever, is
approximately 50,000 years old. United Kingdom and Denmark: Elsevier
Science.

Manangazira, Dr P, Glavintcheva, Dr I., Gonese, Dr GM., Bara, Dr W.,


Chimbaru, A., Ameda, I. 2011. Guidelines for the management of typhoid
fever. Zimbabwe: WHO.

Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Bandung: Universitas Padjajaran.

Sudoyo, AW. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga.

World Health Organization (WHO). 2003. Department of vaccines and


biologicals, Department of communicable disease surveillance and
response, Background document: The diagnosis, treatment and prevention
of typhoid fever. Switzerland: WHO.

19

You might also like