You are on page 1of 15

Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.

September 2014

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI
PUSKESMAS GARUDA KOTA BANDUNG
Irma Oktaviani, Sri Hayati, Eva Supriatin
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas BSI Bandung
Jalan Sekolah Internasional No.1-6 Antapani, Bandung 40282

Abstract - Acute Respiratory Infection is an acute infection disease that attack one or more parts
of the respiratory tract from the nose to the pockets of the lung (alveoli) including of adnexal
networks such as sinus / cavity around the nose, middle ear cavity and pleura. Survey of
Kesehatan Rumah Tangga in 2001 the death rate from pneumonia, to 5 cases in 1000 infants and
toodlers die each year,or 12.500 victims per month, or 416 cases a day, or 17 children per hour,
or 1 person every 5 minutes toddler.The purpose of this study to identify the associated between
acute respiratory infection factors, low birth weight, nutritional status, immunization, residential
density and physical environment (ventilation) on the incidence of acute respiratory infection at
Puskesmas Garuda Bandung.Design research is an observational analytic, using cross sectional
survey design using accidental sampling technique. Analysis used in this study by using chi square
analysis. The population is 327 toddlers, and the samples used are toddlers who come to the clinic
for treatment, taken as many as 15% of 327 infants and obtained 50 respondents. Statistical
analysis of data shows that there associated between low birth weight with acute respiratory
infection (p = 0.000 < 0.05), was not associated between nutritional status in infants with the
incidence of acute respiratory infection (p = 0.134 > 0.05), thereis a associated between
immunization with acute respiratory infection (p = 0.005 < 0.05), there was not associated
between the physical environment (ventilation) with acute respiratory infection (p = 0.790 > 0.05).
The conclusion that there is a associated between low birth weight and immunization on the
incidence of respiratory infections, and there was not associated between nutritional status,
residential density and physical environment (ventilation). And suggestions to the clinic to better
promote the importance of immunization and prevention of low birth weight babies born in order
to reduce the risk of respiratory infection.

Keywords: Acute Respiratory Infection In Toddlers, Factors Associated eith Acute Respiratory
Infection, Low Birth Weight, Nutritional Status, Immunization, Residential Density, Physical
Environment (Ventilation)

Abstrak - Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang
salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli)
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar hidung, rongga telinga tengah dan
pleura. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 angka kematian akibat
pneumonia, mencapai 5 kasus diantara 1000 bayi dan balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150
ribu bayi dan balita meninggal setiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus
sehari, atau 17 anak per jam, atau 1 orang balita tiap 5 menit. Tujuan penelitian ini untuk
mengidentifikasi hubungan antara faktor-faktor ISPA yaitu BBLR, status gizi, imunisasi,
kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Garuda Kota Bandung. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional
analitik, dengan menggunakan rancangan survey cross sectional dengan menggunakan teknik
accidental sampling. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan analisa
Chi Square. Populasi dalam penelitian ini yaitu 327 balita, dan sampel yang digunakan yaitu balita
yang datang berobat ke puskesmas, diambil sebanyak 15% dari 327 balita dan didapat 50
responden. Analisis statistik terhadap data yang diperoleh menunjukan bahwa terdapat hubungan
antara BBLR dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,000 < 0,05), tidak ada hubungan antara

108
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

status gizi dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,134 > 0,05), ada hubungan antara imunisasi
dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,005 < 0,05), tidak ada hubungan antara kepadatan tempat
tinggal dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,552 > 0,05), tidak ada hubungan antara lingkungan
fisik ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,790 > 0,05). Kesimpulan dari penelitian ini
bahwa terdapat hubungan antara BBLR dan imunisasi terhadap kejadian ISPA, serta tidak terdapat
hubungan antara status gizi, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik ventilasi terhadap
kejadian ISPA. Dan saran kepada puskesmas supaya lebih mensosialisasikan pentingnya imunisasi
dan pencegahan terjadinya kelahiran bayi yang BBLR agar mengurangi resiko terjadinya ISPA.

Kata Kunci : ISPA pada balita, Faktor-faktor yang berhubungan dengan ISPA, BBLR, Status
Gizi,Imunisasi, Kepadatan Tempat Tinggal, Lingkungan Fisik (Ventilasi)

PENDAHULUAN
ISPA dibagi menjadi dua yaitu Infeksi
Di Indonesia, Infeksi Saluran Saluran Pernafasan Atas dan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati Pernafasan Bagian Bawah. Pneumonia
urutan pertama penyebab kematian pada merupakan infeksi saluran pernafasan bawah
kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga akut. Hampir semua kematian ISPA pada anak
sering berada pada daftar 10 penyakit – anak umumnya adalah infeksi saluran
terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas pernafasan bagian bawah (pneumonia). Oleh
yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 karena itu infeksi saluran pernafasan bagian
menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai bawah (pneumonia) memerlukan perhatian
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia yang besar oleh karena angka kasus kematian
dengan persentase 22,30% dari seluruh (Case Fatality Rate) nya tinggi dan pneumonia
kematian balita (Misnadiarly, 2008). merupakan infeksi yang mempunyai andil
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan besar dalam morbiditas maupun mortalitas di
Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan negara berkembang (Misnadiarly, 2008).
prevalensi nasional ISPA 25,5%, dimana angka Sampai saat ini ISPA masih menjadi
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada bayi masalah kesehatan dunia. Hal ini dapat dilihat
2,2%, pada balita 3%, sedangkan angka dari tingginya angka kesakitan dan kematian
kematian (mortalitas) pada bayi 23,8% dan akibat ISPA (Kemenkes RI, 2010). Kematian
balita 15,5% (Kemenkes RI, 2010). Hasil akibat penyakit ISPA pada balita mencapai
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 12,4 juta pada balita golongan umur 0-4 tahun
tahun 2001 angka kematian akibat pneumonia, setiap tahun diseluruh dunia (WHO, 2007).
mencapai 5 kasus diantara 1000 bayi dan Usia balita lebih sering terkena
balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150 ribu penyakit dibandingkan orang dewasa, yang
bayi dan balita meninggal setiap tahunnya, atau pertumbuhan dan perkembangannya sudah
12.500 korban perbulan, atau 416 kasus sehari, lengkap. Hal ini disebabkan sistem pertahanan
atau 17 anak per jam, atau 1 orang balita tiap 5 tubuh pada balita terhadap penyakit infeksi
menit (Misnadiarly, 2008). masih dalam tahap perkembangan. Salah satu
Penyakit ISPA merupakan penyakit penyakit infeksi yang paling sering diderita
yang sering terjadi pada anak. Episode oleh balita adalah Infeksi Saluran Pernafasan
penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia Akut (ISPA). Infeksi ini mengenai saluran
diperkirakan sebesar tiga sampai enam kali per pernafasan yang merupakan organ yang sangat
tahun. Ini berarti seorang balita rata-rata peka sehingga kuman penyakit mudah
mendapat serangan batuk pilek sebanyak tiga berkembang biak. Apalagi daya tahan tubuh
sampai enam kali setahun (DepKes, balita belum kuat ( Syafarilla, 2011).
2002).InfeksiSaluran Pernafasan Akut (ISPA) WHO memperkirakan di negara
adalah penyakit infeksi akut yang menyerang berkembang lebih tinggi dari negara maju dan
salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas diduga 20% kematian anak disebabkan oleh
mulai dari hidung hingga kantong paru ISPA terutama pneumonia. Pada tahun 2005
(alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti tercatat penyebab kematian balita diseluruh
sinus/rongga di sekitar hidung, rongga telinga dunia terdiri atas Pneumonia19%, Diare 17%,
tengah dan pleura (Depkes, 2002). Malaria 8% dan Campak 4% (Maryunani,
2010).
KAJIAN LITERATUR Kematian ISPA terjadi jika penyakit
telah mencapai derajat ISPA yang berat, karena

109
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

infeksi telah mencapai paru-paru atau disebut berhubungan dengan kejadian ISPA pada
sebagai pneumonia. Pneumonia merupakan balita. Imunisasi sangat berguna dalam
penyakit infeksi penyebab kematian utama, menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap
terutama pada balita. Kondisi ISPA ringan gangguan penyakit (Depkes RI, 2004). Para
dengan batuk pilek biasa sering diabaikan, ahli kesehatan menyebutkan bahwa di banyak
namun apabila daya tahan tubuh anak lemah negara, dua penyebab utama tingginya angka
penyakit tersebut cepat menjalar ke paru-paru. kematian anak adalah 65 gangguan gizi dan
Kondisi penyakit tersebut bila tidak infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi
mendapatkan pengobatan serta perawatan yang yang merupakan hal mutlak dalam memelihara
baik dapat menyebabkan kematian (DepKes kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2003).
RI, 2002). Salah satu faktor penyebab ISPA juga
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat yaitu keadaan lingkungan fisik dan
menyatakanISPA masih merupakan urutan pemeliharaan lingkungan rumah. Pemeliharaan
pertama penyakit terbanyak pada balita di lingkungan rumah dengan cara menjaga
Propinsi Jawa Barat yakni sebesar kebersihan di dalam rumah, mengatur
33,44%.Jumlah penderita ISPA, diare dan pertukaran udara dalam rumah, menjaga
faringitis meningkat di Kabupaten maupun kebersihan lingkungan luar rumah dan
Kota Bandung. Angka kejadian ISPA di Kota mengusahakan sinar matahari masuk ke dalam
Bandung menunjukan peningkatan yaitu rumah di siang hari, supaya pertahanan udara
mencapai 17.793 pada tahun 2012. Selama di dalam rumah tetap bersih sehingga dapat
bulan Maret ini tercatat 4.186 kasus ISPA, mencegah kuman dan termasuk menghindari
terutama pneumonia. kepadatan penghuni karena dianggap risiko
Terdapat beberapa faktor resiko meningkatnya terjadinya ISPA (Maryunani,
kesakitan hingga resiko kematian pada balita 2010).
penderita ISPA. Diantaranya faktor Berat Bayi Hasil penelitian Yusup dan
Lahir Rendah (BBLR), status gizi, imunisasi, Sulistyorini 2004 menjelaskan bahwa terdapat
kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik ( hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan
Maryunani, 2010 ). Salah satunya balita dengan kejadian ISPA pada balita, sanitasi rumah
riwayat Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). secara fisik yang memiliki hubungan dengan
Pada bayi BBLR, pembentukan zat anti kejadian ISPA pada balita meliputi : kepadatan
kekebalan kurang sempurna sehingga lebih penghuni, ventilasi, dan penerangan alami.
mudah terkena penyakit infeksi terutama Berdasarkan laporan tahunan P2ISPA
Pneumonia. Dinas Kesehatan Kota Bandung, terdapat 5
Pada anak-anak dengan riwayat berat (lima) puskesmas yang memiliki angka
badan lahir rendah cenderung tidak mengalami kejadian ISPA tertinggi se Kota Bandung. Dan
penyakit saluran pernapasan lebih tinggi, tetapi Puskesmas Garuda menempati urutan pertama
mengalami infeksi yang berulang. Hal ini dengan angka kejadian ISPA tertinggi. Hasil
terjadi karena lebih banyak sampel dengan rekapitulasi data dari Dinas Kesehatan Kota
BBL normal (94,0%). Anak yang mempunyai Bandung pada akhir tahun 2012, telah terjadi
riwayat lahir dengan BBLR, jika didukung oleh peningkatan kejadian ISPA di Puskesmas
kondisi status gizi baik dan pemberian Garuda. Seperti digambarkan pada tabel 1.1
imunisasi lengkap, anak tersebut tidak mudah dibawah ini :
terkena penyakit ISPA (Moehji, 2003). Tabel 1
Keadaan gizi sangat berpengaruh pada Jumlah kejadian ISPA pada bulan
daya tahan tubuh (status nutrisi, imunisasi). Desember 2012 di Puskesmas
Anak yang gizinya kurang atau buruk Kota Bandung
(badannya kurus) akan lebih mudah terjangkit No Puskesmas ISPA
penyakit menular atau penyakit infeksi salah
satu nya penyakit ISPA atau pneumonia. Sama
1 Garuda 134
hal nya dengan imunisasi menunjukkan bahwa
ada kaitan antara penderita pneumonia yang 2 Pasir Kaliki 126
mendapatkan imunisasi tidak lengkap dan 3 Puter 70
lengkap, dan bermakna secara statistis. 4 Kopo 36
Ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan 5 Ibrahim Adjie 2
peningkatan penderita ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai
status imunisasi merupakan faktor risiko yang Sumber : Sub Bina Program Dinas Kesehatan
Kota Bandung, 2012
110
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Pada bulan Maret 2013 di Puskesmas Manfaat Penelitian


Garuda ditemukan 327 kasus ISPA pada balita. Manfaat Teoritis
Hal ini menunjukan angka peningkatan jumlah Diharapkan skripsi ini memberikan
kasus yang ditemukan di puskesmas tersebut. manfaat untuk keperawatan terutama mengenai
Berdasarkan uraian dan data-data diatas, maka faktor-faktor yang berhubungan dengan ISPA.
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Selain itu, hasil penelitian ini dapat
guna mengetahuiFaktor-Faktor Yang dikembangkan ke dalam ilmu Keperawatan
Berhubungan Dengan KejadianISPA Pada anak.
Balita di Puskesmas Garuda Kota Bandung. Manfaat Praktis
Bagi puskesmas, semoga hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan tambahan
Rumusan Masalah informasi mengenai faktor-faktor yang
Masalah dalam penelitian ini adalah untuk berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita
mengetahui faktor-faktor apa saja yang sehingga dapat dijadikan masukan bagi
berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita perawat dalam memberikan pelayanan
di Puskesmas Garuda Kota Bandung. keperawatan yang berpusat pada masyarakat,
khususnya dalam perawatan balita dengan
Tujuan Penelitian ISPA.
Tujuan Umum :
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang METODOLOGI PENELITIAN
berhubungan dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Garuda Kota Bandung. Desain Penelitian
Tujuan Khusus : Dalam penelitian ini menggunakan pola
1. Mengidentifikasi hubungan antara berat pendekatan kuantitatif. Dan desain penelitian
badan lahir rendah balita dengan kejadian yang digunakan adalah observasional analitik,
ISPA pada balita di Puskesmas Garuda Kota dengan menggunakan rancangan survey cross
Bandung sectional dengan menggunakan penghitungan
2.Mengidentifikasi hubungan antara status gizi accidental sampling. Tujuan penelitian ini
balita dengan kejadian ISPA pada balita di adalah untuk mengidentifikasi hubungan
Puskesmas Garuda Kota Bandung faktor-faktor ISPA dengan kejadian ISPA pada
3.Mengidentifikasi hubungan antara imunisasi balita di wilayah kerja Puskesmas Garuda Kota
balita dengan kejadian ISPA pada balita di Bandung.
Puskesmas Garuda Kota Bandung
4.Mengidentifikasi hubungan antara lingkungan Kerangka Pemikiran
fisik dengan kejadian ISPA pada balita di Kerangka penelitianadalah suatu uraian
Puskesmas Garuda Kota Bandung dari visualisasi hubungan atau kaitan antara
5.Mengidentifikasi hubungan antara kepadatan konsep satu terhadap konsep lainnya, atau
tempat tinggal dengan kejadian ISPA pada antara variabel yang satu dengan variabel yang
balita di Puskesmas Garuda Kota Bandung. lain dari masalah yang ingin diteliti
(Notoatmodjo, 2010).

Faktor-faktor yg
berhubungan
dengan kejadian
Balita di Wilayah ISPA :
Kerja Puskesmas
-BBLR
Garuda Kota
Bandung Kejadian ISPA
-Status Gizi

-Imunisasi

-Kepadatan tempat
tinggal

-Lingkungan Fisik

111
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Gambar 1
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Hipotesis penelitian dapat diuraikan Variabel penelitian adalah objek penelitian,
seperti di bawah ini : atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
H1a = Ada hubungan antara BBLR dengan penelitian ( Arikunto, 2010 ).
kejadian ISPA
H1b = Ada hubungan antara status gizi dengan Variabel Independent
kejadian ISPA Variabel independen adalah tipe variabel yang
H1c = Ada hubungan antara imunisasi dengan menjelaskan atau mempengaruhivariabel yang
kejadian ISPA lain. Variabel independen dalam penelitian
H1d = Ada hubungan antara kepadatan tempat ini adalah faktor-faktor yang berhubungan
tinggal dengan kejadian ISPA dengan kejadian ISPA, sebagai berikut :
H1e = Ada hubungan antara lingkungan fisik a. BBLR
dengan kejadian ISPA b. Status Gizi
c. Imunisasi
Populasi, Sampel dan Sampling d. Kepadatan tempat tinggal
Populasi e. Lingkungan fisik
Populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas objek/ subjek yang mempunyai Variabel Dependen
kualitas dan karakteristik tertentu yang Variabel dependen adalah tipe variabel
ditetapkan oleh penelitian untuk di pelajari dan yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel
kemudian ditarik kesimpulannya independen. Variabel dependen dalam
(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA.
penelitian ini adalah seluruh orang tua balita
yang datang berobat ke Puskesmas Garuda Definisi Konseptual dan Operasional
Kota Bandung dengan diagnosa ISPA. Pada Variabel
bulan Desember 2012 terdapat 327 balita yang Definisi Konseptual
datang berobat ke puskesmas tersebut. Maka 1. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
dari itu, populasi yang diambil adalah 327 Berat bayi kurang dari 2500 gram
balita. dihubungkan dengan meningkatnya kematian
akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan
Sampel dan Sampling ini menetap setelah dilakukan adjusted
Sampel adalah bagian dari jumlah dan (penyesuaian) terhadap status pekerjaan,
sampling adalah merupakan teknik pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan
pengambilan sampel(Notoatmodjo, 2010). bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan
Apabila jumlah responden lebih dari 100 lahir rendah tidak mengalami rate (angka)
responden maka dapat diambil 10-15 % atau lebih tinggi terhadap penyakit saluran
20-25 % dari total responden (Arikunto, 2006). pernapasan, tetapi mengalami lebih berat
Sampel dalam penelitian ini diambil infeksinya (Maryunani, 2010).
sebanyak 15% dari total responden, yaitu 327 x 2. Status Gizi
15% = 49,05 dibulatkan menjadi 50 orang tua Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai
balita. Penelitian ini menggunakan tekhnik faktor resiko yang penting untuk terjadinya
accidental sampling. Dimana semua responden ISPA. Penilaian status gizi berdasarkan BB/U
yang datang berobat ke puskesmas dan di untuk mengetahui keadaan status gizi
diagnosa ISPA (pneumonia/bukan pneumonia) responden pada saat diteliti dengan
akan diambil untuk dijadikan responden, menggunakan standar baku antopometri WHO-
karena semua responden sama (homogen). NCHS :

Variabel Penelitian Tabel 2

112
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Penilaian status gizi berdasarkan imunisasi lengkap ( Campak dan DPT ),


indeks BB/U standar baku sedangkan yang tidak lengkap apabila
antopometri WHO-NCHS : dalam imunisasi wajib tidak melakukan
NO Indeks yang Batas Status imunisasi salah satu imunisasi Campak
Digunakan Pengelem Gizi dan DPT (DepKes RI, 2002 ).
pokan 4. Kepadatan Penghuni
1 BB/U < -3 SD Gizi Menurut Maryunani 2010, kepadatan
Buruk penghuni bias dihitung meliputi jumlah
2 BB/U -3 s/d < -2 Gizi penghuni dalam rumah dengan ukuran
SD Kurang luasanrumah. Diukur dengan cara :
3 BB/U -2 s/d +2 Gizi Baik
SD
4 BB/U >+2 SD Gizi
Lebih = Jumlah Kamar Tidur
Jumlah Penghuni Dalam Rumah
3. Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian imunitas Dengan kategori :
(kekebalan) tubuh terhadap suatu penyakit a. Baik, bila kepadatan lebih atau sama
dengan memsakukkan sesuatu ke dalam dengan 0,7
tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit b. Cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7
yang sedang mewabah atau berbahaya c. Kurang, bila kepadatan kurang dari 0,5
bagi manusia. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi lengkapbila
menderita ISPA dapat diharapkan 5. Lingkungan Fisik
perkembangan penyakitnya tidak akan Ventilasi
menjadi berat. Ketidakpatuhan imunisasi Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
berhubungan dengan peningkatan kurangnya oksigen di dalam rumah yang
penderita ISPA, hal ini sesuai dengan berarti kadar karbondioksida yang bersifat
peneliti lain yang mendapatkan bahwa racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
imunisasi yang lengkap dapat Selain itu, tidak cukupnya ventilasi akan
memberikan peranan yang cukup berarti menyebabkan kelembaban udara di dalam
dalam mencegah kejadian ISPA ( ruangan naik karena terjadi proses penguapan
Maryunani, 2010 ). cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban
Rentannya penularan penyakit pada ini merupakan media yang baik untuk
balita akan mempengaruhi kekebalan perkembangan virus dan kuman ISPA. Dengan
tubuh balita itu sendiri. Hasil penelitian kategori :
yang berhubungan dengan status a. Baik (≥10% dari luas lantai)
imunisasi menunjukan bahwa ada kaitan b. Tidak baik (≤10% dari luas lantai)
antara penderita ISPA yang mendapatkan (Maryunani, 2010)
imunisasi lengkap dan tidak lengkap.
Imunisasi dasar lengkap untuk
pencegahan ISPA yaitu melakukan

113
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

editing dan coding, yaitu memasukkan data


dengan cara melalui perangkat computer atau
Tabel 3 Operasional Variabel “software” yakni dengan memasukan hasil
Operasional Variabel data yang telah diperoleh, kemudian
dilakukan wawancara mengenai dimasukkan ke komputer dengan program
imunisasi dan umur dan melakukan kontrak 1 SPSS for Windows.
sampai 2 hari berikutnya untuk melakukan
kunjungan rumah dan mengobservasi Analisa Data
kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik. Analisa Univariat
Merupakan analisis persentase dengan
Teknik Pengolahan Data tujuan untuk melihat gambaran distribusi
Data yang telah dikumpulkan dilakukan frekuensi dan persentase dari variabel yang
pengolahan data dengan tahapan sebagai diteliti. Dengan variable independen yang
berikut : diteliti yaitu (BBLR, status gizi, imunisasi,
1. Editing data dalam penelitian ini yaitu kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik)
dengan menggunakan tekhnik editingdan dan variable dependen yaitu (kejadian ISPA).
melakukan pengecekan isian pada lembar Analisa data yang digunakan dalam
kuesioner dan lembar observasi setelah data penelitian ini adalah analisa presentase. Jika
terkumpul untuk memastikan jawaban responden memilih jawaban yang salah maka
responden benar. diberi skor 0 dan jika responden memilih
2. Coding, dalam penelitian ini untuk jawaban yang benar maka diberi skor 1,
mempermudah penelitian maka digunakan kemudian kesemua jawaban tersebut
coding atau pengkodean untuk faktor-faktor dijumlahkan dan dibandingkan, lalu
yang diteliti. Yaitu : dipresentasikan (Arikunto, 2010).
a = untuk BBLR Untuk mendapatkan data yang
b = untuk status gizi diperoleh dari responden ditabulasi yang
c = untuk imunisasi kemudian disajikan dalam bentuk tabel
d =untuk kepadatan tempat tinggal distribusi persentase, dan untuk mengukurnya
e = untuk lingkungan fisik digunakan rumus persentase sebagai berikut :
3. Entry Data dilakukan setelah melakukan

Variabel Sub Definisi Indikator Alat Ukur Hasil Ukur Pengukur


Variabel Operasional an
Faktor-faktor 1. BBLR Pernyataan orang tua BBLR Kuesioner a. Ya = apabila orang tua menyatakan
yang menyebutkan berat
Nominal
yang anak waktu lahir. berat anak lahir rendah (≤2500gram)
berhubungan b. Tidak = apabila orang tua tidak
dengan
menyatakan berat anak lahir rendah
kejadian
ISPA (≥2500gram)
meliputi :
2. Status Hasil penimbangan BB -Berat Badan Timbangan a.<-3 SD = gizi buruk
anak dan umur anak.
Ordinal
Gizi (BB) b.-3 s/d <-2 SD = gizi kurang
-Umur c.-2 s/d +2 SD + gizi baik
d.>+2 SD = gizi lebih.
3. Melakukan imunisasi Imunisasi Lengkap Kuesioner a.Lengkap
lengkap Campak dan
Nominal
Imunisasi ( Campak, DPT)
DPT, imunisasi tidak
Imunisasi Tidak
lengkap apabila tidak b.Tidak Lengkap
melakukan salah satu Lengkap ( tidak
dari DPT dan Campak imunisasi DPT,
atau tidak imunisasi
campak, atau tidak
keduanya)
4. Mengobservasi Kepadatan Observasi a.Baik, bila kepadatan lebih atau sama
Kepadatan kepadatan hunian hunian dengan 0,7 Ordinal
Penghuni b.Cukup, bila kepadatan antara 0,5-0,7
c.Kurang, bila kepadatan kurang dari 0,5.
5. Mengobservasi Ventilasi Rolemeter a.Baik (≥10% dari luas lantai) Ordinal
Lingkungan lingkungan fisik
Fisik
b.Tidak baik (≤10% dari luas
lantai)
Kejadian Diagnosa medis Studi a.Pneumonia Nominal
ISPA Dokumentasi b.Bukan Pneumonia

114
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Keterangan :
Keterangan :
Oij = jumlah observasi untuk kasus-kasus yang
p = persentase
dikategorikan dalam baris ke-I pada kolom ke-j
X = Jumlah jawaban responden
Eij = banyak kasus yang diharapkan
Y = Jumlahresponden keseluruhan
Dengan hasil riteria uji :
1. Tolak H0 apabila chi kuadrat hitung >
Selanjutnya hasil perhitungan tersebut diatas,
chi kuadrat tabel (0,05, (k-1, (b-1))
di interpretasikan dengan menggunakan kriteria atau ρ-value < dari α (5% / 0,05)
sebagai berikut (Arikunto, 2010 ) :
2. Terima H0 apabila chi kuadrat hitung
0% = Tak seorang pun
≤ chi kuadrat tabel (0,05, (k-1, (b-
1-25 % = Sebagian kecil responden
1))atau ρ-value ≥ dari α (5% / 0,05)
26-49 % = Hampir setengah responden
50 % = Sebagian responden
51-75 % = Sebagian besar responden
76-99 % = Hampir seluruh responden
100 % = Seluruh responden

Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan dengan
memperhatikan skala pengukuran masing-
masing variabel. Untuk mengetahui hubungan
antara variabel independen (BBLR, status gizi,
imunisasi, kepadatan tempat tinggal dan
lingkungan fisik) dan dependen(kejadian
ISPA), maka digunakan rumus statistik Chi
kuadrat (X²), dimana X² berfungsi untuk
menghitung signifikasi hubungan frekuensi
yang diperoleh dengan frekuensi harapan.
Adapun rumus X² yang digunakan adalah :
Tabel 4
Distribusi Bivariat Faktor-Faktor Kejadian
ISPA

Subvariabel p-value Hipotesis


BBLR 0,000 H0 ≠ Ditolak
Status Gizi 0,134 H0 = Diterima
α (5% / 0,05)
Imunisasi 0,005 H0 ≠ Ditolak
Kepadatan Tempat Tinggal 0,552 H0 = Diterima
Lingkungan Fisik 0,790 H0 = Diterima

Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa pada dengan mempertimbangkan masalah etika,
BBLR dan imunisasi H0 ≠ ditolak yang berarti yaitu :
ada hubungan antara factor BBLR dan
imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita. Informed Consent (Lembar Persetujuan
Sedangkan untuk faktor status gizi, kepadatan Menjadi Responden)
tempat tinggal dan lingkungan fisik dapat Sebelum melakukan kegiatan
diketahui H0 = diterima yang berarti ada penelitian, peneliti membuat lembar
hubungan antara status gizi, kepadatan tempat persetujuan (informed consent). Setelah
tinggal dan lingkungan fisik terhadap kejadian mendapatkan penjelasan tentang penelitian,
ISPA pada balita. jika responden bersedia untuk diteliti maka
Etika Penelitian mereka harus menandatangani lembar
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti persetujuan tersebut. Jika responden menolak
mendapat rekomendasi dari Fakultas Ilmu untuk diteliti, maka peneliti tidak akan
Keperawatan Universitas BSI Bandung dan memaksa dan tetap menghormati hak-hak
permintaan izin ke Kepala Puskesmas Garuda. responden.
Setelah mendapat persetujuan, maka penelitian Anonimity (tanpa nama)

115
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Untuk menjaga kerahasiaan responden “Faktor-faktor yang berhubungan dengan


yang diteliti, peneliti tidak mencantumkan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut
namanya pada lembaran data, cukup dengan (ISPA) pada balita di Puskesmas Garuda Kota
memberikan nomor kode kuesioner atau hanya Bandung”. Penelitian ini telah dilaksanakan
dengan inisial pada masing-masing lembar pada tanggal 20 Mei s.d 15 Juni 2013 di
tersebut. Puskesmas Garuda Kota Bandung. Penelitian
Confidentiallity (kerahasiaan) ini menggunakan lembar wawancara, studi
Kerahasiaan informasi responden dokumentasi dan lembar observasi dengan 50
hanya untuk penelitian ini saja, dan dijamin responden keluarga balita yang datang berobat
oleh peneliti. ke puskesmas.Sebelum menjelaskan hasil
penelitian, peneliti akan menampilkan data
PEMBAHASAN univariat untuk masing-masing subvariabel
seperti tabel di bawah ini :
Pada bab ini penulis membahas hasil
dari penelitian serta pembahasannya tentang
Tabel 5
Subvariabel Univariat Faktor- Faktor Kejadian ISPA
Subvariabel Kategori F %
Ya 21 42,0
BBLR
Tidak 29 58,0
Total 50 100,0
Gizi Buruk 2 4,0
Gizi Kurang 20 40,0
Status Gizi
Gizi Baik 27 54,0
Gizi Lebih 1 2,0
Total 50 100,0
Tidak Lengkap 25 50,0
Imunisasi
Lengkap 25 50,0
Total 50 100,0
Kurang 36 72,0
Kepadatan Tempat Tinggal Cukup 11 22,0
Baik 3 6,0
Total 50 100,0
Tidak Baik 41 82,0
Lingkungan Fisik
Baik 9 18,0
Total 50 100,0
Pneumonia 27 54,0
Kejadian ISPA
Bukan Pneumonia 23 46,0
Total 50 100,0

Pada tabel diatas dapat diketahui kepadatan tempat tinggal kurang, sebagian
bahwa hampir setengah responden (42%) kecil responden ( 22% ) sejumlah 11 anak
sejumlah 21 orang balita mengalami BBLR, balita memiliki kepadatan tempat tinggal
sedangkan sebagian besar responden (58%) cukup, dan sebagian kecil responden ( 6% )
sejumlah 29 responden tidak mengalami sejumlah 3 orang balita memiliki kepadatan
BBLR. Untuk status gizi dapat diketahui tempat tinggal baik. Dan untuk lingkungan
bahwa sebagian responden ( 54% ) sejumlah 27 fisik dapat diketahui bahwa hampir seluruh
orang balita diantaranya menunjukan gizi baik, responden ( 82% ) sejumlah 41 orang balita
hampir setengah responden ( 40% ) sejumlah memiliki lingkungan fisik yaitu ventilasi pada
20 orang balita menunjukan gizi kurang, kategori tidak baik, sedangkan sebagian kecil
sebagian kecil responden ( 4% ) sejumlah 2 responden ( 18% ) sejumlah 9 orang balita
orang balita menunjukan gizi buruk, dan memiliki lingkungan fisik yaitu ventilasi pada
sebagian kecil responden ( 2% ) sejumlah 1 kategori baik. Sedangkan untuk kejadian ISPA
orang balita menunjukan gizi lebih. Dan untuk dapat diketahui bahwa sebagian besar
imunisasi dapat diketahui bahwa dari 50 responden ( 54% ) sejumlah 27 orang balita
responden, sebagian responden ( 50% ) termasuk kategori pneumonia. Sedangkan
sejumlah 25 orang balita tidak lengkap hampir setengah responden ( 46%) sejumlah 23
melakukan imunisasi dan sebagian responden orang balita termasuk kategori bukan
lagi ( 50% ) sejumlah 25 orang telah lengkap pneumonia.
melakukan imunisasi.
Pada kepadatan tempat tinggal dapat Hasil Penelitian
diketahui bahwa sebagian besar responden ( Analisis Bivariat
72% ) sejumlah 36 orang balita memiliki
116
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Analisa bivariat dilakukan dengan Untuk mengetahui hubungan antara BBLR


memperhatikan skala pengukuran masing- dengan kejadian ISPA pada balita di
masing variabel. Puskesmas Garuda Kota Bandung dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
Hubungan BBLR dengan kejadian ISPA

Tabel 6
Hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Garuda Kota
Bandung
ISPA Total p-value CI 95%
Pneumonia Bukan Pneumonia
BBLR 18 ( 85,7 % ) 3 ( 14,3 % ) 21 0,000 2,762
Tidak 9 ( 31 % ) 20 ( 69 % ) 29 1,562-
BBLR 4,884

Dari tabel diatas dapat diketahui nilai p = Hubungan Status Gizi dengan kejadian
0,000, ini menunjukan bahwa ada hubungan ISPA
yang bermakna antara BBLR dengan kejadian Untuk mengetahui hubungan antara status
ISPA. Balita yang mengalami BBLR gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
mempunyai resiko terkena ISPA 2,762 kali Puskesmas Garuda Kota Bandung dapat dilihat
lebih besar dibandingkan dengan balita yang pada tabel dibawah ini :
tidak BBLR ( dengan 95% CI = 1,562 ; 4,884
).

Tabel 7
Hubungan Status Gizi dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Garuda Kota
Bandung
ISPA Total p-value CI 95%
Pneumonia Bukan
Pneumonia
Gizi 15 ( 68,2 % ) 7 ( 31,8 % ) 22 0,134 1,591
Kurang
Gizi Baik 12 ( 42,9 % ) 16 ( 57,1 % ) 28 0,951-2,661

Dari tabel diatas dapat diketahui nilai dikategorikan gizi kurang mempunyai resiko
p = 0,134, ini menunjukan bahwa tidak ada 1,591 kali lebih besar dibandingkan dengan
hubungan yang bermakna antara status gizi balita yang memiliki gizi baik ( dengan 95% CI
dengan kejadian ISPA. Balita yang = 0,951 ; 2,661 ).

Hubungan Imunisasi dengan kejadian ISPA Garuda Kota Bandung dapat dilihat pada tabel
Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dibawah ini :
dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas
Tabel 8
Hubungan Imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Garuda Kota
Bandung
ISPA Total p-value CI 95%
Pneumonia Bukan
Pneumonia
Tidak 19 ( 76 % ) 6 ( 24 % ) 25 0,005 2,375
Lengkap
Lengkap 8 ( 32 % ) 17 ( 68 % ) 25 1,287-4,382

117
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Pada tabel diatas dapat diketahui nilai p = imunisasinya mempunyai resiko 2,375 kali
0.005, ini menunjukan bahwa ada hubungan lebih besar dibandingkan dengan balita yang
yang bermakna antara status imunisasi dengan lengkap imunisasinya ( dengan CI 95% 1,287 ;
kejadian ISPA. Balita yang tidak lengkap 4,382 ).

Hubungan Kepadatan Tempat Tinggal ISPA pada balita di Puskesmas Garuda Kota
dengan Kejadian ISPA Bandung dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Untuk mengetahui hubungan antara
kepadatan tempat tinggal dengan kejadian
Tabel 9
Hubungan Kepadatan Tempat Tinggal dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas
Garuda Kota Bandung
ISPA Total p-value CI 95%

Pneumonia Bukan
Pneumonia
Kurang 18 ( 50 % ) 18 ( 50 % ) 36 0,552 0,778
Baik

Baik 9 ( 64,3 % ) 5 ( 35,7 % ) 14 0,467-1,294

Dari tabel diatas dapat dilihat nilai p = ISPA. Balita yang mempunyai tempat tinggal
0,552, ini menunjukan bahwa dalam penelitian kurang baik mempunyai resiko 0,778 kali lebih
ini tidak ada hubungan yang bermakna antara besar daripada balita yang tempat tinggalnya
kepadatan tempat tinggal dengan kejadian baik ( dengan CI 95% 0,467 ; 1,294 ).

Hubungan Lingkungan Fisik Ventilasi ISPA pada balita di Puskesmas Garuda Kota
dengan kejadian ISPA Bandung dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Untuk mengetahui hubungan antara
lingkungan fisik ventilasi dengan kejadian

Tabel 10
Hubungan Lingkungan Fisik Ventilasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas
Garuda Kota Bandung
ISPA Total p-value CI 95%

Pneumonia Bukan
Pneumonia
Tidak 23 ( 56,1 % ) 18 ( 43,9 % ) 41 0,790 1,262
Baik

Baik 4 ( 44,4 %) 5 ( 55,6 % ) 9 0,579-2,751

Dari tabel diatas dapat diketahui nilai lingkungan ventilasi tidak baik mempunyai
p = 0,790, ini menunjukan bahwa tidak ada resik0 1,262 kali lebih besar dibandingkan
hubungan yang bermakna antara lingkungan dengan balita yang tinggal di tempat yang
fisik ventilasi dengan kejadian ISPA. Balita memiliki lingkungan fisik ventilasi baik (
yang tinggal di tempat yang memiliki dengan 95% CI = 0,579 ; 2,751 ).

PEMBAHASAN
118
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Pada sub bab ini akan disajikan Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian
pembahasan mengenaifaktor-faktor yang ISPA
berhubungan dengan kejadian ISPA pada Gizi baik adalah keseimbangan antara
balita. Pembahasan ini akan membahas kebutuhan dan masukan nutrisi sehingga
mengenai BBLR, status gizi, imunisasi, berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan
kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik respon imunologik terhadap penyakit,
ventilasi. sedangkan gizi buruk merupakan status kondisi
seseorang yang kekurangan nutrisi atau nutrisi
Hubungan BBLR Dengan Kejadian ISPA di bawah standar rata-rata (Soeditama, 2002).
Berat badan lahir menentukan Konsumsi gizi pada seseorang dapat
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan menentukan tercapainya tingkat kesehatan bila
mental pada masa balita. Bayi dengan berat tubuh berada dalam tingkat kesehatan gizi yang
badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko optimum. Dalam kondisi demikian tubuh
kematian yang lebih besar dibandingkan terbebas dari penyakit dan mempunyai daya
dengan berat badan lahir normal, terutama pada tahan tubuh yang sangat tinggi (Notoatmodjo,
bulan-bulan pertama kelahiran karena 2003).
pembentukan zat anti kekebalan kurang Status gizi pada anak sangat penting,
sempurna sehingga lebih mudah terkena karena status gizi yang baik akan
penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit meningkatkan daya tahan tubuh dan kekebalan
saluran pernafasan lainnya ( Maryunani, 2010). tubuh anak, sehingga anak tidak mudah terkena
Pada penelitian ini sebagian besar penyakit infeksi.. Semakin rendah status gizi
responden (58%) sejumlah 29 balita tidak balita maka semakin rendah pula daya tahan
mengalami BBLR. Tetapi masih ada hampir tubuh balita, maka semakin rentan balita untuk
setengah responden (42%) sejumlah 21 balita terinfeksi. Dan pada balita dengan status gizi
yang mengalami riwayat BBLR diantaranya 18 baik cenderung menderita penyakit infeksi
balita mengalami pneumonia sehingga ringan.
menunjukan bahwa pada balita BBLR lebih Pada penelitian ini berdasarkan hasil
banyak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil analisis dan dapat diketahui bahwa p = 0,134 (
analisis,penelitian ini menunjukan bahwa ada p = ≤ 0,05 ) ini menunjukan tidak ada
hubungan yang bermakna antara balita yang hubungan yang bermakna antara status gizi
lahir BBLR dengan kejadian ISPA yaitu p = dengan kejadian ISPA pada balita, tetapi pada
0,000 ( p = ≤ 0,05 ). balita yang mempunyai gizi kurang
Balita yang mengalami BBLR lebih mempunyai resiko 1,591 kali lebih besar
besar resiko nya untuk terdiagnosa ISPA. dibandingkan dengan balita yang memiliki gizi
Dikarenakan pada balita BBLR organ-organ baik. Hal ini menjelaskan bahwa ada faktor lain
pernafasannya belum matang yang yang bisa menyebabkan ISPA, seperti faktor
menyebabkan pengembangan paru kurang BBLR, imunisasi, ventilasi dll. Dan dari hasil
adekuat, otot-otot pernafasan masih lemah dan penelitian ini terdapat sebanyak 54% balita
pusat pernafasan belum berkembang. dengan gizi baik, 40% dengan gizi kurang, 4%
Kurangnya zat surfaktan dapat mengurangi dengan gizi buruk dan 2% dengan gizi lebih.
tegangan pada permukaan paru. Anatomi dari Penelitian ini juga menunjukan bahwa
organ pernafasan yang belum matang pada balita dengan status gizi baik memiliki
menyebabkan ritme dari pernafasan tidak kepadatan tempat tinggal dengan kriteria
teratur seringkali ditemukan apneu dan kurang sebanyak 18 balita dengan pneumonia,
sianosis. Kecepatan pernafasan bervariasi dan pada lingkungan fisik ventilasi
mencapai 60 sampai 80 kali per menit menunjukan kriteria tidak baik sebanyak 23
(Ibrahim, 2011). balita dengan pneumonia. Sehingga dapat
Pada balita BBLR tidak mempunyai dikatakan bahwa faktor yang lain dapat lebih
nutrisi dan protein yang cukup untuk berkontribusi terhadap ISPA sekalipun balita
pembentukan sistem imun, maka apabila balita memiliki status gizi baik.
menghirup udara yang tidak sehat akan mudah Hasil penelitian ini diperkuat dengan
terkena infeksi. Hasil penelitian ini sama penelitian yang dilakukan oleh Utomo M dan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hastuti F (2005) yang menyatakan bahwa tidak
Wiwoho, Sadono (2005) bahwa ada hubungan ada hubungan yang bermakna antara status gizi
antara BBLR dengan kejadian ISPA pada dengan kejadian ISPA pada balita.
balita.

119
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Hubungan Imunisasi Dengan Kejadian pernafasan dan selanjutnya masuk ke kelenjar


ISPA getah bening yang berada di bawah mukosa.
Pemberian imunisasi dapat mencegah Pada saat 5-6 hari setelah infeksi awal
berbagai jenis penyakit infeksi termasuk ISPA. kemudian menyebar ke permukaan epitel
Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan saluran pernafasan dan berpotensi
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap menyebabkan ISPA. Dan dengan pemberian
terutama DPT dan Campak. Bayi dan balita vaksin campak dapat mencegah adanya infeksi
yang mempunyai status imunisasi lengkapbila yang mengganggu saluran pernafasan,
menderita ISPA dapat diharapkan khususnya ISPA.
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi Sehingga untuk ISPA yang dijadikan
berat. indikator adalah imunisasi DPT dan campak.
Ketidakpatuhan imunisasi berhubungan Sama halnya dengan hasil penelitian terdahulu
dengan peningkatan penderita ISPA, hal ini yaitu dari penelitian Nuryanto (2012) yang
sesuai dengan peneliti lain yang mendapatkan menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang
bahwa imunisasi yang lengkap dapat bermakna antara status imunisasi dengan
memberikan peranan yang cukup berarti dalam kejadian ISPA pada balita. Rentannya
mencegah kejadian ISPA ( Maryunani, 2010 ). penularan penyakit pada balita akan
Diharapkan dengan pemberian mempengaruhi kekebalan tubuh balita itu
imunisasi lengkap (DPT dan Campak) sendiri.
perkembangan penyakit ISPA tidak menjadi
berat, seperti hal nya dibuktikan pada Hubungan Kepadatan Tempat Tinggal
penelitian ini menunjukan bahwa masih ada Dengan Kejadian ISPA
yang tidak melakukan imunisasi lengkap Kepadatan penghuni dalam satu rumah
diantaranya 25 responden ( 50% ). Dengan tinggal akan memberikan pengaruh bagi
menggunakan uji chi square didapatkan hasil p penghuninya. Hal ini tidak sehat karena
= 0,005 ( p = ≤ 0,05 ) ini membuktikan bahwa disamping menyebabkan kurangnya oksigen,
terdapat hubungan yang bermakna antara status juga bila salah satu anggota keluarga terkena
imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita, penyakit infeksi, terutama ISPA akan mudah
dan balita yang tidak melakukan imunisasi menular kepada anggota keluarga yang lainnya
lengkap mempunyai resiko 2,375 kali lebih (Notoatmodjo, 2003).
besar mengalami ISPA dibandingkan dengan Pada penelitian ini berdasarkan hasil
balita yang lengkap imunisasinya. analisis didapatkan p = 0,552 ( p = ≤ 0,05 )
Penelitian ini juga menunjukan pada yang artinya tidak ada hubungan yang
balita yang mempunyai riwayat imunisasi tidak bermakna antara kepadatan tempat tinggal
lengkapsebanyak 25 balita, terdapat 19 balita dengan kejadian ISPA. Penelitian ini terdapat
mengalami pneumonia dan 6 balita mengalami balita yang menderita ISPA sebagian besar
ISPA bukan pneumonia. Hal ini menunjukan memiliki kepadatan tempat tinggal yang
bahwa lebih besar resiko terkena pneumonia kurang, namun masih ada sebagian kecil
balita yang tidak melakukan imunisasi lengkap responden masuk ke dalam kategori cukup dan
DPT dan Campak. baik dalam kepadatan tempat tinggal.
Imunisasi DPT dan campak merupakan Penelitian ini menjelaskan bahwa 36
imunisasi yang berkontribusi dengan penyakit balita yang memiliki kepadatan tempat tinggal
ISPA. DPT (difteri, anti infeksi saluran kurang dan diantaranya 18 balita mengalami
pernafasan), pertusis (untuk batuk rejan dan pneumonia, hal ini bisa dikatakan bahwa ada
tetanus), merupakan penyakit yang bersifat faktor lain yang lebih berkontribusi terhadap
toxin-mediated, toksin yang dihasilkan kuman kejadian ISPA, seperti dijelaskan pada
(melekat pada bulu getar saluran nafas atas) penelitian ini bahwa pada lingkungan fisik
akan melumpuhkan bulu getar tersebut, ventilasi sebanyak 23 balita memiliki kriteria
sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret tidak baik dan mengalami pneumonia.
pernafasan, dan berpotensi menyebabkan Penelitian yang sama dilakukan oleh Wiwoho,
ISPA. Sehingga pemberian imunisasi DPT Sadono (2005)juga menyebutkan bahwa tidak
cukup essensial untukmenyiapkan balita ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
menghadapi lingkungan yang tidak selalu bisa tempat tinggal dengan kejadian ISPA pada
dijamin kebersihan udaranya. balita.
Selain DPT, imunisasi campak juga
merupakan salah satu pencegahan ISPA. Hubungan Lingkungan Fisik Ventilasi
Karena virus campak masuk melalui saluran Dengan Kejadian ISPA

120
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Salah satu upaya pencegahan penularan faktor lain yang sangat berkontribusi dengan
ISPA kepada anggota keluarga yang lain, dapat ISPA pada balita. Agar perkembangan
dilakukan melalui rumah sehat. Syarat rumah keperawatan menjadi lebih up to date, terutama
sehat secara sederhana menurutmeliputi di bidang Keperawatan Anak.
ventilasi, penerangan alami dan suhu.Ventilasi
rumah mempunyai banyak fungsi, fungsi PENUTUP
pertama adalah untuk menjaga agar aliran
udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal Kesimpulan
ini berarti keseimbangan oksigen yang Berdasarkan hasil penelitian yang telah
diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. dilakukan dan didukung oleh teori-teori yang
Pada penelitian ini, hampir setengah telah peneliti pelajari serta pembahasan yang
responden memiliki ventilasi yang tidak baik telah peneliti sajikan pada bab sebelumnya,
dan sebagian kecil responden memiliki maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
ventilasi baik. Berdasarkan analisis hasil dari 1. Hasil analisis didapatkan nilai
penelitian ini yaitu p = 0,790 ( p = ≤ 0,05 ) p=0,000 < 0,05 yang menunjukan ada
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna hubungan yang bermakna antara
antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada BBLR dengan kejadian ISPA pada
balita, tetapi balita yang memiliki ventilasi balita di Puskesmas Garuda Kota
tidak baik akan mempunyai resiko ISPA Bandung.
sebanyak 1,262 kali lebih besar daripada balita 2. Hasil analisis didapatkan nilai
yang memiliki ventilasi baik. p=0,134 > 0,05 yang berarti tidak ada
Penelitian ini menjelaskan untuk faktor hubungan yang bermakna antara
lingkungan fisik pada kriteria tidak baik lebih status gizi dengan kejadian ISPA pada
besar tetapi ada faktor lain yang balita di Puskesmas Garuda Kota
memungkinkan lebih besar kontribusinya Bandung.
seperti pada status gizi, 13 balita dengan gizi 3. Hasil analisis didapatkan nilai
baik dan hal ini menunjukan bahwa salah satu p=0,005 < 0,05 yang menunjukan
faktor lain mungkin lebih besar kontribusinya bahwa ada hubungan yang bermakna
terhadap ISPA. Sama hal nya dengan penelitian antara status imunisasi dengan
yang dilakukan oleh Ernawati dan Farich A kejadian ISPA pada balita di
(2012) bahwa tidak ada hubungan antara Puskesmas Garuda Kota Bandung.
ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. 4. Hasil analisis didapatkan nilai
p=0,552 > 0,05 yang artinya tidak ada
Keterbatasan Penelitian hubungan yang bermakna antara
Penelitian ini memiliki keterbatasan kepadatan tempat tinggal dengan
diantaranya penelitian ini hanya 50 responden kejadian ISPA pada balita di
yang diteliti dan tidak bisa digeneralisirkan. Puskesmas Garuda Kota Bandung.
Kemudian ada faktor lain selain BBLR, status 5. Hasil analisis didapatkan nilai
gizi, imunisasi, kepadatan tempat tinggal dan p=0,790 > 0,05 yang menunjukan
ventilasi yang berhubungan dengan kejadian tidak ada hubungan yang bermakna
ISPA, sehingga bisa jadi faktor yang tidak antara lingkungan fisik ventilasi
diteliti akan berkontribusi lebih besar terhadap dengan kejadian ISPA pada balita di
kejadian ISPA. Puskesmas Garuda Kota Bandung.
Saran
Implikasi Untuk Keperawatan 1. Puskesmas
Banyaknya kejadian ISPA pada balita di Disarankan kepada puskesmas supaya
suatu daerah pasti mempunyai pencetus lebih mensosialisasikan pentingnya
sehingga terjangkit ISPA. Salah satunya kita imunisasi dan pencegahan terjadinya
harus mengetahui ciri-ciri ISPA dan akan lebih kelahiran bayi yang BBLR agar
baik apabila mengetahui tentang faktor-faktor mengurangi resiko terjadinya ISPA.
yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada 2. Keperawatan
balita. Implikasi dari penelitian ini bahwa tidak Disarankan untuk program
semua faktor yang diteliti dalam penelitian ini keperawatan komunitas baik melalui
menjadi faktor yang dominan untuk menjadi penyuluhan, pelatihan kader, atau
ISPA, seiring dengan berkembangnya IPTEK sosialisasi tentang ISPA dan faktor-faktor
di Indonesia maka perlu penelitian lebih lanjut yang berhubungannya.
untuk membuktikan bahwa masih banyak 3. Peneliti

121
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.II.No.2.September 2014

Untuk peneliti selanjutnya yang akan Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta:
melakukan penelitian disarankan untuk Pustaka Populer Obor.
meneliti faktor lain mengenai ISPA seperti Moehji, S. (2003). Faktor-faktor Yang
mengenai asap rokok, pengetahuan, Berhubungan Dengan ISPA di
pendidikan ibu dll. Puskesmas, 33.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Asdi Mahasatya.
REFERENSI __________. (2010). Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta. Rineka Cipta.
__________. (2003). Prinsip-prinsip dasar
Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Asdi Mahasata
Anggraeni, Sutomo. (2004). Gizi dan Pola Ranuh, IGN. (2005). Buku Imunisasi Di
Hidup Sehat. Jakarta. CV. Yrama Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Widya Indonesia.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Soeditama. (2002). Ilmu Gizi. Jakarta: Rineka
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Cipta. Sulastri, Wida., Yamin, Ahmad., & Susanti,.
__________. (2010). Prosedur Penelitian R.D. (2010). Majalah Keperawatan
Suatu Pendekatan Praktik. Jakart:. Nursing Journal of Padjadjaran
Rineka Cipta. University, 10(11), 1-5.
Astuti, R. (2011). Jurnal Hubungan Antara Sulistyoningsih, H., Sutandi, R. (2011).
Riwayat ISPA Dengan Tumbuh Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Kembang Anak di Posyandu Desa Dengan Kejadian ISPA Pada BAlita Di
Cetan Kabupaten Klaten Vol 2. 52-58. Wilayah Kerja Puskesmas DTP
Departemen Kesehatan RI. (2010). Situasi Gizi Jamanis Kabupaten Tasikmalaya 2010,
dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta 154-158.
_________. (2002). Menanggulangi Infeksi Supriasa, I Dewa Nyoman. (2012). Penilaian
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Status Gizi. Jakarta: EGC
Anak-Anak. Jakarta. World Health Organization (WHO). (2006).
__________. (2010). Infeksi Saluran Pneumonia: The Forgotten Killer of
Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. Children .
Jakarta. World Health Organization (WHO). (1983).
__________. (2002). Pedoman Pemberantasan Measuring Change In Nutritional Status.
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Genewa.
Akut Untuk Penanggulangan World Health Organization (WHO). (2007).
Pneumonia Pada Balita, Jakarta. Pencegahan & pengendalian Infeksi
__________. (2004). Penanggulangan Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Pneumonia Balita 2005-2009. Jakarta. Yusup, N.A., & Sulistyo, L.R. (2004). Jurnal
Dinas Kesehatan Kota Bandung. (2012). Profil Kesehatan LingkunganHubungan
Kesehatan Kota Bandung Tahun 2012, Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan
Pemerintah Kota Bandung, Bandung Kejadian ISPA Pada BAlita, 110-
__________. (2012). Laporan Tahunan ISPA 118.
Kota Bandung 2012, Pemerintah Kota
Bandung. Bandung.
Ibrahim, Hartati. (2011). Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Anak Balita di Wilayah
Puskesmas Botumoito Kabupaten
Boalemo Tahun 2011. Tesis Program
Pascasarjana Unhas.
Maryunani, A. (2010). Ilmu Kesehatan Anak
Dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info
Media.
Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran
Napas Pneumonia Pada Anak Balita,

122

You might also like