You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jantung adalah salah satu organ vital manusia yang terletak di dalam
rongga dada. Organ ini memiliki fungsi yang sangat besar bagi kelangsungan
hidup manusia. Jantung berperan dalam sistem sirkulasi dan berfungsi sebagai
alat pemompa darah. Kontraksi dan relaksasi yang teratur dari otot-otot
jantung memungkinkan darah yang mengandung banyak oksigen dari paru-
paru dipompakan ke seluruh tubuh dan darah yang berasal dari seluruh tubuh
dipompakan ke dalam paru-paru pada saat yang bersamaan. Mekanisme ini
berlangsung terus-menerus dan memungkinkan jaringan tubuh mendapatkan
asupan oksigen dan nutrisi yang dibawah oleh darah untuk proses
metabolisme. Fungsi jantung yang sangat penting dan berkaitan erat dengan
organ-organ lain dalam tubuh, apabila jantung mendapatkan masalah yang
tentunya akan menggangu fungsi tubuh yang lain (Corwin, 2012).
Penyakit jantung banyak sekali macamnya, diantaranya adalah Penyakit
Jantung Rematik (PJR). Penyakit jantung rematik adalah suatu kondisi dimana
terjadi kerusakan permanen pada katup jantung yang disebabkan oleh demam
rematik. Demam rematik (rheumatic fever) adalah penyebab utama penyakit
jantung rematik yang terjadi pada anak-anak usia di atas 5 tahun sampai
dengan remaja di negara berkembang. Meskipun penyakit ini terkait dengan
kemiskinan dan hampir menghilang di negara-negara maju, namun tetap
menjadi beban dalam suatu negara terutama bagi negara-negara berkembang
(Marijon, et al., 2012).
Rusaknya katup jantung akibat PJR terjadi karena adanya respon imun
abnormal terhadap katup tersebut yang biasanya didahului oleh infeksi grup A
streptococcus  hemoliticus dan akhirnya menyebabkan demam rematik. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa baik
negara berkembang maupun negara maju, faringitis dan infeksi kulit
(impetigo) adalah infeksi yang paling umum disebabkan oleh streptokokus β-
hemolitikus grup A. 15-20% faringitis disebabkan oleh infeksi bakteri

1
Streptokokus grup A dengan insidensi puncak pada anak usia 5-15 tahun,
sedangkan 80% lainnya disebabkan oleh virus. Insiden ini dapat bervariasi
antarnegara, bergantung pada musim, kelompok usia, kondisi sosioekonomi,
faktor lingkungan, dan kualitas dari pelayanan kesehatan (WHO, 2010).
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 15,6 juta orang di dunia dengan
penyakit jantung reumatik dan 1,9 juta lainnya dengan riwayat demam rematik
akut tanpa karditis. Terdapat sekitar 470 ribu kasus baru demam rematik akut
setiap tahun dan lebih dari 230 ribu kematian pertahun akibat penyakit jantung
rematik. Hampir semua kasus dan kematian terjadi di negara berkembang. Hal
inilah yang menyebabkan penyakit jantung reumatik merupakan penyakit
jantung anak yang paling sering dijumpai di seluruh dunia. Di banyak negara,
penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang paling sering menyebabkan
kematian akibat penyakit jantung pada anak dan dewasa usia kurang dari 40
tahun (Carapetis, et al., 2012).
Di Asia Tenggara, sampai tahun 2007 didapati angka mortalitas
penyakit jantung reumatik per 100 ribu populasi adalah 7,6 dengan angka
disabilitas pertahun sebesar 173,4 per 100 ribu populasi. Tentu saja hal ini
akan menurunkan kualitas hidup anak dan pertumbuhan ekonomi negara. Saat
ini diperkirakan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik pada anak usia
sekolah di Indonesia pada usia 5-15 tahun adalah 0,3-0,8 per 100 anak.
Sedangkan dalam populasi di negara endemik penyakit ini, kejadian demam
rematik pasca infeksi streptococcus sebesar 0,3%, sedangkan insidensinya
bisa naik hingga 3% (Madiyono, 2013).
Bertambahnya angka kejadian penyakit jantunng reumatik juga
meningkatkan angka kejadian penyakit hipertensi pulmonal yang merupakan
komplikasi dari stenosis mitral. Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi
tersering dari stenosis mitral. Sebanyak 20% kasus stenosis mitral akan
menunjukan gejala hipertensi pulmonal. Stenosis mitral akan menyebabkan
perbedaan tekanan diastolik dari atrium kiri menuju ventrikel kiri. Perbedaan
tersebut bergantung pada mitral valve area dan aliran darah saat diastolik
yang melewati katup mitral. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan di atrium
kiri dan vena pulmonalis (Smeltzer, et al., 2013).

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
masalah dalam penulisan ini, yaitu:
“Bagaimana proses asuhan keperawatan pada klien dengan masalah gangguan
sistem kardiovaskuler: penyakit jantung reumatik?”
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Memahami proses asuhan keperawatan pada klien dengan masalah
gangguan sistem kardiovaskuler: penyakit jantung reumatik.
2. Tujuan khusus
a. Memahami pengkajian keperawatan pada klien dengan masalah
gangguan sistem kardiovaskuler: penyakit jantung reumatik.
b. Memahami perumusan diagnosa keperawatan (NANDA) pada klien
dengan masalah gangguan sistem kardiovaskuler: penyakit jantung
reumatik.
c. Memahami penentuan kriteria hasil (NOC) pada klien dengan masalah
gangguan sistem kardiovaskuler: penyakit jantung reumatik)
d. Memahami perumusan intervensi keperawatan (NIC) pada klien
dengan masalah gangguan sistem kardiovaskuler: penyakit jantung
reumatik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit jantung reumatik adalah cacat jantung akibat karditis rematik.
Menurut Muttaqin (2013), penyakit jantung reumatik adalah penyakit jantung
sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari demam reumatik yang ditandai
dengan terjadinya cacat katup jantung. Penyakit jantung reumatik atau dalam
bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi
dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan
atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat
adanya gejala sisa dari demam reumatik (Corwin, 2012).
B. Anatomi Fisiologi Jantung
Sistem kardiovaskuler merupakan organ sirkulsi darah yang terdiri dari
jantung, komponen darah dan pembuluh darah yang berfungsi memberikan
dan mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh yang di
perlukan dalam proses metabolisme tubuh. Sistem kardivaskuler memerlukan
banyak mekanisme yang bervariasi agar fungsi regulasinya dapat merespons
aktivitas tubuh, salah satunya adalah meningkatkan aktivitas suplai darah agar
aktivitas jaringan dapat terpenuhi. Pada keadaan berat, aliran darah tersebut,
lebih banyak di arahkan pada organ-organ vital seperti jantung dan otak yang
berfungsi memlihara dan mempertahankan sistem sirkulasi itu sendiri.

Gambar 1: Jantung sebagai pusat kardiovaskuler (bagian luar)

4
Jantung berbentuk seperti pir/kerucut seperti piramida terbalik dengan
apeks (superior-posterior: IC-II) berada di bawah dan basis (anterior-inferior
IC-V) berada di atas. Pada basis jantung terdapat aorta, batang nadi paru,
pembuluh balik atas dan bawah dan pembuluh balik. Jantung sebagai pusat
sistem kardiovaskuler terletak di sebelah rongga dada (cavum thoraks) sebelah
kiri yang terlindung oleh costae tepatnya pada mediastinum. Untuk
mengetahui denyutan jantung, kita dapat memeriksa dibawah papilla mammae
2 jari setelahnya. Berat pada orang dewasa sekitar 250-350 gram. Hubungan
jantung dengan alat sekitarnya yaitu:
1. Dinding depan berhubungan dengan sternum dan kartilago kostalis
setinggi kosta III-I.
2. Samping berhubungan dengan paru dan fasies mediastilais.
3. Atas setinggi torakal IV dan servikal II berhubungan dengan aorta
pulmonalis, brongkus dekstra dan bronkus sinistra.
4. Belakang alat-alat mediastinum posterior, esophagus, aorta desendes, vena
azigos dan kolumna vetebrata torakalis.
5. Bagian bawah berhubungan dengan diafragma.
Jantung difiksasi pada tempatnya agar tidak mudah berpindah tempat.
Penyokong jantung utama adalah paru yang menekan jantung dari samping,
diafragma menyokong dari bawah, pembuluh darah yang keluar masuk dari
jantung sehingga jantung tidak mudah berpindah. Sedangkan otot jantung
terdiri dari tiga lapis, yaitu:
1. Perikardium (bagian luar)
Berfungsi sebagai pelindung jantung atau merupakan kantong pembungkus
jantung yang terletak di mediastinum minus dan di belakang korpus sterni
dan rawan iga II- IV yang terdiri dari 2 lapisan fibrosa dan serosa yaitu
lapisan parietal dan viseral. Diantara dua lapisan jantung ini terdapat
lender sebagai pelican untuk menjaga agar gesekan pericardium tidak
mengganggu jantung.
2. Miokardium (bagian tengah)
Lapisan otot jantung yang menerima darah dari arteri koronaria. Susunan
miokardium yaitu:

5
a. Otot atria: Sangat tipis dan kurang teratur, disusun oleh dua lapisan.
Lapisan dalam mencakup serabut-serabut berbentuk lingkaran dan
lapisan luar mencakup kedua atria.
b. Otot ventrikuler: Membentuk ventrikel jantung dimulai dari cincin
atrio-ventikuler sampai ke apeks jantung.
c. Otot atrioventrikuler: Dinding pemisah antara atrium dan ventrikel
(atrium dan ventrikel).
3. Endokardium (bagian dalam)
Dinding dalam atrium yang diliputi oleh membrane yang mengilat yang
terdiri dari jaringan endotel atau selaput lender endokardium kecuali
aurikula dan bagian depan sinus vena kava.
Jantung terbagi dua bagian oleh septum (dinding otot) dimana setiap
bagian tersebut terdiri dari atrium dan ventrikel. Jantung terdiri dari 4 ruangan
yang saling berhubungan yaitu :
1. Atrium kanan
Tebalnya 2 mm dengan permukaan yang licin dan bersifat elastis, terdapat
sinoatrial node, atrioventrikuler node dan fossa ovalis. Atrium kanan
berfungsi sebagai tempat menyimpan darah dan sebagai penyalur darah
venosa yang berasal dari vena sirkulasi sistemik yang mengalir ke
ventrikel kanan dan paru-paru. Darah yang berasal dari pembuluh vena ini
masuk ke dalam atrium kanan melalui vena cava superior dan vena cava
inferior dan sinus koronaria.
2. Ventrikel kanan
Tebalnya 4-5 mm dengan permukaan yang tidak rata dan bagian dalam
mempunyai tonjolan-tonjolan yang disebut mulkulus papilaris yang pada
ujungnya terbentang tali-tali jaringan ikat menuju ke ujung katup-katup
agar tidak membalik bilamana tekanan dalam ventrikel meninggi.
Ventrikel kanan mempunyai bentuk pola sabit yang unik, yang mampu
menghasilkan tekanan yang rendah, suatu kontraksi yang cukup besar
untuk menghasilkan darah ke dalam arteri pulmonalis.
3. Atrium kiri
Tebal 3 mm, dengan permukaan yang licin dan bersifat elastis, terdapat
septum interatrial. Atium kiri menerima darah yang sudah dioksigenasi

6
dari paru-paru melalui empat vena pulmonalis. Antara vena pulmonalis
dan atrium kiri tak ada katup sejati karena itu perubahan dalam tekanan
darah atrium kiri mudah sekali terfleksi dengan memburuknya vasculer
pulmoner.
4. Ventrikel kiri
Tebalnya 8-15 mm, penuh dengan trabekula terdapat muskularis papillaris,
chordae tendinea dan septum interventrikularis. Ventrikel kiri harus
mampu menghasilkan tekanan yang cukup tinggi untuk mengatasi
resistensi dari sirkulasi sistemik dan menopang aliran darah jaringan-
jaringan perifer. Ventrikel kiri mempunyai otot-otot yang tebal dan
bentuknya menyerupai lingkaran mempermudah timbulnya tekanan yang
tinggi selama ventrikel berkontraksi.

Gambar 2: Jantung sebagai pusat kardiovaskuler (bagian dalam)

Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan
keduanya yaitu katup trikuspidalisalis, sedangkan pada atrium kiri dan
ventrikel kiri juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral/

7
bikuspidalisalis. Kedua katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat
terbuka dan tertutup pada saat darah masuk dari atrium ke ventrikel.
1. Katup trikuspidalisalis
Katup trikuspidalis berada diantara atrium dan ventrikel kanan serta terdiri
atas tiga daun katup. Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari
atrium kanan menuju ventrikel kanan. Katup trikuspidalis berfungsi
mencegah kembalinya darah menuju atrium kanan dengan cara menutup
pada saat kontraksi ventrikel.
2. Katup pulmonal
Setelah katup trikuspidalisalis tertutup, darah akan mengalir dari dalam
ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis. Pada pangkal trunkus
pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari tiga daun katup
yang akan terbuka bila ventrikel kanan bertkontraksi dan menutup bila
ventrikel kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari
ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis.
3. Katup bikuspidalis
Katup bikuspidalis dikenal juga dengan sebutan katup mitral dan terdiri
dari dua daun katup. Katup ini berperan dalam pengaturan aliran darah
dari atrium kiri menuju ventrikel kiri. Sama halnya dengan katup
trikuspidalisalis, katup ini akan menutup saat ventrikel berkontraksi.
4. Katup aorta
Katup aorta terdiri dari tiga daun katup yang terdapat pada pangkal aorta.
Ketika ventrikel kiri berkontraksi maka katup ini akan membuka, sehingga
darah akan mengalir ke seluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup
saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali
kedalam ventrikel kiri.
Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen (O2) ke seluruh
tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme berupa karbondioksida
(CO2). Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah
yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam
paru-paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang karbon-
dioksida (disebut sirkulasi pulmonal). Kemudian jantung mengumpulkan

8
darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di
seluruh tubuh (disebut sirkulasi sistemik).
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung melakukan relaksasi dan
pengisian darah pada jantung (disebut periode diastol). Sebaliknya jantung
berkontraksi untuk mengosongkan isinya (disebut periode sistol). Kedua
atrium mengendur dan berkontraksi secara bersamaan dan kedua ventrikel
juga mengendur dan berkontraksi secara bersamaan pula untuk melakukan
mekanisme tersebut. Ketika melakukan kontraksi, jantung menjadi berdenyut
secara berirama, hal ini akibat dari adanya potensial aksi yang ditimbulkan
oleh kegiatan diri jantung itu sendiri. Kejadian tersebut diakibatkan karena
jantung memiliki sebuah mekanisme untuk mengalirkan listrik yang
ditimbulkannya sendiri untuk melakukan kontraksi atau memompa dan
melakukan relaksasi atau dikenal dengan istilah sistem listrik jantung.
Mekanisme aliran listrik yang menimbulkan aksi tersebut dipengaruhi oleh
beberapa jenis elektrolit seperti K+, Na+ dan Ca2+. Sehingga apabila didalam
tubuh terjadi gangguan pada kadar elektrolit tersebut maka akan menimbulkan
gangguan pula pada mekanisme aliran listrik pada jantung manusia (Price,
Silvia & Anderson, 2012).
C. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah
reaksi autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik.
Infeksi streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului
terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun
demam reumatik serangan ulang (Muttaqin, 2013). Menurut Beberapa faktor
predisposisi yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung reumatik,
diantaranya adalah:
1. Faktor genetik
Banyak penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu keluarga maupun
pada anak-anak kembar, meskipun pengetahuan tentang faktor genetik
pada penyakit jantung reumatik ini tidak dianggap. Namun pada umumnya
disetujua bahwa ada faktor keturunan pada penyakit jantung reumatik,
sedangkan cara penanggulangannya belum dapat dipastikan.

9
2. Jenis kelamin
Dahulu sering dinyatakan bahwa lebih sering didapatkan pada anak wanita
dibanding anak laki-laki, tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak
ada perbedaan jenis kelamin. Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit
jantung reumatik menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang
dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral sering didapatkan pada wanita,
sedangkan insufiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki.
3. Golongan etnik dan ras
Di negara-negara barat pada umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-
tahun setelah penyakit jantung reumatik akut, tetapi di India menunjukkan
bahwa stenosis mitral organik yang berat seringkali terjadi dalam waktu
yang singkat. Hanya 6 bulan sampai 3 tahun.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya
penyakit jantung reumatik, penyakit ini paling sering mengenai anak
berumur 5-18 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun, tidak biasa
ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum
anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun.
D. Patofisiologi
Perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi stadium akut dan kronik. Pada
stadium akut, katup membengkak dan kemerahan akibat adanya reaksi
peradangan. Dapat terbentuk lesi-lesi di daun katup. Setelah peradangan akut
mereda, terbentuk jaringan parut. Hal ini dapat menyebabkan deformitas katup
dan pada sebagian kasus, menyebabkan daun-daun katup berfusi sehingga
orifisium menyempit. Dapat muncul stadium kronik yang ditandai oleh
peradangan berulang dan pembentukan jaringan parut yang terus berlanjut
(Suyono, 2011).
Gangguan yang disebabkan demam rematik pada katup jantung dapat
berupa penyempitan katup (stenosis) atau kebocoran katup (insufisiensi).
Kedua kelainan ini akan menyebabkan gangguan aliran darah pada jantung.
Pada keadaan stenosis, darah yang dipompa akan sulit melalui katup jantung
yang menyempit. Sementara pada keadaan insufisiensi terjadi semacam

10
kebocoran. Meskipun kuman penyakit ini bisa menyerang semua katup
jantung, yang paling sering terjadi adalah kerusakan pada katup mitral. Jika
terjadi stenosis katup mitral, darah tidak dapat dipompa ke luar secara leluasa
dari ventrikel kiri, sedangkan pada insufisiensi katup mitral terjadi sebaliknya.
Ketika ventrikel kiri berkontraksi, katup yang terdapat antara atrium
kiri dan ventrikel kiri ini tidak dapat menutup rapat. Akibatnya, darah yang
dipompa oleh ventrikel kiri sebagian menuju pembuluh aorta, dan sebagian
lagi kembali ke ventrikel kiri melalui katup yang tak menutup rapat tadi.
Stenosis maupun insufisiensi katup mitral yang ringan mungkin tidak
menimbulkan gejala. Namun, dapat terdengar perubahan bunyi jantung akibat
kelainan tersebut, sehingga dapat dideteksi kelainan ini. Karena penyumbatan
atau kebocoran pada katup jantung, maka ventrikel kiri harus bekerja lebih
keras untuk memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh (sirkulasi).
Akibatnya, dapat terjadi pembesaran ventrikel kiri hingga menyebabkan gagal
jantung (Smeltzer, et al., 2013).

Streptococcus hemoliticus B grup Tubuh mengeluarkan antibody


A (melepaskan endotoksin di berlebihan dan tidak dapat
Faringits atau tonsilitis
faring dan tonsil membedakan antibody dan
antigen
Respon imunologi
abnormal/autoimun

Penyakit Jantung
Reumatik (PJR)

Susunan saraf pusat Persendian Jantung


(SSP)  
 Peradangan pada membran Peradangan katub mitral
Gerakan involunter, irreguler, senovial
cepat dan kelemahan 
otot/khorea Polyartritis/altralgia
  Hipertermi
Resiko cedera Nyeri
Intoleransi aktivitas
Peningkatan sel retikuloendotelial,
sel plasma dan limfosit

Penurunan curah

Stenosis katub mitral Jaringan parut
jantung

Gambar 3: Pathway Penyakit Jantung Reumatik (WOC)

11
E. Manifestasi Klinis
Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang
terkena. Katup mitral adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal
jantung kiri berupa sesak napas dengan krekels dan wheezing pada paru.
Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi. Gejala sistemik yang
terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila
ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka
harus dicurigai adanya infeksi endokarditis (Smeltzer, et al., 2012).
Untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung reumatik dengan melihat
tanda dan gejala maka digunakan kriteria Jones yang terdiri dari kriteria mayor
dan kriteria minor.
a. Kriteria mayor
1) Carditis
Yaitu terjadi peradangan pada jantung (miokarditis dan atau
endokarditis) yang menyebabkan terjadinya gangguan pada katub
mitral dan aorta dengan manifestasi terjadi penurunan curah jantung
(seperti hipotensi, pucat, sianosis, berdebar-debar dan heart rate
meningkat), bunyi jantung melemah, dan terdengar suara bising katup
pada auskultasi akibat stenosis dari katup terutama mitral (bising
sistolik), friction rub.
2) Polyarthritis
Klien yang menderita RHD biasanya datang dengan keluhan nyeri
pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi besar, lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku (polyarthritis migrans),
gangguan fungsi sendi.
3) Khorea syndenham
Merupakan gerakan yang tidak disengaja/gerakan abnormal, bilateral,
tanpa tujuan dan involunter, serta sering kali disertai dengan kelemahan
otot, sebagai manifestasi peradangan pada sistem saraf pusat.
4) Eritema marginatum
Eritema marginatum merupakan manifestasi RHD pada kulit, berupa
bercak-bercak merah dengan bagian tengah berwarna pucat sedangkan

12
tepinya berbatas tegas, berbentuk bulat dan bergelombang tanpa
indurasi dan tidak gatal. Biasanya terjadi pada batang tubuh dan
telapak tangan.
5) Nodul subcutan
Nodul subcutan ini terlihat sebagai tonjolan-tonjolan keras dibawah
kulit tanpa adanya perubahan warna atau rasa nyeri. Biasanya timbul
pada minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu.
Ini jarang ditemukan pada orang dewasa.Nodul ini terutama muncul
pada permukaan ekstensor sendi terutama siku, ruas jari, lutut,
persendian kaki. Nodul ini lunak dan bergerak bebas.
b. Kriteria minor
1) Mempunyai riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
2) Artralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi,
klien kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
3) Demam namun tidak lebih dari 39 derajat celcius dan pola tidak tentu
4) Leukositosis
5) Peningkatan laju endap darah (LED)
6) C-reaktif Protein (CRP) positif
7) P-R interval memanjang
8) Peningkatan pulse/denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
9) Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Selain kriteria mayor dan minor tersebut, terjadi juga gejala-gejala
umum seperti, akral dingin, lesu,terlihat pucat dan anemia akibat gangguan
eritropoesis. Gejala lain yang dapat muncul juga gangguan pada GI tract
dengan manifestasi peningkatan HCL dengan gejala mual dan anoreksia
Diagnosis PJR ditegakkan apabila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria
minor, atau dua kriteria minor dan satu kriteria mayor.
F. Komplikasi
Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lain dari
penyakit jantung reumatik diantaranya adalah:
1. Aritmia jantung
2. Pankarditis dengan efusi yang luas

13
3. Pneumonitis reumatik
4. Emboli paru
5. Infark miokard
6. Kelainan katup jantung
G. Test Diagnostik
Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses
inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.
Selain dengan adanya tanda dan gejala yang tampak secara langsung dari fisik,
umumnya dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium,
misalnya; pemeriksaan darah rutin, ASTO, CRP, dan kultur ulasan
tenggorokan. Bentuk pemeriksaan yang paling akurat adalah dengan
dilakukannya echocardiografi untuk melihat kondisi katup-katup jantung dan
otot jantung (Suyono, 2011).
H. Penatalaksanaan
Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas pada penyakit jantung
reumatik adalah sebagai berikut:
1. Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.
2. Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin
benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000
unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10
hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk
10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu
sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat
badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel
darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan
neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun
pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3. Anti inflamasi
a. Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan
ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat
dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan
hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.

14
b. Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali,
salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi
dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kgBB/
hari selama 4-6 minggu kemudian.
c. Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali.
Obat terpilih adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari
terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila gawat,
diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah
2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap
2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kgBB/hari
dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan dengan
ujuan untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.
I. Proses Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Dalam pengkajian,
yang dilakukan adalah mengkaji data dasar, meliputi:
a. Aktivitas/istrahat
Gejala : Kelelahan, kelemahan.
Tanda : Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, infark miokard, bedah
jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : Takikardia, disritmia, friction rub, murmur, edema, petekie
dan hemoragi splinter.
c. Eliminasi
Gejala : Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda : Urine pekat gelap.
d. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk,
gerakan menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda : Perilaku distraksi, misalnya: gelisah.

15
e. Pernapasan
Gejala : Dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin tidak
produktif).
Tanda : Takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum
banyak dan berbercak darah (edema pulmonal).
f. Keamanan
Gejala : Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun.
Tanda : Demam.
2. Perumusan diagnosa (NANDA)
Diagnosa yang baik adalah menggambarkan tanggapan individu
terhadap proses, kondisi dan situasi penyakit, berorientasi terhadap kebutuhan
dasar manusia, berisi petunjuk/saran bagi asuhan keperawatan profesional dan
mandiri, dan menggunakan sistem klasifikasi medis. Diagnosa keperawatan
yang dijumpai pada penyakit jantung reumatik yaitu:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya gangguan pada
penutupan katub mitral (stenosis katub)
b. Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi
cairan/proses inflamasi, distruksi sendi
c. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit, peradangan pada sendi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan
e. Risiko cedera berhubungan dengan disfungsi integrative (gerakan involunter)
3. Penentuan Kriteria Hasil (NOC) & Intervensi Keperawatan (NIC)
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya gangguan pada
penutupan katub mitral (stenosis katub)
Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC Cardiac Care
 Cardiac pump efectiveness  Catat adanya disritmia jantung
 Circulation status  Catat adanya tanda dan gejala
 Vital sign status penurunan kardiac out put
Kriteri hasil:  Monitor status kardiovaskuler
 Tanda vital dalam rentang  Monitor status pernafasan yang
normal (TD, N & RR) menandakan gagal jantung
 Dapat mentoleransi aktivitas  Monitor abdomen sebagai indikator
 Tidak ada edema paru, perifer penuruan perfusi
dan tidak ada asites  Monitor balance cairan

16
 Tidak ada penurunan kesadaran  Monitor adanya perubahan tekanan
darah
 Monitor respon pasien terhadap efek
pengobatan anti aritmia
 Atur periode latihan dan istirahat
untuk menghindari kelelahan
 Monitor toleransi aktivitas pasien
 Monitor adanya dispneu, fatique,
takipneu dan ortopneu
 Anjurkan untuk menurunkan stress
Vital sign monitoring
 Monitor TD, Nadi, SH & RR
 Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
 Monitor TD, Nadi & RR sebelum,
selama dan setelah aktivitas
 Monitor kualitas dari nadi
 Monitor jumlah dan irama jantung
 Monitor suara paru
 Monitor pola pernafasan abnormal
 Monitor suhu, warna & kelembaban
kulit
 Monitoring sianosis perifer

b. Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi


cairan/proses inflamasi, distruksi sendi
Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC Paint management
 Pain level  Lakukan pengkajian nyeri secara
 Pain control komprehensif termasuk lokasi,
 Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi,
Kriteri hasil: kualitas dan faktor presipitasi
 Mampu mengontrol nyeri (tahu  Observasi reaksi nonverbal dari
penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan teknik non-  Bantu pasien dan keluarga untuk
famakologi untuk mengurangi mencari dan menemukan dukungan
nyeri, mencari bantuan)  Kontrol lingkungan yang dapat
 Melaporkan nyeri berkurang mempengaruhi nyeri seperti suhu
dengan menggunakan ruangan, pencahayaan dan kebisingan
manajemen nyeri  Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala,  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
intensitas, frekuensi dan tanda menentukan intervensi
nyeri)  Ajarkan tentang teknik non
 Menyatakan rasa nyaman farmakologi: napas dada, relaksasi,
setelah nyeri berkurang distraksi, kompres hangat/ dingin
 Tingkatkan istirahat
Analgesic Administration
 Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis dan frekuensi.
 Cek riwayat alergi

17
 Pilih rute pemberian secara oral, IV,
IM untuk pengobatan nyeri secara
teratur
 Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri: ……................
 Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala

c. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit, peradangan pada sendi


Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC Fever treatment
 Thermoregulation  Monitor suhu sesering mungkin
Kriteri hasil:  Monitor warna dan suhu kulit
 Suhu tubuh dalam rentang  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
normal  Monitor penurunan tingkat kesadaran
 Nadi dan pernafasan dalam  Monitor WBC, Hb, dan Hct
rentang normal  Monitor intake dan output
 Tidak ada perubahan warna  Berikan anti piretik:
kulit dan tidak ada pusing  Kelola Antibiotik:…………………
 Selimuti pasien
 Berikan cairan intravena
 Kompres pasien pada lipat paha dan
aksila
 Tingkatkan sirkulasi udara
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
 Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
kelembaban membran mukosa)

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


oksigen dan kebutuhan
Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC Activity Therapy
 Energy conservation  Observasi adanya pembatasan klien
 Activity tolerance dalam melakukan aktivitas
 Self care: ADLs  Kolaborasikan dengan tenaga rehabi-
Kriteri hasil: litasi medik dalam merencanakan
 Berpartisipasi dalam aktivitas progran terapi yang tepat.
fisik tanpa disertai peningkatan  Bantu klien untuk mengidentifikasi
TD, Nadi & RR aktivitas yang mampu dilakukan
 Mampu melakukan aktivitas  Bantu untuk memilih aktivitas konsis-
sehari-hari secara mandiri ten yang sesuai dengan kemampuan
 Tanda-tanda vital normal fisik, psikologi dan sosial
 Energy psikomotor  Bantu untuk mengidentifikasi dan
 Level kelemahan mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan

18
 Mampu berpindah dengan atau  Bantu untuk mendapatkan alat bantuan
tanpa bantuan alat aktivitas seperti kursi roda
 Status kardiopulmonari adekuat  Bantu untuk mengidentifikasi
 Sirkulasi status baik aktivitas yang disukai
 Status respirasi: pertukaran gas  Bantu klien untuk membuat jadwal
dan ventilasi adekuat latihan diwaktu luang
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan

e. Risiko cedera berhubungan dengan disfungsi integrative (gerakan involunter)


Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC Environment management
 Risk control  Sediakan lingkungan yang aman untuk
Kriteri hasil: pasien
 Klien terbebas dari cedera  Identifikasi kebutuhan keamanan
 Klien mampu menjelaskan cara pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan
untuk mencegah cedera fungsi kognitif pasien dan riwayat
 Klien mampu menjelaskan penyakit terdahulu pasien
faktor resiko dari lingkungan/  Menghindarkan lingkungan yang
perilaku personal berbahaya (misalnya memindahkan
 Mampu memodifikasi gaya perabotan)
hidup untuk mencegah injuri  Memasang side rail tempat tidur
 Menggunakan fasilitas  Menyediakan tempat tidur yang
kesehatan yang ada nyaman dan bersih
 Mampu mengenali perubahan  Menempatkan saklar lampu ditempat
status kesehatan yang mudah dijangkau pasien.
 Membatasi pengunjung
 Memberikan penerangan yang cukup
 Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien.
 Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
 Memindahkan barang-barang yang
dapat membahayakan
 Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.

19
BAB III
TINJAUAN KASUS

SKENARIO:
Seorang perempuan berumur 55 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan
sesak nafas bila melakukan kegiatan fisik disertai denyut jantung yang cepat. Pada
umur 12 tahun dia menderita demam reumatik dan terdengar bising jantung sejak
menderita penyakit tersebut. Irama jantungnya berupa fibrilasi atrium telah ada
sejak 2 tahun lalu yang dapat dikontrol dengan terapi digoxin 4 kali 0,25 mg.
Tanda-tanda vital menunjukkan denyut jantung 80 kali permenit, tekanan darah
130/80 mmHg, respirasi 16 kali permenit. Terdengar adanya bunyi ronchi basah
halus pada kedua paru dan bunyi jantung pertama (S1) keras, bunyi jantung kedua
(S2) tunggal disertai opening snap (OS).

A. Pengkajian
1. Data Demografi
a. Nama : Ny. A
b. Umur : 55 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Pendidikan : SMA
e. Agama : Islam
f. Suku/bangsa : Bugis/Indonesia
g. Status pernikahan : Menikah
h. Pekerjaan : IRT
i. Diagnosa medis : Penyakit jantung reumatik
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas bila melakukan
kegiatan fisik disertai denyut jantung yang cepat.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
1) Pada umur 12 tahun klien menderita demam rematik dan terdengar
bising jantung sejak menderita penyakit tersebut.

20
2) Irama jantung klien berupa fibrilasi atrium telah ada sejak 2 tahun
lalu yang dapat dikontrol dengan terapi digoxin 4 kali 0,25 mg.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital
Nadi : 80 x/menit
TD : 130/80 mmHg
RR : 16 x/menit
SH : 37 oC
b. Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : Tampak ictus cordis pada ICS 5 bagian sinetra garis
sternum.
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 bagian sinestra garis
sternum, nadi teraba lemah, CRT 4 detik.
Perkusi : Bunyi pekak pada batas-batas jantung
1) Batas atas pada sela iga 2-3
2) Batas bawah pada sela iga 5-6
3) Batas kiri midklavikula kiri
4) Batas kanan sternalis kanan
Auskultasi : Terdengar adanya bunyi ronchi basah halus pada kedua
paru dan bunyi jantung pertama (S1) keras, bunyi
jantung kedua (S2) tunggal disertai opening snap (OS).
4. Pola aktivitas sehari-hari
a. Klien mengeluh sesak nafas setelah beraktivitas ringan
b. Klien mengatakan dibantu keluarga dalam beraktivitas
c. Klien nampak lemah
d. ROM terbatas
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal


1) ASTO Positif Negatif
2) Leukosit 32.600/mm3 5.000-10.000/mm3
3) Hemoglobin 14 gr/dl 12-16 gr %

21
b. Pemeriksaan EKG
1) Irama dasar sinus
2) QRS rate : 104 x/menit
3) P wave : 0,10 detik
4) PR interval : 0,16 detik
5) QRS compleks : 0,08 detik
6) Axis : LAD
7) ST segmen : ST elevasi V2 – V5
Kesan : Sinus takikardi
6. Therapy
a. Injeksi Cefotaxime 1 gr/iv/12 jam
b. Injeksi Digoksin 1 amp/iv/12 jam
c. Aminofilin 100 1-0-1
d. Aspilet 80 0-1-0

B. Analisis Data

No Data Etiologi Masalah


1 Data subjektif: Penyakit jantung reumatik Pola nafas
- Klien mengeluh sesak  tidak efektif
saat beraktivitas ringan Volume residu dalam
Data objektif: ventrikel ka/ki menurun
- Terdengar adanya bunyi 
ronchi basah halus pada Gagal sirkulasi vena
kedua paru pulmonal
- Tanda-tanda vital: 
Nadi : 80 x/menit Bendungan pembuluh
TD : 130/80 mmHg kapiler
RR : 16 x/menit 
SH : 37 oC Peningkatan tekanan
hidrostatik dan penurunan
tekanan onkotik

Perembesan cairan ke
ekstra vaskuler

Kongestif paru

Pola nafas tidak efektif

22
No Data Etiologi Masalah
2 Data subjektif: Penyakit jantung reumatik Penurunan
- Irama jantung klien  curah jantung
berupa fibrilasi atrium Peradangan katub mitral
telah ada sejak 2 tahun 
lalu Peningkatan sel
Data objektif: retikuloendotelial, sel
- Nadi teraba lemah plasma dan limfosit
- Bunyi jantung pertama 
(S1) keras Jaringan parut
- Bunyi jantung kedua 
(S2) tunggal disertai Stenosis katub mitral
opening snap (OS). 
- Kesan pemeriksaan Penurunan curah jantung
EKG: Sinus takikardi
- Tanda-tanda vital:
Nadi : 80 x/menit
TD : 130/80 mmHg
RR : 16 x/menit
SH : 37 oC
3 Data subjektif: Penyakit jantung reumatik Intoleransi
- Klien mengeluh sesak  aktivitas
nafas setelah beraktivitas Aliran darah ke seluruh
ringan tubuh terganggu
- Klien mengatakan 
dibantu keluarga dalam Ketidakseimbangan
beraktivitas antara suplai oksigen/
Data objektif: kebutuhan
- Klien nampak lemah 
- ROM terbatas Produksi ATP menurun

Kelemahan umum

Intoleransi aktivitas

C. Diagnosa Keperawatan (NANDA)


1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kongestif paru.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan danya gangguan pada
penutupan katub mitral (stenosis katub)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan

23
D. Kriteria Hasil dan Intervensi Keperawatan (NOC/NIC)
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kongestif paru
Tujuan : Klien menunjukkan perbaikan fungsi pernafasan dengan kriteria:
1) Bebas gejala distress pernafasan
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal
3) Klien beristirahat dengan tenang dan bernafas dengan mudah.
4) Berpartisipasi dalam pengobatan dalam batas kemampuan.
Intervensi keperawatan:

Intervensi Rasional
1. Pantau bunyi nafas, catat krekles. 1. Menyatakan adanya kongesti paru/
pengumpulan sekret menunjukkan
kebutuhan untuk intervensi lanjut.
2. Ajarkan/anjurkan klien batuk 2. Membersihkan jalan nafas dan
efektif, nafas dalam. memudahkan aliran oksigen.
3. Dorong perubahan posisi. 3. Membantu mencegah atelektasis dan
pneumonia.
Kolaborasi
4. Pantau/gambarkan seri GDA, nadi 4. Hipoksemia dapat terjadi berat
oksimetri. selama edema paru.
5. Berikan oksigen tambahan sesuai 5. Meningkatkan konsentrasi oksigen
indikasi alveolar yang dapat memperbaiki/
menurunkan hipoksemia jaringan.
6. Berikan obat bronchodilator, 6. Meningkatkan aliran oksigen dengan
contoh: Aminofilin. mendilatasi jalan nafas kecil dan
mengeluarkan efek diuretik ringan
untuk menurunkan kongesti paru.

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan danya gangguan pada


penutupan katub mitral (stenosis katub)
Tujuan : Klien menunjukkan perbaikan curah jantung dengan kriteria:
1) Denyut jantung kuat, regular, dan dalam batas normal sesuai
usia, dan perfusi perifer adekuat
2) Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja
jantung
Intervensi keperawatan:

Intervensi Rasional
1. Pantau tanda vital, contoh frekuensi 1. Takikardi dapat terjadi karena nyeri,
jantung dan TD cemas, hipoksemia, dan menurunnya
curah jantung

24
2. Catat warna kulit dan adanya/ 2. Sirkulasi perifer menurun bila curah
kualitas nadi. jantung turun, membuat kulit pucat
atau keabu-abuan dan menurunnya
kekuatan nadi perifer.
3. Pantau perubahan seri EKG. 3. Depresi segmen ST dan datarnya
gelombang T dapat terjadi karena
peningkatan kebutuhan oksigen
miokard, meskipun tak ada penyakit
Kolabaorasi : arteri koroner.
4. Penatalaksanaan pemberian obat 4. Meningkatkan kekuatan kontraksi
Digoksin. miokard dan memperlambat fre-
kuensi jantung dengan menurunkan
konduksi dan memperlama periode
refraktori pada hubungan AV untuk
meningkatkan efisiensi/curah jantung
5. penatalaksanaan pemberian obat 5. Menurunkan kerja jantung dengan
Aspilet 80. menurunkan frekuensi jantung dan
TD sistolik.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


oksigen dan kebutuhan
Tujuan : Klien menunjukkan pencapaian peningkatan toleransi aktivitas
yang dapat diukur dengan kriteria :
1) Menurunnya kelemahan dan kelelahan selama aktivitas
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal
3) Klien istirahat dengan tenang.
4) Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan
Intervensi keperawatan:

Intervensi Rasional
1. Catat frekuensi, irama jantung 1. Aktifitas akan meningkatkan kon-
serta perubahan TD sebelum, traktilitas jantung sehingga jantung
selama dan sesudah aktifitas. akan bekerja ekstra untuk meme-
nuhi kebutuhan O2 jaringan lainnya.
2. Batasi aktifitas sesuai kemampuan 2. Menurunkan kerja jantung/menu-
dan indikasi. runkan kontraktilitas jantung.
3. Bantu klien dalam melakukan 3. Klien dapat memilih dan merenca-
aktivitas sendiri. Selingi periode nakan aktivitas sendiri, serta menu-
aktivitas dengan periode istirahat. runkan kontraktilitas jantung selama
fase istirahat.
4. Evaluasi peningkatan intoleran 4. Menunjukkan peningkatan dekom-
aktivitas. pensasi jantung dari pada kelebihan
aktivitas.
5. Jelaskan pola peningkatan 5. Mencegah aktifitas yang berlebihan.
bertahap dari tingkat aktifitas.

25
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus penyakit jantung reumatik
diantaranya adalah adanya keluhan sesak nafas bila melakukan kegiatan fisik
disertai denyut jantung yang cepat. Pada umur 12 tahun dia menderita demam
reumatik dan terdengar bising jantung sejak menderita penyakit tersebut.
Irama jantungnya berupa fibrilasi atrium telah ada sejak 2 tahun lalu yang
dapat dikontrol dengan terapi digoxin 4 kali 0,25 mg. Tanda-tanda vital
menunjukkan denyut jantung 80 kali permenit, tekanan darah 130/80 mmHg,
respirasi 16 kali permenit. Terdengar adanya bunyi ronchi basah halus pada
kedua paru dan bunyi jantung pertama (S1) keras, bunyi jantung kedua (S2)
tunggal disertai opening snap (OS).
Keluhan sesak nafas ditemukan bila melakukan kegiatan fisik
disebabkan karena beban jantung meningkat. Pada kondisi penyakit jantung
reumatik, dapat terjadi stenosis katup mitral menyebabkan aliran darah dari
kedua ventrikel terganggu. Akibatnya, dapat terjadi gagal sirkulasi vena
pulmonal yang menyebabkan kongestif paru ditandai dengan adanya bunyi
ronchi halus pada kedua paru (edema paru). Oleh karena itu, pada kondisi ini
klien perlu diistirahatkan untuk mengurangi beban kerja jantung dan
mengurangi konsumsi kebutuhan oksigen. Menurut Madiyono (2013), salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan pada pasien
penyakit jantung reumatik adalah aktivitas pasien. Penurunan aktivitas pasien
dapat membantu mengurangi beban kerja jantung.
Pada kasus ini juga ditemukan terjadi fibrilasi atrium dan bunyi jantung
pertama (S1) keras, bunyi jantung kedua (S2) tunggal disertai opening snap
(OS). Dua kemungkinan masalah yang dapat ditemukan pada penderita
penyakit jantung reumatik, yaitu stenosis katub mitral atau insufisiensi kabub
mitral. Kedua kelainan ini akan menyebabkan gangguan aliran darah pada

26
jantung. Pada keadaan stenosis, darah yang dipompa akan sulit melalui katup
jantung yang menyempit. Sementara pada keadaan insufisiensi terjadi
semacam kebocoran. Meskipun kuman penyakit ini bisa menyerang semua
katup jantung, yang paling sering terjadi adalah kerusakan pada katup mitral.
Jika terjadi stenosis katup mitral, darah tidak dapat dipompa ke luar secara
leluasa dari ventrikel kiri, sedangkan pada insufisiensi katup mitral terjadi
sebaliknya (Smeltzer, et al., 2013).
Ketika ventrikel kiri berkontraksi, katup yang terdapat antara atrium
kiri dan ventrikel kiri ini tidak dapat menutup rapat. Akibatnya, darah yang
dipompa oleh ventrikel kiri sebagian menuju pembuluh aorta, dan sebagian
lagi kembali ke ventrikel kiri melalui katup yang tak menutup rapat tadi.
Stenosis maupun insufisiensi katup mitral yang ringan mungkin tidak
menimbulkan gejala. Namun, dapat terdengar perubahan bunyi jantung akibat
kelainan tersebut, sehingga dapat dideteksi kelainan ini. Karena penyumbatan
atau kebocoran pada katup jantung, maka ventrikel kiri harus bekerja lebih
keras untuk memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh (sirkulasi).
Akibatnya, dapat terjadi pembesaran ventrikel kiri hingga menyebabkan gagal
jantung (Smeltzer, et al., 2013).
B. Pemeriksaan penunjang
Jenis pemeriksaan yang dilakukan pada kasus ini berupa pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan EKG. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya pemeriksaan ASTO positif dan adanya peningkatan
leukosit. Pemeriksaan ASTO adalah pemeriksaan laboratorium untuk
menentukan kadar Anti Streptolisin O secara kualitatif/semi kuantitatif. ASTO
merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk
indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Oleh karena itu, kurang lebih 80%
penderita jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini.
Sedangkan jumlah leukosit meningkat menunjukkan terjadinya infeksi pada
katub jantung (Smeltzer, et al., 2012).
Pemeriksaan EGK pada penderita jantung reumatik, proses radang yang
terjadi sapat melibatkan sistem konduksi, endokardium, miokardium dan
perikardium. Akibatnya, terjadi aritmia dan dilatasi jantung yang selanjutnya

27
dapat menyebabkan regurgitasi mitral dan aorta. Kelainan konduksi yang
sering terjadi karena peradangan adalah blok AV. Pemanjangan interval P-R
menunjukkan adanya blok AV derajat I dan merupakan kriteria minor pada
kriteria diagnostik Jones. Adanya keterlibatan miokardium ditunjukkan
gelombang T yang rendah dan depresi S-T (Suyono, 2012).
Penambahan beban ventrikel kiri diwujudkan sebagai kompleks QRS
seperti gelombang S yang dalam sendapan V1 dan gelombang R yang tinggi di
sendapan V6. Bila terjadi regurgitasi dan atau stenosis mitral berat akan terjadi
gambaran hipertrofi atrium kiri. Hipertrofi atrium kiri yang berat dapat
menyebabkan fibrilasi atrium (Suyono, 2012).
C. Terapi Pengobatan
Jenis terapi pengobatan yang diberikan kepada pasien penyakit jantung
reumatik diantaranya adalah Cefotaxime, Digoksin, Aminofilin dan Aspilet.
Tujuan pemberian obat antibiotik berupa Cefotaxime adalah untuk
menghambat atau membunuh mikroorganisme yang bisa menjadi penyebab
infeksi jantung akibat adanya iskemik miokard. Digoksin bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi miokard dan memperlambat frekuensi
jantung dengan menurunkan konduksi dan memper-lama periode refraktori
pada hubungan AV untuk meningkatkan efisiensi/curah jantung. Pemberian
obat Aspilet bertujuan untuk menurunkan kerja jantung dengan menurunkan
fre-kuensi jantung dan TD sistolik. Sedangkan pemberian obat Aminofilin
bertujuan untuk meningkatkan aliran oksigen dengan mendilatasi jalan nafas
kecil dan mengeluarkan efek diuretik ringan untuk menurunkan kongesti paru.
D. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus diantaranya adalah:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kongestif paru.
Gangguan yang disebabkan demam rematik pada katup jantung
dapat berupa penyempitan katup (stenosis) atau kebocoran katup
(insufisiensi). Kedua kelainan ini akan menyebabkan gangguan aliran
darah pada jantung. Akibatnya, volume residu dalam ventrikel kanan/kiri
menurun yang menyebabkan gagal sirkulasi vena pulmonal. Bila hal ini
terjadi, maka bendungan pembuluh kapiler pada paru yang menyebabkan

28
peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik sehingga
terjadi perembesan cairan ke ekstra vaskuler yang menyebabkan kongestif
paru. Akibatnya, dapat muncul masalah pola nafas tidak efektif.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan danya gangguan pada
penutupan katub mitral (stenosis katub)
Perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi stadium akut dan kronik.
Pada stadium akut, katup membengkak dan kemerahan akibat adanya
reaksi peradangan. Dapat terbentuk lesi-lesi di daun katup. Setelah
peradangan akut mereda, terbentuk jaringan parut. Hal ini dapat
menyebabkan deformitas katup dan pada sebagian kasus, menyebabkan
daun-daun katup berfusi sehingga orifisium menyempit. Dapat muncul
stadium kronik yang ditandai oleh peradangan berulang dan pembentukan
jaringan parut yang terus berlanjut. Akibatnya, dapat muncul masalah
penurunan curah jantung (Suyono, 2011).
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan
Pada penyakit jantung rematik, stenosis atrium dapat menyebabkan
gangguan aliran darah dalam ventrikel. Akibatnya, aliran darah ke seluruh
tubuh terganggu. Bila hal ini terjadi akan menyebabkan ketidakseimbangan
antara suplai oksigen/kebutuhan karena suplai darah ke jaringan tubuh
menurun. Sehingga produksi juga ATP menurun dan dapat terjadi
kelemahan umum. Oleh karena itu, dapat muncul masalah intoleransi
aktivitas.

29
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penyakit jantung reumatik atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart
Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup
jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup
mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam
reumatik.
2. Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi
autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik.
Infeksi streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu
mendahului terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan
pertama maupun demam reumatik serangan ulang.
3. Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena.
Katup mitral adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal
jantung kiri berupa sesak napas dengan krekels dan wheezing pada paru.
Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi. Gejala sistemik
yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila
ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka
harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.
4. Diagnosa keperawatan yang sering muncul diantaranya adalah:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya gangguan pada
penutupan katub mitral (stenosis katub)
b. Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi
cairan/proses inflamasi, distruksi sendi
c. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit, peradangan pada
sendi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dan kebutuhan
e. Risiko cedera berhubungan dengan disfungsi integrative (gerakan
involunter)

30
B. Saran
1. Untuk mendapatkan hasil pengkajian yang akurat, maka dilakukan
pendekatan sistematis kepada klien, keluarga dan tenaga kesehatan yang
terkait baik dengan cara anamnese, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
diagnostik.
2. Dalam membuat diagnosa keperawatan sangat diharapkan peningkatan
pengetahuan perawat dalam pengambilan keputusan untuk setiap masalah
yang muncul.
3. Untuk merencanakan intervensi keperawatan, perawat harus mengacu
pada tujuan yang akan dicapai dan duharapkan adanya kerjasama dengan
tim kesehatan yang terkait.
4. Dalam melaksanakan intervensi keperawatan, perawat harus berpedoman
pada rencana intervensi yang telah dibuat.
5. Dalam melakukan evaluasi, sebaiknya perawat mengamati setiap shiff.

31
DAFTAR PUSTAKA

Carapetis, S. et al. (2012) Dasar-dasar Keperawatan Kardiotorasik, Kumpulan


bahan kuliah, Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.

Corwin, E.J. (2012). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doenges, M.E. (2013). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III. Jakarta: EGC.

Madiyono. (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Proses Penyembuhan


Penyakit Jantung Reumatik. Jurnal Keperawatan, 2(5); 23-28.

Marijon, R.E., et al. (2012). Gambaran Kejadian Penyakit Jantung Reumatik.


Jurnal Kesehatan, 1(2); 17-23.

Muttaqin, A. (2013). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Kardiovaskuler.


Jakarta: Trans Info Media.

Price, Silvia & Anderson. (2012). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Suyono, S. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3, Jilid 1. Jakarta:
FKUI.

Smeltzer, et al. (2013). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2. Jakarta:


EGC.

32

You might also like