You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa


merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh
mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder
dari focus ditempat lain dalam tubuh. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit
Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan bagi Pervical Pott seorang ahli
bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat tentang penyakit
tersebut. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak
dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3
dan paling jarang pada vertebra C1-2.
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta
kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber
morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama
di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah
utama.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.
Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20
tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua.
Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih
sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Ujung Pandang spondilitis tuberkulosa
ditemukan sebanyak 70% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Umumnya penyakit ini
menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah.

BAB II
ISI

1. DEFINISI

1
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra

2. ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3
dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa
atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini
dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
Lokalisasi spondilitis TB terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberculosis traktus
urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.

3. PATOFISIOLOGI
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius.
Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi
basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru,
hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik
timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak
aktif atau mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang.
Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya
mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan,
atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang
menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan
pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada
bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai
gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang
bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Karena
penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan
suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra
diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang

2
mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena.
Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali
dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus
melibatkan tiga atau lebih vertebra

Gambar 2.1. Gambar skematis terjadinya kifosis pada tulang belakang akibat
osteomielitis tuberculosa
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis
serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal
anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus
ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang
lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai
abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea,
esophagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul
paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas
dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga
dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah
femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama

3
6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.Stadium destruksi lanjut
3. Stadium gangguan neurologis
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3
bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum
serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji
terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra,
yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium deformitas residual
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu
dicatat derajat kerusakan paraplegia,yaitu:
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensorik.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaanya.
Derajat III: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia
dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang
sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis
spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan

4
granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat
terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif
di sebelah depan.

4. GAMBARAN KLINIS
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta
sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam
hari.
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau
perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat,
spastisitas, klonus,, hiper-refleksia dan refleks Babinski bilateral. Pada stadium awal
ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri
ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya
pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi
yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri
radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus),
bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang
sudah disebutkan di atas.
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang
kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring.
Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala
klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium
awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.

5. DIAGNOSA

A. Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :


• Nyeri punggung yang terlokalisir
• Bengkak pada daerah paravertebral

5
• Tanda dan gejala sistemik dari TB
• Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia
B. Pemeriksaan Laboratorium:
• Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis
• Uji Mantoux positif
• Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin
ditemukan mikobakterium
• Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
• Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
• Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati ,karena jarum dapat
menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati
tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya
blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor
serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
C. Pemeriksaan Radiologis:
• Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru.
• Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus
vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara
korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses
paravertebral.
. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung
(bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang
hebat sehingga timbul kifosis.
• Pemeriksaan CT scan
- CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
- Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak.
• Pemeriksaan MRI
- Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang.
- Menunjukkan adanya penekanan saraf.

6
A B C
Gambar 2.2. Gambaran klinis gibbus, (B) gambaran destruksi korpus disertai
penyempitan ruang intervertebral, (C) gambaran patologis

6. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :


1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak
vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
- Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid
1.500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).

7
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten)
selama 4 bulan (54 kali).
- Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk
penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
• Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari ,
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3
bulan (90 kali).
• Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat
diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).

Kriteria penghentian pengobatan:


 Keadaan umum penderita bertambah baik
 Laju endap darah menurun dan menetap
 Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
 Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

2. Terapi operatif
Indikasi operasi:
• Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap
spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
• Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft.
• Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla
spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang
peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin),
lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses Dingin (Cold Abses)

8
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat
terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat
berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

7. KOMPLIKASI
a. Cedera corda spinalis (spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh :
Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena
keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :
menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik
(berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan
corda spinalis.
b. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal
ke
dalam pleura.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. 2005. Jakarta:
EGC
2. Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II.
Makassar: Bintang Lamumpatue. 2003.
3. Hidalgo A. Pott disease (Tuberculous Spondylitis).
(http://www.emedicine.com/med/topic1902.htm diakses tanggal 10 jan 2018)
4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC; 2010
5. Clifford, R. Wheeleess. 2013. Tuberculous Spondylitis.
(http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous_spondylitis, diakses tanggal 10 jan
2018)
6. Rasuoli, M. Mirkoohi, M. Vaccaro, A., dkk. 2012. Spinal Tuberculosis.
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707, diakses tanggal 10 jan 2018)
7.

10

You might also like