You are on page 1of 69

Welcome Note

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

In the name of Allah SWT, the Almighty and Merciful God, gracious thanks and praise
for his favor and kindness, so we can hold the 11th Emergency for Every Doctor Symposium
2018. Also we thank to all participants that have spent time to join this event.

As a thankful gratitude, we provide this book which consisted of abstracts and full texts
from symposium themes. Also we hope our study for two days in Surabaya will remain every
time we read this book for implementing in our daily practice. We also sorry for the
uncompleteness of all material. However, our motivation is to give the best for the participants.

We thankful for Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr. SpAn., KIC., KAO. who inspire and
accompany us during all events preparation. Also to Prof. Dr. Nancy Margaretta Rehatta, dr.,
SpAn., KIC., KMN. who always encourage us to make this book. To all lecturers, thank you
for the availability to write the material in full text. Also the hardship of all residents who
conduct this event together. Last word, enjoy the symposium and do better four our beloved
country, Indonesia.

Yours sincerely,

Prihatma Kriswidyatomo, dr., SpAn.


Emergency Treatment of Anaphylactic Reactions
Ari Baskoro
Division of Allergy and Clinical Immunology
Department of Internal Medicine
School of Medicine Airlangga University- Dr.Soetomo Teaching Hospital
Surabaya

Abstract

Anaphylaxis is an acute-onset, severe, potentially fatal generalised or systemic


hypersensitivity reaction. It is usually triggered by an agent such as an insect sting, food, venom
or medication, through a mechanism involving IgE and the high-affinity IgE receptor on mast
cells or basophils.

Although prompt recognition and treatment of anaphylaxis are imperative, both patients
and healthcare professionals often fail to recognize and diagnose early signs and symptoms of
the condition. Clinical manifestations vary widely, howefer,this is characterised by rapidly
developing life-threatening airway and/or breathing and/or circulation problems usually
associated with skin and mucosal changes, including angioedema, urticaria, erythema and
pruritus.

The clinical diagnosis is based on a meticulous history and physical examination,


sometimes, but not necessarily, supported by a laboratory test such as an elevated serum total
tryptase level. A diagnosis of anaphylactic reaction is likely if a patient who exposed to a trigger
(allergen) develops a sudden illness ( usually within minutes of exposure) with rapidly
progressing skin changes and life-threatening airway and/or breathing and/or circulation
problems. The reaction is usually unexpected.

Immediate intramuscular administration of epinephrine into the lateral thigh is first-line


therapy, even if the diagnosis is uncertain. All patients who have had an anaphylactic reaction
should be monitored as soon as possible. Minimal monitoring includes pulse oximetry, non-
invasive blood pressure and 3-lead ECG. Monitoring must be supervised by an individual who
is skilled at interpreting and responding to any changes.

This review aims to help general practitioners , emergency physicians who are often on
the front line in the management of anaphylaxis and allergist-immunologists, who have a
vested interest in how such patients are managed.
PENDAHULUAN

Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas sistemik yang bersifat akut dan dapat
berakibat fatal. Antara reaksi anafilaksis yang klasik ( IgE mediated anaphylaxis) dan non-IgE
mediated anaphylaxis ( diperantarai IgG, komplemen dan aktifasi langsung pada sel mast
maupun basofil ) tidak perlu harus dipertentangkan lagi, khususnya dalam hal diagnosis dan
terapi keadaan akut/darurat. Walaupun demikian, masih harus tetap dipahami perihal sel-sel
efektor yang terlibat dalam patogenesis anafilaksis yang pada akhirnya berguna bagi strategi
yang terus berkembang dalam mereduksi dan mencegah berulangnya kejadian anafilaksis
tersebut1,2,3.

Angka kejadian anafilaksis yang dipicu oleh berbagai macam faktor ini sulit ditentukan
secara pasti, tetapi tampaknya selalu meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini bisa dipahami
karena anafilaksis yang ringan sering tidak terdiagnosis dan dengan sendirinya tidak
terlaporkan4. Di USA, dari tahun 1999 hingga 2009, dilaporkan terjadi peningkatan angka
sebesar 2,2% per tahunnya untuk pasien yang dirawat di rumah sakit karena anafilaksis. Namun
demikian , sebaliknya terjadi penurunan angka fatalitas sebesar 2,35 % pertahunnya. Sedangkan
angka mortalitas berkisar antara 0,63-0,76/ 1 juta populasi ( 186-225 kematian per tahun) dan
cenderung stabil selama dekade terakhir ini5 .Saat ini anafilaksis diduga lebih sering terdapat
pada komunitas umum di masarakat dibandingkan dengan yang terjadi pada fasilitas kesehatan.
Angka kejadian ini tampaknya meningkat pada individu yang tinggal dilingkungan dengan
sosio-ekonomi yang baik serta terbanyak pada anak dan masa pubertas.Sedangkan apabila
ditinjau dari faktor pemicunya,anafilaksis yang berakibat fatal dikarenakan makanan, relatif
sering terjadi pada individu masa pubertas dan dewasa muda. Dilain pihak pada individu usia
pertengahan dan yang lebih tua, sering dipicu oleh sengatan lebah, bahan-bahan untuk
kepentingan diagnostik dan obat-obatan4.

Pemicu

Beberapa faktor diperlukan agar suatu zat/ komponen dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis, diantaranya karena timbul bersamaan dengan terjadinya infeksi,obat-obatan
semacam α-blockers, β-blockers, ACE inhibitors, NSAIDS, makanan/minuman seperti alkohol
dan makanan pedas, temperatur lingkungan yang tinggi dan latihan fisik/olah raga. Faktor
penyerta yang sering memicu timbulnya anafilaksis pada individu dewasa muda adalah aktifitas
olah raga yang bisa disertai faktor-faktor lainnya seperti mengkonsumsi makanan tertentu
(terigu/gandum, seledri, seafood, kacang, buah atau sayuran) beberapa jam sebelum melakukan
olah raga2.

Tabel 1. Causes of anaphylaxis (dikutip dari 6)

Common :

• Foods: most commonly peanuts, tree nuts, egg, seafood and fish, cow’s milk, wheat
• Medication: most commonly antibiotics
• Insect stings (bees and wasps)
• Natural rubber latex
• Unidentified (no cause found ; idiopatic anaphylaxis)
Less common:

• Exercise
• Semen
• Food additives : monosodium glutamate, metabisulfite
• Hormonal changes: menstrual factors
• Topical medications
• Transfusions

Patogenesis

Pada sebagian besar kasus, IgE memainkan peranan utama. Dengan adanya paparan
alergen, IgE tersebut disintesis ( fase sensitisasi ) dan terikat pada reseptornya yang berafinitas
tinggi (Fc€RI) yang terletak pada permukaan sel membran dari basofil dan sel mast. Pada
paparan ulang dengan alergen yang sama, ikatan antara Fc€RI-IgE dan alergen tersebut
memicu aktifasi dan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan basofil yang
mencerminkan suatu respon hipersensitifitas tipe cepat. Disamping itu, IgE juga berperanan
terhadap intensitas anafilaksis yang terjadi, melalui mekanisme sensitisasi, priming, aktifasi
dan pelepasan mediator. Sebagai contoh, IgE akan meningkatkan ekspresi Fc€RI pada sel mast
dan basofil2,7,8,9.

Mekanisme imunologi lainnya yang potensial mengakibatkan anafilaksis adalah IgG,


IgM, trombosit , sel T, pergeseran pada metabolisme eicosanoid kearah terbentuknya
leukotrien serta aktifasi sistem komplemen dan koagulasi. Pada beberapa individu, dapat
dikatakan sebagai anafilaksis idiopatik. Fc€RI dapat diinduksi/diikat melalui mekanisme
autoimun. Diluar mekanisme imunologi, sel mast dapat diaktifkan melalui suatu mekanisme
yang belum dapat dipahami secara menyeluruh, termasuk diantaranya adalah aktifitas olah
raga, paparan air dan udara dingin, radiasi, ethanol, komponen venom, kontras radiologi dan
beberapa macam obat (misalnya opioid dan vancomycin). Pada beberapa kasus, seperti
misalnya sengatan serangga, media kontras dan beberapa obat, dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis melalui lebih dari satu mekanisme2,9,10.

Tanpa harus memperhatikan mekanisme yang memicu, baik melalui proses imunologi
maupun non imunologi serta apakah melalui rangsangan Fc€RI maupun reseptor
lainnya,seperti G protein-coupled receptors atau Toll-like receptors, sel mast dan basofil
memainkan peranan penting untuk mengawali dan meningkatkan respon hipersensitifitas tipe
cepat tersebut. Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel-sel efektor tersebut diantaranya
adalah histamin, protease (tryptase, carboxypeptidase A3 dan chymase), metabolit lipid seperti
misalnya platelet-activating factor (PAF), prostaglandin (PGD2) dan leukotrien (LTC4),
kemokin serta sitokin-sitokin. Banyak rentetan peristiwa biologi didalam sel mast ataupun
basofil yang pada akhirnya berujung pada proses degranulasi, setelah reseptor-reseptor tersebut
diaktifkan. Diharapkan dimasa mendatang dengan adanya temuan-temuan dibidang biologi sel
mast/basofil, dapat memperbaiki cara-cara diagnosis dan pendekatan terapi pada kasus-kasus
anafilaksis. Salah satu diantaranya adalah antibodi anti-IgE merupakan suatu modalitas terapi
melalui reduksi kadar IgE yang berada dalam keadaan bebas, dengan akibat menurunnya
ekspresi Fc€RI pada sel mast dan basofil yang pada gilirannya dapat menghambat jalur aktifasi
sinyal didalam sel, setelah adanya rangsangan oleh ikatan antara IgE dan reseptornya yang
berafinitas tinggi tersebut2,9,10.

Gambaran Klinis

Anafilaksis merupakan suatu reaksi yang bersifat sistemik, oleh karena itu manifestasi
klinisnya sangat bervariasi dengan keterlibatan kulit, gastrointestinal, saluran nafas dan
penurunan tekanan darah atau disfungsi vaskuler. Manifestasi klinis yang paling sering
ditampilkan adalah pada kulit, berupa urtikaria, angioedema, erythema dan pruritus.
Adakalanya pasien menyatakan adanya” rasa mendekati ajal” (angor animi). Kematian yang
diakibatkan oleh anafilaksis, biasanya dikaitkan dengan adanya obstruksi saluran nafas ataupun
kegagalan sirkulasi , bahkan dua keadaan tersebut dapat terjadi secara bersama-sama. Terdapat
korelasi yang jelas antara cepatnya manifestasi klinis yang timbul dengan beratnya episode
suatu anafilaksis. Dengan semakin cepatnya onset yang terjadi, semakin berat pula manifestasi
anafilaksis yang timbul6,10. Penting untuk diperhatikan bahwa tanda dan gejala yang
ditampilkan merupakan sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan amat bervariasi diantara
individu dengan individu lainnya, serta reaksi terhadap suatu komponen dengan komponen
lainnya6.

Manifestasi klinis pada umumnya terjadi dalam beberapa menit setelah terpapar oleh
suatu antigen, namun kadang-kadang dapat timbul selambat-lambatnya 1 jam setelah paparan.
Gejala yang muncul biasanya berupa 1 fase, dengan pulihnya gejala dalam beberapa jam
setelah pengobatan yang tepat. Tetapi pada sekitar 20% kasus, gejala klinis yang tampak dapat
berulang kembali (biphasic), setelah periode asimptomatik yang dapat berlangsung antara 1-8
jam10,11,12.

Tabel 2 Signs and symptoms of anaphylaxis (dikutip dari 6)

Skin Gastrointestinal:

• Urticaria (hives) • Nausea


• Angioedema (swelling) • Vomiting
• Erythema (flushing) • Abdominal Pain
• Pruritus (itching) • Diarrhea

Respiratory: Neurologic:

• Upper airway: • Light-headedness


- Nasal congestion • Dizziness
• Confusion
- Sneezing
- Hoarseness

- Cough

- Oropharyngeal or laryngeal edema Oral:

• Lower airway:dispnea • Itching


- Bronchospasms • Tingling or swelling of the lips, tongue or
palate
- Wheezing

- Chest tightness
Other:
• Cardiovascular:
• Sense of impending doom
- Hypotension
• Anxiety
- Dizziness

- Syncope

- Tachycardia

Diagnosis
Diagnosis anafilaksis didasarkan atas anamnesis yang cermat, yaitu memastikan adanya
paparan terhadap suatu komponen yang potensial menyebabkan reaksi atau setelah kejadian
tertentu yang dicurigai, waktu yang diperlukan antara suatu paparan dengan awal terjadinya
gejala (onset) dan timbulnya episode anafilaksis dalam beberapa menit hingga beberapa jam
kemudian. Organ sasaran yang paling sering terlibat adalah kulit (90% kasus), saluran nafas
(70%), gastro-intestinal (30%-45%), cardiovaskular (10%-45%) dan sistem saraf pusat (10%-
15%). Diagnosis menjadi sedikit meragukan bila tidak dapat mengenali gejala dengan baik atau
bila manifestasi klinis pada kulit tidak timbul. Bahkan pada beberapa kasus anafilaksis, dapat
timbul tanpa disertai adanya hipotensi ataupun syok, sedangkan penyebab kematian tersering
adalah obstruksi jalan nafas4,13
Tabel 3 Clinical criteria for diagnosing anaphylaxis (dikutip dari6,10)
Anaphylaxis is highly likely when any 1 of the following 3 criteria is fulfilled following exposure to an allergen:

1. Acute onset of an illness (minutes to several hours) with involvement of the skin, mucosal tissue, or both (e.g.,generalized hives,pruritus or
flushing,swollen lips-tongue-uvula) and at least 1 of the following:
a. Respiratory compromise (e.g.dyspnea, wheeze,bronchospasms, stridor, reduced PEF, hypoxemia)
b. Reduced BP or associated symptoms of end-organ dysfunction (e.g.hypotonia (collapse), syncope, incontinence)

2. 2 or more of the following that occur rapidly after exposure to a likely allergen for that patients (minutes to several hours):
a. Involvement of the skin-mucosal tissue (e.g.,generalized hives, itch-flush, swollen lips-tongue-uvula)
b. Respiratory compromise (e.g.,dyspnea, wheeze, bronchospasms, stridor, reduced PEF, hipoxemia)
c. Reduced BP or associated symptoms (e.g.,hypotonia (collapse), syncope, incontinence)
d. Persistent GI symptoms (e.g.,painful abdominal cramps, vomiting)

3. Reduced BP after exposure to a known allergen for that patient (minutes to several hours):
a. Infants and children: low systolic BP (age specific) or >30% decrease in systolic BP
b. Adult: systolic BP < 90 mmHg or > 30% decrease from that person’s baseline
Pemeriksaan Penunjang
Walaupun tidak memastikan diagnosis, beberapa pemeriksaan laboratorium penunjang
dapat dikerjakan untuk membantu membuat diagnosis. Pemeriksaan tersebut diantaranya
adalah kadar histamin dan tryptase didalam plasma atau serum yang keduanya tidak selalu
berkorelasi. Masing-masing mempunyai karakteristik farmakokinetik yang berbeda. Histamin
sebaiknya diperiksa dalam waktu 15-60 menit setelah awal terjadinya gejala klinis, sedangkan
tryptase dalam kurun waktu 15-180 menit. Meskipun waktu pengambilan sampel sudah cukup
optimal, tidak menutup kemungkinan kadarnya dalam batas-batas normal. Dimasa yang akan
datang, pemeriksaan petanda aktifasi sel mast dan basofil seperti misalnya mature β-tryptase,
carboxypeptidase A3 dari sel mast, chymase dan PAF ataupun berupa panel secara keseluruhan
petanda-petanda tersebut dapat membantu diagnosis4,5,11.

Penatalaksanaan

Bila anafilaksis dikelola di fasilitas kesehatan yang mempuyai peralatan dan


sumberdaya yang mumpuni, pertama kali harus segera dilakukan penilaian terhadap airway,
breathing, circulation dan orientation. Pemeriksaan adanya manifestasi anafilaksis pada kulit
perlu diperiksa secara seksama serta berat badan perlu diperkirakan untuk pertimbangan dosis
adrenalin yang akan diberikan. Perlu diberikan inhalasi oksigen dan pasien dibaringkan dalam
posisi terlentang, untuk mencegah atau menghindari berulangnya kembali kegagalan sirkulasi
yang potensial bisa terjadi7,12. Pada perempuan dengan kehamilan yang mengalami anafilaksis,
sebaiknya dibaringkan dalam posisi miring kekiri untuk mencegah terjadinya hipotensi
tambahan, akibat penekanan uterus pada vena cava inferior. Tindakan ini disertai dengan
melakukan elevasi kedua ekstremitas inferiornya14. Pemberian cairan melalui infus seharusnya
menggunakan cateter vena dengan ukuran yang cukup besar, agar bila diperlukan cairan dalam
jumlah banyak dan cepat, dapat dilaksanakan dengan baik, serta dipersiapkan untuk pemberian
adrenalin melalui infus ataupun obat-obat tambahan lainnya bila memang diperlukan5,6,12.

WHO telah menyatakan bahwa adrenalin merupakan pengobatan yang esensial untuk
anafilaksis. Obat ini merupakan pilihan pertama untuk mengatasi episode akut suatu
anafilaksis, serta tidak ada kontra indikasi absolut5,12. Adrenalin merupakan pengobatan live-
safing yang bekerja melalui reseptor α-1 adrenergik dan menimbulkan efek vasokonstriksi serta
dapat mengurangi dan mencegah terjadinya obstruksi saluran nafas yang disebabkan oleh
edema mukosa. Disamping itu, obat ini mampu mencegah dan mengatasi terjadinya syok.
Dosis yang direkomendasikan adalah 0,01 mg/kg BB dengan dosis maksimal untuk dewasa
sebesar 0,5 mg yang diberikan secara intra muskular pada paha bagian samping (muskulus
vastus lateralis bagian midanterolateral) untuk mencapai kadar puncak dalam plasma dan
jaringan dengan cepat10,12,15,16.

Pengobatan lain yang mungkin masih mempunyai peranan, antara lain AH1 yang dapat
mengatasi terjadinya urtikaria dan keluhan gatal, namun tidak dapat menghambat terjadinya
obstruksi jalan nafas maupun mengatasi syok. Agonis β-2 adrenergik dapat mengurangi
terjadinya spasme bronkus, tetapi tidak dapat mengatasi terjadinya obstruksi saluran nafas
bagian atas ataupun syok. Glukokortikoid mungkin masih bermanfaat untuk mencegah
terjadinya gejala anafilaksis yang membandel maupun yang bersifat bifasik, namun
mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat mengatasi obstruksi jalan nafas atas maupun bawah
secara cepat, terjadinya syok ataupun gejala lain dari reaksi anafilaksis10,12.

Tabel 4 Emergency anaphylaxis management algorithm (dikutip dari12)

Patient presents with possible anaphylaxis

Initial assesment:
• Does clinical judgment support No
Consider other diagnosis
anaphylaxis? Consider NIAID/FAAN
criteria.
Yes

Immediate interventions:
• Assess airway, breathing, circulation
• IV access, oxygen, monitoring
• Supine position
• IM Epinephrine (anterior-lateral thigh)

Other interventions (based on initial


response):
• Rapid fluid infusion (IV, IO)
• Repeat IM Epinephrine
• IV epinephrine infusion
• Bronchodilators
• Steroids
• H1/H2 antihistamines
• Glucagon
• Establish airway

Determine disposition: Admission:


• Based on intital presentation and response to • General hospital
therapy • Intensive care unit
admission

ED Observation:
• Length of observation based on clinical presentation, response to
therapy, risk factors for fatal anaphylaxis, access to medical care,
reliability
• Patient education: SIE use, biphasic reaction, trigger avoidance
• Provide homegoing SIE
• Consider prescriptions for oral antihistamines and corticosteroids
• Outpatient follow up referral (Allergist of Primary Care)
Pengelolaan yang ditujukan dalam jangka panjang pada prinsipnya bertujuan untuk mereduksi
terjadinya reaksi yang berakibat fatal, termasuk diantaranya adalah melakukan
penatalaksanaan yang optimal terhadap penyakit penyerta, seperti misalnya asma, penyakit
kardiovaskular, mastositosis serta penyakit-penyakit lainnya yang dapat memperburuk
prognosis. Apabila faktor pemicunya telah dapat diidentifikasi dengan tepat, cara yang paling
efektif adalah menghindarinya. Imunomodulasi berupa desensitisasi secara oral diindikasikan
untuk kasus-kasus anafilaksis terhadap makanan tertentu seperti misalnya, susu, telur ataupun
kacang yang seharusnya ditangani oleh seorang ahli yang berkompeten5,17.

Ringkasan dan Rekomendasi

Pengelolaan anafilaksis seharusnya secepat dan setepat mungkin, karena terjadinya


gagal nafas, henti jantung, bahkan kematian dapat terjadi dalam hitungan menit. Bila dilakukan
tatalaksana yang benar pada fase dini anafilaksis sebelum terjadinya syok, akan sangat
memperbaiki prognosis. Keterlambatan pemberian adrenalin akan meningkatkan risiko
fatalitas.

Adrenalin merupakan pengobatan yang sifatnya life-saving, karena itu pemberian


sedini-dininya dapat mencegah progresifitas gejala-gejala dan tanda-tanda yang mungkin akan
timbul. Tidak ada kontra indikasi absolut penggunaan obat ini dan merupakan obat pilihan
pertama untuk berbagai macam derajat anafilaksis. Pada kasus dimana tidak terjadi hipotensi,
syok atau henti jantung/nafas, adrenalin dapat diberikan secara intramuskular pada paha bagian
samping (muskulus vastus lateralis bagian midanterolateral) dengan dosis 0,01 mg/kg
(maksimum 0,5 mg) dan dapat diulangi setiap 5-15 menit atau lebih sering, bila memang
diperlukan. Sedangkan penggunaan intravena secara infus kontinyu perlahan-lahan,
diindikasikan terhadap kasus-kasus yang mengalami hipotensi berat atau timbulnya gejala-
gejala dan tanda-tanda yang menuju terjadinya syok (dizziness, inkontinensia urine dan
inkontinensia alvi ), dimana tidak memberikan respon yang adekuat setelah pemberian dosis
awal secara intra muskular atau setelah dilakukannya resusitasi cairan. Pemberian secara intra
vena kontinyu perlahan-lahan, dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi yang ekstrim atau
timbulnya aritmia ventrikular.

Perpindahan cairan yang masif dari intravaskular ke interstitial dapat terjadi pada
anafilaksis, sehingga pada keadaan demikian diperlukan resusitasi cairan yang adekuat
menggunakan normal saline. Bila kondisi pasien dengan tekanan darah yang relatif stabil,
sebaiknya pemberian cairan normal saline diperlukan untuk rumatan dan memberikan akses
bila mana terjadi perburukan klinis.

Oksigen dan bronkodilator seharusnya diberikan pada kasus-kasus dengan gangguan


fungsi pernafasan.

Penilaian terhadap adanya suatu risiko dan dengan maksud mereduksi terjadinya
anafilaksis dimasa yang akan datang, tergantung pada meningkatnya pemahaman dari
patogenesis yang amat kompleks reaksi anafilaksis yang sangat potensial bersifat fatal.
Perbaikan-perbaikan pada pemeriksaan laboratorium penunjang sangat diperlukan untuk
menyokong suatu diagnosis klinis dan memfasilitasi penilaian yang lebih akurat terhadap suatu
risiko terjadinya anafilaksis pada seorang individu yang telah tersensitisasi oleh suatu alergen.
Untuk pengelolaan jangka panjang, perlu langkah-langkah yang terprogram yang sebaiknya
dilakukan oleh tenaga profesional yang berkompeten dibidang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Finkelman FD, Khodoun MV, Strait R. Human IgE-independent systemic anaphylaxis. J


Allergy Clin Immunol 2016;137-1674-80
2. Cano MR, Pascal M, Araujo G, Goikoetxea MJ, Valero AL, Picado C, Bartra J.
Mechanisms, cofactors, and augmenting factors involved in anaphylaxis. Frontiers in
Immunology 2017 September;8 (article 1193):1-7
3. Spoerl D, Nigolian H, Czarnetzki C, Harr T. Reclassifying anaphylaxis to neuromuscular
blocking agents based on the presumed patho-mechanism : IgE-mediated,
pharmacological adverse reaction or innate hypersensitivity ? Int J Mol Sci 2017;18:1-14
4. Simons FER. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 2008;121:S402-7
5. Simons FER, Ebisawa M, Borges MS, Thong BY, Worm M, Tanno LK, Lockey RF, El-
Gamal YM, Brown SGA, Park HS. 2015 update of the evidence base : world allergy
organization anaphylaxis guidelines. World Organization Journal 2015;8:1-32
6. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis.Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011;7(suppl
1):S6
7. Liberman P, Nicklas RA, Oppenheimer J, Kermf SF, Lang DM, Bernstein DI, et al. The
diagnosis and management of anaphylaxis practice parameter:2010 up date. J Allergy Clin
Immunol 2010;126:477-80
8. Waserman S, Chad Z, Francoeur MJ, Small P, Stark D, Vander Leek TK, Kaplan A,
Kastner M. Management of anaphylaxis in primary care:canadian expert consensus
recommendations. Allergy 2010;65:1082-92
9. Guilarte M, Cunill AS, Luengo O, Horrillo ML, Cardona V. The mast cell, contact, and
coagulation system connection in anaphylaxis. Frontiers in Immunology 2017 July; 8
(article 846):1-5
10. Burns K, Campbell B, Gleason J. Anaphylaxis. Physician Assist Clin 2017;2: 345-356
11. Reber LL, Hernandez JD, Galli SJ. The pathophysiology of anaphylaxis. J Allergy Clin
Immunol 2017;140:335-48
12. Campbell RL, Li JTC, Nicklas RA, Sadosty AT, et all. Emergency department diagnosis
and treatment of anaphylaxis : a practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol
2014;113:599-608
13. Sampson HA, Munoz-Furlong A, Cambell RL, Adkinson NF Jr, Bock SA, Branum A, et
al. Second symposium on the definition and management of anaphylaxis: summary report-
Second National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and
Anaphylaxis Network symposium. J Allergy Clin Immunol 2006;117:391-7
14. Scholl IP, Namazy J, Jarolim EJ. Allergic diseases and asthma in pregnancy, a secondary
publication. World Allergy Organization Journal 2017;10:10
15. Sheikh A, Shehata YA, BrownSGA, Simons FER. Adrenalin for the treatment of
anaphylaxis: cohrane systematic review. Allergy 2009;64:204-12
16. Montanez MI, Mayorga C, Bogas G, Barronuevo E, Santamaria RF, Serrano AM, Laguna
JJ et al. Epidemiology, mechanisms, and diagnosis of drug-induced anaphylaxis. Frontiers
in Immunology 2017;8(article 614):1-10
17. Simons FER. Anaphylaxis: recent advances in assesment and treatment. J Allergy Clin
Immunol 2009;124:625-36
EMERGENCY FOR THE EXPLORER DOCTOR

Agus Harianto

"Indonesia is not islands surrounded by the sea. But, the sea dusted with the islands" – Adrian
Bernard Lapian

Abstract

As the biggest maritime state in the world, Indonesia has a huge economic potential
source and also may play a key role in the regional issues. The potential source of fish, oil,
tourism, mining of the islands, etc. has not been yet been optimized. The restricted inter islands
connection in turn may cause many problems. One of the problems is health problem. It is not
easy to set a good health system to serve the patient in remote islands. The willingness of health
personnel including doctors, moreover specialist, to go to isolated islands with lack of facility,
lack of logistic and lack of support, and many more is the main reasons.

The isolation of the islands almost always leads to poverty. They could not reach a health
center, moreover a hospital, when they need health service. Poverty and lack of access are the
main causes.

The health facility of health center or hospital is almost always limited also. It is not easy
for the doctor to make a good diagnostic or to treat the patient. They also frequent deal with
difficult cases. It will be disconcerting when they must refer the patient to hospital in the midst
of turbulent sea. Many patients are undeserved and then neglected.

The presence of hospital vessel with operating theater and specialist inside, like our big
hospital ship KRI Dr. Soeharso (owned by our Indonesia Navy), Doctorshare, Ksatria
Airlangga Hospital Vessel (our mission) are proven become solution for the people especially
patient with surgical cases. We come to the islands as a complete team, including anesthetic
specialist. We also invite some other specialist like ophthalmologist, obstetric and
gynecologist, pediatrician, internist, ENT to join our mission. We can do operation in their own
islands, no matter the condition of the local health center (puskesmas). They do not necessary
to go to hospital that they can not reach before. We call this service as a proactive referral
health care. This mission is really helpful for them. But, unfortunately the number of hospital
ship in our country is not sufficient compared with tens of thousands islands scattered in the
vast ocean that must be served. Three Floating Hospital is never enough. We still need some
more. Nevertheless, in the name of social justice, this mission must be continued. And, in the
name of love, this mission must be accomplished.

Indonesia bukanlah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi lautan, tetapi
1)
lautan yang ditaburi pulau-pulau -Adrian Bernard Lapian

“Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti
yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa
pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga,
bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut
menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.” 2) Itulah penggalan pidato Presiden RI
pertama Soekarno pada tahun 1953. Masih sangat relevan untuk dijadikan pengingat jadi diri
bangsa bahwa kita adalah bangsa pelaut. Bukan sekedar untuk stempel sebagai bangsa pelaut,
Indonesia yang 70% dari luas wilayahnya adalah lautan benar-benar memiliki potensi dahsyat.
Bidang perikanan, baru kita sadari ternyata begitu besarnya potensi kita ketika suatu kali pasar
ikan dunia di Thailand tutup gara-gara moratorium kapal-kapal asing pencuri ikan. Kapal-kapal
maling itu kapok. Mereka tidak lagi bisa menyuplai pasar ikan itu. Selama berpuluh-puluh
tahun kita mengabaikan dan memunggungi laut, selama itu pulalah kita dikadali oleh kapal-
kapal asing pencuri ikan. Menurut audit BPK potensi pendapatan Negara dari perikanan laut
mencapai 365 trilyun per tahun. Yang masuk kas Negara hanya Rp 65 trilyun. Jadi sekitar Rp
300 trilyun hilang per tahun.

Lagi, bila garis pantai hampir seluruh pulau di Indonesia disambung-sambung secara
imaginer, maka muncullah angka sekitar 81.000 km, menjadikan Indonesia sebagai negara
yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Namun, ternyata kita masih
mengimpor garam. Baik untuk kebutuhan rumahtangga maupun untuk kebutuhan farmasi.

Lainnya? Cadangan minyak dan gas dari bawah laut yang melimpah, baru dimanfaatkan
10 persennya. Wisata bahari, energi kelautan, potensi obat-obatan baru dari dasar laut, dll
masih banyak yang bisa dimainkan untuk menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia.

Sebuah pertanyaan kritis. Sudah optimalkah pemanfaatannya? Jawabannya bisa dilihat


apakah masyarakat kepulauan sudah makmur atau belum. Rakyat sebagai pemilik sah negeri
ini, harus menjadi fokus utama geliat pembangunan termasuk pembangunan kemaritiman.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan kelas dunia dan peningkatan jumlah kapal untuk
menjamin konektivitas antar pulau, memang tetap harus dilakukan. Tapi semua itu hanyalah
tujuan antara. Tujuan akhirnya, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar
1945, adalah memajukan kesejahteraan umum, dalam hal ini adalah kesejahteraan manusianya.
Maka mengingat potensi maritime kita yang luar biasa itu, harusnya kita bertaruh, kalau
kesejahteraan sosial belum kunjung tiba maka berarti kita sedang salah mengelola negara.
Kalau kita tidak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya
bagi rakyat kepulauan, maka kita sedang salah dalam mengelola lautan.

“Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh
pelosok tanah air merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan….. Kita harus bekerja sekeras-
kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan
teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut,
memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan
semuanya sehingga Jalesveva

Jayamahe – di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu,
bisa kembali membahana”3) (Pidato Presiden Joko Widodo setelah dilantik menjadi Presiden
Republik Indonesia).
Pulau yang terpisah jauh dari sentra pembangunan ditambah dengan minimnya sarana
transportasi, informasi dan komunikasi, hanya membuat pulau ini menjadi pulau yang
tertinggal. Tertinggal dalam banyak hal termasuk pelayanan kesehatan. Pidato penguasa
tertinggi ini menyiratkan keberpihakan dan tekad yang lebih serius untuk memperhatikan setiap
rakyat (manusia) di seluruh pelosok tanah air termasuk di pulau-pulau terpencil.

Bagaimana dengan status kesehatan mereka? Berikut adalah beberapa kisah yang pernah
saya alami selama saya menjadi dokter umum di daerah terpencil

Yang pertama adalah seorang anak perempuan bernama JA. Umur 9 tahun. Ayahnya
membawanya ke Puskesmas dari desa lain dengan mendayung selama kurang lebih 6 jam. Ini
adalah kasus malaria pertama yang saya dapatkan. Selama pendidikan dokter saya tidak pernah
sekalipun bersentuhan dengan kasus malaria. Begitu dapat, maka langsung mendapatkan kasus
malaria cerebral. Pasien sudah dalam keadaan tidak sadar. Yang saya lakukan saat lakukan saat
itu adalah mencocokkan gejala dan tanda-tandanya dengan buku yang saya bawa dari
Surabaya. Tentu saja dengan bantuan dari teman-teman paramedik yang sudah sering kontak
dengan kasus ini. Tidak usah jaga gengsi kalau memang harus belajar dari mereka. Belajar bisa
dari siapa saja. Keterbatasan fasilitas yang membuat sulit penanganan adalah jarum infus yang
kami miliki ternyata adalah jarum yang berbahan dasar logam dengan ujung yang tajam. Pasien
tidak sadar dan sering kejang, sehingga sering terjadi ekstravasasi cairan. Sementara obat mesti
harus diberikan secara intravenous. Dukungan logistik yang tidak memadai sungguh bisa
sangat menyulitkan.

Kedua, AD, anak laki-laki berusia 4 tahun. Diagnosis: Tetanus generalisata. Sekali lagi
problem yang kami dapati saat itu adalah keterbatasan obat-obatan. Kami tidak punya ATS
yang pada saat itu masih menjadi salah satu obat yang harus diberikan. Dibutuhkan waktu dua
hari satu malam perjalanan non stop untuk bisa mendapatkan obat ini dari Ambon. Pesan
moralnya adalah orang yang gagal bersiap, hendaknya bersiap gagal.

Ketiga, Nn. Zah, 19 tahun. Pasien datang dengan gejala dan tanda yang sudah sangat
khas sebagai apendisitis akut. Membuat diagnosis apendisitis akut tidak selalu mudah. Ada
sekitar dua puluh diagnosis banding yang harus dipikirkan juga. Pada pasien ini, gejalanya
persis seperti buku teks. Problemnya adalah pasien ini menolak dirujuk. Besok pagi akan ada
kapal yang akan berlayar ke kecamatan sebelah yang selanjutnya bisa teruskan perjalanan ke
ibukota kabupaten. Kalau kesempatan ini tidak diambil maka bisa jadi horor di puskesmas
kami. Ternyata keluarga memang tidak membawanya ke rumahsakit. Klasik, soal dana. Kami
harus segera bersiap. Kami minta kiriman pisau bedah dan benang-benang dari Puskesmas
sebelah. Benar, sore harinya keluarganya datang ke puskesmas. Pasien dijemput dan
direncanakan operasi besok pagi. Satu hal yang sangat menolong, saya pernah melakukan
operasi apendektomi selama masa pendidikan dokter muda. Bimbingan gelap oleh salah satu
residen yang tidak kuasa menolak permintaan saya. Pernah melakukan. Saya sudah pernah
lakukan kok. Saya selalu mengucapkan kata-kata ini manakala kegalauan datang. Pasien kami
operasi dengan anestesi lokal....
Keempat, Tete Luang, laki-laki 76 tahun. Pasien dengan benign prostate hyperplasia dan
retensi urin. Dan koma. Keluarga pasien sedang melenggarakan ibadah penyerahan.
Maksudnya adalah mempersilahkan Tuhan untuk panggil beliau pulang. Upaya pemasangan
kateter yang dilakukan oleh paramedis beberapa hari sebelumnya gagal. Malam yang senyap,
tanpa suara tanpa kata selain doa. Di rumah yang beratap daun rumbia berdinding batang pohon
sagu ibadah itu diselenggarakan. Walau hanya diterangi oleh pelita minyak, nampak jelas raut-
raut wajah tak berdaya. Ibadah penyerahan selesai. Semua terdiam. Lalu semua mata mengarah
padaku. Menunggu. Ose mo biking apa Nyong? (Kamu mau bikin apa anak muda). Saya hanya
bisa tolah-toleh. Saya hanya bisa tolah-toleh, karena memang hanya itu yang bisa saya lakukan.
Lalu saya bilang, saya perlu besi sebesar ini. Saya acungkan jari kelingking saya. Bapak
Matatula, driver speed boat menjawab, paku bisa dok? Yesss....minta Kong Kia satu buah jua.
Di depan rumah pasien ada seorang pedagang yang sedang membuat kapal. Saya tahu persis
pakunya karena saya sering melihat-lihat pembangunan kapalnya. Terbuat dari baja dan
stainless. Tidak lama kemudian dibawanyalah paku itu. Cocok. Saya minta dipertajam dan
direbus dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah itu paku diberikan pada saya. Saya
pejamkan mata selama beberapa saat. Berdoa. Dan memastikan bahwa sekitar 3 tahun
sebelumnya, ketika sedang menjalani clerkship, saya sedang tidak mengalami halusinasi optik.
Saat itu saya menyaksikan seorang residen melakukan tindakan punksi buli-buli yang
kemudian saya ketahui nama tindakannya adalah troicard cystostomi. Saya coba mengingat-
ingat langkah-langkah yang dilakukannya. Buat incisi kecil seukuran diameter paku di atas
buli-buli. Dan, inilah bahasa orang-orang setempat mendeskripsikan apa yang saya lakukan
malam itu: Angtua tikang Tete Luang pung poro (Dokter menikam perut Tete Luang).

Kelima, Tete La Mani, laki-laki 65 th. Hernia inguinalis lateralis dextra incarcerata. Sungguh
beliau ini datang pada saat yang tidak tepat. Musim timur di Laut Banda sedang seru-serunya.
Tidak ada satupun kapal atau speed boat yang berani berlayar. Tinggi gelombang mencapai 3
meter dan ini membuat transportasi keluar masuk pulau putus. Dokter kami sudah musyawarah
dengan seluruh keluarga. Tidak apa-apa dokter, biar angtua mati sempurna dok. Kami ikhlas.
Begitu anak-anaknya menyampaikannya pada saya. Apa? Mati sempurna? Mati semurna itu
mati tanpa usaha? Mereka terkesima. Memangnya dokter mau bikin apa? Operasi, jawabku.
Dokter bisa? Jujur, saya menjawab, saya tidak pernah melakukan operasi ini. Tapi saya pernah
melihat. Mereka galau dihadapkan pilihan yang sulit ini. Kalau tidak dioperasi hampir pasti
meninggal. Kalau dioperasi mungkin bisa selamat, mungkin juga bisa meninggal di atas meja
operasi. Keluarga ternyata memilih pilihan kedua. Saya berikan penjelasan yang sejelas-
jelasnya tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi pada seluruh anggota keluarga. Saya
minta seluruh anggota keluarga membubuhkan tanda tangannya di atas lembar persetujuan
tindakan. Bola panas sekarang pindah ke tangan saya. Hanya bermodalkan melihat saya
membuat keputusan ini. Pikiran saya sederhana. Saya hanya mau potong jeratannya dan
masukkan lagi isi kantong yang terjerat. Jahit peritoneum, subkutis lalu kulit. Sudah. Tidak
usah kerjakan Bassini, karena saat itu saya tidak mampu mengimaginasikannya. Operasinya
ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Butuh waktu lima jam untuk menyelesaikan
operasi yang lazimnya bisa dikerjakan dalam waktu sekitar satu jam ini. Sekali lagi, dengan
anestesi lokal. Saya tidak membantah. Sadis memang. Karena, angtua operasi Tete La Mani
hidup-hidup. Begitu mereka bilang

Mengapa semua itu terjadi? Keterpencilan dengan segala efek turunannya hampir selalu
membuat orang enggan datang ke sana apalagi tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama.
Termasuk para dokter. Data pola sebaran dokter dan tenaga kesehatan lainnya di peta
Indonesia berbicara demikian. Bertugas dalam waktu yang cukup lama di daerah terpencil
mungkin tidak menguntungkan secara financial. Sementara begitu lulus, para dokter baru harus
mulai berpikir bagaimana mengembalikan investasi biaya sekolah kedokteran yang tidak
murah.

Minimnya infrastruktur kesehatan di pulau-pulau terpencil dengan logistik, fasilitas diagnostik


dan terapi yang terbatas adalah persoalan berikutnya. Seperti tentara yang kurang persenjataan,
dokter atau tenaga kesehatan bertugas di sana jadi sering tolah-toleh. Bagi masyarakat, sulit
dan mahalnya aksesibilitas ke rumahsakit manakala masyarakat membutuhkan pelayanan
kesehatan rujukan, membuat mereka pasrah tak berdaya. Belum lagi masih banyaknya
kabupaten yang rumahsakitnya yang belum memiliki dokter ahli dan fasilitas yang memadai.
Ketidakcukupan dana dan minimnya sarana transportasi adalah penyebab utamanya.

Semuanya ini membuat banyak kasus tidak terlayani dan akhirnya terlantar (neglected). Bisa
bikin gila kalau kondisi laut pas sedang bergelora. Keluarga hanya mempunyai dua pilihan,
mati di darat atau mati di laut. Kalau mati di darat, hanya pasiennya saja yang meninggal. Kalau
mati di laut, bisa satu keluarga yang mati. Begitulah cara mereka mengungkapkan rasa
ketidakberdayaannya. Sebuah realitas yang sunyi. Sebuah potret kesehatan di negara maritim
yang tidak kunjung ada solusi tuntas hingga saat ini.

Atas nama keadilan sosial, saya sangat berharap beberapa pengalaman seperti yang saya alami
janganlah terjadi lagi pada jaman sekarang. Apa yang saya alami itu adalah masa lalu yang
tidak boleh berulang lagi. Mengapa? Pelayanan kesehatan yang sangat substandard.
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil juga berhak atas pelayanan kesehatan yang lebih
baik. Mereka juga berhak atas pelayanan kesehatan yang layak selayaknya saudara-saudaranya
di kota-kota besar. Dan bukan sekedar selayaknya, tapi harus dengan standar yang setinggi-
tingginya. Kalau mereka semuanya selamat itu semua karena kemurahan Tuhan semata.
Dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf pada mereka semua. Mereka punya hak
untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik dari yang pernah kami berikan.

Saya meyakini bahwa para dokter adalah agen perubahan. Para dokter terutama dokter spesialis
pasti berani mengambil langkah patriotik. Berani bertugas di daerah-daerah terpencil. Biaya
pendidikan kedokteran apalagi pendidikan spesialisasi di Indonesia memang saat ini masih
harus ditanggung oleh peserta didik. Ini harus dicarikan solusinya secara makro ekonomi.
Keberanian pemerintah untuk meningkatkan persentase anggaran kesehatan bisa memberikan
ruang yang lebih longgar bagi pembiayaan di bidang kesehatan patut diapresiasi. Bersyukur
persentase anggaran untuk kesehatan sejak tahun 2016 ini sudah meningkat menjadi 5 persen
dari APBN. Pemerintah bisa lebih powerful untuk mengirimkan dokter spesiaslis melalui
Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) melalui Perpres No. 4 Tahun 2017 yang
ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2017 lalu. Pada 2017, ditargetkan
sebanyak 1.250 dokter spesialis akan melaksanakan WKDS.4)

Managemen semakin hari harus semakin transparan dan profesional. Problem utama pelayanan
kesehatan di daerah terpencil yaitu kecukupan fasilitas, alat dan obat-obatan harus bisa
terpenuhi dengan baik. Managemen harus mampu menjaga tim medis agar selalu fokus pada
pelayanan dengan selalu mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan. Managemen harus
mampu menyelenggarakan pelayanan rumahsakit yang modern. Rumahsakit yang selalu siap
memberikan pelayanan emergensi dengan baik. Produk layanannya harus bisa terukur dan bisa
diaudit. Juga mampu lakukan penanganan kasus yang melibatkan spesialis yang lebih spesifik,
lebih kompleks dan saling bergantung satu dengan yang lain. Kesemuanya ini diyakini bisa
mendorong pelayanan kesehatan menuju zero accident. Tidak mudah tapi bukan mustahil
untuk dicapai.5)

Khusus untuk daerah kepulauan, bersama TNI-AL dengan KRI Dr. Soeharso, Kelompok Dr.
Lie Dharmawan dengan Doctorshare, Alumni Unair dengan RS Terapung Ksatria Airlangga
telah melakukan pekerjaan pioneer. Kapal-kapal ini mampu memberikan pelayanan dokter
spesialis tanpa harus tergantung dari fasilitas kesehatan lokal. Sebagian besar kegiatan
pelayanan dilakukan di kapal termasuk kegiatan operasi. Model pelayanan seperti ini ternyata
bisa menjawab kebutuhan masyarakat di pulau-pulau terpencil. Sebagian besar kasus bisa
diselesaikan di pulau mereka. Yang perlu tindakan yang lebih cermat diselesaiakan di
rumahsakit pangkalan.

Sayangnya kapal rumahsakit ini jumlahnya terlalu sedikit. Jumlahnya sangat tidak memadai
dibandingkan dengan sebelas ribuan pulau berpenghuni yang tersebar di lautan luas di negeri
ini. Sungguhpun demikian, pelayaran dan pelayanan kesehatan yang paripurna untuk rakyat di
pulau-pulau terpencil harus tetap terus dilakukan. Kami tidak ingin kisah pilu seperti di bawah
ini terus berlanjut di negeri maritime ini:

Pulau Lirang 30 Mei 2009. Salah satu pulau di ujung barat selatan Propinsi Maluku yang
berbatasan dengan Timor Leste. Kami mendarat di sana dalam suatu pelayaran 54 hari di
pulaupulau terpencil dan perbatasan di wilayah Maluku. Tidak pernah ada dokter di pulau ini.
Fasilitas puskesmasnyapun tidak memadai. Perjalanan laut ke rumahsakit di ibukota kabupaten
di Pulau Moa membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Bagaimana kalau ada masyarakat yang sakit
yang membutuhkan rujukan? Mereka menjawab, pergi ke Pulau Kambing yang notabene
adalah wilayah Timor Leste. Di sana mereka diterima dan dilayani dengan sangat baik.

Pulau Lirang April 2016, sebuah ekspedisi kesehatan teman relawan lainnya ke pulau tersebut
melaporkan kisah yang sama. Masih sama. Rakyat tetap harus ke Timor Leste manakala
membutuhkan pelayanan kesehatan rujukan.6)
Ternyata dalam rentang waktu 7 tahun kita belum mampu menghadirkan perubahan di pulau
itu.

Bisa jadi ketika anaknya yang sedang setengah mati menghapalkan sila kelima Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, orangtuanya bilang begini, sudahlah nak.keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia itu hanya ada di buku paket PPKN. Keadilan sosial itu tidak akan
pernah sampai ke pulau kita.

Tentu saja masih banyak kisah pilu yang senada yang dialami oleh dokter-dokter pemberani di
sudut-sudut tersembunyi Indonesia. Bahkan mungkin ada peristiwa yang lebih horror lagi
didapati oleh dokter-dokter muda yang berjuang di ujung-ujung lain Indonesia. Tapi sudahlah.
Jangan diteruskan kebiasaan termehek-mehek. Sekarang saatnya bertindak. Untuk Indonesia
yang adil dan beradab, kita bawa cinta ini ke pulau mereka. Bersama para dokter jagoan itu,
kita selesaikan kasus-kasus rujukan tuntas di pulau mereka.. Orang muda, kamu kamu tidak
akan pernah bertarung sendirian. YOU WILL NEVER WALK ALONE.

For the glory of love,


DAFTAR PUSTAKA

1. http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/02/kilas-balik-maritim-nusantara

2. http://setkab.go.id/menuju-indonesia-sebagai-negara-poros-maritim/

3. http://setkab.go.id/pidato-presiden-joko-widodo-pada-pelantikan-presiden-dan-wakil-
presiden-republik-indonesia-di-gedung-mpr-senayan-jakarta-20-oktober-2014/

4. http://wkds.kemkes.go.id/web/kemenkes-butuh-900-dokter-spesialis

5. Djatmiko, Ario. Organisasi Pelayanan Kesehatan. Dalam Majalah Dokter. Ed 07/2017

6. Mereka Terpaksa Berobat ke Timor-Leste". Harian Kompas edisi 11 April 2016, di


halaman 1.
Penggunaan obat inotropik dan vasopresor di ruang gawat darurat
Kegawatdaruratan kardiovaskular merupakan masalah yang cukup sering dihadapi di
unit gawat darurat. Kegawatdaruratan dapat berupa hipotensi, gagal jantung atau syok.
Penatalaksaannya akan sangat tergantung pada patofisiologi penyebab keadaan tersebut dan
beberapa pilihan terapi meliputi pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor. Pemilihan dan
penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi dan bahkan dapat
memperburuk kondisi pasien, oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan mengenai obat-
obat inotropik dan vasopresor.

Berdasarkan definisi, obat inotropik adalah obat-obat yang dapat meningkatkan


kontraktilitas miokardium dan obat vasopresor adalah obat yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan tahanan vaskular. Beberapa obat dapat
memiliki lebih dari satu efek terhadap kontraktilitas miokard dan tahanan vaskular, misalnya
Milrinone merupakan sebuah inodilator yang memiliki efek meningkatkan kontraktilitas
miokard dan juga dapat menyebabkan vasodilatasi sehingga menurunkan tahanan vaskular.

Indikasi pemilihan obat-obatan inotropik dan vasopresor ditentukan berdasarkan


penilaian klinis masalah kardiovaskular pasien. Apabila berdasarkan pemeriksaan klinis
ditemukan tanda-tanda syok maka perlu dibedakan penyebab syok pada pasien sehingga
pemilihan terapi lebih tepat. Tabel berikut menjelaskan perbedaan parameter hemodinamik
untuk tiap jenis syok.
Berdasarkan parameter hemodinamik diatas maka penggunaan obat inotropik paling
rasional adalah pasien dengan penurunan curah jantung akibat gangguan kontraktilitas dan atau
laju denyut jantung, sedangkan penggunaan vasopresor lebih tepat untuk kondisi dengan
tahanan vaskular sistemik yang menurun.

Berikut ini adalah contoh algoritma pengambilan keputusan pada pasien dengan
masalah hipotensi
Obat-obat inotrop dan vasopresor dapat digolongkan sebagai berikut
A. Katekolamin

• Endogen : Dopamin, Noradrenalin

• Sintetik : Dobutamin
B. Non-katekolamin

• Vasopressin

• Phenylephrine

• Ephedrine

C. Penghambat fosfodiesterase III : Milrinone

D. Calcium sensitizer : Levosimendan

Masing-masing obat memiliki cara kerja yang berbeda tergantung pada reseptor yang
berikatan dengan obat tersebut. Dibawah ini adalah efek dari beberapa obat terhadap
reseptor-reseptor.
Pemilihan obat inotropik dan vasopresor selain mempertimbangkan indikasi dan
ketersediaan juga mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi akibat pemberian
obat tersebut.

Cara pemberian obat-obat inotropik dan vasopresor dapat dilihat pada tabel berikut

Rute pemberian obat yang memiliki efek vasopresor sedapat mungkin melalui akses
vena dalam atau vena sentral untuk menghindari efek samping kerusakan jaringan akibat
vasokonstriksi pembuluh darah apabila diberikan melalui vena perifer
DAFTAR PUSTAKA

1. Jentzer JC, Coons JC, Link CB, Schmidhofer M. Pharmacotherapy update on the use
of vasopressors and inotropes in the intensive care unit. Journal of cardiovascular
pharmacology and therapeutics. 2015 May;20(3):249-60.

2. Hall J, Schmidt G, Kress J. Principles of critical care. McGraw Hill Professional; 2015.

3. Vincent JL, Abraham E, Kochanek P, Moore FA, Fink MP. Textbook of Critical Care.
Elsevier Health Sciences; 2017.

4. Wiener-Kronish JP, Bagchi A, Charnin JE, Cobb JP, Eikermann M, Quraishi SA,
editors. Critical care handbook of the Massachusetts General Hospital. Lippincott
Williams & Wilkins; 2016.
LUKA BAKAR
Fase awal Tatalaksana luka bakar

ABTRAK

Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh zat panas bisa berupa zat cair, padat
maupun gas yang menyebabkan kerusakan pada kulit dan jaringan di bawahnya. Pada Luka
bakar yang luas biasanya diikuti terjadinya SIRS(systemic Inflammatory Response Syndrome,
yang bila tidak dikelola dengan baik sejak awal dapat berakibat pada terjadinya Multi-System
Organ Dysfunction Syndrome, yang bisa berakhir dengan kematian. Problem pada luka bakar
fase awal adalah terjadinya hipovolemik intravaskuler, hipoksia (terutama pada luka bakar
saluran nafas / trauma inhalasi dan hipotermi, yang memerlukan tatalaksana yang baik sejak
awal. Tata laksana awal pada fae awal luka bakar sangat menentukan prognosis survival fase
fase selanjutnya, sehingga perlu pemahaman yang lebih baik tentang tata laksana penanganan
luka bakar fase awal.

Pendahuluan

Luka bakar adalah suatu jenis trauma yang mengakibatkan penderitaan yang luar biasa
bagi penderitanya. Pada luka bakar yang berat terjadi kerusakan dan perubahan berbagai sistem
tubuh, sehingga masalah yang harus dihadapi menjadi sangat kompleks. Kelainan yang timbul
melibatkan banyak organ yang kadangkala sulit untuk dipantau dan diramalkan. Luka bakar
mempunyai dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak
terjadi pada luka operasi . Kalau luka operasi umumnya dirawat di rumah sakit sekitar 1
minggu sampai 1 bulan maka luka bakar berat dirawat sekitar 1 sampai 6 bulan. Hal ini karena
pada luka bakar berat mudahnya terjadi komplikasi berupa infeksi, gagal ginjal, gagal nafas,
dan sering terjadi gagal multi organ yang berakibat kematian . Dari uraian diatas maka luka
bakar harus dirawat secara terpadu dan dimonitor secara ketat dari beberapa disiplin ilmu, di
tempat yang mempunyai fasiltas tempat perawatan yang memadai serta memiliki laboratorium,
kamar operasi , dan sumber daya manusia yang kemampuan dan jumlahnya juga mencukupi.

Epidemiologi

Statistik menunjukkan bahwa 60% luka bakar terjadi karena kecelakaan rumah tangga,
20% kecelakaan kerja dan sisanya 20% karena sebab lainnya, misalnya bus terbakar, bom,
gunung meletus.

sampai saat ini angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Di Amerika
dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian
sekitar 5–6 ribu kematian/tahun. Di Indonesia sampai saat ini belum ada

laporan resmi yang tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah
angka kematian pasien luka bakar. Di RSUP .Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada
tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian
37,38%. Di Unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya jumlah kasus yang dirawat
selama satu tahun (Januari 2000 sampai Desember 2000) sebanyak 106 kasus atau 48,4%
dari seluruh penderita bedah plastic dengan jumlah kematian sebanyak 28 penderita atau
sekitar 26,41% , Kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50%
atau pada luka bakar yang disertai cedera pada saluran napas dan 50% terjadi pada 7 hari
pertama perawatan

(data dari Burn unit RSU Dr. Soetomo).

Pathof isiologi

Luka bakar menyebabkan kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya.kerusakan jaringan


ini akan menyebabkan reaksi inflamasi yang dapat terlokalisir maupun sistemik.
luka bakar dibedakan dalam 3 fase yaitu fase akut, subakut dan fase lanjut. Problem
dan tatalaksana masing masing fase berbeda dan memerlukan penanganan yang beragam
tergantung problem yang timbul.

1. Fase akut/fase syok/fase awal.


Fase akut dimulai dari saat kejadian sampai fase inflamasi akut selesai( biasanya sekitar
5 hari pertama) pada fase ini penderita mendapat perawatan di IRD/Unit luka bakar. Pada
fase ini penderita luka. bakar, seperti penderita trauma lainnya, akan mengalami ancaman
gangguan airway (jalan napas), breathing (mekanisme bernafas) dan gangguan circulation
(sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setetah
terjadi trauma, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran napas akibat cedera inhalasi
dalam 48–72 jam pascatrauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian utama
penderita pada fase akut. Pada fase ini dapat terjadi juga gangguan keseimbangan
sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik.
Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik
yang masih berhubungan akibat problem instabilitas sirkulasi.

2. Fase subakut
Fase ini berlangsung setelah fase akut selesai, dimana semua problem pada fase akut sudah
tertangani, atau dapat teratasi.
Problem yang ditemukan pada fase ini ada beberapa yaitu:
a. proses inflamasi yang memanjang
b. infeksi
b. problem penutupan luka
c. keadaan hipermetabolisme
3. Fase lanjut
Pada fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui
rawat jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan gangguan psikologis /sosial.
Derajat kedalaman Luka Bakar

kerusakan jaringan tubuh akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber, dan
lamanya kontak dengan tubuh penderita. Dahulu Dupuytren membagi atas 6 tingkat, sekarang
lebih praktis hanya dibagi 3 tingkat/derajat, yaitu sebagai berikut:

1. Luka bakar derajat I:


Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial), kulit
hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena
ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara
spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, terjadi reaksi inflamasi disertai
melebarnya permeabilitas kapiler pembuluh darah sehingga terjadi ektravasasi plasma dan
elektrolit dari inta vaskuler ke ekstra vaskuler dan lepasnya epidermis dapi lapisan dermis
sehingga. Terbentu bullae, terdapat rasa nyeri bila ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

Dibedakan atas 2 (dua) bagian

A. Derajat II dangkal/superficial (IIA)

Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis. Organ-
organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea masih banyak.
Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam
waktu 10–14 hari tanpa terbentuk cicatrik.

B. Derajat II dalam/deep (IIB)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa jaringan epitel
tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea
tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi.Biasanya
penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

3. Luka bakar derajat III

Kerusakan meliputi seluruh tebal kult dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai
jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisa
elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih
pucat sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis
yang dikenal sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-
ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

LUAS LUKA BAKAR

Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9 terkenal dengan
nama Rule of Nine atau Rule of Wallace

Kepala dan leher  9%


Lengan  18%
Badan depan  18%
Badan belakang  18%
Tungkai  36%
Genitalia/perineum  1%
Total  100%

Pada anak-anak dipakai modifikasi Rule of Nine menurut Lund and Browder

KRITERIA KEPARAHAN

(American Burn Association)


1. Luka bakar ringan
– luka bakar derajat II < 15%
– luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
– luka bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang
– luka bakar derajat II 15–25% pada orang dewasa
– luka bakar derajat II 10–20% pada anak-anak
– luka bakar derajat III < 10%
3. Luka bakar berat
– luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
– luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
– luka bakar derajat III 10% atau lebih
– luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan
genitalia/perineum.
– luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.
PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR FASE AKUT

Pada penanganan penderita dengan trauma luka bakar, seperti pada penderita trauma-
trauma lainnya harus ditangani secara teliti dan sistematik

I. Evaluasi Pertama (Triage)

A. Airway, sirkulasi, ventilasi

Prioritas pertama penderita luka bakar yang harus dipertahankan meliputi airway,
ventilasi dan perfusi sistemik. Kalau diperlukan segera lakukan intubasi endotrakeal,
pemasangan infus untuk mempertahankan volume sirkulasi

B. Pemeriksaan fisik keseluruhan

Pada pemeriksaan penderita diwajibkan memakai sarung tangan yang steril,


bebaskan penderita dari baju yang terbakar, penderita luka bakar dapat pula mengalami
trauma lain misalnya bersamaan dengan trauma kapitis, trauma toraks atau mengalami trauma
abdomen dengan adanya internal bleeding atau mengalami patah tulang punggung/spine.

C. Anamnesis

Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak
dalam ruang tertutup sehingga kecurigaan adanya trauma inhalasi yang dapat menimbulkan
obstruksi jalan napas. Kapan kejadiannya terjadi, serta ditanyakan penyakit-penyakit yang
pernah dialami sebelumnya.

D. Pemeriksaan luka bakar

Luka bakar diperiksa apakah terjadi luka bakar berat, luka bakar sedang atau ringan.

1. Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka
bakarnya.

2. Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman).

II. Penanganan di Ruang Emergency

1. Diwajibkan memakai sarung tangan steril bila melakukan pemeriksaan penderita.

2. Bebaskan pakaian yang terbakar.

3. Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk memastikan adanya


trauma lain yang menyertai.

4. Bebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distres jalan napas dapat dipasang
endotracheal tube. Tracheostomy hanya bila ada indikasi untuk anak-anak di atas 2 tahun
dan 1cc/kg/jam untuk anak di bawah 2 tahun.
6. Dilakukan pemasangan Foley kateter untuk memonitor jumlah urine produksi. Dicatat
jumlah urine/jam.

7. Dilakukan pemasangan nasogastrik tube untuk gastrik dekompresi dengan intermitten


pengisapan.

8. Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena dan jangan diberikan
secara intramuskuler.

9. Timbang berat badan.

10. Diberikan tetanus toksoid bila diperlukan. Pemberian tetanus toksoid booster bila
penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir.

11. Pencucian luka di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum. Luka dicuci,
debridement dan didesinfeksi dengan savlon 1 : 30. Setelah bersih tutup dengan tulle
kemudian olesi dengan topical Silver Sulfa Diazine (SSD) sampai tebal. Rawat tertutup
dengan kasa steril yang tebal. Pada hari ke-5 kasa dibuka dan penderita dimandikan
dengan air dicampur Savlon 1 : 30.

. 12. Eskarotomi dan Fasiotomi/insisi relaksasi dilakukan pada penderita luka bakar
derajat II dalam dan derajat III pada tangan, leher dan penis. Tindakan ini dilakukan sebelum
terjadi ketegangan pada daerah luka bakarnya.

RESUSITASI CAIRAN

BAXTER formula

Hari pertama

Dewasa : Ringer Laktat 4 cc × berat badan × % luas luka bakar per

24 jam

Anak : Ringer Laktat: 2 cc × berat badan ×% luas luka bakar ditambah kebutuhan faali

Kebutuhan Faali:

< 1 tahun : berat badan × 100 cc

1–3 tahun : berat badan × 75 cc

3–5 tahun : berat badan × 50 cc

½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama

½ diberikan 16 jam berikutnya


Kebutuhan Faali:

< 1 tahun : berat badan × 100 cc

1–3 tahun : berat badan × 75 cc

3–5 tahun : berat badan × 50 cc

½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama

½ diberikan 16 jam berikutnya

PENANGANAN PERNAPASAN

Trauma inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angka
kematian. Kematian akibat trauma inhalasi dapat terjadi dalam waktu singkat 8 sampai 24 jam
pertama kejadian luka bakar.

Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bilamana luka bakar mengenai daerah
muka/wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas, asap atau uap panas
yang terhisap. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan napas
karena terjadi edema laring.

Trauma panas langsung adalah terhirupnya sesuatu yang sangat panas, produk-produk
yang tidak sempurna dari bahan yang terbakar seperti bahan jelaga dan bahan khusus yang
menyebabkan kerusakan dari mukosa langsung pada percabangan trakheobronkhial.

Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan materi
yang diproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti hidrogen
sianida, nitrogen oksida, hidrogen klorida, akreolin dan partikel-partikel tersuspensi. Efek akut
dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan bronkokonstriksi pada saluran napas. Obstruksi
jalan napas akan menjadi lebih hebat akibat adana tracheal bronchitis dan edem.

Efek intoksikasi karbon monoksida (CO) mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan.


Karbon monooksida (CO) memiliki afinitas yang cukup kuat terhadap pengikatan
hemoglobin dengan kemampuan 210–240 kali lebih kuat dibanding kemampuan O2. Jadi
CO akan memisahkan O2 dari Hb sehingga mengakibatkan hipoksia jaringan.

MONITORING PENDERITA LUKA BAKAR FASE AKUT

Monitoring penderita luka bakar harus diikuti secara cermat. Pemeriksaan fisik meliputi
inspeksi, penderita palpasi, perkusi dan auskultasi adalah prosedur yang harus dilakukan pada
perawatan penderita. Pemeriksaan laboratoris untuk monitoring juga dilakukan untuk
mengikuti perkembangan keadaan penderita. Monitoring penderita kita bagi dalam 3 situasi
yaitu pada saat di triage, selama resusitasi (0–72 jam pertama) dan post resusitasi.
I. TRIAGE–INSTALASI GAWAT DARURAT

A. A–B–C: Pada waktu penderita datang di rumah sakit, harus dinilai dan dilakukan segera
diatasi adakah problem airway, breathing, sirkulasi yang segera diatasi life saving. Penderita
luka bakar dapat pula mengalami trauma lain, misalnya sama dengan trauma kapitis,
perdarahan atau trauma toraks atau mengalami pneumotoraks.

B. VITAL SIGN: Monitoring dan pencatatan tekanan darah, repsirasi, nadi, rektal temperatur.
Monitoring jantung terutama pada penderita karena trauma listrik, dapat terjadi aritmia atau
pun sampai terjadi cardiac arrest.

C. URINE OUTPUT: dilakukan pemasangan foley kateter. Urine produksi diukur dan dicatat
tiap jam. Observasi urine diperiksa warna urine terutama pada penderita luka bakar derajat III
atau akibat trauma listrik,apabila terdapat myoglobin, hemoglobin dalam urine
menunjukkan adanya kerusakan yang hebat.

II. MONITORING DALAM FASE RESUSITASI (sampai 72 jam)

1. Mengukur urine produksi. Urine produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup
adekuat/tidak. Pada orang dewasa jumlah urine 30–50 cc urine/jam.

2. Berat jenis urine. Pascatrauma luka bakar berat jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan
ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Bilamana berat jenis meningkat
berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urine.

3. Vital sign

4. pH darah

5. Perfusi perifer

6. Laboratorium

• Darah lengkap

• .serum elektrolit

• liver function test

• . renal function test

• . total protein/albumin

• pemeriksaan lain sesuai indikasi

7. Penilaian keadaan paru

Pemeriksaan kondisi paru perlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya
perubahan yang terjadi antara lain stridor, bronkhospam, adanya sekret, wheezing, atau
dispnae merupakan adanya impending obstruksi
8. Penilaian gastrointestinal

Monitoring gastrointestinal setiap 2–4 jam dengan melakukan auskultasi untuk


mengetahui bising usus dan pemeriksaan sekresilambung. Adanya darah dan pH kurang
dari 5 merupakan tanda adanya Culing’s Ulcer.

9. Penilaian luka bakarnya

Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau
ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan
5 hari kemudian.

Luka Bakar yang Perlu Perawatan Khusus

1. Luka Bakar Listrik

2. Luka Bakar dengan Trauma Inhalasi

3. Luka Bakar Bahan Kimia

4. Luka Bakar dengan Kehamilan

KESIMPULAN

Luka bakar derajat sedang dan berat merupakan kondisi yang memerlukan
penatalaksanaan yang cermat dan memerlukan biaya yang cukup banyak serta angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi,karena beberapa faktor yang sangat komplek, antara lain
faktor penderita, faktor pelayanan petugas, faktor fasilitas pelayanan dan faktor cederanya.
Untuk penanganan luka bakar perlu diketahui fase luka bakar, penyebab luka bakar, derajat
kedalaman luka bakar, luas luka bakar. Penanganan luka bakar seperti penanganan trauma
yang lain harus ditangani secara teliti dan sistematik. Penatalaksanaan sejak awal harus sebaik-
baiknya karena pertolongan pertama kali sangat menentukan perjalanan penyakit ini
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arturson G, 1996. Mechanism of Injury. In: Settle John, editor. Burns Management. New
York: Churchill Livingstone. 61-81.
2. Babu M, Shanmuganathan and Prabhu BK, 2010 Wound healing in burn ,in Sarabahi S
Ed. Principles and Practice of Burn Care. JAYPEE. New Delhi : 51 - 67
3. Barret A.M. 1996. Prognosis of burn injury In: Settle John, editor. Burns
4. Briggs Susan E, 1999. First Aid, Transportation, and Immediate Acute Care of Thermal
Injuries. In: Martyn J.A.J, editor. Acute Management of the Burned Patient.
Philadhelphia: W.B. Saunders Company. 1-11.
5. Berrak CY and Cakir B, 2004. Systemic responses to burn injury.2004. Turk J Med Sci,
34 : 215 -226.
6. Cinat M E, Smith MM.2006. Acute burn management in Sood R (Ed) Burn Surgery
recontruction and rehabilitation. 1 eds.Saunders Philadelphia. 50-76.
7. Demling Robert H, 1990 .Pathophysiological Changes after Cutaneous Burns and
Approach to Initial Resuscitation. In: Martyn J.A.J, editor. Acute Management of the
Burned Patient. Philadhelphia: W.B. Saunders Company. 12-23.
8. Gore MA ,2010. Initial Evaluation and Resuscitation of burn patient, in Sarabahi S Ed.
:Principles and Practice of Burn Care. JAYPEE. New Delhi. 101-126
9. Herndon D, 2002. total burn care.2nd ed.London:WB Saunders.
10. Klein, M.B,.1997. Thermal,chemical,and electrical injuries In: Grabb and Smith’s
Plastic Surgery. 5th ed. Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins.132-148
11. Kucan John. 1994. Thermal Burns: Resuscitation and Initial Management. In: Cohen
M, editor. Mastery of Plastic and Reconstructive Surgery. Boston: Little, Brown and
Company. 396-406.
12. Lawrence John C. 1996. Burns and Scalds: Aetiology and Prevention. In: Settle John,
editor. Burns Management. New York: Churchill Livingstone. 3-25.
13. Marzoeki D,2006. Overview luka bakar .in Noer MS (eds) Penanganan luka bakar,
Airlangga University Press,Surabaya.1-2.
14. Moenadjat Y, 2001. Luka bakar, Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta .Fakultas
Kedaokteran Universitas Iindonesia: 1-24.
15. Noer MS,2006. Penanganan luka bakar akut .in Noer MS (eds) Penanganan luka bakar,
Airlangga University Press,Surabaya. 3-25.
16. Press Barry, 1997. Thermal, Electrical, and Chemical Injuries. In Aston SJ, Beasley
RW, Thorne CHM, editors. Grabb and Smith’s Plastic Surgery. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott-Raven. 161-89.
17. Vartak A, 2010.Pathophysiology of burn,in Sarabahi S Ed. :Principles and Practice of
Burn Care. JAYPEE. New Delhi. 42-50
18. Young, D.M.2006. Burn and Electrical Injury. In Mathes (eds) Plastic Surgery 2nd
edition, Philadelphia. 830- 853
19. David G. Greenhalgh, MD,2007,Burn resuscitation, FACS Journal of Burn Care &
Research July/August .
20. Evers, L. H., Bhavsar, D. and Mailänder, P., 2010, The biology of burn injury.
Experimental Dermatology, 19: 777–783.
21. F.X Santos,C Arroyo,I Garcıá ,R Blasco,J.M Obispo, C Hamann,L Espejo,2000,Role of
mast cells in the pathogenesis of postburn inflammatory response: reactive oxygen
species as mast cell stimulators Burns,March,( Vol 26:2:145-147).
22. Jordan BS, Harrington DT,1997: Management of the burn wound. Nurs Clin North Am
32:251-273.
Manajemen Penderita dengan keluhan Nyeri Dada di UGD
Budi Baktijasa D

Departemen /SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr Soetomo

Surabaya

Pendahuluan.

Penyakit Jantung iskemik merupakan penyebab tersering kematian di dunia. Di Eropa


penyakit jantung Iskemik menyebabkan kematian 1,8 juta pertahun atau 20% dari semua
kematian dalm 1 tahun. Sedangkan di Amerika didapatkan data STEMI ( ST Elevation
Myocardial Infarction ) menyebabjan kematian di rumahsakit 5-6%, sedangkan dalam 1 tahun
laju kematian (mortality rates) 7-18 %. Salah satu factor yang mempengaruhi keberhasilan
penanganan penderita dengan penyakit jantung iskemik adalah kecepatan diagnostik adanya
Penyakit jantung Iskemik, dalam hal ini Sindroma Koroner Akut (SKA) dan penanganan yang
tepat.

SKA merupakan salah satu spectrum Penyakit jantung Iskemik yang terdiri dari
STEMI (ST Elevation Miocardial Infarction), NSTEMI (Non ST Elevation Myocardial
Infarction) dan UA ( Unstable Angina) Keluhan utama SKA adalah nyeri dada yang khas
angina. Tetapi tidak semua nyeri dada disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, karena itu
dalam makalah ini dibahas mengenai Manajemen Pasien nyeri dada yang datang di UGD.

Diagnosis :

Telah disebutkan diatas , keluhan utama SKA adalah nyeri dada yang khas angina ,
dengan ciri sebagai berikut :

o Nyeri dada retrosternal, lebih dari 20 menit

o Terasa seperti tertekan benda berat, di remas, atau panas tidak dapat ditunjuk
lokasi nyerinya dengan tepat

o Nyeri biasanya menjalar ke lengan kiri , atau ke leher/rahang, kepunggung , atau


ke perut

o Nyeri terjadi baru pertama kali, atau nyeri yang bertambah berat dan bertambah
sering, atau nyeri yang terjadi Pasca Infark (2 minggu setelah serangan jantung,
Infark Miokard Akut)

Tetapi sebagian penderita SKA keluhannya tidak khas, seperti sesak nafas, mual, keringat
dingin atau pingsan . Halini tergantung beberapa factor antara lain penderita dengan DM<
wanita atau nusia lanjut. Disamping itu tidak semua nyeri dada karena penyakit jantung
iskemik misalnya ;

• Kelainan kardiovaskular lain; Pericarditis, Aorta diseksi

• Kelainan pada paru ; pleuritic, pneumonia, emboli paru, pneumothorax

• Kelainan dinding dada; fracture costa, Costo chondritis

• Nyeridada psikogenik.

Karena itu mendiagnosis SKA dari anamnesis nyeri dada saja tidak cukup. Perlu pemeriksaan
penunjang yaitu EKG dan Biomarker

EKG

Merupakan pemeriksaan penunjang yang penting dalam menegakkan diagnosis SKA,


Gambaran EKG bisa, berupa ST elevasi, ST depresi dan atau T inversi , atau normal.

ST elevasi : kriteria ST elevasi adalah kenaikan ST segmen pada 2 lead yg berpasangan


paling sedikit 2,5mm pada laki-laki usia kurang dari 40tahun atau ≥2 mm pada usia lebih dari
40 tahun. Pada wnita kriterianya adalah ST elevasi≥ 1,5 mm di lead V2-V3 dan atau ST elevasi
≥1mm dilead lainnya

ST depresi dan atau T invversi : St depresi ≥0,5 mm dan atau T inversi ≥1 mm paling
sedikit 2 lead yang berpasangan menunjukkan adanya NSTEMI atau UA tergantung kenaikan
Biomarker

Biomarker
Peningkatan kadar Biomaeker Jantung didalam peredaran darah menunjukkan nekrosis
miokard. Pemeriksaan penuinjang ini diperlukan untuk membedakan antara UA dan NSTEMI.
Pada NSTEMI terjadi nekrosis miokard sehingga kadar biomarker meningkat, sedangkan pada
UA tidak terjadi nekrosis, kadar biomarker normal.

Biomarker yang sering dipakai adalah CKMB dan C Troponin. CKMB kadarnya mulai
meningkat 3-12 jam selah trjadi nekrosis miokard, mencapai puncak setelah 18-36 jam, dan
menurun setelah 48 jam. Sedangkan cTroponin kadarnya meningkat 3-12 jam, mencapai
puncak setelah 24 jam dan kadarnya baru turun setelah 10-14 hari. Karena itu jika seorang
penderita nyeri dada khas angina, kadar CKMB turun mendekati normal tetapi cTroponin
masih tinggi dapat diperkirakan jika Infarknya lebih dari 48 jam.
Gambar 1: algoritma diagnosis Sindroma Koroner Akut

Untuk diagnosis STEMI pemeriksaan bio marker tidak diperlukan, karena dianggap
nekrosis sudah terjadi, sehingga diperlukan revaskularisasi segera.

Manajemen :

Untuk manajemean cepatn Sindroma coroner akut di UGD yang paling penting adalah
menegakkan diagnosis dengan tepat dan cepat. Anamnesis mengenai nyeri dada, berupa sifat
nyerinya, lokasi nyeri, kapan mulaiterjadi dan durasi nyerimharus dilakukan dengan cepat dan
teliti . sambil dilakukan pemeriksaan fisik, untuk mengetahui apakah pasien dalam kondisi
hemodinamik stabil atau tidak dilakukan pemeriksaan EKG. Pemeriksaan EKG harus selesai
dilakukan dalam waktu 10 menit sejak penderita masuk ke UGD.

Semua penderita dengan diagnosis SKA harus diberikan Oksigen 4-6 liter/menit jika
Sa O2 ,<90% atau PaO2 < 60%, morfin intra vena secara titrasi mungkin diperlukan utk
mengurangi nyeri jika dengan Nitrat keluhan masih ada. Nitrat intravena lbih efektif
dibandingkan pemberian tablet sub lingual. Pemberian nitrat harus memperhatikan kondisi
hemodinamik penderita . Nitrat berguna untuk mengurangi simtom terutama jika disertai
hipertensi dan tanda2 edema paru. Nitrat tidak boleh diberikan jika terjadi hipotensi, atau
kecurigaan Infark ventrikel kanan.

Dual Anti platelet juga diberikan segera , yaitu ASA 300mg di kunyah dan obat P2Y12
inhibitor harus diberikan segera bisa Copidogrel 300-600 mg sebagai bolus diikuti dosis
maintenance 75 mg/hari atau ticagrelor 180 mg, dengan dosis maintenance 2x90 mg/hari.

Beta blocker harus diberikan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya aritmia fatal
pasca SKA, tetapi jika didapatkan AV block derajad 2 atau 3 atau didapatkan edema paru ,
keadaan ini merupakan kontra indikasi pemberian beta bloker.

Statin dengan intesitas tinggi dengan target LDL cholesterol l< 70mg/dl atau paling
sedikit menurunkan 50% kadar LDL awal harus diberikan sedini mungkin. Statin yang
dianjurkan atorvastatin 40-80 mg /hari atau rosuvastatin 20-40 mg/hari.

ACE inhibitor direkomendasikan pemberiannya dalam 24 jam pada pasien STEMI


terutama jika didapatkan LV dysfunction, atau tanda gagal jantung, DM san hipertens dapat
diberikan sebagai alternative jika ACE inhibitor tidak dapat diberikan
Dari diagram diatas sudah jelas bahwa penderita STEMI harus dilakukan
revaskularisasi segera, baik secara Thrombolitik dengan Streptokinase atau alteptlase atau
dilakukan Primary PCI. Tergantung apakah penderita dating ditempat yang mampu melakukan
primary PCI atau tidak.

Jika penderita dating ditempat yg mampu melakukan Primary PCI, maka modalitas ini
adalah pilihan utama , target waktunya adalah ,60 menit dari penderita dating ke UGD sampai
wire crossing. Jika penderita dating ditempat yang tidak mempunyai kemampuan melakukan
Primary PCI maka harus dirujuk ke tempat dimana Primary PCI dapat dilakukan, target waktu
nya adalah<120 menit. Jika diperkirakan waktu utk merujuk>120 menit maka pilihannya
adalah thrombolitik. Dan waktunya diharapkan < 10 menit sejak diagnosis STEMI ditegakkan.
Jika thombolitik berhasil maka masih perlu dirujuk utk evaluasi dengan angiografi. Kalua perlu
dilakukan PCI jika ada stenosis ya.ng bermakna ( >60 %). Jika thrombolitik gagal maka dirujuk
untuk Rescue PCI, dalam waktu n120 menit.

Untuk NSTEMI/ UA penanganannya tergantung dari stratifikasi risikonya. Jika risiko


sangat tinggi (Very High Risk) harus dilakukan evaluasi anguografi segera < 2 jam. Jika High
Risk atau Intermediate Risk dilakukan early Invasive Strategy, penderita dilakukan Angio
grafi, jika ada lesi significant dilakukan PCI. Jika penderita low risk maka dilakukan
manajemen konservatif, dengan obat-obatan. Sebelum pulang dilakukan pemeriksaan stress
test untuk mengetahui residual iskemia. Jika ada maka dilakukan evaluasi angiografi kalau
perlu dilakukan PCI. (lihat lampiran)

Ringkasan :
Penderita dengan nyeri dada yang dating ke UGD memerlukan pemeriksaan yang cepat
dan tepat untuk mendiagnosis SKA atau bukan SKA.

Pemeriksaan dimulai dengan anamnesis nyeri dada, pemeriksaan fisik , EKG dan Bio
marker . Dalam 10 menit pertama harus sudah dilakukan pemeriksaan EKG untuk menentukan
apakah diagnosis penderita STEMi< NSTEMI atau UA atau nonCardiac Chest pain.

Terapi STEMI yang adalah revaskularisasi segera baik dengan Thrombolitik, atau
Primary PCI untuk membatasi luasnya kerusakan miokard. Dengan pilihan utama adalah
primary PCI.

Untuk NSTEMI/UA penanganan tergantung stratifikasi risiko, jika termasuk Very High
Risk harus segera dilakukan angiografi dan atau PCI , kalau high risk atau intermediate risk
juga dilakukan angiografi kalau perlu dilakukan PCI dalam waktu24-72 jam. Jika Low Risk
maka dilakukan manajemen konservatif dan evaluasi stress test sebelum keluar rumah sakit
Daftar Pustaka

1. Durand E, Chaib A , Danchin N. Chest pain and chest pain unit. In The ESC Texbook
of Acute Cardiac Care. Tubaro M, Danchin N, Filipatos G. eds Oxford University Press
New York 2011; p 39-49
2. O’GaraPT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACC/AHA guidelines for the
Management of ST elevation Myocardial infarction.Circulation 2013; 127: 00-00
3. Ibanez B, James S, Agewell S, et al. 2017 ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting ST segment Elevation. European Heart
Journal 201777; 00: 1-66
4. Roffi M, Patrono C, Collet JP, et al. 2015 ESC Guidelines for the management of acute
coronary syndromes in patients presenting without persistent ST segment elevation.
European Heart Journal 2016;37: 267-315
Lampiran 1

Stratifikasi risiko NSTE ACS


Lampiran 2

Management NST ACS

,
Lampiran 3
Emergency in Sport Medicine
Andre Triadi Desnantyo
OBJECTIVES

After completing this article, readers should be able to:

1. Describe the steps for assessing emergency situation in athlete.


2. List the requirements for clearing an athlete to return to play.
3. Describe the procedure for handling a suspected cervical injury.
4. Describe the procedure for handling neulogical deficit
5. Describe the procedure for handling sudden cardiac arrest

Introduction

• Concussions, fractures, spinal cord injury, asthma attack, sudden cardiac death and
other emergency situations in sport, must all be dealt rapidly but effectively by a health
professional. Estimated 4% of sport related deaths in the US in 2013 were youth athletes under
the age of 17.
• The first person on the sport field (first responder) will take a charge of the
management, so time is limited and such of preparation is crucial. Decisions can affect lives,
future careers and often impact the outcome of the sporting event itself. Emergency Action
Plans (EAP) provide guidelines and templates for documentation of emergency planning to
help prepare individuals for a catastrophic injury situation within sports. The EAP should be
reviewed at least once per year with all sport personnel along with CPR and first aid refresher
training. The development and implementation of an EAP helps ensure the best care is provided
in the event of an emergency. The EAP should be specific to each venue for managing serious
and/ or potentially life-threatening injuries.
Healthcare professionals who will provide medical coverage during games, practices, or other
events should be included. Health care professionals have a knowledge of most common and
life-threatening situations in sport, able to identify these situations, manage these situations
appropriately, know what research, evidence and guidelines are available for these
management strategies.

Management on the Field


Limitation of resources can cause difficulties to manage all kind of emergency cases or
impending terrible complication of sport activity. Those kind of limitations are medical record
of athlete, proper medical kit, trained person, transportation support, good communication skill,
standard referral medical facility and good coordination. Emergency in sports activities can
occur from trauma, medical problems, and environment. Type of injury can depends on the
location and level of the event, so proper preparation will be needed.
It is important to consider both medical and surgical problems when an athlete
collapses. The potential problems is very wide ranging, from musculoskeletal trauma, severe
head injury, asthma attack, to cardiovascular event. The quick assessment always begin with
a primary survey, before moving the patient on the field. Primary survey adopt an ABCDE
approach: Airway and C-spine control, Breathing, Circulation, Disability, and Exposure and
Environment. The purpose of the survey is to identify promptly life-, limb-, or organ-
threatening injuries that need immediate attention. Next step is secondary survey which is
careful head-to-toe examination includes detailed examination of any system or joint of
specific concern.. In the sport field, most musculoskeletal trauma should be treated temporarily
with do RICE- no HARM principal, such as Rest, Ice, Compression, and Elevation (RICE).
Avoid Heat, Alcohol consumption, Running (stop activity) and Massage. Splint sometimes
need to apply, depending on mechanism of injury. Any suspicion of fracture, dislocation or
soft tissue injury (ligament, muscle, tendon, neurovascular) should be referred to the hospital.
Realignment or reduction of joint dislocation or fracture with any neurovascular compromise
has to done by well trained clinician. In first minute after trauma, sedation may not be required.
First reduction for joint dislocation only apply for once. If unsuccessful, immediate referral
for assessment and treatment is appropriate.

The sports medicine physician has responsibility to manage any kind of injury that
might happen to the athlete. First option, quick assessment and response for all emergency or
trauma case in sport activity (base on DRCAB regime). Second, maintain resuscitation-
stabilization and sending the patient to the referral hospital for treatment or further
investigation. Third, observing the injured athlete and be able to decide the possibility whether
returning the athlete to the field or decided him to stop playing (base on TOTAPS regime). The
athlete clearly could return to play in such of conditions, including the determination whether
he can participate in the sport safely, play effectively, and perform pain-free.

In 2010, the American Heart Association (AHA) teaches rescuers (coach, supporting personel,
paramedic, physician, athlete) to practice C-A-B: chest compressions first, then airway and
breathing. So after that, the CPR Guidelines rearranged the order of CPR steps. In the A-B-C
sequence chest compressions are often delayed while the responder opens the airway to give
mouth-to-mouth breaths or retrieves a barrier device or other ventilation equipment. By
changing the sequence to C-A-B, chest compressions will be initiated sooner and ventilation
only minimally delayed until completion of the first cycle of chest compressions (30
compressions should be accomplished in approximately 18 seconds).

By starting chest compressions first, the patient only has to hold his breath an extra 18
seconds while blood gets flowing again. That is a good trade. Blood will keep moving even
with diminished amounts of oxygen, is the most important function of CPR.

Chest compressions should be at least 2 inches deep for adult patients and should be
delivered at a rate between 100-120 per minute. Delivering too slow chest compressions, will
never get enough blood pressure to reach the brain adequately. Delivering them too fast, will
not allowing enough blood to return to the chest before the next compression.
In 2008, the American Heart Association simplified CPR for those that are not certified Hands-
only CPR. Following activation of emergency call center, perform uninterrupted CPR (100
compression/min) until EMS arrives or an AED is present. Should be used for those adults that
unexpectedly collapse, stop breathing or are unresponsive.

Figure 1. Survival rate comparison between untreat, hands-on CPR and using
Automated External Defibrillator (AED).

The Automated External Defribillator (AED) is a device that evaluates heart rhythms
of victims experiencing cardiac arrest. It can deliver electrical charge to the heart fully
automated. Minimal charging required electrodes that are placed at the left apex and right base
of chest. If the AED is turned on, the machine will be able to indicates when defibrillation or
additional compressions is necessary. Maintenance of this unit is minimum.

Overall, cardiac resuscitation will get high survival possibility if the first responder
immediately start to compress the chest continuously, avoid timebrakes more than 5 seconds,
correct hand placing, correct pace location and apply the compression with gentle power of
strength within 2 inch of depth. But we could loose 10 percent of change of survival in every
minute of delay. Complications maybe happen such rib fractures and other injuries.

Figure 2. Automated Extrenal Defibrillator (AED)


Figure 3. Survival rate decrease 10 percent in everytime minute of delay

Appropriate acute care cannot be provided without a systematic assessment occurring on the
playing field first. On-field assessment such as determine nature of injury, provides information
regarding direction of treatment, medical record of each athlete and environment resources.
Initial assessment and immediate action, divided into primary and secondary survey. Proper
preparation leads every steps running well to figure out any possibility of emergency at the
sport field.

Emergency Action Planning (EAP)

EAP is a written document that defines the standard of care for the management of
emergencies. It provides an outline of the policies and procedures well in advance of an
emergency to establish protocols and avoid debate/confusion about critical decisions during the
emergency. Helps facilitate a prompt, efficient, coordinated response in a medical emergency.
The EAP protocol has many supporting components, such as well trained personnel, good
communication skill, proper medical equipment-transportation and well-knowledge venue map.

The goal of the EAP protocol is as a guideline to improve the prevention, evaluation,
management, and rehabilitation of catastrophic sports-related injuries. The most common types
of fatal events are acute trauma on head/neck/spine, exertional-related heat events, exertional-
related cardiac events, and disruption of cardiac rhythm due to blunt chest impacts (commotion
cordis).

Everyone is at risk for a medical emergency - athletes, coaches, students, fans, and
officials. So EAP guidelines can be applied to entire campus, amateur league, and major league
for any circumstances of sport. Great opportunity for cooperation between school and local
Emergency Medical Service (EMS).

The EAP must be develop by practicing, reviewed, and rehearsed annually. Each sport
type and venue have a specific EAP protocol. Finnally, the EAP protocol can provide structured
framework to handle all emergency situations (under pressure), not to miss any life-threatening
situations and not to cause additional damage to the injured or unwell sportsman, can be
achieved as goals.
Sudden Cardiac Attack (SCA) - Sudden Death (SD)

The analysis of 'The Oregon Sudden Unexpected Death Study (OUDS),' a large,
prospective, community-based study of out-of-hospital SCA, reports that between 2002−2013,
SCA during sports accounted for five percent of all SCA, yielding an annual incidence of
sports-related SCA in the middle-aged of approximately 22 per million per year, compared to
555 per million per year non sports-related SCA. The incidence of SD in young athletes 0.5 to
3 per 100,000 per year and this rises from the age 35 onwards. The risk of SD is dependent on
gender (in about 90% of cases the athletes affected are men), age (most common in 40- to 50-
year-olds) and exercise intensity (higher risk at higher exercise intensities).

Etiology of SCA/ SD under 35 years of age cause by hypertrophic cardiomyopathy


(HCM), coronary anomalies, myocarditis or arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy
(ARVC). Over 35 years of age will be related to coronary artery disease.

diseases that can be causes of SCA

• The majority of athletes don’t

Figure 4. Incidence of SDA durung sport activity from American College of Cardiology.

There are several inherited cardiovascular diseases that can contribute as the causes of
SCA. The majority of athletes do not know they suffer from any underlying cardiovascular
conditions. Less than 20 percent, who have these conditions have warning symptoms that allow
the conditions to be investigated. SCA had only 120 seconds to get an athlete into collapsed
condition, and this very short time known as “time critical illness”. The clinical death period
lasts for maximum 5 min. In 70 percent of cases the initial SCA rhythm is ventricular
fibrillation (VF). Early defibrillation (first 2 min), the chance of survival is 80-90 percent. The
collapsed athlete always diagnosed as SCA, until proven otherwise. Immadiete assessment
come from primary survey (CAB). Start to CPR, Call-for help at 118, ask someone to get
Automated External Defibrillator (AED), Push-start to chest compression immediately,
continue until AED and/ or medical rescue (ALS) arrive and Recharge the AED-standby mode,
ready to attach. Chest compressions are much more important than breathing in the first
minutes. Do not get mislead by agonal breaths –
abnormal breathing.

Unconsciousness

Athlete with unconscious neurological state,


assess quickly with CAB and treat stimultaneously.
Think that any possibility of cervical spine and
head injury. GCS score less than 15 or AVPU level of Alert,
mandates removal from the field of play, transport by hard collar brace and spinal board
or immobilize by 2 hands. Evaluate and control the airway (look, feel, listen). Head tilt and
chin lift (contraindicated in trauma situations). Jaw thrust (hold cervical spine under control)

Figure 5. Airway maneuvers and evaluate breathing-ventilation

If the airway cannot be controlled, i.e. remains obstructed, airway adjuncts will be required.
Oropharyngeal airway (Guedel,S-tube), Endotracheal intubation tube, nasopharyngeal tube
and laryngeal mask airway.

Conclusion

Develop the specific guideline of Emergency Action Planning (EAP) for any kind of event.
Always practise to provide structured framework to handle all emergency situations (life
threatening, limb threatening) and be able to identify terrible medical complication
immediately within hours or day. There is no super person that could handle all emergency
situations in sports, but such of teamwork with well knowledge, well preparation and well
organization are always needed.
KEJANG PADA ORANG DEWASA
Kurnia Kusumastuti
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga , Surabaya

1. PENDAHULUAN
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, kejang termasuk pada
kompetensi tingkat 3B.1
Kompetensi tingkat 3B mensyaratkan lulusan dokter :
• Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien.
• Mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
• Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

KASUS 12
Perempuan usia 34 tahun mempunyai 2 tipe kejang sejak usia 18 tahun. Penderita mengatakan
bahwa tipe kejang yang pertama adalah melihat sinar selama 2-5 menit, diikuti gerakan ritmis
seluruh tubuh . Setelah itu kehilangan kesadaran dan merasa sangat mengantuk. Tipe kejang
kedua kehilangan memori 2 sampai 3 hari , dan sepertinya normal normal saja menurut orang
lain. CT scan, MRI otak dan EEG normal.

KASUS 22
Wanita usia 33 tahun, right handed, mengalami kejang sejak usia 3 tahun, setelah menderita
ensefalitis virus. Kejang terjadi 2-3 kali per minggu. Awalnya terasa tidak enak di abdominal,
dan cemas, diikuti mata melotot, mulut mengecap ngecap, gerakan berulang dari kedua
ekstremitas. Selama kejang kadang masih bisa diajak bicara. Setelah kejang penderita kurang
bisa menerangkan kejadian secara sempurna. Pemeriksaan neurologi normal. MRI otak
normal.

2. DIAGNOSIS
Menghadapi kasus “ kejang ”, maka pertama kali yang harus kita pikirkan adalah
memastikan apakah kejang tersebut bangkitan epileptik ataukah bangkitan non epileptik.
Kejang / bangkitan epileptik adalah terjadinya tanda / gejala yang bersifat sesaat akibat
aktifitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak. Kejang/bangkitan non epileptik
adalah kejang yang bukan disebabkan oleh aktifitas neuronal yang abnormal dan berlebihan
di otak. Penyebab bangkitan non epileptik tersering, antara lain adalah gangguan psikiatri,
dan sinkop, gangguan kardiovaskular.3

Bagan 1. Pembagian Kejang/Seizure

Tabel 1. Bangkitan Epileptik VS Aritmia Cardiak4,5


Kejang /
Seizure

Epileptic Seizure/ Non Epileptic Seizure /


True Seizure Pseudo Seizure
Anamnesis Bangkitan Epileptik Aritmia Cardiac

Faktor pencetus Kelelahan, kurang tidur, hormonal, Olahraga


stres psikologis, alkohol, compliance

Karakteristik klinis Stereotipi, paroksismal (detik), bisa Palpitasi


menjelang serangan disertai aura

Karakteristik klinis Gerakan tonik (kaku) diikuti gerakan Pucat, bisa


pada saat serangan jerking yang ritmis, Gerakan disertai kaku atau
otomatism, cyanosis , Bisa terjadi menghentak
dimana saja dan kapan saja hentak sebentar

Gejala sisa setelah Mengantuk , Lidah tergigit, Nyeri Lesu


serangan enggota gerak, defisit neurologis
fokal (todd’s paralisis)

Riwayat penyakit Trauma kepala, alkohol, infeksi SSP, Penyakit jantung


dahulu stroke, kejang demam, kongenital
ketergantungan obat,

Tabel 2. Bangkitan Epileptik VS Sinkop4,5

Anamnesis Bangkitan Epileptik Sinkop

Pencetus Kelelahan, kurang tidur, Emosi, keramaian, cedera,


hormonal, stres psikologis, nyeri, panas, dehidrasi,
alkohol, compliance olahraga, ketakutan

Suasana Apapun Posisi tegak, kondisi ramai,


panas, stress emosi

Berhubungan dengan Tidak Sering


postur

Waktu Kapan saja Umumnya siang hari

Awal Mendadak, aura +/- Berangsur, merasa gelap/


mual, penglihatan buram,
berkeringat

Warna Kulit Normal, pucat, sianosis Biasanya pucat

Keringat Jarang Sering

Muntah Jarang Sering

Inkontinensia Sering terjadi Jarang


Lidah tergigit Sering terjadi Sangat jarang

Fenomena motorik Tonik, klonik, tonik klonik Lemas tanpa gerakan

Pernafasan Mendengkur, mulut berbusa Dangkal, lambat

Cedera Sering terjadi Jarang

Pasca serangan Bingung, mengantuk, tidur Cepat sadar tanpa rasa


bingung

Lama serangan Beberapa detik – menit Beberapa detik

Tanda neurologis Ada/tidak Tidak


fokal

Tanda Tidak Sering


kardiovaskular

EEG Sering abnormal Normal, mungkin


generalized slowing
selama serangan

Sumber : Panayiotopoulos, 2010; Daroff et al, 2014

Tabel 3. Bangkitan Epileptik VS Serangan Panik4,5

Anamnesis Bangkitan Epileptik Serangan Panik

Faktor pencetus Kelelahan, kurang tidur, Situasi Sosial


hormonal, stres psikologis,
alkohol, compliance

Karakteristik klinis Stereotipi, paroksismal (detik), Ketakutan,


menjelang serangan bisa disertai aura perasaan tidak
realistis, sulit
bernafas,
kesemutan

Karakteristik klinis Gerakan tonik (kaku) diikuti Agitasi, nafas


pada saat serangan gerakan jerking yang ritmis, cepat, kaku pada
Gerakan otomatism, Cyanosis , tangan
Bisa terjadi dimana saja dan
kapan saja

Sumber : Panayiotopoulos, 2010; Daroff et al, 2014


Gejala sisa setelah Mengantuk , Lidah tergigit, Nyeri -
serangan anggota gerak, defisit neurologis
fokal (todd’s paralisis)

Riwayat penyakit Trauma kepala, alkohol, Ansietas


dahulu ketergantungan obat, kejang
demam, infeksi SSP, stroke

Tabel 4. Bangkitan Epileptik VS Bangkitan Psikogenik4,5

Anamnesis Bangkitan Epileptik Bangkitan Psikogenik

Pencetus Kelelahan, kurang tidur, Biasanya emosi


hormonal, stres psikologis,
alkohol, compliance

Suasana Saat tidur atau bangun, Biasanya terjadi ketika di


sendirian depan banyak orang, jarang
waktu tidur

Waktu Kapan saja Umumnya siang hari

Onset Mendadak, aura +/- Perlahan, berangsur dengan


meningkatnya emosi, aura -

Durasi Pendek/ singkat Dapat memanjang/ lama

Jeritan pada awal Sering Jarang

Inkontinensia Sering Tidak terjadi

Lidah tergigit Sering Jarang

Cedera Sering Jarang

Vokalisasi Hanya saat otomatisme Biasa selama serangan

Fenomena motorik Stereotip, aktivitas tonik klonik Bervariasi, tidak


yang terkoordinasi terkoordinasi, mengangkat
pelvis

Mata Terbuka Tertutup

Kesadaran Menurun Normal


Pengekangan Tidak berpengaruh Melawan, kadang-kadang
menghentikan serangan

Henti Serangan Pendek, bingung, mengantuk, Berangsur, seringkali


tidur dengan emosi, seringkali
siuman tanpa rasa bingung

Postictal Sering Jarang


confusion

Postictal headache Sering Jarang

Postictal crying Jarang Sering

Hubungan dengan Biasanya berhubungan Tidak berhubungan


perubahan obat

Hubungan dengan Kadang-kadang meningkat Tidak berhubungan


menstruasi pada
perempuan

Frekuensi Tidak begitu sering Lebih sering, bisa


serangan sepanjang hari

EEG Interiktal Sering abnormal Normal

EEG iktal Abnormal Normal

Serangan muncul Tidak Kadang-kadang


o/k sugesti

Adanya Tidak Sering


keuntungan
sekunder

Gangguan Jarang Sering


psikiatri

Sumber : Panayiotopoulos, 2010; Daroff et al, 2014

Langkah selanjutnya adalah menentukan apakah itu suatu epilepsi atau acute symptomatic
seizure,

Acute symptomatic seizure = transient epileptic seizure = kejang dengan provokasi = kejang
reaktif = kejang terkait situasi
✓ Tanda/gejala yang terjadi sementara/sesaat yang ada hubungannya dengan gangguan
sistem saraf pusat akut, seperti metabolik, racun, struktural, infeksi, atau karena
peradangan
✓ Interval antara adanya gangguan dan kejang bervariasi sesuai dengan kondisi klinis
yang mendasari

Kondisi yang dapat menyebabkan acute symptomatic seizures:

- Kejang demam pada early childhood

- Sleep deprivation

- Hipoglikemi

- Hiponatremi

- Ensefalopati Metabolik

- Infeksi Sistem Saraf Pusat

- Putus obat atau alkohol

- Ketergantungan obat (mis: amphetamine, cocaine)

- Obat-obatan (mis: aminophyline, phenothiazine, dan beberapa analgetik)

- Acute Traumatic Seizure (nyeri kepala ringan-sedang diikuti dengan tonik klonik
seizure)

Parameter Biokimia Nilai

Glukosa Serum < 36 mg/dl (2,0 mM) atau >450 mg/dl (25mM)
berhubungan dengan ketoasidosis (dengan atau
tanpa diabetes)

Natrium Serum < 115 mg/dl (<5 mM)

Calcium Serum < 5,0 mg/dl (<1,2 mM)

Magnesium Serum < 0,8 mg/dl (<0,3 mM)

Urea Nitrogen > 100 mg/dl (>35,7 mM)

Kreatinin > 10,0 mg/dl (>884 µM)

Sumber : Beghi et al, 2010

Tabel 5. Nilai cut off kelainan metabolik pada acute symptomatic seizure6
Apabila sudah dipastikan suatu bangkitan epileptik maka langkah selanjutnya adalah
menentukan tipe bangkitannya sesuai klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE
) 2017 sebagai berikut7 :

Sumber : Fisher et al, 2017

Kejang/bangkitan fokal adalah kejang/bangkitan yang onsetnya dimulai dari satu sisi
tubuh. Kejang/bangkitan general adalah kejang/bangkitan yang onsetnya dimulai dari dua sisi
tubuh bersamaan dan simetris.

Definisi Konseptual : Epilepsi adalah penyakit otak yang ditandai dengan


kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial
Definisi Operasional : Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala
berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan sama dengan (minimal 60%)
bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi

:
Sumber : Scheffer et al, 2017

Bangkitan epileptik apapun penyebabnya harus dihentikan segera dengan


diazepam intravena atau supositoria 10 mg, sambil mengoreksi faktor penyebabnya.
Menghadapi bangkitan epileptik maka ada beberapa hal yang harus dilakukan, antara lain
tetaplah bersama penderita, catat durasi bangkitan, hindari injury, longgarkan baju terutama
sekitar leher, jangan melawan gerakan penderita, jangan masukkan apapun kedalam mulutnya,
baringkan miring, setelah penderita sadar maka tawarkan bantuan.

3. MEMBUAT RUJUKAN9
• Setelah diberi terapi pendahuluan maka kasus kejang apapun penyebabnya harus
dirujuk ke dokter spesialis saraf.
• Tujuan rujukan pada pasien kejang adalah :
o Mendapatkan kepastian diagnosis.
o Dilakukan pemeriksaan penunjang EEG dan neuroimajing.
o Mendapatkan penatalaksanaan lanjutan.

4. TINDAK LANJUT SESUDAH KEMBALI DARI RUJUKAN9


• Melanjutkan terapi sesuai saran dari dokter spesialis saraf (saran yang tercantum dalam
surat rujukan balik).
• Memantau kondisi yang terindikasi untuk merujuk kembali
DAFTAR PUSTAKA

1. Standard Kompetensi Dokter Indonesia, Konsil kedokteran Indonesia, Jakarta, 2012


2. Lueders HO, Noachtar S. Atlas of Epileptic Seizure and Syndromes. Philadelphia: WB
Saunders. 2001.
3. Robert S. Fisher, Carlos Acevedo, Alexis Arzimanoglou, Alicia Bogacz, Helen Cross,
Christian E. Elger, et all.A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia, 55(4):475-
482, 2014
4. Panayiotopoulos CP. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and their Treatment,
Revised Second Edition. London: Springer. 2010; 101-123.
5. Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J, and Mazziotta J (eds.). Bradley's Neurology In
Clinical Practice. seventh edition. Philadelphia: Elsevier. 2014; 9-16.
6. Beghi et al., Recommendation for a definition of acute symptomatic sezure. Epilepsia.
2010; 51(4): 671-675.
7. Fisher RS, Cross JH, French JA, et al. Operational Classification of Seizure Types by The
ILAE Commission for Classification and Terminology. Epilepsia. 2017; 58(4): 522-530.
8. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, et al. ILAE Classification of The Epilepsies: Position
Paper of The ILAE Commision for Classification and Terminology. Epilepsia. 2017; 58(4):
512-521.
9. Dulac O, Leppik IF.Initiating and Discontinuing Treatment in Comprehensive Textbook
Epilepsy. Lippincott-Raven 1st ed. Philadelphia.1998;1237-46.
Surgical Emergency in Pediatric
IGB Adria Hariastawa. Dr.SpB.SpBA(K)
Departemen/SMF Bedah
RSUD Dr Soetomo/FK Unair
Surabaya

Pediatric surgical emergencies are associated with higher morbidity and mortality
compared with elective surgeries. Through advancements in surgical technique, pediatric
anesthesia, pediatric intensive care, and total parenteral nutrition, significant progress has been
made in the management of pediatric and particulary neonates with intestinal obstruction. Late
presentation and lack of intensive care have been the major factors proposed to be responsible
for the higher mortality seen in pediatric and neonate surgical emergencies.

In such a setting like Indonesia, pediatric and neonate surgical emergencies remain a
challenge to surgeons and several factors may be responsible for the higher morbidity and
mortality in emergency cases. The need to make prompt and accurate diagnosis with limited
diagnostic tools is a major task.

Despite improvements in care, pediatric, particulary neonate with intestinal obstruction


continues to provide a diagnostic challenge for clinicians. With the current technical
capabilities of ultrasonography, many obstruction lesion can be accurately diagnosed during
prenatal period. Diagnosis in the prenatal setting facilitates the care of the pregnant mother and
the future patient. Prenatal diagnosis provides the opportunity for appropriate counseling and
for planning the delivery in a tertiary care center with pediatric surgeon and neonatal intensive
care unit. Timely resuscitation and appropriate surgical management can be optimized.

Pembedahan pada anak dan bayi memerlukan kehati-hatian untuk menghindari


kecacatan serta kematian. Tidak semua ahli bedah umum dapat melakukan pembedahan pada
bayi, sehingga pada daerah dimana ahli bedah anak belum ada, maka pembedahan dikerjakan
oleh ahli bedah umum dengan keterbatasan peralatan serta kemampuannya. Tidak semua
rumah sakit mempunyai s

arana perawatan intesif untuk bayi dan anak (NICU dan PICU), sehingga diduga hal ini
yang menyebabkan angka kematian tinggi pada bayi dan anak yang dilakukan pembedahan.
Terutama untuk pembedahan pada bayi sangat memerlukan keterampilan serta teknik diagnosa
yang baik dan akurat. Tidak jarang penderita datang atas rujukan dari dokter anak dan dokter
umum yang sangat terlambat, sehingga untuk dilakukan operasi tidak optimal. Optimalisasi
penderita bayi sangat sulit, memerlukan biaya besar serta kolaborasi antara dokter anak,
dokter bedah serta dokter anestesi.

Kemajuan teknik pembedahan, anesthesia anak, khususnya neonatus, perawatan


intensif serta managemen nutrisi total parentral sangat berarti pada perawatan anak dan
neonatus dengan kelainan kongenital, khususnya pada kelainan usus. Walaupun demikian
semua itu sangat tergantung pada ketepatan diagnostik. Makin dini diagnostik dapat
ditegakkan, makin cepat perawatan dapat dikerjakan, maka makin besar kemungkinan sembuh.

Untuk menegakkan diagnosa sedini mungkin, diperlukan perawatan prenatal yang


berorientasi pada kelainan fetus. Pemeriksaan kehamilan dengan ultrasonografi sudah cukup
dapat mendiagnosa kelaianan anatomi fetus, terutama kelaianan yang dapat menyebabkan
obstruksi usus. Pada setiap pemeriksaan prenatal, fetus harus sudah dianggap sebagai seorang
penderita, dengan demikian setiap kelaianan pada bayi sudah dapat diprediksi dan
direncanakan terapinya sebelum timbul komplikasi.

Walau kelainan usus, terutama obstruksi usus sudah dapat diketahui pada periode
prenatal, diagnosa definitive harus ditentukan pada masa neonatus. Diagnosa berdasarkan
tanda klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Tanda klinis biasanya baru timbul
24 jam setelah lahir dan sangat tergantung pada kelainan yang terjadi. Pada kelainan akibat
obstruksi sangat ditentukan oleh letak dan beratnya obstruksi.

Pada kasus anak yang lebih besar, kebanyakan kasus infeksi, trauma dan kelainan
kongenital lain dimana penanganan dan operasi juga memerlukan kecepatan diagnostik dan
penanganan yang tepat dan cepat. Tetapi biasanya tidak begitu mengancam nyawa, sehingga
masih dapat dilakukan di rumah sakit tipe B oleh dokter bedah umum.

Pada naskah tulisan ini lebih ditekankan bagaimana melakukan penanganan dan
pembedahan pada bayi baru lahir dengan kelainan usus, terutama kelainan yang menyebabkan
obstruksi usus, karena hal ini yang banyak dijumpai masalah pembedahan pada bayi dan anak.

Diagnosis Prenatal
Pada setiap kehamilan dengan polihidramnion harus mendapat perhatian, khususnya
ditujukan pada bayinya. Akan tetapi perlu diingat bahwa obstruksi usus rendah tidak selalu
disertai polihidramnion. Pada fetus dengan obstruksi atas akan terjadi gangguan absorbsi cairan
amnion sehingga cairan amnion banyak.

Pemeriksaan ultrasonografi ditujukan untuk mendeteksi seluruh kelainan anatomi, terutama


keadaan gastrointestinalnya. Akurasi ultrasonografi prenatal sangat tergantung pada level
obstruksi ususnya. Banyak peneliti menyatakan bahwa dengan ultrasonografi sensivisitasnya
100% dan nilai predictive positif nya 73% untuk obstruksi usus bagian atas. Sedangkan untuk
obstruksi usus distal angka sensitivitasnya hanya 8% sedang nilai predictive positifnya
18%.(5,10)

Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan gambaran usus yang dilatasi, terutama pada usus
proximal.

Gambaran ultrasonografi yang khas dapat terjadi pada penderita atresi pylorus, yaitu
didapatkan gambaran gelembung tunggal (single bubble). Pada atresia duodenum didapatkan
gambaran dilatasi usus seperti gelembung ganda (double bubble). Pada obstruksi setinggi
jejunoileal, akan didapatkan gambaran usus dilatasi berisi cairan yang sering disertai gerakan
paristalsis yang meningkat.

Pada fetus dengan atresia setinggi duodenum keatas selalu disertai polihidramnion,
sedang atresia pada jejunoileal tercatat hanya 24%. Pada atresia usus yang lebih distal tentu
lebih jarang disertai polihidramnion.

Volvulus usus tengah (midgut vovulus) juga pernah dilaporkan dapat didiagonisis
prenatal, yaitu didapatkan gambaran usus dilatasi berisi air, dinding usus yang menebal dan
disertai paristalsis yang meningkat..

Pada fetus dengan obstruksi rendah seperti ileus mekonium, atresia kolon, penyakit
Hirschsprung, serta malformasi anoraktal masih sulit ditentukan dengan ultrasonografi.

Kelainan lain yang dapat ditentukan dengan prenatal ultrasonografi adalah


omphalocole, gastroschisis yang sangat penting untuk menentukan terapi manakala bayi telah
lahir.

Selain adanya polihidramnion, meningkatnya alpha-fetoprotein maternal dapat juga


dipakai sebagai penyaring (screening) untuk dugaan adanya kelainan dinding abdomen. Pada
omphalocele didapatkan 90% alpha-fetoprotein maternal meningkat, pada gastroschisis 100%
meningkat. Diagnosis prenatal pada gastroschisis menjadi sangat penting, karena lebih cepat
dilakukan terminasi kehamilan, sehingga mempersingkat usus terpapar cairan amnion. Dengan
demikian didapatkan usus yang sehat, tidak terjadi dismotiliti, edema dan yang penting
mempersingkat terjadi strangulasi usus pada defek para umbilical.(10)

Abnormalitas yang ditemukan pada pemeriksaan ultrasonografi harus menjadi acuan


terhadap kelangsungan kehamilannya. Penanganan secara multidisiplin harus dapat
memutuskan untuk perawatan selanjutnya pada periode neonatus. Prosedur pembedahan pada
bayi sesaat setelah lahir (EXIT Procedure : Exutero Intra partum Treatment) menjadi hal yang
penting untuk menghindari morbiditas dan mortalitas.

Diagnosis prenatal di RS Dr Soetomo sudah mulai banyak dikerjakan. Untuk


mempersiapkan perawatan fetus sebelum lahir, maka telah dibuat forum konsultasi
fetomaternal antara kebidanan, bedah dan dokter anak. Forum konsultasi ini masih
berlangsung, hingga kini.

Diagnosis Posnatal
Walaupun obstruksi usus sudah dapat diketahui pada periode prenatal, akan tetapi
diagnosa definitif tetap harus dilakukan pada masa postnatal. Diagnosa berdasarkan pada gejala
klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada kasus akibat obstruksi usus, tanda klinis biasanya timbul pada 24 jam pertama
setelah lahir. Tanda klinis yang timbul tergantung pada level usus yang obstruksi. Gejala akan
jelas pada obstruksi total, sedang pada obstruksi parsial gejala dapat ringan bahkan dapat tanpa
gejala.

Muntah adalah salah satu tanda awal yang sering didapatkan pada neonatus dengan
abstruksi usus. Karakter dan berat ringannya muntah sangat tergantung penyebab obstruksi.
Obstruksi pada duodenum setinggi distal ampula vateri, muntah selalu bilius. Muntah bilius
akibat obstruksi duodenum ini sangat berarti klinis, dan sangat berpengaruh pada terapi yang
akan dilakukan. Frekuensi muntah bilius pada lesi setinggi duodenum antara 66% hingga 91%
(4,10)
, pada malrotasi dapat mencapai 46% hingga 100% (10). Penyebab obstruksi diatas ampula
vateri hanya 15% dari seluruh kasus obstruksi duodenum.

Walaupun demikian, muntah bilius dapat juga terjadi pada obstruksi rendah, biasanya
terjadi pada gejala awal..

Gangguan keluarnya mekonium adalah tanda lain akibat obstruksi usus. Sembilan
puluh lima persen bayi sehat mekonium pertama kali akan keluar spontan pada 24 jam setelah
lahir, sisanya akan keluar setelah 48 jam kelahirannya. Gangguan pengeluaran mekonium biasa
terjadi pada bayi dengan mekonium ileus, meconium plug, malformasi anorektal, dan penyakit
Hirschsprung. Neonatus dengan obstruksi parsial pasti tidak didapatkan gangguan pengeluaran
mekonium. Pada obstruksi tinggi, mekonium masih mungkin dapat keluar.

Keluarnya darah peranum dengan disertai tanda obstruksi harus diwaspadai akibat
iskemia usus akibat volvulus dan necrotizing enterocilitis.

Distensi abdominal merupakan tanda klinis yang selalu didapatkan pada kasus
obstruksi usus, terutama pada obstruksi rendah. Pada obstruksi atas sering kali tidak didapatkan
distensi, kecuali pada kasus yang samgat terlambat.

Pemeriksaan fisik menjadi sangat penting pada usia 24 jam setelah lahir. Pertama harus
ditentukan apakah abdomen distensi atau tidak. Pada obstruksi total akan selalu didapatkan
distensi yang sangat prominen, sedang obstruksi parsial akan lebih sulit untuk menentukan
level obstruksinya.

Pemeriksaan anus dan colok dubur menjadi sangat penting pada pemeriksaan bayi
dengan kecurigaan obstruksi rendah. Dengan colok dubur , diagnosis penyakit Hirschsprung
sudah cukup dapat ditentukan.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, harus dilakukan pemeriksaan foto polos


babygram dan left lateral dicubitus, Kalau mungkin dapat ditambah foto posisi pronasi dari
samping (A prone cross-table lateral view)

Pemeriksaan foto dengan kontras harus sangat selektif. Tidak semua obstruksi atas
harus dilakukan foto Upper Gastrointestinal (UGI). Dilakukan foto tersebut kalau dugaan
obstruksinya parsial. Foto kontras dapat memakai barium atau kontras larut dalam air (water
soluble contrast)
Pada obstruksi rendah hampir selalu diperlukan foto enema barium untuk menentukan
penyebab dari obstruksinya.

Pengalaman kami menanganai penderita dengan obstruksi usus pada neonatus sebagia
n besar diagnosa baru dapat ditegakkan pada usia lebih dari 48 jam. Sehingga bayi
sudah dalam keadaan kurang menguntungkan. Untuk naik meja operasi masih diperlukan
optimalisasi yang memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Bayi lahir dengan gastroschisiz yang diagnosa ditentukan prenatal selalu dapat ditolong
dengan cepat. Dan menghasilakan kesembuhan yang sempurna. Pengalaman kami pada bayi
dengan gastrochizis, bayi lahir per abdominam, dan langsung dilakukan operasi untuk
mengembalikan usus masuk kedalam abdomen. Keadaan demikian diperlukan kerja sama
antara dokter kandungan, dokter anak, dokter bedah anak serta ahli anestesi. Sehingga bayi
baru lahir langsung pindah meja operasi ntuk dibius dan langsung dilakukan operasi untuk
mengembalikan isi usus kedalam rongga abdomen.

Pengelolaan
Setelah Dilakukan pemeriksaan pada bayi dengan dugaan obstruksi usus, maka harus
diikuti dengan resusitasi cairan. Kemudian lakukan dekompresi dengan memasang selang
orogastrik. Pasanglah dengan selang yang cukup besar (10F) agar tujuan dekompresi tercapai.
Kemudian lakukan termoregulasi agar suhu tubuh tetap terjaga, jangan sampai jatuh kedalam
hipotermi.

Lakukan pemeriksaan darah lengkap, hitung elektrolit, bilirubin dan periksa golongan
darah untuk transfusi bila sewaktu-waktu diperlukan. Jangan lupa pemberian antibiotika
spectrum luas dan vitamin K harus segera dilakukan. Setiap keterlambatan pengelolaan
penderita neonatus dengan obstruksi usus akan menambah morbiditas. Keterlambatan
pengelolaan menyebabkan iskemia atau perforasi pada segmen yang dilatasi. Hal demikian
tentu membawa konsekuensi yang tidak baik bahkan dapat menyebabkan kematian. Setiap
keterlambatan diagnosa juga akan terjadi kesulitan dalam hal menentukan diagnosis malrotasi
atau volvulus.

Setelah dinilai optimal untuk dilakukan tindakan pembedahan. Operasi dapat dilakukan
dengan melakukan incisi transversal, kemudian lakukan ekplorasi. Penting dilakukan adalah
menentukan patensi distal dari bagian yang obstruksi. Bila patensi distal tidak dapat ditentukan
akan terjadi komplikasi, yaitu bocornya setiap sambungan yang dilakukan. Bermacam-macam
teknik anastomosa yang ada, harus ditentukan oleh : pengalaman operator, sarana perawatan
pasca operasi yang tersedia, dan yang penting dana yang tersedia untuk perawatan pasca
operasi. Pada akhir-akhir ini banyak dianut untuk melakukan anastomosis primer, tentunya
memerlukan perawatan total parentral nutrisi yang lama. Untuk itu dibutuhkan ketelatenan
serta biaya yang besar.
Perawatan penderita dengan atresia jejunoileal di RSU Dr Soetomo, hampir 90%
dilakukan pembuatan stoma terlebih dahulu, untuk kemudian baru dilakukan anastomosis
primer setelah keadaan umum penderita membaik. Pertimbangan kedua adalah setelah patensi
usus distal dari stoma sudah cukup dilatasi, sehingga mempermudah melakukan anastomosis
usus, demikian juga perawatan pasca operasinya.

Perawatan pasca operasi harus dilakukan di ruang perawat intensive. Pasca operasi dini
mungkin masih memerlukan ventilasi mekanik serta dekompresi gaster yang baik. Pemberian
total parentral nutrisi harus sudah mulai pada masa dini, untuk menjaga metabolisme
berlangsung normal. Sebagian besar penderita dengan obstruksi usus bagian atas memerlukan
terapi total parenteral nutrisi (TPN) yang lama.

Untuk menghindari TPN yang lama, penderita obstruksi tinggi yang dirawat di RSU
Dr Soetomo dilakukan pembuatan stoma, yang dilanjutkan reanastomosis bila membaik.
Keuntungan pembuatan stoma yaitu penderita dapat diet enteral lebih dini. Sehingga tidak
diperlukan TPN yang lama. Akan tetapi perawatan stoma menjadi kendala tersendiri, karena
stoma usus proximal dapat menyebabkan dehidrasi dan gangguan elektrolit. Bahkan dapat
terjadi Short bowel syndrome.

Bagaimana pada neonatus dengan obstruksi rendah, seperti anus malformasi atau
penyakit Hirschsprung, penanganan yang paling bijak adalah dengan membuat soma sedistal
mungkin.

Pada penyakit Hirschsprung, sebaiknya tentukan terlebih dahulu segmen yang


aganglioner, segmen transisi dan segmen kolon yang nomal dengan melakukan pemeriksaan
foto barium enema. Kemudian tentukan letak stoma yang akan dibuat. Menurut pengalaman
kami, lakukan end stoma, untuk mempermudah tindakan definitive dikemudian hari.

Pada penderita anus malformasi, sebaiknya tidak tergesa-gesa membuat stoma, karena
harus menentukan macam anus malformasi. Neonatus diobservasi selama paling sedikit 18
jam, untuk memberi kesempatan rektum terisi udara, dan meconium terdorong ke distal dan
keluar melalui fistula yang terbentuk. Dengan demikian bila didapatkan fistula anokutan,
bucket handle, anus vestibular, anus membranaseus, bayi tidak perlu dibuatkan stoma (lihat
diagram). Untuk menentukan letak rektum pada anus malformasi yang tanpa fistula, dengan
cara di foto invertografi. Bila didapatkan anus malformasi tanpa fistula letak tinggi, maka harus
segera dibuat stoma pada sigmoid. Pada anus malformasi tanpa fitula letak rendah, bila mampu
sebaiknya langsung dilakukan anoplasti, akan tetapi bila fasilitas dan pengalaman tidak
mencukupi, sebaiknya lakukan saja pembuatan stoma.

Pembedahan pada bayi dengan hernia diafragmatika kongenital hingga saat ini belum
berhasil dengan baik. Akan tetapi bayi dengan hernia diafragmatika yang terkompesasi,
sebagian besar dapat berhasil dengan baik. Kegagalan pada penanganan hernia iafragmatika
kongenital, selalu akibat adanya tekanan pulmonal yang tinggi, dimana diperlukan pengobatan
dengan ventilasi mekanik High flow Oxygenation , atau dengan mempergunakan ECMO,
dimana RSUD Dr Soetomo tidak memiliki. Diagnosis prenatal telah dapat dilakukan, akan
tetapi pengelolaan setelah bayi lahir masih terkendala dengan peralatan yang ada. Perlu
dilakukan pembedahan fetus dengan melakukan temporer tracheal occlusion.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badawi N, Adelson P, Roberts C, Spence K, Laing S, Cass D. Neonatal surgery in New


South Wales – What is performed where?. J Pediatric Surg. 2003: 38 (7). 125-131

2. Emil S, Nguyen T, Sills J, Padilla G. Meconium obstruction in extremely low birth


weight neonates: Guidelines for diagnosis and management. J Pediatric Surg. 2004 : 39
(5). 731-737.
3. Escobar MA . Ladd AP, Grosfeld JL, West KW, Rescorla FJ, et all. Duodenal atresia
and stenosis: Long –term follow-up over 30 years. J Pediatric Surg. 2004: 39 (6). 867-
870.

4. Farrant P, Dewbury KC, Meire HB, Antenatal diagnosis of duodenal atresia. BJ Radiol
1981; 54:633-635.

5. Hedrick HL, Crombleholme TM, Nance ML. Allmen DV. Right congenital
diaphragmatic hernia: Prenatal assessment and outcome. J Pediatrc Surg 2004; vol 39
no 3 :319-323

6. Heemskerk J, Sie GH, Van den Neucker AM,Forget PP, Heineman E. Extreme short
bowel syndrome in a full-term neonate. A case report. J Pediatric Surg 2003; 34 (11):
1665-16669.

7. Nijagal Amar, Sydorak RM, Feldstein VA, Spontaneous resolution of prenatal


megalouretha. J Pediatric Surg 2004;39 (9):1421-1423.

8. Moor CC. Congenital gastric outlet obstruction. J Pediatric Surg 1989;24(12):1241-


1246.

9. Oyachi N, Lakshmanan J, Ross MG.et all; Fetal gastrointestinal motility in a rabbit


model of gastroschisis. J Pediatric surg 2004;39 (3) :366-369

10. Oldham KT, Colombani PM, Foglia RP, Skinner MA Ed Principles and Practice of
Pediatric Surgery. Lippincott Williams &Wilkins. Philadelphia 2005.

You might also like