You are on page 1of 81
ISSN 0215 - 4846 LINGUISTIK INDONESIA MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Tahun 17, No.1 Juni 1999) DAFTAR IS! Kata Pengantar ... itt Raos Ngempelin: Wacana Lisan Bermakna Khas Bahasa Canda Di Bali . 1 Gusti Putu Antara el Daerah Pertama yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal - 9 ‘Nadra Konstruksi Meunang sebagai Ergatif Sintaksis .. a 18 Nurachman Hanefi Bahasa-bahasa Daerah di Kabupaten Brebes ... eee : 3 Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Socio-Cultural Changes: A Factor Contributing to the Change of the Patterns of the Use of Numeral Classifiers in Contemporary Minangkabau 40 Rina Mamita AS. Sintaksis Bahasa Bali Kuna dan Scjarah Perkembangannya 4B ‘Ni Luh Sutjiati Beratha Kesalahan dalam Pelafalan Huruf Mati oleh Orang Indonesia, Gayo dan A\ yang Mempelajari Bahasa Inggris sebagai Bahasa ASing -a.cecinsnnmensinemns 65 Inggrid Mathew Kilas Balik Masyarakat Linguistik Indonesia 1975-1999 B ISSN 0215 - 4846 LINGUISTIK INDONESIA MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Tahun 17, No. 1 Juni 1999 DAFTAR ISI Kata Pengantar... iii Raos Ngempelin: Wacana Lisan Bermakna Khas Bahasa Canda Di Bali [Gusti Putu Antara Daerah Pertama yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal ... 9 Nadra Konstruksi Meunang sebagai Ergatif Sintaksis 18 ‘Nurachman Hanafi Bahasa-bahasa Daerah di Kabupaten Brebes... 2B Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Socio-Cultural Changes: A Factor Contributing to the Change of the Patterns of the Use of Numeral Classifiers in Contemporary Minangkabau ... 40 Rina Mamita A.S. Sintaksis Bahasa Bali Kuna dan Sejarah Perkembangannya .. 48 Ni Luh Sujit Beratha Kesalahan dalam Pelafalan Huruf Mati oleh Orang Indonesia, Gayo dan Aceh yang Mempelajari Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing .. 65 ‘Inggrid Mathew Kilas Balik Masyarakat Linguistik Indonesia 1975-1999 .... B KATA PENGANTAR Linguistik Indonesia 17.1 (Juni 1999) ini menampilkan enam makalah, seluruhnya mengenai bahasa-bahasa daerah. Makalah pertama, susunan I Gusti Putu Antara, mencoba mengupas hal-ikhwal wacana lisan dalam pertuturan ejek-mengejek, umpat-mengumpat, atau canda-bercanda dalam paribhasa Bali. Makalah kedua, tulisan Nadra, menguraikan suatu kajian awal yang memperlihatkan dialek yang mempunyai lebih banyak unsur lama/retensi (unsur bahasa purba yang dipelihara) dan dialek yang mempunyai_ lebih banyak unsur inovasi (unsur bahasa purba yang diganti atau diubah) dalam bahasa Minangkabau. Makalah ketiga, karangan S.8.T.W. Sasangka, memaparkan bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Kabupaten Brebes, yang merupakan wilayah persinggungan dua bahasa terbesar di Indonesia, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Sunda, Makalah keempat, yang disusun dalam bahasa Inggris oleh Rina Mamita A.S., menyoroti faktor sosio-kultural yang menjadi salah satu penyebab perubahan pola pemakaian “penggolong nomina” (numeral classifier) dalam bahasa Minangkabau kontemporer. Makalah kelima, yang ditulis oleh Ni Lob Sutjiati Beratha, memerikan sintaksis bahasa Bali Kuna dan sejarah perkembangannya ke arah bahasa Bali Modern dengan tekanan pada struktur frasa dan klausa. Makaiah terakhir dalam jilid ini, tulisan Ingrid Matthew, mengetengahkan kajian tentang kesalahan pengucapan fonem konsonan oleh siswa bahasa Inggris dari tiga kelompok bahasa ibu yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Gayo, dan bahasa Ach. Selamat menikmati. Editor ‘Yassir Nasanius Jurnal L/ ini dapat terbit tahun 1999 di dalam Program Pemetaan Bahasa Nusantara, yang merupakan kerja sa- ma antara The Ford Foundation dan Puslitbang Kema- syarakatan dan Kebudayaan LIPI. RAOS NGEMPELIN: WACANA LISAN BERMAKNA KHAS BAHASA CANDA DI BALI 1Gusti Putu Antara STKIP Singaraja 1. Pendahuluan Bahasa Bali (BB) merupakan salah bahasa daerah (BD) dari tujuh BD di wilayah Nusantara yang memiliki aksara, selain bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis atau Makasar, Minangkabau, dan Batak. BD yang lain di Nusantara ini memang bertahan, tetapi tidak ‘memiliki aksara, BB merupakan sarana kegiatan berkomunikasi untuk menyampaikan informasi baik secara lisan maupun secara tulisan, Tulisan tentang kegiatan bertutur BB sudah sejak lama dibicarakan orang, antara lain dua buah tulisan R van Eck berjudul Balineesche Spreekworden en Spreekwodelijk Uitdrukkingen (1875) dan Beknopte Handleiding bij de Beoefening van de Balineesche Taal (1876), yang dimuat dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschaap (VBG) di Leiden. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, masalah BB banyak juga yang mulai melirik dari berbagai disiplis al: linguistik, pragmatik, psikolinguistik, sosiolinguistik, semantik, filsafat, edukasi dan sastra. Oleh karena itu, paparan tulisan khas bahasa canda ini merupakan salah satu pengkajian BB secara sedethana sebagai objek sajian kebahasaan untuk mengenal bagaimana keragaman Penggunaan BB sebagai sarana berkomunikasi dalam lingkungan kehidupan bertutur masyarakat Bali. yang berperanan dalam uraian ini adalah masalah pemaknaan, khususnya mengenai semantik leksikal, antara kata yang diacu scbagai makna dan bunyi-bunyi (Ullman, 1967). 2. Gaya Bahasa dalam Bahasa Bali Setiap bahasa akan mengenal gaya bahasa atau stilistika sebagai salah satu seni berbahasa yang bermakna metaforis (Mooij, 1978; Ortony, 1979), terutama dalam kehidupan dunia sastra selain dalam kegiatan berkomunikasi lainnya, Bahasa dan sastra atau khususnya Puisi tiada akan lepas dari penggunaan stilistika ini (Nowottny, 1976). Demikian pula halnya dengan penggunaan BB ini sebagai seni berbahasa dengan keragaman gaya bahasanya (Swellengrebel, 1960). Dalam kehidupan BB, istilah gaya bahasa ini diterjemahkan dengan paribhasa Bali atau parihasa. Jenis-jenis paribhasa Bali ada yang diistilahkan sesonggan (pepatah), bladbadan (makna berdasar permainan bunyi), raos ngempelin (bermakna ganda), sesawangan (perbandingan), pepindan (metafora), wewangsalan (pantun), peparikan (nyanyian pantun), seloka (ibarat), cecimpedan (teka- teki), cecangkikan (kata ambigu), basa rerasmen (bahasa kias) dan tetingkesan (litotes). (Ginarsa, 1975; Tinggen, 1979; Antara, 1990). Dari jenis-jenis paribhasa Bali di atas temyata jenis bladbadan, sesawangan, pepindan, cecangkikan, dan raos ngempelin inilah yang paling banyak digunakan dalam egiatan berkomunikasi lisan. Mengapa? Penygunaan ragam gaya bahasa (paribhasa) itu merupakan bahasa lisan yang kadang-kadang dapat digunakan untuk berseloroh atau bereanda. Untuk mengingat banyak anggota masyarakat yang suka bergurau dengan saling jek mengejek atau umpat-mengumpat melalui permainan berbahasa daerahnya. Pilihan bahasa canda dengan menggunakan struktur raos ngempelin dalam kehidupan lingkungan tua muda inilah yang cukup menarik untuk penulis sajikan dalam tulisan ini 3. Raos Ngempelin: Seni Canda melalui Berbahasa Raos ngempelin berarti ujaran yang memiliki makna ganda, mendua (ambigu) dan rancu. Istilah raos ngempelin ini berasal dua kata raas dan ngempelin. Raos berarti wicara, ujaran, tuturan dan ngempelin (= menempel) disusun dari kata dasar fempel berarti rapat, rekat, tempel. Karena struktur raos ngempelin ini memiliki arti ujaran yang bermakna ganda, ambigu (mendua), dan rancu menyebabkan raos ngempelin diistilahkan juga sebagai raos mabatis bebek (ujaran berkaki tik), Artinya, secara fisik, jari-jari kaki itik itu dihubungkan oleh lapisan kulit, Dari keadaan ini ada persamaan bentuk antara ja itik dengan kata yang memiliki makna lebih dari sebuah makna. Penggunaan makna untuk yang diartikan dan yang mengartikan ini dapat saling isi mengisi sehingga pendengar mendengamya secara berimpitan (rancu). Penggunaan raos ngempelin terdapat dalam kehidupan sehari-hari dengan suasana bermain, berseloroh atau mengumpat. Bahasa daerah yang digunakan sangat sesuai karena ‘mengena sasaran pada hati seseorang. Karena itulah raos ngempelin sangat umum dipakai sebagai seni berbahasa canda untuk bergurau, mengejek atau mengumpat. Tujuan permainan raos ngempelin sebagai bahasa bermakna ambigu tiada lain karena ‘memiliki tujuan utama berikut: (i) dapat digunakan menepis tuduhan orang, (ii) menidakbenarkan terkaan apa yang dimaksud ujaran lawan bicaranya, serta ‘menghilangkan atau mengalihkan rasa malu yang ditujukan pada dirinya sendiri atau orang, lain. Pada umumnya, penggunaan raos ngempelin selain dalam kehidupan sehari-hari, penggunaannya paling sering terdapat dalam acara pentas tradisional seperti wayang kulit, wayang wong, wayang purwa, dagelan (bebondresan), arja, topeng, sendratari, drama ‘gong, dan pentas lainnya. ‘Raos ngempelin ini merupakan kegiatan bertutur yang betbentuk parole dan bukan langue, serta masih cukup produktif dalam kehidupan berbahasa dewasa ini. Perbedaan parole dan langue ini didasarkan pengertian Saussure (Verhaar, 1978:3-5). Pemaknaan aos ngempelin menjadi ambigu tergantung dari tiga cara dasar berujar atau pengubahan bertutur : melalui pemotongan bunyi (jeda), makna kata, dan makna kalimat secara keseluruhan. Makna-makna raos ngempelin ini kemudian menjadi kesepakatan umum dan Penginterpretasian antara penutur dan pendengar. 3.1 Kerancuan Pemaknaan Raos Ngempelin Berdasar Tekanan Bunyi Bahasa Kerancuan interpretasi makna kata ravs ngempelin itu timbul bila yang diubah ujaran kata atau frasanya schingga ada perbedaan ujaran yang menimbulkan kesenyapan ujaran pada kata atau frasa yang dimaksud. Dengan contoh ujaran kata nukangin (nu-ka-ngin] diubah ujarannya dengan memberi kesenyapan antara nu dengan kangin schingga menjadi ujaran baru nu kangin. Struktur ujaran yang semula seperti (Ia) diubah menjadi (1b). (1) a. Made Sogog jani nukangin. *Made Sogog sekarang masih menja b. Made Sogog jani nu kangin. “Made Sogog sekarang masih di Timur.” tukang. Ujaran kata nukangin yang dirancukan menjadi nu kangin memang sama fau-ka- nginj, tetapi maknanya sudah berbeda antara nukangin “menjadi tukang” (nukangin = Nasal + kata dasar tukang + akhiran in) dengan nu kangin “masih di Timur” (dua kata dasar nu (masih) + kangin (Timur). Permainan bunyi mengubah bunyi ujaran kata nukangin menjadi /nu-ka-ngin] dan [nu ka-ngin] menunjukkan ada perubahan dari satu kata menjadi dua kata. Susunan kalimat kedua (Ib) yang merancukan makna kalimat pertama sehingga cara ini mampu membuat orang lain terkecoh. Dasar kerancuan inilah yang menjadi dasar kerja seni menebak bahasa canda raos ngempelin ini, Bunyi ujaran tiga ssuku kata (nu-ka-ngin] sebagai encoding mirip-mirip dengan (nu kangin] sebagai dua buah kata sehingga sering mengelirukan penginterpretasian pemberian makna yang dimaksud (decoding) oleh si pendengar. Dengan permainan antara encoding dan decoding yang dapat ‘mengecoh apa yang diinterpretasikan yang sebenamya dimaksud inilah menyebabkan raos ‘ngempelin itu hidup sebagai bahasa canda keseharian di Bali. Dengan raos ngempelin ini seseorang pendengar dapat terkecoh atau tertipu dan si penutur itu pun merasa puas dan hatinya senang karena dapat mengecoh lawan bicaranya. Makna sebagai sesuatu yang berada di dalam ujaran itu sendiri dan umumnya merupakan gejala yang ada dalam ujaran (uferance) (Vethaar, 1978). Bila sekarang diperhatikan beberapa contoh raos ngempelin BB: apa yang dibicarakan si pemutur (encoding) dan bagaimana proses pentahapan interpretasi pendengar (decoding) tentang aos ngempelin itu dapatlah digambarkan sebagai berikut. ranap || ranar || tanar |] tanar || Tawar || TanAP | row | spree | fee | eat || se, | | ame | | ona | rac crema | att) | com | site| tet | aca ste a “ muses |fison | wavew || [7] fame = wn A mcoone]—» -«—{ picopne Deresmmucrune |» <—fpuneace sravcrv Contoh-contoh lain seperti encoding dan decoding di atas terdapat, misalnya, pada kata- kata berikut ini. Ujaran [pa-da-wa] — dirancukan untuk kontruksi Padawa dengan Pa dawa. Ujaran [nge-mi-tra-in] dirancukan untuk kontruksi ngemitrain dengan ngemit rai Ujaran fke-ne-be] —_dirancukan untuk kontruksi kene be dengan ke nebe, Ujaran (ba-a-nga] —_dirancukan untuk kontruksi baanga dengan bahanga Apabila pemakaian permainan bunyi pada kata-kata raos ngempelin di atas ini didengarkan dalam vjaran, dapatlah susunan kalimatnya dibuat demikian. 2) Merancukan ujaran [pa-da-wa): pada p dalam bentuk huruf Bali yang panjang (p dawa) dengan desa Padawa (nama desa adat Bali Kuna). Perhatikan contoh berikut. a. Kenkenang nulis pa daw: “Bagaimana menulis huruf P yang panjang?” b. Kenkenang nulis Padawa? “Bagaimana menulis desa Padawa?” (3) Merancukan ujaran [ke-ne-be): pada kena be (‘kena lauk ikan’) dengan ke nebe (‘ke atas bubungan rumah’). Pethatikan contoh berikut. a, Bapa sing taen naar nasi kene be. “Bapak tidak pemah makan nasi kena ikan. b. Bapa sing taen naar nasi ke nebe. “Bapak tidak pernah makan nasi ke atas bubungan rumah.” (4) Merancukan ujaran {nge-mi-tra-in}: pada ngemit rain (menjaga semalam istri Raja) dengan ngemitrain (melakukan perbuatan mitra = berjinah, selingkuh). Perhatikan contoh berikut. a. Sampunang ratu sumangsaya, yanan tiang ngemit rain ratune iriki “Jangan Tuanku khawatir, nanti saya yang menunggui istri ‘Tuanku di sini.” b, Sampunang ratu sumangsaya, tiang ngemitrain ratune irik. “Janganlah Tuanku khawatir, nanti sayalah yang berzinah dengan istri Tuanku di sini.” 3.2. Kerancuan Interpretasi Makna Raos Ngempelin Berdasar Makua Ganda Toterpretasi makna ganda dengan memanfaatkan homonim sebuah kata telah dimanfaatkan dalam penggunaan bahasa canda raos ngempelin ini. Dengan homonim akan muncul ‘makna ganda sehingga timbul kerancuan interpretasi ujaran yang dimaksudkan antara si penutur dengan encoding-nya dan si pendengar dengan decoding-nya. Pethatikan kalimat (5) di bawah ini. (5) a. Panakne Gusti Sukesti suba kelih nu manyonyo. b. Anaknya Gusti Sukesti sudah besar masih bersusu. c. Anaknya Gusti Sukesti sudah besar masih menyusu. Pada kalimat (Sa) ini ada kala manyonyo. Makna yang timbul pada ujaran [manyonyo], dapat diinterpertasikan pendengar menjadi dua altematif: bersusu dan menyusu, seperti pada terjemahan (5b) dan (Se). Keunikan bahasa canda dari jenis raos ngempelin ini terletak pada terkecohnya pendengar melalui kalimat (Sc) masih menyusu, dan bukan pada makna pertama (Sb) masih bersusu. Makna kalimat kedua pada (Sc) inilah yang digunakan sebagai sarana bercanda, walaupun interpretasi makna yang timbul pada (Sc) itu memang ada benarnya juga. Pembenaran interpretasi makna pada (5c) sebagai penentuan kembali (decoding) itu hanya membuat heran para pendengar “mengapa sudah besar masih juga menyusu pada ibunya” (= nu manyonyo) Contoh-contoh lain yang sering terdengar dalam raos ngempelin berdasarkan makna ‘ganda ini adalah seperti struktur (6) di bawab ini, (© a. Purun embok Luh dimantuke? b. Beranikah Kakak Luh pulang? ¢. Beranikah Kakak Luh dicium tokek? Interpretasi ujaran [di-man-tu-ke} diinterpretasikan Kembali menjadi dua altematif: dimantuke dan diman tuke, yaitu dengan membuat kesenyapan bunyi pada diman dan tuke schingga terjemahannya menjadi (6b) dan (6c). Interpretasi makna pertama adalah pulang dalam kalimat (6b) Beranikah Kakak Luh pulang? Makna pulang ini timbul karena dimantuke berasal dari struktur mantuk (= pulang) yang mendapat konfiks di-e). Adapun interpretasi makna kedua menjadi dicium tokek dalam kalimat (6c) Beranikah Kakak Luh dicium tokek? Ujaran makna kedua terjadi dari interpretasi ujaran [di-man tw-ke/ dan bukan lagi [di-man-tu-ke}, Karena berasal dari struktur kata diman (~cium) dan kata tuke (tokek). Kalimat (7a) di bawah menunjukkan kerancuan makna ganda sebagai contoh raos ngempelin dalam bentuk kata. Pada kalimat (7a) ujaran kata [ma-sik-si-kan] dapat diinterpretasikan menjadi bersisik (dari nomina siksik) dan mencari kutu di kepala, (dari verba siksik): bandingkan (7b) dan (7c). () a Dikuburan Buleleng ada bangke masiksikan. b. Di kuburan Buleleng ada mayat bersisik. ¢. Di kuburan Buleleng ada mayat mencari kutt. Demikian pula dengan contoh kalimat (8a), dengan interpretasi (8b) dan (8c). Ujaran frasa ngejit-ngejitin dandang dapat diinterpretasikan maknanya kembali menjadi (8b) memberi pantat dandang (seperti kegiatan tukang patri) dan (8c) mengerdip-ngerdipi dandang. (8) a. Nyok Made magae ngejit-ngejitin dandang abulan? b, Maukah Made bekerja memberi pantat dandang selama sebulan? ¢. Maukah Made bekerja mengerdip-ngerdipi dandang selama sebulan? Dari struktur kalimat (5a), (6a), (7a), dan (8a) di atas ini ternyata penginterpretasian kembali makna terjemahan (5c), (6c), (7e), dan (8c) merupakan makna pengecoh dari interpretasi makna utama (5b), (6b), (7b), (8b). Interpretasi kata atau frasa (5b), (6b), (7c), dan (8c) inilah yang dimaksud sebagai bahasa canda rans ngempelin masyarakat Bali. 3.3 Kerancuan Makna Kata Raos Ngempelin Berdasar Interpretasi Kalimat Bahasa canda raos ngempelin dapat juga dilakukan melalui kalimat. Ujaran-ujaran kalimat dapat diinterpretasikan secara rancu dengan memperhatikan makna isi kalimat yang (Hon) + Nomina mn + (Adjektivay + (Numeralia) + (Penggolongy 48 Secara singkat dapat diketahui bahwa nomina inti selalu menempati urutan pertama, Lalu diikuti oleh pewatas-pewatasnya. Urutan dasar (basic word order) antara nomina inti dan pewatas (adjunct) adalah ajek, tetapi ditemukan pula beberapa perubahan tata urutan kata pada pewatasnya. Perubahan tersebut seperti berikut ini, 1) Frasa nomina BBK yang memiliki tata urutan: Demontratif + Honorifik + Nomina inti > (Hon) + Nomina inti + Demonstratif dalam BBM. 2) Frasa nomina BBK yang memiliki tata urutan; Pembilang + Nomina inti + Posesif > Nomina inti + Posesif + Pembilang dalam BBM. 3) Frasa nomina BBK yang memiliki tata urutan: Nomina inti + Penggolong + ‘Numeralia > Nomina inti + Numeralia + Penggolong. 4) Frasa nomina BBK tidak memiliki tata urutan: Nomina inti + Klausa relatif; akan tetapi urutan seperti itu ditemukan dalam BBM. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, hanya frasa nomina yang memiliki urutan seperti disebutkan di atas yang mengalami perubahan, sedangkan yang lain (seperti: ‘Nomina inti + adjektiva dan Nomina inti + Nomina inti) adalah telap sama baik pada BBK maupun BBM. 2.1.1 Demonstratif +Honorifik + Nomina Inti >Nomina Inti + Demonstratif BBK tidak memiliki Unda-Usuk (Goris, (1954); Sutjiati Beratha (1992)), sedangkan BBM. ‘mengenal sistem Unda-Usuk, yaitu bahasa Bali untuk Bentuk Hormat (BH) dan bahasa Bali untuk Bentuk Lepas Hormat (BLH) (Bagus, 1978; Sutjiati Beratha 1992) yang ditandai oleh perbedaan penggunaan Ieksikon. Pronomina demonstratif BBM terdiri atas: ene dan en/to untuk (BLH) dan pu/niki dan pw/nika untuk BH. Contoh [1]: BBK: 102.1b.1-2: tua da pitamaha BBM: anake ento (Bagus, 1971:2) DM HON N. anak DM "Da Pitamaha itu’ ‘anak itu’ Analisis X-bar dari frasa nomina di atas adalah: BBK: N" 1 DM ON’ | N tua da pitamaha drake ento N" terbentuk dari kombinasi N' dan DM. Apabila frasa nomina BBK dibandingkan dengan frasa BBM pada contoh di atas, maka perkembangan frasa tersebut dapat diketahui dengan jelas, yakni demonstratif frasa BBK selalu mendahului sebuah nomina inti, sedangkan frasa BBM mengikuti sebuah nomina inti, walaupun nomina inti frasa BBK dan BBM umumnya didahului oleh sebuah honorifik. 49 2.1.2 Pembilang/Numeralia + Nomina i Pembilang dalam BBM. ‘Tata urutan kata FN BBK berikut adalah pembilang dar/atau numeralia, nomina inti. i + Posesif > Nomina inti + Posesif + Contoh [2] BBK: a, 209.41.3-4 marang santanan BBM: iraga sareng sami PBL keturunan KGL PBL ‘semua keturunan' ‘Kita semua’ b.109.2a.1 fimang imwang NUM tahun ‘lima tahun' Analisis X-bar dari frasa nomina di atas adalah BBK: Nt BBM: PBL ON’ N marang santanan raga sareng sami 2.1.3 Nomina inti + Penggolong + Numeralia > Nomina inti + Numeralia + Penggolong. FN yang memiliki nomina inti mengikuti pewalas sangat umum pada BBK, demikian pula EN BBM yang memiliki sejumlah pewatas selalu mengikuti nomina inti. Numeralia pada BBK dan BBM sering diberi imbuhan sufiks -ng apabila numeralia tersebut berakhir dengan vokal terbuka dan mendahului sebuah pembilang. Contoh [3] BBK:104.2a.5 kambing rukud 1 BBM: tikeh limang lembar Kambing PGL NUM tiker lima” PGL "kambing satu ekor’ er lima lembar’ is X-bar dari farasa di atas dipresentasikan pada diag BBK: N' BBM: ¥ \ berikut ; FBil FBil 4 a ae Le ile | ‘ee tehabar 50 Nomina inti dari frasa di atas adalah sikeh yang memiliki_ makna ‘tikar'. FN memiliki dua tataran N’, N' pertama dan N' kedua (lebih tinggi) terbentuk dari kombinasi Pertama dengan FBil. Apabila bentuk frasa BBK dibandingkan dengan frasa BBM pada contoh [3], tampak ada perubahan tata urutan kata. Pada frasa BBK dan BBM pewatas mengikuti nomina inti, tetapi tata urutan pewatas mengalami suatu perubahan, yaitu pada frasa BBK penggolong mendahului sebuah numeralia sedangkan pada BBM penggolong, ‘mengikuti numeralia. 2.1.4 Nomina Inti Diikuti Klausa Relatif Frasa nomina yang memiliki struktur seperti Nomina inti + klausa relatif tidak dijumpai dalam data prasasti Bali Kuna. Salah satu sepasalnya adalah BBK yang digunakan sebagai ‘bahasa resmi pada abad VIII sampai dengan akhir abad X scbagaimana ditemukan dalam prasasti tidak menggunakan bentuk kalimat kompleks. Bentuk klausa/kalimat yang digunakan dalam prasasti tampaknya cenderung berupa klausa kecil (small clause). Ini bukan berarti bahwa BBK tidak memiliki struktur frasa seperti ini, tetapi ketakmunculan struktur ini adalah Karena alasan di atas di samping pula karena data prasasti yang berbahasa Bali Kuna cukup terbatas Penulis berasumsi bahwa bentuk struktur frasa seperti nomina inti + klausa relatif mungkin ada dalam BK karena bentuk seperti ini umumnya ada pada semua bahasa di dunia, Karena BBK merupakan bahasa yang sudah mati (karena tidak memiliki penutur saat ini) sehingga tidak ditemukan data lisan yang dapat digunakan sebagai data pendukung untuk data tulisan, menjadi sulit untuk menyatakan bahwa struktur seperti ini tidak ada dalam BBK. Akan tetapi, pada BBMI struktur frasa seperti ini sangat umum digunakan, seperti halnya pada BBS, baik pada bahasa tulis maupun bahasa lisan. Dalam BBM nomina inti yang diikuti oleh sebuah klausa relatif umumnya dibubungkan oleh sebuah kata penghubung ane (BLH) seperi pads contoh (a) aau sane (BH) seperti pada contch (b) rikut Contoh (4): a Amakeane suba_ makurenan bisa palas (Warsana, 1977:8) orang DEF —-REL_—sudah bersuami-istri bisa cerai “Orang-orang yang sudah bersuami-istri bisa cerai’ b. Pianak ipun sane pinit ketih mewasta Putu Ayu Laksmi (Paramartha, anak dia-REL palingkecil berama Nm. orang 1977:39) "Anak dia yang paling kecil bernama Putu Ayu Laks Analisis X-bar dari frasa di atas adalah: Menurut teori X-bar, frasa di atas memiliki struktur seperti diagram pohon di atas di mana K didominasi olch N', sepasal K berfungsi sebagai sebuah adjung. bukan pemerlengkap sehinggh N’ membawahinya. N’ pertama mendominasi N (sebagai inti frasa): anake, sebuah adjung {berupa klausa relatif) berkombinasi dengan N' pertama untuk membentuk N' kedua, selanjutnya membentuk proyeksi maksimal N". Analisis lebih lanjut tentang klausa relatif (lat 5.2). 2.2 Perkembangan Frasa Verba BBK Menjadi BBM Dalam perkembangannya menjadi BBM, frasa verba bahasa Bali mengalami beberapa perubahan (inovasi). Ciri utamanya ialah memiliki struktur yang lebih kompleks. Inovasi tersebut adalah: (1) BBK sering ditemukan struktur yang disebut dengan inkorporasi agen dengan verba (agent incorporation). Seperti pada struktur verba syuruhku, yang artinya ‘kuperintahkan’, sedangkan BBM menjadi orahin tiang (BH) atau nikain littang (BLH), yang artinya sama. yaitu ‘saya menyuruh/ memerintal’. Pada BBM ada kecenderungan menggunakan struktur yang memiliki kategori gramatikal yang berdiri sendiri. (2) Pada siruktur verba BBK tidak ditemukan verba yang didahului oleh sebuah verba bantu modal, sedangkan pada BBM banyak ditemukan frasa verba yang didahului oleh sebuah modal atau penanda aspek, (3) Frasa verba BBK sering menggunakan struktur dengan verba secara serial (verb serialization), 2.2.1 Frasa Verba dengan Inkorporasi Agen Pada subpasal di atas telah dibahas bahwa ada sejumlah nomina BBK. yang berperilaku seperti sufiks, misalnya -ku ‘aku, -da_ ‘dia’. Pronomina ini sering berinkorporasi dengan verba untuk membentuk frasa verba. Berikut akan disajikan beberapa contoh frasa verba dengan inkorporasi agen Contoh [5] a. O01.1b.1 pircintayangku man tua wlan di bukit cintamani pikirkan—-KGI.OM. pasanggeahan PREP NmT + .Ayang) aku pikirkan adalah pasanggrahen di bukit Kintamani..” b. 209.404 -pirpagehda. kukuh~ KG3 *.beliau kukuhkan, Analisis X-bar dari frasa verba di atas adalah: | v =< v xa | Jrrpagen da Verba pirpageh sebagai inti dari frasa di alas memiliki, pemerlengkap, schingga terdapat pencabangan. V berkombinasi dengan sebuah sufiks membentuk V' yang selanjutnya diproyeksi secara maksimal menjadi V". Frasa verba yang memiliki struktur seperti di atas jarang ditemukan dama BBM. 2.2.2 Frasa Verba dengan Verba Bantu Modal Berdasarkan pengamatan terhadap data prasasti Bali yang berbahasa Bali Kuna, tamj bahwa pada frasa verba BBK tidak ditemukan struktur frasa_verba yang menggunakan vverba bantu modal. Hal ini bukan berarti bahwa pada BBK tidak ada verba bantu modal. Ketidakhadiran verba bantu modal dalam BBK adalah sepasal prasasti berisikan hal-hal yang sudah pasti dan aturan yang ditulis dalam prasasti tersebut berlaku sejak ditetapkan pada prasasti itu. Seperti yang telah dikemukakan di atas, isi prasasti adalah aturan-aturan atau perundang-undangan pada pemerintahan masa Bali Kuna. Hal ini yang menyepasalkan tidak perlunya penggunaan verba bantu modal dalam prasasti tersebut. Dengan kata lain verba yang menggunakan verba bantu modal memiliki fungsi dan makna yang berbeda dengan verba tanpa verba bantu modal. Pada BBM, penggunaan verba bantu verba dalam sebuah frasa verba sangat produktif; artinya, sebuah kata bantu pada BBM bisa berkombinasi dengan semua kelas verba. Verba bantu modal yang berfungsi sebagai penunjuk kala atau aspek dapat dipahami: melalui contoh berikui. Contoh (7]: BBM: Titiang sampun nunas _ajengan Kcl sudah minta makan “Saya sudah makan.’ Analisis X-bar dari frasa verba di atas dipresentasikan pada diagram berikut, FI sk | i: i Ae Titiang sampun munas —ajengan Menurut teori X-bar, | (INFL) mendominasi infleksi verba, aspek, dan modal pada bahasa Bali. [ merupakan proyeksi inti bukan leksikal, I berkombinasi dengan FV untuk proyeksi I’, selanjutnya I’ berkombinasi dengan Specifier membentuk proyeksi maksimal I". Dari klausa di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa subjek klausa di atas adalah FN sebagai Spec didominasi oleh I" 2.2.3 Frasa Verba dengan Verba Serial (serial verb) Verba serial sering digunakan dalam frasa verba BBK. Ini dimaksudkan untuk menghindari pengulangan subjek pada kalimat kompleks. Dari wacana yang terdapat dalam prasasti Bali, banyak dijumpai kalimat-kalimat yang tidak memiliki subjek, Karena subjek hanya disebutkan sekali saja (pada awal kalimat pertama) apabila memiliki acuan sama, kemudian diikuti oleh verba serial. Akan tetapi, apabila subjeknya memiliki acuan yang berbeda maka akan hadir sebuah subjek baru. 3 Contoh [8]: O01.1b.5 ——matuluang jaja, makmit drbya haji, pamahen pamli membuat”-kue menjaga milik raja membayar pembelian prakara, mamatek papan, matkap bantilan lancang dil membuat papan membuat tempat —_lancang parahu perahu * amembuat kue, memjaga harta raja, membayar pembelian, dll., membuat papan, membuat tempat perahu lancang... Dalam BBM jarang dijumpai konstruksi frasa verba seperti yang terdapat dalam BBK, baik pada data tulis maupun pada data lisan, Perlu dikemukakan di sini bahwa teori X-bar belum sampai diterapkan untuk menganalisis frasa verba dengan verba serial. 3. Perkembangan Klausa Bali Kuna Menjadi Klausa Bali Modern Tipologi klausa BBM sama seperti BBK yang juga memiliki tata urutan kata SV(O) atau V(O)S (Greenberg, 1966), dalam studi ini dimodifikasi menjadi FN-FV atau FV-FN Struktur klausa BBM berasal dari BBK (dengan kata lain, klausa BBK berkembang menjadi BBM), schingga dijumpai kesamaan anlara struktur klausa tunggal (simple clause) BBK dan BBM. Berikut akan disajikan berturut-turut klausa transitif dan intransitif BBK dan BBM. Contoh (9} BBK: 2, 001.1b.3..Siwaprainya: bangunan partapanan di katahan buru Nm membangun pertapaan PREP daerah perburuan *..Siwaprajnya membangun (sebuah) pertapaan di daerah perburuan’ b.107.2a6 tua anak marbuathaji di kudungan DM penduduk desa gotong royong PREP NmT. "Penduduk desa itu bergotong royong di (desa) Kudungan.” BBM: c. ipun sumpun ngelah somah (Warsana, 1977:5) KG3 sudah punya suami "Dia sudah memiliki suami.” a. fa melali ke twkade KG3 bermain PREP sungai DEF "Dia bermain ke sungai.” Struktur internal klausa (a) dan (c) dapat dianalisis dengan teori X-bar seperti pada diagram berikut. 4 — SPEC P" Sete ee FH ———1 iN r ae Toor nS . Siwaprajnya ake fahan buru (BBK) jpn sampun —_ngelah somah (BBM) Siruktur intemal Kaus (b) dan (4) dope danalisis dengan tor Xba sept pad diagram ut, eh —— wh tua anak ‘marbuathaji di kudungan (BBK) la ‘melali ke tukade (BBM) Struktur klausa pada contoh (a) dan (c) memiliki V" yang terbentuk dari konstituen inti yang berkombinasi dengan pemerlengkap, sepasal verba tersebut tergolong transitif untuk kedua contoh itu, dan adjung untuk contoh (a). Adapun contoh (b) dan (4) tidak memiliki pemerlengkap sehingga tidak memiliki Konstituen wajib untuk membentuk V" pertama. Menurut Haegemen (1992), FV yang tidak memiliki pemerlengkap, pada V" pertama tidak 55 akan terjadi pencabangan, sepasal hanya terdapat inti dalam membentuk tataran V' pertamanya ‘Akan tetapi, dari pengamatan yang telah dilakukan terhadap data BBK dan BBM, specifier +P” P+FI Secara spesifik struktur klausa BBK adalah seperti berikut. Apabila sebuah Klausa memiliki verba transitif, maka terjadi pencabangan pada tataran V' pertama dari kombinasi kategori leksikal verba dengan sebuah konstituen berupa pemerlengkap verbanya, tetapi apabila sebuah Klausa mempunyai verba intransitif’ maka tidak terdapat peneabangan. Jika scbuah klausa memiliki adjung yang merupakan ko non-inti yang bersifat opsional (optional) maka terdapat V" yang kedua (lebih tinggi) dibentuk dari V' pertama dengan adjung. Klausa kecil yang tidak memiliki verba ‘mempunyai struktur seperti berikut FP specifier +P" > P+ FL FN4T -> [+ FN/EPrep/Fbil Klausa BBK dalam perkembangannya menjadi BBM masih tetap mengikuti struktur yang diwariskan oleh BBK. Akan tetapi, dalam studi ini ditemukan pula inovasi pada struktus BBM, seperti penyederhanaan struktur(simplification), misalnya pada klausa yang memiliki agen berinkorporasi yang memiliki tata urutan: FV-FN, dan perluasan struktur (elaboration), seperti pada klausa relatif| Variasi tata urutan kata dari frasa dan klausa BBK dalam perkembangannya menjadi BMM, seperti berikut ini. Dalam perkembangannya, baik frasa maupun klausa BBM telah mengalami perubahan (inovasi) terhadap tata urutan kata. Inovasi yang dimaksud adalah: a. beberapa tata urutan kata dari frasa BBK mengalami_pembalikan, misalnya: (@frasa nomina BBK yang memiliki tata urutan: Demontratif + Hononorifik + Nomina inti > (Honorifik) + Nomina inti + Demonstratif dalam BBM; (i) frasa nomina BBK yang memiliki tata urutan: Pembilang + Nomina inti + Posesif > Nomina inti + Posesif + Pembilang dalam BBM. iii) frasa nomina BBK yang memiliki tata urutan: Nomina inti + Penggolong + Numeralia > Nomina inti + Numeralia + b, beberapa tata urutan kata dari frasa BBK mengalamai perluasan pada BBM, misalnya: frasa nomina BBK tidak memiliki tata urutan: Nomina inti + Klausa relatif, akan tetapi urutan seperti itu ditemukan dalam BBM; . beberapa tata urutan frasa BBK dari klausa BBK mengalami penyederhanaan pada BBM (lihat simpulan pada butir 2 di atas). Berdasarkan pengamatan terhadap BBK dan BBM tampak bahwa perubahan tata ‘urutan kata dari frasa dan klausa BBK menjadi BBM disepasalkan oleh faktor internal dan bersifat teratur. Perubahan ini mungkin disepasalkan oleh penggunaan bahasa itu sendiri atau performance (yang juga dikenal dengan istilah arole) dan latar belakang. bbahasa Bali itu sendiri. Di samping itu, perubahan tata urutan kata/frasa, tampaknya tidak akan mengubah makna dar! frasa dan klausa tersebut. 6 UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian tentang Sintaksis Bahasa Bali Kuna dan Sejarah Perkembangannya adalah sepenuhnya dibiayai dari Proyek Penelitian untuk Pengembangan Pascasarjana/URGE LOAN IBRD No. 3754 - IND sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian Doktor Baru No. 018/PBD/URGE/1996 dan ADDENDUM I No. 018/ADD.V/URGE/1996 dilaksanakan selama dua tahun, yaitu dari 1996/1997- 1997/1998, untuk itu ucapan terima kasi kami haturkan kepada: 1. Kepala Proyek URGE yang telah membantu pembiayaan penelitian ini sehingga penelitian int dapat terwajud. 2. Bapak Rektor Universitas Udayana, Bapak Ketua Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Bapak Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana yang telah memberikan peluang dan kemudahan dalam penyelenggaraan penelitian, 3. Prof. Dr. A.V. Diller yang telah memberikan arahan sejak rencana penelitian sampai penelitian ini berakh. 4. Semua pihak yang telah memberikan bantuan selama mengadakan penelitian. DAFTAR SINGKATAN BBM = bahasa Bali Modern BBK = bahasa Bali Kuna DM =demonstratif| FA = frasa adjektiva Fadv = frasa adverbia FBil = frasa bilangan FL rasa infleksional EN = frasa nomina FP = frasa pemerlengkap Prep = frasa preposisi norifik infleksional kata ganti orang nama diti NUM SUMBER RUJUKAN PUSTAKA Abney, S. 1987. The English NP in its Sentential Aspect. (Tesis $3). Cambridge: MIT ress. Antilla, R. 1972. An Introduction to Hlistorical and Comparative Linguistics. New York: The Macmillan Company. Ardika, 1 W. dan N.L. Sutjiati Beratha, 1996. Perajin Pada Masa Bali Kuna Abad IX-X1 Masehi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, Ardika, I W. dan N.L. Sutjiati Beratha. 1998, Perajin Pada Masa Bali Kuna Abad IX--XI ‘Masehi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana Arlotto, A. 1972. Introduction to Historical Linguistics. Boston: Houghton Mifflin. Bawa, 1 W. ct al. 1983. Sintaksis Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bagus, I G.N. 1971. Kesusastraan Bali: Satua-satua sane Banjol. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bagus, | G.N. 1977. Kesusastraan Bali: Satua Bawak Mabasa Bali. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagus, I G.N. 1979. Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam Masyarakat Bali, Sebuah Pendekatan Etografi Berbahasa. (Tesis $3). Jakarta: Universitas Indonesia. Baron, N. 1971. “A Reanalysis of English Grammar”, Lingua 27:113-140. Bynon, T. 1977. Historical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Chomsky, N. 1965. Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press Chomsky, N. 1981. Lectures on Government and Binding. Dordrecht: Fotis. Chomsky, N. 986a. Barriers. Cambridge: MIT Press. Croft. W. 1990. Typology and Universals. Cambridge: Cambridge University Press. Crowley, Terry. 1987. An Introduction to Historical Linguistics. New Guinea: Institute of Pacific Studies, University of the South Pacific Comrie, B. 1989. Language Universals and Linguistic Typology, Great Britain: Billing & Sons Ltd. Givon, T. 1984. Syntax: A Functional - Typological Introduction Vol. I. Amsterdam: John Benjamins, Givon, T. 1988. “The Pragmatics of word order: Predictability, importance and attention”, in Studies in Syntactic Typology:243-284, Michael Hammond et al. (eds.). Amsterdam: John Benjamins, n, T. 1990. Syntax: 4 Functional-Typological Introduction Vol, Il, Amsterdam: John Benjamins, Goris, R. 1954. Prasasti Bali: Inscripties voor Anak Wungs u.Vol. 1 and I. Bandung: Masa Baru Greenberg, J.H. 1963. “Some Universals of Grammar with Particular Reference to the Order of Meaningful Element”, dalam Universal of Language. Massachusetts Institute of Technology: MIT Press. Greenberg, 3.11. 1966. Universala of Language. Cambridge: MIT Press. Greenberg, JH. 1974. Language Typology: A Historical and Analytic Overview. The Hague: Mouton. Haegeman, L. 1992. Introduction 0 Government and Binding Theory. Oxford: Blackwell. Hock, Hans Henrich. 1988. Principles of Historical Linguistics. Berlin: Mouton de Gruyter. Hoenigswald, H.M. 1960. Language Change and Linguistic Reconstruction. Chicago: The University of Chicago Press. Hoenigswald, H.M. 1979. “Intentions, Assumptions and Contradictions in Historical Linguistics”, in Roger W. Cole (ed.) Current Issues in Linguistic Theory. London: Indiana University Press:168-19, Jackendoff, R. 1977. X" Syntax: A Study of Phrase Structure. Cambridge: MIT Press. Jeffers, RJ. and lise Lehiste. 1979. Principles and Methods for Historical Linguisties ‘Cambridge: The MIT Press Labov, W. 1994. Principles of Linguistic Change Vol. 1: Internal Factors. Oxford: Blackwell. Lehmann, W.P. 1962. Historical Linguistics: An Introduction. New York: Holt, Rinehart and Wiston Lieber, R. 1992. Deconstructing Morphology. Chicago: The University of Chicago Press. Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Jakarta: Universitas Indonesia. Radford, A. 1981. Transformational Syntax. London: Cambridge University Press. Sells, P. 1985. Lectures on Contemporary Syntax Theories. America: CSLI Publisher. Stowell, T. 1981. Origin of Phrase Structure. (Tesis 3). Cambridge: MIT Press. Sutjiati Beratha, N.L. 199]. “Speech Level and Verbal Morphology in Balinese”. Paper Presented at ALS Conference in Brisbane, October 2-5. Sutjiati Beratha, N.L. 1992. Evolution of Verbal Morfology in Balinese. (Tesis $3). The Australian National University, Canberra Australia. Williams, E. 1981a. “On the Notion 'Lexically Related’ and "Head of a Word". Linguistic Inquiry 12:245-274. KESALAHAN DALAM PELAFALAN HURUF MATi OLEH ORANG INDONESIA, GAYO DAN ACEH YANG MEMPELAJARI BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA ASING Ingrid Mathew Fakuitas Tarbiyah LAIN, Aceh Pendahuluan Ide untuk penelitian ini tumbuh dari pengajaran “Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing™ (EFL) penulis di Aceh. Selama mengajar di Indonesia penulis menyadari kekurangan materi yang terkini, sistematis, dan berdasarkan penelitian mengenai bidang_pelajaran pengucapan bahasa Ingeris kepada orang yang berbahasa Indonesia, Guru-guru EFL di Indonesia telah menduga akan kesalahan pengucapan bahasa Inggris, namun belum ada penelitian mengenai kesalahan-kesalahan tersebut, Penguasaan fonetik dan fonologi bahasa Inggris oleh pelajar-petajar bahasa asing belum diteliti, khususnya yang berhubungan dengan orang yang berbahasa Indonesia. Penelitian ini berusaha untuk menggugah penelitian selanjutnya pada bidang ini. Penekanan terkini pada komunikasi dalam pengajaran ESL/EFL mengangkat masalah pengucapan ke permukaan. Pengucapan bahasa kedua bagi mayoritas pelajar mungkin tidak dapat sama persis seperti pengucapan orang asli, namun kebanyakan ahli setuju bahwa guru-gumu bahasa perlu mencoba membantu pelajar-pelajar EFL melafalkan_sejumlah fonem bahasa Inggris yang berbeda guna menghindari kesalahpahaman dan kejengkelan (Dutt, 1990, 21; Harmer, 1991, 21). Langkah pertama dalam pemecahan masalah kesulitan pengucapan adalah menentukan kesulitan-kesulitan ini. Relevansi penelitian resmi pada bidang ini telah digarisbawahi oleh “Asian Language Notes: some likely areas of difficulty for Asian leamers of English, No.3 Indonesian/Malay” (edisi kedua, 1983), yang kelihatannya terbatas pada prediksi kesalahan berdasarkan analisis kontrastif. Pengalaman mengajar dan penelitian informal penulis mengkonfirmasikan beberapa “bidang kesulitan” yang diterangkan dalam publikasi tersebut, tetapi juga menyatakan beberapa kesulitan yang berbeda. Beberapa usaha telah dijalankan untuk membandingkan sistem fonologi bahasa Inggris dan Indonesia, khususnya dalam buku pelajaran bahasa Indonesia seperti yang ditulis oleh Macdonald dan Dardjowidjojo (1967), serta untuk menebak dimana kesalahan-kesalahan dalam EFL akan ditemukan dalam bahasa antaranya orang Indonesia, seperti “Asian Language Notes: indonesian/Malay” yang tersebut di alas, tetapi bahasa daerah nyaris belum diteliti sedemikian rupa Latar Belakang Masalah ‘Ada beberapa macam proses dalam pembentukan fonologi bahasa antara (Tarone, 1978, 16). Pengalihan hal-hal linguistik dari bahasa pertama ke bahasa kedua dapat dilihat sebagai satu proses yang terlibat dalam penguasaan bahasa kedua. Ellis mengutip pemyataan Selinker yang mengatakan bahwa pengalihan mungkin juga mengakibatkan fosilisasi (Ellis, 1994, 309), oleh karena bunyi tertentu dalam bahasa kedua digantikan secara konsisten dengan bunyi yang dekat secara fonetik dari bahasa ibu; bunyi yang betul 6s dalam bahasa Kedua tidae termusuk ke dalam bahasa antara. Pengalihan adaiah suatu sumiber penting kesalahan-kesaiahan pada bahasa kedua, tetapi bukan sumber satu-satunya, walaupun pengalihan lebih nyata pada tingkat fonologi daripada pada tingkat-tingkat lain bahasa. Tidak semua kesalahan berasal dari “pengalihan-neyatif” atau dari pengaruh bahasa ibu. Dalam pertimbangan kesalahan pengucapan bukan hanya pengalihan yang dipikirkan, tetapi juga proses perkembangan dan proses-proses umum, serta stategi-strategi komunikatif Banyak kesalahan, termasuk kesalahan dalam fonologi, yang diperkirakan tertransfer, atau sebagai akibat pengaruh dari bahasa ibu, namun dalam penelitian selanjutnya ‘mengenai “pemerolehan bahasa ibu” dan “pembelajaran bahasa kedua” telah ditemukan sebagai kesalahan-kesalahan yang berasal dari proses perkembangan. Penelitian klasik yang sering disebut sebagai titik-tumpu penelitian yang mempertimbangkan proporsi kesalahan perkembangan adalah penelitian tahun 1974 oleh Dulay and Burt terhadap anak-anak Spanyol yang belajar morfem-morfem bahasa Inggris (Ellis, 1994, 60-61, 308-9, 339). Telah ditemukan juga bahwa rangkaian proses penguasaan morfem bahasa Inggris dari kelompok-kelompok anak-anak dan orang-orang dewasa dari latarbelakang bahasa ibu yang berbeda adalah sangat sama, dan hal itu memperlihatkan peran proses-proses perkembangan, Akan tetapi, rangkaian penguasaan bahasa kedua agak berbeda dari rangkaian penguasaan bahasa ibu (Dulay, Burt dan Krashen, 1982, 202, 229). Terdapat terminologi dan cara yang berbeda untuk mengklasifikasikan kesalahan- kesalahan, tetapi perbandingan yang sederhana dan berguna adalah antara kesalahan- kesalahan pengalihan dan perkembangan. Faktor-faktor perkembangan ini mengarah kepada proses yang terdapat pada pemerolehan bahasa ibu, seperti ketidakbersuaraan konsonan akhir (mis. [b] diganti dengan (p]), “generalisasi__berlebihan” dan “penghampiran” (Odlin, 1989, 123; Tarone, 1978, 19-20). Kesalahan-kesalahan yang tidak diterangkan oleh analisis kontrastif (perbedaaan dan persamaan diantara bahasa ibu dan bahasa kedua) kadang-kadang dapat dijelaskan dengan melihat kesalahan-kesalahan yang dibuat anak-anak yang sedang dalam proses penguasaan bahasa ibu. Ellis (1994, 339) menempatkan penjelasan tentang kesalahan yang berkaitan dengan proses perkembangan sebelum penjelasan tentang proses-proses pengalihan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengucapan tidak hanya terdapat pada kedua kelompok ini. Faktor-faktor pengalihan dan perkembangan berinteraksi juga dengan karakteristik-karakteristik universal bahasa. Perhatian pada keterbatasan universal pada pengucapan telah meningkat selama limabelas tahun belukangan ini dalam sebagian literatur mengenai kesamaan-kesamaan bahasa yang difokuskan pada penguasaan bahasa (Ellis, 1994, 428). Beberapa bunyi dalam sebuah bahasa pada dasarnya sulit, yang berarti bunyi-bunyi itu jarang ditemukan dalam bahasa-bahasa dan/atau mereka sulit diucapkan. Johansson (dikutip oleh Tarone, 1978, 19) menemukan sebuah kecenderungan [dalam penggantian bunyi bahasa] untuk mengalihkan dacrah artikulasi dari posisi-posisi yang paling tinggi dan yang paling rendah ke pertengahan tinggi, yaitu posisi lidah yang sedang istirahat. Fakta-fakta lintas linguistik dapat digunakan dalam penjelasan kesalahan- kesalahan pengucapan. Odlin memperhatikan keterkaitan antara kejarangan munculnya suatu bunyi dan kesulitannya (1989, 120), 66 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini terdiri dari empat macam tes. Tiga tes yang pertama, yaitu tes pendengaran berdasarkan pasangan-pasangan minimal, tes pengulangan kata dan pembacaan wacana disclenggarakan di laboratorium babasa LAIN Ar-Raniry dengan menggunakan peralatan Sony LLC9000 dan kaset-kaset audio BASF ferro extra, sedangkan tes yang keempat adalah wawancara yang direkam pada kaset audio BASF ferro extra dengan menggunakan tape Sony yang portable. Tugas-tugas pada keempat tes tersebut berbeda derajat formalitasnya. Wawancara adalah yang paling informal dan tes pengulangan adalah yang paling formal. Hanya posisi awal kata dan akhir kata untuk setiap konsonan diuji, kecuali [3] yang paling sering terdapat di tengah kata. Pada tes percobaan, kesalahan-kesalatian pada tengah kata ditemukan sama dengan kesalahan-kesalahan pada awal atau akhir kata. Dalam penelitian ini sebuah kesalahan dianggap telah terjadi jika pengucapan fonem konsonan yang dihasilkan peserta tidak dipahami oleh native speaker sebagai fonem yang seharusnya dihasilkan, Data yang terekam dari wawancara dan tes pembacaan wacana dinilai oleh peneliti, setiap kejadian pengucapan fonem yang non-native dihitung sebagai kesalahan, Data dari tes pengulangan, pengucapan dinilai oleh scorang native speaker yang bukan seorang guru bahasa Inggris. Untuk tes pengulangan itu setiap fonem diuji tiga kali. Sebuah kesalahan dikatakan telah terjadi ketika dua atau tiga pengucapan dari sebuah fonem tidak dipahami oleh penilai native speaker sebagai fonem yang sedang diuji. Tes pendengaran direkam oleh peneliti. Dua atau tiga salah-dengar dari tiga kali penampilan sebuah fonem tertenta dan pada suatu posisi tertentu yang ditetapkan merupakan satu kesalahan bagi peserta yang bersangkutan, Kesimpulan Analisis kesalahan yang diselenggarakan pada penelitian ini menampakkan pola-pola kesalahan dalam pengucapan fonem-fonem bahasa Inggris yang tertentu. Ketika konsonan letusan [b), {4] dan [9] pada akhir kata direalisasikan dengan tidak benar, bunyi-bunyi itu biasanya tidak disuarakan (contohnya terganti dengan {p], [t), (K]). Misalnya, kata lobe direalisasikan sebagai lope, card sebagai cart, dan bag sebagai back. Hal ini dapat diperhitungkan sebagai sebuah proses pengalihan dan juga sebagai proses perkembangan. Konsonan letusan tanpa suara, [p],{t] dan [k], pada akhir kata sering tidak dilepaskan (contohnya, mulut tidak dibuka untuk menyelesaikan bunyi), yang juga terjadi dalam fonologi ketiga bahasa yang terlibat Untuk Konsonan berdesis [z] pada akhir kata, “penghilangan bunyi” atau ketidakbersuaraan (direalisasikan sebagai {s]) yang menonjol. Misalnya, kata graze diveapkan sebagai grace atau gray Untuk kelompok-kelompok berbahasa Indonesia dan Gayo {3] lazim digantikan dengan {z], sedangkan untuk kelompok berbahasa Aceh sering tidak disuarakan (direalisasikan sebagai [f]). Misalnya, kata leisure ([le3a}) diucapkan sebagai [lezo) atau [lefo]. Konsonan berdesis [f] banyak terganti oleh alveolar {s]. Misalnya, kata shin diucapkan sebagai sin. a Dalam mencari penjelasan-penjelasan hasil-hasil ini, faktor pengalihan dan faktor perkembangan, pengaruh cjaan, strategi-strategi pembelajaran dan komunikasi, dan interaksi faktor-faktor ini semua nampaknya terlibat Ada beberapa macam realisasi untuk kedua aftikat bahusa Inggris ({t{] dan (d3]). Pada akhir kata bunyi-bunyi ini mereka sering direduksikan ke konsonan letusan [t] atau (d)), atau diputarbalikkan. Misalnya, kata rich direalisasikan sebagai writ atau ridge, kata hadge direalisasikan sebagai had atau hatch. Kelompok berbahasa Gayo mendengar bunyi-bunyi ini seperti afrikat alveolar (ts} dan [dz]. Misalnya, kata hutch didengar sebagai bats dan kata ilge didengar sebagai builds. Ketiga kelompok tersebut menggantikan (k} untuk [t{] dalam kata chocolate pada wacana bacaan, Hanya sebagian dari kelompok berbahasa Aceh yang mereduksikan [tf] pada awal kata ke konsonan berdesis [J], yaitu [foklat} Konsonan antar-gigi ([0) and [8]) sering diganti dengan konsonan letusan alveolar yang setaraf ({t} dan (d}) atau konsonan berdesis (|s] dan [2], Misalnya, kata chin irealisasikan sebagai (71 atau sin dan kata seed sebagai seed atau seize. Setiap kelompok bahasa ibu memperlihatkan gambaran yang sedikit betbeda. Data kesalahan ini memperlihatkan persamaan penting pada ketiva kelompok bahasa ibu. Hal ini mungkin discbabkan oleh fakta bahwasanya bshasa-bahasa tersebut saling bechubungan agak erat, dan bahwasanya semua peserta memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua jika bukan sebagai buhasa ibu. Hal ini juga menunjukkan pengaruh dari proses-proses perkembangan yang universal, yang mempengaruhi pengucapan bahasa kedua sebagaimana pengucapan bahasa ibu, Perbedaan-perbedaan dalam data kesalahan ini munghin disebabkan oleh proses-proses pengalilan. etiap dari Keempat tes, seperti yang diharapkan, juga menghasilkan data kesalahan yang berbeda karena tugas dan tingkatan formalitas mempengaruhi pengucapan dengan cara-cara yang berbeda. Implika: Sebuah program pengajaran untuk pelafslan fonem-fonem konsonan dalam bahasa Inggris bagi ketiga kelompok bahasa iby ini dapat menyusun bahan untuk dimanfaatkan berdasarkan frekuensi kesalahan seperti yang terlihat pada data yang diutarakan disini Jumlah peserta yang mengucaphan setiap target fonem secara salah dapat digunakan sebagai suatu indikasi kesulitan, dan kesalahan bersifat umum ditargetkan untuk diperbaiki lebih dahulu. Akan tetapi, beban fungsional dan frekuensi konsonan-konsonan tersebut dalam bahasa Inggris. seperti yang digambarkan oleh Catford (1987, 88-89) dan kesulitan artikulasinya scharusnya juga dipertimbangkan, supaya tidak banyak waktu dihabiskan untuk konsonan ang jarang terdapat dalam bahasa Inggris. Sebenarnya data kesalahan dari tes wawancara dipengaruhi oleh frekuensi konsonan dalam bicara bebas; hanya bunyi- bunyi yang umum dalam pembicaraan bahasa Ingeris dan yang direalisasikan secara salah sebesar 33% yang tertera dalam data tersebut. Lowes merupakan sebuah contoh riset yang memakai semua informasi ini dalam menentukan suatu urutan pengajaran (Lowes, 1990, $$). Pembagian waktu pengajaran pelafalan seharusnya berdasarkan_ frekuensi kesalahan; informasi ini diketengahkan oleh analisis-analisis kesalahan seperti ini, Lagipula, kepentingan relatif setiap fonem scharusnya diperhitungkan, yaitujumlah pemunculan tiap fonem dalam seribu kata teks bahasa Inggris dan jumlah kata yang fonem- 68 fonemnya tersebut muncul dalam kamus kosakata (Catford, 1987, 88). Penemuan-penemuan dari tes-tes yang berbeda memperlihatkan bahwa meskipun suatu konsonan dapat dibedakan dalam pendengaran, konsonan itu tidak selalu dapat dibedakan dalam pembicaraan, dan sebaliknya. Pengajaran pengucapan scharusnya termasuk latihan, baik pendengaran maupun pelafalan, dengan mengharapkan bahwa peningkatan persepsi terhadap perbedaan-perbedaan fonem bahasa Inggris itu diiringi dengan produksi engucapannya yang cukup berbeda. Tes pengulangan dapat dikatakan menyediakan data ‘mengenai kata-kata tanpa konteks. Terdapat beberapa konsonan yang diucapkan secara memadai dalam pembicaraan berkonteks, yaitu tes wacana bacaan dan tes wawancara, tetapi konsonan itu tidak jelas dibedakan dari fonem-fonem bahasa Inggris yang lain ketika diucapkan tersendiri. Suatu implikasi dari hal ini adalah bahwa guru-guru bahasa Inggris perlu menyadari bahwa pelajamya mungkin akan memiliki pelafalan yang memadai dalam percakapan (redundansi dalam arus pembicaraan memberi petunjuk mengenai makna walaupun pengucapan itu sendiri kurang baik), jauh sebelum bahasa Inggris pelajar itu bebas dari kesalahan ketika, misalnya, membaca daftar kata. Sebuah analisis kebutuhan untuk para pelajar akan memperlihatkan mengapa bahasa Inggris dibutuhkan pelajar-pelajar dan seakurat apa mereka perlu berbicara bahasa Inggris. Para guru dapat menggunakan data kesalahan dari tes yang paling relevan dengan pelajar-pelajarnya untuk merencanakan pengajaran pengucapan. Beberapa Keterbatasan Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini perlu disebutkan. Sampel-sampel ketiga bahasa ibu tersebut kurang besar, dan dengan demikian mengurangi kemungkinan penyamarataan hhasil-hasil penelitian kepada populasi asalnya, Dengan penggunaan laboratorium bahasa dan peralatan rekaman audio, informasi mengenai pengucapan fonem-fonem yang diselidiki telah dibatasi kepada informasi lisan (aural). Rekaman video akan memberikan informasi visual yang berguna tentang bagaimana dan fonem-fonem apa yang diucapkan. Data peserta Aceh dan Gayo mungkin terpengaruhi olch bahasa Indonesia, yang adalah bahasa kedua untuk peserta-peserta tersebut. Misalnya bahasa Gayo tidak memiliki [Vv] tetapi dalam penelitian ini peserta-peserta Gayo sering menggantikan [b] dengan [v}. Bunyi [V] ini terdapat di bahasa Indonesia sebagai bunyi yang dipinjamkan dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Aceh [s] tidak terdapat pada akhir kata, tetapi dalam penelitian ini peserta-peserta Aceh pada umumnya tidak menghilangkan [s]. Dalam bahasa Indonesia terdapat [s] pada akhir kata, Banyak diantara peserta yang berbahasa ibu bahasa Indonesia memiliki bahasa Aceh atau bahasa Gayo sebagai bahasa keduanya, dan sebaliknya, tetapi hal ini tidak diperhitungkan dalam analisis data kesalahan. Rekaman-rekaman master untuk tes satu dan dua dibuat oleh peneliti, seorang warga Australia, dan dengan demikian cenderung berbeda dengan peserta yang terbiasa dengan model bicara orang Amerika atau bbahasa Ingeris yang dipakai di Indonesia. Tidak ada usaha yang scksama untuk ‘memperhitungkan perbedaan yang sangat luas antara individu (Hecht dan Mulford, 1982, 325-326) yang ditemukan dalam tes-tes yang berbeda untuk setiap peserta. Penelitian ini tidak mempelajari konsonan-konsonan di tengah kata, atau kelompok-kelompok konsonan, serta pengaruh huruf hidup tidak diperhitungkan ke dalam tes-tes tersebut 9 Penelitian Lanjutan Penelitian ini adalah langkah pertama menuju penjabaran dan penjelasan kesalahan- kesalahan pengucapan fonem-fonem konsonan dari beberapa masyarakat bahasa ibu yang. dijumpai di Indonesia. Kesalahan-kesalahan dalam pengucapan huruf hidup, intonasi dan tckanan suara dalam bahasa Inggris semua merupakan hal yang perlu penelitian lebih lanjut untuk memperlengkapi gambaran EFL di Indonesia. Penelitian yang menggunakan transkripsi fonetik yang rinci akan lebih menjelaskan kesalahan-kesalahan pengucapan. Untuk memperbaiki pengajaran pengucapan EFL di Indonesia analisis-analisis kesalahan seperti yang terdapat dalam penelitian ini perlu diikuti oleh penelitian mengenai urutan engajaran. Fonologi bahasa antara di masyarakat-masyarakat yang multilingual adalah sangat kompleks, Analisis kesalahan dalam bidang ini perlu mempertimbangkan bukan hanya faktor-faktor beragam seperti pengalihan, perkembangan dan penggunaan strategi-strategi tetapi juga interaksi bahasa-bahasa yang dikuasai pelajar-pelajar, dan mempengaruhi pembelajaran bahasa yang baru. Penelitian telah diadakan untuk memisahkan faktor-faktor ini dan menganalisiskan pengaruh dan interaksinya, tetapi penelitian itu sendiri saling berlawanan (Hecht dan Mulford; Dreasher dan Anderson-Hsieh). Lebih banyak penelitian perlu dilakukan dan diharapkan bahwa penelitian ini dapat menjadi tolak ukur untuk penelitian yang melibatkan bahasa-bahasa di Indonesia. 0 SUMBER RUJUKAN PUSTAKA. Asian Language Notes No. 3. (1983) Canberra, Australian Government Publications Service. Asian languages notes... some likely areas of difficulty for Asian learners of English. No. 3. Indonesian/Malay. 2nd edition. Canberra: AGPS. Catford, J. (1987) “Phonetics and the teaching of pronunciation: a systematic description of English phonology”. Morley (Ed.). Current perspectives on pronunciation: Practices anchored in theory. Washington DC: TESOL, 83-100. Dreasher, L. dan Anderson-Hsich, J. (1990) “Universals in interlanguage phonology: the case of Brazilian ESL learners”. Papers and studies in contrastive linguistics, Vol.26, 69-92. Dulay, M, Burt, H. dan Krashen, S. (1982) Language two. New York: Oxford University Press. Dutt, M. (1990) Bridging the gulf: some features of Malayali pronunciation of English. Unpublished Master's Thesis, Institute of Education, University of London, London. Ellis, R. (1994) The study of second language acquisition. Oxford: Oxford University Press. Harmer, J. (1991) The practice of English language teaching. London: Longman. Hecht, B. dan Mulford, R. (1982) “The acquisition of a second language phonology: Interaction of transfer and developmental factors”. Applied Psycholinguistics, Vol. 3, 313-328. Lowes, R. (1990) Towards a rationale for the development of materials for the teaching of pronunciation to speakers of Castillian Spanish. Unpublished Master's Thesis, Institute of Education, University of London, London. Macdonald, R. dan Soenjono Dardjowidjojo. (1967) Indonesian reference grammar. Washington DC: Georgetown University Press. Odlin, T. (1989) Language transfer. Cambridge: Cambridge University Press. Tarone, E. (1978) “The phonology of interlanguage”. J. Richards (Ed.), Understanding second and foreign language learning. Rowley, Mass.: Newbury House, 15-33 n Daftar Is affricate alveolar approximation child language acquisition developmental elision English as a Foreign Language (EFL) extensive individual variation fossilization fricative interdental interference interlanguage interlanguage phonology over-correction overgeneralization spelling interference stop transfer konsonan afrikat alveolar penghampiran pemerolehan bahasa ibu penkembangan penghilangan bahasa Inggris sebagai bahasa asing perbedaan yang sangat luas antara individu sasi tif, konsonan bergesek konsonan antar-gigi gangguan, pengaruh bahasa antara fonologi bahasa antara koreksi berlebihan satu bunyi dalam bahasa kedua menggantikan bunyi-bunyi yang lain pembelajaran bahasa kedua konsonan berdesis gangguan dari ejaan konsonan letusan pengalihan n KILAS BALIK MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 1975-1999 Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) didirikan pada tanggal 15 November 1975 di Cimbeuleuit (Bandung). Gagasan mendirikan MLI dicetuskan pada suatu rapat tanggal 13 November 1975, ketika 50 ahli bahasa (terdiri atas dosen dari berbagai Fakultas Sastra, FKSS IKIP dan FKIP) berkumpul di Cimbeuleuit selama empat hari (11--15 November 1975) ‘mengikuti Lokakarya Penyusunan Pedoman Tata Bahasa Indonesia, yang merupakan kegiatan kerja sama Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (baru berdiri { Aprit 1975). Rapat 13 November itu diadakan malam hari, di luar kegiatan lokakarya, yang bertujuan menyusun pedoman penulisan tata bahasa Indonesia. Rapat yang dihadiri antara lain oleh J.S. Badudu, Djoko Kentjono, Gorys Keraf, Harimurti Kridalaksana, Amran Halim, Anton M. Moeliono, Muhadjir, Soepomo Poedjosoedarmo, M. Ramlan, Yus Rusyana, Samsuri, M. Silitonga, Sudaryanto, I. Suharno, John W.M. Verhaar, S.J. berlangsung sampai menjelang dinihari, pukul satu pagi. Sebelum penutupan lokakarya, 15 November 1975, dibacakan putusan hasil rapat: MLI dengan resmi didirikan, dengan pengurus pertama yang terdiri atas Ketua Samsuri, Wakil Ketua Anton M. Moeliono, Sekretaris Gorys Keraf, dan Bendahara Soepomo Poedjosoedarmo. Pertemuan Ilmiah Nasional Pertama Tiga tahun berikutnya, 22--24 Maret 1979 MLI menyelenggarakan pertama kalinya pertemuan ilmiah nasional dengan nama “Seminar MLI" di [KIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Pengurus MLI periode pertama menghasitkan buram pertama Anggaran Dasar MLI dan diserahkan kepada pengurus baru hasil Musyawarah Nasional MLI 1979: Ketua Samsuri, Wakil Ketua I. Suharno, Sekretaris Subandi, Bendahara Soepomo Poedjosoedarmo, Pertemuan Iimiah Nasional Kedua Tiga tahun berikutnya, I--3 Maret 1982 diselenggarakan pertemuan ilmiah nasional kedua, dengan nama "Seminar MLI" di Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta. Pada Musyawarah Nasional MLI 1982 ini terlontar kesepakatan di antara para anggota MLI yang berbunyi "pengurus pusat MLI seyogianya merupakan tim yang berada di kota yang sama agar memudahkan penyelenggaraan MLI". Bertolak dari kesepakatan itu anggota pengurus pusat MLI periode ketiga semuanya berasal dari Jakarta: Ketua Soenjono Dardjowidjojo, Wakil Ketua Ayatrohaedi, Sckretaris Bambang Kaswanti Purwo, Bendahara Liberty Sihombing. Perbaikan buram Anggaran Dasar MLI yang dilakukan pada masa kepengurusan periode kedua diserahkan kepada pengurus baru hasil B Musyawarah Nasional MLI 1982. Pada masa kepengurusan periode ketiga ini Anggaran Dasar MLI mencapai versi final dan diaktenotariskan pada tanggal 12 Januari 1985 Pada masa kepengurusan periode Ketiga ini, dengan bantuan tenaga sekretariat di Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya Jakarta (karena MLI secara finansial belum mampu memiliki tenaga purnawaktu), mulai dibenahi dan dirapikan tata administrasi. MLL Pendaftaran anggota ditertibkan dan kepada setiap anggota yang sudah resmi terdaftar di Pengurus pusat diberikan Kartu anggota MLI, dengan masa berlaku satu periode kepengurusan MLI. Struktur organisasi MLI mulai dijalankan. Komunikasi dari Pengurus Pusat ke para anggota MLI dilakukan melalui jalur komisariat. Dibentuk komisariat- komisariat MLI di berbagai perguruan tinggi. Ketua MLI komisariat dipilih oleh dan ditentukan di antara para anggota MLI di suatu komisariat Dalam peringatan ulang tahun berdirinya MLI, 15 November 1986 diadakan Pertemuan Imiah di Pusat Bahasa, Terbitan MLI pada periode 1982-1985 Buletin MLI: Juni 1982, Oktober 1982, April 1983 Linguistik Indonesia: Januari 1983, Juli 1983, Januari 1984, September 1984 jah Nasional Ketiga 18 Januari 1985 MLI menyclenggarakan pertemuan ilmiah nasional ketiga, dengan nama "Konferensi Nasional MLI", di Universitas Udayana, Denpasar. Pada Musyawarah Nasional MLI 1985 ini ketua periode sebelumnya dipilih kembali dan tersusun pengurus baru dengan Ketua Soenjono Dardjowidjojo, Wakil Ketua Harimurti Kridalaksana, Sekretaris Bambang Kaswanti Purwo, dan Bendahara Atika S.M. Terbitan MLI pada periode 1985--1988: Buletin MLI: April 1985, Oktober 1985, Mei 1986, Oktober 1986 Linguistik Indonesia: Juni 1985, Desember 1985, Juli 1986, Desember 1986, Juni 1987, Desember 1987, Juni 1988, Desember 1988 Dua buku hasil kerja sama antara MLI dan Penerbit Arcan: Dardjowidjojo, Soenjono (ed.). 1984. Perkembangan Linguistik di Indonesia Jakarta: Arcan. Kaswanti Purwo, Bambang (ed.). 1985. Untaian Teori Sintaksis 1970-1980-an Jakarta: Arcan, Pertemuan Ilmiah Nasional Keempat Pada tanggal 22--26 Juli 1988 ML menyelenggarakan pertemuan ilmiah nasional keempat, dengan nama "Konferensi Nasional MLI", di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang Mengikuti ketetapan dalam Anggaran Dasar MLI, yaitu bahwa Ketua tidak dapat dipilih kembali sesudah menjabat dalam dua periode berturut-turut, Musyawarah Nasional MLI 1988 ” memilih ketua baru, Harimurti Kridalaksana. Ketua baru didampingi oleh Wakil Ketua Bambang Kaswanti Purwo, Sekretaris Setiawati Darmojuwono, dan Bendahara Ahmad H.P. Terbitan MLI pada periode 1988--1991. Linguistik Indonesia: Juni 1988, Desember 1988, Juni dan Desember 1989, Juni 1990, Desember 1990 Pertemuan Itmiah Nasional Kelima Pada tanggal 7-12 Juli 1991 MILI menyelenggarakan pertemuan ilmiah nasional kelima, dengan nama "Konferensi Nasional” di Universitas Diponegoro Semarang. Pada Musyawarah Nasional MLI 1991 Harimurti Kridalaksana dipilih Kembali menjadi Ketua MLI. Ta didamping oleh Wakil Ketua Bambang Kaswanti Purwo, Sekretaris M. Marcellino, dan Bendahara Atika Sya'rani M. Kepengurusan MLI periode ini mulai menawarkan kepada komisariat-komisariat untuk "memenangkan” pemerolehan bantuan dana untuk menyelenggarakan pertemuan ilmiah nasional tingkat daerah, dengan nama "Pekan Hmiah Regional” (PIR). Delapan komisariat yang lolos selcksi untuk menyelenggarakan PIR 1991. yakni MLI Komisariat ITP Malang, Universitas Udayana, IKIP Medan, Universitas Diponegoro, Fakultas Sastra Universitas Negeri Sebelas Maret, FKIP Universitas Sam Ratulangi Gorontalo, Universitas Sriwijaya, dan gabungan MLI Komisariat di Jakarta: Pusat Bahasa, Unika Atma Jaya, dan Universitas Indonesia. Pada periode ini juga disusun rancangan baru Anggaran Dasar MLT dan rancangan Anggaran Rumah Tangga MLI. Kedua raneangan ini dimuat di dalam Buletin MLI (1992). Di dalam rancangan baru Anggaran Dasar MLI itu antara lain dinyatakan bahwa pertemuan ilmiah nasional disebut "kongres" Dalam rangka ulang tahun berdirinya MLI, 4-15 November 1993 diadakan penataran linguistik bagi anggota MLI yang berminat di Unika Atma Jaya. Terbitan MLI pada periode 1991--1994: Buletin MLI (1992) Linguistik Indonesia: Juni 1991, Desember 1991, Juni dan Desember 1992 Prosiding makalah Konferensi Nasional di Semarang 1991 Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya, 1 dan Ii (1993) Pertemuan Imiah Nasional Keenam Pada tanggal 1-4 Juni 1994 MLI menyelenggarakan pertemuan ilmiah nasional keenam, dengan nama "Kongres Linguistik Nasional" (KLN), di Universitas Sriwijaya Palembang, Musyawarah Nasional ML1 1994 memilih Ketua baru, Bambang Kaswanti Purwo. Ia didampingi Wakil Ketua Multamia R.M.T. Lauder, Sekretaris Myrna Laksman, dan Bendahara Atika Sya'rani M. Buletin MLI yang sudah sejak tahun 1993 berhenti dicoba diterbitkan pada periode ini dengan bentuk Jain, yaitu Utak-Atik Linguistik. Terbitan MLI pada periode 1994-1997:

You might also like