Professional Documents
Culture Documents
Tabel 1. Residu obat hewan pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa.
Sampel
Jenis produk ternak dan Jumlah Jenis residu
positif Sumber
asalnya sampel (obat)
(%)
Tabel 2. Residu antibiotik pada susu, daging sapi, hati sapi, daging ayam, dan hati ayam dari berbagai
sumber di Jawa, Bali, dan Lampung.
Tabel 3. Cemaran berbagai senyawa toksik (mikotoksin dan pestisida) pada susu, telur, daging dan hati
ayam, serta daging dan hati sapi di Jawa.
*Jumlah dan persentase positif dengan kadar masih berada di bawah BMR
AFB1 = aflatoksin B1, Ro = aflatoksikol, AFM1 = aflatoksin M1
toksik tersebut kadarnya cukup tinggi maka melalui air seni dan feses, tetapi sebagian
dengan cepat akan mematikan ternak. lagi tetap tersimpan dalam jaringan/organ
Dalam jumlah kecil, cemaran tidak menim- tubuh yang selanjutnya disebut sebagai
bulkan efek langsung, tetapi akan terus residu. Apabila pakan yang dikonsumsi
berada di dalam tubuh. Di dalam tubuh, ternak terkontaminasi senyawa kimia/
sebagian senyawa kimia/toksik akan toksik maupun obat hewan maka residu
dimetabolisme menjadi senyawa metabolit dari senyawa kimia atau obat tersebut akan
yang kurang toksik dan sebagian lebih terakumulasi dalam jaringan/organ tubuh
toksik daripada senyawa induknya. dengan konsentrasi yang bervariasi. Hal
Senyawa induk maupun metabolit ini dapat dipahami sesuai dengan teori
sebagian akan dikeluarkan dari tubuh proses farmakokinetik obat seperti yang
232 Sjamsul Bahri
dijelaskan Setiawati et al. (1987) (Gambar sepertiga dari pabrik pakan yang diamati
2). Dengan demikian, senyawa kimia/toksik juga membubuhkan obat koksidiostat
atau obat hewan yang semula hanya ter- selain antibiotik (Bahri et al. 2000). Keadaan
dapat pada bahan pakan atau ransum ini akan menambah jenis residu pada
ternak, kini menyatu dengan produk ternak produk ternak.
sehingga membahayakan kesehatan Herrick (1993) melaporkan bahwa
masyarakat yang mengkonsumsinya. sekitar 50% penyimpangan residu obat
pada produk ternak disebabkan tidak di-
Obat Hewan pada Pakan. Hampir semua patuhinya waktu henti pemberian obat.
pabrik pakan menambahkan obat hewan Spence (1993) juga melaporkan 15,6%
berupa antibiotik ke dalam ransum jadi peternak di Australia tidak mematuhi
(Bahri et al. 2000). Hal ini berarti sebagian ketentuan waktu henti obat. Di Indonesia
besar pakan komersial yang beredar di hanya 8,16% peternak sapi perah yang
Indonesia mengandung antibiotik. Hal ini mematuhi waktu henti obat dengan tidak
diperkuat oleh hasil penelitian yang me- menjual susu segar ke koperasi selama 2-5
nyatakan bahwa sebagian besar sampel hari setelah pengobatan (Bahri et al. 1993;
pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Kusumaningsih et al. 1996). Selanjutnya
Tangerang, dan Bekasi positif mengan- Herrick (1993) melaporkan bahwa pemakai-
dung residu antibiotik golongan tetrasiklin an obat yang dilakukan oleh peternak telah
dan obat golongan sulfonamida (Balitvet menyebabkan penyimpangan residu obat
1990, 1991; Murdiati dan Bahri 1991). pada produk ternak lebih dari 60% (63%-
Dengan demikian, apabila penggunaan 65%). Keadaan ini kemungkinan besar
ransum tersebut kurang atau tidak mem- berkaitan dengan dosis dan waktu henti
perhatikan aturan pemberiannya, dapat obat yang tidak dipatuhi. Hasil survei di
diduga kuat produk ternak akan mengan- Australia yang dilaporkan Spence (1993)
dung residu antibiotik. Lebih-lebih lagi juga mengungkapkan bahwa 35,4% pema-
t t
s s
Sirkulasi sistemik
Biotransformasi
kaian obat antimikroba tidak dilakukan tercemar berbagai mikotoksin seperti afla-
secara tepat. Kesalahan seperti ini ke- toksin, zearalenon, cyclopiazonic acid,
mungkinan juga terjadi di Indonesia dan okratoksin A (Ginting 1984a, 1984b;
dengan persentase yang jauh lebih tinggi. Widiastuti et al. 1988a, 1988b; Bahri et al.
Bahan baku pakan komersial sebe- 1994b; Maryam 1994). Dari berbagai mi-
narnya telah melalui proses pemeriksaan kotoksin tersebut, yang paling dominan
secara fisik, terutama bau, ketengikan, dan adalah aflatoksin, khususnya aflatoksin B1
jamur (Bahri et al. 2000), serta kandungan (AFB1). Cemaran mikotoksin pada pakan
aflatoksin dan cemaran mikroba patogen. terjadi sepanjang tahun dengan kadar ber-
Namun, selain mengandung cemaran af- variasi sehingga produk ternak, terutama
latoksin, logam berat dan mikroba, pada daging ayam, telur, dan susu perlu diwas-
bahan pakan atau pakan jadi juga dite- padai terhadap residu mikotoksin. Bahri et
mukan senyawa obat-obatan golongan al. (1994a) melaporkan adanya korelasi
antibiotik, koksidiostat, dan antijamur positif antara keberadaan AFB1 pada pa-
yang sengaja dicampur ke dalam pakan kan dan AFM1 pada susu yang dihasilkan
untuk tujuan tertentu, seperti memacu per- ternak.
tumbuhan (Widiastuti et al. 1999).
Residu antibiotik dalam pangan asal Kontaminan Lain pada Pakan. Berbagai
ternak dapat mengakibatkan reaksi alergi, kontaminan, baik berupa bahan kimia
resistensi, dan kemungkinan keracunan. maupun mikroorganisme, dapat mencemari
Diperkirakan 4-10% populasi manusia di pakan secara alami maupun nonalami.
dunia alergi terhadap penisilin dan turun- Beberapa contoh adalah kasus dioksin
annya, padahal obat golongan penisilin pada daging ayam, babi, susu dan telur di
masih banyak digunakan baik pada manu- Belgia, Belanda dan Perancis pada tahun
sia maupun ternak (Sudarwanto 1990). 1999 (Putro 1999). Sumber cemaran adalah
Walaupun sebagian pabrik pakan, ter- salah satu bahan pakan yang diproduksi
utama pabrik besar, mencantumkan kete- perusahaan di Eropa. Cemaran lainnya
rangan tentang pencampuran obat hewan adalah jamur atau kapang yang banyak
dalam pakan, sebagian peternak belum terjadi di daerah tropis yang memiliki
mengikuti petunjuk pemakaian sehingga kelembapan tinggi seperti Indonesia.
waktu henti penggunaan obat hewan se- Kontaminasi logam berat, pestisida, dan
ring tidak dipatuhi. Keadaan ini juga di- senyawa beracun lainnya pada bahan
buktikan dengan banyaknya daging dan pakan dapat terjadi setiap saat dan akan
hati ayam serta susu sapi yang positip me- mempengaruhi keamanan produk ternak.
ngandung obat hewan golongan anti-
biotik (Balitvet 1990, 1991; Sudarwanto Pengawasan Penggunaan Obat Hewan.
1990; Bahri et al. 1992a, 1992b; Sudarwanto Tidak semua ransum yang mengandung
et al. 1992; Hartati et al. 1993; Darsono obat hewan mencantumkan penjelasan
1996; Murdiati et al. 1998; INIASREDEF tentang penggunaannya pada label
1999). kemasan, seperti yang diatur dalam SK
Direktur Jenderal Peternakan. Hal ini di-
Mikotoksin pada Pakan. Selain kandung- sebabkan kurangnya pengawasan dari
an antibiotik pada pakan ayam, ternyata petugas yang ditunjuk. Selain tidak men-
pakan dan bahan pakan di Indonesia juga cantumkan penggunaan/penambahan
234 Sjamsul Bahri
susu ke koperasi selama 2-5 hari setelah Untuk sapi, kerbau, domba, dan kam-
pengobatan hanya 8,16%. bing, pemeriksaan kesehatan antemortum
sangat penting untuk mencegah hewan
yang terinfeksi penyakit berbahaya seperti
Proses Produksi antraks ikut terpotong karena akan mem-
bahayakan petugas, mencemari lingkung-
Proses produksi yang berkaitan dengan an setempat, dan produk ternaknya mem-
keamanan pangan asal ternak terutama bahayakan masyarakat yang mengkon-
terjadi pada tempat pemotongan, yaitu di sumsinya. Diduga kasus antraks pada
rumah potong hewan untuk daging atau manusia di Kabupaten Bogor terjadi karena
tempat pemerahan untuk susu. Oleh ka- kambing dipotong secara perorangan dan
rena itu, proses produksi daging dan susu tidak diawasi petugas (dokter hewan)
sejak pemotongan atau pemerahan sam- berwenang sehingga pemeriksaan ante-
pai siap santap merupakan proses yang mortum terabaikan. Oleh karena itu, pe-
panjang dan terdapat beberapa titik kritis meriksaan kesehatan ternak pada peng-
bagi keamanan bahan pangan tersebut. Hal amatan antemortum menjadi sangat pen-
ini karena adanya ancaman kontaminasi ting sebelum dilaksanakan pemeriksaan
pada daging atau susu karena lingkungan lebih lanjut.
yang kurang higienis dan sanitasi yang
kurang baik, serta tidak terlindunginya Pemeriksaan Postmortum. Setelah peme-
daging atau susu oleh pembungkus apa riksaan antemortum, pada proses penyem-
pun. Ancaman tersebut dapat berupa kon- belihan harus dilanjutkan dengan pemerik-
taminasi mikroba, bahan kimia berbahaya saan postmortum untuk mengamati ke-
dan beracun, dan pengaruh fisik lain yang mungkinan adanya kelainan pada organ/
dapat mengganggu dan membahayakan jaringan tubuh akibat penyakit yang belum
kesehatan manusia. dapat teramati pada pemeriksaan ante-
Adanya Rumah Potong Hewan (RPH) mortum. Pemeriksaan yang lebih detail
atau Rumah Potong Unggas (RPU) meru- diperlukan seperti untuk keperluan ekspor,
pakan salah satu upaya implementasi meliputi pemeriksaan kandungan mikro-
keamanan pangan seperti yang dimaksud biologis, residu bahan hayati, bahan kimia,
dalam UU Pangan. Sebagai tindak lanjut logam berat, antibiotik, hormon dan obat-
dalam mewujudkan upaya keamanan obatan lain. Daging unggas yang mengan-
pangan asal unggas, telah diberlakukan dung residu bahan kimia, logam berat,
SNI 01-6-6160-1999 tentang kriteria RPU. antibiotik, hormon, dan obat lain dengan
kadar di atas batas ambang dilarang untuk
Pemeriksaan Antemortum. Sesuai dengan diedarkan/dikonsumsi. Ditemukannya
peraturan yang berlaku, hewan yang akan berbagai residu obat hewan dan hormon
dipotong antara lain harus bebas penyakit pada produk peternakan oleh Balitvet
menular serta telah melalui pemeriksaan (1990), Sudarwanto (1990), Bahri et al
laboratorium bila perlu, dan pemantauan (1992a, 1992b), Darsono (1996), Dewi et al.
terhadap penggunaan antibiotik serta (1997), dan Widiastuti (2000) menunjuk-
obat-obatan lain dalam pakan. Bila hal ini kan bahwa pengawasan residu pada pe-
dilaksanakan maka produk ternak akan meriksaan postmortum belum berjalan
terjamin keamanannya. sebagaimana mestinya.
236 Sjamsul Bahri
Sarana dan Prasarana. Beberapa mikro- Batas Maksimum Residu dalam Bahan
organisme yang sering mengkontaminasi Makanan Asal Hewan.
produk ternak pada proses produksi ada- Penetapan batas maksimum cemaran
lah Salmonella sp., Camphylobacter sp., mikroba dan residu dalam bahan makanan
Clostridium sp., dan E. coli dari berbagai asal ternak yang tertuang dalam SNI ber-
serotipe. Data cemaran Salmonella sp. tujuan untuk: (1) memberikan perlindungan
pada berbagai produk ternak di Indonesia kepada konsumen dan masyarakat ter-
telah dilaporkan oleh Sri-Poernomo dan utama dalam aspek keamanan dan ke-
Bahri (1998). sehatan; (2) mewujudkan jaminan mutu
Pengamatan terhadap dua RPU modern bahan makanan asal hewan; dan (3) men-
dan dua RPU tradisional di Jabodetabek dukung perkembangan agroindustri dan
menunjukkan bahwa RPU modern telah agribisnis. SNI tersebut memuat sembilan
memenuhi semua persyaratan dalam SNI jenis cemaran mikroba pada daging, susu
tentang RPU, sedangkan RPU tradisional dan telur, serta 314 jenis residu yang me-
sebagian besar belum memenuhi persya- liputi pestisida, logam berat, antibiotik,
ratan tersebut (Bahri et al. 2000). Dikha- hormon, serta obat-obatan dan bahan
watirkan daging ayam dari RPU tersebut kimia lainnya.
tidak cukup aman dari cemaran mikroba
seperti E. coli maupun Salmonella spp.
Dapat dibayangkan bagaimana RPU, TPA PERMASALAHAN DAN STRATEGI
ilegal atau tempat-tempat pemotongan PENGAMANAN
ayam milik perorangan yang tidak diketahui
petugas pengawas. Kemungkinan besar Keberadaan berbagai residu antibiotik,
daging ayam yang dihasilkan sangat sulfonamida, hormon, pestisida, logam
diragukan higiene dan keamanannya. berat, dan mikotoksin pada produk ternak
di Indonesia menggambarkan adanya
permasalahan pada proses praproduksi
Proses Pascaproduksi dan pascaproduksi, terutama pengawasan
dan penerapan peraturan yang belum
Untuk melindungi kosumen dari bahaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
cemaran mikroba dan residu dalam produk Permasalahan pada proses praproduksi
ternak, telah dibentuk tim penyusun am- merupakan penyebab utama keberadaan
bang batas cemaran mikroba dan residu berbagai residu tersebut. Pada umumnya
dalam bahan makanan asal ternak dengan peternak kurang memahami bahaya residu
harapan Indonesia memiliki standar am- dan waktu henti obat. Oleh karena itu,
bang batas cemaran sendiri. Pada tahun perlu dilakukan pengawasan yang ketat
1996 dikeluarkan Keputusan Bersama dalam pemakaian obat hewan pada pakan,
Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian baik pada produsen pakan maupun peng-
tentang Batas Maksimum Residu Pestisida gunaannya oleh peternak/farm. Selain itu,
pada Hasil Pertanian. Kemudian pada tahun secara terus-menerus perlu diupayakan
2000 terbit SNI No.01-6366-2000 tentang peningkatan pengetahuan peternak dalam
Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan penggunaan obat hewan dan sanitasi
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 237
lingkungan usaha agar produk ternak yang paui batas maksimum yang diperbolehkan.
dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi. Permasalahan ini perlu diupayakan pe-
Adanya berbagai residu pada organ mecahannya dengan meningkatkan ke-
hati ternak menggambarkan bahwa organ mampuan institusi/laboratorium penguji
ternak tersebut cukup riskan untuk di- atau memberdayakan laboratorium yang
konsumsi. Oleh karena itu, kebiasaan sudah teruji/terakreditasi.
masyarakat Indonesia mengkonsumsi hati Upaya lain untuk mengatasi masalah
perlu mendapat perhatian sehingga ke- residu pada produk ternak adalah perlunya
biasaan tersebut tidak diteruskan. Penen- dibentuk tim untuk merencanakan program
tuan BMR pada produk ternak di Indonesia nasional monitoring/surveilans residu se-
perlu ditinjau kembali sehingga tidak cara terkoordinasi. Program ini mencakup
disamakan dengan ketentuan yang berlaku bimbingan dengan memberikan informasi
di negara lain karena adanya perbedaan balik, baik kepada pemerintah maupun
pola konsumsi. Demikian pula penentuan peternak. Untuk memudahkan pemerik-
acceptable daily intake (ADI) terhadap saan residu, terutama untuk keperluan
residu perlu ditinjau ulang perhitung- ekspor, harus ada data dari perusahaan
annya, disesuaikan dengan pola konsumsi peternakan mengenai jenis obat yang di-
masyarakat Indonesia terhadap produk berikan kepada ternak selama proses pra-
ternak. produksi sehingga pemeriksaan residu
Perbedaan yang sangat mencolok lebih terarah dan efisien. Pada tahap awal
antara negara maju dan negara berkem- (jangka pendek), pengawasan residu lebih
bang antara lain adalah kemampuan dalam diarahkan kepada obat bahan kimia yang
mendeteksi senyawa berbahaya pada pro- mendapat perhatian dari negara peng-
duk ternak. Dalam hal ini, negara-negara impor, selain obat atau senyawa yang ba-
maju dapat dengan mudah mendeteksi nyak digunakan di Indonesia serta yang
keberadaan berbagai senyawa/cemaran batas toleransinya harus nol.
dalam produk ternak, sedangkan kemam- Keamanan pangan dimulai sejak ternak
puan negara berkembang sebaliknya. dipelihara di peternakan/peternak. Oleh
Sementara itu, jenis cemaran di negara karena itu, keamanan dan kualitas ternak
maju cenderung lebih sulit dideteksi, serta produknya sangat bergantung pada
seperti pada kasus BSE, dioksin, hormon, keamanan pakan dan sumber-sumber pa-
dan produk-produk hasil rekayasa genetik. kan, air, serta lingkungan. Produk ternak
Pengujian residu pada produk ternak relatif aman dikonsumsi bila dalam proses
di Indonesia belum banyak dilakukan, baik praproduksi dilakukan hal-hal berikut: (1)
oleh laboratorium yang berwenang maupun pengontrolan penyakit secara biologis
laboratorium lembaga penelitian, terutama dengan menghindari penggunaan bahan-
terhadap residu mikotoksin, pestisida, dan bahan kimia/obat-obatan berbahaya se-
hormon karena keterbatasan dana dan ke- cara berlebihan; (2) penggunaan pakan
mampuan, terutama SDM dan fasilitas. bebas dari cemaran mikrobiologis, bahan
Apabila pengujian dilakukan secara ter- kimia, dan bahan berbahaya lainnya; (3)
atur tidak tertutup kemungkinan akan di- menggunakan sumber air bebas cemaran
peroleh kandungan residu yang melam- logam berat berbahaya maupun mikro-
238 Sjamsul Bahri
organisme patogen; (4) membatasi pe- untuk obat hewan yang langsung diberi-
tugas peternakan/farm ke luar masuk farm kan kepada ternak karena penggunaan obat
setiap saat untuk menghindari stres pada hewan dalam ransum lebih kompleks dan
ternak dan mencegah penularan/konta- peredarannya lebih luas, menjangkau
minasi penyakit; dan (5) lingkungan pe- masyarakat peternak di berbagai pelosok
ternakan bukan merupakan daerah wabah tanah air. Penyimpanan, distribusi, dan
penyakit tertentu. penanganan pakan berbeda-beda se-
Sesungguhnya strategi utama untuk hingga obat hewan yang dicampur dalam
menjamin produk pangan asal ternak ber- pakan diperkirakan potensinya berbeda
kualitas dan aman dikonsumsi adalah dengan obat sejenis yang tidak dicampur
dengan menerapkan sistem jaminan mutu dalam pakan dan disimpan dengan cara
dan keamanan berupa Hazard Analysis dan pada tempat yang semestinya.
Critical Control Point (HACCP) pada Pengawasan pakan, terutama terhadap
setiap mata rantai proses penyediaan pa- kandungan obat hewan, cemaran mikroba,
ngan asal ternak. Analisis risiko perlu dan cemaran mikotoksin serta senyawa
diterapkan pada bahan pangan asal ternak kimia lainnya, belum sesuai dengan ke-
yang akan diimpor dari negara-negara tentuan SNI tentang pakan. Hal ini karena
yang dicurigai tertular atau tercemar pe- keterbatasan kemampuan laboratorium
nyakit hewan tertentu. penguji mutu pakan.
Pengujian residu pada produk pe-
ternakan baru dilakukan pada residu obat
PENUTUP hewan tertentu. Residu aflatoksin dan
senyawa kimia lain belum mendapat
Hampir semua ransum ternak komersial perhatian, padahal di lapangan cukup
mengandung obat hewan, terutama go- banyak terjadi cemaran aflatoksin pada
longan antibiotik, tetapi tidak semua per- pakan. SNI tentang pakan juga mencan-
usahaan pakan mencantumkan penjelasan tumkan bahwa kadar aflatoksin merupakan
penggunaannya. Dengan kondisi peternak salah satu persyaratan mutu yang perlu
yang umumnya kurang mengetahui waktu diuji. Demikian pula pengujian residu
henti obat dan bahaya yang ditimbulkan pestisida, logam berat, hormon, dan
maka berbagai residu obat hewan dapat senyawa-senyawa kimia lainnya belum
dijumpai pada produk ternak. banyak dilakukan.
Pengawasan mutu pakan yang beredar Lembaga pengujian residu perlu di-
perlu ditingkatkan, termasuk terhadap obat tingkatkan peran dan kemampuannya
hewan yang dicampur dalam ransum dengan meningkatkan SDM, fasilitas, dan
ternak. Demikian pula pemakaian obat sarana laboratorium sehingga laborato-
hewan yang diberikan langsung kepada rium dapat menjalankan fungsinya secara
ternak perlu diawasi, baik untuk peng- profesional. Pada masa mendatang mung-
obatan maupun pencegahan. Pengawasan kin diperlukan laboratorium penguji
sekaligus diikuti dengan penertiban pema- swasta lain yang memenuhi standar, ter-
kaian obat hewan di lapangan. akreditasi, dan profesional.
Perlu dipertimbangkan agar pengawas Sampai saat ini belum ada peraturan
untuk obat hewan yang dicampur dalam yang mengharuskan importir dan atau
ransum dibedakan dengan pengawas produsen produk ternak memeriksakan
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 239
produk yang akan diedarkan di Indonesia Bahri, S., T.B. Murdiati, R. Maryam, dan
terhadap cemaran mikroba dan berbagai Yuningsih. 1992b. Senyawa Golongan
residu, sehingga menyulitkan petugas Tetrasiklin pada Susu Sapi Rakyat di
berwenang dalam mengawasi keamanan Beberapa Desa Kabupaten Pasuruan,
produk-produk tersebut untuk dikon- Jawa Timur. Laporan Intern Balai
sumsi. Oleh karena itu, perlu dibuat per- Penelitian Veteriner, Bogor.
aturan agar produk ternak yang beredar di Bahri, S., A. Nurhadi, T.D. Soedjana, T.B.
Indonesia, terutama yang diimpor, melam- Murdiati, R. Widiastuti, dan P. Zahari.
pirkan hasil uji terhadap cemaran mikroba 1993. Sistem Penyebaran dan Pemasar-
dan residu yang dikeluarkan oleh labo- an Obat Hewan di DKI Jakarta Raya
ratorium yang terakreditasi. Hal ini sesuai dan Jawa Barat. Laporan Penelitian,
pula dengan SNI tentang batas maksimum Pusat Penelitian dan Pengembangan
cemaran dan residu. Peternakan, Bogor.
Dengan ditemukannya berbagai residu Bahri, S. 1994. Residu obat hewan pada
pada produk ternak, terutama pada organ produk ternak dan upaya pengamanan-
hati, maka kebiasaan mengkonsumsi hati nya. Kumpulan makalah Lokakarya
terutama pada anak balita perlu dihilang- Obat Hewan. Asosiasi Obat Hewan
kan. Penghitungan acceptable daily Indonesia (ASOHI), Jakarta, 16-18
intake dan BMR untuk kondisi masyara- November 1994.
kat Indonesia juga perlu ditinjau ulang Bahri, S., Ohim, dan R. Maryam 1994a.
disesuaikan dengan pola konsumsi masya- Residu aflatoksin M1 pada air susu sapi
rakat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan hubungannya dengan keberadaan
atau pengkajian untuk memperoleh angka aflatoksin B1 pada pakan sapi. Kum-
yang sesuai bagi masyarakat Indonesia. pulan Makalah Kongres Nasional
Perhimpunan Mikologi Kedokteran
Manusia dan Hewan Indonesia 1 dan
DAFTAR PUSTAKA Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. hlm.
269-275.
Anonimous. 1999. Outbreak of Hendra- Bahri, S., Yuningsih, R. Maryam, dan P.
like virus in Malaysia and Singapore Zahari. 1994b. Cemaran aflatoksin pada
1998-1999. Centre for Disease Control pakan ayam yang diperiksa di labora-
and Prevention (CDC) 8(13): 265-269. torium toksikologi Balitvet tahun 1991-
Bahri, S., P. Zahari, R. Maryam, dan Ng. 1998. Penyakit Hewan 26(47): 39-42.
Ginting. 1991. Residu aflatoksin M1 pada Bahri, S., A. Kusumaningsih, T.B. Murdiati,
susu sapi asal beberapa daerah di Jawa A. Nurhadi, dan E. Masbulan. 2000.
Barat. Makalah disajikan pada Kongres Analisis Kebijakan Keamanan Pangan
XI dan Konferensi Ilmiah Nasional V Asal Ternak (Terutama Ayam Ras Pe-
PDHI, Yogyakarta, 11-13 Juli 1991. telur dan Broiler). Laporan Penelitian.
Bahri, S., R. Maryam, Yuningsih, dan T.B. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Murdiati. 1992a. Residu Tetrasiklin, Peternakan, Bogor.
Khlortetrasiklin dan Oksitetrasiklin Balitvet. 1990. Residu pestisida, hormon,
pada Susu Segar asal Beberapa DATI antibiotika, dan standarisasi kualitas
II di Jawa Tengah. Laporan Intern Balai broiler untuk ekspor. Laporan Peneli-
Penelitian Veteriner, Bogor. tian. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
240 Sjamsul Bahri
aflatoksin dan pestisida pada bahan Sitepu, M. 2000. Sapi Gila (Bovine Spongi-
pangan asal ternak. Laporan Penelitian. form Encephalopathy/BSE), Keterkait-
Balai Penelitian Veteriner, Bogor. an dengan Berbagai Aspek. Gramedia
Maryam, R., S. Bahri, dan P. Zahari. 1995. Widasarana Indonesia. Jakarta.
Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatokol Soemanegara, R.Md.T. 1958. Ichtisar
dalam telur ayam ras dengan khromato- singkat dari penyakit radang limpa,
grafi cair kinerja tinggi. hlm. 412-416. penyakit ngorok dan radang paha di
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Indonesia. Hemera Zoa 65: 95-109.
Veteriner untuk Meningkatkan Kese- Soeparwi, M. 1922. Over een Miltvvuurruit-
hatan Hewan dan Pengamanan Bahan braak Bij Mensch en Dier. Ned. Ind. Bl.
Pangan Asal Ternak, Cisarua, Bogor, v. Diergeneesk. 33: 163.
22-24 Maret 1994. Spence, S. 1993. Antimicrobial residues
Maryam, R. 1996. Residu aflatoksin dan survey. Prespective 18: 79-82.
metabolitnya dalam daging dan hati Sudarwanto, M. 1990. Residu antibiotika
ayam. hlm. 336-339. Prosiding Temu di dalam air susu ditinjau dari kesehatan
Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, masyarakat veteriner. Kumpulan Ma-
Bogor, 12-13 Maret 1996. kalah Seminar Nasional Penggunaan
Murdiati, T.B. dan S. Bahri. 1991. Pola Antibiotika dalam Bidang Kedokteran
penggunaan antibiotika dalam pe- Hewan, Jakarta, 9 Januari 1990.
ternakan ayam di Jawa Barat, kemung- Sudarwanto, M., W. Sanjaya, dan P. Trioso.
kinan hubungannya dengan masalah 1992. Residu antibiotika dalam susu
residu. hlm. 445-448. Prosiding Kongres pasteurisasi ditinjau dari kesehatan
Ilmiah ke-8 ISFI, Jakarta 4-6 November masyarakat. Jurnal Ilmu Pertanian Indo-
1991. ISFI. nesia 2(1): 37-40.
Murdiati,T.B., Indaningsih, and S. Bahri. Sri-Poernomo and S. Bahri. 1998. Salmo-
1998. Contamination at animal products nella serotyping conducted at the Bo-
by pesticides and antibiotics. In I.R. gor Research Institute for Veterinary
Kennedy, J.H. Skerritt, G.I. Johnson, Science during April 1989-March 1996.
and E. Highley (Eds.). Seeking Agri- p. 133-142. Proceedings of the 3rd Asia-
cultural Produce Free of Pesticide Resi- Pacific Symposium on the Thypoid
dues. ACIAR Proceedings No. 85: 115- Fever and Other Salmonellosis. Den-
121. pasar, Bali, 8-10 December 1997.
Noor, S.M., Darminto, dan S. Hardjoutomo. Widarso, H.S., T. Wandra, dan W.H. Purba.
2001. Kasus antraks pada manusia dan 2000. Kejadian luar biasa (KLB)
hewan di Bogor pada awal tahun 2001. anthraks pada burung unta di Kabu-
Wartazoa 11(2): 8-14. paten Purwakarta bulan Desember 1991
Putro, S. 1999. Pencemaran Dioksin pada dan dampaknya pada masyarakat.
Daging Ayam di Belgia. Laporan Atase Makalah disajikan pada Seminar dan
Pertanian Indonesia di Belgia. Pameran Teknologi Veteriner, Jakarta
Setiawati, A., S.B. Zunilda, dan R. Setia- 14-15 Maret 2000. Pusat Penelitian dan
budy. 1987. Pengantar farmakologi. Pengembangan Peternakan, Bogor.
Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi Widiastuti, R., R. Maryam, B.J. Blaney,
3. Fakultas Kedokteran Universitas Salfina, and D.R. Stoltz. 1988a. Corn as
Indonesia, Jakarta. a source of mycotoxins in Indonesian
242 Sjamsul Bahri