You are on page 1of 18

Beberapa aspek Inovasi

Pengembangan keamanan pangan 1(3),


Pertanian asal ternak ...
2008: 225-242 225

BEBERAPA ASPEK KEAMANAN PANGAN ASAL


TERNAK DI INDONESIA1)
Sjamsul Bahri
Balai Besar Penelitian Veteriner
Jalan R.E. Martadinata No. 30, Kotak Pos 151, Bogor 16114

PENDAHULUAN senyawa asing (xenobiotics) pada bahan


pangan asal ternak masih sangat sedikit.
Produk ternak merupakan sumber gizi Pada saat itu perhatian masyarakat masih
utama untuk pertumbuhan dan kehidupan terpusat pada masalah residu pestisida
manusia. Namun, produk ternak akan pada buah dan sayuran. Baru setelah ter-
menjadi tidak berguna dan membahayakan ungkapnya senyawa pestisida DDT,
kesehatan apabila tidak aman. Oleh karena dieldrin, tetrasiklin, hormon, dan obat-
itu, keamanan pangan asal ternak bagi obatan lain pada produk ternak, upaya
manusia merupakan persyaratan mutlak untuk mengawasi pangan asal ternak mulai
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ke- mendapat perhatian khusus (Bahri 1994).
panikan masyarakat akibat kasus penyakit Di Indonesia, data keberadaan ber-
sapi gila (mad cow) di Inggris dan bebe- bagai residu obat hewan, terutama golong-
rapa negara Eropa lainnya pada akhir tahun an antibiotik, sulfa, pestisida, mikotoksin,
1990-an, cemaran dioksin pada produk dan hormon pada susu, daging, dan telur
ternak di Belgia dan Belanda pada tahun telah banyak dilaporkan (Sudarwanto
1999, dan kasus penyakit antraks pada 1990; Bahri et al. 1992a, 1992b, 1994a;
domba dan kambing di Bogor pada tahun Sudarwanto et al. 1992; Maryam et al. 1995;
2001, menggambarkan betapa pentingnya Darsono 1996; Biyatmoko 1997; Dewi et
masalah keamanan pangan asal ternak al. 1997; Widiastuti 2000). Demikian pula
karena tidak hanya berdampak terhadap cemaran kuman Salmonella pada berbagai
kesehatan manusia, tetapi juga pada komoditas ternak di Indonesia (Sri-
perdagangan domestik dan global serta Poernomo dan Bahri 1998).
perekonomian negara yang terlibat dalam Untuk mendapatkan produk ternak
perdagangan tersebut (Darminto dan Bahri yang aman perlu melalui proses yang
1996; Putro 1999; Sitepu 2000; Noor et al. panjang, dimulai dari farm (proses pra-
2001). produksi) sampai dengan pascaproduksi.
Pada akhir tahun 1960-an, perhatian Dalam hal ini, faktor-faktor penting yang
masyarakat dunia terhadap berbagai residu berkaitan dengan keamanan pangan asal
ternak terdapat pada setiap mata rantai
proses tersebut. Pada makalah ini akan
1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Pe- diulas berbagai aspek keamanan pangan
neliti Utama yang disampaikan pada tanggal
2 Oktober 2003 di Bogor. asal ternak di Indonesia.
226 Sjamsul Bahri

TUNTUTAN KEAMANAN PANGAN an kualitas sumber daya manusia, yaitu


ASAL TERNAK DI ERA daya intelektualnya melalui perbaikan gizi.
GLOBALISASI Apabila pangan asal ternak tidak memenu-
hi persyaratan mutu dan keamanan maka
Perundingan putaran Uruguai mengenai pangan tersebut tidak hanya menyebabkan
GATT yang diikuti oleh 125 negara pada gangguan kesehatan atau kematian, tetapi
tahun 1994 memiliki dampak yang sangat juga mempengaruhi pertumbuhan fisik dan
luas, antara lain mencakup kesepakatan inteligensia masyarakat. Oleh karena itu,
mengenai aplikasi tindakan sanitary and pembangunan peternakan tidak hanya
phytosanitary (SPS). Kesepakatan ini dituntut untuk meningkatkan kuantitas
mengatur tindakan perlindungan terhadap pangan, tetapi juga menyediakan bahan
keamanan pangan dalam bidang kesehatan pangan asal ternak yang berkualitas dan
hewan dan tumbuhan yang perlu dijalan- aman bagi konsumen. Keadaan ini semakin
kan oleh negara-negara anggota WTO. mendesak dengan diberlakukannya Un-
Tujuannya adalah untuk melindungi ma- dang-undang No. 8 tahun 1998 tentang
nusia dari risiko yang ditimbulkan oleh ba- Perlindungan Konsumen.
han makanan tambahan (aditif) dalam
pangan, cemaran (kontaminan), racun
(toksin) atau organisme penyebab pe- BAHAYA DAN DAMPAK NEGATIF
nyakit dalam makanan atau dari penyakit PANGAN ASAL TERNAK YANG
zoonosis. Oleh karena itu, dalam perjanjian TERCEMAR
tersebut ditegaskan bahwa setiap negara
harus melakukan upaya untuk menjamin Bahaya atau hazard yang berkaitan de-
keamanan pangan bagi konsumen dan ngan keamanan pangan asal ternak dapat
mencegah penyebaran hama dan penyakit terjadi pada setiap mata rantai, mulai dari
pada hewan dan tumbuhan. praproduksi di produsen, pascaproduksi
Dengan diberlakukannya persetujuan sampai produk tersebut didistribusikan
GATT dan berdirinya WTO serta ter- dan disajikan kepada konsumen. Bahaya
bentuknya perdagangan bebas ASEAN tersebut meliputi: (1) penyakit ternak; (2)
(AFTA) pada 2003 dan juga APEC (Asia penyakit yang ditularkan melalui pangan
Pacific) pada 2020 serta ASEM (Asia dan atau yang disebut food borne diseases;
Eropa), maka persaingan untuk memasar- serta (3) cemaran atau kontaminan bahan
kan produk dari dan ke dalam negeri kimia dan bahan toksik lainnya.
maupun luar negeri akan makin ketat. Oleh Kelompok pertama berupa penyakit
karena itu, pangan termasuk yang berasal ternak menular dan biasanya terjadi pada
dari ternak, selain merupakan kebutuhan proses praproduksi, yaitu penyakit yang
dasar kehidupan manusia juga sebagai menyerang ternak pada proses pemeliha-
komoditas dagang yang dituntut keaman- raan. Penyakit ini selain mempengaruhi
annya agar mempunyai daya saing yang kesehatan ternak juga menentukan mutu
tinggi, yang pada gilirannya dapat mem- dan keamanan produknya. Beberapa pe-
berikan sumbangan dalam peningkatan nyakit ternak utama yang perlu mendapat
pertumbuhan ekonomi nasional. perhatian adalah antraks, BSE, virus nipah
Pangan asal ternak mempunyai keter- (Encephalitis), tuberkulosis, radang paha,
kaitan yang erat dengan upaya peningkat- dan cysticercosis pada sapi.
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 227

Kelompok kedua adalah penyakit Kasus cemaran dioksin pada daging,


bakterial yang ditularkan melalui pangan. telur, dan susu serta produk olahannya asal
Kejadian penyakit ini dapat timbul melalui Belgia dan beberapa negara Eropa lainnya
infeksi bakteri atau intoksikasi dari toksin (seperti Belanda) menyebabkan Belgia
yang dihasilkan bakteri tersebut. Beberapa menderita kerugian yang cukup besar
penyakit bakterial yang dapat ditularkan karena harus menarik produk yang ter-
melalui pangan adalah salmonellosis, cemar serta mengganti kerugian yang
enteritis Clostridium perfringens, intok- diakibatkannya. Selain itu, Belgia juga
sikasi Staphylococcus, campylobacterio- dilarang mengekspor produk peternakan-
sis, dan hemorrhagic colitis. nya dalam waktu yang cukup lama (Putro
Kelompok ketiga adalah cemaran 1999).
(kontaminan) bahan kimia dan bahan toksik Pada awal tahun 1999, Malaysia meng-
lainnya. Dalam hal ini, daging, susu, dan alami kerugian jutaan dolar Amerika akibat
telur dapat tercemar obat-obatan, senyawa wabah penyakit virus nipah yang me-
kimia, dan toksin baik pada waktu proses nyerang ternak babi dan manusia. Sekitar
praproduksi maupun produksi. Residu satu juta ekor babi harus dimusnahkan
obat seperti antibiotik dapat dijumpai pada untuk memberantas penyakit tersebut.
daging bila pemakaian obat-obatan hewan Kerugian lain yang lebih besar adalah
tidak sesuai dengan petunjuk yang dibe- penutupan ekspor babi ke Singapura, di
rikan, misalnya waktu henti obat tidak mana sebelumnya Malaysia merupakan
dipatuhi menjelang hewan akan dipotong. pemasok utama (80%) kebutuhan daging
Senyawa kimia dan toksin seperti pestisida, babi Singapura. Kerugian lainnya berupa
logam berat, dan mikotoksin/aflatoksin permasalahan sosial ekonomi sebagai efek
dapat mengkontaminasi pakan ternak dan multiplier dari wabah tersebut.
pada gilirannya akan tertimbun dalam Kasus penyakit antraks pada kambing/
jaringan tubuh ternak. domba dan manusia di Kabupaten Bogor
Dampak negatif terbesar dari cemaran pada awal tahun 2001 telah menyebabkan
pangan asal ternak adalah hambatan atau terganggunya pasar lokal kambing/domba
penolakan terhadap berbagai produk di wilayah Jabodetabek. Kelesuan pasar
ternak oleh negara pengimpor. Hal seperti terutama terjadi menjelang Hari Raya Kur-
ini telah terjadi pada kasus penyakit sapi ban sehingga sempat meresahkan sejum-
gila, di mana Pemerintah Inggris mengalami lah pedagang kambing/domba dan sapi di
kerugian jutaan pound sterling karena wilayah tersebut.
ratusan ribu ekor sapi harus dimusnahkan Selain dampak terhadap perdagangan,
untuk memberantas penyakit tersebut, dampak terhadap kesehatan manusia
selain kehilangan pasar luar negerinya. merupakan dampak negatif yang sangat
Kerugian seperti ini, dalam skala yang lebih penting dari pangan yang tercemar. Kasus
ringan, juga terjadi pada wabah penyakit penyakit sapi gila di Inggris dan beberapa
PMK di beberapa negara di Eropa, ter- negara Eropa telah menimbulkan kematian
masuk Inggris, pada awal tahun 2001 serta pada sejumlah orang. Dikhawatirkan hal
beberapa negara Amerika Latin (Argentina tersebut akan terus berlangsung karena
dan Brasil) dan Asia (Cina, Korea Selatan, masa inkubasi penyakit baru akan terlihat
Taiwan, dan Malaysia). setelah lebih dari 5 tahun. Masalah ini telah
228 Sjamsul Bahri

menimbulkan keresahan di kalangan SITUASI DAN BEBERAPA FAKTOR


masyarakat Eropa, terutama Inggris. PENTING DALAM KEAMANAN
Wabah penyakit virus nipah di Malay- PANGAN ASAL TERNAK DI
sia pada tahun 1998-1999 telah menyebab- INDONESIA
kan 100 orang meninggal, umumnya yang
bekerja atau berhubungan dengan ternak Cemaran Mikrobiologis
babi yang terinfeksi penyakit tersebut.
Penyakit ini sangat fatal, menular langsung Cemaran kuman antraks pada daging
melalui kontak dengan bagian-bagian tubuh terjadi akibat ternak terserang penyakit
babi yang tertular (Anonimous 1999). antraks pada proses praproduksi di tingkat
Pengaruh terhadap kesehatan manusia peternak. Umumnya manusia terkena
yang mengkonsumsi daging burung unta antraks karena mengkonsumsi produk
yang terinfeksi kuman antraks telah terjadi ternak yang tertular antraks maupun akibat
pada lebih dari 20 orang di Kabupaten berhubungan (kontak langsung) dengan
Purwakarta, Jawa Barat, pada tahun 1999- agen penyakitnya pada saat ternak terkena
2000 (Hardjoutomo et al. 2000; Widarso et antraks. Kasus antraks pada ternak di
al. 2000). Demikian pula kematian beberapa Indonesia telah dilaporkan sejak tahun
orang di Kabupaten Bogor pada akhir 1885 (Soemanegara 1958; Mansjoer 1961)
tahun 2000 dan awal tahun 2001 diduga dan antraks pada manusia sejak tahun 1922
kuat sebagai akibat mengkonsumsi daging (Soeparwi 1922) dan terakhir tahun 2000
kambing/domba yang terserang antraks (Widarso et al. 2000).
(Noor et al. 2001). Hasil pengamatan selama tahun 1989-
Dampak terhadap aspek sosial politik 1997 terhadap cemaran berbagai serotipe
diperlihatkan pada kasus telur yang kuman Salmonella pada produk ternak di
tercemar Salmonella di Inggris pada akhir Indonesia cukup memprihatinkan karena
tahun 1990-an, dan kasus cemaran dioksin jumlah kuman Salmonella yang dapat
pada produk ternak di Belgia. Kedua kasus diisolasi cukup banyak, yaitu 828 kasus
tersebut menimbulkan keresahan yang luas pada ayam, 233 kasus pada itik, 219 kasus
pada masyarakat dan berakibat pada pe- pada telur, 95 kasus pada babi, dan 59 kasus
ngunduran diri beberapa pejabat teras di pada sapi (Sri-Poernomo dan Bahri 1998).
kedua negara tersebut. Data ini menunjukkan bahwa sanitasi di
Dampak lain yang ditimbulkan adalah: tingkat produsen dan pengolah produk
(1) biaya perawatan korban yang ditang- ternak perlu ditingkatkan agar produk
gung pemerintah maupun masyarakat; (2) memiliki daya saing yang tinggi.
penurunan produksi perusahaan, bahkan
kasus antraks pada burung unta di Pur-
wakarta menyebabkan tutupnya usaha Cemaran Kimiawi
peternakan tersebut; (3) kerugian pada
peternak atau pengusaha akibat kematian Cemaran kimiawi pada daging, susu, dan
ternak dalam jumlah besar, baik akibat telur dapat terjadi akibat penggunaan obat-
penyakit maupun pemusnahan (stamping obatan, bahan aditif, serta cemaran senya-
out); (4) menurunnya produktivitas manu- wa kimia dan toksin pada pakan. Pencemar-
sia yang terserang penyakit tersebut; dan an dapat terjadi baik pada proses pra-
(5) kehilangan jiwa atau kematian. produksi maupun produksi.
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 229

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Beberapa Faktor Penting


pada daging, telur, dan susu ditemukan
residu obat seperti antibiotik golongan Kualitas telur, daging, dan susu sangat
tetrasiklin dan sulfonamida (Tabel 1 dan dipengaruhi oleh proses yang menyertai
2). Umumnya golongan tetrasiklin lebih penyediaan pangan asal ternak tersebut.
banyak ditemukan dengan kandungan Paling sedikit ada tiga proses utama yang
yang cukup tinggi. Kandungan residu obat merupakan mata rantai penyediaan produk
yang melewati batas maksimum residu peternakan, yaitu: (1) proses praproduksi;
(BMR) yang ditetapkan menyebabkan (2) proses produksi; dan (3) proses pasca-
daging dan susu tidak aman dikonsumsi produksi (Gambar 1).
karena dapat menimbulkan reaksi alergis,
keracunan, resistensi mikroba tertentu atau
gangguan fisiologis pada manusia. Proses Praproduksi
Penelitian juga menemukan cemaran
senyawa pestisida dan aflatoksin pada Proses praproduksi penyediaan bahan
daging, susu, dan telur (Tabel 3) akibat pangan asal ternak meliputi budi daya di
pakan yang tercemar. Pencemaran dapat farm (peternakan) atau produsen. Pada
terjadi pada waktu proses praproduksi tahap ini terdapat berbagai faktor dominan
maupun produksi. yang menentukan kualitas akhir produk

Tabel 1. Residu obat hewan pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa.

Sampel
Jenis produk ternak dan Jumlah Jenis residu
positif Sumber
asalnya sampel (obat)
(%)

Susu individu (Jabar) 166 80,0 Antibiotik Sudarwanto (1990)


Susu kandang (Jabar) 416 24,0 Antibiotik Sudarwanto (1990)
Susu loper (Jabar) 128 34,4 Antibiotik Sudarwanto (1990)
Susu pasteurisasi (Jabar) 31 41,0 Antibiotik Sudarwanto (1990)
Susu segar/mentah (Jateng) 91 5,5 Tetrasiklin Bahri et al. (1992a)
63,7 Klortetrasiklin Bahri et al. (1992a)
70,3 Oksitetrasiklin Bahri et al. (1992a)
Susu segar/mentah (Jatim) 52 28,8 Tetrasiklin Bahri et al. (1992b)
19,2 Klortetrasiklin Bahri et al. (1992b)
71,2 Oksitetrasiklin Bahri et al. (1992b)
Susu pasteurisasi 206 32,5 Penisilin Sudarwanto et al. (1992)
Susu mentah 22 59,1 Penisilin Sudarwanto et al. (1992)
Daging ayam (Jatim) 60 13,2 Antibiotik Hartati et al. (1993)
Hati ayam (Jatim) 40 82,5 Antibiotik Hartati et al. (1993)
Hati ayam kampung (Jatim) 30 76,7 Oksitetrasiklin Darsono (1996)
Hati broiler (Jatim) 30 83,3 Oksitetrasiklin Darsono (1996)
Daging ayam (Bali) 50 8,0 Sulfa Dewi et al. (1997)
Telur ayam (Bali) 50 38,0 Sulfa Dewi et al. (1997)
Daging ayam (Bogor) ? ? Tetrasiklin Biyatmoko (1997)
Hati ayam (Bogor) ? ? Tetrasiklin Biyatmoko (1997)
Daging ayam (Jabar) 93 70 Oksitetrasiklin Murdiati et al. (1998)
30 Klortetrasiklin Murdiati et al. (1998)
230 Sjamsul Bahri

Tabel 2. Residu antibiotik pada susu, daging sapi, hati sapi, daging ayam, dan hati ayam dari berbagai
sumber di Jawa, Bali, dan Lampung.

Sampel positif (%)


Jenis produk Sumber dan jumlah
sampel Antibiotik Peni- Makro- Amino Tetra-
keseluruhan silin lida glikosida siklin

Susu Peternak (10) 63,6 18,2 18,2 18,2 54,5


Koperasi (11) 63,6 54,5 18,2 0 54,5
Pengolahan susu (3) 50,0 50,0 50,0 0 50,0
Total (24) 62,5 37,5 20,8 8,3 54,2
Daging sapi RPH (16) 87,5 87,5 0 0 0
Ps. Tradisional (12) 100,0 100,0 0 0 8,3
Supermarket (20) 100,0 100,0 18,8 0 18,8
Distributor (8) 100,0 100,0 0 0 0
Total (56) 96,5 96,5 5,3 0 7,0
Hati sapi RPH (22) 100,0 100,0 4,5 0 0
Ps. Tradisional (10) 100,0 100,0 11,1 0 22,2
Supermarket (8) 100,0 100,0 12,5 0 12,5
Distributor (8) 87,5 87,5 0 0 0
Total (48) 97,9 97,9 6,4 0 6,4
Daging ayam RPU (16) 25,0 18,8 0 0 0
Ps. Tradisional (12) 25,0 25,0 0 0 0
Supermarket (12) 41,7 41,7 0 0 0
Total (40) 30,0 27,5 0 0 0
Hati ayam RPU (15) 100,0 100,0 6,7 0 13,3
Ps. Tradisional (10) 100,0 100,0 10,0 30,0 10,0
Supermarket (7) 100,0 100,0 0 14,3 0
Total (32) 100,0 100,0 6,3 12,5 9,4

Total sampel 200 80,0 76,5 6,5 3,0 11,5

Sumber: INIANSREDEF (1999)

Produsen/Peternak/Farm ternak, yaitu: (1) pakan atau bahan pakan;


Praproduksi (2) bahan kimia seperti pestisida dan des-
t
Transportasi
infektan; (3) obat hewan; (4) status penya-
kit hewan menular; dan (5) sistem mana-
t
jemen yang diterapkan. Kelima faktor
Prosesor (RPH) Produksi
tersebut memegang peranan penting dalam
t menghasilkan produk ternak yang bermutu
Distributor dan aman dikonsumsi.
t Pascaproduksi
Pengecer Pakan dan Bahan Pakan. Pakan me-
megang peranan terpenting atau kritis
t
dalam sistem keamanan pangan asal
Konsumen
ternak. Pakan yang tercemar akan ber-
Gambar 1. Bagan rantai penyediaan produk interaksi dengan jaringan/organ di dalam
ternak (daging). tubuh ternak. Apabila cemaran senyawa
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 231

Tabel 3. Cemaran berbagai senyawa toksik (mikotoksin dan pestisida) pada susu, telur, daging dan hati
ayam, serta daging dan hati sapi di Jawa.

Jenis bahan pangan, asal, dan Jenis Kadar rata-rata/


Sumber
jumlah sampel aflatoksin kisaran (ppb)

Susu, Jabar (97) AFM1 0,4 Bahri et al. (1991)


Susu, Boyolali (25) AFM1 1,69 Maryam et al. (1993)
Susu, Ungaran (24) AFM1 0,99 Maryam et al. (1993)
Susu, Solo (24) AFM1 1,09 Maryam et al. (1993)
Susu, Bogor (12) AFM1 0,04-0,17 Bahri et al. (1994b)
Telur ayam buras, Blitar (20) Ro 1,04 Maryam et al. (1994)
Telur ayam ras, Blitar (40) AFB1Ro 0,22 Maryam et al. (1994)
Ro 36 Maryam et al. (1994)
Telur itik, Blitar (10) AFB1 0,371 Maryam et al. (1994)
Ro 5 Maryam et al. (1994)
Hati ayam broiler, Jabar (31) AFM1 12,071 Maryam (1996)
Ro 54 Maryam (1996)
Telur ayam ras, Bandung (20) AFM1 0,1230 Maryam et al. (1995)
Ro 147 Maryam et al. (1995)
Daging ayam broiler, Jabar (31) AFM1 7,360 Maryam (1996)
Ro 34 Maryam (1996)
Daging sapi, Jabar (30) AFB1 0,456-1 Widiastuti (2000)
139
AFM1 <0,1 Widiastuti (2000)
Hati sapi, Jabar (20) AFB1 0,33-1,44 Widiastuti (2000)
AFM1 <0,1 Widiastuti (2000)
Daging Ayam, Jabar (61) Lindane 38 (62%)* Murdiati et al. (1998)
Aldrin 18 (29%)* Murdiati et al. (1998)
Endosulfan 15 (25%)* Murdiati et al. (1998)
DDT 20 (33%)* Murdiati et al. (1998)
Dursban 6 (10%)* Murdiati et al. (1998)
Diazinon 3 (5%)* Murdiati et al. (1998)
Heptachlor 37 (61%)* Murdiati et al. (1998)

*Jumlah dan persentase positif dengan kadar masih berada di bawah BMR
AFB1 = aflatoksin B1, Ro = aflatoksikol, AFM1 = aflatoksin M1

toksik tersebut kadarnya cukup tinggi maka melalui air seni dan feses, tetapi sebagian
dengan cepat akan mematikan ternak. lagi tetap tersimpan dalam jaringan/organ
Dalam jumlah kecil, cemaran tidak menim- tubuh yang selanjutnya disebut sebagai
bulkan efek langsung, tetapi akan terus residu. Apabila pakan yang dikonsumsi
berada di dalam tubuh. Di dalam tubuh, ternak terkontaminasi senyawa kimia/
sebagian senyawa kimia/toksik akan toksik maupun obat hewan maka residu
dimetabolisme menjadi senyawa metabolit dari senyawa kimia atau obat tersebut akan
yang kurang toksik dan sebagian lebih terakumulasi dalam jaringan/organ tubuh
toksik daripada senyawa induknya. dengan konsentrasi yang bervariasi. Hal
Senyawa induk maupun metabolit ini dapat dipahami sesuai dengan teori
sebagian akan dikeluarkan dari tubuh proses farmakokinetik obat seperti yang
232 Sjamsul Bahri

dijelaskan Setiawati et al. (1987) (Gambar sepertiga dari pabrik pakan yang diamati
2). Dengan demikian, senyawa kimia/toksik juga membubuhkan obat koksidiostat
atau obat hewan yang semula hanya ter- selain antibiotik (Bahri et al. 2000). Keadaan
dapat pada bahan pakan atau ransum ini akan menambah jenis residu pada
ternak, kini menyatu dengan produk ternak produk ternak.
sehingga membahayakan kesehatan Herrick (1993) melaporkan bahwa
masyarakat yang mengkonsumsinya. sekitar 50% penyimpangan residu obat
pada produk ternak disebabkan tidak di-
Obat Hewan pada Pakan. Hampir semua patuhinya waktu henti pemberian obat.
pabrik pakan menambahkan obat hewan Spence (1993) juga melaporkan 15,6%
berupa antibiotik ke dalam ransum jadi peternak di Australia tidak mematuhi
(Bahri et al. 2000). Hal ini berarti sebagian ketentuan waktu henti obat. Di Indonesia
besar pakan komersial yang beredar di hanya 8,16% peternak sapi perah yang
Indonesia mengandung antibiotik. Hal ini mematuhi waktu henti obat dengan tidak
diperkuat oleh hasil penelitian yang me- menjual susu segar ke koperasi selama 2-5
nyatakan bahwa sebagian besar sampel hari setelah pengobatan (Bahri et al. 1993;
pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Kusumaningsih et al. 1996). Selanjutnya
Tangerang, dan Bekasi positif mengan- Herrick (1993) melaporkan bahwa pemakai-
dung residu antibiotik golongan tetrasiklin an obat yang dilakukan oleh peternak telah
dan obat golongan sulfonamida (Balitvet menyebabkan penyimpangan residu obat
1990, 1991; Murdiati dan Bahri 1991). pada produk ternak lebih dari 60% (63%-
Dengan demikian, apabila penggunaan 65%). Keadaan ini kemungkinan besar
ransum tersebut kurang atau tidak mem- berkaitan dengan dosis dan waktu henti
perhatikan aturan pemberiannya, dapat obat yang tidak dipatuhi. Hasil survei di
diduga kuat produk ternak akan mengan- Australia yang dilaporkan Spence (1993)
dung residu antibiotik. Lebih-lebih lagi juga mengungkapkan bahwa 35,4% pema-

Target kerja (reseptor) Depot jaringan


s

Bebas Terikat Bebas Terikat


t

t t

s s
Sirkulasi sistemik

Absorbsi Obat bebas Ekskresi


s

Obat terikat Metabolit


t

Biotransformasi

Gambar 2. Bagan proses farmakokinetik obat (Setiawati et al. 1987).


Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 233

kaian obat antimikroba tidak dilakukan tercemar berbagai mikotoksin seperti afla-
secara tepat. Kesalahan seperti ini ke- toksin, zearalenon, cyclopiazonic acid,
mungkinan juga terjadi di Indonesia dan okratoksin A (Ginting 1984a, 1984b;
dengan persentase yang jauh lebih tinggi. Widiastuti et al. 1988a, 1988b; Bahri et al.
Bahan baku pakan komersial sebe- 1994b; Maryam 1994). Dari berbagai mi-
narnya telah melalui proses pemeriksaan kotoksin tersebut, yang paling dominan
secara fisik, terutama bau, ketengikan, dan adalah aflatoksin, khususnya aflatoksin B1
jamur (Bahri et al. 2000), serta kandungan (AFB1). Cemaran mikotoksin pada pakan
aflatoksin dan cemaran mikroba patogen. terjadi sepanjang tahun dengan kadar ber-
Namun, selain mengandung cemaran af- variasi sehingga produk ternak, terutama
latoksin, logam berat dan mikroba, pada daging ayam, telur, dan susu perlu diwas-
bahan pakan atau pakan jadi juga dite- padai terhadap residu mikotoksin. Bahri et
mukan senyawa obat-obatan golongan al. (1994a) melaporkan adanya korelasi
antibiotik, koksidiostat, dan antijamur positif antara keberadaan AFB1 pada pa-
yang sengaja dicampur ke dalam pakan kan dan AFM1 pada susu yang dihasilkan
untuk tujuan tertentu, seperti memacu per- ternak.
tumbuhan (Widiastuti et al. 1999).
Residu antibiotik dalam pangan asal Kontaminan Lain pada Pakan. Berbagai
ternak dapat mengakibatkan reaksi alergi, kontaminan, baik berupa bahan kimia
resistensi, dan kemungkinan keracunan. maupun mikroorganisme, dapat mencemari
Diperkirakan 4-10% populasi manusia di pakan secara alami maupun nonalami.
dunia alergi terhadap penisilin dan turun- Beberapa contoh adalah kasus dioksin
annya, padahal obat golongan penisilin pada daging ayam, babi, susu dan telur di
masih banyak digunakan baik pada manu- Belgia, Belanda dan Perancis pada tahun
sia maupun ternak (Sudarwanto 1990). 1999 (Putro 1999). Sumber cemaran adalah
Walaupun sebagian pabrik pakan, ter- salah satu bahan pakan yang diproduksi
utama pabrik besar, mencantumkan kete- perusahaan di Eropa. Cemaran lainnya
rangan tentang pencampuran obat hewan adalah jamur atau kapang yang banyak
dalam pakan, sebagian peternak belum terjadi di daerah tropis yang memiliki
mengikuti petunjuk pemakaian sehingga kelembapan tinggi seperti Indonesia.
waktu henti penggunaan obat hewan se- Kontaminasi logam berat, pestisida, dan
ring tidak dipatuhi. Keadaan ini juga di- senyawa beracun lainnya pada bahan
buktikan dengan banyaknya daging dan pakan dapat terjadi setiap saat dan akan
hati ayam serta susu sapi yang positip me- mempengaruhi keamanan produk ternak.
ngandung obat hewan golongan anti-
biotik (Balitvet 1990, 1991; Sudarwanto Pengawasan Penggunaan Obat Hewan.
1990; Bahri et al. 1992a, 1992b; Sudarwanto Tidak semua ransum yang mengandung
et al. 1992; Hartati et al. 1993; Darsono obat hewan mencantumkan penjelasan
1996; Murdiati et al. 1998; INIASREDEF tentang penggunaannya pada label
1999). kemasan, seperti yang diatur dalam SK
Direktur Jenderal Peternakan. Hal ini di-
Mikotoksin pada Pakan. Selain kandung- sebabkan kurangnya pengawasan dari
an antibiotik pada pakan ayam, ternyata petugas yang ditunjuk. Selain tidak men-
pakan dan bahan pakan di Indonesia juga cantumkan penggunaan/penambahan
234 Sjamsul Bahri

obat hewan, diduga pemeriksaan/analisis mempertahankan atau meningkatkan


kandungan obat hewan yang dicampurkan produktivitas ternak. Obat hewan berupa
dalam ransum pakan masih jarang dila- antibiotik umumnya digunakan untuk
kukan, sehingga kadar sebenarnya dari mengobati penyakit infeksi yang disebab-
obat hewan dalam ransum kurang dike- kan oleh bakteri. Namun, antibiotik juga
tahui. Keadaan ini menyulitkan petugas sering diberikan untuk memperbaiki pe-
dalam mengamankan produk ternak dari nampilan ternak, memacu pertumbuhan,
residu obat hewan yang berasal dari pakan/ serta meningkatkan reproduksi dan efi-
ransum. Hal ini diperkuat oleh kenyataan siensi penggunaan pakan (Bell 1986).
bahwa institusi yang memiliki wewenang Untuk memacu pertumbuhan kadang-
melakukan pengujian mutu pakan belum kadang juga digunakan hormon trenbolon
dapat menjalankan tugas dan fungsi se- asetat seperti pada sapi potong di Austra-
bagaimana mestinya untuk menganalisis lia.
kandungan obat hewan maupun senyawa- Pengamatan di lapang menunjukkan
senyawa kimia/bahan beracun lainnya pemakaian antibiotik terutama pada pe-
dalam ransum ternak (Bahri et al. 2000). ternakan ayam pedaging dan petelur cen-
Pengamatan di lapang menunjukkan derung berlebihan dan kurang tepat, tan-
bahwa pemakaian antibiotik pada peter- pa memperhatikan aturan pemakaian yang
nakan ayam niaga, khususnya ayam pe- benar (Bahri et al. 2000). Penggunaan obat
daging, kurang terawasi oleh pihak yang hewan yang kurang tepat kemungkinan
berwenang. Dengan kata lain, peran pe- berkaitan dengan pola pemasaran obat
ngawasan obat hewan belum berjalan hewan di lapangan. Sekitar 33,3% peternak
seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, ayam petelur skala kecil dan 30,8% peternak
kedudukan pengawas obat hewan ber- ayam pedaging skala kecil tidak mem-
dasarkan SK Mentan No. 808/1994 perlu punyai dokter hewan, tetapi mendapat
dikaji kembali agar tugas dan fungsinya obat langsung dari distributor atau impor-
dapat berjalan sebagaimana mestinya tir sehingga penggunaan obat-obatan
sehingga pemakaian obat hewan sesuai cenderung tidak mengikuti aturan yang
dengan ketentuan. Kondisi ini akan men- benar (Kusumaningsih et al. 1997). Se-
jamin keamanan produk ternak dari resi- harusnya hanya peternak besar dan me-
du obat hewan/antibiotik. Mungkin perlu miliki tenaga dokter hewan yang boleh
dibedakan antara pengawas untuk obat berhubungan langsung dengan distributor
hewan yang langsung diberikan pada ter- atau importir obat hewan. Herrick (1993)
nak dengan pengawas untuk obat hewan dan Spence (1993) melaporkan, walaupun
yang dicampur dalam ransum, karena peternak mengetahui waktu henti obat,
pengawasan untuk obat hewan yang di- sebagian dari mereka tidak mematuhinya.
campur dalam ransum lebih rumit sehingga Kusumaningsih et al. (1996) mengung-
memerlukan pengawasan khu-sus. kapkan hanya 20% peternak sapi perah di
Penggunaan obat hewan untuk keper- Jawa Barat yang mengetahui jenis obat
luan pengobatan, pencegahan penyakit yang digunakan oleh petugas Dinas Pe-
maupun sebagai pakan tambahan tidak ternakan atau koperasi. Kemudian dari 20%
dapat dihindari pada proses praproduksi tersebut hanya 14,28% yang mengetahui
ternak. Bahkan sering kali penggunaan waktu henti obat, dan yang mematuhi
obat hewan merupakan keharusan untuk waktu henti obat dengan tidak menjual
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 235

susu ke koperasi selama 2-5 hari setelah Untuk sapi, kerbau, domba, dan kam-
pengobatan hanya 8,16%. bing, pemeriksaan kesehatan antemortum
sangat penting untuk mencegah hewan
yang terinfeksi penyakit berbahaya seperti
Proses Produksi antraks ikut terpotong karena akan mem-
bahayakan petugas, mencemari lingkung-
Proses produksi yang berkaitan dengan an setempat, dan produk ternaknya mem-
keamanan pangan asal ternak terutama bahayakan masyarakat yang mengkon-
terjadi pada tempat pemotongan, yaitu di sumsinya. Diduga kasus antraks pada
rumah potong hewan untuk daging atau manusia di Kabupaten Bogor terjadi karena
tempat pemerahan untuk susu. Oleh ka- kambing dipotong secara perorangan dan
rena itu, proses produksi daging dan susu tidak diawasi petugas (dokter hewan)
sejak pemotongan atau pemerahan sam- berwenang sehingga pemeriksaan ante-
pai siap santap merupakan proses yang mortum terabaikan. Oleh karena itu, pe-
panjang dan terdapat beberapa titik kritis meriksaan kesehatan ternak pada peng-
bagi keamanan bahan pangan tersebut. Hal amatan antemortum menjadi sangat pen-
ini karena adanya ancaman kontaminasi ting sebelum dilaksanakan pemeriksaan
pada daging atau susu karena lingkungan lebih lanjut.
yang kurang higienis dan sanitasi yang
kurang baik, serta tidak terlindunginya Pemeriksaan Postmortum. Setelah peme-
daging atau susu oleh pembungkus apa riksaan antemortum, pada proses penyem-
pun. Ancaman tersebut dapat berupa kon- belihan harus dilanjutkan dengan pemerik-
taminasi mikroba, bahan kimia berbahaya saan postmortum untuk mengamati ke-
dan beracun, dan pengaruh fisik lain yang mungkinan adanya kelainan pada organ/
dapat mengganggu dan membahayakan jaringan tubuh akibat penyakit yang belum
kesehatan manusia. dapat teramati pada pemeriksaan ante-
Adanya Rumah Potong Hewan (RPH) mortum. Pemeriksaan yang lebih detail
atau Rumah Potong Unggas (RPU) meru- diperlukan seperti untuk keperluan ekspor,
pakan salah satu upaya implementasi meliputi pemeriksaan kandungan mikro-
keamanan pangan seperti yang dimaksud biologis, residu bahan hayati, bahan kimia,
dalam UU Pangan. Sebagai tindak lanjut logam berat, antibiotik, hormon dan obat-
dalam mewujudkan upaya keamanan obatan lain. Daging unggas yang mengan-
pangan asal unggas, telah diberlakukan dung residu bahan kimia, logam berat,
SNI 01-6-6160-1999 tentang kriteria RPU. antibiotik, hormon, dan obat lain dengan
kadar di atas batas ambang dilarang untuk
Pemeriksaan Antemortum. Sesuai dengan diedarkan/dikonsumsi. Ditemukannya
peraturan yang berlaku, hewan yang akan berbagai residu obat hewan dan hormon
dipotong antara lain harus bebas penyakit pada produk peternakan oleh Balitvet
menular serta telah melalui pemeriksaan (1990), Sudarwanto (1990), Bahri et al
laboratorium bila perlu, dan pemantauan (1992a, 1992b), Darsono (1996), Dewi et al.
terhadap penggunaan antibiotik serta (1997), dan Widiastuti (2000) menunjuk-
obat-obatan lain dalam pakan. Bila hal ini kan bahwa pengawasan residu pada pe-
dilaksanakan maka produk ternak akan meriksaan postmortum belum berjalan
terjamin keamanannya. sebagaimana mestinya.
236 Sjamsul Bahri

Sarana dan Prasarana. Beberapa mikro- Batas Maksimum Residu dalam Bahan
organisme yang sering mengkontaminasi Makanan Asal Hewan.
produk ternak pada proses produksi ada- Penetapan batas maksimum cemaran
lah Salmonella sp., Camphylobacter sp., mikroba dan residu dalam bahan makanan
Clostridium sp., dan E. coli dari berbagai asal ternak yang tertuang dalam SNI ber-
serotipe. Data cemaran Salmonella sp. tujuan untuk: (1) memberikan perlindungan
pada berbagai produk ternak di Indonesia kepada konsumen dan masyarakat ter-
telah dilaporkan oleh Sri-Poernomo dan utama dalam aspek keamanan dan ke-
Bahri (1998). sehatan; (2) mewujudkan jaminan mutu
Pengamatan terhadap dua RPU modern bahan makanan asal hewan; dan (3) men-
dan dua RPU tradisional di Jabodetabek dukung perkembangan agroindustri dan
menunjukkan bahwa RPU modern telah agribisnis. SNI tersebut memuat sembilan
memenuhi semua persyaratan dalam SNI jenis cemaran mikroba pada daging, susu
tentang RPU, sedangkan RPU tradisional dan telur, serta 314 jenis residu yang me-
sebagian besar belum memenuhi persya- liputi pestisida, logam berat, antibiotik,
ratan tersebut (Bahri et al. 2000). Dikha- hormon, serta obat-obatan dan bahan
watirkan daging ayam dari RPU tersebut kimia lainnya.
tidak cukup aman dari cemaran mikroba
seperti E. coli maupun Salmonella spp.
Dapat dibayangkan bagaimana RPU, TPA PERMASALAHAN DAN STRATEGI
ilegal atau tempat-tempat pemotongan PENGAMANAN
ayam milik perorangan yang tidak diketahui
petugas pengawas. Kemungkinan besar Keberadaan berbagai residu antibiotik,
daging ayam yang dihasilkan sangat sulfonamida, hormon, pestisida, logam
diragukan higiene dan keamanannya. berat, dan mikotoksin pada produk ternak
di Indonesia menggambarkan adanya
permasalahan pada proses praproduksi
Proses Pascaproduksi dan pascaproduksi, terutama pengawasan
dan penerapan peraturan yang belum
Untuk melindungi kosumen dari bahaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
cemaran mikroba dan residu dalam produk Permasalahan pada proses praproduksi
ternak, telah dibentuk tim penyusun am- merupakan penyebab utama keberadaan
bang batas cemaran mikroba dan residu berbagai residu tersebut. Pada umumnya
dalam bahan makanan asal ternak dengan peternak kurang memahami bahaya residu
harapan Indonesia memiliki standar am- dan waktu henti obat. Oleh karena itu,
bang batas cemaran sendiri. Pada tahun perlu dilakukan pengawasan yang ketat
1996 dikeluarkan Keputusan Bersama dalam pemakaian obat hewan pada pakan,
Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian baik pada produsen pakan maupun peng-
tentang Batas Maksimum Residu Pestisida gunaannya oleh peternak/farm. Selain itu,
pada Hasil Pertanian. Kemudian pada tahun secara terus-menerus perlu diupayakan
2000 terbit SNI No.01-6366-2000 tentang peningkatan pengetahuan peternak dalam
Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan penggunaan obat hewan dan sanitasi
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 237

lingkungan usaha agar produk ternak yang paui batas maksimum yang diperbolehkan.
dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi. Permasalahan ini perlu diupayakan pe-
Adanya berbagai residu pada organ mecahannya dengan meningkatkan ke-
hati ternak menggambarkan bahwa organ mampuan institusi/laboratorium penguji
ternak tersebut cukup riskan untuk di- atau memberdayakan laboratorium yang
konsumsi. Oleh karena itu, kebiasaan sudah teruji/terakreditasi.
masyarakat Indonesia mengkonsumsi hati Upaya lain untuk mengatasi masalah
perlu mendapat perhatian sehingga ke- residu pada produk ternak adalah perlunya
biasaan tersebut tidak diteruskan. Penen- dibentuk tim untuk merencanakan program
tuan BMR pada produk ternak di Indonesia nasional monitoring/surveilans residu se-
perlu ditinjau kembali sehingga tidak cara terkoordinasi. Program ini mencakup
disamakan dengan ketentuan yang berlaku bimbingan dengan memberikan informasi
di negara lain karena adanya perbedaan balik, baik kepada pemerintah maupun
pola konsumsi. Demikian pula penentuan peternak. Untuk memudahkan pemerik-
acceptable daily intake (ADI) terhadap saan residu, terutama untuk keperluan
residu perlu ditinjau ulang perhitung- ekspor, harus ada data dari perusahaan
annya, disesuaikan dengan pola konsumsi peternakan mengenai jenis obat yang di-
masyarakat Indonesia terhadap produk berikan kepada ternak selama proses pra-
ternak. produksi sehingga pemeriksaan residu
Perbedaan yang sangat mencolok lebih terarah dan efisien. Pada tahap awal
antara negara maju dan negara berkem- (jangka pendek), pengawasan residu lebih
bang antara lain adalah kemampuan dalam diarahkan kepada obat bahan kimia yang
mendeteksi senyawa berbahaya pada pro- mendapat perhatian dari negara peng-
duk ternak. Dalam hal ini, negara-negara impor, selain obat atau senyawa yang ba-
maju dapat dengan mudah mendeteksi nyak digunakan di Indonesia serta yang
keberadaan berbagai senyawa/cemaran batas toleransinya harus nol.
dalam produk ternak, sedangkan kemam- Keamanan pangan dimulai sejak ternak
puan negara berkembang sebaliknya. dipelihara di peternakan/peternak. Oleh
Sementara itu, jenis cemaran di negara karena itu, keamanan dan kualitas ternak
maju cenderung lebih sulit dideteksi, serta produknya sangat bergantung pada
seperti pada kasus BSE, dioksin, hormon, keamanan pakan dan sumber-sumber pa-
dan produk-produk hasil rekayasa genetik. kan, air, serta lingkungan. Produk ternak
Pengujian residu pada produk ternak relatif aman dikonsumsi bila dalam proses
di Indonesia belum banyak dilakukan, baik praproduksi dilakukan hal-hal berikut: (1)
oleh laboratorium yang berwenang maupun pengontrolan penyakit secara biologis
laboratorium lembaga penelitian, terutama dengan menghindari penggunaan bahan-
terhadap residu mikotoksin, pestisida, dan bahan kimia/obat-obatan berbahaya se-
hormon karena keterbatasan dana dan ke- cara berlebihan; (2) penggunaan pakan
mampuan, terutama SDM dan fasilitas. bebas dari cemaran mikrobiologis, bahan
Apabila pengujian dilakukan secara ter- kimia, dan bahan berbahaya lainnya; (3)
atur tidak tertutup kemungkinan akan di- menggunakan sumber air bebas cemaran
peroleh kandungan residu yang melam- logam berat berbahaya maupun mikro-
238 Sjamsul Bahri

organisme patogen; (4) membatasi pe- untuk obat hewan yang langsung diberi-
tugas peternakan/farm ke luar masuk farm kan kepada ternak karena penggunaan obat
setiap saat untuk menghindari stres pada hewan dalam ransum lebih kompleks dan
ternak dan mencegah penularan/konta- peredarannya lebih luas, menjangkau
minasi penyakit; dan (5) lingkungan pe- masyarakat peternak di berbagai pelosok
ternakan bukan merupakan daerah wabah tanah air. Penyimpanan, distribusi, dan
penyakit tertentu. penanganan pakan berbeda-beda se-
Sesungguhnya strategi utama untuk hingga obat hewan yang dicampur dalam
menjamin produk pangan asal ternak ber- pakan diperkirakan potensinya berbeda
kualitas dan aman dikonsumsi adalah dengan obat sejenis yang tidak dicampur
dengan menerapkan sistem jaminan mutu dalam pakan dan disimpan dengan cara
dan keamanan berupa Hazard Analysis dan pada tempat yang semestinya.
Critical Control Point (HACCP) pada Pengawasan pakan, terutama terhadap
setiap mata rantai proses penyediaan pa- kandungan obat hewan, cemaran mikroba,
ngan asal ternak. Analisis risiko perlu dan cemaran mikotoksin serta senyawa
diterapkan pada bahan pangan asal ternak kimia lainnya, belum sesuai dengan ke-
yang akan diimpor dari negara-negara tentuan SNI tentang pakan. Hal ini karena
yang dicurigai tertular atau tercemar pe- keterbatasan kemampuan laboratorium
nyakit hewan tertentu. penguji mutu pakan.
Pengujian residu pada produk pe-
ternakan baru dilakukan pada residu obat
PENUTUP hewan tertentu. Residu aflatoksin dan
senyawa kimia lain belum mendapat
Hampir semua ransum ternak komersial perhatian, padahal di lapangan cukup
mengandung obat hewan, terutama go- banyak terjadi cemaran aflatoksin pada
longan antibiotik, tetapi tidak semua per- pakan. SNI tentang pakan juga mencan-
usahaan pakan mencantumkan penjelasan tumkan bahwa kadar aflatoksin merupakan
penggunaannya. Dengan kondisi peternak salah satu persyaratan mutu yang perlu
yang umumnya kurang mengetahui waktu diuji. Demikian pula pengujian residu
henti obat dan bahaya yang ditimbulkan pestisida, logam berat, hormon, dan
maka berbagai residu obat hewan dapat senyawa-senyawa kimia lainnya belum
dijumpai pada produk ternak. banyak dilakukan.
Pengawasan mutu pakan yang beredar Lembaga pengujian residu perlu di-
perlu ditingkatkan, termasuk terhadap obat tingkatkan peran dan kemampuannya
hewan yang dicampur dalam ransum dengan meningkatkan SDM, fasilitas, dan
ternak. Demikian pula pemakaian obat sarana laboratorium sehingga laborato-
hewan yang diberikan langsung kepada rium dapat menjalankan fungsinya secara
ternak perlu diawasi, baik untuk peng- profesional. Pada masa mendatang mung-
obatan maupun pencegahan. Pengawasan kin diperlukan laboratorium penguji
sekaligus diikuti dengan penertiban pema- swasta lain yang memenuhi standar, ter-
kaian obat hewan di lapangan. akreditasi, dan profesional.
Perlu dipertimbangkan agar pengawas Sampai saat ini belum ada peraturan
untuk obat hewan yang dicampur dalam yang mengharuskan importir dan atau
ransum dibedakan dengan pengawas produsen produk ternak memeriksakan
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 239

produk yang akan diedarkan di Indonesia Bahri, S., T.B. Murdiati, R. Maryam, dan
terhadap cemaran mikroba dan berbagai Yuningsih. 1992b. Senyawa Golongan
residu, sehingga menyulitkan petugas Tetrasiklin pada Susu Sapi Rakyat di
berwenang dalam mengawasi keamanan Beberapa Desa Kabupaten Pasuruan,
produk-produk tersebut untuk dikon- Jawa Timur. Laporan Intern Balai
sumsi. Oleh karena itu, perlu dibuat per- Penelitian Veteriner, Bogor.
aturan agar produk ternak yang beredar di Bahri, S., A. Nurhadi, T.D. Soedjana, T.B.
Indonesia, terutama yang diimpor, melam- Murdiati, R. Widiastuti, dan P. Zahari.
pirkan hasil uji terhadap cemaran mikroba 1993. Sistem Penyebaran dan Pemasar-
dan residu yang dikeluarkan oleh labo- an Obat Hewan di DKI Jakarta Raya
ratorium yang terakreditasi. Hal ini sesuai dan Jawa Barat. Laporan Penelitian,
pula dengan SNI tentang batas maksimum Pusat Penelitian dan Pengembangan
cemaran dan residu. Peternakan, Bogor.
Dengan ditemukannya berbagai residu Bahri, S. 1994. Residu obat hewan pada
pada produk ternak, terutama pada organ produk ternak dan upaya pengamanan-
hati, maka kebiasaan mengkonsumsi hati nya. Kumpulan makalah Lokakarya
terutama pada anak balita perlu dihilang- Obat Hewan. Asosiasi Obat Hewan
kan. Penghitungan acceptable daily Indonesia (ASOHI), Jakarta, 16-18
intake dan BMR untuk kondisi masyara- November 1994.
kat Indonesia juga perlu ditinjau ulang Bahri, S., Ohim, dan R. Maryam 1994a.
disesuaikan dengan pola konsumsi masya- Residu aflatoksin M1 pada air susu sapi
rakat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan hubungannya dengan keberadaan
atau pengkajian untuk memperoleh angka aflatoksin B1 pada pakan sapi. Kum-
yang sesuai bagi masyarakat Indonesia. pulan Makalah Kongres Nasional
Perhimpunan Mikologi Kedokteran
Manusia dan Hewan Indonesia 1 dan
DAFTAR PUSTAKA Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. hlm.
269-275.
Anonimous. 1999. Outbreak of Hendra- Bahri, S., Yuningsih, R. Maryam, dan P.
like virus in Malaysia and Singapore Zahari. 1994b. Cemaran aflatoksin pada
1998-1999. Centre for Disease Control pakan ayam yang diperiksa di labora-
and Prevention (CDC) 8(13): 265-269. torium toksikologi Balitvet tahun 1991-
Bahri, S., P. Zahari, R. Maryam, dan Ng. 1998. Penyakit Hewan 26(47): 39-42.
Ginting. 1991. Residu aflatoksin M1 pada Bahri, S., A. Kusumaningsih, T.B. Murdiati,
susu sapi asal beberapa daerah di Jawa A. Nurhadi, dan E. Masbulan. 2000.
Barat. Makalah disajikan pada Kongres Analisis Kebijakan Keamanan Pangan
XI dan Konferensi Ilmiah Nasional V Asal Ternak (Terutama Ayam Ras Pe-
PDHI, Yogyakarta, 11-13 Juli 1991. telur dan Broiler). Laporan Penelitian.
Bahri, S., R. Maryam, Yuningsih, dan T.B. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Murdiati. 1992a. Residu Tetrasiklin, Peternakan, Bogor.
Khlortetrasiklin dan Oksitetrasiklin Balitvet. 1990. Residu pestisida, hormon,
pada Susu Segar asal Beberapa DATI antibiotika, dan standarisasi kualitas
II di Jawa Tengah. Laporan Intern Balai broiler untuk ekspor. Laporan Peneli-
Penelitian Veteriner, Bogor. tian. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
240 Sjamsul Bahri

Balitvet. 1991. Residu antibiotik pada Poerwakarta, Jawa Barat. Makalah


daging ayam broiler dan pakannya di disajikan pada Seminar dan Pameran
Jawa Barat. Laporan Penelitian. Balai Teknologi Veteriner, Jakarta, 14-15
Penelitian Veteriner, Bogor. Maret 2000.
Bell, I. 1986. Rational chemotherapeutics. Hartati, T., Sarmanu, S. Prawesthirini, dan
In Poultry Health. The Post-Graduate M. Ivone. 1993. Pemeriksaan residu
Committee in Veterinary Science. The antibiotika pada ayam pedaging di
University of Sydney in Association beberapa pasar di wilayah Kotamadya
with Australian Veterinary Poultry Surabaya. Media Kedokteran Hewan
Association. Proceedings No. 92: 429- 9(1): 36-43.
467. Herrick, J.B. 1993. Food for thought for
Biyatmoko, D. 1997. Telaah Tingkat Residu food animal veterinarians. Violative
Antibiotika Golongan Tetrasiklin pada drug residues. JAVMA 03: 1122-1123.
Karkas dan Hati Ayam Broiler yang INIANSREDEF. 1999. Case Study on
Diperdagangkan di Kotamadya Bogor. Quality Control of Livestock Products
Tesis Magister Sains, Institut Pertanian in Indonesia. Indonesia International
Bogor. Animal Science Research and Deve-
Darminto dan S. Bahri. 1996. “Mad Cow” lopment Foundation (INIANSREDEF).
dan penyakit sejenis lainnya pada Report prepared for Japan Internatio-
hewan dan manusia. Jurnal Penelitian nal Cooperation Agency (JICA).
dan Pengembangan Pertanian 15(4): Kusumaningsih, A., T.B. Murdiati, dan S.
81-89. Bahri. 1996. Pengetahuan peternak serta
Dewi, A.A.S., N.L.P. Agustini, dan D.M.N. waktu henti obat dan hubungannya
Dharma. 1997. Survei residu obat pre- dengan residu antibiotika pada susu.
parat sulfa pada daging dan telur ayam Media Kedokteran Hewan 12(4): 260-267.
di Bali. Buletin Veteriner 10(51): 9-14 Kusumaningsih, A., E. Martindah, dan S.
Darsono, R. 1996. Deteksi residu oksitetra- Bahri. 1997. Jalur pemasaran obat
siklin dan gambaran patologi anatomi hewan pada peternakan ayam ras di
hati dan ginjal ayam kampung dan ayam beberapa lokasi di Jawa Barat dan DKI
broiler yang dijual di lima pasar Kodya Jaya. Hemerazoa 79 (1-2): 72-80.
Surabaya. Media Kedokteran Hewan Mansjoer, M. 1961. Anthrax in man and
12(3): 178-182. animals in Indonesia. Comm. Vet. Bogor
Ginting, Ng. 1984a. Aflatoksin di dalam 5: 61-79.
bahan baku pakan dan pakan ayam Maryam, R., S. Bahri, P. Zahari, Y. Sani, dan
pedaging: I. Di daerah Bogor. Penyakit S. Yuliastuti. 1993. Residu aflatoksin
Hewan 16(27): 152-155 M1 pada susu. Laporan Penelitiaan.
Ginting, Ng. 1984b. Aflatoksin pada pakan Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
ayam pedaging di Daerah Khusus Maryam, R. 1994. Kontaminasi asam siklo-
Ibukota Jakarta Raya dan Kotamadya piazonat (CPA) dan aflatoksin pada
Pontianak. Penyakit Hewan 16(28): 212- jagung. Kumpulan Makalah Kongres
214. Nasional PMKI I dan Temu Ilmiah,
Hardjoutomo, S., M.B. Poerwadikarta, dan Bogor, 21-24 Juli 1994. hlm. 289-293.
K. Barkah. 2000. Antraks di Indonesia: Maryam, R., Indraningsih, Yuningsih, T.B.
Kejadian antraks pada burung unta di Sastrawihana, dan I. Noor. 1994. Residu
Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 241

aflatoksin dan pestisida pada bahan Sitepu, M. 2000. Sapi Gila (Bovine Spongi-
pangan asal ternak. Laporan Penelitian. form Encephalopathy/BSE), Keterkait-
Balai Penelitian Veteriner, Bogor. an dengan Berbagai Aspek. Gramedia
Maryam, R., S. Bahri, dan P. Zahari. 1995. Widasarana Indonesia. Jakarta.
Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatokol Soemanegara, R.Md.T. 1958. Ichtisar
dalam telur ayam ras dengan khromato- singkat dari penyakit radang limpa,
grafi cair kinerja tinggi. hlm. 412-416. penyakit ngorok dan radang paha di
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Indonesia. Hemera Zoa 65: 95-109.
Veteriner untuk Meningkatkan Kese- Soeparwi, M. 1922. Over een Miltvvuurruit-
hatan Hewan dan Pengamanan Bahan braak Bij Mensch en Dier. Ned. Ind. Bl.
Pangan Asal Ternak, Cisarua, Bogor, v. Diergeneesk. 33: 163.
22-24 Maret 1994. Spence, S. 1993. Antimicrobial residues
Maryam, R. 1996. Residu aflatoksin dan survey. Prespective 18: 79-82.
metabolitnya dalam daging dan hati Sudarwanto, M. 1990. Residu antibiotika
ayam. hlm. 336-339. Prosiding Temu di dalam air susu ditinjau dari kesehatan
Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, masyarakat veteriner. Kumpulan Ma-
Bogor, 12-13 Maret 1996. kalah Seminar Nasional Penggunaan
Murdiati, T.B. dan S. Bahri. 1991. Pola Antibiotika dalam Bidang Kedokteran
penggunaan antibiotika dalam pe- Hewan, Jakarta, 9 Januari 1990.
ternakan ayam di Jawa Barat, kemung- Sudarwanto, M., W. Sanjaya, dan P. Trioso.
kinan hubungannya dengan masalah 1992. Residu antibiotika dalam susu
residu. hlm. 445-448. Prosiding Kongres pasteurisasi ditinjau dari kesehatan
Ilmiah ke-8 ISFI, Jakarta 4-6 November masyarakat. Jurnal Ilmu Pertanian Indo-
1991. ISFI. nesia 2(1): 37-40.
Murdiati,T.B., Indaningsih, and S. Bahri. Sri-Poernomo and S. Bahri. 1998. Salmo-
1998. Contamination at animal products nella serotyping conducted at the Bo-
by pesticides and antibiotics. In I.R. gor Research Institute for Veterinary
Kennedy, J.H. Skerritt, G.I. Johnson, Science during April 1989-March 1996.
and E. Highley (Eds.). Seeking Agri- p. 133-142. Proceedings of the 3rd Asia-
cultural Produce Free of Pesticide Resi- Pacific Symposium on the Thypoid
dues. ACIAR Proceedings No. 85: 115- Fever and Other Salmonellosis. Den-
121. pasar, Bali, 8-10 December 1997.
Noor, S.M., Darminto, dan S. Hardjoutomo. Widarso, H.S., T. Wandra, dan W.H. Purba.
2001. Kasus antraks pada manusia dan 2000. Kejadian luar biasa (KLB)
hewan di Bogor pada awal tahun 2001. anthraks pada burung unta di Kabu-
Wartazoa 11(2): 8-14. paten Purwakarta bulan Desember 1991
Putro, S. 1999. Pencemaran Dioksin pada dan dampaknya pada masyarakat.
Daging Ayam di Belgia. Laporan Atase Makalah disajikan pada Seminar dan
Pertanian Indonesia di Belgia. Pameran Teknologi Veteriner, Jakarta
Setiawati, A., S.B. Zunilda, dan R. Setia- 14-15 Maret 2000. Pusat Penelitian dan
budy. 1987. Pengantar farmakologi. Pengembangan Peternakan, Bogor.
Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi Widiastuti, R., R. Maryam, B.J. Blaney,
3. Fakultas Kedokteran Universitas Salfina, and D.R. Stoltz. 1988a. Corn as
Indonesia, Jakarta. a source of mycotoxins in Indonesian
242 Sjamsul Bahri

poultry and the effectiveness of visual antibiotika dan hormon pertumbuhan


examination methods for detecting dalam produk peternakan. Laporan
contamination. Mycopathology 102: 45- Penelitian. Balai Penelitian Veteriner,
49. Bogor.
Widiastuti, R., R. Maryam, B.J. Blaney, Widiastuti, R. 2000. Residu aflatoksin pada
Salfina, and D.R. Stoltz. 1988b. daging dan hati sapi di pasar tradisio-
Cyclopiazonic acid in combination with nal dan swalayan di Jawa Barat. hlm.
aflatoxin, zearalenon and ochratoxin A 609-613. Prosiding Seminar Nasional
in Indonesian corn. Mycopathology Peternakan dan Veteriner, Bogor, 18-19
104: 153-156. Oktober 1999. Pusat Penelitian dan
Widiastuti, R., T.B. Murdiati, Indraningsih, Pengembangan Peternakan, Bogor.
Yuningsih, dan Darmono. 1999. Residu

You might also like