You are on page 1of 21

KOMUNIKASI: SEJARAH DAN FONDASI KEILMUAN

Oleh
Adde Oriza Rio

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI


Komunikasi telah dijadikan penunjang kehidupan manusia
dan masyarakatnya sejak awal kehidupan umat manusia dan
telah dipelajari sejak dulu. Hanya saja, komunikasi dipelajari
masih sebagai perangkat kiat atau resep-resep berkomunikasi
agar komunikasi yang dilakukan seseorang bisa sukses dengan
indikatornya adalah maksud atau keinginan orang tersebut
tercapai. Belum sebagai satu ilmu. Perkembangan berikutnya
didorong oleh berbagai penemuan teknologi komunikasi seperti
mesin cetak cepat, piringan hitam, radio, film yang membawa
perspektif baru yaitu massifikasi komunikasi melalui media
massa walaupun fokusnya masih soal kesuksesan komunikasi
dengan indikatornya adalah tercapainya maksud atau keinginan
para pelaku komunikasi.
Fokus ini mulai berubah dan perkembangan komunikasi ke
arah ilmu mulai tumbuh pasca Perang Dunia I dan terus berlanjut
sampai Perang Dunia II ketika ternyata banyak orang mulai
menyadari bahwa penerapan pengetahuan komunikasi yang
selama ini diketahui tidak bisa menjamin tercapainya efek yang
diinginkan. Malah bisa berbalik memunculkan efek yang tidak
diharapkan. Saat itulah kemudian muncul banyak pertanyaan
mengenai komunikasi, apa itu komunikasi, apa faktor-faktor yang
berperan, bagaimana mengatasi hambatan-hambatan
komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul tidak hanya dari
para praktisi komunikasi (misalnya jurnalis atau orator)
melainkan juga dari para pakar berbagai bidang ilmu seperti
sosiologi, psikologi, bahasa, sastra, antropologi, politik bahkan
termasuk para pakar bidang ilmu eksakta seperti fisika dan
matematika. Pertanyaan ini memicu banyaknya penelitian dalam
komunikasi oleh para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. (M.
Alwi Dahlan, 2008).
Para pakar dari berbagai disiplin ilmu inilah yang disebut
Everett M Rogers sebagai forerunners (para pendahulu) dalam
ilmu komunikasi. Rogers menjelaskan bahwa forerunners adalah
ilmuwan yang membuat kontribusi intelektual yang penting pada
studi komunikasi tetapi tidak mengidentifikasi diri dan murid-
muridnya sebagai ilmuwan komunikasi dan juga tidak
menginstitusionalisasi bidang ini dengan mendirikan sekolah
atau departemen komunikasi di universitas-universitas. Mereka
yang disebut forerunners adalah Gabriel Tarde, Georg Simmel,
George Herbert Mead, Kurt Lewin, Harold D Laswell, Paul
Lazasfeld, Carl I Hovland, Norbert Wiener dan Claude E Shannon.
Sebagai contoh, Lazarfeld misalnya menganggap dirinya dan
murid-muridnya sebagai sosiolog dan bukan ilmuwan komunikasi
(Rogers, 1994, dalam Budyatna, 2008:171-172). Dari hasil kerja
keras para pakar forerunners inilah muncul khazanah
perbendaharaan penelitian, pengetahuan dan teori mengenai
komunikasi yang bersifat antardisiplin. Konvergensi dari semua
pengetahuan ilmiah tentang komunikasi itulah yang mendorong
pengembangan satu bidang ilmu baru yang disebut Ilmu
Komunikasi (M. Alwi Dahlan, 2008).
Orang yang berperan dalam proses melahirkan bidang ilmu
inilah yang disebut founder (pendiri) oleh Rogers yaitu ilmuwan
yang tidak dididik secara formal dalam komunikasi tetapi
menjalankan riset komunikasi dan mendidik generasi pertama
dari ilmuwan-ilmuwan komunikasi dalam disiplin baru ini. Pendiri
utama adalah Wilbur Schramm yang tidak hanya
menginstitusionalisasikan studi komunikasi di Iowa, Illinois dan
Stanford dalam bentuk institut riset komunikasi tetapi juga
mengajar banyak pemegang gelar Ph.D Ilmu Komunikasi yang
pertama (Roger, 1994, dalam Budyatna, 2008: 171-172). Di sini
jelas disebut oleh Rogers bahwa chief founder (pendiri utama)
dari Ilmu Komunikasi adalah Wilbur Schramm sementara proses
pendirian Ilmu Komunikasi ini berlangsung di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat, pendidikan jurnalisme sudah
berkembang sejak tahun 1930-an. Tahun 1943, Schramm diberi
kepercayaan untuk untuk memimpin School of Journalism di Iowa
University. Pada waktu itu, jurnalisme masihlah satu ilmu terapan
yang bicara mengenai how-to-do- it journalism dan program
semacam ini tidak hanya terdapat di Iowa University tetapi
berjumlah ratusan yang ada diseluruh Amerika (sekalipun tidak
semuanya hanya bicara how-to-do it journalism tetapi ada juga
yang sudah menekankan pentingnya penelitian dan telah
memasukkan mata kuliah ilmu-ilmu sosial seperti sejarah pers,
hukum dan manajemen ke dalam kurikulumnya yaitu di School of
Journalism di University of Wisconsin, Madison yang dipimpin
oleh Willard G Bleyer). Schramm punya ide bahwa sebaiknya
mata kuliah ilmu-ilmu sosial juga diberikan bahkan Schramm
mengusulkan agar didirikan program Ph.D di bidang komunikasi
massa. Masalahnya adalah Schramm saat itu kekurangan dana
untuk membiayai rencana-rencananya sehingga ia berpaling ke
tempat lain yaitu University of Illinois. Di universitas itu Schramm
mendapatkan posisi dalam inner circle of adviser. Ia lantas minta
programnya di Iowa bisa direalisasikan di Illinois. Permintaannya
dikabulkan dan berdirilah Institute of Communication Research
dengan Schammm sebagai direkturnya. Esensi dari lembaga ini
adalah program doktor di bidang ilmu komunikasi yang bersifat
interdisipliner dengan biaya besar untuk riset plus Schramm
diangkat menjadi guru besar pertama Ilmu Komunikasi. Problem
berikutnya adalah ketiadaan buku teks bagi Ilmu Komunikasi.
Untuk mengatasinya, Schramm kemudian mengadakan
konferensi dengan menjelaskan mengenai lembaga yang
dipimpinnya dan program doktoral yang dijalankannya. Setelah
itu beberapa forerunner seperti Lazarfeld, Hovland, Casey
menyampaikan makalah mereka dalam konferensi itu.
Selanjutnya, makalah-makalah itu disunting dan diterbitkan
dalam satu buku berjudul Communication in Modern Society
yang menjadi buku teks pertama bagi Ilmu Komunikasi. Setelah
itu, Schramm mengumpulkan lebih banyak artikel dan makalah
dan menerbitkannya menjadi buku berjudul Mass
Communication yang menggantikan buku pertama sebagai buku
teks. Schramm kemudian berpikir bahwa lebih mudah untuk
mendirikan bidang akademi baru di satu universitas swasta yang
bergengsi. Oleh sebab itu ia pindah lagi ke Stanford University.
Memang saat itu Stanford belum termasuk universitas ranking
kelas atas di Amerika Serikat, tetapi masuknya Schramm adalah
juga demi meningkatkan ranking Stanford. Di Stanford, Schramm
memimpin Institute for Communication Research. Di Stanford,
mudah sekali bagi Schramm untuk menggalang dana yang
membuat ia semakin mudah mengembangkan bidang ilmu yang
masih belia yaitu ilmu komunikasi (Budyatna, 2008: 172-175).
Selanjutnya, ilmu ini berkembang terus di Amerika Serikat sesuai
dengan tuntutan zaman melahirkan banyak cabang. Tidak lagi
hanya melulu membicarakan soal kepentingan perang atau
pembangunan tetapi juga sudah mulai dimanfaatkan dalam
praktek politik, bisnis, dan industri (M. Alwi Dahlan, 2008).
Pertanyaan berikutnya adalah: walaupun komunikasi sudah
disadari sangat berpengaruh pada kehidupan manusia dan
masyarakatnya sejak lama, mengapa komunikasi baru
berkembang dengan pesat ke arah ilmu pada abad XX? Tentu
ada faktor-faktor yang yang mendorong perkembangan itu.
Littlejohn menjelaskan, ada beberapa faktor yang
mendorong perkembangan komunikasi menjadi Ilmu Komunikasi.
Pertama, adanya perkembangan teknologi komunikasi seperti
radio, televisi, telepon, satelit, dan jaringan komputer yang
disertai munculnya industrialisasi, bisnis-bisnis besar dan politik
global yang menyebabkan komunikasi mulai dianggap penting
dan mulai mendapat perhatian. Kedua, adanya ketertarikan
terhadap komunikasi sebagai suatu subjek studi karena
dipromosikan oleh filsafat progressivisme dan pragmatisme yang
merangsang munculnya hasrat bagi kemajuan kehidupan
masyarakat melalui meluasnya perubahan sosial. Ketiga, adanya
beberapa perkembangan yang mengarahkan munculnya
ketertarikan pada komunikasi secara akademik yaitu pengaruh
politik dari pesan publik yang memicu kesadaran untuk
melakukan riset atas propaganda dan opini publik serta adanya
perkembangan ilmu sosial yaitu ketika sosiologi dan psikologi
sosial menjadi pemimpin dalam mempelajari komunikasi.
Kebanyakan riset sosiologi pada tahun 1930-an ingin mengetahui
cara-cara komunikasi mempegaruhi individu dan masyarakat
sedangkan dalam psikologi sosial banyak dilakukan riset untuk
mengetahui efek menonton film bagi anak-anak, propaganda dan
persuasi, serta dinamika kelompok. Keempat, adanya dominasi
dari kepentingan komersial yang kuat yang membuat orang
tertarik untuk memperlajari komunikasi agar bisa diterapkan
dalam bisnis yaitu untuk tujuan-tujuan pemasaran atau
periklanan. Kelima, pasca Perang Dunia II, ilmu sosial telah
menjadi ilmu yang secara penuh terlegitimasi dan muncul
ketertarikan yang kuat dan tetap pada proses-proses sosial dan
psikologikal. Komunikasi menjadi studi yang cukup penting
(Littlejohn, 2002: 3-4). Terakhir, diluar yang dijelaskan Littlejohn
kita bisa menambahkan adanya kepentingan Amerika Serikat
dalam Perang Dunia II. Pemerintah Amerika Serikat kala itu
menghadapi kendala-kendala seperti bagaimana meyakinkan
rakyat agar mau ikut perang, mengubah gaya hidup perdamaian
menjadi gaya hidup perperangan. Kendala-kendala ini membuat
pemerintah Amerika Serikat memobilisir para pakar untuk
melakukan penelitian mengenai komunikasi demi mendapatkan
solusi atas kendala-kendala itu dan memenghasilkan sati
organisasi yang bernama Offiice of War Information atau OWI.
Termasuk didalamnya adalah para pemikir Mahzab Frankfurt
yang melarikan diri dari Jerman ke Amerika Serikat (M.Alwi
Dahlan, 2008).
Dengan demikian, komunikasi sesungguhnya adalah
bidang ilmu yang masih muda umurnya. Lantas, bagaimana
hubungan ilmu komunikasi dengan bidang ilmu lainnya? Seperti
yang kita lihat dalam sejarahnya, komunikasi adalah hasil
konvergensi berbagai pengetahuan tentang komunikasi dari
berbagai bidang ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik,
psikologi dan matematika (M. Alwi Dahlan, 2008). Maka dari itu
ilmu komunikasi ibarat ”jalan simpang yang paling ramai dengan
berbagai disiplin ilmu yang melintasiya” dan bisa dianalogikan
dengan kota purba Babelh Dehre yang sering disinggahi para
musafir sebelum melanjutkan perjalanan. Masing-masing musafir
itu kemudian meninggalkan sesuatu di kota purba itu. Persis
seperti komunikasi yang dilewati oleh berbagai disiplin ilmu dan
mendapatkan pengkayaan dari berbagai disiplin ilmu itu
(Schramm, 1980 dalam Anwar Arifin, 2006: 15). Itulah sebabnya
mengapa komunikasi menjadi ilmu yang sangat eklektik dan
interdisipliner.
Schramm sebagai founder (pendiri) dari Ilmu Komunikasi
sendiri menyadari bahwa tidak mungkin mengembangkan
komunikasi menjadi satu bidang ilmu yang mandiri dengan
mengabaikan bidang ilmu lainnya. Namun, demikian tetap harus
memberikan penekanan pada hal yang berbeda dengan ilmu-
ilmu sosial lainnya. Komunikasi adalah bidang ilmu pengetahuan
sekaligus juga terapan yang menghasilkan profesionalisme.
Industri media massa seperti radio, televisi, film dan lainnya
membutuhkan para pekerja yang terampil dari lulusan ilmu
komunikasi (Budyatna, 2008: 176). Inilah bentuk hubungan ilmu
komunikasi dengan disiplin ilmu lain, juga hubungannya dengan
dunia profesi.
Lebih jauh, untuk membedakan Ilmu Komunikasi dengan
disiplin ilmu yang lain, kita perlu ingat bahwa sekalipun bidang
ilmu yang lain juga meneliti komunikasi, tetapi mereka
melihatnya sebagai proses sekunder. Psikologi misalnya
mempelajari perilaku individu dan memandang komunikasi
sebagai salah satu bentuk perilaku. Sedangkan Sosiologi yang
fokus pada masyarakat dan proses sosial memandang
komunikasi hanya sebagai salah satu faktor sosial. Kita, sebagai
ilmuwan komunikasi, tidak memandang komunikasi sebagai
proses sekunder melainkan primer. Komunikasi adalah pusat dari
semua pengalaman manusia dan Ilmu Komunikasi adalah bidang
ilmu yang dicirikan/dikaraterisasikan dari fokusnya pada
komunikasi sebagai topik utama dan perhatiannya pada
keluasan topik komunikasi itu (Littlejohn, 2002: 5-6).
Bagaimanapun, perkembangan ilmu komunikasi di Amerika
Serikat mengambil pendekatan yang berbeda dengan di Eropa.
Pendekatan Amerika Serikat lebih bersifat kuantitatif demi
mengejar objektivitas hasil penelitian sedangkan di Eropa lebih
bersifat kritis, historis dan kultural karena pengaruh Marxisme
yang ada di dalamnya (Littlejohn, 2002:4). Dalam hal ini, pakar
Ilmu Komunikasi D. Lawrence Kincaid bahkan telah membedakan
antara perspektif Barat dan Timur. Kincaid berpendapat bahwa
cara berpikir Timur juga bisa berkontribusi pada pemahaman kita
atas komunikasi. Oleh sebab itu, dengan sangat berharga Kincaid
membandingkan antara perspektif Barat dan Timur. Perspektif
Barat yang dimaksud oleh Kincaid adalah perspektif yang dipakai
di Amerika Serikat dan Eropa di atas. Perbedaan itu adalah (1)
teori-teori Timur berupaya untuk fokus pada keutuhan
(wholeness) dan kesatuan (unity) sedangkan pespektif Barat
lebih mempelajari bagian-bagian dan tidak menggabungkannya
dalam satu proses yang menyatukan. (2) Banyak teori Barat
didominasi oleh visi individualisme. Manusia dianggap aktif
mengejar tujuan personal. Sebaliknya, banyak teori Timur
memandang capaian komunikasi sebagai hasil yang tidak
direncanakan dan alamiah. (3) Banyak teori Barat didominasi
oleh bahasa. Di Timur, simbol verbal, terutama ucapan
dijalankan dan dipandang dengan skeptis. Cara berpikir Barat
juga dicurigai oleh tradisi Timur. Apa yang dianggap penting
dalam banyak filsafat Asia adalah wawasan intuitif yang didapat
dari pengalaman langsung. Wawasan semacam itu bisa didapat
dengan tidak memotong kejadian/peristiwa alamiah, yang juga
menjelaskan mengapa sikap ’diam’ menjadi sangat penting
dalam komunikasi Timur. Terakhir (4) keduanya
mengkonseptualisasikan relasi dengan cara yang berbeda. Pada
perspektif Barat, relasi ada antara dua orang atau lebih. Dalam
perspektif Timur, relasi lebih rumit karena selalu melibatkan
perbedaan posisi sosial seperti peran, status dan kekuasaan
(Littlejohn, 2002: 4-5).
Di Indonesia, Ilmu Komunikasi adalah salah satu bidang
studi yang paling diminati. Hal ini dapat kita lihat dari
menjamurnya program studi Ilmu Komunikasi di universitas-
universitas. Mengapa demikian? Saya pikir karena adanya
pertemuan dua arus kepentingan. Seperti kita tahu, industri
media adalah industri yang paling banyak dijalankan saat ini.
Hitung saja jumlah stasiun televisi (lokal dan nasional), jumlah
stasiun radio, jumlah koran (lokal dan nasional), jumlah majalah,
dan lainnya. Industri media ini adalah industri padat modal yang
harus dikelola dengan sangat hati-hati dan profesional karena
persaingan yang sangat ketat antara media itu sendiri. Artinya,
industri media memiliki kepentingan atas adanya pekerja-pekerja
yang terampil dan profesional dalam mengelola media.
Sebaliknya, lapangan kerja sangat dibutuhkan oleh banyak
orang. Menyadari kebutuhan industri-industri media itu, orang
kemudian berbondong-bondong belajar di program Ilmu
Komunikasi dengan harapan setelah lulus nanti bisa berkerja di
industri media tersebut. Baik sebagai reporter, news reader,
editor, filmmaker, cameraperson, dan profesi lainnya. Berdirinya
banyak sekali program Ilmu Komunikasi di universitas-universitas
serta masuknya orang secara berbondong-bondong ke dalam
program Ilmu Komunikasi ini juga berimbas pada kebutuhan
yang besar atas tenaga pengajar dalam Ilmu Komunikasi.
Akibatnya, pendidikan Ilmu Komunikasi pada level yang lebih
tinggi (pasca sarjana) semakin diminati orang.
Selain untuk berkerja sebagai praktisi media atau tenaga
pengajar, orang juga mulai sadar bahwa apapun profesi mereka,
maka skill atau keterampilan berkomunikasi sangatlah penting.
Misalnya, dokter perlu komunikasi yang baik dengan pasiennya,
begitu juga politisi perlu komunikasi yang baik dengan calon
ataupun konstituennya. Oleh sebab ini, maka banyak orang
merasa perlu untuk mempelajari ilmu komunikasi. Dari semua
faktor ini, maka dapat kita simpulkan bahwa prospek Ilmu
Komunikasi adalah sangat cerah. Hanya saja, gairah yang tinggi
untuk mempelajari Ilmu Komunikasi ini hanya didasari oleh
kepentingan pragmatis. Belum melibatkan kepentingan yang
lebih jauh lagi seperti misalnya memperkuat kesatuan dan
persatuan bangsa karena komunikasi yang baik dapat
menjembatani berbagai perbedaan yang ada dalam tubuh
bangsa Indonesia yang bhineka.

FONDASI ILMIAH ILMU KOMUNIKASI


Seperti juga bidang ilmu yang lain, Ilmu Komunikasi mesti
memiliki fondasi keilmuannya sendiri sehingga ia layak disebut
satu bidang ilmu mandiri yang berdiri sendiri. Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan fondasi keilmuan adalah paradigma (yang juga
mencerminkan filsafat dalam ilmu komunikasi), definisi dan teori
yang terdapat dalam ilmu komunikasi.
Apa saja paradigma yang ada dalam ilmu komunikasi dan
paradigma apa yang dominan? Rasanya, sebelum menjawab
pertanyaan ini maka kata ”paradigma” itu sendiri perlu kita
definisikan terlebih dahulu. Kata ”paradigma”, sesungguhnya
adalah kata yang dipopulerkan oleh filsuf Thomas Kuhn dalam
bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution
(Mulyana, 2004: 9). Paradigma sendiri dijelaskan oleh Kuhn
adalah ”broad theoretical orientations that guide the works of
scholars in a field over a substantial period of time. They are
pervasive and highly influential, and shape and are reflected in
scholars’ theories, research, and practice” (Kuhn, 1970, dalam
Ruben dan Stewart, 2006: 48)
Definisi yang lain diberikan oleh Patton yaitu paradigma
adalah cara pandang atas dunia -satu cara untuk memikirkan
dan memberikan penjelasan atas kompleksitas dunia nyata.
Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan
praktisinya. Paradigma memberitahukan apa yang penting,
terlegitimasi dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif,
menunjukkan pada para praktisinya apa yang harus dilakukan
tanpa perlu mempertimbangkan eksistensial atau epistemologis
yang panjang (Patton, 2002: 69).
Dari dua definisi diatas, saya kemudian mengambil
kesimpulan secara longgar bahwa paradigma adalah suatu cara
pandang teoretis untuk memahami realitas yang memandu
ilmuwan dalam kerja-kerja ilmiahnya. Artinya, dari sini kita bisa
membedakan antara paradigma dalam ilmu pengetahuan secara
umum dengan paradigma dalam ilmu komunikasi. Paradigma
dalam ilmu pengetahuan secara umum adalah cara pandang kita
atas apa itu realitas dan apa itu kebenaran sedangkan
paradigma dalam ilmu komunikasi adalah cara pandang kita
mengenai apa itu komunikasi.
Dalam ilmu pengetahuan sosial, kita mengenal adanya
beberapa paradigma yaitu positivisme/postpositivisme,
konstruktivisme/konstruksionisme/interpretif dan kritis.
Sedangkan, dalam ilmu komunikasi kita mengenal adanya dua
paradigma yaitu paradigma transmisi atau rezim transmisi
(Radford, 2005: 1) atau Mahzab Proses (Fiske, 2004: 9)] dan
paradigma ritual (Carey, 1989, dalam Idi Subandy Ibrahim, 2004:
ix) atau disebut mahzab semiotika oleh Fiske (Fiske, 2004: 9).
Paradigma transmisi/proses memandang komunikasi
sebagai proses transmisi pesan dari sumber menuju penerima. Ia
tertarik pada bagaimana pengirim mengkonstruksi pesan
(encode) dan penerima menafsirkannya (decode) serta
bagaimana dan melalui saluran apa pesan tersebut
ditransmisikan. Paradigma transmisi melihat efisiensi dan akurasi
pengiriman pesan sebagai cara untuk mengukur keberhasilan
komunikasi dengan efek sebagai indikatornya. Jika pesan
dipahami penerima sama dengan yang dipahami pengirim atau
penerima berperilaku sesuai dengan yang diharapkan pengirim
maka komunikasi dianggap berhasil. Sebaliknya, paradigma
ritual atau mahzab semiotika memusatkan perhatiannya pada
makna. Komunikasi dipandang sebagai produksi dan pertukaran
makna yang mana melaluinya kebudayaan dibentuk, dipelihara
dan diubah. Konsekuensinya adalah, dalam riset, paradigma
transmisi memusatkan perhatian untuk meneliti tindakan
komunikasi sedangkan paradigma ritual pada karya komunikasi
(teks) dan maknanya.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi, pada mulanya
paradigma transmisi adalah paradigma yang dominan. Oleh
sebab itulah teori-teori yang ada selalu membicarakan adanya
sumber, pesan, penerima, saluran dan efek. Misalnya, teori
komunikasi dari Shannon atau Laswell. Sedangkan implikasinya
pada riset adalah bahwa dalam riset ketika itu, yang menjadi
fokus peneliti selalu adalah tindakan komunikasi serta efeknya
seperti yang telah dijelaskan diatas. Contohnya, riset yang
dilakukan Schramm dan timnya dari Stanford University pada
tahun 1958 sampai 1960 mengenai efek televisi terhadap anak-
anak. Berkat dana besar dari National Educational Television
and Radio Center, riset ini dijalankan Schramm 11 kali di 10 kota
yang berbeda. Wawancara dilakukan terhadap 6000 anak dan
2000 orang tua (Baran dan Davis, 2000: 150). Lama-kelamaan
paradigma transmisi ini tidak lagi dominan. Karena begitu
kompleksnya komunikasi, maka lebih baik untuk mendekati
jantung komunikasi dengan menggunakan kedua paradigma ini.
Dominasi paradigma transmisi digantikan oleh konvergensi
antara paradigma transmisi dengan paradigma ritual atau
semiotika seperti yang disimpulkan oleh Fiske (Fiske, 2004: 261-
263)
Kini, dengan munculnya teknologi komunikasi dan
informasi global, batasan/halangan ruang dan waktu untuk
berkomunikasi menjadi tidak lagi begitu berarti. Orang bisa
berkirim dan menerima pesan secara simultan, dari banyak
orang ke banyak orang, dari ujung dunia ke ujung dunia lain,
melewati batas-batas geografis dan kultural. Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi telah berimplikasi pada
berubahnya pelaku komunikasi (pengirim/penerima) menjadi
pastisipan komunikasi (peserta) yang setara. Selain itu juga sulit
untuk membedakan mana komunikasi antarpribadi, mana
komunikasi massa, mana komunikasi antarbudaya. Batasan-
batasan itu sudah semakin kabur. Sepertinya pelaku komunikasi
sudah dapat disebut prosumen (produsen-konsumen)
komunikasi, baik dalam level individu maupun massal (M.Alwi
Dahlan, 2008). Begitu juga dengan pesan telah mengambil
beragam bentuk yang lebih luas dari sebelumnya seperti
misalnya animasi, film, musik dan tulisan bisa muncul
bersamaan. Apa implikasinya lebih jauh bagi ilmu komunikasi?
Saya kira, dengan semakin kaburnya batasan itu, membuat
komunikasi menjadi subjek yang semakin kompleks untuk
didekati. Oleh sebab itu, perlu adanya konvergensi antara dua
paradigma menjadi satu seperti yang disimpulkan Fiske.
Mengenai definisi, maka sangat sulit untuk mendefinisikan
kata ”komunikasi” padahal komunikasi itulah yang menjadi
subjek studi ilmu komunikasi. Komunikasi memang adalah
pengalaman yang paling biasa yang selalu kita alami sehari-hari.
Tapi, saat kita coba mendefinisikannya, ia tiba-tiba menjadi teka-
teki yang begitu rumit (Littlejohn, 2002: 2). Kesulitan untuk
mendefinisikan komunikasi itu muncul dari penggunaan istilah
komunikasi yang sedemikian luas dalam kehidupan kita sehari-
hari. Komunikasi bisa adalah berbicara dengan orang lain, berita
di koran, kritik sastra, diskusi ilmilah di ruang kelas, senyuman,
ciuman, lambaian tangan, jeritan, sampai gaya potongan
rambut. Daftar ini tak ada habis-habisnya. Penggunaan yang
sedemikian luas dari istilah komunikasi inilah yang
membingungkan kita saat mencoba mendefinisikan komunikasi.
Apakah istilah komunikasi memiliki batasan arti? Bagaimana
mendefinisikan komunikasi? Apakah segalanya adalah
komunikasi? (Ruben dan Steward, 2006: 12; Fiske, 2004: 7).
Lantas, apa sesungguhnya definisi dari komunikasi?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita artikan dulu apa
yang kita maksud dengan definisi. Definsi adalah sesuatu yang
penting dalam ilmu pengetahuan. Definisi yang berbeda memiliki
fungsi yang berbeda yang membuat para teoritesi mampu
melakukan hal yang berbeda. Satu definisi seharusnya dinilai
berdasarkan sebaik apa definisi itu mampu mencapai tujuan dari
satu investigasi. Investigasi yang berbeda mensyaratkan definisi
yang berbeda bahkan bisa jadi bertentangan satu sama lain.
Definisi, oleh sebab itu, adalah alat yang semustinya bisa
digunakan secara fleksibel. (Littlejohn, 2002: 8-9).
Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa adanya satu definisi
tunggal justeru akan menjadi kaku dan tidak mampu
dipergunakan untuk mencapai tujuan dari berbagai investigasi.
Dance sendiri menyadari hal ini. Dance berkata: ”kita telah
mencoba untuk membuat konsep atas ’komunikasi’ untuk
mengerjakan terlalu banyak hal bagi kita” (Dance, 1970, dalam
Littlejohn, 2002: 9). Oleh sebab itu Dance meminta adanya
sekumpulan konsep, yang secara kolektif, mendefinisikan apa itu
komunikasi. Jadi, implikasinya adalah tidak ada definisi yang
tunggal mengenai apa itu komunikasi dalam Ilmu Komunikasi.
Apa yang kemudian dilakukan Frank Dance? Persis seperti
kesimpulannya bahwa dibutuhkan sekumpulan konsep untuk
mendefinisikan komunikasi, maka Dance berusaha
mengumpulkan sebanyak mungkin konsep untuk mendefinisikan
komunikasi. Ia menemukan tiga poin ”diferensiasi konseptual
kritis” yang membentuk dimensi dasar dari komuniasi yaitu (1)
level observasi atau keabstrakan. Terkadang, satu definisi terlalu
meluas sedang yang lain terlalu menyempit. (2) Kesengajaan.
Sebagian definisi hanya memasukkan tindakan yang disengaja
sebagai komunikasi, sebagian lagi tidak. (3) Penilaian normatif
yaitu memasukkan satu penilaian normatif atas komunikasi.
Misalnya, akurasi dan efisensi pengiriman pesan, sampai
pemahaman pesan (Littlejohn, 2002: 6-7). Dari upayanya, Frank
Dance berhasil mengumpulkan 126 definisi atas komunikasi
(Ruben dan Stewart, 2006 : 13).
Ruben sendiri, mengajukan beberapa karakteristik yang
fundamental dari komunikasi yaitu (1) komunikasi itu proses, (2)
komunikasi itu adalah sesuatu yang esensial bagi kehidupan
individu, relasi, kelompok, organisasi dan masyarakat, (3)
komunikasi melibatkan tindakan merespon dan membuat pesan
dan mentransformasikan pesan menjadi satu informasi yang bisa
dipakai, (4) komunikasi melibatkan tindakan beradaptasi dengan
manusia lain dan lingkungan. Dengan mengkombinasikan empat
karakteristik fundamental itu, Ruben hendak menawarkan satu
definisi yang menurut hematnya cukup memadai atas
komunikasi yaitu: human communication is the process through
which individuals in relationships, groups, organizations, and
societes create and use information to relate to the environment
and one another (komunikasi manusia adalah satu proses yang
melaluinya individu dalam relasi-relasi, kelompok, organisasi,
dan masyarakat menciptakan dan memakai informasi untuk
berhubungan dengan lingkungan dan orang lain) (Ruben dan
Stewart, 2006 : 14-17).
Lantas, perilaku apa sajakah yang dapat digolongkan
komunikasi? Ada sembilan perilaku yang bisa dipertimbangkan
dalam mendefinisikan komunikasi. Sembilan perilaku itu adalah
(1A) nonperceived symptomatic behaviour (pesan berupa gejala
fisik yang tak disengaja –seperti menguap, yang tak diterima
penerima), (1B) incidenttally perceived symptoms (pesan berupa
gejala fisik tak disengaja, tetapi diterima penerima walaupun
diacuhkan), (1C) symptom attended to (pesan berupa gejala fisik
yang tak disengaja dan diterima oleh penerima kemudian
direspon, (2A) nonperceived nonverbal message (pesan
nonverbal yang dikirim dengan sengaja, tetapi tidak diterima),
(2B) incidental nonverbal message (yang dikirim dengan sengaja,
diterima tetapi diacuhkan), (2C) nonverbal messages attended to
(pesan nonverbal yang dikirim dengan sengaja dan direspon),
(3A) nonperceived verbal messages (pesan verbal yang dikirim
dengan sengaja, tetapi tidak diterima), (3B) incidental verbal
message (pesan verbal yang dikirimkan dengan sengaja,
diterima tetapi diacukan), (3C) verbal messages attended to
(pesan verbal yang dikirim dengan sengaja, diterima dan
direspon dengan sengaja). Kita bisa menggolongkan perilaku
mana saja yang termasuk komunikasi dengan menjawab dua
pertanyaan pemandu berikut ini: (1) Haruskah komunikasi
dilakukan dengan sengaja? (2) Haruskah pesan komunikasi
ditangkap penerima? (Littlejohn, 2002: 7-9)
Motley menyatakan bahwa komunikasi adalah proses
pengiriman pesan yang disengaja dan selama pesan itu dapat
diterima (2B, 3B, 2C, 3C). Pendapat Motley ini disebut the
sender-receiver model. Andersen menyatakan bahwa setiap
perilaku yang bisa dimaknai oleh penerima harus digolongkan
kedalam komunikasi tanpa memperdulikan kesengajaan
pengirim (1B, 2B, 3B, 1C, 2C, 3C). Pendapat Andersen ini disebut
the receiver model. Terakhir, Clevenger menyatakan bahwa ia
setuju dengan Motley bahwa hanya pengiriman pesan yang
disengajalah yang tergolong komunikasi. Tapi kesengajaan sulit
untuk diketahui sehingga ia menyarankan agar semua
pengiriman baik yang disengaja maupun tidak, selama pesan
yang dikirim masih diterima, dapat digolongkan sebagai
komunikasi (2A, 3A, 1B, 2B, 3B, 1C, 2C, 3C). Pendapat Clevenger
ini disebut the communication behaviour model.
Littlejohn mensintesakan dari pemikiran tiga pakar bahwa
semua perilaku yang disengaja dapat digolongkan sebagai
komunikasi. Tapi, masih ada perbedaan pendapat tentang
perilaku lain lagi yang mana yang dapat digolongkan sebagai
komunikasi. Karena sedemikian luasnya komunikasi, serta
sedemikian pentingnya definisi bagi investigasi komunikasi,
maka Littlejohn dalam hal ini kemudian bersepakat dengan
Dance bahwa diperlukan lebih dari satu definisi atas komunikasi
melainkan sekumpulan konsep (Littlejohn, 2002: 8-9).
Betapa luasnya makna dan definisi komunikasi telah
melahirkan begitu banyak teori dalam bidang ini. Kemudian,
muncul pertanyaan, bagaimana mengkarakteristikkan teori
komunikasi yang beragam tadi menjadi satu bidang? Seorang
profesor komunikasi dari University of Colorado yaitu Robert T
Craig berpendapat bahwa akan bidang ini tidak akan tersatukan
dengan menyatukan teori atau teori-teori karena teori-teori
selalu merefleksikan betapa majemuknya ide-ide praktis tentang
komunikasi dalam hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, maka kita
seharusnya bukan bertujuan mencari satu model standar
melainkan mencari satu bentuk koherensi berdasarkan pada; (1)
pemahaman bersama atas persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan atau titik ketegangan antara teori-teori
dan (2) suatu komitmen bersama untuk mengatur ketegangan
itu lewat dialog. Dari sini, kita mendapatkan dua persyaratan
agar teori komunikasi bisa menjadi satu bidang yaitu adanya
metamodel (model atas model) dan metadiscourse (wacana
mengenai wacana). Sebagai premis dasar metamodel, Craig
mengatakan bahwa komunikasi membentuk realitas. Ia adalah
proses primer dimana kehidupan manusia dialami. Mengenai
metadiscourse, maka yang dimaksud Craig adalah teori
komunikasi yakni bentuk komunikasi yang ”menjelaskan
komunikasi”. Craig selanjutnya mendeskripsikan bahwa ada
tujuh titik pijak tradisional yang bisa ikut serta dalam dialog
untuk membentuk koherensi bidang komunikasi yaitu (1) tradisi
retoris yang memandang komunikasi sebagai seni keterampilan
yang bisa dievaluasi dan dikembangkan, (2) tradisi semiotik yang
fokus pada tanda-tanda dan simbol-simbol serta bagaimana
tanda-tanda itu membangkitkan makna, (3) tradisi
fenomenologis yang berkonsentrasi pada pengalaman personal
sehingga memandang komunikasi sebagai pertukaran
pengalaman personal melalui dialog, (4) tradisi sibernetik yang
memandang komunikasi sebagai pemprosesan informasi, (5)
tradisi sosiopsikologis yang berkonsentrasi pada aspek-aspek
komunikasi seperti ekpresi, interaksi dan pengaruh, (6) tradisi
sosiokultural yang menjadikan tatanan sosial sebagai fokus
mereka dan memandang komunikasi sebagai perekat
masyarakat, serta (7) tradisi kritis yang cenderung memandang
komunikasi sebagai pengaturan sosial dari kekuasaan dan
penindasan yang merespon persoalan-persoalan ideologi,
kekuasaan, dan dominasi. (Littlejohn, 2002: 12-14)
Dalam kaitannya dengan hal ini, Bradac dan Bowers telah
mengadakan satu analisis metateori atas ilmu komunikasi.
Metateori adalah satu bidang yang mendeskripsikan dan
menjelaskan persamaan-persamaan serta perbedaan-perbedaan
yang ada diantara teori-teori dengan memakai tiga tema besar
yaitu epistemologi (tentang pengetahuan yang benar dan cara
mendapatkannya), ontologi (tentang eksistensi) dan aksiologi
(tenyang nilai-nilai). Apa hasil dari analisis Bradac dan Bowers
itu? Dalam bagian kesimpulan, Bradac dan Bowers mengatakan
bahwa metateori yang ada dalam ilmu komunikasi sudah benar,
sudah pada jalurnya. Oleh sebab itu, tugas kita selanjutnya
bukan lagi membuat metateori melainkan melakukan riset dan
berteori dengan memakai metateori yang sudah ada. (Bradac
and Bowers, dalam Burgoon, ed., 1982: 20-21). Jadi, tujuh titik
pijak yang ditawarkan Craig sudah memadai untuk menjadi titik
pijak kita dalam berteori.
Apa Itu teori komunikasi? Secara sederhana, teori adalah
segala upaya menjelaskan atau merepresentasikan pengalaman
dan realitas. Artinya, semua orang dalam kehidupan sehari-hari
bisa saja berteori. Namun, para ilmuwan memakai istilah teori
dengan lebih seksama yakni hasil kerja intelektual yang
melibatkan penelitian ilmiah yang tekun dan seksama. Istilah
teori komunikasi sendiri bisa merujuk pada satu teori atau juga
untuk menandai sekumpulan pemikiran yang ditemukan dalam
sekumpulan teori yang berhubungan dengan komunikasi
Mengapa Mempelajari Teori Komunikasi? Karena dengan
mengembangkan pemahaman atas berbagai teori komunikasi
kita mendapatkan paradigma yang membuat kita mampu
menginterpretasikan peristiwa dengan lebih mendalam, fleksibel
dan bermanfaat. Kita lantas bisa melihat hal-hal baru dan
bermanfaat sekalipun objek yang kita amati adalah objek yang
sudah familiar bagi kita.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2006. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas.
Cetakan 7. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Bradac, James J. dan John Waite Bowers. 1982. Issues in
Communication Theory: A Metatheoretical Analysis, dalam
Michel Burgoon (ed.). Communication Year Book 5
Budyatna, M. 2008. Perkembangan Sistem Pendidikan
Komunikasi, dalam Manusia Komunikasi, Komunikasi
Manusia. Jakarta : Kompas
Dahlan, M. Alwi. 2008. Selintas Perkembangan Komunikasi dan
Ilmunya: Retrospeksi dan Prospek. Disampaikan sebagai
materi diskusi pada Colloqium Pembuka Awal Tahun Kuliah
2008-2009, Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi,
Universitas Indonesia.
Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Penerjemah: Idi Subandy Ibrahim dan Yosal Iriantara dari
Fiske, John. 1990. Introduction to Communication Studies.
2nd edition. Routledge.
Ibrahim, Idi Subandy. 2004. Studi Komunikasi Dalam Masyarakat
Kontemporer : Menuju Konvergensi dan Pendekatan Kritis.
Pengantar Editor untuk Fiske, John. 2004. Cultural and
Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication.
Seventh edition. Belmont: Wadsworth
Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research and
Evaluation Methods. Third edition. Thousand Oaks,
California: Sage Publications
Radford, Gary. 2005. On The Philosophy of Communication.
Belmont: Wadsworth
Ruben, Brent D, dan Lea P. Stewart. 2006. Communication and
Human Behavior. Fifth edition. Boston: Pearson Education

You might also like