You are on page 1of 4

Pulping process begins with washing bagasse and dried in the sun to dry, then

removed heartwood to mashing up staying bagasse fibers (depithing), sifted and then taken
1000g per one cook. Delignication process or the process of separating cellulose from bonding
compound was conducted by organosolv methods or fiber separation process using organic
chemicals such as methanol, ethanol, acetone, acetic acid, and others, which have been
proven environmentally friendly. In this experiment used an organic solvent is ethanol. Dry
bagasse put in a round bottom flask. To this is added 40% ethanol (solution cookers) and
concentrated acetic acid (as catalyst). Comparison between the solution cookers with bagasse
is 10: 1 (v / w). The volume of catalyst used in any comparison is the same that 5 ml. The
solution was cooked at a temperature of 120 ° C for 4 hours. Bagasse pulp deligniication result
is then washed to remove residual ethanol. Pulp paper is made by soaking waste paper for 24
hours. Bagasse pulp and paper pulp milled respectively. At the pulp mill waste paper,
adhesives PVAC added 5% of the weight of the paper. Sheet printing process begins with the
thinning of waste paper pulp and bagasse pulp. The second pulp is mixed with a ratio of 1: 1.
Tinting is done before the dilution process where coloring is conditioned several hours for a
given color can be absorbed well by the pulp. By using a printer paper, printed and pressed
to the glass. Pulp sheet is formed on the degree of fineness of 200-300 degrees freeness. The
pulp suspension as much as 1430 ML inserted into the stock chest (stirrer), add water to 10 L
to 10 sheets of pulp. Furthermore, sheet molded to the suspension in the chest stock runs
out, which is 10 sheets of pulp. .it Create a sheet of paper begins when pulp began to enter
into the paper machine or paper machine until the sheet of paper, neatly rolled up in a log or
roll
kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang
mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi
kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup. Di Indonesia kearifan lokal itu tidak hanya
berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat
lintas budaya atau lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional.
Sebagai contoh, hampir di setiap budaya lokal di Nusantara dikenal kearifan lokal yang
mengajarkan gotong royong, toleransi, etos kerja, dan seterusnya. Pada umumnya etika
dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun,
diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk
pepatah dan peribahasa, folklore), dan manuskrip.

Walaupun ada upaya pewarisan dan pelestarian kearifan lokal dari generasi ke
generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kukuh menghadapi
globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang makin pragmatis dan konsumtif. Secara
faktual dapat kita saksikan bagaimana kearifan lokal yang sarat kebijakan dan filosofi
hidup nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik hidup yang makin pragmatis.
Pertumbuhan manusia yang semakin pesat membuat pemenuhan kebutuhannya pun
semakin tinggi, misalnya dalam konsumsi kertas. Di Indonesia tingkat konsumsi
sangatlah tinggi. Menurut Indonesian Pulp & Paper Assoctiation Directory konsumsi
kertas di Indonesia mencapai 5,96 juta ton pada tahun 2006. Tingginya tingkat
konsumsi kertas tersebut membuat pohon yang merupakan bahan baku pembuatan
kertas semakin berkurang. Tercatat 65-97 juta pohon ditebang untuk memenuhi
kebutuhan akan kertas para angkatan kerja di Indonesia (Velliana, 2013).

Hal ini mendorong kita untuk mencari alternative baru sebagai bahan dasar
pembuatan kertas. Misalnya saja ampas tebu. Tebu setelah digiling untuk diambil
airnya ampas hasilnya tidak terpakai atau hanya menjadi sampah, padahal ampas tebu
ini memiliki kandungan serat yang baik sebagai bahan dasar kertas.

Untuk memenuhi kebutuhan kertas, Indonesia masih mengimpor kertas maupun pulp.
Pulp merupakan bahan serat untuk kertas. Pembuatan pulp secara konvensional
umumnya menggunakan kayu sebagai bahan baku utamanya, sehingga konsulmsi kayu
akan bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan pulp tersebut, yang
mengakibatkan dampak lingkungan terhadap. manusia semakin terasa seperti banjir,
tanah longsor, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif lain untuk mencari
bahan pengganti kayu sebagai bahan baku utama pulp. Dengan adanya kemajuan dan
perkembangan industri kimia saat ini, ampas tebu (bagasse) yang berasal dari limbah
industri pabrik gula dan kertas-kertas bekas yang tidak terpakai sangat efisien dan
ekonomis bila dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp.
Pertama, ampas tebu dipotong-potong kemudian dikeringkan
dibawah panas matahari. Setelah itu dimasukkan ke dalam tabung
atau drum dan dimasak dengan air 80% dari total bahan ditambah
larutan NaOH 7% (larutan pemasak) yang bisa juga ditambahkan
larutan bisulfit dari Ca(HSO3)2 3% (sebagai katalis) untuk proses
sulfit yang dapat memecah lignin membentuk ligonsulfat, sehingga
tidak diperlukan proses khusus untuk menghilangkan lignin. Proses
pemasakan ini berlngsung selama 2 jam. Selanjutnya akan didapat
ampas tebu dalam bentuk bubur yang menyatu dengan air. Proses
selanjutnya adalah pewarnaan, dalam pembuatan kertas ini kita
dapat memberi warna sesuai keinginan kita. Apabila dinginkan
kertas berwarna putih kita dapat melakukan proses pemutihan
dengan sodium karbonat, namun jika kita menginginkan kertas
memiliki warna dapat ditambahkan parutan temulawak untuk warna
kuning, daun suji atau daun pandan untuk warna hijau, kulit ketela
ungu untuk warna ungu dan lain-lain. Jadi tidak perlu menggunakan
menggunakan bahan kimia, sehingga dihasilkan kertas yang 100%
menggunakan bahan alami. Bubur kertas atau pulp yang telah
tercampur rata warnanya dicetak menggunakan screen sablon
dengan ukuran 30cmx15cm, kemudian dijemur dibawah terik
matahari hingga kering merata.
roses deligniikasi atau proses pemisahan selulosa dari senyawa pengikatnya
dilakukan dengan metode organosolv atau proses pemisahan serat dengan
menggunakan bahan kimia organik seperti misalnya metanol, etanol, aseton, asam asetat,
pelarut
dan lain-lain, yang telah terbukti ramah lingkungan. Dalam percobaan ini digunakan
organik yaitu etanol. Ampas tebu kering dimasukkan ke dalam labu alas
bulat. Ke dalamnya ditambahkan etanol 40% (larutan pemasak) dan asam
asetat pekat (sebagai katalis). Perbandingan antara larutan pemasak
dengan ampas tebu adalah 10:1 (v/b). Volume katalis yang digunakan
pada setiap perbandingan adalah sama yaitu 5 ml. Larutan dimasak pada
suhu 120 oC selama 4 jam. Pulp ampas tebu hasil deligniikasi selanjutnya
dicuci untuk menghilangkan sisa etanol. Pulp kertas dibuat dengan cara
merendam kertas bekas selama 24 jam. Pulp ampas tebu dan pulp kertas
masing – masing digiling. Pada penggilingan pulp kertas bekas
ditambahkan perekat PVAc 5 % dari berat kertas. Proses pencetakan
lembaran dimulai dengan melakukan pengenceran pulp kertas bekas dan
pulp ampas tebu. Kedua pulp dicampur dengan perbandingan 1:1.
Pewarnaan dilakukan sebelum proses pengenceran dimana pewarnaan
dikondisikan beberapa jam agar warna yang diberikan dapat diserap
dengan baik oleh pulp.
Dengan menggunakan alat pencetak kertas , kertas dicetak dan dipres pada kaca.Lembaran
pulp dibentuk pada derajat kehalusan 200-300 derajat freeness. Suspensi pulp
sebanyak 1430 ML dimasukkan ke dalam stock chest (pengaduk), ditambahkan air
sampai 10 L untuk 10 lembaran pulp. Selanjutnya dibentuk lembaran sampai suspensi
dalam stock chest habis, yaitu 10 lembar pulp. .Proses membuat lembaran kertas
dimulai saat pulp mulai masuk ke mesin kertas atau paper machine sampai dengan
lembaran kertas tergulung rapi dalam gelondongan atau roll

You might also like