Professional Documents
Culture Documents
Indonesia Berpotensi
Kembangkan "Aerocity"
ARIMBI RAMADHIANI
Kompas.com - 05/06/2016, 12:19 WIB
Tahap pertama pengembangan Aeropolis, yakni dormitori atau apartemen mungil Aeropolis Residence 1,2,3
ukuran 12 meter persegi dan 14 meter persegi serta Aeropolis Crystal Residence, telah terjual 4.053 unit dari
total 4.335 unit yang dipasarkan. (Hilda B A/KOMPAS.com)
Potensi aerocity sendiri terletak di kota atau negara yang bandaranya cukup sibuk.
Para pebisnis yang harus melakukan pertemuan di kota lain dalam waktu relatif
singkat atau beberapa hari saja, menjadi faktor terbentuknya aerocity.
Meeting dan beristirahat di hotel dekat bandara, misalnya, akan memudahkan pebisnis
untuk bepergian ke daerah lainnya.
Hal ini akan menciptakan kawasan mandiri sendiri yang kemudian disebut aerocity
tersebut. Pasalnya, kawasan ini didorong dengan adanya bandara.
Pembangunan Kertajati Aero City dibagi menjadi empat tahap yaitu zona industri dan
pergudangan, zona pelayanan umum dan sosial, zona perkantoran, perdagangan, dan
jasa, zona perumahan, zona ruang terbuka hijau, zona ruang terbuka biru, zona
campuran, dan marga jalan.
Nantinya zona industri dan pergudangan berada di lahan paling besar yaitu 1.268
hektar atau 36 persen dari total luas lahan.
Lahan ruang terbuka hijau sendiri juga cukup luas yaitu 982,31 hektar (28 persen),
ruang terbuka biru seluas 99,97 hektar (3 persen), marga jalan seluas 407,15 hektar
(12 persen), zona pelayanan umum dan sosial seluas 84,56 hektar (2 persen), dan zona
campuran seluas 136,53 hektar (4 persen).
Kawasan industri sudah ditetapkan akan dibangun di bagian utara bandara yang
berjarak cukup jauh dari kawasan perumahan dan bandara.
Rencana pembangunan tahap I yang menelan biaya Rp 1,8 triliun sudah hampir
dirampungkan. Setelah groundbreaking, pembangunan tahap I ditargetkan bisa
rampung pada Desember 2017 nanti.
Aero City
June 17, 2013August 18, 2013Fitri Wardhono
4 Votes
Konsep Pengembangan Kota Bandara atau Airport City—atau istilah yang saat ini dikenal
dengan sebutan Aerotropolis—tak pernah lepas dari peningkatan jaringan dunia yang serba cepat
yang mempengaruhi perubahan aturan main persaingan industri dan isu lokasi atau tempat usaha.
Penggagas istilah Aerotropolis, John D. Kasarda, seorang profesor di University of North
Carolinas Kenan-Flagler Business School , dan Direktur dari the Kenon Institute of Private
Enterprise, menulis dalam beberapa artikel dan buku, terkait dengan mengapa Aerotropolis
menjadi sangat penting di abad 21.
Penelitian Kasarda (2000; 52) menemukan bukti kehandalan perkembangan kawasan bandara
yang dia sebut sebagai “airport power”. Kasarda menunjukkan kawasan sekitar bandara tahun
1993, diperkirakan meningkatkan lowongan pekerjaan 2 sampai 5 kali lipat dari sebelumnya.
Sementara dengan merujuk pada pertumbuhan 321 kota-kota metropolitan di Amerika Serikat
pada tahun 1998, Kasarda menemukan bahwa keberadaan bandara sebagai hub telah
meningkatkan penyediaan pekerjaan berbasis high-technology pada kawasan sekitarnya sampai
angka 12.000 pekerjaan. Kasarda menyatakan yang menyebabkan percepatan pertumbuhan
semacam itu merupakan konvergensi paling tidak dari empat aspek yakni, digitalisasi,
globalisasi, aviasi, dan persaingan yang berbasis waktu. (Kasarda, 2001; 42).
The combined thrust of these forces is creating a new economic geography with international
gateway airports driving and shaping business location and urban development in the 21st
century as much as highways did the 20th century, railroads in the 19th and seaports in the 18th.
Today, these airports have become key nodes in global production and commercial systems and
engines of local economic development attracting air commerce-linked business of all types to
their environs. (Kasarda, 2001; 42).
The Aerotropolis is the urban incarnation of this physical internet; the primacy of air transport
makes airports and their hinterlands the places to see how it function–and to observe the
consequences. (Kasarda dan Lindsay, 2011; 9-10)
The three rules of real estate have changed from location, location,location to accesibility,
accesibility, accesibility. (Kasarda dan Lindsay, 2011; 9-10)
Hal ini yang mengubah posisi bandara yang biasanya direncanakan terpisah dari pengembangan
kota menjadi satu paket perencanaan antara bandara dan wilayah sekitarnya sebagai kota bandara
atau aerotropolis dengan memanfaatkan akses global mengubah Jet Age menjadi Net Age dari
abad jet menjadi abad jejaring. (Kasarda dan Lindsay, 2011; 24).
Gambar 1 : Perubahan Posisi Bandara Terhadap Kota
1. significant employment,
2. shopping,
3. trading,
4. business meeting,
5. entertainment, and
6. leisure destinations,
sehingga menjadi kota handal dan menjadi daya tarik global (melalui airplane network) dan
lokal (melalui multimodal lokal). Evolusi function dan form ini mentransformasikan secara
esensial sejumlah bandara kota (city airport) menjadi kota bandara (airport cities) (Kasarda,
2008; 4).
Beberapa perubahan evolutif bandara digambarkan Kasarda dan Lindsay sebagai berikut:
Many aerotropoli will evolve out of the cities we already call home—only their highways and
byways will lead us to terminals instead of downtown. For isntant ones like New Songdo,
Kasarda has drafted a set of blue prints replete with air trains and “aerolanes” connecting
prefab neighborhoods and business district. (Kasarda dan Lindsay, 2011; 5).
Dari sedikit Aerotropolis yang sudah dan sedang dikembangkan dapat disebutkan seperti
misalnya di Asia seperti Incheon Internastional Airport dan kota Songdo, Shenzen China, Dubai
airport, di Eropa misalnya Schipol.
Kasarda (2008; 4-5) menyebutkan evolusi “bandara kota” menjadi “kota bandara” didorong oleh
apa yang dia sebut sebagai airport city drivers. Dia menyatakan Kota Bandara telah berevolusi
dengan bentuk spasial yang berbeda didasarkan pada lahan yang tersedia dan prasarana
transportasi darat, namun hampir semua muncul sebagai tanggapan terhadap empat pendorong
pembangunan yang menjadi pertimbangan utama. Keempat airport city driver tersebut menury
Kasarda adalah:
1. Bandara-bandara perlu menciptakan sumber daya dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan
penerbangan, untuk bersaing dan juga memberikan pelayanan yang lebih baik dari fungsi
bandara.
2. Usaha sector komersial untuk mendapatkan lahan yang aksesibel
3. Bandara mampu meningkatkan penumpang dan barang
4. Pelayanan bandara sebagai katalis dan magnet untuk pembangunan kegiatan bisnis.
Kasarda (666-667) menyebutkan Schematic Design dari Aeropolis dalam Schematic of Typical
Airport City, sebagai berikut:
Skematik desain Aerotropolis dapat dibedakan menjadi tiga yakni core aeronautical activities,
airport related activities dan airport-oriented activities, dan dijelaskan sebagai berikut:
1. Aktivitas inti penerbangan, operasional teknis dari bandara yang secara langsung mendukung
fungsi-fungsi penerbangan (semua kegiatan bandara, jasa pengiriman barang kilat,
perbelanjaan, hotel dan bongkar muat).
2. Aktivitas yang berhubungan dengan Bandar udara merupakan kegiatan yang berhubungan
dengan pengangkutan serta pergerakan penumpang dan barang (kawasan logistic dan
perdagangan bebas, pusat kegiatan distribusi, pusat intermoda angkutan, kereta api).
3. Aktivitas yang berorientasi pada Bandar udara memilih berada di area sekitar bandara
dikarenakan imej yang dimiliki oleh bandara itu sendiri dan aksesibilitas jalan yang sangat baik.
Harga lahan dan konektivitas yang baik merupakan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
pemilihan lokasi dari kegiatan-kegiatan tersebut (pusat perdagangan dan niaga grosir,
convention center, pusat penelitian/teknologi, kawasan kesehatan, kawasan industri, mixed use,
kawasan komersial, kawasan olah raga dan kawasan perkantoran).
Secara skematis dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Tipikal
Kota Bandara secara fungsional dapat digambarkan sebagaimana pada Gambar 5.
Gambar 2 : Schematic Design dari Aeropolis dalam Schematic of Typical Airport City
Pengembangan kawasan komersial yang pesat di dan di sekitar gerbang bandara menjadikan
kegiatan tersebut sebagai generator pertumbuhan perkotaan dan menjadikan bandara sebagai
pusat lapangan pekerjaan yang penting, kawasan perbelanjaan, perdagangan serta destinasi
bisnis, serta bandara membangun sebuah “brand image” tersendiri untuk menarik kegiatan bisnis
yang tidak berkaitan dengan kebandar udaraan.
Sifat alami dari pasar local dalam kegiatan industri dan komersial yakni memiliki peran penting
dalam keberlangsungan kota bandara dan kegiatan di dalamnya.
Selain itu, área di sekitar bandara juga dapat menarik kegiatan bisnis, pekerja-pekerja profesional
dan penduduk yang lebih banyak dibanding dengan área lain, pembangunan kegiatan komersial
di dalam kawasan bandara merefleksikan kebutuhan dari pekerjaan, pekerja dan penduduk
terhadap pelayanan yang disediakan oleh bisnis yang berbasis bandara. pelayanan-pelayanan
tersebut meliputi pelayanan perumahan, rekreasi, kuliner, perdagangan, kesehatan, penitipan
anak dan dokter hewan. Seperti pada penelitian mengenai perkotaan di Amerika Serikat yang
memaparkan mengenai pertumbuhan di área perkantoran di dekat bandara lebih cepat
berkembang dibandingkan di área bandara suburban lainnya.
Kebutuhan –kebutuhan untuk kegiatan bisnis yang berbasis pada bandara saat ini disediakan di
dalam kawasan campuran (mixed use) yang luas di dalam área bandara, sebagai sentra
pembangunan metropolitan. Pergeseran ini membuat pembangunan kota bandara sebagai model
perencanaan kreartif dan atribut-atribut managemen yang berbeda.
Kegiatan di dalam Kota Bandara memberikan nilai tambah untuk kawasan di sekitar Kota
Bandara, dan sebaliknya kawasan di luar Kota Bandara mendatangkan penumpang serta barang
ke dalam Kota Bandara.
1. Pertokoan
2. Restoran
3. Kegiatan entertainmen dan kebudayaan
4. Hotel dan akomodasinya
5. Bank dan penukaran mata uang asing
6. Gedung Perkantoran
7. Convention and exhibition centers
8. Hiburan, rekreasi dan pusat kebugaran
9. Logistik dan distribusi
10. Pengawetan makanan dan pendinginan
11. Katering dan kuliner
12. Perdagangan bebas dan sejenisnya
13. Lapangan golf
14. Factory outlets
15. Pelayanan keluarga, seperti klinik kesehatan dan penitipan anak
Isu Terkait Pola Ruang di Sekitar Bandara[1]
Tujuan utama dari proses perencanaan rencana induk bandara yakni menciptakan kawasan
bandara yang juga sesuai dengan kawasan sekitarnya. Guna lahan yang tidak sesuai dapat
berakibat pada keamananan dan efisiensi operasional bandara. Tata guna lahan yang tidak sesuai
untuk kawasan bandara meliputi, suaka margasatwa termasuk juga daerah rawa dan tempat
pembuangan sampah akhir, menara BTS, menara radio, penerangan yang dapat mengganggu
orientasi dan konsentrasi pilot, serta bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.
Berikut adalah kawasan-kawasan yang rentan terkena dampak polusi suara dari kegiatan bandara
sehingga guna lahannya harus diperhatikan, yakni kawasan permukiman termasuk di dalamnya
sekolah, tempat peribadatan, sarana kesehatan, serta concert hall.
Fungsi kegiatan/guna lahan lain yang sesuai dibangun berdekatan dengan kawasan bandara yakni
taman, área konservasi, dan ruang terbuka (baik hijau maupun non hijau lainnya). Kawasan
tersebut disediakan untuk kepentingan publik dan menjaga kawasan bandara itu sendiri. Kegiatan
lainnya yang sesuai dengan bandara meliputi kawasan hutan kota, kegiatan pertamanan,
lapangan golf, dan industri ekstaktif seperti pertambangan dan penggalian.
Pertanian juga merupakan salah satu guna lahan yang sesuai dikembangkan di kawasan bandara,
sejauh pengelolaannya sebagai pertanian produksi. Tata guna lahan pertanian diperbolehkan
berada di área sekitar bandara selain untuk efisiensi guna lahan juga memberikan keuntungan
bagi bandara.
Isu Kebisingan[1]
[1] ACRP Report 27, Enhancing Airport Land Use Compatibility halaman 1-26 dan 1-27.
Polusi suara yang diakibatkan oleh bandara menjadi perhatian utama dalam meletakkan tata guna
lahan yang sesuai, termasuk faktor dampak yang ditimbulkan dan batasan opersional bandara.
Operasional bandara menimbulkan suara bising yang mengganggu área disekitar bandara, hal
lain yang juga dapat ditimbulkan gangguan suara, gangguan tidur dan gangguan pada aktivitas
belajar mengajar. Hal ini tentunya akan berdampak pada kualitas kehidupan bagi lingkungan
permukiman disekitar bandara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi polusi suara untuk lokasi yang berdekatan dengan bandara:
Beberapa faktor lain yang menentukan respon masyarakat terhadap kebisingan (polusi suara):
1. Tipe dari tata guna lahan disekitarnya (perdagangan, idustri, institusi dan permukiman) dan
tingkatan dari suara yang dihasilkan;
2. Tipe dari lingkungan disekitarnya (pedesaan, sub perkotaan atau perkotaan) dan tingkatan
polusi suara yang dihasilkan;
3. Bentuk dari guna lahan disekitarnya
4. Pengalaman masyarakat terhadap paparan kebisingan.
5. Persepsi mengenai kebutuhan suara bising tersebut.
Hal tersebut bisa menimbulkan pengaruh dan persepsi masyarakat terhadap kebisingan.sama
halnya, hal tersebut dapat diuji untuk meningkatkan kompatibilitas antara bandara dan kawasan
sekitarnya.
Tersedianya informasi penting mengenai efek dari polusi suara, akan berguna untuk kedua belah
pihak (baik pihak bandara maupun masyarakat sekitar); pengelola bandara dan stakeholder.
Informasi-informasi tersebut harus disediakan secara berkala. Beberapa efek primer dari polusi
suara antara lain:
1. Gangguan;
2. Getaran pada rumah;
3. Susah konsentrasi belajar;
4. Penyakit lain yang tidak berhubungan dengan suara; serta
5. Gangguan tidur
Berdasarkan hasil studi penelitian, pendekatan paling pokok untuk mencapai kompatibilitas
kebisingan adalah dengan meminimalkan kebisingan yang mengganggu aktivitas
masyarakat.umumnya, pendekatan yang terbaik adalah dengan membatasi jumlah masyarakat
yang menempati área dengan tingkat kebisingan tinggi. Jika pendekatan tersebut tidak berjalan,
maka alternatif lainnya meliputi:
Secara relatif, beberapa kecelakan pesawat terbang disebabkan oleh kondisi tata guna lahan yang
dapat membahayakan penerbangan. Perlindungan terhadap kecelakan merupakan hal yang paling
esencial dari kompatibilitas keamanan tata guna lahan bandara. Disamping itu, kondisi guna
lahan yang berbahaya untuk penerbangan akan berdampak pada kegiatan operasional bandara
dan membatasi kegiatan operasional bandara seperti perancangan bandara.
Tall Structures (Bangunan Tinggi)
Ketika masyarakat berpikir mengenai karakteristik yang berbahaya bagi penerbangan, maka
yang pertama kali terpikirkan adalah bangunan tinggi. Masyarakat awan (yang tidak mengerti
tentang dunia penerbangan) tidak mengetahui bahwa gedung pencakar langit dapat menimbulkan
masalah yang besar jika lokasinya berada di ujung (berdekatan) área landas pacu. Meskipun
konstruksi bangunan tidak berada di dekat bandara tetapi bisa membahayakan penerbangan jika
bangunan tersebut terlalu tinggi. Hal penting lain yang harus diketahui adalah tidak hanya
bangunan tinggi, termasuk juga pohon, tiang listrik, SUTET, construction crane dan kendaraan
lainnya, yang mampu menimbulkan bahaya.
Pengaruh utama yang disebabkan oleh keberadaan bangunan tinggi tersebut dapat
mengakibatkan penurunan fungsi dari bandara itu sendiri. Ketika pesawat terbang mendekati
bandara dengan kondisi dibawah instrumen kondisi penerbangan – kondisi dimana jarak pandang
terbatas atau berada di bawah permukaan awan – maka harus mengikuti serangkaian prosedur
yang berbeda. Desain dari prosedur tersebut dipengaruhi oleh ketinggian objek sepanjang
landasan pacu. Bangunan/objek yang menjulang tinggi tersebut dapat mengurangi jarak pandang
dan kriteria batas permukaan awan, sehingga menambah kemungkinan pesawat tersebut tidak
dapat mendarat di bandara ketika cuaca buruk.
Meskipun dalam cuaca yang cerah ketika pilot mengarah ke bandara, bangunan/objek menjulang
tersebut menyebabkan pengaruh buruk bagi fungsi bandara.
Sangat penting untuk mengurangi jumlah bangunan/objek menjulang di dalam área bandara
maupun landasan pacu. Apalagi, bangunan/objek menjulang dapat mengakibatkan bahaya di área
bandara terutama ketika pesawat akan melakukan pendaratan atau berputar balik ketika jarak
pandang berkurang atau alasan lainnya. Bangunan tinggi akan terlihat meskipun jauh dari
bandara, namun ketika pesawat terbang dijarak yang cukup tinggi dari bangunan tinggi maka hal
tersebut tidak terlalu menjadi masalah. Contohnya helikopter, terbang dibawah altitud dan
biasanya kecelakaan helikopter terjadi saat akan mendarat atau lepas landas. Jenis pesawat
lainnya yang terbang dibawah permukaan awan adalah pesawat militer. Pesawat militer biasanya
menggunakan batas bawah penerbangan yang ditentukan pada saat latihan terbang dan
keberadaan bangunan tinggi sangat mempengaruhi keselamatan penerbang dan kawasan
sekitarnya. Pada akhirnya, lahan pertanian yang terkena percikan dari penerbangan rendah.
Bangunan tinggi dan tiang-tiang listrik dapat meningkatkan bahaya untuk jenis penerbangan ini
dan kemungkinan bertambahnya lahan pertanian juga terbatas.
Tabrakan pesawat terhadap satwa liar merupakan ancaman bagi kesehatan dan keselamatn
manusia. Berdasarkan sumber dari FAA Wildlife Strikes to Civil Aircraft in the United States
1990-2005, satwa liar dapat membunuh lebih dari 194 jiwa dan memusnahkan lebih dari 163
pesawat. Sejak 1990, sudah tercatat terjadi 82.057 penyerangan yang disebabkan oleh satwa liar.
97,5% berasal dari tabrakan burung; 2,1% berasal dari keluarga mamalia; 0,3% dari kelelawar
dan 0,1% berasal dari reptil. Jumlah serangan yang tercatat naik sekitar empat kali lipat hingga
tahun 1990 dengan sejumlah alasan, termasuk kenaikan jumlah operasional pesawat terbang dan
kenaikan populasi dari satwa liar yang berbahaya. Burung Camar merupakan salah satu species
burung yang tercatat dalam daftar kejadian. Kurang lebih 60% laporan terjadi di ketinggian
kurang dari 100 kaki, 73 % terjadi di ketinggian kurang dari 500 kaki dan 92% kejadian di
bawah 3.000 kaki. Perlu dilakukan monitoring terhadap aktivitas dan hábitat satwa liar di dalam
maupun di kawasan sekitar bandara untuk menentukan bagaimana menjaga bandara tersebut dari
bahaya satwa liar.
Teknik-teknik untuk mengontrol bahaya dari satwa liar dan burung adalah dengan
menghilangkan keberadaan satwa liar; membuat pagar pembatas dan mengelola kawasan
bandara agar terhalang dari hábitat satwa liar. Manajemen control hábitat lainnya antara lain:
1) Pemilihan dan peletakan pohon-pohon yang sesuai untuk mengurangi habitat satwa liar;
Di samping untuk memantapkan batas disekitar bandara dimana kehidupan satwa liar dapat
berpindah atau berkurang, Lembaga Penerbangan (FAA) juga menentukan jarak mínimum antara
bandara dengan kawasan pertanian.
Tumbuhan rawa seperti bunga teratai, selederi hutan dan alang-alang yang merupakan makanan
bagi berbagai hewan-hewan liar. Tanaman hias maupun tanaman budidaya seperti alfalfa,
jagung, birch, dan dogwood adalah tumbuhan-tumbuhan yang menghasilkan makanan untuk
satwa liar dan ada beberapa tumbuhan yang memang dibudidaya. Mengelola bahaya dari satwa
liar di dalam maupun di sekitar bandara merupakan sebuah tantangan, seperti dengan membuat
penjagaan (control pasif).
Penerapan Konsep Aero City/Aerotropolis
Sumber : http://www.aerotropolis.com/files/2013_AerotropolisMaps.pdf
Konsep aero city ini diusahakan untuk diterapkan di Indonesia. Daerah yang sedang merintis
upaya ini, sejauh yang diketahui adalah Provinsi Jawa Barat, yakni di Kecamatan Kertajati,
Kabupaten Majalengka.
Hal ini ditunjukkan dengan dicantumkannya konsep ini dalam beberapa dokumen pemerintah,
antara lain :
1. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa – Bali.
Dalam Perpres ini disebutkan : “Pasal 21, Ayat 7, butir g : Pengembangan dan pemantapan
jaringan jalan nasional yang menghubungkan kawasan perkotaan nasional dengan pelabuhan
dan/atau bandar udara yaitu Jaringan jalan arteri primer yang menghubungkan PKW Kadipaten
dengan Bandar Udara Kertajati (Majalengka).”
2. Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2009-2029, yang menyebutkan :
1. Pasal 56, Ayat 2, Butir d. : Kabupaten Majalengka, diarahkan menjadi lokasi Bandara
Internasional Jawa Barat dan Aerocity di Kertajati, daerah konservasi utama Taman
Nasional Gunung Ciremai, serta untuk kegiatan agrobisnis dan industri bahan bangunan,
dan pertambangan mineral serta pengembangan sarana dan prasarana yang terintegrasi
di PKW Kadipaten.
2. Pasal 56, Ayat 3, Butir f.1.g) : Pembangunan kawasan permukiman di Kertajati
Aerocity Kabupaten Majalengka.
3. Pasal 56, Ayat 3, Butir g. : Pengembangan Kawasan Industri Kertajati Aerocity di
Kabupaten Majalengka.
4. Lampiran I, Bagian II. : Arahan Pembagian Wilayah Pengembangan (WP).
3. Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Majalengka Tahun 2011-2031 :
1. Pasal 35, Ayat (1), Butir b. : Kawasan peruntukkan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf h terdiri atas kawasan peruntukkan BIJB dan Kertajati Aerocity.
2. Pasal 35, Ayat (3), Butir a. : Pengembangan BIJB seluas kurang lebih 1.800 (seribu
delapan ratus) hektar.
3. Pasal 35, Ayat (3), Butir b. : Pengembangan kawasan Kertajati Aerocity seluas kurang
lebih 3.200 (tiga ribu dua ratus) hektar.
4. Pasal 37 : Kawasan Strategis Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf a berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi
meliputi KSP Bandara Internasional Jawa Barat dan Kertajati Aerocity.
4. Peraturan Menteri Pehubungan Nomor KM 34 Tahun 2005 Tentang Penetapan Lokasi Bandar
Udara di Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka Propinsi Jawa Barat :
1. Pasal 1, Ayat (1) : Lokasi bandar udara di Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka,
Propinsi Jawa Barat berada di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, dengan
Koordinat Geografis 06o 39′ 27,89″ LIntang Selatan dan 108o 10′ 27,44″.
2. Pasal 2, Ayat (1) : Luas rencana kebutuhan lahan untuk pembangunan bandar udara di
Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
seluas + 1800 Ha, yang selanjutnya akan ditentukan lebih rinci berdasarkan rencana
induk bandar udara di Kabupaten Majalengka.
Gambar 6 : Rencana Tata Ruang Kertajati Aero City
Sumber :
http://www.westjavainvest.com/in/index.php?option=com_content&task=view&id=299
Beberapa hal yang sudah dilakukan dalam rangka hal ini adalah :
1. Tahun 2003 :
1. Studi Kelayakan Pembangunan BIJB : Kelayakan Teknis, Kelayakan Lingkungan,
Kelayakan Ekonomi dan Finansial.
2. Seleksi lokasi.
3. Penetapan lokasi terpilih BIJB dalam bentuk Keputusan Menteri Perhubungan No. KM
34 Tahun 2005.
2. Tahun 2005 : Penyusunan Rencana Induk Bandar Udara dan Kawasan Pendukung.
3. Tahun 2011 : Materi Teknis RDTR Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka Tahun 2011.
4. Tahun 2012 : Penyusunan RTR KSP BIJB dan Kertajati Aerocity Tahun 2012.
Penulis :