You are on page 1of 10

Reading Assignment ACC Supervisor

Divisi Hemato Onkologi Medik

Dr M. Riswan, Sp.PD. KHOM


Presentator :Dr. Wahyuddin

Dr Maimun Syukri, Sp.PD-KGH, FINASIM

Penggunaan Anti Emetik dalam Penatalaksanaan Mual Muntah


Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi
Wahyuddin, M. Riswan, Desi Salwani

Divisi Hemato Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

I. PENDAHULUAN

Kanker atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas
(malignant). Suatu kelompok sel yang mendadak menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan
terus-menerus (proliferasi), akibatnya adalah pembengkakan atau benjolan yang disebut tumor atau
neoplasma. Sel-sel kanker ini menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya. Dinegara yang
telah maju dan dan telah berhasil membasmi penyakit infeksi, kanker merupakan penyebab utama
kematian kedua setelah penyakit kardiovaskular. Di Amerika Serikat merupakan penyebab utama
kematian pada wanita antara 30 – 54 tahun dan anak-anak antara 3-14 tahun. Badan Kesehatan
dunia (WHO) mengestimasikan bahwa 84 juta orang meninggal akibat kanker dalam rentang
waktu 2005 dan 2015, dengan perkiraan setiap tahunnya 12 juta diseluruh dunia orang akan
menderita kanker dan 7,6 juta diantaranya meninggal dunia. Kejadian kanker terjadi lebih cepat
di negara miskin dan berkembang. Dari data tersebut saat ini hanya 15 persen dari 190-200 ribu
penderita kanker baru di Indonesia setiap tahunnya.1,2
Terapi kanker dapat dilakukan dengan cara operasi, radioterapi, kemoterapi dan
kombinasinya. Kemoterapi merupakan salah satu modalitas pengobatan pada kanker secara
sistemik yang sering dipilih terutama untuk mengatasi kanker stadium lanjut, lokal maupun
metastasis. Kemoterapi sangat penting dan dirasakan besar manfaatnya karena bersifat sistemik

1
mematikan dan membunuh sel-sel kanker dengan cara pemberian melalui infus, dan sering
menjadi pilihan metode efektif dalam mengatasi kanker terutama kanker stadium lanjut. Obat
kemoterapi umumnya berupa kombinasi dari beberapa obat yang diberikan secara bersamaan
dengan jadwal yang telah ditentukan. Beberapa efek samping yang terjadi pada kemoterapi,
gangguan mual dan muntah adalah efek samping frekuensi terbesar.3
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan mual muntah setelah
kemoterapi diantaranya adalah dengan terapi farmakologik, yaitu dengan obat anti mual dan
muntah sebelum dan sesudah kemoterapi (premedikasi) dan non farmakologik yaitu berupa
lingkungan yang kondusif untuk tenang dan nyaman, pengaturan pemberian nutrisi dan relaksasi.
Penatalaksanaan mual dan muntah yang tidak tepat dapat menghambat proses kemoterapi
berikut, menurunkan tingkat kesembuhan kasus kanker, serta menimbulkan mual dan muntah
tipe antisipatori yang berat. Kejadian mual dan muntah sangat bervariasi pada kasus kemoterapi
sehingga peran farmasis sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan gangguan ini untuk
terwujudnya terapi yang rasional (appropriate, effective, safe, dan convenient) serta
meningkatkan kualitas dan umur harapan hidup pasien kanker.3

II. ETIOLOGI
II.1 Kanker
1. Zat-Zat Karsinogenik
Aromatik amine dikenal sebagai penyebab kanker traktus urinarius. Benzene dianggap
berhubungan dengan terjadinya leukemia akut. Jelaga batubara, anthracene, creosote
dihubungkan dengan kanker kulit, larynx dan bronkhus. Asbestos sering menyebabkan
mesothelioma pada pekerja tambang dan pekerja kapal. Pada pekerja yang melakukan
pengecatan radium pada lempeng arloji dijumpai adanya perkembangan ke arah kanker tulang.
Kanker tiroid banyak dihubungkan dengan adanya irradiasi leher pada masa anak-anak. Selain
itu, bagi korban yang berhasil hidup akibat meledaknya bom atom memberi gejala ke arah
leukemia. Sinar ultraviolet dianggap sebagai penyebab meningginya insidensi kanker kulit
pada pelaut atau petani, yang biasanya berhubungan dengan sinar matahari secara berlebihan.
Pekerja di bagian radiologi yang sering terkena X-ray mempunyai kecenderungan untuk
mendapat kanker kulit.

2
2. Radiasi
Terdapat 2 macam radiasi yaitu radiasi ionisasi (misalnya sinar X) dan non-ionisasi
(sinar ultraviolet). Keduanya adalah bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik. Sinar X
berasal dari tambang uranium, kosmik, alat diagnostik penyakit, alat terapi radiasi, kecelakaan
nuklir, bom atom dan sampah radioaktif. Sinar ultraviolet berasal dari matahari. Risiko terkena
kanker meningkat pada anak yang waktu masa fetusnya terkena radiasi sinar X dari pelvimetri
ibunya atau pada anak yang sel benih ibunya sebelum kehamilan mengalami mutasi.
3. Virus
Virus Ebstein-Barr (EBV) suatu virus herpes adalah penyebab infectious mononucleosis
dan limfoma Burkitt pada anak-anak di Afrika. Virus papiloma (HPV) subtipe 6, 8, 16 dan 18,
virus herpes simplex tipe 2 dan virus cytomegal berhubungan erat dengan risiko terkena kanker
serviks.
4. Faktor genetik
Tumor masa anak yaitu retinoblastoma telah lama dipandang sebagai contoh dari kanker
yang diturunkan secara dominan, tetapi tumor ini dapat juga non-herediter.
5. Hormon
Hormon dalam hal ini adalah zat yang dihasilkan oleh kelenjar tubuh yang berfungsi
mengatur kegiatan alat-alat tubuh. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian
hormone tertentu secara berlebihan dapat menimbulkan kanker pada organ tubuh yang
dipengaruhinya.
6. Faktor psikogenik
Faktor ini mencakup 2 bagian yaitu faktor kepribadian dan psikososial. Penyelidikan-
penyelidikan terhadap hubungan kepribadian dengan kanker mendapatkan hasil yang
berlawanan, misalnya tes psikologi pada wanita yang akan dibiopsi payudaranya mendapatkan
emosi yang tertekan pada penderita kanker payudara. 5,6

II.2. Muntah
Penyebabnya antara lain:
 Iritasi faring dan obstruksi parsial atau komplet saluran cerna (akibat kanker usus/di
luar usus seperti asites, hepatomegoli, tumor pankreas, konstipasi, peregangan
kapsul organ visera).

3
 Metabolik : hiperkalsemia, gagal ginjal, hati, dan hiponatremia.
 Infeksi berat (infeksi candida, herpes, lesi mukosal infeksi cytomegalovirus dan infeksi
sistemik yang lain).
 Obat: kemoterapi, opioid, digoxin, antibiotik, radioterapi, dan seterusnya.
 Gangguan sistem vestibuler: infiltrasi keganasan, obat (aspirin, platinum).
 Pusat kortikal: faktor psikologis (kecemasan), bau, rasa kecap, peningkatan tekanan
intrakarnial, iritasi meningeal.

III. PATOFISIOLOGI
Muntah atau vomite atau emesis adalah keadaan akibat kontraksi otot perut yang kuat
sehingga menyebabkan isi perut menjadi terdorong untuk keluar melalui mulut baik dengan
maupun tanpa disertai mual terlebih dahulu. Mual dan muntah sering muncul bersama dalam
berbagai kondisi, termasuk menjadi efek samping yang umum terjadi pada penggunaan obat anti
neoplastik. Mual dan muntah yang terjadi setelah dilakukan kemoterapi dikenal sebagai
Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV). Pada kemoterapi kanker, mual dan
muntah yang diinduksi oleh obat dapat terjadi secara teratur sehingga antisipasi muntah dapat
diberikan jika penderita kembali untuk berobat sebelum penderita diberi obat kemoterapi. Bila
muntah tidak dapat dikontrol, perasaan tidak enak yang menyertai muntah yang diinduksi oleh
obat dapat menyebabkan penderita menolak untuk menggunakan kemoterapi.7
Mekanisme fisiologik yang menyebabkan terjadinya mual dan muntah ini belum
seluruhnya diketahui, Koordinasi aktivitas gerakan yang kompleks dari lambung dan otot-otot
abdomen terletak di ”pusat muntah”, yang berlokasi di dalam formasi retikularis di medulla.
Refleks yang menyebabkan muntah disebabkan oleh stimulasi dari reseptor pada CNS dan atau
gastrointestinal. Area reseptor ini mengirim pesan pada pusat muntah di medulla, yang
kemudian berkoordinasi dengan aksi muntah. Muntah yang diinduksi oleh berbagai zat kimia,
obat sitostatik dan radiasi diperantai melalui CTZ (Chemoreceptors trigger zone.) CTZ juga
berlokasi di medulla, berperan sebagai chemosensor dan diarahkan pada darah dan CSF. Area ini
kaya akan berbagai reseptor neurotransmitter. Contoh dari reseptor-reseptor tersebut antara lain
reseptor kolinergik dan histamin, dopaminergik, opiate, serotonin, neurokinin dan
benzodiazepine. Agen kemoterapi, metabolitnya, atau komponen emetik lain menyebabkan
mekanisme muntah melalui salah satu atau lebih dari reseptor tersebut..8,9,10

4
Mekanisme ini didukung oleh beberapa penelitian tentang keterlibatan efek pada usus
kecil bagian atas. Sel enterochromaffin usus mengeluarkan secara eksositotik radikal bebas
berupa 5-hydroksitryptamin (5-HT) setelah mendapatkan kemoterapi, yang kemudian
berinteraksi dengan reseptornya di terminal aferen vagal dari dinding saluran cerna. Saraf aferen
vagal memproyeksikan ke belakang batang otak, terutama ke nucleus tractus solitarius (NTS),
dan sedikit meluas pada area postrema (AP), yang keduanya disebut sebagai komplek dorsal
vagal.7

IV. FAKTOR PENDERITA dan DERAJAT MUNTAH


IV.1. Faktor Penderita
1. Riwayat emesis tidak terkontrol
Emesis yang sulit dikontrol sebelum penggunaan kemoterapi akan menyebabkan pasien
lebih sulit untuk mengontrol emesisnya saat dilakukan kemoterapi walaupun sudah
diberikan antiemesis, terutama untuk emesis yang bersifat akut.
2. Konsumsi alkohol
Emesis akan lebih mudah muncul pada pasien yang biasa menggunakan alkoholdalam
dosis tinggi (>100 g/ hari). Semakin banyak alkohol yang dikonsumsi makanrisiko kejadian
emesis akan semakin tinggi.
3. Usia
Beberapa penelitian mengemukakan lebih mudah untuk mengontrol emesis pada pasien
dalam usia lanjut. Pada pasien yang lebih muda biasanya ada kecendrungan untuk
perkembangkan kearah reaksi distonik akut.
4. Jenis kelamin
Lebih sulit untuk mengontrol emesis pada wanita dari pada laki–laki yang diberikan
kemoterapi yang sama termasuk dalam dosis dan frekuensi pemberiannya.
5. Motion sickness
Pasien yang mengalami motion sickness biasanya lebih mudah mengalami mual muntah
akibat kemoterapi.11

5
IV.2. Derajat Muntah
Mual dan muntah dibagi berdasarkan keparahannya (Tabel I) dan onsetnya. Berdasarkan
onsetnya, mual dan muntah umumnya dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Tipe antisipatori: munculnya sebelum mulai seri kemoterapi baru akibat rangsang bau,
pandangan, dan suara di ruang terapi, sering kali muncul setelah seri 3-4 karena pengalaman
mual dan muntah tipe akut dan tertunda.
2. Tipe akut: munculnya <24jam setelah kemoterapi.
3. Tipe tertunda: munculnya >24 jam setelah kemoterapi.1,12

Tabel I. Tingkat Keparahan Mual dan Muntah19


Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Tingkat 5
Mual Hilang selera Asupan makan Asupan kalori dan Mengancam Kematian
makan, kebiasaan berkurang tanpa cairan oral tak nyawa
makan tidak penurunan BB memadai;
berubah bermakna;
Cairan i.v. atau TPN Cairan i.v. tube
perlu ≥24 jam feeding atau TPN
perlu ≥24 jam
Muntah 1episode dalam 2-5 episode/ 24jam ≥6episode/24jam Mengancam Kematian
24jam Cairan i.v. perlu <24 jam Cairan i.v. atau TPN nyawa
perlu ≥24 jam

V. RESIKO EMETIK dari OBAT KEMOTERAPI INTRAVENA


Alogaritme dalam menentukan tingkat emitogenik kombinasi beberapa obat antineoplastik
adalah sebagai berikut: (1) Identifikasi obat yang paling emitogenik dalam kombinasi.
(2)Tentukan kontribusi obat kemoterapi lainnya dalam kombinasi, dengan ketentuan; obat pada
kelas potensi emitogenik minimal, tidak mempengaruhi tingkat emitogenik dari regimen terapi
yang diberikan. Penambahan satu atau lebih obat pada kelas emitogenik rendah meningkatkan
emitogenik 1 tingkat lebih tinggi dari kelas obat yang paling emitogenik dalam kombinasi.
Penambahan satu atau lebih obat pada kelas potensi emitogenik sedang, meningkatkan masing-
masing satu tingkat untuk tiap obat dari obat yang paling emitogenik dalam kombinasi. Potensi
emitogenik obat anti neoplastik dibagi empat kelas resiko emesis yaitu kelas dengan potensi
emitogenik tinggi, kelas dengan potensi emitogenik sedang, kelas dengan potensi emitogenik
rendah dan kelas dengan potensi emitogenik minimal.13,14
Potensi emitogenik berbagai obat kemoterapi dapat dilihat pada tabel berikut

6
Resiko emetik dari obat kemoterapi intravena 15,16
Risiko Emetik Tinggi (risiko emetik lebih dari 90%)
 AC kombinasi (doksorubisin atau  Doksorubisin lebih dari 60 mg/m2
epirubisin dengan siklofosfamid  Epirubicin lebih dari 90 mg/m2
 Carmustin lebih dari 250 mg/m2  Ifosfamid lebih atau samadengan
 Cisplatin lebih atau samadengan 10g/m2
50mg/m2  Mechorethamin
 Siklofosfamid lebih dari 1.500mg/m2  Streptozocin
 Dacarbazine

Risiko Emetik Sedang (risiko emetik 30 sampai 90 %)


 Aldesleukin lebih dari 12 -15 juta IU/m2  Epirubisin kurang dari sama dengan
 Altretamin 90mg/m2
 Amifostin lebih dari 300mg/m2  Idarubisin
 Arsenic trioksid  Ifosfamid kurang dari 10g/m2
 Azasitidin  Interferon alfa lebih besar sama dengan
 Bendamustin 10 jutaIU/m2
 Busulfan  Irinotekan
 Carboplatin  Melphalan
 Carmustin kurang dari sama dengan  Metotreksat lebih besar sama dengan
250mg/m2 250mg/m2
 Cisplatin kurang dari 50mg/m2  Oxaliplatin
 Clofarabin  Temozolomid
 Siklofosfamid kurang dari sama dengan  Cytarabin lebih dari 200mg/m2
1.500 mg/m2  Daktinomisin
 Doksorubisin kurang dari sama dengan  Daunorubisin
60mg/m2

Risiko Emetik Rendah (risiko emetik 10 sampai 30%)


 Ixabapilone
 Amifostin kurang dari sama dengan  Methotrexate kurang dari 50mg/m2
300mg sampai kurang dari 250 mg/m2
 Aldesleukin kurang dari sama dengan 12  Mitomysin
sampai 15 jutaIU/m2  Mitoksantron
 Cabazitaxel  Paclitaxel
 Cytarabin 100-200mg/m2  Remetrexed
 Docetaxel  Pantostatin
 Etoposide  Pralatreksat
 5-Fluorouracil  Romidepsin
 Floxuridin  Thiotepa
 Gemsitabin  Topotekan
 Interferon alfa kurang dari 5juta IU/m2
sampai kurang dari 10jutaIU/m2

7
Risiko Emetik Minimal (risiko emetik 10 sampai 30%)
 Alemtuzumab  Methotrexate kurang dari sama dengan
 Asparaginase 50mg/m2
 Bevacizumab  Nelarabin
 Bleomycin  Panitumumab
 Bortezomib  Pegaspargase
 Cetuximab  Peginterferon
 Cladribine (2-chlorodeoxyadenosine)  Rituximab
 Cytarabine kurang dari 100mg/m2  Temsirolimus
 Decitabin  Transtuzumab
 Denileukin diftitex  Valrubicin
 Dextrazoxan  Vinblastin
 Fludarabin  Vincristin
 Interferon alfa kurang dari sama dengan  Vinorelbin
5 jutaIU/m2

VI. PENATALAKSANAAN
Panduan Multinational Association of Supportive Care in Cancer (MASCC), American
Society of Clinical Oncology (ASCO) dan National Comprehensive Cancer Network (NCCN)
merekomendasikan antiemetic kombinasi antagonis serotonin dan steroid pada pasien yang
mendapat kemoterapi dengan potensi emitogenik sedang sampai tinggi.17
Beberapa versi terapi standar mual muntah pasca kemoterapi kanker sebagai berikut:
1. Versi National Cancer Institute/NCI: antagonis serotonin (ondansetron 8 mg iv) dan
dexametason 20 mg iv sesaat sebelum kemoterapi, dilanjutkan setelah 8 jam sampai dengan
2-3 hari, terapi ini adalah standar konvensional.15
2. Versi ASCO: mual dan muntah frekuensi tinggi; antagonis serotonin plus dexametason
12 mg iv plus aprepitant 125 mg sesaat sebelum kemoterapi, dilanjutkan aprepitant sampai
dengan 2-3 hari; mual dan muntah frekuensi sedang seperti standar konvensional; mual dan
muntah frekuensi rendah terapi anti mual dan muntah tunggal yaitu antagonis serotonin
atau kortikosteroid.1
3. Versi Adeleide Royal Hospital: mual dan muntah frekuensi sangat tinggi (>90%):
antagonis serotonin peroral (bila muntah iv) dan dexametason 20 mg iv, bila sangat berat
atau terjadi muntah antisipatori misalnya pada kemoterapi dengan cisplatin ditambahkan
benzodiazepin (lorazepam); mual dan muntah frekuensi sedang dapat dipilih salah satu dari
metoklopramid, domperidon, atau dexametason po; mual dan muntah frekuensi rendah
pemberian anti mual dan muntah hanya bila perlu.8

8
Berikut ini adalah manajemen untuk keparahan mual muntah berdasarkan tingkatan agen
kemoterapi:20
1. Resiko muntah berat
Kombinasi 5-HT3 reseptor antagonis (antagonis serotonin), deksametason, aprepitant
direkomendasikan penggunaannya sebelum pemberian agen kemoterapi yang diasosiasikan
dengan emetik resiko tinggi. Muntah tipe tertunda (delayed emesis) terjadi kira-kira pada 90%
pasien yang diobati dengan cisplatin tanpa pemberian antiemetik sebelumnya. Pasien yang
menerima kemoterapi dengan potensial emetik level tinggi harus menerima kombinasi aprepitant
pada hari ke 2-3 dan deksametason pada hari 2-4.
2. Resiko muntah sedang
Pada pasien yang menerima pengobatan dengan antrasiklin dan siklofosfamid, kombinasi 5-
HT3-reseptor antagonis, deksametason, dan aprepitant direkomendasikan penggunaannya
sebelum kemoterapi. Setelah menjalani kemoterapi dapat diberikan aprepitant pada hari ke 2 dan
3 atau deksametason pada hari 2 dan 3. Untuk regimen lain selain agen kemoterapi diatas dapat
diberikan 5-HT3-reseptor antagonis dan deksametason sebelum kemoterapi. Kemudian diberikan
5-HT3-reseptor antagonis atau deksametason pada hari 2 dan 3 setelah menjalani kemoterapi.
Karena regimen kemoteapi antrasiklin dan siklofosfamid mempunyai potensial emetik
menengah untuk delayed emesis, maka aprepitant juga harus diberikan pada hari 2 dan 3.
3. Resiko muntah ringan
Dosis tunggal deksametason sebelum kemoterapi direkomendasikan untuk agen-agen yang
berhubungan dengan emesis resiko rendah. Dosis tunggal antagonis dopamin dapat digunakan
sebagai pilihan lain untuk pencegahan.Tidak ada profilaksis rutin yang diindikasikan untuk
delayed emesis.
4. Resiko muntah minimal
Tidak ada profilaksis rutin untuk tipe muntah akut atau tertunda dibutuhkan untuk agen
kemoterapi yang berhubungan dengan muntah resiko minimal

9
VII. DAFTAR PUSTAKA
1. Grunberg S, Adam N, Gralla R. Management of Nausea and Vomiting. In : Cancer
management.14th ed. Cancernetwork 2011;6-7.
2. International Union Against Cancer/UICC, 2009. http://www.uicc.org/today-world-cancer-
day-2014. [Accessed 12 Februari 2014].
3. Cancer Consultant, 2005, Managing Side Effects Treatment & Prevention, Nausea and
Vomiting, http://patient.cancerconsultants.com/supportive_treatment.aspx?id=992, [Accessed
12 Februari 2014].
4. Schnell FM. Chemotherapy - induced nausea and vomiting : the importance of acute
antiemetic control. The Oncologist 2003;8:187-98.
5. Giovannucci E. Calcium and fructose intake in relation to risk of prostate cancer. Cancer
Research 1998;58 : 443-6.
6. Zahm SH. Use of hair coloring products and the risk of lymphoma, multiple myeloma and
chronic lymphocytic leukemia. Am J Publ Health1992:82:990-6.
7. Goodin S, Cunningham R. 5-HT3- receptor antagonist for the treatment of nausea and
vomiting : A reappraisal of their side-effect profile. The Oncologist 2002;7: 424-36.
th
8. Adeleide Royal Hospital, 2004, Medical Oncology Treatment Policy Guidelines 2004, 8 Ed.
http://www.rah.sa.gov.au/download/chemotherapy_guidelines.pdf., Accessed March 1, 2005.
rd
9. Berkery, R., Cleri LB, Skarin AT, 1997, Oncology Pocket Guide to Chemotherapy, 3 Ed.,
Mosby-Wolfe, Mosby-Year Book, Inc. , St. Louis.
10. Tehuteru, Edi S. 2007. Tatalaksana Muntah Bagi Anak yang Menjalani Kemoterapi.
[Accessed 12 Februari 2014]. From http://www.dharmais.co.id
11. Japaries, Willie. (2007). Pencegahan Dan Terapi ,Kanker dengan kombinasi herbal Indonesia
dan traditional Chinese Medicine. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
rd
12. Berkery, R., Cleri LB, Skarin AT, 1997, Oncology Pocket Guide to Chemotherapy, 3 Ed.,
Mosby-Wolfe, Mosby-Year Book, Inc. , St. Louis.
13. Hesketh JP. Defining the emetogenicity of cancer chemotherapy regimen: relevance to clinical
practice. The Oncologist 1999; 4: 191-196.
14. Ettinger DS, Armstrong DK, Barbour S, Berger MJ, Bierman PJ, Bradbury B, et al.
Antiemesis. J Natl Compr Canc Netw 2009; 7:572-95.
15. National Comprehensive Cancer Network and American Cancer Society. Nausea and vomiting
: Treatment guidelines for patients with cancer {Version I.2. 2014}. Retrieved February 21,
2014, from http://www.cancer.org/downloads/CRI/ NCCN _ Nausea.pdf.
16. National Comprehensive Cancer Network. Antiemesis.NCCN clinical practice guidelines in
oncology (NCCN guidelines). Version I.2011. NCCN.org, from
www.medicine.wisc.edu/~williams/antiemesis.pdf.
17. American Pharmacists Association. Management of chemotherapy-induced nausea and
vomiting. In:Drug information handbook for oncology. 8th ed. Ohio:Lexi Comp;2010.p.1434-
44.
18. European Society for Medical Oncology. ESMO minimum clinical recommendation for
prophylaxis of chemotherapy – induced nausea and vomiting. Ann Onc 2005; 1-3.
19. National Cancer Institute (NCI). 2006. Supportive Care Statement for Health
Professional, Nausea and Vomiting. [Accessed 15 Februari 2014], from
http://www.meb.unibonn.de/cancer.gov/CDR0000062747.html
20. Hesketh, Paul J. 2008. Drug Therapy; Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting.
from http://content.nejm.org/cgi/reprint/358/23/2482.pdf. [Accessed 15 Februari 2014]

10

You might also like