You are on page 1of 43

NASKAH AKADEMIK RAPERDA

YANG MENGATUR RETRIBUSI TEMPAT REKRESI OBJEK


WISATA DAN KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA
DI KABUPATEN BANDUNG BARAT

DISUSUN OLEH :
Dr. A. Widanarto, Drs., M.Si.
NASKAH AKADEMIK RAPERDA
RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA DAN KETENTUAN
IZIN USAHA PARIWISATA DI KABUPATEN BANDUNG BARAT

A. Apa yang Diatur

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan memuat jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan Antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2. Undang-undang/Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang,
3. Peraturan pemerintah
4. Peraturan Presiden, dan
5. Peraturan daerah
5.1.Peraturan daerah provinsi
5.2.Peraturan daerah kabupaten/kota
5.3.Peraturan desa/peraturan yang setingkat

Dalam tataran nasional, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana


disebutkan di atas harus disertai sebuah kajian ilmiah dalam bentuk naskah akademik. Naskah
akademik diatur dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan
PResiden, yang memuat Antara lain dasar filosofis, sosiologis, yuridis, dan pokok-pokok pikiran
dan lingkup materi yang akan diatur.
Naskah akademik merupakan naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin
diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-undang.
Demikian pula dalam mempersiapkan Peraturan Daerah (Perda), naskah akademik diperlukan
untuk memberikan arah agar dampak yang ditimbulkan dalam penyusunan sebuah Peraturan
Daerah akan mampu diantisipasi berbagai kemungkinannya.
Berbicara mengenai apa yang diatur adalah berkaitan dengan substansi materi yang akan diatur
dalam sebuah produk hokum daerah (Perda) mengenai retribusi tempat rekreasi objek wisata dan
ketentuan izin usaha pariwisata, Antara lain memuat:
1. Ketentuan umum berisi konsep retribusi daerah dan ruang lingkup serta konsep lainnya
yang berkaitan dengan substansi materi yang diatur di dalamnya,
2. Azas dan tujuan
3. Ketentuan-ketentuan
- Objek dan subjek
- Lokasi
- Jenis retribusi dan izin
- Tata cara perolehan izin
- Bentuk-bentuk usaha
- Hak
- kewajiban
4. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
5. Ketentuan pidana dan penyidikan
6. Pembiayaan
7. Ketentuan lain-lain
8. Ketentuan peralihan
9. Ketentuan penutup

B. Mengapa Diatur

Pada dasarnya pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan asli
daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksanakan otonomi, yaitu
mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Urgensi pengaturan retribusi tempat rekreasi objek wisata dan izin usaha kepariwisataaan
dalam bentuk peraturan daerah Antara lain karena alasan filosofis, yuridis, politis dan sosiologis
yaitu:
1. Alasan filosofis,
Kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan
secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap
memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam
masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan daerah dan
nasional. Pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan
kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan
perubahan kehidupan local, nasional, dan global.
2. Alasan yuridis,
Realisasi dari amanah yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang
Retribusi Daerah.
3. Alasan politis,
Kesejahteraan dan kemakmuran yang adil dan merata adalah harapan terbesar masyarakat
yang harus direspon secara optimal oleh Pemerintah Daerah.
4. Alasan sosiologis,
Agar tercipta keteraturan dalam berusaha dan tercapainya kesejahteraan yang adil dan
merata, maka masyarakat dituntut pula untuk taat pada aturan main yang dibuat oleh
pemerintah daerah. Pelanggaran atas sebuah Perda berdampak secara psikologis bagi
pemerintah dan masyarakat.

Uraian lengkap mengenai berbagai alasan pentingnya pengaturan mengenai retribusi


tempat rekreasi objek wisata dan izin kepariwisataan dari 4 (empat) pendekatan di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Alasan Filosofis
Desentralisasi merupakan suatu pengelolaan yang merupakan turunan dari sentralisasi.
Jika sentralisasi mengandung arti pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian
dan pelimpahan. Rondinelli dan Cheenma (1983:24) mengatakan:
“… the transfer of planning decision making or administrative authority from the central
government to its field organization, local administrative units, semi autonomous and
parastatal organizations, local government, or non governmental organizations”.
Secara umum (menurut continental), desentralisasi terbagi menjadi dua, yaitu
desentralisasi territorial dan kewilayahan, dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi
kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepaa wilayah di dalam
Negara. Desentralisasi fungsional (dekonsentrasi) berarti pelimpahan wewenang kepada
organisasi fungsional (teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat.
(Muslimin, 1986:9).
Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke
bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada
fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan
secara bersama-sama.
Desentralisasi dalam arti fungsional sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah setiap
Negara termasuk yang dianggap paling sentralistik sekalipun. Adanya departeman kementrian,
dan badan-badan pemerintah merupakan bukti nyata desentralisasi dalam fungsi. Dalam berbagai
tingkatan, organisasi yang menerima pendelegasian fungsional tersebut memiliki jaringan kerja
langsung ke masyarakat, ataupun yang tidak dan menyerahkan penyelenggaraan kepada
masyarakat kepada organisasi kewilayahan. Dengan demikian, manakala kita berbicara
desentralisasi, pada hakikatnya yang dibahas adalah desentralisasi kewilayahan, karena
desentralisasi fungsional adalah suatu kkeharusan. Dan semua orang telah melakukannya dalam
derajat yang relatif sama.
Menurut Osborne (1995:283-284) ada beberapa keunggulan dari lembaga atau
pemerintahan yang terdesentralisasi, yaitu:
1. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi,
lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan
pelanggan yang berubah;
2. Lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang trsentralisasi;
3. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi;
4. Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih
banyak komitmen dan lebih besar produktivitas.

Pelaksanaan asas desentralisasi pemerintahan ini, pada era reformasi jangan hanya
dipandang dari kaca mata politik yang diasosiakan dengan disintegrasi (anggapan negative)
tetapi harus dari pertimbangan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, pemberdayaan manusia dan
sekaligus pemerataan pelayanan (delivery of service) bagi seluruh masyarakat Indonesia di
pelosok tanah air. Oleh sebab itu perimbangan keuangan pusat daerah dengan sendirinya dituntut
harus lebih empiris dan rasional. Hal ini sangat beralasan mengingat bahwa dalam konteks
regional dan internasional, Indonesia harus mampu bersaing dengan Negara tetangga (Kawasan
ASEAN) dan dunia internasional yang dewasa ini dalam membentuk berbagai kawasan bebas
perdagangan regional seperti AFTA di ASEAN, masyarakat ekonomi di Eropa.
Era perdagangan bebas atau era globalisasi hanya dapat diantasisipasi melalui
desentralisasi yang lebih memadai, terutama bagi kabupaten/kota yang diperkirakan akan
menjadi pusat-pusat aktivitas ekonomi. Untuk itu pemberdayaan melalui wewenang yang lebih
banyak kepada kabupaten/kota melalui kriteria-kriteria yang baku akan menentukan apa yang
akan dilakukan dan bagaimana melakukannya harus segera dilakukan untuk memberi
kesempatan kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan exercice yang cukup sebelum era
perdagangan bebas benar-benar dilaksanakan di Indonesia. Namun penyerahan wewenang
tersebut tetap harus mempertimbangkan kemampuan sumber-sumber yang ada atau mungkin
diserahkan kepada kabupaten/kota.
Menurut Kristiadi (1997:52) ada 4 hal di antaranya yang dapat dilakukan untuk
memberdayakan masyarakat:
Pertama, dapat dilakukan melalui penyerahan sejumlah tugas pemerintah kepada
masyarakat yang ada di daerah. Hal ini sejalan dengan proses swastanisasi yang terjadi pada
tugas-tugas pemerintahan pada umumnya. Berdasarkan perkiraan yang dilakukan oleh
pemerintah, maka investasi yang dilakukan oleh swasta di berbagai daerah di Indonesia akan
lebih besar dibandingkan investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun bentuk
pemberdayaan tersebut tidak selalu perlu dalam bentuk swastanisasi penuh, tetapi dengan apa
yang disebut sebagai proses kemitraan pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership).
Melalui swastanisasi atau kemitraan tersebut Pemerintah Daerah diharapkan dapat lebih ramping
dan karenanya dapat bergerak lsebih cepat (responsive) terhadap berbagai tuntutan dari
masyarakat dan efisien.
Kedua, adalah dilakukannya pemberian sumber-sumber keuangan yang lebih memadai.
Hal ini tidak cukup dengan pemberian sumber-sumber keuangan yang baru melalui sejumlah
pajak daerah yang baru, tetapi lebih dari itu pemberian tax sharing dari sejumlah pajak pusat
yang cukup potensial. Terutama bagi daerah-daerah yang mempunyai potensi yang besar, maka
sudah waktunya bagi daerah untuk mendapatkan sharing revenue darinya.
Ketiga, yang perlu dilakukan dengan segera adalah peningkatan kemampuan sumber
daya manusia daerah. Dengan sumber daya manusia yang ada sekarang ini sulit dibayangkan
daerah mampu bersaing, apalagi berperan secara dominan dengan lokasi-lokasi lainnya yang ada
di Negara-negara Asia Pasifik.
Keempat, yang juga sangat penting dalam menghadapi era keterbukaan adalah
pengembangan manajemen pelayanan umum (management of public service delivery).
Penguasaan yang tinggi terhadap system manajemen layanan umum akan memperbaiki dan
meningkatkan efisiensi dan responsiveness dari Pemerintah Daerah dalam mengemban tugas.
Management of public service delivery ini tidak hanyak ditujukan bagi Pemerintah Daerah untuk
mandiri memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi system manajemen ini memberikan
kemampuan bagi Pemerintah Daerah untuk bekerjasama dengan swasta atau organisasi
kemasyarakatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di berbagai Negara
maju telah terbukti bahwa kemampuan yang tinggi untuk bekerjasama dengan organisasi lainnya
di luar pemerintah daerah yang bersangkutan mampu menangani lebih banyak fungsi dan
tanggungjawabnya.
Pengembangan system manajemen pemerintahan yang professional ini, sampai batas-
batas tertentu dikembangkan sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan-
perusahaan swasta. (Osborne, 1995).
Dengan demikian jika kita ingin mempersiapkan pemerintahan daerah untuk menghadapi
era perdagangan bebas pada abad ke-21, maka sejak sekarang sudah waktunya kita membangun
dasar-dasar yang kokoh bagi kebaradaan Pemerintah Daerah. Dengan demikian pada saat
lingkungannya mengalami perubahan yang luar biasa, maka Pemerintah Daerah telah siap untuk
mengikutinya.
Dengan adanya era globalisasi dimana dunia tampaknya lebih kecil dan mudah
terjangkau karena teknologi semakin canggih, khususnya di bidang komunikasi, maka dengan
sendirinya baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola piker, sikap dan perilaku
masyarakat/daerah. Demikian pula dengan tuntutan dan kebutuhan akan mengalami perubahan.
Perubahan ini tentunya harus diikuti dengan dinamika pemerintahan. Sesuai dengan
fungsi pemerintah yaitu melayani public, melindungi public dan mengembangkan potensi public
(Hamidi, 2002: 7-11), maka bagaimana hal tersebut dapat direspon oleh pemerintah daerah
(kabupaten/kota.)
Hubungan dengan pemerintah dan masyarakat dalam konteks Good Government
(kepemerintahan yang baik) tidak lagi bersifat vertical (atasan bawahan) melainkan lebih bersifat
horizontal (kemitraan) yang saling menguntungkan. (LAN & BPKP, 2000: 5-6). Institusi
pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hokum yang kondusif, sector swasta
menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi
social, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, social dan politik.
Salah satu sumber untuk pembiayaan dalam peningkatan potensi dan realisasi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) adalah sector pajak dan retribusi daerah yang harus dikembangkan dan
dioptimalkan secara dinamis dan berkesinambungan. Pendapatan Asli Daerah sejauh ini
kondisinya sangat tidak seimbang dengan potensi riil yang ada di daerah. Hal ini merupakan
bagian dari dampak kebijakan lalu yang serba terpusat dan kurang optimalnya Pemerintah
Daerah dalam menggali potensi-potensi di daerahnya.
Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan berimplikasi pada peningkatan
pemungutan pajak dan retribusi daerah, sehubungan kedua komponen tersebut merupakan
penyumbang terbesar dalam pos pendapatan APBD. Akibatnya Pemerintah Daerah berusaha
meningkatkan pajak daerah, retribusi daerah, sekaligus bagian laba BUMD, bahkan beberapa
Pemda meminta bagian asli daerah BUMD yang ada di daerahnya.
Pemerintahan Daerah dituntut untuk bersikap bijak dalam melaksanakan pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan
kata lain Pemerintah Daerah dapat memungut pajak dan retribusi daerah dalam jumlah yang
tinggi bila tingkat pertumbuhan ekonominya juga tinggi. Termasuk dampak inflasi harus
dipertimbangkan. Jangan sampai pemungutan pajak dan retribusi mengakibatkan kelesuan
ekonomi, sehingga investor menjadi ragu untuk menanamkan modalnya. Selain itu perlu kehatia-
hatian Pemerintah Daerah terutama untuk menentukan pajak apa yang harus dikenakan dan
masyarakat/public atau sector mana yang harus dibebani pajak dan retribusi, agar tidak
menggaggu kestabilan kehidupan makro dan mikro ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Terlepas dari bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
pemberdayaan dan pemenuhan kesejahteraan warganya, namun setidaknya terdapat dua model
bentuk pelayanan public yang dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah yaitu dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan dasar (basic services) dan dalam bentuk pengembangan sector unggulan
(core competence). Berikut merupakan jenis-jenis pelayanan yang dapat dikembangkan sebagai
wujud tanggung jawab pemerintah daerah:
1. Pelayanan Dasar (basic services), mencakup:
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Transportasi, sarana jalan, dan sarana angkutan umum
d. Lingkungan: penataan lingkungan kumuh (MCK, hidran umum, jalan-jalan
setapak/gang), tata kota/bangunan, taman, kebersihan, kesehatan lingkungan (polusi,
penyakit menular, penyakit yang ditularkan binatang, rabies, malaria, pes dan
sebagainya), sewage/saluran limbah, persampahan, penerangan jalan, dan
pemeliharaan sungai)
e. Rekreasi, sport centre/gelanggang remaja, perpustakaan, theatre, taman rekreasi,
museum, gallery, camp sites, cagar budaya, dan lain-lain
f. Social, pengurusan orang terlantar, panti asuhan, panti jompo, dan seterusnya
g. Perumahan
h. Pemakaman dan crematorium
i. Registrasi penduduk (KTP, kelahiran, kematian dan perkawinan)
j. Air minum/air bersih
2. Pelayanan sector unggulan (core competence), mencakup:
a. Pertanian
b. Pertambangan
c. Kehutanan
d. Perkebunan
e. Perikanan
f. Industry
g. Perdagangan
h. Pariwisata, dan lain-lain
Dari dua kelompok pelayanan tersebut, maka ada dua varian yang dihasilkan oleh
pemerintah daerah, yaitu:
1. Public Goods, barang-barang public yang umumnya berbenttuk hardware seperti jalan,
jembatan, gedung, rumah sakit, sekolah dan sebagainya.
2. Public Regulation, pengaturan-pengaturan yang dilakukan pemerintah daerah seperti akte
kelahiran, akte perkawinan, KTP, IMB, HO dan sebagainya.

Begitu sentral dan pentingnya keberadaan pemerintah sehingga wajar apabila masyarakat
memerlukan organisasi pemerintah karena banyak bagian penting dari kebutuhannya yang tidak
dipenuhi oleh organisasi lain seperti halnya organisasi swasta baik profit (dengan orientasi
mencari laba) maupun organisasi swasta non profit. Organisasi swasta profit dianggap gagal
dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menyangkut kebutuhan eksternalitas dan barang public
karena motifnya yang hanya mengejar kebutuhan semata. Begitu pula halnya dengan organisasi
swasta non profit hanya mampu memberikan pelayanan dalam skala kecil dan sederhana, serta
terbatas pada lapisan masyarakat tertentu saja.

2. Alasan Yuridis

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-


undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan
penerimaan berupa Dana Perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara, Pendapat Asli Daerah (PAD), yang Antara lain berupa Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian, daerah mampu melaksanakan otonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pembentuk peraturan daerah ini, maka
perlu ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan
bagi daerah dalam pelaksanaan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin
penerapan prosedur retribusinya. Retribusi pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga
perlu dijaga agar dapat memberikan beban yang adil. Retribusi daerah sudah ditetapkan dalam
undang-undang dan peraturan pemerintah, namun demikian daerah kabupaten/kota tetap
berpeluang menggali kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai kewenangan dan aspirasi
masyarakat.
Kewenangan pemerintah daerah telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pada pasal 2 ayat (4) diatur bahwa Urusan
Pemerintahan terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi:
1) Pendidikan
2) Kesehatan
3) Pekerjaan umum
4) Perumahan
5) Penataan ruang
6) Perencanaan pembangunan
7) Perhubungan
8) Lingkungan hidup
9) Pertanahan
10) Kependudukan dan catatan sipil
11) Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
12) Keluarga berencana dan keluarga sejahtera
13) Social
14) Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
15) Koperasi dan usaha kecil menengah
16) Penanaman modal
17) Kebudayaan dan pariwisata
18) Kepemudaan dan oleh raga
19) Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
20) Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah,
kepegawaian dan persandian.
21) Pemberdayaan masyarakat dan desa
22) Statistic
23) Kearsipan
24) Perpustakaan
25) Komunikasi dan informatika
26) Pertanian dan ketahanan pangan
27) Kehutanan
28) Energy dan sumber daya mineral
29) Kelautan dan perikanan
30) Perdagangan, dan
31) Perindustrian

Kata kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kesejahteraan masyarakat.


Strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat selain melalui pengelolaan sumber-
sumber pendapatan asli daerah secara adil dan berkelanjutan, juga melalui langkah-langkah
strategis kebijakan pemerintah dalam upaya menggali sumber keuangan daerahnya sendiri. Oleh
karena itu daerah harus memiliki keleluasaan untuk menentukan sendiri mengenai cara mengatur
dan mengurus rumah tangganya. Upaya untuk memperbesar lumbung keuangan daerah
merupakan salah satu cara uang mesti dilakukan agar keleluasaan dapat diwujudkan disamping
prayarat lain, mengingat pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang besar tidak
cukup ghanya mengandalkan dari dana perimbangan dan subsidi Pemerintah Pusat saja tetapi
harus dapat memberdayakan seoptimal mungkin potensi yang ada di daerah itu sendiri agar
memberikan kontribusi yang optimal terhadap pendapatan daerah.
Upaya yang dilakukan daerah dalam memperbesar sumber keuangan daerah adalah
dengan memfokuskan bagaimana cara meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah satu
sumber untuk pembiayaan dalam peningkatan potensi dan realisasi PAD adalah dari pajak dan
retribusi daeah. PAD sejauh ini kondisinya sangat tidak seimbang dengan potensi riil yang ada di
daerah. Hal ini merupakan bagian dari dampak kebijakan lalu yang serba terpusat. Maksimalisasi
PAD akan berimplikasi pada peningkatan pemungutan pajak dan retribusi daerah, sehubungan
kedua komponen tersebut merupakan penyumbang terbesar dalam pos daerah, retribusi daerah,
sekaligus bagian laba BUMD, bahkan beberapa Pemda meminta bagian atas hasil BUMD yang
ada di daerahnya.
Menurut Pasal 1 ayat 26 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan
bahwa:
“Retribusi Daeah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah,
bahwa objek dan golongan retribusi yang menjadi kewenangan kabupaten/kota adalah:
1) Objek retribusi terdiri dari:
a. Jasa umum
b. Jasa usaha
c. Perizinan tertentu
2) Retribusi dibagi atas tiga golongan:
a. Retribusi jasa umum
b. Retribusi jasa usaha
c. Retribusi perizinan tertentu

Di Kabupaten Bandung Barat, pemerintah daerah kini sedang bekerja keras


meningkatkan pendapatan asli daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hal
ini penting untuk menghindari ketergantungan APBD Kabupaten Bandung Barat terhadap dana
perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat,
sehingga pengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat terwujud.
Sebagai wujud dari pelayanan dasar masyarakat dan kewenangan daerah, pembangunan
pariwisata diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. Pada
pasal 2 diuraikan mengenai asas, fungsi dan tujuan kepariwisataan yang meliputi atas:
a. Manfaat
b. Kekeluargaan
c. Adil dan merata
d. Keseimbangan
e. Kemandirian
f. Kelestarian
g. Partisipatif
h. Berkelanjutan
i. Demokratis
j. Kesetaraan, dan
k. Kesatuan

Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 dan Pasal 4, kepariwisataan berfungsi memenuhi


kebutuhan jasmani, rohani, dan itelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta
meningkatkan pendapatan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan tujuan untuk:
a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
c. Menghapus kemiskinan
d. Mengatasi pengangguran
e. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya
f. Memajukan kebudayaan
g. Mengangkat citra bangsa
h. Memupuk rasa cinta tanah air
i. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan
j. Mempererat persahabatan antar bangsa.

Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip-prinsip yaitu: (a) menjunjung tinggi


norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan
hubungan Antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan Antara manusia dan sesame
manusia, dan hubungan Antara manusia dan lingkungan, (b) menjunjung tinggi hak asasi
manusia, keragaman budaya, dan kearifan local, (c) memberi manfaat untuk kesejahteraan
rakyat, keadilan, kesetaraan dan proporsionalitas, (d) memelihara kelestarian alam dan
lingkungan hidup, (e) memberdayakan masyarakat setempat, (f) menjamin keterpaduan antar
sektor, antara daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistematik dalam
kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan, (g) mematuhi kode
etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata dan, (h)
memperkukuh keutuhan Negara Kesatian Republik Indonesia.
Pembangunan kepariwisatan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan
memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan
manusia untuk berwisata.
Memperhatikan Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
pembangunan kepariwisataan meliputi: (a) industry pariwisata, (b) destinasi pariwisata, (c)
pemasaran, dan (d) kelembagaan kepariwisataan.
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana
indusk pembangunan kepariwisataan propinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota. Pembangunan kepariwisataan merupakan bagian integral dari rencana
pembangunan jangka panjang nasional.
Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Penyusunan rencana
induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. Rencana induk pembangunan
kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan
industry pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan
penenaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan
kepariwisataan nasional, propinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah bersama lembaga yang terkait
dengan kepariwisataan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk
mendukung pembangunan kepariwisataan.
Prediksi strategis pengelolaan retribusi ke depan, harus mulai memperhatikan substansi
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
substansinya diuraikan dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai
berikut:
Pertama, pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang
mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya
diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis
pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan propinsi dalam
penetapan tariff pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana
perimbangan dari pusat dalam banyak hal, kurang mencerminkan akuntabilitas daerah.
Kedua, Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien
dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani
dengan pajak dan retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,
pemerintah daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan
retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perluasan
kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah
dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tariff.
Ketiga, perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik.
Pajak dan retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti
retribusi atas izin masuk kota, retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke
daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek pajak
atau retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menjambah jenis pajak
baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk pajak kendaraan bermotor dan beas
bali nama kendaraan bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan pemerintah, pajak hotel
diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, pajak restoran diperluas hingga
mencakup pelayanan catering. Ada 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan dan bea perolehan ha katas tanah dan bangunan yang
sebelumnya merupakan pajak pusat dan pajak sarang burung wallet sebagai pajak kabupaten.kota
serta pajak rokok yang merupakan pajak baru bagi provinsi.
Keempat, selain perluasan pajak, dilakukan juga perluasan terhadap beberapa objek
retribusi dan penambahan jenis retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya
gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan
memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenisRetribusi baru bagi
daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan pendidikan, Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin usaha Perikanan.
Kelima, berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tariff untuk
menghindari penetapan tariff pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat
secara berlebihan, daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tariff pajak dalam batas
maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang
tariff pajak antar daerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor,
dalam Undang-undang ini ditetapkan juga tariff minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor.
Pengaturan tariff demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk
memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu,
dalam Undang-undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan seragam
secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik
sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan pertimbangan tertentu, Menteri Dalam
Negeri dapat menyerahkan kewenangan penetapan Nilai Jual Kendaraan bermotor kepada
Daerah. Selain itu, kebijakan tariff Pajak kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi
tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk
menerapkan tariff pajak progresif untuk kepemilihan kendaraan kedua dan seterusnya.
Khususnya untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tariff pajak Roko
ditetapkan secara definitive di dalam Undang-undang ini, agar pemerintah dapat menjaga
keseimbangan antara beban cukap yang harus dipikul oleh industry rokok dengan kebutuhan
fiscal nasional dan darah melalui penetapan tariff cukai nasional.
Keenam, untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang-undang
ini, sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan
dengan pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk membiayai
penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dansarana transportasi umum, dan Pajak
Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan
hokum.
Ketujuh, dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian
kewenangan dalam penetapan tariff tersebut, jenis pajak dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam Undang-undang. Untuk retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka
peluang untuk dapat menambah jenis retribusi selain yang telah ditetapkan dalam Undang-
undang ini sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-undang ini. Adanya
peluang untuk menambah jenis retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksukan untuk
mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari pemerintah kepada daerah yang
juga diatur dengan peraturan pemerintah.
Kedelapan, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah, mekanisme
pengawasan diubah dari represif menjadi proventif. Setiap Peraturan Daerah tentang pajak dan
retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah.
Selain itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi
daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan
dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi aumum dan/atau dana
bagi hasil atau restitusi.
Kesembilan, diberlakukannya regulasi baru ini menyebabkan kemampuan daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena daerah dapat dengan mudah
menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi
dalam penetapan tarif. Di pihak lain, pajak dan retribusi baru, akan memberikan kepastian bagi
masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

3. Alasan Politis

Sebagai kabupaten pemekaran baru, Kabupaten Bandung Barat yang berpenduduk


hamper mencapai lebih dari 2 juta jiwa menyebabkan pemerintah Kabupaten Bandung Barat
harus bekerja keras untuk mencari sumber-sumber pembiayaan keuangan daeah untuk
pembangunan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Salah satu sumbernya adalah keindahan
dan keelokan alam di Kabupaten Bandung Barat menjadi daya Tarik bagi para wisatawan asing
dan kawasan-kawasan strategi tertentu yang memiliki potensi alam yang tidak ada di tempat lain.
Dampaknya adalah ketersediaan fasilitas rekreasi dan sarana prasarana pendukung
pwriwisata di kawasan-kawasan tersebut harus dilengkapi dan ditata secara professional. Hal ini
tidaklah mudah jika tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat Kabupaten Bandung Barat,
termasuk pihak-pihak swasta yang memiliki kompetensi di bidang rekreasi dan wisata.
Simbiosis mutualisma yang dapat dikembangkan antara pemerintah dengan masyarakat
dalam membangun sector pariwisata diawali dari adanya komitmen dalam membuat regulasi dan
aturan main yang menguntungkan kedua belah pihak yang bermuara kepada kesejahteraan
masyarakat. Untuk itulah dibuat peraturan daerah yang mengatur retribusi tempat rekreasi objek
wisata dan izin usaha pariwisata.

4. Alasan Sosiologis

Beberapa tahun terakhir ini setidaknya terdapat isu permasalahan yang berhubugan
dengan potensi kepariwisataan di Kabupaten Bandung Barat yang hingga kini masih
memerlukan perhatian semua pihak yang terkait, yaitu isu reklamasi bekas penggalian tambang
golongan C dan penataan lokasi penemuan manusia purba “pawon” di Desa Gunung Masigit
Kecamatan Cipatat.
Permasalahan reklamasi kawasan bekas penggalian tambang golongan C di kawasan
Cipatat berkaitan dengan keterbatasan anggaran Pemerintah Kabupaten Bandung Barat yang
masih bergantung kepada Kabupaten Bandung Induk yang paling bertanggungjawab dalam
memberikan kebijakan awal pengelolaan kawasan Cipatat sebagai kawasan pertambangan bahan
galian golongan C. Selain itu adanya ketergantungan kehidupan masyarakat sekitar kawasan
pertambangan dan dampak lingkungan yang terjadi, menyebabkan terhambatnya penataan
kawasan Cipatat.
Daerah Kars/kapur yang berada di Kabupaten Bandung Barat menjadi fenomena geologi
tersebut di Indonesia dan dengan ditemukannya manusia purba “pawon” di kawasan ini dapat
menjadi ikon wisata yang sangat strategis ke depan. Namun demikian, memang tidak mudah
dalam proses pengembangannya, karena memerlukan pemahaman dan dukungan komprehensif
semua pihak, khususnya political will pemerintah.
Sisi lain pengembangan kawasan Lembang, Cisarua, Parongpong dan sekitarnya masih
terkendala dengan isu Kawasan Bandung Utara (KBU) yang disebabkan tumpang tindihnya
masing-masing kabupaten/kota dalam menerbitkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
secara sendiri-sendiri yang umumnya tidak sejalan dengan Perda RTRW Propinsi. Sebagai
contoh dikatakan dalam RTRW Propinsi (Perda No. 2 Tahun 2003) bahwa KBU (Kawasan
Bandung Utara) merupakan Kawasan Lindung, namun RTRW Kabupaten Bandung (Perda No.
12 Tahun 2001) mengatakan bahwa KBU adalah kawasan tertentu, sementara RTRW Kabupaten
Bandung Barat (Perda No. 2 Tahun 2004) mengatakan bahwa KBU adalah ruang terbuka hijau
dan bahkan di kawasan Punclut sebagaian diperuntukan sebagai perumahan kepadatan rendah,
bahkan RTRW Kota Cimahi (Perda No. 23 Tahun 2003) mengatakan bahwa KBU ini
diperuntukan sebagai kawasan peumahan. Alhasil saat ini seluruh KBU yang luasnya 38-548 ha
atau 385,48 km2, sebanyaj 70% telah rusak dan tidak lagi berfungsi lindung, sisanya yang 30%
pun saat ini terancam akan beralih fungsi bukan lagi sebagai kawasan lindung.
Berkaca dari hal di atas, maka Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan
pentingnya sikronisasi perencanaan pembangunan dari pusat hingga daerah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 150 bahwa “Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan daerah,
disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam system perencanaan
pembangunan nasional”. Artinya perencanan pembangunan yang dibuat oleh daerah harus
mengacu pada perencanaan pembangunan nasional. Prinsip bahwa satuan pemerintahan yang
lebih kecil harus tunduk/mengikuti pada pemerintahan yang lebih luas.
Hal ini akan menjadi hambatan adanya retribusi objek wisata dan jasa usaha pariwisata di
Kabupaten Bandung Barat, apabila tidak disikapi secara arif dan bijaksana oleh seluruh
pemangku kepentingan daerah. Singkronisasi dan koordinasi masih memerlukan sikap-sikap
yang professional dengan menjadi peluang untuk mengembangkan potensi pariwisata di
Kabupaten Bandung Barat.

C. Bagaimana Mengaturnya (Legal Drafting)

Bagaimana mengaturnya dalam kajian akademik berisi kerangka baku sistematika dan
materi muatan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini peraturan daerah). Adapun
kerangka peraturan daerah terdiri atas:
1. Judul
2. Pembukaan
3. Batang Tubuh
4. Penutup
5. Penjelasan, dan
6. Lampiran (bila diperlukan)

Penjelasan dari uraian kerangka peraturan daerah sebagaimana di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Ad.1. Judul
a) Setiap peraturan daerah diberi judul
b) Judul peraturan daerah memuat keterangan mengenai: jenis, nomor, tahun pengundangan,
dan tentang (nama) peraturan daerah
c) Tentang (nama) peraturan daerah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan
daerah.

Ad.2. Pembukaan, memuat:


a) Jabatan pembentuk peraturan perundangan-undangan daerah,
b) Konsideran,
c) Dasar hukum,
d) Memutuskan,
e) Menetapkan,
f) Nama peraturan perundangan-undangan

Pada pembukaan peraturan daerah sebelum nama jabatan pembentuk peraturan daerah,
dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang diletakan di tengah
marjin.
a) Jabatan pembentuk peraturan daerah
Jabatan pembentuk peraturan daerah ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang
diletakkan di tengah marjin dan diakhiri tanda koma (,).
b) Konsideran
1) Konsideran diawali dengan kata menimbang;
2) Konsideran memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar
belakang dan alasan pembuatan peraturan daerah (unsur filosofis, yuridis dan
sosiologis)l
3) Pokok-pokok pikiran.
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT
NOMOR ................ TAHUN ................

TENTANG
RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA

Menimbang : a. bahwa pembangunan pariwisata diarahkan untuk mewujudkan dan


memelihara kelestarian lingkungan dan budaya serta mengembangkan
objek dan days tarik wisata, serta menjadi salah satu penggerak aktivitas
perekonomian masyarakat;
b. bahwa penyelenggaraan usaha pariwisata perlu dikembangkan untuk
mendukung pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dengan
memperhatikan tata ruang dan tata wilayah keberlangsungan ekologi,
perkembangan kehidupan sosial budaya, sektor perhubungan,
pemberdayaan masyarakat dan sektor lainnya guns peningkatan
kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan b di atas,
maka perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Tempat
Rekreasi Obiek Wisata.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan


(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan lembaran negara
Nomor 3427);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4437);
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438),
4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3851);
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Tahun 1997 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3358) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4138);
6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara
Tahun 2007 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4688);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan
Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3658);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan daerah kabupaten/kota;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4139)
10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);
11. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor... tahun
tentang Tata Cara dan Teknis Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran
Daerah Tahun Nomor ....)
12. Peraturan Bupati Bandung Barat Nomor 3 Tahun 2007 tentang Dinas
Daerah Kabupaten Bandung Barat;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN BANDUNG BARAT
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT


TENTANG RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Bandung Barat;
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bandung Barat;
3. Bupati adalah Bupati Bandung Barat;
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung Barat;
5. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Retribusi Daerah sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan Daerah yang berlaku;
6. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama atau
bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan
usaha swasta;
7. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah
dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh
sektor swasta;
8. Retribusi Tempat Usaha Objek Wisata yang selanjutnya disebut retribusi adalah
pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat rekreasi dan pariwisata yang dimiliki dan
dikelola Pemerintah Daerah;
9. Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Peru nda ng-
unda ngan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi;
10. Tempat Rekreasi adalah Objek dan days Tarik Wisata Alam maupun Buatan bersifat
komersial yang dimiliki dan atau dikelola Pemerintah Daerah;
11. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya dapat disingkat SKRD atau sebutan
lain adalah Surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;
12. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya dapat disingkat STRD adalah surat
untuk melakukan tagihan dan atau sanksi administrasi berupa bungs dan atau denda;
13. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi daerah dan
atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan retribusi daerah.
14. Penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut penyidik untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
di bidang retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya

BAB II
NAMA, OBJEK DAN SUBJEK RETRIBUSI

Pasal 2

Nama retribusi adalah Retribusi Tempat Rekreasi Objek Wisata yang dipungut sebagai
pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat rekreasi objek wisata.

Pasal 3

(1) Objek Retribusi adalah Pelayanan Penyediaan Fasilitas


a. Tempat Rekreasi;
b. Objek Wisata.
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi adalah Pelayanan Penyediaan Tempat Rekreasi Objek
Wisata yang dimiliki dan dikelola oleh Pihak Swasta.

Pasal 4

Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan dan atau menikmati
pelayanan Tempat Rekreasi Objek Wisata.

BAB III,
GOLONGAN RETRIBUSI

Pasal 5

Retribusi Tempat Rekreasi Objek Wisata digolongkan sebagai Retribusi jasa Usaha.

BAB IV
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA

Pasal 6

Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekuensi pemanfaatan tempat rekreasi

BAB V
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF
Pasal 7

Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besamya tarif retribusi dasarkan atas tujuan
untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima
oleh Pengusaha Swasta, jenis yang berorientasi secara efisien dan berorientasi pada harga
pasar.

BAB VI
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI

Pasal 8

(1) Struktur tarif digolongkan berdasarkan jenis fasilitas, lokasi dan jangka waktu pemakaian.
(2) Besarnya tarif ditetapkan berdasarkan tarif fasilitas sejenis yang bedaku.
(3) Struktur dan besarnya tarif ditetapkan sebagai berikut

Jenis Retribusi Jenis Pelayanan Golongan Besarnya Tarif


Asilitas (Rp)
A. Tempat Pariwisata - Masuk Lokasi Orang 3.000/orang
- Taman Wisata - Penginapan Bungalow (A) 70.000/bangunan
Maribaya
Penginapan (B) 50.000/kamar
Penginapan (C) 40.000/kamar

- Mandi Air Panas Kamar Mandi 2.500/orang


Kolam Renang 2.500/orang
- Sewa Kios 10.000/bulan
- Sewa Ruang 50.000/jam
Pertemuan
- Situ Ciburuy - Masuk Lokasi 1.500/orang
- Sewa Kios 10.000/orang
- Perahu 20.000/bulan
- Panggung Hiburan 50.000/jam

- Taman Bunga - Masuk Lokasi 2.000/orang


Cihideung

- Kendaraan Tempat/Kebersihan Bus/Truk 5.000/kendaraan


Bermotor Non Bus 3.000/kendaraan
Sepeda Motor 1.000/kendaraan
B. Tempat Olah Raga
- Tenis/Squash 1 jam Penggunaan Lapangan 10.000/orang
- Sepak Bola 2 jam Penggunaan Lapangan 100.000/tim
- Bulu Tangkis 1 jam Penggunaan Lapangan 5.000/bangunan
- Tenis Meja 1 jam Penggunaan Meja 2.000/grup
- Fitnes 1 x Penggunaan Ruang 5.000/kamar
- Arum Jeram 1 x Penggunaan Paket 50.000/kamar
- Renang/Mandi
Air Panas 1 x Penggunaan - Tertutup 3.000/orang
- Terbuka 2.000/orang
- Motor Cross 1 x Penggunaan 20.000/orang
- Volley Ball 1 jam Penggunaan Lapangan 50.000/grup
- Futsal 1 jam Penggunaan - Rumput sistetis 100.000/grup
- Lantai 50.000/jam

(4) Apabila pada tempat pariwisata atau yang dimaksud pada ayat (3) diadakan atraksi
khusus, maka ditambah biaya sesuai dengan jenis pelayanan.

BAB VII
WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 9

Retribusi yang terutang dipungut di tempat pelayanan penyedia Tempat Rekreasi Objek
Wisata diberikan.

BAB VIII
SAAT RETRIBUSI TERUTANG

Pasal 16

Saat retribusi terutang adalah pada saat ditetapkannya SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.

BAB IX
PENETAPAN RETRIBUSI

Pasal 11

1) Retribusi terutang ditetapkan sesuai dengan yang tercantum dalam SKRD atau dokumen
lain yang dipersamakan;
2) Bentuk, isi serta tata cara penerbitan dan penyampaian SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan ditetapkan oleh Bupati.

BAB X
TATA CARA PEMUNGUTAN

Pasal 12

1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan;


2) Retribusi dipungut dengan menggunakan karcis.

BAB XI
TATA CARA PEMBAYARAN

Pasal 13

1) Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus,


2) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi diatur kemudian oleh
Bupati.

BAB X11
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI

Pasal 14

Bupati dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan Retribusi;


1) Pengurangan, peringanan dan pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan pada masa liburan sekolah dan atau bagi pengunjung rombongan yang
berjumlah minimal 20 (duapuluh) orang;
2) Tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan oleh Bupati.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 15

1) Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sehingga merugikan keuangan


Daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau Benda paling banyak 4
(empat) kali jumlah retribusi terutang;
2) Tindak Pidana yang dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB XIV
PENYIDIKAN

Pasal 16

1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang
khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang retribusi
daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
hukum Acara Pidana;
2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari, mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
mengenai kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana
Retribusi Daerah;
c. Meminta keterangan Bari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana
di bidang Retribusi Daerah;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain yang berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan
dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang Retribusi Daerah;
g. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. Memotret sesorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi Daerah-,
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan atau sebagai tersangka atau
saksi;
j. Menghentikan penyidikan,
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penelitian tindak pidana di
bidang Retribusi Daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya
penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Cabupaten Daerah Tingkat
II Bandung Nomor 11 Tahun 1997 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kabupaten
Daerah Tingkat II 3andung Nomor XIII Tahun 1977 tentang Retribusi Obyek Wisata
Maribaya, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 18

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang berkenaan dengan teknis
pelaksanaan akan diatur lebih lanjut oleh Bupati

Pasal 19

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat.

Disahkan di
pada tanggal
BUPATI BANDUNG BARAT

Drs.H. ABU BAKAR, M.SI

Diundangkan di ...............................
Pada tanggal ...................................

Drs. H. Mas Abdul Kohar


Pembina Utama Muda
NIP 19530417 197707 1 001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN .......


NOMOR ...... SERI ......
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT
NOMOR ........ TAHUN ........

TENTANG
KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANDUNG BARAT

Menimbang : a. Bahwa sumber daya slam dan sumber daya manusia yang berupa hayati
maupun non hayati hasil rekayasa kreasi manusia yang berupa budaya
dapat dimanfaatkan dan dilestarikan untuk kesejahteraan masyarakat
luas dengan menjadikan objek dan daya tarik wisata;
b. Bahwa penyelenggaraan usaha pariwisata perlu dimanfaatkan secara
optimal dalam rangka pelestarian lingkungan dan norms-norms sosial
budaya masyarakat untuk mendorong aktivitas perekonomian,
kesempatan berusaha, kesempatan kerja dan mendorong pembangunan
sektor lainnya;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan b di atas,
maka pedu menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Tempat
Rekreasi Objek Wisata.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan


(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan lembaran negara
Nomor 3427);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4437);
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);
4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3851);
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Tahun 1997 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3358) sebagaimana, telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4138);
6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara
Tahun 2007 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4688);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan
Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3658);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4139)
10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);
11. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor... tahun tentang
Tata Cara dan Teknis Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah
Tahun Nomor....)
12. Peraturan Bupati Bandung Barat Nomor 3 Tahun 2007 tentang Dinas
Daerah Kabupaten Bandung Barat;

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN BANDUNG BARAT

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT


TENTANG KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan


1. Daerah adalah Kabupaten Bandung Barat;
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bandung Barat;
3. Bupati adalah Bupati Bandung Barat;
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung Barat;
5. Dinas adalah: Dinas Perhubungan Pariwisata Komunikasi dan Informasi Kabupaten
Bandung Barat;
6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata Komunikasi dan Informasi
Kabupaten Bandung Barat;
7. lzin Usaha Kepariwisataan yang selanjutnya disebut izin usaha adalah izin yang diberikan
kepada setiap orang dan atau badan yang melakukan usaha di bidang pariwisata;
8. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata;
9. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan
objek dan daya tarik wisata serta usahausaha yang terkait di bidang tersebut;
10. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pariwisata;
11. Usaha Pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau
menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata serta usaha sarana
pariwisata;
12. Usaha Jasa Pariwisata meliputi penyediaan jasa perencanaan jasa pelayanan dan jasa
penyelenggaraan pariwisata;
13. Biro Perjalanan Wisata selanjutnya disingkat BPW adalah badan usaha yang bersifat
komersil mengatur, menyediakan dan menyelenggarakan kegiatan perjalanan secara
lengkap baik perorangan maupun kelompok di dalam negeri maupun dari dan ke luar
negeri;
14. Cabang Biro Pedalanan Wisata selanjutnya disingkat CBPW adalah salah satu unit biro
perjalanan wisata yang berkedudukan di wilayah lain yang melakukan kegiatan usaha
kantor pusatnya;
15. Agen Pedalanan Wisata selanjutnya disingkat APW adalah badan usaha yang
menyelenggarakan usaha perjalanan bertindak sebagai perantara dalam menjual dan atau
mengurus jasa untuk melakukan perjalanan;
16. Jasa Pramuwisata adalah kegiatan profesi yang mengatur, mengkoordinir dan
menyediakan tenaga pramuwisata yang memberikan pelayanan bagi seseorang atau
sekelompok orang yang melakuan perjalanan wisata;
17. Pengatur Wisata adalah pegawai biro perjalanan wisata yang bertugas merencanakan,
memimpin dan mengurus perjalanan wisatawan;
18. Jasa Informasi Pariwisata adalah usaha penyediaan, penyebaran dan pemanfaatan
informasi kepariwisataan;
19. Jasa Konsultan Pariwisata adalah suatu jasa konsultan yang bergerak di bidang
pariwisata;
20. Jasa Impresariat adalah kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan, baik yang berupa
mendatangkan, mengirimkan maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu
dan jenis hiburan.
21. Mandala Wisata adalah tempat yang disediakan untuk kegiatan penerangan wisata serta
peragaan kesenian dan kebudayaan khas daerah;
22. Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata adalah kegiatan membangun, mengelola
beserta prasarana dan sarana yang diperlukan atau kegiatan mengelola objek dan daya
tarik wisata yang telah ada, dikelompokkan ke dalam:
a. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam adalah merupakan usaha pemanfaatan
sumber daya alam dan Tata Lingkungannya untuk dijadikan sasaran wisata.
b. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya merupakan usaha pemanfaatan seni
budaya bangsa untuk dijadikan sasaran wisata.
c. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus merupakan usaha pemanfaatan
sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan
minat khusus sebagai sasaran wisata.
23. Usaha sarana pariwisata adalah meliputi kegiatan pembangunan, pengelolaan dan
penyediaan fasilitas, serta pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pariwisata;
24. Usaha Wisata Tirta adalah usaha yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan dan
mengelola sarana dan prasarana serta menyediakan jasa lainnya yang bersangkutan
dengan kegiatan wisata tirta.
25. Wisata agro adalah kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek
wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan
hubungan usaha di bidang agro.
26. Usaha rekreasi dan hiburan umum adalah setiap usaha yang komersial yang ruang lingkup
kegiatannya dimaksudkan untuk memberikan kesehatan rohani dan jasmani.
27. Taman rekreasi adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan berbagai jenis fasilitas
untuk memberikan kesegaran rohani dan jasmani yang mengandung unsur hiburan,
pendidikan dan kebudayaan sebagai usaha pokok di suatu kawasan tertentu yang dapat
dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi.
28. Gelanggang renang adalah suatu usaha yang menyediakan tempat untuk berenang, taman
dan tempat bermain anak-anak sebagai usaha pokok yang dapat dilengkapi dengan
pelayanan makan dan minum.
29. Pemandian alam adalah suatu usaha yang menyediakan tempat fasilitas untuk mandi
dengan menggunakan air panas atau air terjun sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi
dengan usaha jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi.
30. Padang golf adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas olah raga golf di
suatu kawasan tertentu sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan usaha jasa
pelayanan makan dan minum serta akomodasi.
31. Kolam pancing adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk
memancing ikan sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan usaha jasa pelayanan
makan dan minum.
32. Gelanggang permainan adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk
mesin permainan (video game, play Station cill yang sejenis) sebagai usaha pokok dan
dapat dilengkapi jasa pelayanan makan dan minum.
33. Gelanggang bowling adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk
olah raga bowling sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan pelayanan jasa
makan dan minum.
24. Rumah bilyard adalah suatu usaha yang menyediakan tempat tempat dan fasilitas untuk
permainan bilyard sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan
makan dan minum.
35. Gedung pertunjukan adalah suatu bangunan yang dapat menampung banyak orang untuk
kegiatan pertemuan atau hiburan kesenian yang dikelola secara komersial.
36. Lapangan tenis adalah suatu tempat plah raga khusus tenis.
37. Gedung squash adalah suatu bangunan yang dikelola secara komersil yang dipergunakan
untuk olah raga squash.
38. Gedung olah raga adalah suatu bangunan yang dikelola secara komersial untuk kegiatan
olah raga.
39. Fitnes adalah kegiatan usaha dibidang sarana olah raga di bidang kebugaran.
40. Bioskop adalah suatu kegiatan usaha dengan pertunjukan film yang dilaksanakan di
sebuah gedung khusus atau dilapangan terbuka.
41. Karaoke adalah suatu kegiatan sarana hiburan bagi pengunjung yang menyediakan
fasilitas untuk karaoke dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa makan dan minum di
hotel berbintang.
42. Pacuan kuda adalah kegiatan olah raga berkuda yang diperlombakan pada sirkuit pacuan
Oalan tanah melingkar).
43. Cady adalah orang yang mendampingi dan membantu pemain golf.
44. Hotel berbintang adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau
seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum
serta jasa lainnya bagi umum, yang dikelola secara komersil serta memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
45. Hotel melati adalah suatu usaha komersil yang menggunakan seluruh atau sebagian dad
bangunan yang khusus disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh jasa pelayanan
penginapan.
46. Pondok wisata adalah suatu usaha perorangan dengan menggunakan sebagian dad rumah
tinggalnya untuk penginapan bagi setiap orang dengan perhitungan pembayaran harian.
47. Penginapan remaja adalah suatu usaha yang tidak bertujuan komersial yang menggunakan
sebagian atau seluruh bangunan yang khusus disediakan bagi remaja untuk memperoleh
pelayanan penginapan.
48. Pondokan adalah suatu usaha komersil yang menggunakan kamar untuk disewakan
dengan pembayaran bulanan maupun tahunan.
49. Perkemahan adalah suatu bentuk wisata dengan mempergunakan tenda yang dipasang di
slam terbuka atau kereta/kendaraan gandengan bawaan sendiri sebagai tempat menginap.
50. Restoran adalah salah satu jenis usaha jasa pangan yang bertempat disebagian atau
seluruh bangunan yang permanen, dilengkapi dengan perlatan dan perlengkapan untuk
proses pembuatan, penyimpanan, penyajian dan penjualan makanan dan minuman bagi
umum di tempat usahanya dan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
51. Rumah makan/warung nasi adalah setiap usaha komersial yang ruang lingkup
kegiatannya menyediakan makanan dan minuman untuk umum di tempat usahanya.
52. Usaha Jasa Boga/Katering adalah kegiatan usaha milik perseorangan atau badan hukum
di bidang penyediaan makanan dan minuman yang dikelola secara komersil.
53. Coffee House adalah suatu kegiatan usaha jualan makan dan minuman yang dikelola
secara komersil.
54. Usaha kawasan Pariwisata adalah setiap usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya
menyediakan prasarana dan sarana untuk pengembangan pariwisata dalam suatu kawasan
dengan luas tertentu.

BAB II
AZAS DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Setiap penyelenggaraan usaha kebudayaan dan pariwisata dilaksanakan berdasarkan azas
manfaat, berprikehidupan dan keseimbangan kelestarian slam serta menjaga norms sosial
budaya masyarakat;
(2) Usaha kebudayaan dan kepariwisataan bertujuan untuk memperluas dan memeratakan
kesempatan berusaha dan lapangan kerja, memupuk rasa cinta tanah air serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

BAB III
KETENTUAN DAN JENIS IZIN USAHA

Pasal 3

(1) Setiap usaha kepariwisataan yang berlokasi dalam daerah yang bergerak dalam ruang
lingkup usaha jasa kepariwisataan, pengusahaan objek dan days tarik wisata serta usaha
kepariwisataan, bidang tersebut harus mendapat izin usaha dari Bupati;
(2) Jenis Izin usaha terdiri dari :
a. lzin Sementara Usaha Pariwisata (ISUP)
b. Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP)
(3) Bentuk izin dan Jenis kegiatan usaha diatur lebih lanjut dalam Keputusan Bupati

Pasal 4

Jenis Usaha Pariwisata adalah terdiri dari


a. Usaha Jasa Pariwisata, meliputi:
1. Jasa Biro Pedalanan.
2. Jasa Agen Pedalanan Wisata
3. Jasa Pramuwisata
4. Jasa Konvensi, Pedalanan Insentif dan Pameran (MICE).
5. Jasa Impresariat
6. Jasa Konsultan Pariwisata
7. Jasa Informasi Pariwisata
b. Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata, meliputi
1. Pengusaha Objek dan Daya Tarik Wisata Alam
2. Pengusaha Objek dan Daya Tarik Wisata Budaya.
3. Pengusaha Objek dan Daya Tarik Wisata Minat Khusus, yang mencakup wisata:
Arung Jeram, Agro, Buru, Dayung, Ekologi, Lintas Hutan, Penelusuran Gua, Panjat
Tebing, Selam dan Ziarah.
c. Usaha Sarana Pariwisata, meliputi:
1. Penyediaan Akomodasi, mencakup: Hotel Bintang, Hotel Melati, Pondok Wisata,
Bumi Perkemahan, Bungalow, Cottage, Pondokan dan lain-lain.
2. Penyediaan Makan dan Minum, mencakup: Restoran, Rumah Makan, coffe house,
katering, jasa bogs dan lain-lain.
3. Penyediaan Angkutan Wisata.
4. Penyediaan Sarana Wisata Tirta.
5. Kawasan Pariwisata.
d. Pengusahaan atraksi dan aneka wisata, selain atraksi alam, budaya dan minat khusus,
dapat dikelompokkan sebagai berikut
1. Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum.
2. Gelanggang Renang.
3. Pemandian Alam.
4. Padang Golf.
5. Kolam Pancing.
6. Gelanggang Bowling
7. Rumah Billiard.
8. Gedung Pertunjukan.
9. Lapangan Tenis.
10. Gedung Squas
11. Gedung Olah Raga
12. Fitnes Centre
13. Bioskop
14. Karaoke
15. Pacuan Kuda.

BAB IV
TATA CARA MEMPEROLEH DAN JANGKA WAKTU BERLAKUNYA
IZIN

Pasal 5

(1) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 pengusaha yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Bupati dengan dilengkapi
persyaratan sebagai berikut:
a. akte pendirian perusahaan yang berbadan hukum.
b. kantor/lokasi usaha yang jelas.
c. memiliki tenaga keda yang,berpengetahuan di bidang usahanya.
d. modal yang cukup untuk menjalankan usahanya.
e. memenuhi ketentuan dan persyaratan pengusahaan lainnya.
(2) Bentuk, Tata Cara dan prosedur pengajuan permohonan izin usaha ditetapkan lebih lanjut
dengan Keputusan Bupati.
(3) Surat izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dibuat dan ditandatangani oleh Kepala
Dinas atas nama Bupati

Pasal 6
Jangka waktu berlakunya lzin Usaha yaitu

1. lzin Sementara Usaha Kebudayaan dan Pariwisata (ISUKP) berlaku untuk jangka waktu 6
(enam) bulan, dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 2 kali 6 (enam)
bulan-,
2. lzin Tetap Usaha Kebudayaan dan Pariwisata (ITUPK) berlaku selama kegiatan usaha
masih bedalan, dan dilaksanakan pendaftaran ulang (heregistrasi) pada setiap 1 (satu)
tahun sekali selama memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB V
IZIN USAHA

Pasal 7

(1) Badan/perorangan yang mengajukan lzin Usaha Kepariwisataan sesuai dengan


persyaratan yang ditetapkan dikenakan biaya Retribusi;
(2) Besarnya retribusi untuk setiap izin usaha bagi Badan/Perorangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Pasal ini ditetapkan sebagai berikut:

No. Bentuk Usaha Jenis Usaha Keterangan


(Rp)
1 2 3 4
A Usaha Jenis 1. Biro Perjalanan Wisata 300.000,-
Pariwisata 2. Cabang Biro Perjalanan Wisata 200.000,-
3. Agen Perjalanan Wisata 200.000,-
4. Usaha Angkutan Wisata 250.000,-
5. Usaha Jasa Pramuwisata 50.000,-
6. Usaha Jasa Informasi Pariwisata 150.000,-
7. Usaha Jasa Konsultan Pariwisata 300.000,-
8. Usaha Jasa Konvensi/Pameran/MICE 250.000,-
9. Ijin Pertunjukan Promosi/Pameran/
Festival 150.000,-
10. Usaha Jasa Impresariat 500.000,-
11. Lisensi Pramuwisata/orang 50.000,-
12. Lisensi Cady/orang 50.000,-
13. Lisensi bartender/orang 50.000,-
B Usaha Objek dan 1. Objek dan Daya Tarik Wisata Alam 300.000,-
Daya gtarik Wisata a. Kelas A/ha 250.000,-
b. Kelas B/ha 200.000,-
c. Kelas C/ha 250.000,-
2. Objek dan Daya Tarik Wisata
Budaya/Lokasi 200.000,-
3. Objek Wisata Minat Khusus/Unit 250.000,-
4. Wisata Agro/Wisata Bunga/ha 150.000,-
5. Izin Pentas Pertunjukan dan Lomba
Satwa 200.000,-
C Usaha Sarana Wisata 1. Wisata Tirna/Lokasi 200.000,-
2. Mandala Wisata/Lokasi 250.000,-
3. Taman Rekreasi/Lokasi 100.000,-
4. Gelanggang Renang:
a. Di dalam Objek Wisata/m2 2.000,-
b. Di luar Objek Wisata/m2 1.000,-
5. Pemandianan Alam/Lokasi 100.000,-
6. Padang golf/hole 100.000,-
7. Driving Range/padang 500.000,-
8. Kolam Pancing/lapak 5.000,-
9. Rumah Bilyard 50.000,-
a. Meja besar (9 feet)/meja 100.000,-
b. Meja sedang (8 feet)/meja 60.000,-
c. Meja kecil (7 feet)/meja 40.000,-
10. Gelanggang Bowling/lane 200.000,-
11. Gedung Pertemuan/pertunjukan/unit 300.000,-
12. Gedung squash/unit 200.000,-
13. Lapang tenis/unit 150.000,-
14. Lapang bulutangkis/unit 100.000,-
15. Fitness/unit 50.000,-
16. Sanggar senam/unit 200.000,-
17. Bioskop
a. Kelas A (gedung representatif) 1.000.000,-
b. Kelas B (gedung non
respresentatif) 500.000,-
18. Karaoke/ruang 100.000,-
19. Pacuan kuda/lokasi 250.000,-
20. Sarana seluncur, ice skating,
Skateboard 500.000,
21. Sarana mandi uap, sauna, spa/kamar/
Lokasi 300.000,
22. Salon kecantikan/kursi 25.000,-
D Penyediaan 1. Hotel Bintang 1 s/d Bintang 5 20% x tarif
Akomodasi Kamar x jumlah
kamar
2. Hotel Melati
a. Melati I/Kamar 20.000,-
b. Melati II/Kamar 25.000,-
c. Melati III/Kamar 30.000,-
3. Cottage
a. 1 s/d 3 kamar/kamar 250.000,-
b. 4 kamar/kamar 30.000,-
4. Bumi Perkemahan
a. Kelas A/hektar 200.000,-
b. Kelas B/hektar 150.000,-
c. Kelas C/hektar 100.000,-
E Penyediaan Makanan 1. Restoran
dan Minuman a. Talam Kencana/Kursi 25.000,-
b. Talam Gangsa/Kursi 20.000,-
c. Talam Salaka/Kursi 15.000,-
2. Bar/kursi 15.000,-
3. Rumah makan
a. Kelas A 300.000,-
b. Kelas B 200.000,-
4. Usaha Jasa Boga/catering 250.000,-
5. Cinderamata/unit usaha 50.000,-
6. Salon kecantikan/kursi 25.000,-
7. Kios yang ada dalam objek wisata/
Unit 50.000,
F Penyediaan Sarana Perahu
Wisata Tirta a. Bermesin/Unit 60.000,-
b. Tidak Bermesin/Unit 30.000,-
c. Sepeda Air/Unit 25.000,-

(3) Tata cara pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan
lebih lanjut dengan Keputusan Bupati;
(4) Penggolongan jenis Izin Usaha yang memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Bupati;

BAB VI
PEMBINAAN, PENGAWASAN,PENGENDALIAN DAN KOORDINASI
Pasal 9

Pembinaan, Pengawasan, Pengendalian, dan Koordinasi teknis terhadap usaha kebudayaan


dan pariwisata dilakukan oleh Dinas yang pelaksanaannya ditetapkan lebih lanjut oleh
Keputusan Bupati;
(1) Pembinaan Pengawasan, Pengendalian dan Koordinasi usaha kebudayaan dan
kepariwisataan sebagaimana tercantum dalam ayat (1) Pasal ini diselenggarakan agar
tercipta kondisi yang mendukung kepentingan wisatawan, berlangsungnya usaha
kebudayaan dan kepariwisataan, terpeliharanya objek dan days tarik wisata serta
lingkungan;
(2) Dalam rangka Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan di bidang Kebudayaan dan
Kepariwsataan, termasuk pengelolaan jasa usaha Budaya dan Pariwisata dapat melakukan
kerjasama dengan pihak ketiga (BUMN, Swasta Nasional/Asing) setelah mendapat
persetujuan DPRD,
(3) Dalam rangka peningkatan potensi bidang usaha Budaya dan Pariwisata yang meliputi
Objek, Subjek Budaya, dan sarana serta prasarana pariwisata Dinas berkewajiban untuk
melakukan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian, serta koordinasi dengan
Dinashnstansi terkait,
(4) Terhadap jasa usaha Budaya dan Pariwisata yang asetnya dikelola oleh BUMN dan atau
Swasta Nasional/Asing perlu ditetapkan dalam bentuk kerjasama yang pelaksanaannya
diatur lebih lanjut oleh Keputusan Bupati.

BAB VII
KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Bagian Pertama
Kewajiban

Pasal 10
Setiap Pemegang izin usaha wajib untuk :
a. Melaksanakan kegiatan usahanya sesuai persyaratan ketentuan yang berlaku;
b. Melaksanakan kegiatan usahanya dengan memperhatikan dan mengindahkan nilai-nilai
agama, adat-istiadat, nilai-nilai sosial budaya yang hidup dan berkembang dalam
lingkungan masyarakat di sekitar tempat usahanya;
c. Melaksanakan kegiatan usahanya dengan memperhatikan dan mengindahkan aspek
kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup;
d. Menyampaikan laporan kegiatan bulanan dan tahunan kepada Bupati, paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) Setiap bulan berjalan dan laporan tahunan paling lambat bulan ke-2
tahun berjalan;
e. Menyelesaikan ijin dari instansi berwenang, sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku bagi yang mempekerjakan tenaga kerja asing.

Bagian Kedua
Larangan

Pasal 11

Setiap Pemegang izin usaha dilarang untuk:


a. Mernindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan dari Bupati;
b. Melaksanakan kegiatan usahanya tanpa memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat,
nilai-nilai sosial budaya di sekitar lingkungan usahanya;
c. Melaksanakan kegiatan usaha yang mengganggu aspek kelestarian budaya dan mutu
lingkungan hidup.
d. Mempekerjakan tenaga kerja wanita di luar ketentuan yang berlaku dan norms-norms
sosial yang ads.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN

Bagian Pertama
Ketentuan Pidana

Pasal 12

(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 10 dan Pasal 11 dalam Peraturan Daerah
ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau Benda setinggit
tingginyanya Rp.5.000.000,- (Lima Juts Rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 13

(1) Penyidikan atas pelanggaran dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) dilakukan oleh
Penyidik Umum dan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, pars penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini berwenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan
pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengendal dari tersangka;
d. Melakukan penyitaan bends dan atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum
bahwa tidak terdapat bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
dan selanjutnya melalui penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum tersangka atau keluarganya;
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 14

Terhadap izin yang telah diberikan, sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini masih tetap
berlaku sampai habis masa berlakunya dan untuk selanjutnya diperbaharui sesuai dengan
peraturan daerah ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka segala peraturan yang bertentangan dengan
peraturan daerah ini dinyatakan tidak bedaku.

Pasal 16

Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan daerah ini sepanjang mengenai teknis
pelaksanaanya akan diatur lebih lanjut oleh Keputusan Bupati

Pasal 17

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini,
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat.

Disahkan di
pada tanggal

BUPATI BANDUNG BARAT

Drs.H. ABU BAKAR, M.SI

Diundangkan di
pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT

Drs. H. Mas Abdul Kohar


Pembina Utama Muda
NIP. 19530417 197707 1 001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN


NOMOR....... SERI.......
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Chalid, Pheni. 2005. Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi Tantangan dan
Hambatan. Kemitraan Untuk Tata Pemerintahan Yang Baik. Jakarta: UNDP.

Cheema G. Shabbir, Dennis A. Rondinelli (Ed.). 1983. Decentralization and Development:


Policy Implementation in Developing Countries, London, Sage Publication, Inc.

Shabbir, Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development Countries. Beverly


Hill: Sage Publications.

Drucker. 1999. "Desentralisasi dan Otonomi" dalam Rian Nugroho D. 2000. Desentralisasi
Tanpa Revolusi: Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Hamidi, Muchlis. 1999. Laporan Hasil Tim Studi Pengkajian flmu Pemerintahan. Jakarta:
11P

Muchlis. 2002. Bungs Rampai Pemerintahan. Jakarta: YARSIF Watampone

Hogerwerf. 1987. Rmu Pemerintahan, Alih Bahasa L. L. Tobing, Jakarta, Erlangga

Kristiadi, JB. 1997. Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia. Jakarta: STIR-
LAN Press

LAN & BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Modul I Sosialisasi
Sistem Akuntabilitas Kiner a Instansi Pemerintah (AKIP)

Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan

Osborne, David and Ted Gaebler (Dited. Abdul Rosyid). 1995. Mewirausahakan Birokrasi
(Reinventing Government). Jakarta: Teruna Grafika

Putra, Fadillah. 2001. Paradigms Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Dokumen:
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Tahun 1997 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3358)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan. Daerah

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di


Provinsi Jawa Barat

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan


Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah

You might also like