Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
Dr. A. Widanarto, Drs., M.Si.
NASKAH AKADEMIK RAPERDA
RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA DAN KETENTUAN
IZIN USAHA PARIWISATA DI KABUPATEN BANDUNG BARAT
B. Mengapa Diatur
Pada dasarnya pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan asli
daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksanakan otonomi, yaitu
mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Urgensi pengaturan retribusi tempat rekreasi objek wisata dan izin usaha kepariwisataaan
dalam bentuk peraturan daerah Antara lain karena alasan filosofis, yuridis, politis dan sosiologis
yaitu:
1. Alasan filosofis,
Kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan
secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap
memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam
masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan daerah dan
nasional. Pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan
kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan
perubahan kehidupan local, nasional, dan global.
2. Alasan yuridis,
Realisasi dari amanah yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang
Retribusi Daerah.
3. Alasan politis,
Kesejahteraan dan kemakmuran yang adil dan merata adalah harapan terbesar masyarakat
yang harus direspon secara optimal oleh Pemerintah Daerah.
4. Alasan sosiologis,
Agar tercipta keteraturan dalam berusaha dan tercapainya kesejahteraan yang adil dan
merata, maka masyarakat dituntut pula untuk taat pada aturan main yang dibuat oleh
pemerintah daerah. Pelanggaran atas sebuah Perda berdampak secara psikologis bagi
pemerintah dan masyarakat.
1. Alasan Filosofis
Desentralisasi merupakan suatu pengelolaan yang merupakan turunan dari sentralisasi.
Jika sentralisasi mengandung arti pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian
dan pelimpahan. Rondinelli dan Cheenma (1983:24) mengatakan:
“… the transfer of planning decision making or administrative authority from the central
government to its field organization, local administrative units, semi autonomous and
parastatal organizations, local government, or non governmental organizations”.
Secara umum (menurut continental), desentralisasi terbagi menjadi dua, yaitu
desentralisasi territorial dan kewilayahan, dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi
kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepaa wilayah di dalam
Negara. Desentralisasi fungsional (dekonsentrasi) berarti pelimpahan wewenang kepada
organisasi fungsional (teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat.
(Muslimin, 1986:9).
Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke
bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada
fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan
secara bersama-sama.
Desentralisasi dalam arti fungsional sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah setiap
Negara termasuk yang dianggap paling sentralistik sekalipun. Adanya departeman kementrian,
dan badan-badan pemerintah merupakan bukti nyata desentralisasi dalam fungsi. Dalam berbagai
tingkatan, organisasi yang menerima pendelegasian fungsional tersebut memiliki jaringan kerja
langsung ke masyarakat, ataupun yang tidak dan menyerahkan penyelenggaraan kepada
masyarakat kepada organisasi kewilayahan. Dengan demikian, manakala kita berbicara
desentralisasi, pada hakikatnya yang dibahas adalah desentralisasi kewilayahan, karena
desentralisasi fungsional adalah suatu kkeharusan. Dan semua orang telah melakukannya dalam
derajat yang relatif sama.
Menurut Osborne (1995:283-284) ada beberapa keunggulan dari lembaga atau
pemerintahan yang terdesentralisasi, yaitu:
1. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi,
lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan
pelanggan yang berubah;
2. Lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang trsentralisasi;
3. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi;
4. Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih
banyak komitmen dan lebih besar produktivitas.
Pelaksanaan asas desentralisasi pemerintahan ini, pada era reformasi jangan hanya
dipandang dari kaca mata politik yang diasosiakan dengan disintegrasi (anggapan negative)
tetapi harus dari pertimbangan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, pemberdayaan manusia dan
sekaligus pemerataan pelayanan (delivery of service) bagi seluruh masyarakat Indonesia di
pelosok tanah air. Oleh sebab itu perimbangan keuangan pusat daerah dengan sendirinya dituntut
harus lebih empiris dan rasional. Hal ini sangat beralasan mengingat bahwa dalam konteks
regional dan internasional, Indonesia harus mampu bersaing dengan Negara tetangga (Kawasan
ASEAN) dan dunia internasional yang dewasa ini dalam membentuk berbagai kawasan bebas
perdagangan regional seperti AFTA di ASEAN, masyarakat ekonomi di Eropa.
Era perdagangan bebas atau era globalisasi hanya dapat diantasisipasi melalui
desentralisasi yang lebih memadai, terutama bagi kabupaten/kota yang diperkirakan akan
menjadi pusat-pusat aktivitas ekonomi. Untuk itu pemberdayaan melalui wewenang yang lebih
banyak kepada kabupaten/kota melalui kriteria-kriteria yang baku akan menentukan apa yang
akan dilakukan dan bagaimana melakukannya harus segera dilakukan untuk memberi
kesempatan kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan exercice yang cukup sebelum era
perdagangan bebas benar-benar dilaksanakan di Indonesia. Namun penyerahan wewenang
tersebut tetap harus mempertimbangkan kemampuan sumber-sumber yang ada atau mungkin
diserahkan kepada kabupaten/kota.
Menurut Kristiadi (1997:52) ada 4 hal di antaranya yang dapat dilakukan untuk
memberdayakan masyarakat:
Pertama, dapat dilakukan melalui penyerahan sejumlah tugas pemerintah kepada
masyarakat yang ada di daerah. Hal ini sejalan dengan proses swastanisasi yang terjadi pada
tugas-tugas pemerintahan pada umumnya. Berdasarkan perkiraan yang dilakukan oleh
pemerintah, maka investasi yang dilakukan oleh swasta di berbagai daerah di Indonesia akan
lebih besar dibandingkan investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun bentuk
pemberdayaan tersebut tidak selalu perlu dalam bentuk swastanisasi penuh, tetapi dengan apa
yang disebut sebagai proses kemitraan pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership).
Melalui swastanisasi atau kemitraan tersebut Pemerintah Daerah diharapkan dapat lebih ramping
dan karenanya dapat bergerak lsebih cepat (responsive) terhadap berbagai tuntutan dari
masyarakat dan efisien.
Kedua, adalah dilakukannya pemberian sumber-sumber keuangan yang lebih memadai.
Hal ini tidak cukup dengan pemberian sumber-sumber keuangan yang baru melalui sejumlah
pajak daerah yang baru, tetapi lebih dari itu pemberian tax sharing dari sejumlah pajak pusat
yang cukup potensial. Terutama bagi daerah-daerah yang mempunyai potensi yang besar, maka
sudah waktunya bagi daerah untuk mendapatkan sharing revenue darinya.
Ketiga, yang perlu dilakukan dengan segera adalah peningkatan kemampuan sumber
daya manusia daerah. Dengan sumber daya manusia yang ada sekarang ini sulit dibayangkan
daerah mampu bersaing, apalagi berperan secara dominan dengan lokasi-lokasi lainnya yang ada
di Negara-negara Asia Pasifik.
Keempat, yang juga sangat penting dalam menghadapi era keterbukaan adalah
pengembangan manajemen pelayanan umum (management of public service delivery).
Penguasaan yang tinggi terhadap system manajemen layanan umum akan memperbaiki dan
meningkatkan efisiensi dan responsiveness dari Pemerintah Daerah dalam mengemban tugas.
Management of public service delivery ini tidak hanyak ditujukan bagi Pemerintah Daerah untuk
mandiri memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi system manajemen ini memberikan
kemampuan bagi Pemerintah Daerah untuk bekerjasama dengan swasta atau organisasi
kemasyarakatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di berbagai Negara
maju telah terbukti bahwa kemampuan yang tinggi untuk bekerjasama dengan organisasi lainnya
di luar pemerintah daerah yang bersangkutan mampu menangani lebih banyak fungsi dan
tanggungjawabnya.
Pengembangan system manajemen pemerintahan yang professional ini, sampai batas-
batas tertentu dikembangkan sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan-
perusahaan swasta. (Osborne, 1995).
Dengan demikian jika kita ingin mempersiapkan pemerintahan daerah untuk menghadapi
era perdagangan bebas pada abad ke-21, maka sejak sekarang sudah waktunya kita membangun
dasar-dasar yang kokoh bagi kebaradaan Pemerintah Daerah. Dengan demikian pada saat
lingkungannya mengalami perubahan yang luar biasa, maka Pemerintah Daerah telah siap untuk
mengikutinya.
Dengan adanya era globalisasi dimana dunia tampaknya lebih kecil dan mudah
terjangkau karena teknologi semakin canggih, khususnya di bidang komunikasi, maka dengan
sendirinya baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola piker, sikap dan perilaku
masyarakat/daerah. Demikian pula dengan tuntutan dan kebutuhan akan mengalami perubahan.
Perubahan ini tentunya harus diikuti dengan dinamika pemerintahan. Sesuai dengan
fungsi pemerintah yaitu melayani public, melindungi public dan mengembangkan potensi public
(Hamidi, 2002: 7-11), maka bagaimana hal tersebut dapat direspon oleh pemerintah daerah
(kabupaten/kota.)
Hubungan dengan pemerintah dan masyarakat dalam konteks Good Government
(kepemerintahan yang baik) tidak lagi bersifat vertical (atasan bawahan) melainkan lebih bersifat
horizontal (kemitraan) yang saling menguntungkan. (LAN & BPKP, 2000: 5-6). Institusi
pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hokum yang kondusif, sector swasta
menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi
social, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, social dan politik.
Salah satu sumber untuk pembiayaan dalam peningkatan potensi dan realisasi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) adalah sector pajak dan retribusi daerah yang harus dikembangkan dan
dioptimalkan secara dinamis dan berkesinambungan. Pendapatan Asli Daerah sejauh ini
kondisinya sangat tidak seimbang dengan potensi riil yang ada di daerah. Hal ini merupakan
bagian dari dampak kebijakan lalu yang serba terpusat dan kurang optimalnya Pemerintah
Daerah dalam menggali potensi-potensi di daerahnya.
Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan berimplikasi pada peningkatan
pemungutan pajak dan retribusi daerah, sehubungan kedua komponen tersebut merupakan
penyumbang terbesar dalam pos pendapatan APBD. Akibatnya Pemerintah Daerah berusaha
meningkatkan pajak daerah, retribusi daerah, sekaligus bagian laba BUMD, bahkan beberapa
Pemda meminta bagian asli daerah BUMD yang ada di daerahnya.
Pemerintahan Daerah dituntut untuk bersikap bijak dalam melaksanakan pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan
kata lain Pemerintah Daerah dapat memungut pajak dan retribusi daerah dalam jumlah yang
tinggi bila tingkat pertumbuhan ekonominya juga tinggi. Termasuk dampak inflasi harus
dipertimbangkan. Jangan sampai pemungutan pajak dan retribusi mengakibatkan kelesuan
ekonomi, sehingga investor menjadi ragu untuk menanamkan modalnya. Selain itu perlu kehatia-
hatian Pemerintah Daerah terutama untuk menentukan pajak apa yang harus dikenakan dan
masyarakat/public atau sector mana yang harus dibebani pajak dan retribusi, agar tidak
menggaggu kestabilan kehidupan makro dan mikro ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Terlepas dari bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
pemberdayaan dan pemenuhan kesejahteraan warganya, namun setidaknya terdapat dua model
bentuk pelayanan public yang dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah yaitu dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan dasar (basic services) dan dalam bentuk pengembangan sector unggulan
(core competence). Berikut merupakan jenis-jenis pelayanan yang dapat dikembangkan sebagai
wujud tanggung jawab pemerintah daerah:
1. Pelayanan Dasar (basic services), mencakup:
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Transportasi, sarana jalan, dan sarana angkutan umum
d. Lingkungan: penataan lingkungan kumuh (MCK, hidran umum, jalan-jalan
setapak/gang), tata kota/bangunan, taman, kebersihan, kesehatan lingkungan (polusi,
penyakit menular, penyakit yang ditularkan binatang, rabies, malaria, pes dan
sebagainya), sewage/saluran limbah, persampahan, penerangan jalan, dan
pemeliharaan sungai)
e. Rekreasi, sport centre/gelanggang remaja, perpustakaan, theatre, taman rekreasi,
museum, gallery, camp sites, cagar budaya, dan lain-lain
f. Social, pengurusan orang terlantar, panti asuhan, panti jompo, dan seterusnya
g. Perumahan
h. Pemakaman dan crematorium
i. Registrasi penduduk (KTP, kelahiran, kematian dan perkawinan)
j. Air minum/air bersih
2. Pelayanan sector unggulan (core competence), mencakup:
a. Pertanian
b. Pertambangan
c. Kehutanan
d. Perkebunan
e. Perikanan
f. Industry
g. Perdagangan
h. Pariwisata, dan lain-lain
Dari dua kelompok pelayanan tersebut, maka ada dua varian yang dihasilkan oleh
pemerintah daerah, yaitu:
1. Public Goods, barang-barang public yang umumnya berbenttuk hardware seperti jalan,
jembatan, gedung, rumah sakit, sekolah dan sebagainya.
2. Public Regulation, pengaturan-pengaturan yang dilakukan pemerintah daerah seperti akte
kelahiran, akte perkawinan, KTP, IMB, HO dan sebagainya.
Begitu sentral dan pentingnya keberadaan pemerintah sehingga wajar apabila masyarakat
memerlukan organisasi pemerintah karena banyak bagian penting dari kebutuhannya yang tidak
dipenuhi oleh organisasi lain seperti halnya organisasi swasta baik profit (dengan orientasi
mencari laba) maupun organisasi swasta non profit. Organisasi swasta profit dianggap gagal
dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menyangkut kebutuhan eksternalitas dan barang public
karena motifnya yang hanya mengejar kebutuhan semata. Begitu pula halnya dengan organisasi
swasta non profit hanya mampu memberikan pelayanan dalam skala kecil dan sederhana, serta
terbatas pada lapisan masyarakat tertentu saja.
2. Alasan Yuridis
3. Alasan Politis
4. Alasan Sosiologis
Beberapa tahun terakhir ini setidaknya terdapat isu permasalahan yang berhubugan
dengan potensi kepariwisataan di Kabupaten Bandung Barat yang hingga kini masih
memerlukan perhatian semua pihak yang terkait, yaitu isu reklamasi bekas penggalian tambang
golongan C dan penataan lokasi penemuan manusia purba “pawon” di Desa Gunung Masigit
Kecamatan Cipatat.
Permasalahan reklamasi kawasan bekas penggalian tambang golongan C di kawasan
Cipatat berkaitan dengan keterbatasan anggaran Pemerintah Kabupaten Bandung Barat yang
masih bergantung kepada Kabupaten Bandung Induk yang paling bertanggungjawab dalam
memberikan kebijakan awal pengelolaan kawasan Cipatat sebagai kawasan pertambangan bahan
galian golongan C. Selain itu adanya ketergantungan kehidupan masyarakat sekitar kawasan
pertambangan dan dampak lingkungan yang terjadi, menyebabkan terhambatnya penataan
kawasan Cipatat.
Daerah Kars/kapur yang berada di Kabupaten Bandung Barat menjadi fenomena geologi
tersebut di Indonesia dan dengan ditemukannya manusia purba “pawon” di kawasan ini dapat
menjadi ikon wisata yang sangat strategis ke depan. Namun demikian, memang tidak mudah
dalam proses pengembangannya, karena memerlukan pemahaman dan dukungan komprehensif
semua pihak, khususnya political will pemerintah.
Sisi lain pengembangan kawasan Lembang, Cisarua, Parongpong dan sekitarnya masih
terkendala dengan isu Kawasan Bandung Utara (KBU) yang disebabkan tumpang tindihnya
masing-masing kabupaten/kota dalam menerbitkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
secara sendiri-sendiri yang umumnya tidak sejalan dengan Perda RTRW Propinsi. Sebagai
contoh dikatakan dalam RTRW Propinsi (Perda No. 2 Tahun 2003) bahwa KBU (Kawasan
Bandung Utara) merupakan Kawasan Lindung, namun RTRW Kabupaten Bandung (Perda No.
12 Tahun 2001) mengatakan bahwa KBU adalah kawasan tertentu, sementara RTRW Kabupaten
Bandung Barat (Perda No. 2 Tahun 2004) mengatakan bahwa KBU adalah ruang terbuka hijau
dan bahkan di kawasan Punclut sebagaian diperuntukan sebagai perumahan kepadatan rendah,
bahkan RTRW Kota Cimahi (Perda No. 23 Tahun 2003) mengatakan bahwa KBU ini
diperuntukan sebagai kawasan peumahan. Alhasil saat ini seluruh KBU yang luasnya 38-548 ha
atau 385,48 km2, sebanyaj 70% telah rusak dan tidak lagi berfungsi lindung, sisanya yang 30%
pun saat ini terancam akan beralih fungsi bukan lagi sebagai kawasan lindung.
Berkaca dari hal di atas, maka Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan
pentingnya sikronisasi perencanaan pembangunan dari pusat hingga daerah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 150 bahwa “Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan daerah,
disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam system perencanaan
pembangunan nasional”. Artinya perencanan pembangunan yang dibuat oleh daerah harus
mengacu pada perencanaan pembangunan nasional. Prinsip bahwa satuan pemerintahan yang
lebih kecil harus tunduk/mengikuti pada pemerintahan yang lebih luas.
Hal ini akan menjadi hambatan adanya retribusi objek wisata dan jasa usaha pariwisata di
Kabupaten Bandung Barat, apabila tidak disikapi secara arif dan bijaksana oleh seluruh
pemangku kepentingan daerah. Singkronisasi dan koordinasi masih memerlukan sikap-sikap
yang professional dengan menjadi peluang untuk mengembangkan potensi pariwisata di
Kabupaten Bandung Barat.
Bagaimana mengaturnya dalam kajian akademik berisi kerangka baku sistematika dan
materi muatan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini peraturan daerah). Adapun
kerangka peraturan daerah terdiri atas:
1. Judul
2. Pembukaan
3. Batang Tubuh
4. Penutup
5. Penjelasan, dan
6. Lampiran (bila diperlukan)
Penjelasan dari uraian kerangka peraturan daerah sebagaimana di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Ad.1. Judul
a) Setiap peraturan daerah diberi judul
b) Judul peraturan daerah memuat keterangan mengenai: jenis, nomor, tahun pengundangan,
dan tentang (nama) peraturan daerah
c) Tentang (nama) peraturan daerah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan
daerah.
Pada pembukaan peraturan daerah sebelum nama jabatan pembentuk peraturan daerah,
dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang diletakan di tengah
marjin.
a) Jabatan pembentuk peraturan daerah
Jabatan pembentuk peraturan daerah ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang
diletakkan di tengah marjin dan diakhiri tanda koma (,).
b) Konsideran
1) Konsideran diawali dengan kata menimbang;
2) Konsideran memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar
belakang dan alasan pembuatan peraturan daerah (unsur filosofis, yuridis dan
sosiologis)l
3) Pokok-pokok pikiran.
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT
NOMOR ................ TAHUN ................
TENTANG
RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN BANDUNG BARAT
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
NAMA, OBJEK DAN SUBJEK RETRIBUSI
Pasal 2
Nama retribusi adalah Retribusi Tempat Rekreasi Objek Wisata yang dipungut sebagai
pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat rekreasi objek wisata.
Pasal 3
Pasal 4
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan dan atau menikmati
pelayanan Tempat Rekreasi Objek Wisata.
BAB III,
GOLONGAN RETRIBUSI
Pasal 5
Retribusi Tempat Rekreasi Objek Wisata digolongkan sebagai Retribusi jasa Usaha.
BAB IV
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 6
BAB V
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF
Pasal 7
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besamya tarif retribusi dasarkan atas tujuan
untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima
oleh Pengusaha Swasta, jenis yang berorientasi secara efisien dan berorientasi pada harga
pasar.
BAB VI
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
Pasal 8
(1) Struktur tarif digolongkan berdasarkan jenis fasilitas, lokasi dan jangka waktu pemakaian.
(2) Besarnya tarif ditetapkan berdasarkan tarif fasilitas sejenis yang bedaku.
(3) Struktur dan besarnya tarif ditetapkan sebagai berikut
(4) Apabila pada tempat pariwisata atau yang dimaksud pada ayat (3) diadakan atraksi
khusus, maka ditambah biaya sesuai dengan jenis pelayanan.
BAB VII
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 9
Retribusi yang terutang dipungut di tempat pelayanan penyedia Tempat Rekreasi Objek
Wisata diberikan.
BAB VIII
SAAT RETRIBUSI TERUTANG
Pasal 16
Saat retribusi terutang adalah pada saat ditetapkannya SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
BAB IX
PENETAPAN RETRIBUSI
Pasal 11
1) Retribusi terutang ditetapkan sesuai dengan yang tercantum dalam SKRD atau dokumen
lain yang dipersamakan;
2) Bentuk, isi serta tata cara penerbitan dan penyampaian SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan ditetapkan oleh Bupati.
BAB X
TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 12
BAB XI
TATA CARA PEMBAYARAN
Pasal 13
BAB X11
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI
Pasal 14
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 15
BAB XIV
PENYIDIKAN
Pasal 16
1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang
khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang retribusi
daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
hukum Acara Pidana;
2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari, mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
mengenai kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana
Retribusi Daerah;
c. Meminta keterangan Bari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana
di bidang Retribusi Daerah;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain yang berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan
dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang Retribusi Daerah;
g. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. Memotret sesorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi Daerah-,
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan atau sebagai tersangka atau
saksi;
j. Menghentikan penyidikan,
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penelitian tindak pidana di
bidang Retribusi Daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya
penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Cabupaten Daerah Tingkat
II Bandung Nomor 11 Tahun 1997 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kabupaten
Daerah Tingkat II 3andung Nomor XIII Tahun 1977 tentang Retribusi Obyek Wisata
Maribaya, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang berkenaan dengan teknis
pelaksanaan akan diatur lebih lanjut oleh Bupati
Pasal 19
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat.
Disahkan di
pada tanggal
BUPATI BANDUNG BARAT
Diundangkan di ...............................
Pada tanggal ...................................
TENTANG
KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANDUNG BARAT
Menimbang : a. Bahwa sumber daya slam dan sumber daya manusia yang berupa hayati
maupun non hayati hasil rekayasa kreasi manusia yang berupa budaya
dapat dimanfaatkan dan dilestarikan untuk kesejahteraan masyarakat
luas dengan menjadikan objek dan daya tarik wisata;
b. Bahwa penyelenggaraan usaha pariwisata perlu dimanfaatkan secara
optimal dalam rangka pelestarian lingkungan dan norms-norms sosial
budaya masyarakat untuk mendorong aktivitas perekonomian,
kesempatan berusaha, kesempatan kerja dan mendorong pembangunan
sektor lainnya;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan b di atas,
maka pedu menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Tempat
Rekreasi Objek Wisata.
Dengan Persetujuan
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Setiap penyelenggaraan usaha kebudayaan dan pariwisata dilaksanakan berdasarkan azas
manfaat, berprikehidupan dan keseimbangan kelestarian slam serta menjaga norms sosial
budaya masyarakat;
(2) Usaha kebudayaan dan kepariwisataan bertujuan untuk memperluas dan memeratakan
kesempatan berusaha dan lapangan kerja, memupuk rasa cinta tanah air serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAB III
KETENTUAN DAN JENIS IZIN USAHA
Pasal 3
(1) Setiap usaha kepariwisataan yang berlokasi dalam daerah yang bergerak dalam ruang
lingkup usaha jasa kepariwisataan, pengusahaan objek dan days tarik wisata serta usaha
kepariwisataan, bidang tersebut harus mendapat izin usaha dari Bupati;
(2) Jenis Izin usaha terdiri dari :
a. lzin Sementara Usaha Pariwisata (ISUP)
b. Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP)
(3) Bentuk izin dan Jenis kegiatan usaha diatur lebih lanjut dalam Keputusan Bupati
Pasal 4
BAB IV
TATA CARA MEMPEROLEH DAN JANGKA WAKTU BERLAKUNYA
IZIN
Pasal 5
(1) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 pengusaha yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Bupati dengan dilengkapi
persyaratan sebagai berikut:
a. akte pendirian perusahaan yang berbadan hukum.
b. kantor/lokasi usaha yang jelas.
c. memiliki tenaga keda yang,berpengetahuan di bidang usahanya.
d. modal yang cukup untuk menjalankan usahanya.
e. memenuhi ketentuan dan persyaratan pengusahaan lainnya.
(2) Bentuk, Tata Cara dan prosedur pengajuan permohonan izin usaha ditetapkan lebih lanjut
dengan Keputusan Bupati.
(3) Surat izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dibuat dan ditandatangani oleh Kepala
Dinas atas nama Bupati
Pasal 6
Jangka waktu berlakunya lzin Usaha yaitu
1. lzin Sementara Usaha Kebudayaan dan Pariwisata (ISUKP) berlaku untuk jangka waktu 6
(enam) bulan, dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 2 kali 6 (enam)
bulan-,
2. lzin Tetap Usaha Kebudayaan dan Pariwisata (ITUPK) berlaku selama kegiatan usaha
masih bedalan, dan dilaksanakan pendaftaran ulang (heregistrasi) pada setiap 1 (satu)
tahun sekali selama memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB V
IZIN USAHA
Pasal 7
(3) Tata cara pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan
lebih lanjut dengan Keputusan Bupati;
(4) Penggolongan jenis Izin Usaha yang memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Bupati;
BAB VI
PEMBINAAN, PENGAWASAN,PENGENDALIAN DAN KOORDINASI
Pasal 9
BAB VII
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Pertama
Kewajiban
Pasal 10
Setiap Pemegang izin usaha wajib untuk :
a. Melaksanakan kegiatan usahanya sesuai persyaratan ketentuan yang berlaku;
b. Melaksanakan kegiatan usahanya dengan memperhatikan dan mengindahkan nilai-nilai
agama, adat-istiadat, nilai-nilai sosial budaya yang hidup dan berkembang dalam
lingkungan masyarakat di sekitar tempat usahanya;
c. Melaksanakan kegiatan usahanya dengan memperhatikan dan mengindahkan aspek
kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup;
d. Menyampaikan laporan kegiatan bulanan dan tahunan kepada Bupati, paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) Setiap bulan berjalan dan laporan tahunan paling lambat bulan ke-2
tahun berjalan;
e. Menyelesaikan ijin dari instansi berwenang, sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku bagi yang mempekerjakan tenaga kerja asing.
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 11
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 12
(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 10 dan Pasal 11 dalam Peraturan Daerah
ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau Benda setinggit
tingginyanya Rp.5.000.000,- (Lima Juts Rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 13
(1) Penyidikan atas pelanggaran dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) dilakukan oleh
Penyidik Umum dan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, pars penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini berwenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan
pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengendal dari tersangka;
d. Melakukan penyitaan bends dan atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum
bahwa tidak terdapat bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
dan selanjutnya melalui penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum tersangka atau keluarganya;
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Terhadap izin yang telah diberikan, sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini masih tetap
berlaku sampai habis masa berlakunya dan untuk selanjutnya diperbaharui sesuai dengan
peraturan daerah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka segala peraturan yang bertentangan dengan
peraturan daerah ini dinyatakan tidak bedaku.
Pasal 16
Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan daerah ini sepanjang mengenai teknis
pelaksanaanya akan diatur lebih lanjut oleh Keputusan Bupati
Pasal 17
Disahkan di
pada tanggal
Diundangkan di
pada tanggal
Buku :
Chalid, Pheni. 2005. Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi Tantangan dan
Hambatan. Kemitraan Untuk Tata Pemerintahan Yang Baik. Jakarta: UNDP.
Drucker. 1999. "Desentralisasi dan Otonomi" dalam Rian Nugroho D. 2000. Desentralisasi
Tanpa Revolusi: Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Hamidi, Muchlis. 1999. Laporan Hasil Tim Studi Pengkajian flmu Pemerintahan. Jakarta:
11P
Kristiadi, JB. 1997. Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia. Jakarta: STIR-
LAN Press
LAN & BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Modul I Sosialisasi
Sistem Akuntabilitas Kiner a Instansi Pemerintah (AKIP)
Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Osborne, David and Ted Gaebler (Dited. Abdul Rosyid). 1995. Mewirausahakan Birokrasi
(Reinventing Government). Jakarta: Teruna Grafika
Putra, Fadillah. 2001. Paradigms Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Dokumen:
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Tahun 1997 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3358)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000