You are on page 1of 8

Etiopatogenesis Dermatofitosis

(Etiopathogenesis of Dermatophytoses)
Kurniati, Cita Rosita SP
Dept./SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo
Surabaya

ABSTRAK
Pengetahuan tentang spesies jamur penyebab dan patogenesis terjadinya dermatofitosis mengarahkan pada diagnosis yang benar
dan upaya penatalaksanaan yang tepat. Dalam patogenesis terjadinya infeksi dermatofit dikenal tiga langkah yaitu: perlekatan
dermatofit, penetrasi dermatofit pada jaringan keratin, dan respon imun pejamu. Ketiga tahap tersebut dipengaruhi oleh jamur,
imunitas pejamu dan faktor lain yang berkaitan dengan dermatofitosis.

Kata kunci: dermatofit, patogenesis, dermatofitosis

ABSTRACT
Knowledge about the species of dermatophytes that cause dermatophytoses and its pathogenesis leading to the right diagnose
and the exact treatment. Within this pathogenesis of dermatophytes infection, there are three steps : adherence of dermatophytes,
penetration to keratinocyte tissue, and immune respon of the host. These steps are influenced by the dermatophytes, immunity
of the host, and the other factor that correlate to dermatophytoses.

Key words: dermatophytes, pathogenesis, dermatophytoses

PENDAHULUAN Dermatofit adalah sekelompok jamur yang


memiliki kemampuan membentuk molekul yang
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok
berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai
dermatomikosis superfisialis yang disebabkan oleh
sumber nutrisi untuk membentuk kolonisasi. 2,3,8
jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi pejamu
terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasi
oleh suatu organisme pada jaringan hidup. 1 ETIOLOGI
Terdapat tiga langkah utama terjadinya infeksi Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu
dermatofit, yaitu perlekatan dermatofit pada keratin, Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton, 2,5,6
penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya yang dikelompokkan dalam kelas Deuteromycetes.
respon pejamu. 2,3,4,5 Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan
Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies
lingkungan, antara lain iklim yang panas, higiene Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton.2,5,9
perseorangan, sumber penularan, penggunaan obat- Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17
obatan steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas spesies diisolasi dari infeksi jamur pada manusia,
dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut,
respon imun dari pasien. 1,2,6,7 11 spesies Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan
kuku, 1 spesies Epidermophyton menginfeksi hanya
DEFINISI pada kulit dan jarang pada kuku. 5,6,8,10
Spesies terbanyak yang menjadi penyebab
Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan
dermatofitosis di Indonesia adalah: Trichophyton
oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang
rubrum (T. rubrum), berdasarkan penelitian di RS
jaringan yang mengandung keratin seperti stratum
Dr. Cipto Mangun Kusumo Jakarta tahun 1980 .1 Pada
korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan
penelitian yang dilakukan di Surabaya pada 2006–2007
hewan. 2,3,8

Pengarang Utama 2 SKP. Pengarang Pembantu 1 SKP


(SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)

243
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008

ditemukan spesies terbanyak yang berhasil dikultur yang tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur,
adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang
T. mentagrophytes (7,3%).11 berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan
onikomikosis. 2,3,6,7
EPIDEMIOLOGI
KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor
DERMATOFITOSIS
epidemiologi yang penting, di mana prevalensi infeksi
dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak Pembagia n dermatofitosis berdasarkan
dari wanita. Namun demikian tinea kapitis karena lokasi infeksi atau ciri tertentu, sebagai berikut:
T. tonsurans lebih sering pada wanita dewasa (Tabel 1). 3,6,8,10
dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering
terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi DIAGNOSIS
karena adanya pengaruh kebersihan perorangan,
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada
lingkungan yang kumuh dan padat serta status
sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya. Jamur umumnya dilakukan secara klinis, dapat diperkuat
penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi, dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan
sarung bantal, mainan anak-anak atau bahkan kursi pemeriksaan dengan lampu wood pada spesies tertentu.
di gedung teater. 3,9 Tabel 2 menunjukkan karakteristik dermatofit
Perpindahan manusia dapat dengan cepat penyebab tinea kapitis. 3,8,11,12
memengaruhi penyebaran endemik dari jamur. 2,3,9 Pada pemeriksaan
emeriksaan dengan KOH 10–20%, tampak
Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya dermatofit yang memiliki septa dan percabangan
oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk
meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit menentukan spesies jamur penyebab dermatofitosis
meningkatkan kejadian infeksi tinea. Alas kaki (Tabel 3). 3,9,10,12

Tabel 1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur Penyebab

Nama Penyakit Lokasi infeksi/ciri tertentu * Jamur Penyebab


Tinea kapitis kulit dan rambut kepala Microsporum (beberapa spesies)
Trichophyton (beberapa spesies kecuali
T. consentricum)
Tinea favosa *secara klinis berbentuk skutula T. schoenleinii
dan berbau seperti tikus (mousy T. violaceum (jarang)
odor) M. gypseum (jarang)
Tinea barbae dagu dan jenggot T. mentagrophytes, T. rubrum,
T. violaceum, T. verrucosum, T. megninii, M. canis
Tinea korporis pada permukaan kulit yang tidak T. rubrum, T. mentagrophytes, M. audouinii,
berambut kecuali telapak tangan, M. canis
telapak kaki, dan bokong.
Tinea imbrikata *susunan skuama yang konsentris T. concentricum
Tinea kruris bokong, genitalia, area pubis, E. floccosum
perineal dan perianal T. rubrum
T. mentagrophytes
Tinea pedis pada kaki T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
Tinea manuum tangan T. rubrum
E. floccosum
T. mentagrophytes
Tinea unguium kuku jari tangan dan jari kaki T. rubrum
T. mentagrophytes
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 3, 6, 8, 10

244
Telaah Kepustakaan Etiopatogenesis Dermatofitosis

Tabel 2. Karakteristik Dermatofit Penyebab Tinea Kapitis

Ektotriks Endotriks
Yellow-green fluorescence: Dull gray-green fluorescence:
Microsporum audouinii Trichophyton schoenleinii
M. canis
M. ferrugineum
No fluorescence No fluorescence
M. fulvum T. gourvillii
M. gypseum T. soudanense
T. megninii T. tonsurans
T. mentagrophytes T. violaceum
T. rubrum T. yaoundei
T. verrucosum
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 3

Tabel 3. Karakteristik Dermatofit Terbanyak

Gambaran
Morfologi Koloni Keterangan
Mikroskopik
Koloni: seperti bulu datar dengan lipatan
central dan warna kuning kehijauan, kuning
kecoklatan.

Gambaran mikroskopik: tidak ada


mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan
tebal. makrokonidia berbentuk gada.
Epidermophyton floccosum
Koloni: datar dan berwarna putih keabuan
dengan celah radial yang lebar. Berwarna
pink-salmon pada media PDA.

Gambaran mikroskopik: terminal


klamidoko-nidia dan hifa berbentuk seperti
sisir.
Microsporum audouinii
Koloni: datar, warna putih hingga kuning,
kasar dan berambut, dengan celah radial yang
rapat. berwarna kuning pada PDA
Gambaran mikroskopik: beberapa
mikroko-nidia, sejumlah dinding tebal dan
makrokoni-dia bergerigi dengan knob pada
ujungnya.
M. canis
Koloni: datar dan granuler dengan pigmen
coklat hingga berwarna sepertti kambing

Gambaran mikroskopik: beberapa


mikroko-nidia, sejumlah makrokonida
berdinding tipis tanpa knob.

M. gypseum

245
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008

Koloni: putih hingga krem dengan


permukaan seperti tumpukan kapas pada PDA
tidak muncul pigmen.

Gambaran mikroskopik: mikrokonidia yang


bergerombol, bentuk cerutu yang jarang,
terkadang hifa spiral.
Trichophyton mentagrophytes
Koloni: putih bertumpuk di tengah dan
maroon pada tepinya berwarna merah cheri
pada PDA.

Gambaran mikroskopik: beberapa


mikrokonida berbentuk airmata, sedikit
makrokonidia berbentuk pensil.
Trichophyton rubrum
Koloni: berbentuk timbunan atau lipatan
keputihan.

Gambaran mikroskopik: hifa dengan


knob berbentuk tanduk rusa, banyak
klamidokonidia.

T. schoenleinii
Koloni: bagian tengah seperti kulit sepatu
terbalik dengan bulu di bagian tepi. warna
putih hingga kuning atau maroon

Gambaran mikroskopik: sejumlah konidia


beraneka bentukdan kadang makrokonidia
berbentuk cerutu.
T. tonsurans
Koloni: kecil dan bertumpuk, kadang datar,
warna putih hingga abu kekuningan

Gambaran mikroskopik: rantai klamikonidia


pada SDA. Makrokonidia yang panjang dan
tipis seperti ekor tikus.
T. verrucosum
Koloni: Seperti lilin dan bertumpuk, warna
merah keunguan.

Gambaran mikroskopik: hifa irreguler dengan


klamikonidia di antaranya. Pada SDA tidak
ada mikro atau makrokonidia.

T. violaceum
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 3
Keterangan : PDA = Potato Dextrose Agar, media pertumbuhan jamur pada kultur.
SDA = Sabouraud Dextrose Agar, media pertumbuhan jamur pada kultur

246
Telaah Kepustakaan Etiopatogenesis Dermatofitosis

PATOGENESIS DERMATOFITOSIS dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang.


(Gambar 1) 4,8,13
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah
melalui 3 cara yaitu: 2,3,6,9
utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi
Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia.
Ditularkan baik secara langsung maupun tidak melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon
langsung melalui lantai kolam renang dan udara pejamu.3,6
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa
reaksi keradangan (silent “carrier”). PERLEKATAN DERMATOFIT PADA
Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. KERATINOSIT
Ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin
langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi oleh
dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi
pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis
dan minuman hewan. Sumber penularan utama keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit. stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas
Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine
sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen
reaksi radang. 6 jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini
jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel,
non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit
kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau
serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit
dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis
menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan strainnya. 14
biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak

A B
Gambar 1. Epidermomikosis dan trikhomikosis. Epidermomikosis (A), dermatofit (titik dan garis merah)
memasuki stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons
radang (titik hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema, papula, dan vasikulasi.
Sedangkan pada trikhomikosis pada batang rambut (B), ditunjukkan titik merah, menyebabkan
rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan memberikan respons
radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang mengakibatkan reaksi radang berupa
nodul, pustulasi folikel,dan pembentukan abses.
(Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 8 )

247
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008

PENETRASI DERMATOFIT MELEWATI dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian


DAN DI ANTARA SEL kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid
membawa dapat meningkatkan kemungkinan
Spora harus tumbuh dan menembus masuk
terinfeksi oleh dermatofit non patogenik. 3
stratum korneum dengan kecepatan melebihi proses
deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang MEKANISME PERTAHANAN NON SPESIFIK
menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai
untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum pertahanan alami terdiri dari: 7
setelah spora melekat pada keratin. 3,6,14 1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis,
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi bertindak sebagai barrier terhadap masuknya
pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu
patogen menggunakan beberapa cara: 13,14 diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis
1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang
polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi
filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada benteng pertahanan terhadap dermatofitosis,
dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, termasuk proses keradangan sebagai bentuk
dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi
ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap sel T.
fagositosis. 2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara
2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan makroskopi berupa pustul, secara mikroskopis
mekanisme penghambatan imun pejamu atau berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari
secara aktif mengendalikan respons imun kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat
mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme
efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur oksidatif.
berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, 3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat transferrin dan 2-makroglobulin keratinase
aktivasi makrofag akan terhambat. inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul
yang secara langsung merusak atau memasuki MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK
pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase
dapat membangkitkan baik imunitas humoral maupun
dan superoksid dismutase, mensekresi protease
cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang
yang dapat menurunkan barrier jaringan
berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH)
sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis
dan memproduksi siderospore (suatu molekul dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang
penangkap zat besi yang dapat larut) yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu
digunakan untuk menangkap zat besi untuk respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi
kehidupan aerobik. dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI. 7
stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh
daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan ANTIGEN DERMATOFIT
dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum
Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak
korneum. 5
spesifik menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas
utama antigen dermatofit adalah: glikopeptida dan
RESPONS IMUN PEJAMU
keratinase, di mana bagian protein dari glikopeptida
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari
yang memberikan respons cepat dan imunitas adaptif glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi
yang memberikan respons lambat. 3,7 menghambat stimulasi aktivitas proteolitik yang
Pada kondisi individu dengan sistem imun yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan
lemah (immunocompromized), cenderung mengalami respons DTH yang kuat. 7

248
Telaah Kepustakaan Etiopatogenesis Dermatofitosis

CMI inflamasi terutama pada kondisi atopik atau kondisi


lain. Mannan dapat menekan pembentukan limfoblast,
Pertahanan utama dalam membasmi infeksi
menghambat respon proliferasi limfosit terhadap
dermatofit adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH.
berbagai rangsangan antigenik, serta menghambat
Kekurangan sel T dalam sistem imun menyebabkan
proliferasi keratinosit yang memperlambat pemulihan
kegagalan dalam membasmi infeksi dermatofit.
epidermis. 7
Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan
Tidak ada bukti yang menyokong adanya
dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental,
kerentanan secara khusus pada kelompok golongan
berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi
yang persisten seringkali terjadi karena lemahnya darah ABO, dan pada penderita diabetes. Pada kondisi
respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya malnutrisi dan sindroma Chusing mudah mengalami
respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam infeksi dermatofit dimungkinkan karena depresi
respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1 imunitas seluler. 3,5
dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit Kemampuan spesies dermatofit tertentu untuk
akibat respon DTH merupakan mekanisme terakhir memproduksi penicillin-like antibiotics memungkinkan
yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui jamur ini memanfaatkan flora normal, Staphylococcus
deskuamasi kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan aureus dapat betindak sebagai ko-patogen yang
dengan ciri pelepasan interferon gamma (IFN- ), m eningk atka n dera ja t ke radanga n i nf eksi
ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu terhadap dermatofit. 5
dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam Gambaran klinis yang bervariasi pada infeksi
dermatofitosis. dermatofit merupakan hasil dari kombinasi kerusakan
Respons T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi jaringan keratin secara langsung oleh karena
oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam memunculkan dermatofit, dan proses keradangan akibat respon
respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai faktor pejamu.5
utama dalam fase efektor dari reaksi DTH. Pada Pada bentuk klasik tinea yang annular, tepi
penderita dermatofitosis akut, sel mononuklear lingkaran lesi ditandai oleh adanya infiltrat limfosit
memproduksi sejumlah besar IFN- untuk merespon perivaskular, karena proses pembersihan jamur dari
infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan stratum korneum akibat surveilans sistem imun, dan
ekspresi mRNA IFN- pada lesi kulit dermatofitosis. pertumbuhan jamur yang sentrifugal. Kecepatan
Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis, epidermal turn over berjalan normal di dalam area cincin,
produksi IFN- secara nyata sangat rendah yang namun pada daerah infeksi bisa menjadi lebih dari
terjadi akibat ketidakseimbangan sistem imun karena 4 kali lipat. Pada tinea imbrikata karena T. concentricum,
respon Th2. 6,14,15 terjadi semacam gelombang pertumbuhan jamur pada
Sel Langerhans. Infiltrat radang pada dermatofitosis kulit dengan perluasan infeksi yang sentrifugal. 5
terutama terdiri dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang
dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans RINGKASAN
CD1a+. Sel Langerhans dapat menginduksi respon Dermatofitosis merupakan kelompok penyakit
sel T terhadap trichophytin, serta bertanggung jawab yang disebabkan oleh jamur dermatofit dari tiga genus,
dalam pengambilan dan pemrosesan antigen pada Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum, yang
respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit. 6,15
bersifat keratinofilik mengenai stratum korneum
Imunitas humoral. Pejamu dapat membentuk pada kulit, rambut dan kuku dengan cara transmisi
bermacam antibodi terhadap infeksi dermatofit
melalui zoofilik, antropofilik dan geofilik.
yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas
Di Indonesia insiden dermatofitosis paling tinggi
humoral tidak berperan menyingkirkan infeksi, hal
di antara kelompok dermatomikosis superfisialis, dan
ini dibuktikan dengan level antibodi tertinggi pada
di RS Dr. Soetomo dengan distribusi usia terbanyak
penderita infeksi kronis. 5,7
pada rentang usia produktif.
Klasifikasi penyakit ini digolongkan berdasarkan
BEBERAPA FAKTOR LAIN YANG lokasi atau ciri khusus tertentu, dan jenis struktur
BERKAITAN DENGAN DERMATOFITOSIS keratin yang terlibat yaitu kulit, kuku dan rambut.
Produksi substansi mannan, yaitu suatu komponen Terjadinya dermatofitosis melalui 3 tahap utama,
glikoprotein dinding sel jamur, dapat menekan respons yaitu perlekatan, dengan keratinosit, penetrasi

249
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008

melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis
Adanya virulensi jamur, mekanisme penghindaran, Superfisialis Masa Kini; 11 Mei 2002; Surabaya,
kondisi imunitas pejamu yang lemah memudahkan Indonesia.
7. Koga T. Immune Surveillance against Dermatophytes
infeksi dermatofit.
Infection. In: Fidel PL,Jr.,Huffnagle G.B, editors.
Mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi
Fungal Imunologi from Organ Perspective. Netherlands:
dermatofit terdiri dari pertahanan non spesifik dan Springer; 2005. p. 443–9.
spesifik yang melibatkan surveilan sistem imun. 8. Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah
Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
KEPUSTAKAAN
PUSTAKAAN Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
h. 89–105.
1. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis di
9. Wollf K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s
Indonesia. Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono
Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor.
5th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta:
10. Siregar R.S. Penyakit Jamur Kulit. Edisi kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2004. h. 1–6.
EGC; 2004.
2. Rippon JW. Medical Mycology The Pathogenic Fungi.
11. Fauzi N, Suyoso S. Penelitian Retrospektif Mikosis
3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Company; 1988.
Superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan
3. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection:
Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya Periode 2006–2007
Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra.
(2 tahun). Surabaya; 2008. Belum dipublikasikan.
In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller
12. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection
A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
Diagnosis and Management. 3 rd ed. Massachusset:
General Medicine. 7 th ed. New York: McGraw-Hill;
Blackwell Publishing; 2003.
2008. p. 1807–21.
13. Underhill. DM. Escape Mechanisms from the
4. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis.
Immun Respons. In: Brown GD, Nitea MG, editors.
Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi
Immunology of fungal Infection. Oxford: Springer;
SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis
2007. p. 429–42.
Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
14. Richardson M, Edwart M. Model System for the Study
FKUI; 2004. h. 7–18.
of Dermatophyte and Non-dermatophyte Invasion of
5. Hay RJ, Moore M. Mycology. In : Champion RH,
Human Keratine. Revista Iberoamericana de Micologia
Burton JL, Durns DA, Breathnach SDM, editors.
2000: 115–21.
Text Book of Dermatology. 6 th ed. Oxford: Blackwell
15. Robert C, Kuffer TS. Inflamatory Skin Disease,
Science; 1998. p. 1277–350.
T cells, Immune Surveilance. NEJM 1999; 341(24):
6. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor.
1817–28.
Etiologi dan Patogenesis Dermatomikosis Superfisialis.

250

You might also like