Professional Documents
Culture Documents
(Etiopathogenesis of Dermatophytoses)
Kurniati, Cita Rosita SP
Dept./SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo
Surabaya
ABSTRAK
Pengetahuan tentang spesies jamur penyebab dan patogenesis terjadinya dermatofitosis mengarahkan pada diagnosis yang benar
dan upaya penatalaksanaan yang tepat. Dalam patogenesis terjadinya infeksi dermatofit dikenal tiga langkah yaitu: perlekatan
dermatofit, penetrasi dermatofit pada jaringan keratin, dan respon imun pejamu. Ketiga tahap tersebut dipengaruhi oleh jamur,
imunitas pejamu dan faktor lain yang berkaitan dengan dermatofitosis.
ABSTRACT
Knowledge about the species of dermatophytes that cause dermatophytoses and its pathogenesis leading to the right diagnose
and the exact treatment. Within this pathogenesis of dermatophytes infection, there are three steps : adherence of dermatophytes,
penetration to keratinocyte tissue, and immune respon of the host. These steps are influenced by the dermatophytes, immunity
of the host, and the other factor that correlate to dermatophytoses.
243
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008
ditemukan spesies terbanyak yang berhasil dikultur yang tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur,
adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang
T. mentagrophytes (7,3%).11 berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan
onikomikosis. 2,3,6,7
EPIDEMIOLOGI
KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor
DERMATOFITOSIS
epidemiologi yang penting, di mana prevalensi infeksi
dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak Pembagia n dermatofitosis berdasarkan
dari wanita. Namun demikian tinea kapitis karena lokasi infeksi atau ciri tertentu, sebagai berikut:
T. tonsurans lebih sering pada wanita dewasa (Tabel 1). 3,6,8,10
dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering
terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi DIAGNOSIS
karena adanya pengaruh kebersihan perorangan,
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada
lingkungan yang kumuh dan padat serta status
sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya. Jamur umumnya dilakukan secara klinis, dapat diperkuat
penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi, dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan
sarung bantal, mainan anak-anak atau bahkan kursi pemeriksaan dengan lampu wood pada spesies tertentu.
di gedung teater. 3,9 Tabel 2 menunjukkan karakteristik dermatofit
Perpindahan manusia dapat dengan cepat penyebab tinea kapitis. 3,8,11,12
memengaruhi penyebaran endemik dari jamur. 2,3,9 Pada pemeriksaan
emeriksaan dengan KOH 10–20%, tampak
Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya dermatofit yang memiliki septa dan percabangan
oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk
meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit menentukan spesies jamur penyebab dermatofitosis
meningkatkan kejadian infeksi tinea. Alas kaki (Tabel 3). 3,9,10,12
Tabel 1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur Penyebab
244
Telaah Kepustakaan Etiopatogenesis Dermatofitosis
Ektotriks Endotriks
Yellow-green fluorescence: Dull gray-green fluorescence:
Microsporum audouinii Trichophyton schoenleinii
M. canis
M. ferrugineum
No fluorescence No fluorescence
M. fulvum T. gourvillii
M. gypseum T. soudanense
T. megninii T. tonsurans
T. mentagrophytes T. violaceum
T. rubrum T. yaoundei
T. verrucosum
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 3
Gambaran
Morfologi Koloni Keterangan
Mikroskopik
Koloni: seperti bulu datar dengan lipatan
central dan warna kuning kehijauan, kuning
kecoklatan.
M. gypseum
245
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008
T. schoenleinii
Koloni: bagian tengah seperti kulit sepatu
terbalik dengan bulu di bagian tepi. warna
putih hingga kuning atau maroon
T. violaceum
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 3
Keterangan : PDA = Potato Dextrose Agar, media pertumbuhan jamur pada kultur.
SDA = Sabouraud Dextrose Agar, media pertumbuhan jamur pada kultur
246
Telaah Kepustakaan Etiopatogenesis Dermatofitosis
A B
Gambar 1. Epidermomikosis dan trikhomikosis. Epidermomikosis (A), dermatofit (titik dan garis merah)
memasuki stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons
radang (titik hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema, papula, dan vasikulasi.
Sedangkan pada trikhomikosis pada batang rambut (B), ditunjukkan titik merah, menyebabkan
rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan memberikan respons
radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang mengakibatkan reaksi radang berupa
nodul, pustulasi folikel,dan pembentukan abses.
(Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 8 )
247
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008
248
Telaah Kepustakaan Etiopatogenesis Dermatofitosis
249
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Desember 2008
melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis
Adanya virulensi jamur, mekanisme penghindaran, Superfisialis Masa Kini; 11 Mei 2002; Surabaya,
kondisi imunitas pejamu yang lemah memudahkan Indonesia.
7. Koga T. Immune Surveillance against Dermatophytes
infeksi dermatofit.
Infection. In: Fidel PL,Jr.,Huffnagle G.B, editors.
Mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi
Fungal Imunologi from Organ Perspective. Netherlands:
dermatofit terdiri dari pertahanan non spesifik dan Springer; 2005. p. 443–9.
spesifik yang melibatkan surveilan sistem imun. 8. Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah
Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
KEPUSTAKAAN
PUSTAKAAN Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
h. 89–105.
1. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis di
9. Wollf K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s
Indonesia. Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono
Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor.
5th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta:
10. Siregar R.S. Penyakit Jamur Kulit. Edisi kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2004. h. 1–6.
EGC; 2004.
2. Rippon JW. Medical Mycology The Pathogenic Fungi.
11. Fauzi N, Suyoso S. Penelitian Retrospektif Mikosis
3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Company; 1988.
Superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan
3. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection:
Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya Periode 2006–2007
Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra.
(2 tahun). Surabaya; 2008. Belum dipublikasikan.
In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller
12. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection
A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
Diagnosis and Management. 3 rd ed. Massachusset:
General Medicine. 7 th ed. New York: McGraw-Hill;
Blackwell Publishing; 2003.
2008. p. 1807–21.
13. Underhill. DM. Escape Mechanisms from the
4. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis.
Immun Respons. In: Brown GD, Nitea MG, editors.
Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi
Immunology of fungal Infection. Oxford: Springer;
SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis
2007. p. 429–42.
Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
14. Richardson M, Edwart M. Model System for the Study
FKUI; 2004. h. 7–18.
of Dermatophyte and Non-dermatophyte Invasion of
5. Hay RJ, Moore M. Mycology. In : Champion RH,
Human Keratine. Revista Iberoamericana de Micologia
Burton JL, Durns DA, Breathnach SDM, editors.
2000: 115–21.
Text Book of Dermatology. 6 th ed. Oxford: Blackwell
15. Robert C, Kuffer TS. Inflamatory Skin Disease,
Science; 1998. p. 1277–350.
T cells, Immune Surveilance. NEJM 1999; 341(24):
6. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor.
1817–28.
Etiologi dan Patogenesis Dermatomikosis Superfisialis.
250