You are on page 1of 5

Opera Jawa (OJ) merupakan film opera perdana yang disutradarai oleh Garin

Nugroho, bahkan boleh dikatakan sebagai yang pertama di dalam sejarah Indonesia. Di dalam
film ini Garin Nugroho melakukan suatu eksperimentasi yang belum pernah terjadi di
sepanjang sejarah film nasional, yaitu berkolaborasi dengan sekian banyak maestro seni.
Tidak kurang dari sepuluh karya instalasi dari tujuh orang perupa ternama diintegrasikan
kedalam sekujur ruang sinematik OJ. Menurut Kostelanetz (2001: 304-305), cirri pembedaan
pokok instalasi dari genre seni rupa kontemporer yang lain adalah karena ia dikerjakan
sebagai respons atau ruang pameran. Karya-karya seni rupa yang menjadi elemen ruang
sinematik OJ bukan sebatas instalasi saja tetapi juga patung dan objek. Seni instalasi sendiri
sebetulnya bisa dikategorikan sebagai varian dari seni objek ini, terutama bila dilihat dari cara
kerjanya yang sering menerapkan teknik asemblase.

Pandangan Dasar Antropologi Seni

Pandangan antropologis terhadap seni berbeda dari disiplin yang lain lantaran tidak
semata-mata tertuju pada objek seni itu sendiri, melainkan terutama pada proses-proses
cultural yang berkelindan dengan produksi,, penggunaan, makna-makna dan penghargaan
terhadapnya (Silver, 1979 : 269). Antropologi seni, berupaya memberikan signifikansi
cultural terhadap objek-objek seni itu dengan konsepsi-konsepsi yang diturunkan dari
semacam kepedulian cultural. Dengan kepedulian semacam inilah antropologi
mendeskripsikan dan mereflesikan seni ; menghubungkan seni dengan dinamika pengalaman
manusiawi serta pola-pola pengalaman yang dihidupi secara kolektif. dari pandangan dasar
yang demikian, Geertz (1983 : 99) kemudian mencoba merunut setidak-tidaknya tiga buah
implikasi. Pertama, antropologi sendiri adalah semacam eksplorasi atas sensibilitas tertentu.
Kedua, sensibilitas ini pada hakikatnya adalah sebuah formasi kolekti. Ketiga, formasi
kolektif ini memiliki fondasi-fondasi yang seluas dan sedalam keberadaan social itu sendiri.
Dengan kata lain, segala bentuk seni dapat memberikan kontribusi baik bekerjanya maupun
macetnya suatu system social.

Ketiga implikasi tersebut kiranya hendak menandaskan sekali lagi bahwa pertautan
pokok diantara seni dan kehidupan kolektif tidak semata-mata berlabuh pada tataran
instrumental atau kekriyan, melainkan terutama pada tataran semiotis. Pendekatan atas seni
didalam perspektif semiotic, perlu melibatkan diri dalam sejenis wahana makna yang dapat
disebut sebagai tanda-tanda yang “hidup”, yang berperan di dalam kehidupan masyarakat
atau setidak-tidaknya dalam beberapa aspek cultural. Dengan kata lain, yang dibutuhkan oleh
antropologi seni adalah semacam kemampuan diagnostic, yakni sebuah semiotika yang
mampu menentukan makna dari berbagai artefak dalam konteks kehidupan di sekeliling kita.

Memaknai “Vagina Brokat”

OJ disusun berlandaskan pada sebuah episode yang sangat popular yang sering
didramatisasi dalam pentas wayang dan tari Jawa, yaitu fragmen “Sinta Obong” (The
Abduction of Sinta) daro epik Ramayana. Film berkisah tentang Setyo, Siti dan Ludiro ;
ketiganya adalah mantan pemain wayang orang yang terjerat hubungan cinta segitiga yang
berlumur hasrat dan kekerasan. Relasi ini pada akhirnya dipenuhi dengan ekstremitas. Setyo
dan Siti, istrinya pada waktu itu pedangan gerabah disebuah desa kecil yang uasahanya
tengah mengalami kebangkrutan, sementara Ludiro seorang tukang jagal kaya raya dan
berkuasa yang mengontrol seluruh kegiatan perdangan desa tersebut. Ketika bisnis pasangan
ini mulai ambruk, Ludiro yang telah lama memndam hasrat terhadap Siti berusaha
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ludiro berusaha menggoda Siti dan rupanya Siti
menanggapi hasrat Ludiro dengan ambigu antara menerima dan menolak. Tak mengherankan
bila Setyo yang dilanda cemburu buta pun terbakar amarahnya. Konflik pun tak terelakkan
lagi, Ludiro pada akhirnya tewas terbunuh, Siti pun belakangan mati di tangan Setyo.
Menyimak relasi yang terjalin serta garis besar alurnya, dapat langsung teridentifikasi sebuah
kemiripan structural diantara OJ dan fragmen Ramayana tersebut.

Dengn menempatkan Sinta Obong sebagai interteks bagi OJ, dapat segera dikenali
bahwa relasi antara Setyo, Siti dan Ludiro memiliki kesejajaran dengan relasi Rama, Sinta
dan Rahwana. Apalagi struktur naratif keduanya secara alegoris juga menunjukkan
kesejajaran, meskipun ada bagian-bagian lain yang kontras secara signifikan. Didalam
Ramayana, misalnya, Sinta tentu melalui serangkaian tipu-daya tertentu – diculik oleh
Rahwana, tetapi didalam OJ Siti setelah melalui serangkaian godaan dan rayuan justru dating
sendiri kepada Ludiro. Kontras lainnya dapat terbaca dalam adegan yang akan dibicarakan
lebih jauh nanti, yakni adegan setelah Siti berselingkuh dengan Ludiro. Dalam versi
Ramayana, Rama menuntut Sinta membuktikan kesetiaan dan kesuciannya dengan cara
dibakar dan Sinta berhasil membuktikannya karena selamat dari kobaran api. Akan tetapi di
dalam OJ, Siti tidak perlu lagi seperti sinta yang membuktikan kesetiaannya karena jelas-jelas
dia telah berselingkuh. Adegan Sinta yang terjun ke dalam kobaran api bertransformasi
menjadi adegan Siti yang masuk kedalam vagina atau rahim, yang divisualisasikan melalui
sebuah karya instalasi Titarubi dan Agus Suwage.
Di dalam OJ karya ini ditempatkan pada adegan pertemuan Siti dan Setyo di tepi
pantai, setelah Ludiro tewas tercabik-cabik di dalam beberapa adegan sebelumnya.
Rangkaian kejadiannya berawal dari Siti duduk di kamar, memandangi foto masa lalunya
ketika dia masih menjadi pemain wayang orang bersama Setyo. Siti kemudian bangkit,
mengenakan kembali kostum wayang orangnya dan keluar. Disitu dia mengambil kayu,
menghancurkan gerabah-gerabah, lalu pergi ke pinggir pantai. Runtutan tindakan ini berlanjut
ke adegan Siti memasuki konstuksi tenda, pulang ke dalam rahim, kemudian disusul oleh
Setyo yang dating dengan menaiki seekor kerbau yang ditandu oleh beberapa orang. Selesai
berorasi Setyo turun dan berjalan menyeret-nyeret bajak di atas pasir untuk menjumpai Siti.
Disanalah Setyo dengan wajah yang tampak galau mengungkapkan kerinduannya kepada
Siti. Pada waktu Setyo sudah berada didalam tenda, dia mencabut satu demi satu tusuk konde
di kepala Siti. Sambil memeluk dan menciumi dahinya, Sety menancapkan tusuk konde itu
ketubuh istrinya. Siti pun tewas. Ekspresi wajah Setyo memang tampak menyesal, namun dia
terus saja mengoyak tubuh Siti yang telah tak berdaya itu dan mengeluarkan hatinya.

Instalasi “Vagina Brokat” secara teknis merupakan sebuah konstruksi kerucut yang
mirip tenda berbahan kain brokat dan pada sisi depannya terdapat sebuah celah, semacam
pintu masuk bagi Siti dan juga Setyo. Konteks spasial dari adegan dipinggir pantai
merupakan sebuah daerah perbatasan diantara darat dan laut, yang dalam terminologi Victor
Turner adalah sebuah zona luminal, hal yang sebetulnya bisa dibandingkan nanti dengan
metafora rahim yang merupakan sebuah ruang luminal pula. Sebuah performans bisa dilihat
sekaligus sebagai ritual yang acap kali menekankan liminalitas atau fase ambang terutama
dengan fungsinya sebagai transisi diantara dua kondisi atau aktivitas cultural yang lebih
mapan atau konvensional. Konstruksi mirip tenda dapat dimaknai sebagai sebuah ruang
liminal pula, namun dalam bentuk dan siluet A, dengan sebuah celah sebagai pintu masuknya
sekaligus merupakan metafora bagi rahim atau vagina (simbol yonik). Bahan tenda yang
terbuat dari brokat menguatkan identitas feminism. Kerucut menjulang dengan siluet A yang
dalam interpretasi psikoanalitis merupakan sebuah simbol falik, namun ketika posisinya
dibalik menjadi V segera bertranformasi menjadi sebuah simbol yonik. Pakaian yang
digunakan oleh Siti adalah kostum (Sinta) yang biasa dipakai dalam pentas wayang orang,
ditafsirkan sebagai sebuah tindakan simbolik, yakni untuk kembali kedalam dunia lampau,
sebuah dunia fiksional atau bayang-bayang. Siti berupaya untuk keluar dari realitas factual
yang menyakitkan itu dan memasuki dunia fiksional, ilusi-ilusi masa lalunya yang bahagia.
Sedangkan pakaian Setyo yang polos serba-putih justru mempertunjukkan pertentangan
simbolis dengan hitam (warna kostum Siti). Warna putih dimaknai sebagai kesucian, namun
Setyo sebagai subjek memakai warna putih mendapatkan sebuah makna tambahan yang
ironis.

Bajak yang dibawa dan diseret-seret oleh Setyo diatas pasir merupakan instrument
penting dalam teknologi agraris Jawa, yang berguna untuk mengolah tanah (Siti). Tanah
adalah unsur arketipal yang tersebar luas dibanyak kebudayaan, ia berindentitas cultural
feminin, sebagai substitusi bagi Ibu Pertiwi. Kembang mayang atau tusuk konde yang
merujuk kepada jenis bunga tertentu sudah jelas merepresentasikan secara simbolik identitas
gender tertentu, bunga berasosiasi dengan identitas feminin. Sebagai sebuah produk
teknologi, adalah sebuah instrument bagi perempuan Jawa dalam upaya mempercantik diri.
Akan tetapi, saat berada dalam genggaman Setyo alat ini beralih fungsi sebagai teknologi
maskulin untuk melakukan tindak kekerasan terhadap yang feminin. Pada saat tari mampu
mengeksplorasi beragam kemungkinan untuk bersentuhan dengan perbedaan-perbedaan
gender dalam konteks kulturalnya, maka disinilah dapat ditelusuri titik-titik temu diantara
kebudayaan dan tari yang senantiasa dibatasi oleh perbedaan-perbedaan gender. Pose-pose
yang dipilih oleh Setyo dan Siti dapat mengindikasikan perbedaan gender yang kontrastif.
Pada suatu adegan, tampak perbedaan-perbedaan subtil yang terkait dengan gerakan Setyo
dan Siti yang menunjukkan semacam dinamika atau tawar-menawar dalam relasi kekuasaan
diantara mereka berdua.
TUGAS MATA KULIAH SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

RESUME BUKU DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN


KONTEMPORER

MEMAKNAI “VAGINA BROKAT” DALAM KONTEKS PERFORMANS

Oleh :

Klaudia Ulaan 0811230020

Mega Priskawati 0811230022

M. Rinna Rosalia 0811230058

Kadek A. Dewi 0811233076

Kristina Damayanti 0811233078

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

You might also like