You are on page 1of 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Stroke

2.1.1 Definisi

Menurut kriteria WHO, stroke secara klinis didefinisikan


sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi mendadak dengan
tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian yang
disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak.
Termasuk disini perdarahan sub arachnoid, perdarahan intra
serebral dan infark serebral, tidak termasuk disini adalah
gangguan peredaran otak sepintas, tumor otak atau stroke
sekunder oleh karena trauma (WHO, 1995).

Secara umum, stroke dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Stroke iskemik
Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau
kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran
darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan
oksigen di jaringan otak (Caplan, 2000).
Stroke iskemik dapat terjadi karena emboli yang lepas dari
sumbernya, biasanya berasal dari jantung atau pembuluh
arteri otak baik intracranial maupun ekstracranial pada
pembuluh arteri otak yang berangsur-angsur menyempit dan
akhirnya tersumbat.
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan
pengeluaran darah ke parenkim otak, ruang cairan
cerebrospinal di otak, atau keduanya. Adanya perdarahan ini
pada jaringan otak menyebabkan terganggunya sirkulasi di
otak yang mengakibatkan terjadinya iskemik pada jaringan
otak yang tidak mendapat darah lagi, serta terbentuknya
hematom di otak yang mengakibatkan penekanan. Proses ini
memacu peningkatan tekanan intrakranial sehingga terjadi
shift dan herniasi jaringan otak yang dapat mengakibatkan
kompresi pada batang otak (Caplan, 2000).

2.1.2 Penyebab

Iskemia jaringan otak biasanya disebabkan oklusi


mendadak pada arteri di daerah otak, bila ada ruptur plaque yang
kemudian akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi antara
ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri sehingga
aliran darah mendadak tertutup yang disebut dengan
aterosklerosis.

Penyakit aterosklerosis arteri besar intrakranial khususnya


arteri serebri media adalah penyebab tersering stroke. Patologi
aterosklerosis intrakranial tidak banyak berbeda dari
aterosklerosis sistem sirkulasi ditempat lain seperti pada aorta dan
koroner serta karotis. Timbunan lemak dengan variasi ketebalan
kapsul sering ditemukan pada aterosklerosis arteri intrakranial.
Plak aterosklerosis sering dijumpai pada bifurkasio arteri atau di
kelokan-kelokan arteri karotis. Tempat-tempat tersebut adalah
yang terutama menangkis tekanan-tekanan akibat hipertensi.

Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun,


selain untuk pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya
pekerjaan serta turunnya kualitas hidu (Currie et al., 1997).
Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor resiko
dilaksanakan dengan ketat (Cohen, 2000).

1. Faktor resiko yang bisa dikendalikan


 Hipertensi
 Penyakit jantung
 Fibrilasi atrium
 Endokarditis
 Stenosis mitralis
 Infark jantung
 Merokok
 Anemia sel sabit
 Transient Ischemic Attack (TIA)
 Stenosis karotis asimtomatik
2. Faktor resiko yang potensial bisa dikendalikan
 Diabetes melitus
 Hiperhomosisteinemia
 Hipertrofi ventrikel kiri
3. Faktor resiko yang tidak bisa dikendalikan
 Umur
 Jenis kelamin
 Herediter
 Ras dan etnis
 Geografi

2.1.3 Tanda dan Gejala

Serangan stroke jenis apapun akan menimbulkan defisit


neurologis yang bersifat akut, yaitu antara lain :

 Hemidefisit motorik
 Hemidefisit sensorik
 Penurunan kesadaran
 Kelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglosus (XII) yang
bersifat sentral
 Gangguan fungsi luhur seperti kesulitan berbahasa (afasia)
dan gangguan fungsi intelektual (demensia)
 Buta separuh lapangan pandang (hemianopsia)
 Defisit batang otak

(De Freitas et al., 2009)


2.1.4 Penatalaksanaan
1. Stadium hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi
Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-
kardio-pulmonal yang bertujuan agar kerusakan jaringan
otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen
2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian
cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak,
elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan
jumlah trombosit, protombin time/INR, APTT, glukosa
darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia,
dilakukan analisis gas darah.
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah
memberikan dukungan mental kepada pasien serta
memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang.
2. Stadium akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor
etiologik maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi
fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial
untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan
edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata
cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.
 Stroke iskemik
 Terapi umum
Letakkan kepala pasien pada posisi
0
30 , kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi
dimulai bertahap bila hemodinamik sudah
stabil.
Selanjutnya bebaskan jalan napas,
beri oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika
perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi
dengan kompres dan antipiretik, kemudian
dicari penyebabnya; jika kandung kemih
penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan
kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan
isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000
mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari
cairan mengandung glukosa atau salin
isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya
jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui slang naso-
gastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus
dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu
150 mg% dengan insulin drip intravena
kontinu selama 2-3 hari pertama.
Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg%
atau <80% dengan gejala) diatasi segera
dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya.
Nyeri kepala ata mual dan muntah
diatasi dengan pemberian obat-obatan
sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu
segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥130 mmHg (pada 2 kali
pengkuran dengan selang waktu 30 menit),
atau didapatkan infark miokard akt, gagal
jantng kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah
20%, dan obat yang direkomendasikan :
natrim nitroprsid, penyekat reseptor alfa-
beta, penyekat ACE, atau antagonis
kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan
sistolik ≤90 mmHg, diastolik ≤70 mmHg,
diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500
mL selama 8 jam atau sampai hipotensi
dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu
tekanan sistolik masih <90 mmHg, dapat
diberi dopamin 2-20 µg/kg/menit sampai
tekanan darah sistolik ≥110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20
mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan
pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin,
karbamazepin). Jika kejang muncul setelah
2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral
jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial
meningkat, diberi manitol bolus intravena
0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika
dicurigai fenomena rebound atau keadaan
umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB
per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Harus dilakukan pemantauan osmolalitas
(<320 mmol); sebagai alternatif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau
furosemid.
 Terapi khusus
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian
antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan
trombolitik rt-PA (recombinant tissue
Plasminogen Activator). Dapat juga diberi
agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau
pirasetam (jika didapatkan afasia).

(PERDOSSI, 2007)
2.1.5 Pencegahan
1. Pencegahan Premordial
Tujuan pencegahan premordial adalah mencegah
timbulnya faktor risiko bagi individu yang belum mempunyai
faktor risiko. Pencegahan premordial dapat dilakukan dengan
cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye
tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat
selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian
masyarakat.
Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan
adalah program pendidikan kesehatan masyarakat, dengan
memberikan informasi tentang penyakit stroke hemoragik
melalui ceramah, media cetak, media elektronik.
2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya
faktor risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko
tetapi belum menderita stroke dengan cara melaksanakan
gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain :
 Menghindari merokok, stres mental, alkohol,
kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-obatan
golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.
 Mengurangi kolesterol, lemak dalam makanan seperti
jerohan, daging berlemak, goreng-gorengan.
 Mengatur pola makan yang sehat seperti kacang-
kacangan, susu dan kalsium, ikan, serat, vitamin yang
diperoleh dari makanan dan bukan suplemen (vit C, E,
B6, B12 dan beta karoten), teh hijau dan teh hitam
serta buah-buahan dan sayur-sayuran.
 Mengendalikan faktor risiko stroke, seperti hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung dan lain-lain.
 Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang dan
berolahraga secara teratur, minimal jalan kaki selama
30 menit, cukup istirahat dan check up kesehatan
secara teratur minimal 1 kali setahun bagi yang
berumur 35 tahun dan 2 kali setahun bagi yang
berumur di atas 60 tahun.
3. Pencegahan Sekunder
Untuk pencegahan sekunder, bagi mereka yang pernah
mendapat stroke, dianjurkan :
 Hipertensi : diet, obat antihipertensi yang sesuai.
 Diabetes melitus : diet, obat hipoglikemik oral/ insulin.
 Penyakit jantung aritmik nonvalvular (antikoagulan
oral).
 Dislipidemia : diet rendah lemak dan obat
antidislipidemia.
 Berhenti merokok
 Hindari alkohol, kegemukan dan kurak gerak.
 Polisitemia
 Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat
antiagregasi trombosit pilihan pertama.
 Tiklopidin diberikan pada penderita yang tidak tahan
asetosal.
 Antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan
faktor resiko penyakit jantung dan kondisi koagulopati
yang lain.
 Tindakan bedah lainnya.
4. Pencegahan Tertier
 Meliputi program rehabilitasi penderita stroke yang
diberikan setelah terjadi stroke. Rehabilitasi
meningkatkan kembali kemampuan fisik dan mental
dengan berbagai cara. Tujuan program rehabilitasi
adalah memulihkan independensi atau mengurangi
ketergantungan sebanyak mungkin. Cakupan program
rehabilitasi stroke dan jumlah spesialis yang terlibat
tergantung pada dampak stroke atas pasien dan orang
yang merawat.
2.1.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke


menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah:

1. Hipoksia serebral
Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan, pemberian oksigen mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit akan membantu
mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan
intrvena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan
memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi
ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran
darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3. Embolisme serebral
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard
atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung
prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak
dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral.
Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten
dan menghentikan trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

2.1.7 Program Rehabilitasi Pasien Stroke


Rehabilitasi adalah suatu proses dinamis, yang
berorientasi pada kesehatan yang membantu individu yang sakit
atau cacat untuk mencapai tingkat fungsi fisik, mental, spiritual,
sosial dan ekonomi yang setinggi mungkin (Smeltzer & Bare,
2008). Pemulihan kemampuan motorik klien stroke dapat
dilakukan dengan program rehabilitasi. Program rehabilitasi stroke
merupakan salah satu motor learning yang merupakan satu set
proses latihan motorik yang mempengaruhi keadaan internal
system syaraf pusat. Latihan dilakukan dengan melibatkan
memori jangka panjang tentang kemampuan motorik dan
dipelajari kembali sehingga lebih memudahkan pasien untuk
memiliki kemampuan motorik yang telah di pelajarinya dulu (Mudie
& Matyas, 2000).
Fase rehabilitasi dapat dimulai sesegera mungkin pada
pasien yang mengalami stroke, namun proses ini ditekankan
selama fase konvalesen dan memerlukan upaya tim koordinasi.
Sasaran utama program rehabilitasi adalah perbaikan mobilitas,
menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri, mendapatkan
kontrol kandung kemih, perbaikan proses fikir, pencapaian
beberapa bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit,
perbaikan fungsi keluarga dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer
& Bare, 2008).
Salah satu program rehabilitasi yang dilakukan untuk
memperbaiki mobilitas pasien adalah latihan. Terapi
latihan/exercise berupa latihan range of motion (ROM) merupakan
salah satu bentuk latihan yang efektif sebagai program rehabilitasi
pada pasien stroke. Latihan ini dapat dilakukan 4 sampai 5 kali
dalam sehari (Smeltzer & Bare, 2008), sedangkan menurut Perry
& Poter (2006) latihan ROM bisa dilakukan minimal 2X/hari. Terapi
latihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian pasien,
mengurangi tingkat ketergantungan pada keluarga, dan
meningkatkan harga diri dan mekanisme koping pasien.
Ekstremitas yang sakit dilatih secara pasif dan diberikan
rentang gerak penuh empat atau lima kali sehari, untuk
mempertahankan mobilitas sendi, mengembalikan kontrol motorik,
mencegah terjadinya kontraktur pada ekstremitas yang mengalami
parese, mencegah bertambah buruknya system neurovascular
dan meningkatkan sirkulasi. Pengulangan aktivitas membentuk
jaras baru SSP dan dapat membentuk pola-pola baru pada
gerakan. Pertama kali ektremitas biasanya flasid, jika terjadi
keketatan pada beberapa daerah, latihan rentang gerak harus
dilakukan lebih sering (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2 Teori Plastisitas

2.2.1 Plastisitas Pada Otak

Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak


melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru
pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan
kapasitas otak untuk berubah dan beradabtasi terhadap
kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia
saraf (neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive),
perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas
juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem
saraf.
Plastisitas dari struktur anatomi :
 Regenerasi (regeneration)
 Penyebaran kolateral (kolateral sprouting)

Penyesuaian fisiologis :

 Diaschisis (neural shock) atau pemulihan spontan.


 Peningkatan sensitivitas hubungan saraf (Denervation
super-sensitivity)
 Pengefektifan sinapsis laten (silent synapsis
recruitment)

Cross modal plasticity meliputi :

 Aktivasi bilateral dari sistem motorik


 Penggunaan jalur ipsilateral
 Perekrutan area motorik tambahan
2.2.2 Pengaruh Latihan Motorik Terhadap Plastisitas

 Studi pada hewan : latihan motorik memperkuat hubungan


neuron yang ada dan menciptakan hubungan yang baru.
 Pada manusia : latihan motorik menghasilkan perubahan
fungsional di dalam otak, seperti :
- Perubahan aktivitas di level cortical
- Meningkatkan vaskularisasi
 Otak manusia terbukti sangat adaptif dan plastis serta
dapat mengadakan perubahan struktural dan fungsional
apabila diberikan stimulasi lingkungan.
- Stimulasi lingkungan berupa stimulasi sensoris diterima
oleh individu sebagai sebuah pengalaman dan respon
tindakan (sensorimotor).
- Ternyata aktivitas di otak juga meningkat pada saat
membayangkan gerakan (mental practice), tanpa harus
melakukan aktivitas.
- Informasi yang masuk dan diterima memori jangka
pendek hanya merupakan fenomena biolistrik yang
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.
- Keberhasilan pembelajaran terjadi bila informasi
ditransfer ke memori jangka panjang dapat diingat lebih
lama, bahkan seumur hidup.
- Proses transfer informasi itu dapat melalui strategi
latihan, ulangan, perhatian dan asosiasi.
- Memori jangka panjang terjadi perubahan struktur otak
dengan aktivitas gen, pembentukan protein baru dan
pertumbuhan cabang-cabang sel neuron.
Orang dengan pengangkatan satu hemisfer otak
(hemispherectomy) ternyata menunjukkan relokasi
fungsi dan melatih otak yang tersisa untuk melakukan
aktivitas yang dulunya dikerjakan oleh hemisfer yang
sudah diangkat.
- Otak bisa dianalogikan dengan otot, dimana semakin
diaktifkan semakin baik hasil yang diperoleh.
- Neural plasticitas dapat terjadi tidak hanya pada
pemulihan kemampuan motorik tetapi juga pada
kemampuan memori, penglihatan ataupun bicara.
Bahkan beberapa tahun setelah stroke, neural
plasticitas dapat terus terjadi.

2.3 Konsep Kekuatan Otot


Otot adalah sebuah jaringan konektif dalam tubuh yang tugas
utamanya adalah kontraksi. Kontraksi otot digunakan untuk memindahkan
bagian-bagian tubuh dan substansi dalam tubuh. Ada tiga jenis otot
utama pada tubuh manusia yaitu otot dalam (otot polos), otot skeletal
(otot lurik) dan otot jantung. Otot akan berkembang bila serabut-serabut
otot mengalami pembesaran (Lilik, 2012).
Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas.
Semua gerakan yang dihasilkan oleh seseorang merupakan hasil dari
peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat
digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa
beban eksternal maupun beban internal (Irfan, M. 2010). Kekuatan otot
sangat berhubungan dengan system neuromuscular yaitu seberapa besar
kemampuan system syaraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi.
Dengan demikian, semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka
semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan oleh otot tersebut.
Kekuatan otot merupakan salah satu hasil evaluasi dari latihan
ROM, hal ini disebabkan karena kekuatan otot merupakan hal yang paling
dominan yang mengalami penurunan fungsi pada ekstremitas pasien
stroke dibandingkan dengan gerakan otot. Kekuatan otot dapat dievaluasi
dengan cara meminta pasien untuk menggerakkan otot secara aktif
melawan gravitasi dan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa.
Pemeriksaan otot yang paling sering dilakukan selama ini adalah
pemeriksaan pada empat bagian besar otot seperti yang tercantum dalam
Black & Hawk (2009) dan Kozier, et al. (2008) yaitu otot bisep, otot trisep,
otot pergelangan tangan dan jari-jari tangan dan kekuatan
menggenggam.
Cara melakukan pemeriksaan kekuatan otot adalah dengan
mengatur posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara
aktif menahan tenaga yang diberikan oleh pemeriksa. Otot yang diuji
biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan
otot dengan skala Lovett’s dengan tingkatan gradasi kekuatan otot :

Tabel 2.3 Tingkatan Gradasi Kekuatan Otot dengan Skala Lovett’s

Skala
Tingkat Fungsi Otot Nilai % Normal Skala
Lovett’s
Tidak ada bukti 0 0 0 (nol)
kontraktilitas
Sedikit kontraktilitas, 1 10 T (trace/
tidak ada gerakan sedikit)
Rentang gerak penuh, 2 25 P (poor/
gravitasi tidak ada buruk)
(gerakan pasif)
Rentang gerak penuh 3 50 F (fair/
dengan gravitasi sedang)
Rentang gerak penuh 4 75 G (good/
melawan gravitasi, baik)
beberapa resistensi
Rentang gerak penuh 5 100 N (normal)
melawan gravitasi
resistensi penuh

(Potter & Perry, 2005)

2.4 Range Of Motion (ROM)

2.4.1 Konsep Dasar

Range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan


untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter &
Perry, 2005). Tujuan dari ROM adalah untuk meningkatkan atau
mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot, mempertahankan
fungsi jantung dan pernapasan, mencegah kontraktur dan
kekakuan pada sendi. Sedangkan manfaatnya adalah untuk
menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam
melakukan pergerakan, memperbaiki tonus otot, memperbaiki
toleransi otot untuk latihan, mencegah terjadinya kekakuan sendi,
memperlancar sirkulasi darah.
Latihan adalah aktivitas fisik untuk membuat kondisi tubuh,
meningkatkan kesehatan, dan mempertahankan kesehatan
jasmani. Latihan juga digunakan sebagai terapi untuk mengatasi
deformitas, atau mengembalikan seluruh tubuh ke status
kesehatan maksimal. Jika seseorang latihan, maka akan terjadi
perubhaan fisiologis dalam system tubuh. Menurut Kozier, et al.
(2008) latihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya :
1. Untuk perbaikan, pemeliharaan dan meningkatkan kekuatan
otot.
2. Untuk memelihara dan meningkatkan fleksibilitas sendi.
3. Untuk memelihara atau meningkatkan pertumbuhan tulang.
4. Untuk meningkatkan fungsi sistem tubuh termasuk sistem
kardiovaskular dan gastrointestinal.

Latihan ROM dapat menggerakkan persendian seoptimal


dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang dan tidak
menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya
pergerakan pada persendian akan menyebabkan terjadinya
peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi. Ketika sendi
digerakkan, permukaan kartilago antara kedua tulang akan saling
bergesekan. Kartilago banyak mengandung proteoglikans yang
menempel pada asam hialuronat yang bersifat hidrophilik. Adanya
penekanan pada kartilago akan mendesak air keluar dari matrik
kartilago ke cairan sinovial. Bila tekanan berhenti maka air yang
keluar ke cairan sinovial akan ditarik kembali dengan membawa
nutrisi dari cairan (Ulliya, et al., 2007).

2.4.2 Jenis
a. ROM aktif
ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh
seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri.
Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien
dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri
sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif).
Kekuatan ototnya 75 %.
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot
serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara
aktif. Sendi yang digerakkan pada ROM aktif adalah sendi
di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh
klien sendri secara aktif.
b. ROM pasif
ROM Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk
latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik.
Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai
dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan
ototnya 50 %.
Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan
tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak
mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang
gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien
dengan paralisis ekstermitas total (Suratun, dkk, 2008).
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga
kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerak-
kan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang
digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian
tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan
klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.

You might also like