You are on page 1of 29

BAB 2

TEORI DASAR

2.1 Survei Lokasi Anjungan Minyak Lepas Pantai


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada instalasi anjungan minyak lepas
pantai, terdapat banyak prasyarat yang harus dipenuhi, Salah satu persyaratan
utamanya adalah harus dilakukannya survei lokasi terlebih dahulu.

2.1.1 Maksud dan tujuan pelaksanaan survei lokasi


Maksud dan tujuan utama dari pelaksanaan survei lokasi bagi anjungan minyak lepas
pantai adalah menentukan keberadaan dan lokasi dari sebanyak mungkin
kemungkinan bahaya baik yang dibentuk dari alam (gempa bumi, badai, dsb) maupun
buatan manusia (ranjau bekunganas, bangkai kapal, dsb). Dengan dikumpulkannya
semua kemungkinan bahaya tersebut diharapkan pada saat pemasangan dan
operasional anjungan minyak tidak terjadi kecelakaan serta mitigasi bencana dari
setiap kemungkinan bahaya pun dapat disiapkan sesuai keadaan riil di lapangan.
Fitur-fitur yang kemungkinan dapat mambahayakan tersebut dapat dilihat pada Tabel
2.1.

Hasil dari survei lokasi harus dapat digunakan dalam 3 proses utama dalam
pengeboran lepas pantai, yaitu proses transportasi anjungan dari lepas pantai menuju
ke tempat pengeboran dan instalasinya di lokasi sumur, proses spudding (proses
pengeboran yang paling awal dari sumur yang dilakuan dengan bor khusus), dan
proses pengeboran top-hole.

6
Tabel 2.1 Fitur-fitur berbahaya dasar laut [OGP, 2011]

Fitur buatan manusia Fitur alamiah Fitur lapisan geologis


Anjunganaktif atau bekas Topografi dasar laut Lapisan sedimentasi
Pipa bawah laut terekspos Sedimen dasar laut Stratigrafi
Kabel listrik bawah laut Fitur-fitur pasir Shallow gas
Kabel komunikasi bawah laut Fitur-fitur lumpur Shallow water flow
Sumur minyak yg telah habis Lereng dari palung Cerobong gas alam
Kerangka anjungan Struktur diaper Zona tekanan tinggi
Kerangka pipa bawah laut Lubang gas Selokan terkubur
Batu konstruksi Lempeng bumi Zona gas hidrat
Pecahan material protektsi Daerah longsor Zona pertemuan lempeng
Jejak kaki pemasangan jack-up Daerah runtuhan batu Zona erosi
Infrastruktur non-migas Kumpulan sintesis kimiawi
Bangkai kapal Gundukan gas hidrat
Ranjau laut & limbah kimiawi Puncak batu
Peninggalan arkeologis Karang
Sampah-sampah dasar laut Tanah keras
Pipa bawah laut terkubur Selokan bawah laut

2.1.2 Proses survei lokasi anjungan minyak lepas pantai


Tahap pertama dari suatu survei lokasi adalah studi awal. Didalam studi awal dari
sebuah survei lokasi anjungan minyak lepas pantai, hal yang paling penting untuk
dilakukan adalah mengumpulkan segala informasi yang telah tersedia sebelumnya
mengenai lokasi yang akan disurvei, baik itu data-data geosains yang telah ada
sebelumnya, spesifikasi teknis terbaru dari fasilitas-fasilitas yang akan dipasang pada
anjungan minyak, hingga bangkai kapal dan kabel-kabel bawah laut yang telah
terpasang sebelumnya.

Data-data geosains yang telah ada sebelumnya adalah data survei seismik dua dan
tiga dimensi yang sudah pernah dilakukan di lokasi, posisi lubang-lubang galian,
data-data mengenai sumur-sumur lama di sekitarnya, dan data-data domain publik
lainnya dapat digunakan untuk membentuk model geologis awal dari lokasi yang

7
akan disurvei. Dari permodelan awal tersebut dapat ditentukan rancangan dasar dari
survei lokasi yang berisikan arah jalur survei batimetri, besarnya jarak pemisah antar
jalur, dan juga area-area yang keterangannya kurang lengkap atau mencurigakan yang
harus dipastikan kembali dengan survei ulang. Pada beberapa kasus terdapat keadaan
dimana survei yang telah dilakukan sebelumnya sudah dapat memenuhi semua
kebutuhan dalam sebuah laporan akhir survei lokasi sehingga survei lokasi ulang pun
tidak perlu dilakukan. Karena hal tersebut dapat mengehemat proses survei lokasi itu
sendiri, maka data-data survei yang telah ada sebelumnya harus dimaksimalkan
sebaik mungkin dengan syarat data-data tersebut masih valid utuk digunakan. Untuk
menentukan apakah data-data survei lokasi yang telah dilakukan sebelumnya tersebut
masih valid atau tidak dapat dilakukan menggunakan pengecekan umur data.

Spesifikasi teknis terbaru mengenai fasilitas-fasilitas yang akan dipasang pada


anjungan minyak juga menjadi bahan studi awal karena semua fasilitas tersebut dapat
mempengaruhi proses pemasangan anjungan minyak lepas pantai. Keterangan berupa
jenis anjungan, jalur pipa yang akan dipasang, dan kedalaman sumur menjadi patokan
apa yang harus difasilitasi dalam survei. Seperti contoh apabila akan dipasang pipa
bawah laut di sekitar anjungan, maka didalam survei lokasi tersebut harus
dimaksimalkan juga survei sub-bottom profiler dan pengambilan sampel dasar
lautnya, karena apabila pipa tersebut akan dipasang secara terkubur di dasar laut,
keterangan mengenai lapisan-lapisan dan apa jenis dari tanah di dasar laut tersebut
akan menjadi pertimbangan utama penentuan rute pipa di sekitar anjungan tersebut.

Terakhir, akan dikumpulan keterangan lainnya seperti peta laut, data kapal karam,
lokasi konservasi terumbu karang, biota laut dan keterangan tambahan lainnya agar
pemasangan anjungan tersebut tidak merugikan banyak pihak. Skema yang
menggambarkan proses-proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Untuk kedalaman terbesar dari survei adalah 200 meter dibawah kedalaman lokasi
sumber minyak atau gas atau 1000 meter dibawah dasar laut, tergantung mana yang

8
lebih dalam. Sedangkan untuk luas area yang akan disurvei, maka terlebih dahulu
dilihat jenis dari anjungan minyak lepas pantai yang akan dipasang di area tersebut.
Berikut akan dijelaskan pembagian luas area survei berdasarkan jenis anjungannya:

1. Anjungan minyak lepas pantai dengan konstruksi bawah laut sebagai fondasi.
Anjungan minyak lepas pantai ini adalah jenis anjungan minyak yang
membutuhkan survei lokasi yang sangat teliti, karena pada pemasangan dan
pengoperasiannya anjungan jenis ini akan langsung bersentuhan dengan dasar
laut. Bersentuhan langsung dengan laut berarti kemungkinan anjungan
bersentuhan langsung dengan bahaya-bahaya dasar laut seperti shallow gas
menjadi lebih besar sehingga pemetaan lokasi bahaya-bahaya dasar laut tersebut
menjadi sangat vital. Selain itu investigasi mengenai susunan tanah dasar laut
juga wajib dilakukan mengingat apabila tanah di lokasi sumur lembek maka
anjungan dapat tenggelam. Cakupan survei untuk anjungan minyak jenis ini
minimal seluas 500 meter di sekitar lokasi pengeboran dan membutuhkan jalur
pemasangan anjungan yang sangat tepat. Data-data survei juga harus dapat
menggambarkan setiap bahaya-bahaya dasar laut, karena untuk anjungan tipe ini
pemasangan kaki-kaki dari anjungan harus benar-benar presisi dan aman.

2. Anjungan minyak lepas pantai dengan jangkar sebagai fondasi.


Jangkar yang digunakan pada anjungan minyak lepas pantai jenis ini
membutuhkan area khusus untuk memposisikannya sebagai penopang. Untuk itu
area-area di sekitar jangkar-jangkar yang digunakan harus ditinjau lebih lanjut
agar nanti jangkar terpasang sempurna. Untuk anjungan minyak ini, luas area
yang akan disurvei adalah 250 di sekitar area penurunan jangkar.

3. Anjungan minyak dynamic positioned.


Anjungan minyak jenis ini menggunakan propeler-propeler yang bergerak secara
mandiri pada rangkanya, sehingga anjungan jenis ini akan secara otomatis
menjaga posisinya dengan menggerakkan propeler tersebut ke arah yang

9
berlawanan dengan arus permukaan laut. Cakupan survei lokasi pada anjungan
jenis ini akan difokuskan pada area sekitar lokasi sumur.

STUDI KASUS
1. Penyesuaian dengan hukum setempat dan kebutuhan asuransi untuk pengadaan survey lokasi
2. Memastikan tipe dari anjungan minyak lepas pantai yang akan digunakan
3. Menevaluasi konten dan kualitas dari data mengenai lokasi yang telah ada

Anjungan minyak Anjungan minyak


Anjungan minyak
lepas pantai lepas pantai
lepas pantai
dengan fondasi dengan fondasi
berposisi dinamis
permanen jangkar

Apakah data survey Apakah kedalaman Apa data ekplorasi


lokasi sebelumnya
Tidak laut >750m?
Ya data 3D sebelumnya
memadai? memadai?

Ya Tidak Tidak Ya

Apa semua bahaya Apa semua bahaya


geologis dan alami di Tidak Tidak geologis dan alami di
tempat tersebut tempat tersebut
terdeteksi? terdeteksi?
Pengakuisisian ulang
data survey lokasi

Ya Ya
- atau -

Ya Ya

Akuisis data survey Apakah


Apakah tambahan yang dibutuhkan survey
dibutuhkan survey
pengecekan dasar
diperlukan pengecekan dasar
laut?
laut?

Tidak Tidak

Interpretasi komplit dari semua data


dan
Laporan komplit survey lokasi anjungan minyak lepas pantai

Gambar 2.1 Diagram proses survei lokasi [OGP, 2011]

2.1.3 Akuisisi data survei lokasi


Akuisisi ulang data survei lokasi akan dilakukan apabila data survei sebelumnya tidak
memenuhi standar atau kurang lengkap. Data-data yang akan diambil pada survei
lokasi adalah data posisi, batimetri, sub-bottom profiler, magnetometer/gradiometer,
10
seismik 2-dimensi atau 3-dimensi beresolusi tinggi, dan pengambilan sampel bawah
laut.

2.1.3.1 Akuisisi data posisi


Data posisi pada survei lokasi sangatlah penting, dan keakuratan dari data posisi ini
mempengaruhi ketepatan data yang lain. Kesalahan lokasi bahaya dasar laut dapat
mengakibatkan harus dilakukannya survei ulang padahal keterangan mengenai
bahaya laut tersebut yang diambil menggunakan alat lain udah lengkap. Sistem
penentuan posisi dari kapal survei harus menggunakan sistem GNSS (Global
Navigation Satellite System) yang ditambahkan sistem lain seperti DGPS
(Diffrentially Corrected GPS) atau SDGPS (Satellite Diffrential GPS).

2.1.3.2 Akuisisi data batimetri


Data batimetri diperlukan untuk mendapatkan kontur kedalaman dari area
pemasangan anjungan minyak lepas pantai. Selama survei batimetri juga dapat
dilakukan pengakuisisian data-data backscatter untuk menentukan karakteristik
material pembentuk dari kontur dasar laut tersebut. Alat pemeruman yang digunakan
dalam survei lokasi anjungan minyak lepas pantai minimal adalah singlebeam
echosounder berfrekuensi tinggi, yang kemudian dapat dipadukan dengan side scan
sonar untuk membentuk visualisasi 2-dimensi dari dasar laut yang memiliki nilai
kedalaman. Selain itu alat yang juga sering digunakan dalam survei batimetri dan
dapat menghasilkan bentuk visualisasi dasar laut secara 3-dimensi adalah multibeam
echosounder.

Sistem survei batimetri yang akan digunakan untuk survei juga harus dilengkapi
dengan sensor gerak untuk mengkoreksi pengambilan data. Data kedalaman yang
telah diakuisisi tersebut kemudian dikoreksi dengan pasang surut daerah tersebut.
Pembahasan lebih lanjut mengenai akuisisi data batimetri akan dibahas pada bab
selanjutnya.

11
2.1.3.3 Akuisisi data side-scan sonar
Dalam survei lokasi dibutuhkan side-scan sonar yang memiliki dua sonar dengan
frekuensi minimal sebesar 100 kHz (400kHz untuk anjungan minyak lepas pantai
dengan fondasi konstruksi bawah laut) agar pencitraan bawah air di area efektif, dan
semua fitur dasar laut buatan maupun alami dapat tergambarkan dengan baik.
Perencanaan jalur utama dan jalur penghubung untuk survei side-scan sonar juga
diharuskan mampu mencakup minimal 100% dari area survei. Dengan cakupan
sebesar itu, maka ketelitian dari pencitraan bawah air yang dilakukan pun menjadi
baik.

2.1.3.4 Akuisisi data Sub-bottom profiler


Data dari sub-bottom profiler akan digunakan untuk menggambarkan keadaan
lapisan-lapisan tanah pada area survei, sehingga kemudian diketahui keadaan
geologis lokasi pada kedalaman sekitar 50 meter dibawah muka dasar laut. Dengan
diketahuinya keadaan detail dari lapisan-lapisan dasar laut sampai 50m tersebut,
maka akan diketahui tanah bagian mana yang aman dan cocok untuk pemasangan
anjungan dan mana yang berbahaya dan dapat mengakibatkan anjungan tenggelam
karena tidak kuat menahan beban dari anjungan tersebut.

2.1.3.5 Akuisisi data Magnetometer


Penggunaan magnetometer pada survei lokasi adalah untuk menemukan objek-objek
berunsur besi yang ada di area pemasangan anjungan minyak lepas pantai tersebut
baik terkubur di dasar laut atau tidak. Objek-objek yang biasa terdeteksi adalah kabel
dan pipa bawah laut, potongan-potongan besi bekas, dan sumur-sumur minyak lama
yang sudah tidak dieksploitasi.

2.1.3.6 Akuisisi data seismik 2 dan 3-dimensi


Data seismik 2-dimensi akan digunakan untuk memastikan kembali keadaan lokasi
pengeboran serta kemungkinan fitur-fitur dasar laut yang membahayakan seperti
shallow gas yang dapat menyebabkan meledaknya anjungan dan retakan-retakan
lempeng yang bisa merusak sumur dan konstruksi anjungan. Karena akuisisi
datanynya harus beresolusi tinggi, maka terdapat spesifikasi tertentu seperti frekuensi

12
seismik haruslah sekitar 10-250 Hz, kedalaman dari alat transducer dan streamer
tidak boleh lebih dari 3 m dibawah permukaan laut, interval perekaman data seismik
minimal 1 milisekon, fold of covers tidak lebih dari 24, dan lainnya. Apabila ternyata
setelah diproses data seismik 2-dimensi tersebut mengindikasikan adanya fitur-fitur
berbahaya yang kompleks, maka akan dilakukan survei seismik 3-dimensi agar fitur-
fitur kompleks tersebut dapat dianalisis lebih lanjut.

2.1.3.7 Pengambilan sampel dasar laut


Pengambilan sampel dasar laut dilakukan untuk mendukung dan memastikan hasil
survei sea-bottom profiler mengenai materi pembentuk dasar laut di area survei
tersebut. Sampel yang telah diambil tersebut kemudian dikirim ke laboratorium untuk
dianalisis lebih lanjut.

2.2 Survei Batimetri Untuk Kegiatan Survei Lokasi


Survei batimetri adalah proses penggambaran garis-garis kontur kedalaman dasar
perairan yang meliputi pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Survei
batimetri sendiri hanya menggambarkan bentuk dasar dari suatu perairan, tidak
sampai menggambarkan kandungan material dan atau biota laut yang hidup disana.
Pada survei batimetri akan didapatkan garis-garis kontur kedalaman, dimana garis-
garis tersebut didapat dengan menginterpolasikan titik-titik pengukuran kedalaman
yang tersebar pada lokasi yang dikaji (Djunarsjah, 2005).

Selain data kedalaman, dalam survei batimetri pun harus dilakukan proses penentuan
posisi dan pengamatan pasang-surut, dimana penentuan posisi dibutuhkan untuk
memberikan data-data kedalaman tersebut informasi posisi sehingga dapat dibentuk
peta, dan penentuan pasang-surut digunakan untuk mendapatkan bidang referensi
kedalaman (Djunarsjah, 2005).

Metode pengukuran kedalaman yang paling popular akhir-akhir ini adalah metode
pengukuran akustik. Metode ini menggunakan multibeam echosounder atau
singlebeam echosounder. Kedua alat ini menggunakan prinsip pengukuran jarak

13
dengan menggunakan gelombang akustik yang dipancarkan dari transduser.
Transduser adalah salah satu bagian dari alat pemeruman yang mengubah energi
listrik menjadi mekanik yang kemudian menghasilkan gelombang akustik.
Gelombang akustik tersebut kemudian merambat pada air dengan cepat rambat yang
telah diketahui, menyentuh dasar laut, dan memantul kembali ke transduser. Rumus
yang digunakan untuk menghitung kedalaman batimetri menggunakan pengukuran
akustik adalah:

1
𝑑𝑢 = 2 𝑣∆𝑡 (2.1)

Dimana 𝑑𝑢 adalah kedalaman hasil ukuran, 𝑣 kecepatan gelombang akustik yang


telah diketahui sebelumnya, dan ∆𝑡 adalah selang waktu yang dibutuhkan bagi
gelombang akustik yang dipancarkan untuk memantul kembali ke transduser
(Djunarsjah, 2005). Data yang telah diakuisisi tersebut kemudian akan direkam dalam
gulungan kertas echogram atau dalam bentuk digital.

2.2.1 Multibeam Echosounder

2.2.1.1 Prinsip dasar dan cara kerja multibeam echosounder


Pada dasarnya, multibeam echosounder adalah sistem pemetaan dasar laut dengan
menggunakan banyak beam. Prinsip yang digunakan sama dengan singlebeam namun
jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu. Pola pancarannya melebar dan
melintang terhadap badan kapal. Setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman
hingga jika titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil dasar
laut. Jika kapal bergerak maju maka hasil sapuan multibeam tersebut menghasilkan
suatu luasan yang menggambarkan permukaan dasar laut (Moustier, 1998). Hal
utama yang membedakan multibeam echosounder dengan singlebeam echosounder
adalah konfigurasi dan jumlah dari transdusernya. Pada multibeam echosounder ,
konfigurasi transdusernya merupakan gabungan dari beberapa stave yang disusun
sedemikian rupa. Stave merupakan bagian dari transduser multibeam echosounder
yang berfungsi untuk memancarkan sekaligus menangkap kembali beam yang

14
terpantul didasar laut. Setelah pantulan-pantulan beam tersebut diterima stave,
transduser akan langsung dianalisis dan diproses sehingga dapat arah dari masing-
masing beam karena masing masing stave memiliki kode-kode tertentu yang
membedakan beam satu sama lain.

Pada umumnya, multibeam echosounder (MBES) menggunakan teknik


interferometrik untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi
waktu. Pendeteksian interferometrik digunakan untuk menentukan sudut beam yang
dating dengan cara membentuk suatu pola interferometrik melalui akumulasi sinyal
akustik yang diterima pada dua array yang terpisah. Pola interferometrik tersebut
menunjukkan perbedaan fase dari setiap beam yang diterima. Dengan menghitung
perbedaan fase pulsa MBES ini, dapat ditentukan waktu tempuh serta arah sudut
pancaran setiap stave. Untuk pengukuran kedalaman, MBES menggunakan prinsip
pengukuran selisih fase pulsa, yaitu menghitung selisih waktu dari waktu pemancaran
dan penerimaan dari pulsa akustik. Rumus yang digunakan adalah rumus (2.1).

Karakteristik-karakteristik dari MBES secara umum (Lekkerker et al, 2006) adalah :


1. Frekuensi yang berselang antara 12 hingga 500 kHz.
2. Cakupan survei berselang antara 90° hingga 180° (2 hingga 12 x kedalaman titik
survei).
3. Lebar dari beam berselang antara 0,5° hingga 3°.
4. Resolusi jaraknya 1-15 cm tergantung kedalaman

2.2.1.2 Persyaratan instalasi MBES


Karena MBES digunakan untuk menghasilkan Digital Terrain Model (DTM) dengan
akurasi yang tinggi, maka dibutuhkan syarat-syarat tertentu dalam instalasinya.
Berikut adalah beberapa persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam pemasangan
MBES (Lekkerker, 2006):
1. MBES harus disejajarkan seakurat meungkin dengan titik pusat horizontal dan
vertikal dari wahana survei (kapal, ROV, dsb). Apabila hal ini tidak

15
memungkinkan, maka MBES harus diposisikan condong ke depan sebesar <5°
untuk meminimalisir refleksi beam dari wahana apung.
2. MBES harus dipasang sejauh mungkin dari peralatan yang dapat menimbulkan
bunyi seperti singlebeam echosounder yang terpasang pada wahana survei yang
sama, mesin, turbin, dan lainnya. Selain itu dalam juga harus dipastikan bahwa
MBES harus selalu berada dibawah permukaan air.
3. MBES harus memiliki cakupan survei yang tidak terhalang badan kapal/wahana
survei.
4. Harus dilakukan pengukuran posisi dari MBES dengan sistem survei lainnya
(offset calibration) yang presisi.
5. Instalasi dari MBES tidak boleh melanggar aturan keselamatan dari wahana
survei. Sebagai contoh, apabila wahana survei akan digunakan di lautan dangkal
maka MBES harus diletakkan lebih tinggi dari titik terdalam wahana survei agar
tidak karam.

2.2.1.3 Kalibrasi-kalibrasi dalam Multibeam Echosounder


Seperti diketahui sebelumnya, wahana survei tidak pernah berhenti bergerak sewaktu
survei dilaksanakan, baik karena faktor dinamika lautan maupun cuaca. MBES yang
terpasang pada wahana survei selalu membaca kedalaman dengan asumsi bahwa
wahana survei diam sempurna, sehingga harus dilakukan kalibrasi agar nilai
kedalaman tersebut valid. Proses kalibrasi yang dilakukan meliputi proses kalibrasi
offset statik, uji keseimbangan kapal (roll, pitch, gyro) serta kecepatan rambat akustik
(Mann& Godin, 1996).

1. Kalibrasi Patch Test


Yang dimaksud dengan kalibrasi patch test adalah suatu kalibrasi yang dilakukan di
suatu daerah pada dasar laut. Area yang akan digunakan dalam patch test harus
memiliki kontur yang relative landai dan kontur yang curam dengan kemiringan 1:2
atau 1:5. Parameter-parameter yang dapat dikalibrasi menggunakan patch test adalah
parameter waktu tunggu, roll, pitch, dan yaw (Lekkerkerk, et al, 2006). Setelah semua
kalibrasi didapatkan, akan dijalankan performance test untuk mengecek apakah
16
sistem MBES tersebut sesuai dengan persyaratan-persyaratan pelaksaan survei
tersebut.
a. Waktu tunggu
Waktu tunggu pada MBES adalah keadaan dimana pengambilan data kedalaman
oleh transduser tidak sinkron dengan pengambilan data posisi oleh DGPS.
Kesalahan ini harus dikoreksi apabila rea survei <100 meter. Dengan koreksi
waktu tunggu, maka keterlambatan waktu GPS dapat disinkronkan dan titik-titik
kedalaman yang diambil oleh MBES pun memiliki koordinat yang tetap.
Kesalahan waktu tunggu umumnya sebesar 0,2 hingga 1 detik, dan kesalahan
tersebut mengakibatkan kesalahan koordinat 0.3 hingga 5 meter. Kecepatan kapal
juga berpengaruh terhadap besarnya kesalahan waktu tunggu. Gambar 2.2
memperlihatkan skema waktu tunggu yang terjadi pada saat survei.

Gamber 2.2 Kesalahan waaktu tunggu [Mann & Godin, 1996]

b. Roll
Kalibrasi roll merupakan kalibrasi MBES yang sangat penting mengingat
trasnduser menyapu dasar laut secara tegak lurus dengan pergerakan kapal.
Bahkan pergerakan kecil roll dapat mengakibatkan kesalahan yang sangat
mempengaruhi hasil akhir. Kesalahan minimal roll terdapat pada beam pusat dan
maksimal terjadi di beam-beam di ujung. Dalam melakukan kalibrasi roll,
kecepatan dari wahana survei harus sama dan dilakukan secara berlawanan di
daerah patch test yang sama. Gambar 2.5 memperlihatkan bentuk dari kalibrasi
roll dan rumus 2.3 memberikan cara perhitungan kalibrasinya.

17
𝑦
𝛽=𝑡𝑎𝑛−1 (2.2)
𝑥

Dimana β adalah offset roll, x adalah panjang jalur dalam meter, dan y adalah
kedalaman.

Gambar 2.3 Kalibrasi roll [Mann & Godin, 1996]

c. Pitch
Kalibrasi pitch menjadi sangat penting apabila dilakukan di laut dalam atau di
dasar laut yang curam. Dalam instalasi normal, kesalahan yang diakibatkan pitch
adalah sebesar desimeter untuk setiap kedalaman 10 meter. Kalibrasi pitch
dilakukan dengan cara membuat satu garis sapuan MBES pada daerah patch test.
Pada garis ini dilakukan pengambilan data kedalaman sebanyak dua kali dengan
kecepatan yang sama. Pada gambar 2.6 diperlihatkan perbedaan kontur pada
daerah patch test yang terjadi karena adanya efek pitch pada kapal, dan pada
rumus 2.4 menunjukkan persamaan perhitungan besaran sudut akibat pengaruh
pitch (Mann, 1996).

𝑑/2
𝑑𝛼 = 𝑡𝑎𝑛−1 (2.3)
𝑧

18
Dimana:
𝑑𝛼 = sudut pancaran
z = kedalaman
d = jarak antar daerah curam pengukuran pertama dan kedua.

Gambar 2.4 Kalibrasi pitch

d. Yaw
Kalibrasi yaw adalah kalibrasi yang diakibatkan keaadaan pada saat survei
dilaksanakan diliputi arus yang kencang sehingga dapat mengubah arah heading
kapal di sepanjang jalur survei. Kalibrasi ini sangat dibutuhkan pada pengukuran
area survei yang curam, dimana untuk area survei yang rata kalibrasi ini tidak
terlalu berpengaruh karena tidak merubah nilai kedalaman. Kalibrasi yaw
dilakukan dngan membuat dua garis yang paralel dengan arah yang sama pada
area patch test. Didalam kalibrasi yaw adalah kedua jalur dari pengamatan
kalibrasi sejajar dan memiliki spasi sebesar dua kali kedalaman dasar laut di area
tersebut, serta kecepatan kapal yang sama. Ilustrasi dan persamaan dari kalibrasi
yaw dapat dilihat pada gambar 2.5 dan persamaan 2.4.

𝑦1 𝑦1 𝑦2 𝑦
𝛾1 = 𝑡𝑎𝑛−1 ; jika = = (2.4)
𝑥1 𝑥1 𝑥2 𝑥

Dimana:
x = jarak relative antara trak pengamatan
y = jarak 2 objek sesungguhnya

19
Gambar 2.5 Kalibrasi yaw

2. Kalibrasi kecepatan rambat akustik


Adanya perbedaan parameter seperti salinitas, suhu, dan tekanan di setiap kolom air
laut mengakibatkan adanya perbedaan kecepatan rambat akustik di setiap kolom
tersebut. Untuk itu dilakukan pengukuran kecepatan rambat akustik menggunakan
alat Sound Velocity Profiler (SVP). Sistem kerja dari SVP adalah dengan
menggunakan reflektor yang diletakkan di dasar laut dan kemudian dipantulkan
sinyal akustik dari SVP yang terpasang di kapal selama selang waktu tertentu.
Kecepatan rambat SVP dibagi menjadi kecepatan downward untuk kecepatan rambat
dari SVP ke reflektor dan upward untuk kecepatan rambat dari reflektor menuju
SVP. Kecepatan tersebut kemudian dirata-ratakan dan didapatkanlah profil dan
koreksi dari kecepatan rambat akustik di setiap kolom air laut di area survei.

2.2.2 Singlebeam Echosounder

2.2.2.1 Prinsip kerja Singlebeam Echosounder (SBES)


Single-Beam Echosunder merupakan alat ukur kedalaman air yang menggunakan
pengirim dan penerima sinyal gelombang suara tunggal. Prinsip kerja dari SBES
sendiri sama seperti MBES, yaitu menggunakan prinsip pengukuran selisih fase
pulsa, yaitu menghitung selisih waktu dari waktu pemancaran dan penerimaan dari
pulsa akustik. Perbedaan utama SBES dengan MBES adalah pada SBES data

20
kedalaman yang dihasilkan hanyalah satu titik kedalaman, buka suatu area
kedalanman seperti pada MBES. SBES juga cukup akurat,dimana SBES mampu
memberikan ketelitian hingga 0,1 meter pada kedalaman kurang dari 100 meter
(Lekkerkerk, et al, 2006).

2.2.2.2 Proses kerja Singlebeam Echosounder


Pertama-tama, ditentukan terlebih dahulu kecepatan dari beam yang akan
dipancarkan. Data ini digunakan untuk menghitung waktu rambat beam tersebut.
Kemudian pada unit kontrol waktu ditentukan repetition rate (banyaknya beam per
detik) dari SBES. Setelah kedua komponen tersebut di set, maka repetition rate
tersebut diaplikasikan terhadap transduser. Transduser biasanya terpasang pada
lambung kapal atau sisi bantalan pada kapal, dan didalam pemasangannya juga harus
selalu berada di bawah permukaan air. Transduser yang terpasang pada lambung
kapal tersebut mengirimkan pulsa akustik dengan frekuensi tinggi yang terkandung
dalam beam (gelombang suara) secara langsung menyusuri bawah kolom air. Energi
akustik memantulkan sampai dasar laut dari kapal dan diterima kembali. Transduser
terdiri dari sebuah transmitter yang mempunyai fungsi sebagai pengontrol panjang
gelombang pulsa yang dipancarkan dan menyediakan tenaga elektris untuk besar
frekuensi yang diberikan. Transmitter ini menerima beam secara berulang-ulang
dalam kecepatan yang tinggi, sampai pada orde kecepatan milisekon. Beam tersebut
kemudian diteruskan ke Limiter/Pre-Amplifier dan Time Varied Gain. Kedua alat ini
akan menyesuaikan intensitas dari beam tersebut hingga dapat diinterpretasikan oleh
SBES. Apabila beam tersebut menempuh jarak pantul yang jauh, maka sinyal beam
tersebut akan melemah dan perlu diamplifikasi, begitu juga sebaliknya apabila beam
tersebut menempuh jarak yang pendek, maka sinyal dari beam tersebut akan terlalu
kuat sehingga harus direduksi. Detector kemudian merubah beam yang telah
disesuaikan tersebut menjadi rekamarann analog dalam kertas analog. Untuk merubah
rekaman analog tersebut menjadi digital, maka dilakukan pengukuran waktu tempuh
sinyal dengan menambahkan data kecepatan beam di awal. Diagram dari proses-
proses ini dapat dilihat pada gambar 2.6.

21
Informasi tambahan seperti heave (gerakan naik-turunnya kapal yang disebabkan oleh
gaya pengaruh air laut), pitch (gerakan kapal ke arah depan (mengangguk) berpusat di
titik tengah kapal), dan roll (gerakan kapal ke arah sisi-sisinya (lambung kapal) atau
pada sumbu memanjang) dari sebuah kapal dapat diukur oleh sebuah alat dengan
nama Motion Reference Unit (MRU), yang juga digunakan untuk koreksi posisi
pengukuran kedalaman selam proses berlangsung.

Kecepatan Data ouput


Sinyal digital

Pengukuran waktu Representasi


tempuh sinyal digital

Unit kontrol waktu

Representasi
Detector
analog

Frekuensi
pengulangan
sinyal akustik

Time-varied gain

Pre-Amplifier/
Transmit Oscilattor
Limiter

Transduser

Gambar 2.6 Diagram Singlebeam Echosounder [Lekkerkerk, et al, 2006]

2.2.2.3 Kalibrasi Singlebeam Echosounder


Hasil bacaan pada SBES selalu harus dikoreksi karena dinamika lautan pada saat
survei berlangsung. Oleh karena itulah SBES harus melewati tahap kalibrasi sebelum
digunakan. Berikut adalah kalibrasi-kalibrasi yang dilakukan di SBES (Lekkerkerk, et
al, 2006):

22
1. Pengukuran sudut Bundle dan Pitch
Pada umumnya, pengukuran sudut bundle tidak diperlukan. Akan tetapi apabila
dibutuhkan set data yang memiliki keakuratan tinggi, maka pengkuran sudut bundle
dibutuhkan. Gambar mengenai sudut bundle dan pitch beserta elemen-elemennya
dapat dilihat pada Gambar 2.7. Berikut adalah proses pelaksaanan bundle
measurement:
 Gunakan sebuah batang besi yang memiliki plat besi berbentuk kotak di
tengahnya. Ukur luas dari plat besi tersebut dan letakkan dibawah transponder
SBES.
 Tentukan posisi pemasangan SBES dan batang besi tersebut.
 Turunkan batang besi tersebut ke kedalaman tertentu (Des) dibawah transduser,
kira kira 4 meter.
 Kemudian geser batang besi ke arah depan dari SBES hingga tidak terdeteksi lagi
oleh SBES (Lf).
 Geser batang besi ke arah belakang dari SBES hingga tidak terdeteksi oleh SBES
(La).
 Hitung sudut Bundle dan Pitch dari SBES tersebut dengan rumus:
0,5 . (𝐿𝑎+𝐿𝑓−𝐿𝑝)
𝑏𝑢𝑛𝑑𝑙𝑒 𝑎𝑛𝑔𝑙𝑒 = (2.5)
𝐷𝑒𝑠
𝐿𝑎−𝐿𝑓−𝐿𝑝
𝑝𝑖𝑡𝑐𝑕 𝑎𝑛𝑔𝑙𝑒 = (2.6)
𝐷𝑒𝑠

2. Pengukuran bar check


Dalam pengambilan data kedalaman, banyak terdapat kesalahan-kesalahan sistematik
yang disebabkan oleh transduser, kondisi lapangan, dan lainnya. Karena kesalahan-
kesalahan tersebut sebagian besar bersifat sistematik, maka dapat dibentuk suatu cara
yang mampu menghasilkan hasil pengukuran yang baik. Salah satu metode yang
efktif adalah penggunaan kalibrasi bar check. Yang dimaksud dengan bar check
adalah sebuah lempeng logam yang dapat berbentuk lingkaran atau segi empat dan
diletakkan dibawah transduser. Alat bar check dihubungkan dengan tali atau rantai
berskala yang akan digunakan sebagai pembanding hasil pengukuran transduser.

23
Pembandingan pengukuran kedalaman tersebut dilakukan dengan menurunkan alat
tersebut untuk mengukur kedalaman untuk setiap interval 1 m dari kedalaman skala 0
(lokasi awal survei dengan kedalaman 1 m) hingga kedalaman maksimum yang akan
disurvei. Kemudian dari kedalaman maksimum tersebut, tali berskala dari bar check
ditarik setiap interval 1 m hingga kembali pada kedudukan skala 0. Gambar 2.8
memperlihatkan hasil dari bar check. Data kedalaman yang telah dikoreksi
pengukuran bar check dianggap sudah terbebas dari sumber kesalahan karena sifat
perambatan gelombang pada medium air laut (Djunarsjah, 2005). Selain koreksi bar
check, terdapat juga koreksi lain seperti mengukur kedudukan permukaan transduser
untuk mengurangi kesalahan sarat transduser, membandingkan kedudukan vertikal
transduser terhadap permukaan laut untuk mengurangi kesalahan settlement dan
squat, dan koreksi muka air laut sesaat terhadap tinggi bidang referensi vertikal untuk
koreksi pasut.

Gambar 2.7 Sudut bundle dan pitch beserta komponennya.

24
Gambar 2.8 Hasil bar check

2.2.3 Akuisisi data posisi sensor kedalaman


Data posisi sensor kedalaman di kapal didapat dengan menggunakan DGPS serta
offset statis.

2.2.3.1 Penentuan posisi sensor kedalaman di kapal menggunakan DGPS


Metode yang saati ini umum digunakan dalam penentuan posisi survei batimetri
adalah metode DGPS. DGPS adalah suatu metode yang digunakan untuk
meningkatkan akurasi dari GPS. Metode ini menggunakan stasiun referensi di darat
(ditempatkan di titik yang sudah diketahui secara pasti koordinatnya seperti
benchmark) untuk menghitung kesalahan akurasi dari sinyal-sinyal satelit GPS, dan
kemudian mentransfer data kesalahan akurasi tersebut ke receiver DGPS yang
terpasang di kapal secara real-time. Dengan adanya koreksi terus menerus dari
stasiun referensi, maka receiver DGPS di kapal akan selalu mengkoreksi keakurasian
sinyal GPS yang diterimanya sehingga ketelitiannya dapat meningkat hingga 1-3 m.
Penghitungan koreksi tersebut didasarkan pada asumsi keadaan atmosfer antara
stasiun referensi dan receiver DGPS sama karena lokasinya tidak berjauhan, sehingga
koreksi di stasiun referensi pun dapat diaplikasikan ke receiver. Akan tetapi, karena
hal tersebut sangat tergantung dari jarak antara stasiun referensi dan receiver, maka
ketelitian dari DGPS sendiri akan bergantung dari jarak antara receiver dengan
stasiun referensi terdekat. Koreksi dari DGPS dapat berupa koreksi pseudorange atau
koreksi koordinat. Koreksi pseudorange lebih sering digunakan, karena koreksi
koordinat jarang digunakan karena menuntut stasiun referensi dan receiver
mengamati set satelit yang sama, dan hal ini jarang terjadi di lapangan (Djunarsjah,
2005).
25
2.2.3.2 Penentuan posisi sensor kedalaman dengan offset statis
Offset statis adalah suatu kegiatan penentuan letak dari masing-masing alat atau
sensor yang terpasang di wahana survei dan terhadap titik referensi wahana survei.
Titik referensi di wahana survei haruslah titik yang mudah diakses oleh sensor-sensor
tersebut agar pengukurannya baik. Hasil yang akan didapat dari offset statis adalah
suatu denah dengan koordinat x, y, dan z dari DGPS, gyrocompass, MBES, SBES
(Single Beam Echosounder), MRU (Motion Reference Unit), dan sensor-sensor
lainnya terhadap titik referensi wahana survei yang memiliki koordinat (0;0;0). Dapat
dikatakan bahwa offset statis menyatukan semua sensor dalam kapal menjadi satu
kesatuan sistem, sehingga untuk pengolahan data masing-masing sensor tersebut
dapat saling digunakan satu sama lain, seperti DGPS untuk pemberian posisi pada
data kedalaman MBES ditambah koreksi dari MRU. Untuk di lapangan, penentuan
letak ini akan dilakukan dalam koordinat kartesian, dan pengukurannya sendiri dapat
dilakukan menggunakan pita ukur dan dibantu dengan diagram bentuk wahana survei.
Hal tersebut terkecuali untuk pemasangan alat baru, dimana offset statis harus
dilakukan dengan menggunakan Total Station di dok kering agar ketelitiannya baik.
Untuk gyrocompass, alat tersebut harus diletakkan pada sumbu-x titik referensi
karena gyrocompass akan menggambarkan arah azimuth dari wahana survei. Gambar
2.9 memperlihatkan contoh dari offset statis pada sebuah kapal.

Gambar 2.9 Offset statis [Mann & Godin, 1996]

26
2.2.4 Akuisisi data pasang-surut
Kegiatan pengamatan pasang surut dilakukan untuk mendapatkan data tinggi muka
air laut di suatu lokasi. Dengan adanya data tinggi muka air tersebut, maka dapat
ditentukan datum vertikal yang akan digunakan sebagai referensi tinggi nol
pemeruman. Karena posisi dari muka air laut yang selalu berubah-ubah, maka
penentuan tinggi nol harus dilakukan dengan merata-ratakan data tinggi muka air
laut yang diamati dalam rentang waktu dan interval pengambilan data tertentu.
Pengamatan pasang surut untuk keperluan praktis dapat dilakukan selama 15 atau 29
hari (Djunarsjah, 2005). Pengamatan pasut dapat dilakukan dengan menggunakan
rambu pengamat pasut atau tide gauge. Untuk penggunaan rambu pengamat pasut,
rambu tersebut harus dipantau oleh operator pada setiap interval waktu yang telah
ditentukan, dan untuk tide gauge tidak diperlukan operator karena alat tersebut akan
secara otomatis mencatat perubahan pasang surut melalui pergerakan pada
pelampung yang disambungkan dengan gulungan kertas perekam data. Sebelum
pengamatan dimulai, harus dilakukan pengikatan rambu dengan benchmark
menggunakan waterpass, agar diketahui beda tinggi nol palem relative terhadap titik
pengikat seperti benchmark. Pada gambar 2.10 diperlihatkan bentuk pengikatan
rambu dan hubungan antara muka laut rata-rata, muka laut sesaat, chart datum, dan
nol palem.

Gambar 2.10 Pengamatan pasang surut [Djunarsjah, 2005]

27
2.2.5 Ketentuan International Hydrographic Organization (IHO)
Bentuk ketentuan teknis yang paling lazim dipakai dalam survei batimetri salah
satunya adalah International Hydrographic Organization (IHO) dalam special
Publication 44 (SP’44) edisi ke-5, Februari 2008. Spesifikasi yang terdapat dalam
ketentuan teknis ini digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi hasil survei
batimetri. Survei kali ini menggunakan spesifikasi orde 1b dengan keterangan yang
dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Spesifikasi IHO

No Kelas Contoh Daerah Survei

Orde Pelabuhan tempat sandar dan terusan kritis (berbahaya) cakupan


1
khusus batimetri 100% dengan kedalaman hingga 40 m

Area perairan cukup dangkal, tetap diperlukan cakupan batimetri 100%


Orde
2 namun tidak kritis, kedalaman 40-100 m, biasanya digunakan untuk alur
1a
pendekat pelabuhan dan alur pelayaran

Orde Area perairan hingga kedalaman 100m namun tidak diperlukan cakupan
3
1b batimetri 100% karena karakteristik perairan tidak berbahaya

Area perairan dengan kedalaman lebih dari 100m dan tidak diperlukan
4 Orde 2
cakupan 100%

28
Dengan Faktor Ketelitian sesuai dengan Tabel 2.3:

Tabel 2.3 Ketelitian Orde 1b

No Deskripsi Orde 1b
5 m + 5% dari kedalaman
1 Akurasi horisontal
rata-rata
Alat bantu navigasi tetap dan
2 kenampakan yang berhubungan 2m
dengan navigasi
Garis pantai yang tidak
3 20m
berhubungan dengan navigasi
4 Alat bantu navigasi terapung 10m
5 Topografi 10m
6 Akurasi Kedalaman a = 0.5 m ; b = 0.013

Dengan batas toleransi kesalahan antara kedalaman titik fix perum pada jalur utama
dan menyilang dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

(2.7)

Dimana:

a = kesalahan tetap (m)

b = kesalahan tidak tetap

d = kedalaman terukur (m)

29
2.3 Side-scan Sonar

2.3.1 Prinsip dasar Side-scan Sonar


Side-scan sonar (SSS) adalah suatu sistem yang terdiri dari transduser dengan arah
pancaran miring beserta unit perekamnya yang dapat digunakan untuk memberikan
interpretasi kualitatif baik bentuk, ukuran relative, maupun penyebaran dari dasar
laut. Side-scan sonar sering digunakan dalam survei batimetri menggunakan
singlebeam echosounder (SBES) karena side-scan sonar dapat menambah nilai
kedalaman dari SBES dengan citra dari objek-objek dasar laut yang ada di sekitar
titik kedalaman tersebut.

Proses dari pencitraan oleh SSS dilakukan bersamaan dengan proses pemeruman oleh
SBES. Bagian-bagian utama dari SSS pada dasarnya adalah dua buah transduser yang
dipasang pada sebuah towfish dengan arah pancaran miring, dan sebuah unit perekam
(recorder) yang ditempatkan di atas kapal yang berfungsi sebagai pencatat parameter-
parameter pengukuran dan menyajikannya dalam bentuk sonograf, suatu citra grafis
yang terbentuk dari jejak gema pada kertas perekam yang menggambarkan keadaan
dasar laut. Karena transdusernya dipasang sedemikian rupa, dasar laut yang tersapu
dalam sebuah lajur penyapuan merupakan suatu jalur yang terdiri dari hasil
visualisasi kedua transduser dengan bagian yang tidak tersapu di tengahnya. Lebar
jalur yang tersapu dapat bervariasi, tergantung pada ukuran/lebar sudut pancaran
pulsa, dan kedalaman transduser dari muka laut. Lebar sudut pancaran pulsa dalam
arah horisontal berkisar antara 1o sampai dengan 2o, sedangkan dalam arah vertikal
berkisar antara 10o sampai dengan 30o, dengan kemiringan sumbu pancaran terhadap
arah vertikal sebesar 10o. Dengan mengukur selang waktu antara saat pemancaran
pulsa dengan saat penerimaan kembali gemanya di jalur yang tersapu, dapat diperoleh
besarnya jarak antara transduser dengan sumber gema di dasar laut. Karena
gelombang-gelombang akustik yang dipancarkan mempunyai selang waktu
pemancaran yang sangat pendek satu dengan lainnya, maka menggunakan
mekanisme tertentu pada unit perekam jarak-jarak tersebut akan kemudian diplot

30
pada kertas perekam khusus sehingga menghasilkan citra grafis (sonograf) yang
menggambarkan topografi dasar laut yang tersapu.

2.3.2 Cara kerja Side-scan Sonar


Arus listrik utama dari sumber tenaga listrik dialirkan ke rangkaian listrik pembagi
yang akan membagi arus utama menjadi dua bagian. Arus listrik pertama dialirkan ke
bagian-bagian unit perekam, dan yang kedua dialirkan ke towfish. Arus listrik yang
dialirkan ke transduser yang terpasang di towfish adalah arus listrik bolak-balik yang
dihasilkan oleh pembangkit arus (converter) dan dialirkan dalam bentuk pulsa-pulsa
listrik dengan selang dan panjang pulsa tertentu oleh unit saklar. Selang pengaliran
pulsa listrik tersebut, disesuaikan dengan kecepatan gerak stilus pada unit perekam.
Di towfish, transduser akan mengubah pulsa-pulsa listrik menjadi pulsa-pulsa
gelombang akustik yang dipancarkan ke dasar laut. Gema dari dasar laut yang
diterima, diubah menjadi arus listrik, kemudian dialirkan ke unit perekam. Sebelum
dialirkan, arus listrik diperkuat oleh buffer amplifier untuk mengatasi pengaruh
hambatan (impedansi) dari kabel penghubung.

Pada unit perekam, arus listrik dari towfish diperkuat oleh penguat penerima (gain
amplifier) yang akan mengatur kuatnya arus listrik yang dialirkan ke stilus pada
perekam grafis, agar jejak gema yang dihasilkan pada kertas perekam mempunyai
penampakan kontras yang merata. Unit perekam terdiri dari beberapa bagian utama,
yaitu pembangkit arus listrik bolak-balik (converter), penguat penerima (gain
amplifier), unit pengatur pengaliran pulsa-pulsa listrik (switching unit), dan perekam
grafis bersaluran ganda (dual graphic recorder).
1. Pembangkit Arus (Converter)
Rangkaian listrik yang berfungsi mengubah arus listrik searah menjadi arus listrik
bolak-balik.

2. Unit Saklar (Switching Unit)


Unit saklar merupakan rangkaian listrik yang berfungsi mengatur pengaliran pulsa-
pulsa listrik, dengan selang dan panjang pulsa tertentu, dari pembangkit arus ke

31
transduser di towfish. Selang pengaliran pulsa diatur agar sama dengan waktu yang
diperlukan stilus untuk bergerak dari satu titik pemancaran ke titik pemancaran
berikutnya.

3. Perekam Grafis
Jarak antara transduser dengan obyek yang diperoleh dari pengubahan selang waktu
antara pemancaran pulsa akustik dengan penerimaan gema, direkam pada perekam
grafis ini secara otomatis. Perekaman dilakukan dengan memplot jarak pada kertas
perekam menggunakan stilus.Pada perekam grafis ini, stilus terdiri dari dua kawat
penghantar yang terbuat dari bahan tungsten yang dililitkan pada sebuah silinder
dengan bentuk lilitan heliks. Kedua kawat tersebut dililitkan secara terpisah dengan
arah lilitan yang berlawanan Dengan cara pemasangan stilus ini, masing-masing stilus
akan bersinggungan dengan platen hanya pada satu titik (titik kontak). Platen atau
pelat massa(earthing plate) adalah suatu pelat elektroda tipis yang dipasang sejajar
silinder stilus (silinder dimana stilus dililitkan), dan membentuk celah sempit di
antara keduanya, dimana kertas perekam dipasang. Bila stilus dialiri arus listrik, akan
terjadi percikan api pada titik kontaknya dengan platen yang akan menimbulkan jejak
hitam (jejak gema) pada kertas perekam. Masing-masing stilus dihubungkan dengan
transduser yang berbeda (transduser kiri atau kanan). Arus listrik dari transduser akan
dialirkan secara terpisah ke stilus masing-masing.

4. Penguat Penerima
Pengatur kuat arus listrik yang akan dialirkan ke stilus alat perekam. Pada alat
perekam, umumnya digunakan dua penguat, yaitu:
a) Initial suppression
b) Gain control

Initial suppression berfungsi mencegah agar untuk waktu yang sangat singkat setelah
pemancaran pulsa tidak ada arus listrik yang mengaliri stilus. Dengan demikian gema
yang terjadi sesaat setelah pemancaran atau arus listrik sisa, tidak akan terekam pada

32
kertas perekam. Gain control berfungsi untuk mengatur kuat arus listrik yang
dialirkan ke stilus. Arus listrik yang kuat, yang dihasilkan gema dari obyek yang
dekat dilemahkan. Sedangkan arus listrik yang dihasilkan gema dari obyek yang jauh
diperkuat. Dengan demikian jejak gema yang diperoleh pada kertas perekam
mempunyai penampakan kontras yang merata.

Berdasarkan penggunaannya, terdapat dua macam Gain Control, yaitu yang


dioperasikan oleh manusia (manual), dan yang bekerja secara otomatis berdasarkan
pertambahan waktu (time varied gain control).

2.3.3 Kalibrasi Side-scan Sonar


Seperti halnya alat-alat surve hidrografi lainnya, SSS juga memiliki kesalahan data
sehingga untuk itu perlu diadakan kalibrasi terlebih dahulu. Secara umum kalibrasi
tersebut dapat dibagi dua menjadi kalibrasi sistem utama dan kalibrasi sistem
penentuan posisi SSS (Lekkerkerk, et al, 2006).

1. Kalibrasi sistem utama


Semua aspek dari sistem utama SSS harus dicek secara teliti sebelum digunakan.
Untuk kabel tow, harus dipastikan sudah terpasang dengan kencang agar tahan
terhadap cuaca buruk, serta harus dipastikan tidak disatukan dengan kabel kelistrikan
dari SSS agar tidak terjadi noise pada hasil pencitraan. Setelah kabel tow dicek, maka
selanjutanya akan diadakan rub test dan wet test.
a) Rub test
Rub test dilakukan untuk mengecek apakah koneksi sinyal dan kelistrikan pada
sistem utama SSS terpasang dengan baik. Tes ini dijalankan dengan menyentuh
salah satu transduser secara bolak-balik untuk kemudian hasil dari pencitraannya
dilihat apakah terjadi garis hitam pada rekaman citra akibat sentuhan tersebut. Tes
ini kemudian diaplikasikan terhadap transduser yang lainnya.

33
b) Wet-test
Ketika hasil dari rub test sudah memuaskan, maka towfish dapat diturunkan ke
laut. Kemudian pada keadaan diam akan dicek hasil rekaman citra dasar laut di
tempat tersebut, dimana seharusnya bentuk dari citranya similar.

2. Kalibrasi sistem penentuan posisi


Dalam sistem penentuan posisi SSS, terdapat dua hal yang sangat penting. Pertama,
data posisi dan data SSS harus selalu direkam bersamaan dan dicek dengan COM-
test. Kedua, akurasi dari data posisi tersebut harus selalu diketahui dengan sonar
position test.
a) COM test
Tes ini dilakukan untuk mengecek koneksi data antara komputer navigasi dan
sistem SSS. Apabila tidak terdapat data dari komputer navigasi, maka cek koneksi
atau setting dari COM-port, dan apabila koneksi data sudah lancer yang harus
dicek adalah apakah koordinat dari towfish sudah sesuai dengan offset yang
ditentukan beserta kecepatan dan heading kapal.

b) Sonar position test


Pada tes ini akan dilakukan pencitraan dari suatu objek dasar laut seperti bangkai
kapal sebanyak dua kali dalam arah yang berlawanan. Kemudian hasil koordinat
dari bangkai kapal/objek laut tersebut saling dibandingkan. Apabila dibutuhkan
ketelitan 5 m, maka perbedaan hasil koordinat dari objek laut tersebut harus tidak
melebihi radius 5 meter.

34

You might also like