You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Berdasarkan data yang dibuat oleh puslitbangtanak pada tahun 2002, potensi lahan
kering di Indonesia sekitar 75.133.840 ha. Suatu keadaan lahan yang sangat luas. Akan
tetapi lahan-lahan kering tersebut tidak begitu menghasilkan dan berguna bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar area lahan kering. Hal ini disebabkan oleh masih
kurangnya teknologi pengelolaan lahan kering sehingga sering mengakibatkan makin
kritisnya lahan-lahan kering.
Erosi, kekurangan air dan kandungan unsur hara adalah masalah yang paling
serius di daerah lahan kering. Paket-paket teknologi untuk mananggulangi masalah-
masalah tersebut juga sudah banyak, akan tetapi kurang optimal di manfaatkan karena
tidak begitu signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani daerah lahan kering.
Memang perlu kesabaran dalam pengelolaan daerah lahan kering, karena meningkatkan
produktivitas lahan di daerah lahan kering yang kondisi lahannya sebagian besar kritis
dan potensial kritis tidaklah mudah
Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu
menanggulangi masalah diatas. Dengan menerapkan sisitem konservasi tanah dan air
diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan kandungan
hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis lagi. Ada 3 metode dalam dalam
melakukan konservasi tanah dan air yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya,
metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi
dan penyediaan air serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan2 kimia untuk
mengawetkan tanah.
Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan (2006) adalah upaya
penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara
efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan
beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga di lakukan tindakan
konservasi air.
Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian dan kehutanan yang sering
terabaikan oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah. Hal ini
terjadi antara lain karena dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat di
lapangan, atau tidak secara drastis menurunkan hasil panen. Dampak erosi tanah dan
pencemaran agrokimia, misalnya, tidak segera dapat dilihat seperti halnya dampak tanah
longsor atau banjir badang. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang efektif,
produktivitas lahan yang tinggi dan usaha pertanian sulit terjamin keberlanjutannya.
Praktek pertanian yang buruk ini tidak hanya ditemui di Indonesia, tetapi juga di negara-
negara berkembang lainnya. Hal ini tercermin dari pernyataan Lord John Boyd Orr
(1948), Dirjen FAO pertama, dalam (Dudal 1980) sebagai berikut: “If the soil on which
all agriculture and all human life depends is wasted away, then the battle to free
mankind from want cannot be won”. Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya
konservasi tanah untuk memenangkan perjuangan kemanusiaan dalam memenuhi
kebutuhan dasar manusia. Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan di Indonesia,
khusus di Pulau Jawa saja, kerugian akibat erosi tanah mencapai US$341-406 juta/tahun
(Margrath dan
Arens 1989). Data lain menunjukkan bahwa selama periode 1998-2004, terjadi
402 kali banjir dan 294 kali longsor di Indonesia, yang mengakibatkan kerugian materi
sebagai tangible product senilai Rp668 miliar (Kartodihardjo 2006). Nilai intangible
products yang hilang sulit dikuantifikasi, baik dalam aspek ekologis, lingkungan
maupun sosial dan budaya, sebagai bagian dari multifungsi pertanian. Namun dapat
dipastikan bahwa nilai intangible tersebut sangat besar, baik secara material maupun
immaterial. Tingkat laju erosi tanah pada lahan pertanian berlereng antara 3-15% di
Indonesia tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Padahal, banyak
lahan pertanian yang berlereng lebih dari 15%, bahkan lebih dari 100%, sehingga laju
erosi dipastikan sangat tinggi. Hal ini terjadi terutama karena curah hujan yang tinggi
dan kelalaian pengguna lahan dalam menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan
air. Pemerintah melalui Departemen Pertanian terus mengupayakan peningkatan
produksi pertanian nasional khususnya bahan pangan dengan melaksanakan dua
program utama, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Kedua program yang untuk mensukseskannya tidak mudah dan memerlukan biaya
besar ini, pada implementasi di lapangan tidak selalu disertai penerapan tindakan
konservasi tanah, yang sebenarnya sangat penting untuk menjamin keberlanjutannya.
Peran dan kebijakan pemerintah sangat penting dan menentukan keberhasilan upaya
konservasi tanah, guna mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan, yang
dicirikan dengan tingkat produktivitas tinggi dan penerapan kaidah-kaidah konservasi
tanah. Upaya konservasi tidak akan berhasil apabila dipercayakan hanya kepada
pengguna lahan, karena terkendala oleh berbagai keterbatasan, terutama lemahnya
modal kerja. Mengingat makin luas dan cepatnya laju degradasi tanah, dan masih
lemahnya implementasi konservasi tanah di Indonesia, maka perlu segera dilakukan
upaya terobosan yang efektif untuk menyelamatkan lahan-lahan pertanian. Upaya
konservasi tanah harus mengarah kepada terciptanya sistem pertanian berkelanjutan
yang didukung oleh teknologi dan kelembagaan serta mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan melestarikan sumber daya lahan dan lingkungan. Upaya
ini selaras dan mendukung Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK),
yang salah satu sasaran utamanya adalah optimalisasi dan pelestarian lahan.

B. Rumusan Masalah
1. Penyebab Kerusakan Tanah
2. Dampak Kerusakan Tanah
3. Strategi Konservasi Tanah dan Air di Indonesia
II. PEMBAHASAN
A. Penyebab Kerusakan Tanah
Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutan,
terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan
lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan
lahan kritis. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia
semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan oleh
Departemen Kehutanan, kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5
juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan
tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), nonhutan (semak-
belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat
diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%) (Dephut, 2002).
Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang
mencapai 2 juta/tahun meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang
mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar
kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi
8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove
di dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha (Dephut, 2000).

Lahan hutan memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan kondisi tanah,
air dan udara. Fungsi hutan sangat penting dalam menunjang fungsi kehidupan ekologi
lainnya. Keberadaan hutan yang paling penting adalah menjaga daur air yang ada dalam
tanah. Tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan yang tinggi dan
makroporositas yang relatif banyak, sejalan dengan tingginya aktivitas biologi tanah dan
pergerakan perakaran. Kondisi ini mendukung air hujan yang jatuh dapat mengalir ke
dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga mengalir secara lateral (Susswein et
al.,2001).
Perkembangan perakaran tanaman hutan mampu menekan danmemperenggang
agregat tanah yang berdekatan, sehingga memicu terbentuknya pori baru yang leih
besar. Aktivitas penyerapan air oleh akar tanaman hutan juga berpengaruh terhadap
kondisi tanah yang ada sehingga, menyebabkan dehidrasi tanah, pengkerutan, dan
terbukanya rekahan-rekahan kecil. Kedua proses tersebut dapat memicu terbentuknya
pori yang lebih besar (makroporositas). Dengan kata lain pembentukan makroporositas
ini selain disebabkan oleh adanya celah atau ruang yang terbentuk dari pemadatan
matrik tanah juga adanya gangguanaktivitas perakaran, hewan tanah, pembengkaan,
perekahan dan pengkerutan tanah (Marshall et al.,1999).
Aktivitas dalam ekologi tanah hutan tidak berhenti pada taraf ini saja. Lebih jauh,
exudant akar dan akar yang mati khususnya akar rambut akan memicu aktivitas
mikroorganisme yang akan menghasilkan bahan humik yang berfungsi sebagai semen.
Bahan humik tanah mempunyai peranan yang besar terhadap agregasi liat tanah yang
berukuran relatif kecil, sedang peranannya terhadap agregasi agregat kecil atau partikel
debu dan pasir relatif kecil (Marshall et al., 1999). Dengan adanya fungsi perakaran
yang disati sisi dapat merugikan di sisi lain perakaran yang telah mati dapat mencptakan
kondisi yang seimbang pada tanah hutan.
Kondisi tanah hutan umumnya berfungsi sebagai filter. Tanah hutan memiliki
kondisi yang remah dengan kapasitas infiltrasi air yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus menerus dari daun-daun,
cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan
tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan
air dan hara oleh tumbuhan hutan, maka adanya limpasan permukaan, bahaya banjir,
dan pencemaran air tanah dapat dikurangi. Jadi hutan berperan sebagai filter, dan fungsi
daerah aliran sungai (DAS) sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat
menjadi tempat penyimpan air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan
adanya hutan di suatu wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang
dapat menahan tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel tanah
dengan akar. (Cooper et al, 1996)
Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas
keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga
merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan menjaga
diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat, sebagai
tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki nilai
ekonomi yang tinggi.
Pembukaan lahan hutan menjadi lahan tanaman monokultur dapat diduga sebagai
penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Kerusakan struktur tanah lapisan atas serta lapisan bawah di akibatkan karena
berubahnya lingkungan atau kondisi tanah hutan yang semula habitat akar dan terjadi
interaksi antara tanah dengan akar. Perubahan ini menghasilkan kondisi tanah yang
berbeda, sehingga pada awalnya tanah hutan mampu menjaga fungsi tanah menjadi
menurun akibat tidak rusaknya keseimbangan kondisi tanah karena perakaran hutan
yang hilang.
Perubahan kondisi tanah ini, disebabkan karena adanya perubahan karakteristik
jenis perakan pada tanah hutan yang lebih bervariasi dari pada pada lahan pertanian
monokultur. Jenis perakan yang monokultur cenderung memiliki kapasitas yang sama
dalam menjalankan aktivitasnya dalam tanah. Perbedaan jenis perakan juga
mempengaruhi keberadaan biota dalam tanah. Selain perbedaan perakaran dalam tanah,
perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian monokultur menyebabkan berubahnya
tutpan lahan yang semula adalah multistrata mendaji strata tunggal dimana tajuk
tanaman menjadi seragam. Tajuk yang berstrata akan membantu dalam mengurangi
lebih besar kontak tanah terhadap air hujan dari pada kondisi tanaman monokultur.
Dengan rusaknya sifat fisika tanah hutan yang berawal dari perubahan kondisi
struktur talah lapisan atas dengan lapisan bawah maka dapat dikatakan bahwa
perubahan fungsi lahan hutan menjadi lahan tanaman monokltur dapat menyebebkan
degradasi sifat-sifat tanah. Dalam hal ini degradasi sifat tanah akan mempengaruhi sifat
satu dengan yang lainnya. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi
lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada
keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus
berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya
jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS).
Kerusakan ini dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor
dan sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau
kualitas aliran air sungai akan menurun.
B. Dampak Kerusakan Tanah
Kerusakan struktur tanah akan berdampak terhadap penurunan jumlah
makroporositas tanah dan lebih lanjut akan diikuti penurunan laju infiltrasi permukaan
tanah dan peningkatan limpasan permukaan. Kerusakan struktur tanah yang demikian
akan menyebabkan berubahnya pola aliran air di dalam sistem tata guna lahan. Dengan
adanya kerusakan struktur tanah tersebut juga akan menyebabkan menurunkan potensi
tanah dalam menyimpan air.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah
sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan
kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah,
aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat
agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga
menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga menyebabkan terbentuknya kerak di
permukaantanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering.
Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah
sehinggamenyebabkan penyumbatan pori tanah. Pada saa thujan turun kerak yang
terbentuk di permukaan tanahjuga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses
penyumbatan pori tanah ini porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah
untukmengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat.
Sehingga peluang terjadinya erosi permukaan akan terjadi.
Perubahan sifat fisika yang terjadi dapat dilihat secara langsung dan ada yang
mengalami perubahan sejalan dengan waktu. Tekstur tanah pada kondisi alih fungsi
lahan hutan menjadi lahan pertanian monokultur juga ikut berubah jumlah fraksi yang
membentuk suatu tanah. Menurut penelitian Didik Suprayogo dkk 2001 pada kasus
perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian kopi monokultur, terjadi perubahan
kandungan fraksi tanah. Semula pada tanah hutan diketahui fraksi tanah berkisar dari
lempung liat berpasir hingga lempung berpasir. Setelah mengalami perubahan fungsi
lahan tekstur tanah berubah menjadi tekstur liat. Perubahan tekstur tanah ini juga
mempengaruhi terhadap fungsi kimia tanah , yaitu reaksi yang terjadi dalam tanah
potensilal H+ .
Perubahan yang terjadi selain tekstur tanah adalah kandungan bahan organik
menurut penelitian didik Suprayogo tahun 2001 pada kasus perubahan lahan hutan
menjadi lahan pertanian kopi monokultur terjadi degradasi bahan organic secara
bertahap. Degradasi bahan organic akan berpengaruh terhadap laju infiltrasi dan
kapasitas memegang air. Alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi monokultur
menurunkan makroporositas tanah. Perubahan makroporositas tanah secara nyata
dipengaruhi oleh sebaran partikel tanah, kandungan bahan organik tanah terutama di
lapisan atas, pembentukan kerak di lapisan atas dan distribusiperakaran tanaman, dan
kemantapan agregat. Meningkatnya kandungan liat dan debu dan menurunnya
kandungan pasirakan berdampak terhadap penurunan makroporositas tanah. Kandungan
bahan organik tanah hingga kedalaman 60 cm masih berperan dalam memperbaiki
makroporositas tanah. Perkembangan perakaran yang menyebar kedalam lapisan tanah
baik secara vertikal maupun horisontalberdampak terhadap peningkatan
makroporositastanah. Hancuran agregat tanah yang masuk kedalam lapisan tanah
bersamaan dengan aliran air menyebabkan penyumbatan pori tanahsehinggaketahanan
penetrasi tanah meningkat dan makroporositas menurun.

C. Strategi Konservasi Tanah di Indonesia


Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan
kemampuan petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan, selain
kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat
penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan
implementasinya di lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut
meliputi, sebagai berikut.
Yang perlu diketahui bahwa tanah hutan mempunyai makro pori relatif lebih
banyak dan laju infiltrasi permukaan yang lebih tinggi dibanding lahan pertanian
monokultur. Hutan telah terbukti mampu menurunkan limpasan permukaan dan erosi
(Widianto et al., 2004). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, (a)
hutanmemiliki lapisan seresah yang tebal, (b) penutupan permukaan tanah oleh kanopi
tanaman dan (c) cacing tanah yang hidup pada tanah hutan ukuran tubuhnyalebih besar
dibandingkan dengan lahan pertanian monokultur (Hairiah et al., 2004). Kondisi ini
menyebabkan tingginya kandungan bahan organic tanah dan rendahnya tingkat
pembentukan kerak di permukaan tanah, sehingga makroporositas tanah di lahan hutan
lebih terjaga dibanding di lahan pertanian monokulutur. Kedua, hutan dapat
menurunkan ketersediaan air bawah tanah sehingga limpasan permukaan akan
berkurang.
Hal ini karena hutan memiliki sistem perakaran yang panjang dan berkembang
dengan sangat baik dalam sistem tanah . Kondisi ini memicu tingginya aktivitas biologi
tanah dan turnover perakaran, sehingga mendukung air hujan yang jatuh dapat mengalir
ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga mengalir secara lateral. Lebih lanjut,
pada musim kemarau akar pohon cenderung tumbuh lebih dalamdi lapisan tanah untuk
menyerap air. Ketiga,dibandingkan dengan lahan monokultur, evapotranspirasi hutan
cenderung lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif
lebih tinggi dan beraneka ragam dibandingkan pertanian monoklutur monokultur. Selain
itu, pohon dihutan berperakaran lebih dalam sehingga mampu menyerap air lebih
banyak dan hilang melalui prosestranspirasi.
Kondisi ini mampu mengurangi limpasan permukaan di DAS (Bosch dan Hewlett,
1982 dalam Calder, 1999). Hasil penelitian Dariah et al. (2004) menunjukkan bahwa
limpasan permukaan dan erosi relatif rendah di lahan pertanian monokultur dan
mendekati dengan kondisi hutan.
Pengelolaan lahan sistem pertanian monokultur sangat diperlukan guna
mempercepat pemulihan fungsi hidrologi DAS. Strategi dasar yang dapat dilakukan
adalah:
1. eliminasi pengkerakan tanah atas melalui“pengolahan dalam” secara berkala,
2. peningkatan kandunganbahan organik melalui peningkatan jumlah masukan seresah
yang bervariasi kualitasnya. Upaya ini dapat dilakukan melalui penanaman
tanamanpenutup tanah dan atau peningkatan diversivitas tanaman pohon seperti yang
dijumpai dalam agroforestri multistrata,
3. Peningkatan diversivitas pola sebaran perakaran. Sistem agroforestri multistrata
memperbaiki keragaman kondisi perakaran di lahankopi monokultur yang relatif
sangat rendah.
Ketiga strategi dasar tersebut merupakan upayayang dapat ditawarkan untuk
engembalikan fungsi tanah dalam pengendalian fungsi hidrologi DAS. Pengelolaan
kebun kopi monokultur melalui pengelolaan vegetasi perlu dikombinasikan dengan
pengelolaan pada skala bentang lahan. Pengelolaan vegetasi dapat dilakukan melalui
pengaturan jaraktanam pohon dan macam pohon yang ditanam untuk mengoptimalkan
peranan pohon dalam meningkatkanintersepsi air hujan dan transpirasi oleh tajuk daun.
Pengelolaan bentang lahan dapat dilakukan melalui peningkatan kekasaran permukaan
lahan, membuat cekungan-cekungan setempat untuk enyediakanpenyimpanan air
sementara selain berfungsi sebagai filter sedimen dan memperpanjang “saluran” aliran
limpasan permukaan. Dengan demikian jalur untuk terjadinya limpasan permukaan
yang cepat dapat dikurangi.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Hutan telah terbukti mampu menurunkan limpasan permukaan dan erosi. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, (a) hutan memiliki lapisan seresah yang
tebal, (b) penutupan permukaan tanah oleh kanopi tanaman dan (c) cacing tanah yang
hidup pada tanah hutan ukuran tubuhnyalebih besar dibandingkan dengan lahan
pertanian monokultur. Kedua, hutan dapat menurunkan ketersediaan air bawah tanah
sehingga limpasan permukaan akan berkurang. Hal ini karena hutan memiliki sistem
perakaran yang panjang dan berkembang dengan sangat baik dalam sistem tanah.
Ketiga,dibandingkan dengan lahan monokultur, evapotranspirasi hutan cenderung
lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi
dan beraneka ragam dibandingkan pertanian monoklutur monokultur.
Untuk pengelolaan tanah,tiga strategi dasar yang dapat disarankan yaitu(1)
eliminasi pengkerakan tanah atas melalui“pengolahan dalam” secara berkala, (2)
peningkatankandungan bahan organik tanah melalui peningkatanjumlah masukan
seresah yang bervariasi kualitasnya,dengan cara menanam tanaman penutup tanah
ataudengan menanam berbabagai jenis pohon seperti yangdijumpai dalam sistem
agroforestri multistrata.Peningkatan diversivitas tanaman pohon dalam system
agroforestri multistrata juga merupakan strategi ke (3)dalam rangka meningkatkan
jumlah dan penyebaran sistem perakaran di lahan pertanian monokultur.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Calder, I.R. 1999. The Blue Revolution: Land Use and Integrated Water Resources
Management. Earthscan Publications, London. 192 pp.
Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and
Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid
Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.
Dariah, A.; Agus, F.; Arsyad, S.; Sudarsono danMaswar. 2004. Erosi dan aliran
permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi
diSumberjaya, Lampung Barat.
Agrivita 26 (1):52-60. Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses
tanggal 14 Maret 2018.
Hairiah, K.; Suprayogo, D.; Widianto; Berlian; Suhara,E.; Mardiastuning, A.; Prayogo,
C.; Widodo, R.H.dan S. Rahayu. 2004. Alih guna lahan hutan
menjadi lahan agroforestri berbasis kopi:Ketebalan seresah, populasi
cacing tanah dan makroporositas tanah. Agrivita 26 (1): 75-88
Marshall, T.J.; Holmes, J.W. and C.W. Rose. 1999.Soil Physics. Cambridge University
Press.
Syam,T.H.; Mshide; Salam, A.K.; Utomo, M.; Mahi,A.K.; Lumbanraja, J.; Nugroho,
S.G. and M.Kimura. 1977. Land Use and Cover Changes ina Hilly
Area of South Sumatra, Indonesia (from1970 to 1990). Soil Sci.
Plant Nutr. 43 (3): 587-599.
Susswein, P.M.; Van Noordwijk, M. dan B. Verbist.2001. Forest Watershed Functions
and Tropical Land Use Change. Dalam van Noordwijk,
M.;Williams, S. dan B.
Verbist (Eds.), Towards integrated natural resource management in forest margins of
the humid tropics: local action andglobal concerns. International
Centre for Research in Agroforestry. Bogor. 28 pp
Widianto; Noveras, H.; Suprayogo, D.; Widodo, R.H.;Purnomosidhi, P. dan M. Van
Noordwijk. 2004.Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian :Apakah
fungsi hidrologis hutan dapat digantikan sistem kopi monokultur?
Agrivita 26 (1): 47

You might also like