You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reproduksi merupakan suatu bagian penting dalam memajukan usaha


peternakan. Reproduksi ternak adalah suatu sistem tubuh ternak yang secara fisiologik
tidak vital bagi kehidupan invidual tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu
jenis atau bangsa ternak. Mengetahui mekanisme reproduksi dan cara pengaturannya
merupakan hal yang penting untuk meningkatkan produksi peternakan.
Kelayakan dari seekor ternak dalam hal ini ternak betina dalam suatu usaha
peternakan dapat dilihat dari kemampuannya menghasilkan anak yang hidup dan sehat.
Kemampuan ini sangat tergantung pada keseimbangan dan interaksi beberapa faktor
selama periode kebuntingan, baik yang berasal dari induk maupun dari embrio yang
dikandung. Kebuntingan dimulai sejak bersatunya sel kelamin jantan (spermatozoa) dan
sel kelamin betina (ovum) menjadi sel baru yang dikenal dengan istilah zigot.
Secara garis besar, perkembangan janin pada seekor sapi betina melalui tiga
tahap yaitu periode ovum, embrio, fetus sampai partus atau kelahiran. Periode ovum
merupakan periode yang dimulai dari fertilisasi sampai terjadinya implantasi. Setelah
fertilisasi ovum akan mengalami pembelahan (di ampulla isthmus junction) menjadi
morulla. Pada sapi masuknya morula ke dalam uterus terjadi pada hari ke 3-4 setelah
fertilisasi. Periode embrio atau organogenesis merupakan suatu periode ketika sel-sel
berada dalam proses pembentukan organ-organ spesifik dalam tubuh embrio, periode
dimulainya implantasi sampai saat dimulainya pembentukan organ tubuh bagian dalam.
Pada sapi berkisar hari ke 12-45. Sedangkan periode fetus dimulai dari terbentuknya alat-
alat tubuh bagian dalam, terbentuknya ekstremitas, hingga lahir, pada sapi terjadi pada
hari ke 45.
Embrio dan fetus berkembang mengikuti suatu pola tertentu. Pada awalnya,
jumlah sel meningkat diikuti oleh diferensiasi dan perkembangan berbagai sistem organ.
Walaupun demikian, pola perkembangan tersebut dapat dipengaruhi oleh sejumlah
faktor seperti potensi genetika dari tetua, status nutrisi induk, temperatur lingkungan,
ukuran induk, jumlah anak per kelahiran serta lingkungan uterus.

B. Maksud dan Tujuan


Agar peternak-peternak yang ada di Indonesia ini lebih meningkatkan
kemampuannya dalam ilmu reproduksi ternak sehingga dapat menghasilkan ternak
berkualitas unggul dan dapat mengelola peternakan yang dapat Meningkatkan
Produktivitas Ternak dan menghasilkan kualitas daging maupun susu yang baik.
C. Manfaat
Agar dapat mengetahui dan memahami peranan ilmu reproduksi ternak dalam
meningkatkan usaha peternakan.
BAB II
PERANAN ILMU REPRODUKSI DALAM USAHA PETERNAKAN
Peternakan merupakan sektor yang memiliki peluang sangat besar untuk
dikembangkan sebagai usaha di masa depan. Kebutuhan masyarakat akan produk-
produk peternakan akan semakin meningkat setiap tahunnya. Peternakan sebagai
penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi guna meningkatkan kualitas hidup. Demand
terhadap produk hasil ternak dan olahannya di Indonesia sangat lah tinggi tetapi
kemampuan produksi domestik sangatlah rendah. Banyak peternak di Indonesia masih
sangat tradisional, dan metode yang di gunakan hanyalah metode empiris.
Pembangunan peternakan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat dan swasta. Pemerintah menyelenggarakan
pengaturan,pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan produk
peternakan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam dan
merata. Sedang swasta dan masyarakat memiliki kesempatan untuk berpera seluas-
luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan, dapat berupa melaksanakan
produksi, perdagangan dan distribusi produk ternak. Banyak kendala dalam
Industrialisasi dan pembangunan sektor peternakan di Indonesia, kualitas genetik,
kontrol pemerintah, pengetahuan peternak, pakan, distribusi dan permodalan menjadi
diantaranya. Ilmu reproduksi akan sangat berguna di peternakan.
Salah satu syarat industrialisasi dalam suatu usaha peternakan ialah dapat
menduplikasi ternak sebanyak-banyaknya dan mengoptimalkan produksi pada ternak
dengan jumlah massive. Teknologi dan peralatan yang diaplikasikan secara intensif akan
membantu proses ini, pada usaha peternakan sapi perah contohnya, Program
penyamaan Estrus akan dapat mengontrol jumlah produksi sapi dan susu, Program
Inseminasi Buatan akan mempermudah kebuntingan sapi dan kualitas turunannya dapat
terjaga. Tanpa teknologi Reproduksi, industrialisasi peternakan tidak akan dapat berjalan
dengan baik. Oleh karena itu untuk memajukan sektor peternakan di indonesia salah satu
syarat wajib nya adalah memajukan keilmuan reproduksi ternak tersebut.

A. Defenisi Periode Ovum pada Sapi


Periode ovum adalah periode awal kebuntingan atau periode blastula yaitu
dimulai dari fertilisaasi sampai terjadi implantasi. Segera setelah terjadi fertilisasi, ovum
yang dibuahi akan mengalami pembelahan di ampullary–isthnic junction menjadi morula.
Pada sapi, masuknya morula ke dalam uterus terjadi pada hari ke 3-4 setelah fertilisasi.
Setelah hari ke 8, blastosit mengalami pembesaran secara pesat. Lama periode ini pada
sapi sampai 12 hari. Pada periode ini, embrio yang defektif akan mati dan diserap oleh
uterus. Periode ovum berlangsung 10 sampai 12 hari sejak fertilisasi yang biasanya
terjadi beberapa jam sesudah ovulasi sampai pembentukan membran zigot didalam
uterus (Toelihere, 1985).
Selang 4 hari setelah ovum mulai dibuahi zygote melewati tubae falopi menuju ke
uterus dimana akan bergerak bebas melayang selama 8-9 hari masa bunting tahap
pertama ini disebut dengan periode ovum. Zygot berkembang dari menjadi beberapa sel
sampai memebentuk semacam bola yang berlubang yang disebut dengan blastula.
B. Tahap-tahap Periode Ovum

1. Fertilisasi
Fertilisasi adalah suatu peristiwa penyatuan antara sel sperma dengan sel telur
di tuba falopi. Pada saat kopulasi antara jantan dan betina dengan ejakulasi sperma dari
saluran reproduksi jantan di dalam vagina betina, akan dilepaskan cairan sperma yang
berisi sel–sel sperma ke dalam saluran reproduksi betina. Jika kopulasi terjadi dalam
sekitar masa ovulasi, maka ada kemungkinan sel sperma dalam saluran reproduksi
betina akan bertemu dengan sel telur betina yang baru dikeluarkan pada saat ovulasi.
Dalam keadaan normal in vivo, pembuahan terjadi di daerah tuba falopi, umumnya di
daerah ampula atau infundibulum.
Tahapan-tahapan yang terjadi pada fertilisasi adalah sebagai berikut :
a. Kapasitasi spermatozoa dan pematangan spermatozoa
Kapasitasi spermatozoa merupakan tahapan awal sebelum fertilisasi. Sperma
yang dikeluarkan dalam tubuh (fresh ejaculate) belum dapat dikatakan fertil atau dapat
membuahi ovum apabila belum terjadi proses kapasitasi. Proses ini ditandai pula dengan
adanya perubahan protein pada seminal plasma, reorganisasi lipid dan protein membran
plasma, Influx Ca, AMP meningkat, dan pH intrasel menurun.
Dari 60 – 100 juta sperma yang diejakulasikan ke dalam vagina pada saat ovulasi,
beberapa juta berhasil menerobos saluran heliks di dalam mucus serviks dan mencapai
rongga uterus beberapa ratus sperma dapat melewati pintu masuk tuba falopi yang
sempit dan beberapa diantaranya dapat bertahan hidup sampai mencapai ovum di ujung
fimbrae tuba fallopii. Hal ini disebabkan karena selama beberapa jam, protein plasma
dan likoprotein diluruhkan.
b. Perlekatan spermatozoa dengan zona pelucida
Zona pelucida merupakan zona terluar dalam ovum. Syarat agar sperma dapat
menempel pada zona pelucida adalah jumlah kromosom harus sama, baik sperma
maupun ovum, karena hal ini menunjukkan salah satu ciri apabila keduanya adalah
individu yang sejenis. Perlekatan sperma dan ovum dipengaruhi adanya reseptor pada
sperma yaitu berupa protein. Sementara itu suatu glikoprotein pada zona pelucida
berfungsi seperti reseptor sperma yaitu menstimulasi fusi membran plasma dengan
membran akrosom (kepala anterior sperma) luar. Sehingga terjadi interaksi antara
reseptor dan ligand. Hal ini terjadi pada spesies yang spesifik.
c. Reaksi akrosom
Setelah reaksi kapasitasi, sperma mengalami reaksi akrosom, terjadi setelah
sperma dekat dengan oosit. Sel sperma yang telah menjalani kapasitasi akan
terpengaruh oleh zat – zat dari korona radiata ovum, sehingga isi akrosom dari daerah
kepala sperma akan terlepas dan berkontak dengan lapisan korona radiata. Pada saat
ini dilepaskan hialuronidase yang dapat melarutkan korona radiata, trypsine – like agent
dan lysine – zone yang dapat melarutkan dan membantu sperma melewati zona pelusida
untuk mencapai ovum. Hanya satu sperma yang memiliki kemampuan untuk membuahi,
karena sperma tersebut memiliki konsentrasi DNA yang tinggi di nukleusnya, dan
kaputnya lebih mudah menembus karena diduga dapat melepaskan hialuronidase. Sekali
sebuah spermatozoa menyentuh zona pelusida, terjadi perlekatan yang kuat dan
penembusan yang sangat cepat. Setelah itu terjadi reaksi khusus di zona pelusida (zone
reaction) yang bertujuan mencegah terjadinya penembusan lagi oleh sperma lainnya.
Dengan demikian, sangat jarang sekali terjadi penembusan zona oleh lebih dari satu
sperma.
Reaksi tersebut terjadi sebelum sperma masuk ke dalam ovum. Reaksi akrosom
terjadi pada pangkal akrosom, karena pada lisosom anterior kepala sperma terdapat
enzim digesti yang berfungsi penetrasi zona pelucida. Mekanismenya adalah reseptor
pada sperma akan membuat lisosom dan inti keluar sehingga akan merusak zona
pelucida. Reaksi tersebut menjadikan akrosom sperma hilang sehingga fusi sperma dan
zona pelucida sukses.
d. Penetrasi zona pelucida
Setelah reaksi akrosom, proses selanjutnya adalah penetrasi zona pelucida yaitu
proses dimana sperma menembus zona pelucida. Hal ini ditandai dengan adanya
jembatan dan membentuk protein actin, kemudian inti sperma dapat masuk. Hal yang
mempengaruhi keberhasilan proses ini adalah kekuatan ekor sperma (motilitas), dan
kombinasi enzim akrosomal.
e. Bertemunya sperma dan oosit
Apabila sperma telah berhasil menembus zona pelucida, sperma akan
menenempel pada membran oosit. Penempelan ini terjadi pada bagian posterior (post-
acrosomal) di kepala sperma yang mnegandung actin. Molekul sperma yang berperan
dalam proses tersebut adalah berupa glikoprotein, yang terdiri dari protein fertelin. Protein
tersebut berfungsi untuk mengikat membran plasma oosit (membran fitelin), sehingga
akan menginduksi terjadinya fusi.
f. Aktivasi ovum sebelum sperma bertemu oosit
Ovum pada kondisi metafase sebelum bertemu dengan sperma harus diaktifkan
terlebih dahulu. Faktor yang berpengaruh karena adanya aktivasi ovum adalah
konsentrasi Ca, kelengkapan meiosis II, dan Cortical Reaction, yaitu reaksi yang terjadi
pada ovum, eksosotosis, dan granula pendek setelah fusi antara sperma dan oosit. Pada
saat sperma mencapai oosit, terjadi:
1. Reaksi zona / reaksi kortikal pada selaput zona pelusida
2. Oosit menyelesaikan pembelahan miosis keduanya, menghasilkan oosit definitif yang
kemudian menjadi pronukleus betina
3. Inti sperma membesar membentuk pronukleus jantan
4. Ekor sel sperma terlepas dan berdegenerasi
5. Pronukleus pria dan wanita. Masing – masing haploid, bersatu dan membentuk zygot
yang memiliki jumlah DNA genap atau diploid.
g. Reaksi Zona untuk Menghadapi Sperma yang Masuk Setelah Penetrasi
Reaksi ini dikatalisis oleh protease yaitu mengubah struktur zona pelucida supaya
dapat memblok sperma. Protein protease akan membuat zona pelucida mengeras dan
menghambat sperma lain yang masuk zona pelucida. Melalui proses inilah ovum
menyeleksi sperma dan hanya satu sperma yang masuk dalam ovum. Sehingga apabila
sudah ada satu sperma yang masuk, dengan sendirinya ovum akan memblok sperma
lain yang ingin masuk dalam ovum. Akan tetapi apabila ovum tidak dapat memblok
sperma lain yang masuk, maka sperma yang masuk akan lebih dari satu. Hal ini
menyebabkan rusaknya reseptor sperma dan kondisinya menjadi toxic sehingga akan
terjadi gagal embrio. Keadaan seperti ini dinamakan Polyspermy. Sperma dan ovum
akhirnya berfusi dan fertilisasi terjadi. Akhir dari fertilisasi akan terbuntuk suatu zigot,
embrio, kemudian individu baru.
h. Proses fertilisasi
Spermatozoa bergerak cepat dari vagina ke dalam rahim, masuk ke dalam tuba.
Gerakan ini mungkin dipengaruhi juga oleh peranan kontaksi miometrium dan dinding
tuba yang juga terjadi saat kopulasi. Ovum yang dikeluarkan oleh ovarium, ditangkap
oleh fimbrae dengan umbai pada ujung proksimalnya dan dibawa ke dalam tuba falopii.
Ovum yang dikelilingi oleh perivitelina, diselubungi oleh bahan opak setebal 5–10 μm,
yang disebut zona pelusida. Sekali ovum sudah dikeluarkan, folikel akan mengempis dan
berubah menjadi kuning, membentuk korpus luteum. Sekarang ovum siap dibuahi apabila
sperma mencapainya. Setelah fertilisasi zigot membagi diri sesuai waktu tanpa ada
perubahan signifikan.

2. Pembelahan awal (Cleveage)


Pembelahan atau cleveage terjadi sesaat setelah fertilisasi. Zigot membelah
berulang kali sampai terdiri dari berpuluh-puluh sel kecil yang disebut blastomer.
Pembelahan dapat meliputi sebagian atau hanya sebagian kecil dari zygote pembelah
tersebut melalui pembelahan mitosis, sering juga diikuti pembelahan inti tanpa diikuti
pembelahan sitoplasma.
Zigot mulai menjalani pembelahan awal mitosis sampai beberapa kali. Sel-sel
yang dihasilkan dari setiap pembelahan berukuran lebih kecil dari ukuran induknya yang
disebut blastomer. Sesudah 3-4 kali pembelahan, zigot memasuki tingkat 16 sel, disebut
stadium morula (kira – kira pada hari ke 3 sampai ke 4 pasca fertilisasi). Morula terdiri
dari inner cell mass (kumpulan sel – sel di sebelah dalam, yang akan tumbuh menjadi
jaringan – jaringan embrio sampai janin) dan outer cell mass (lapisan sel di sebelah luar,
yang akan tumbuh menjadi trofoblast sampai plasenta). Kira – kira pada hari ke 5 sampai
ke 6, di rongga sela – sela inner cell mass merembes cairan menembus zona pelusida,
membentuk ruang antar sel. Ruang antar sel ini kemudian bersatu dan memenuhi
sebagian besar massa zigot membentuk rongga blastokista.
Inner cell mass tetap berkumpul di salah satu sisi, tetap berbatasan dengan
lapisan sel luar. Pada stadium ini disebut embrioblas dan outer cell mass disebut
trofoblas. Ovum sapi yang telah dibuahi ditemukan di bagian hulu tuba falopi 18 jam
sesudah ovulasi. Sejak itu pembelahan sel terjadi dengan cepat sekali. Zygote yang
terdiri 2 sel ditemukan sesudah 30-40 jam. Zygote dengan 6 sel ditemukan sesudah 42
jam dan 8 sel sesudah 44 jam. Kesemuanya ditemukan di tuba falopi. Setelah 90 jam
zygote berisi 16 sel didalam cornu uteri. Zygote yang berisi 32 sel ditemukan di uterus
sesudah 114 jam. Sehingga zygote berbentuk moorulla dapat ditemukan dicapai dalam
usia kebuntingan 130-140 jam.

3. Implantasi

Implantasi adalah suatu proses melekatnya blastosis ke endometrium uterus


diawali dengan menempelnya embrio pada permukaan epitel endometrium, menembus
lapisan epitelium selanjutnya membuat hubungan dengan sistem sirukulasi induk. Fetus
akan mendapatkan nutrisi melalui plasenta. Embrio dilindungi oleh selaput-selaput yaitu:
1. Amnion yaitu selaput yang berhubungan langsung dengan embrio dan menghasilkan
cairan ketuban. Berfungsi untuk melindungi embrio dari guncangan.
2. Korion yaitu selaput yang terdapat diluar amnion dan membentuk jonjot yang
menghubungkan dengan dinding utama uterus. Bagian dalamnya terdapat pembuluh
darah.
3. Alantois yaitu selaput terdapat di tali pusat dengan jaringan epithel menghilang dan
pembuluh darah tetap. Berfungsi sebagai pengatur sirkulasi embrio dengan plasenta,
mengangkut sari makanan dan O2, termasuk zat sisa dan CO2.
4. Sacus vitelinus yaitu selaput yang terletak diantara plasenta dan amnion. Merupakan
tempat munculnya pembuluhdarah yang pertama.
Implantasi mulai terjadi pada hari ke 5-8 setelah pembuahan dan selesai pada
hari ke 9-10. Dinding blastosis merupakan lapisan luar dari selaput yang membungkus
embrio (korion). Lapisan dalam (amnion) mulai dibuat pada hari ke 10-12 dan membentuk
kantung amnion. Kantung amnion berisi cairan jernih (cairan amnion) dan akan
mengembang untuk membungkus embrio yang sedang tumbuh, yang mengapung di
dalamnya. Tonjolan kecil (vili) dari plasenta yang sedang tumbuh, memanjang ke dalam
dinding rahim dan membentuk percabangan seperti susunan pohon. Susunan ini
menyebabkan penambahan luas daerah kontak antara induk dan plasenta, sehingga zat
gizi dari induk lebih banyak yang sampai ke fetus dan limbah lebih banyak dibuang dari
fetus ke induk. Pembentukan plasenta yang sempurna biasanya selesai pada minggu ke
18-20, tetapi plasenta akan terus tumbuh selama kebuntingan.
Pada akhir minggu pertama ( hari ke 5 sampai ke 7 ) zygot mencapai cavum uteri.
Pada saat itu uterus sedang berada dalam fase sekresi lendir dibawah pengaruh
progesteron dari korpus luteum yang masih aktif. Sehingga lapisan endometrium dinding
rahim menjadi kaya pembuluh darah dan banyak muara kelenjar selaput lendir rahim
yang terbuka dan aktif. Kontak antara zigot stadium blastokista dengan dinding rahim
pada keadaan tersebut akan mencetuskan berbagai reaksi seluler, sehingga sel-sel
trofoblast zigot tersebut akan menempel dan mengadakan infiltrasi pada lapisan epitel
endometrium uterus ( terjadi implantasi). Setelah implantasi, sel-sel trofoblas yang
tertanam di dalam endometrium terus berkembang membentuk jaringan bersama dengan
system pembuluh darah maternal untuk menjadi plasenta, yang kemudian berfungsi
sebagai sumber nutrisi dan oksigenasi bagi jaringan embrioblas yang akan tumbuh
menjadi janin. Di bawah ini terdapat gambar proses perkembangan dan perjalanan ovum
dari ovarium sampai kavum uteri.
Implantasi pada mamalia biasanya uterus membentuk suatu reaksi decidua
sebagai respon. Di dalam kejadian ini stroma endometrium, sel fibroblastik
ditransformasikan ke dalam bentuk sel decidua khusus. Sel ini ditandai dengan
penonjolan epithelloid, kehadiran imti poliploid, akumulasi glikogen dan lipid di dalam
sitoplasma, pembentukan banyak lisosom dan terjadi kontak antara sel dengan suatu
hubungan yang kompleks. stroma endometrium ini akan menjadi edemtus sebab terjadi
vasodilatasi dan penambahan permiabilitas pembuluh kapiler, peningkatan mitosis dan
kegiatan metabolisme.
Menurut Partodihardjo (1980), implantasi berlangsung secara bertahap. Tahap-
tahap ini adalah tahap persentuhan embrio dengan endometrium, terlepasnya zona
pelusida, pergeseranatau pembagian tempat dan yang terakhir ada1ah pertautan antara
trofoblas dengan epitel endometrium. Tahap pelepasan zona pelusida adalah penting
karena zona pe1usida merupaluran suatu penghalang untuk imp1antasi. Terlepasnya
zona pelusida ada1ah sebagai aktivitas dari enzim proteolitik dari airan uterus. Pelepasan
zona pelusida terjadi sebelum trofoblas melekat pada endometrium.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai


berikut :
1. Periode ovum adalah periode awal kebuntingan atau periode blastula yaitu dimulai dari
fertilisaasi sampai terjadi implantasi. Segera setelah terjadi fertilisasi, ovum yang dibuahi
akan mengalami pembelahan di ampullary–isthnic junction menjadi morula.
2. Tahap-tahap periode ovum yaitu berawal dari fertilisasi, pembelahan sel atau cleveage
hingga terjadinya implantasi.

B. Saran

Saran yang dapat diajukan dalam makalah ini apabila ada kesalahan baik dari
penulisan maupun isi dari makalah ini sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak demi untuk kesempurnaan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous,2011.IlmuTernakUnggasReproduksifile:///C:/Users/ACER/Downloads/
muTernak%20UnggasReproduksi.htm. Diakses pada Tanggal 29 April 2012
[08.00].

Lewis F. Abbott, Theories Of Industrial Modernization & Enterprise Development: A


Review, ISM/Google Books, revised 2nd edition, 2003.

http://www.environment.tn.nic.in/SoE/images/Industrialisation.pdf (diakses 10-10-2016)

Manger, Louis N. A History of the Life Sciences, M. Dekker, New York, Basel 2002.

"Animal husbandry". Encyclopaedia Brittanica. Retrieved 5 June 2013.Jarman, M.R.;


Grahame Clark, Caroline Grigson, H.P. Uerpmann, M.L Ryder (1976). "Early
Animal Husbandry". The Royal Society 275 (936): 85

97. doi:10.1098/rstb.1976.0072

You might also like