You are on page 1of 7

Grace_cst@yahoo.

com

medicinesia.com

Preeklampsia dan Eklampsia, Komplikasi


Berbahaya pada Kehamilan
Medicinesia

Artikel ini sudah dibaca 181451 kali!

Disusun oleh Johny Bayu Fitantra, S.Ked

Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu dari kelainan tekanan darah tinggi yang
terjadi pada kehamilan. Menurut National High Blood Pressure Education Program, kelainan
hipertensi yang menjadi komplikasi pada kehamilan dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu
hipertensi gestasional (hipertensi pada kehamilan), sindrom preeklampsia dan eklampsia,
sindrom preeclampsia pada hipertensi kronis dan hipertensi kronis. Angka kejadian dari
kelainan-kelainan tersebut cukup tinggi, mencapai 5-10% dari kehamilan. Hal ini patut kita
waspadai karena kelainan hipertensi tersebut merupakan salah satu dari triad kematian bersama
dengan perdarahan dan infeksi. Preeklampsia dan eklampsia menjadi yang paling berbahaya.

Mengenali dan Mendiagnosis Preeklampsia


Terdapat beberapa hal yang dapat membantu kita untuk membedakan jenis-jenis hipertensi
tersebut. Seseorang dapat kita curigai mengalami hipertensi sebagai komplikasi kehamilan
apabila usia kehamilannya sudah mencapai 20 minggu atau lebih. Selanjutnya kita juga
semestinya bisa mendapatkan riwayat adanya hipertensi pada saat sebelum hamil atau setidaknya
sebelum usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Jika sebelumnya seseorang sudah mengalami
hipertensi, kita dapat menyingkirkan diagnosis sindrom preeklampsia dan hipertensi gestational.
Namun, tetap ada kemungkinan seseorang mengalami sindrom preeklampsia dan eklampsia
bersamaan dengan hipertensi kronis.

Tingginya tekanan darah kurang lebih sama dengan kriteria penentuan tekanan darah pada orang
yang tidak hamil, yaitu ≥140 mmHg tekanan sistol atau ≥90 mmHg tekanan diastol. Pada
seorang wanita hamil yang mengalami hipertensi padahal sebelum minggu ke-20 kehamilan
tidak memiliki tekanan darah tinggi, yang perlu kita perhatikan berikutnya adalah kadar protein
dalam darah. Jika tidak ada protein dalam darah (tidak ada proteinuria), kita dapat mengarahkan
kecurigaan pada hipertensi gestasional. Sedangkan jika sampai terjadi proteinuria, kita dapat
menyimpulkannya sebagai suatu preeklampsia. Proteinuria tersebut didefinisikan sebagai adanya
kandungan protein ≥300 mg/24 jam pada urin atau +1 pada penggunaan dipstick. Baik pada
hipertensi gestasional maupun preeklampsia, tekanan darah akan kembali normal paling lambat
12 minggu pasca persalinan. Oleh karena itu, jika tidak mengetahui riwayat hipertensi
sebelumnya, diagnosis akhir dari hipertensi gestasional dapat kita lakukan pasca persalinan untuk
dapat membedakan dengan hipertensi kronis. Orang dengan hipertensi gestasional juga dapat
mengalami gejala-gejala seperti pada preeklampsia, yaitu rasa tidak enak pada epigstrium atau
perut bagian atas dan trombositopenia atau turunnya kadar trombosit dalam darah.

Meskipun kriteria minimum dari preeklampsia sebagai mana dijelaskan di atas adalah adanya
tekanan darah sistol ≥140 mmHg atau diastol ≥90 mmHg, serta proteinuria, tetap diperlukan
beberapa temuan lain untuk menguatkan diagnosis kita, antara lain adalah:

 Tekanan darah ≥160/110 mmHg


 Proteinuria 2 gr/24 jam atau dipstick +2
 Kreatinin serum >1,2 mg/dL
 Platelet <100.000/uL
 Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
 Peningkatan kadar serum transaminase (ALT atau AST),
 Sakit kepala persisten atau kelainan serebri atau penglihatan
 Nyeri epigastrium persisten

Sementara itu, eklampsia dapat ditegakan apabila seorang wanita hamil yang mengalami
preeklampsia juga kemudian mengalami kejang tanpa ada sebab lainnya. Kejang tersebut dapat
terjadi pada saat sebelum, selama dan setelah persalinan. Wanita yang mengalami preeklampsia
dan eklampsia seringkali mengalam edema terutama pada kaki sehingga dulu edema dimasukan
sebagai salah satu kriterianya. Hanya saja, edema terlalu umum dan terlalu sering muncul pada
kehamilan sehingga kriteria edema tidak lagi digunakan.

Jika seorang wanita sudah memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, kita dapat mengarahkan
kecurigaan pada kasus preeklampsia superimposed pada hipertensi kronis (superimposed
preeclampsia on chronic hypertension) maupun hipertensi kronis. Superimposed preeclampsia
memiliki kriteria yang kurang lebih sama dengan kasus preeklampsia yaitu tekanan darah tinggi
dan proteinuria. Yang membedakan adalah adanya riwayat hipertensi kronis sebelumnya atau
tidak. Jika seseorang mengalami hipertensi dan proteinuria sejak sebelum minggu ke-20
kehamilan, superimposed preeklampsia dapat ditegakan apabila terjadi peningkatan mendadak
pada kadar protein dalam urin atau tekanan darah atau hitung platelet kurang dari 100.000/uL.
Sementara itu, hipertensi kronis dapat didiagnosis apabila tekanan darah di atas normal sejak
sebelum kehamilan atau didiagnosis hipertensi sebelum minggu 20 kehamilan tanpa adanya
kaitan dengan kelainan penyakit tropoblastik gestasional. Sementara itu, jika kita menemukan
kasusnya setelah lewat 20 minggu kehamilan dan tidak menemukan adanya proteinuria,
hipertensi kronis dapat didiagnosis setelah 12 minggu persalinan yang ditandai dengan tidak
adanya penurunan tekanan darah menuju normal dengan diagnosis banding berupa hipertensi
gestasional.

Patogenesis Preeklampsia, Mengapa Preeklampsia Terjadi?


Invasi Tropoblas yang Buruk pada Preeklampsia

Pada awal kehamilan atau trimester pertama dan kedua kehamilan, preeklampsia memang
seringkali bersifat asimptomatik. Namun, pada saat itu sudah terjadi plasentasi yang buruk.
Selanjutnya, adanya gangguan perdarahan pada plasenta dapat menyebabkan janin kekurangan
oksigen dan nutrisi hingga terjadi gangguan pertumbuhan janin. Jadi, meskipun tanda dan gejala
dari preeklampsia baru muncul pada usia kehamilan di atas 20 minggu, sebenarnya perjalanan
penyakitnya sudah dimulai jauh lebih awal. Oleh karena itu, tindakan pencegahannya memang
semestinya dilakukan dari awal kehamilan.

Preeklampsia merupakan two stage disorder. Awal mula terjadinya preeklampsia sebenarnya
sejak masa awal terbentuknya plasenta. Saat itu, terjadi invasi tropoblastik yang abnormal.
Semestinya, pada kondisi normal, terjadi remodeling arteriol spiralis uterin pada saat diinvasi
oleh tropoblas endovaskular. Sel-sel tersebut menggantikan endotel pembuluh darah dan garis
otot sehingga diameter pembuluh darah membesar. Vena diinvasi secara superfisial. Sementara
itu, pada preeklampsia terjadi invasi tropoblas yang tidak lengkap. Invasi terjadi secara dangkal
terbatas pada pembuluh darah desidua tetapi tidak mencapai pembuluh darah miometrium.
Padahal normalnya, invasi tropoblas mencapai miometrium. Pada preeklampisa, arteriol pada
miometrium hanya memiliki diameter berukuran setengah lebih kecil dari yang plasentanya
normal. Ditambah lagi, pada awal preeklampsia, terdapat juga kerusakan endotel, insudasi dari
plasma ke dinding pembuluh darah, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis medial. Lipid dapat
terkumpul pada sel miointimal dan di dalam makrofag. Akibat dari gangguan pembuluh darah
tersebut, terjadi peningkatan tekanan darah serta kurangnya pasokan oksigen dan nutrisi ke
plasenta. Kondisi iskemia tersebut membuat plasenta mengeluarkan faktor-faktor tertentu yang
dapat memicu inflamasi secara sistemik.

Ada beberapa kondisi utama yang terjadi pada kasus preeklampsia, yaitu vasospasme, aktivasi
sel endotelial, peningkatan respon pressor.Juga, terdapat perubahan pada kondisi endotelin dan
protein angiogenik serta antiangiogenik. Proses inflamasi yang terjadi secara sistemik memicu
terjadinya vasospasme. Konstriksi pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi
sehingga tekanan darah meningkat. Kerusakan pada sel endotel pembuluh darah juga
menyebabkan kebocoran interstitial sehingga platelet dan fibrinogen terdeposit pada subendotel.
Pada kondisi tersebut, seorang wanita yang preeklampsi akan mengalami gangguan distribusi
darah, iskemia pada jaringan di sekelilingnya hingga mengakibatkan kematian sel, perdarahan,
dan gangguan organ lainnya.

Sel endotel penderita preeklampsia tidak memiliki kemampuan yang baik dalam melepaskan
suatu senyawa pemicu vasodilatasi, yaitu nitrit oksida. Selain itu, endotel tersebut juga
menghasilkan senyawa pencetus koagulasi serta mengalami peningkatan sensitifitas terhadap
vasopresor. Pada preeklampsia, produksi prostasiklin endotelial (PGI2) berkurang disertai
peningkatan produksi tromboksan oleh platelet. Dengan begitu, rasio perbandingan dari
prostasiklin : tromboksan berkurang. Hasil akhir dari semua kejadian tersebut adalah pembuluh
darah menyempit, tekanan darah naik, cairan keluar dari ruang pembuluh darah. Jadi, meskipun
pasien mengalami edema atau bengkak oleh cairan, sebenarnya dia mengalami kondisi
kekurangan cairan di pembuluh darahnya.

Senyawa lain yang meningkat pada preeklampsia adalah endotelin. Endotelin merupakan suatu
asam amino yang bersifat vasokonstriktor poten yang memang dihasilkan oleh endotel manusia.
Peningkatan senyawa ini terjadi karena proses aktivasi endotel secara sistemik, bukan dihasilkan
dari plasenta yang bermasalah. Pemberian mangnesium sulfat pada wanita preeklampsi diteliti
mampu menurunkan kadar endotelin-1 tersebut.

Pada penyempurnaan plasenta, terdapat pengaturan tertentu pada protein angiogenik dan
antiangiogenik. Proses pembentukan pembuluh darah plasenta itu sendiri mulai ada sejak hari 21
sejak konsepsi. Adanya ketidakseimbangan angiogenik pada preeklampsia terjadi karena terdapat
produksi faktor antiangiogenik yang berlebihan. Hal ini memperburuk kondisi hipoksia pada
permukaan uteroplasenta.

Patofisiologi Preeklampsia, Apa yang Terjadi pada Tubuh?


Terdapat beberapa gangguan berat pada fungsi kardiovaskular terutama terkait dengan
peningkatan afterload karena adanya hipertensi, aktivasi endotelial dengan ekstravasasi cairan
intravaskular terutama paru. Ventrikel kiri jantung juga dapat membesar.

Pada wanita normal, saat beberapa minggu terakhir usia kehamilan, volume darah dapat
mencapai 5000 mL dibandingkan dengan 3500 mL pada orang tidak hamil. Namun, jika terjadi
eklampsia, tambahan 1500 mL tersebut menjadi tidak ada. Hemokonsentrasi tersebut terkait
dengan vasokonstriksi menyeluruh akibat aktivasi endotel ditambah kebocoran plasma ke ruang
interstitial karena adanya peningkatan permeabilitas. Namun, pada preeklampsia, bisa saja tidak
terjadi penurunan volume darah tersebut sesuai dengan derajat keparahannya. Jika hanya
hipertensi gestasional, volume darah biasanya normal. Wanita dengan eklampsia memiliki
sensitivitas yang rendah terhadap terapi cairan yang agesif sebagai upaya meningkatkan volume
darah sesuai kadar pada kehamilan normal. Juga, penderita preeklampsia akan lebih sensitif
terhadap kehilangan darah, seperti pada saat persalinan dibanding wanita normal.

Trombositopenia merupakan temuan yang umum dijumpai pada preeklampsia. Perubahan lain
dapat berupa penurunan faktor-faktor pembekuan dari plasma, serta perubahan bentuk eritrosit
dan hemolisis. Hemolisis dapat dipastikan dengan adanya peningkatan kadar laktat
dehidrogenase. Hemolisis, peningkatan enzim hati serum dan penurunan platelet menjadi
manifestasi dari sindrom HELLP.

Secara endokrinologi, kadar renin, angiotensin II, angiotensi 1-7 dan aldosteron pada wanita
hamil normal, umumnya meningkat. Sementara itu, pada preeklampsia, kadarnya lebih rendah
meski masih di atas orang tidak hamil.

Aliran darah ginjal dan GFR wanita hamil semestinya meningkat. Sementara pada preeklampsia
justru menurun karena perubahan reversibel secara anatomis dan perubahan patofisiologis.
Perubahan secara anatomis dapat berupa pembesaran glomerulus hingga 20% yang bersifat
kurang pendarahan, serta lengkung kapiler yang berdilatasi dan berkontraksi. Sel endotel
membengkak (glomerular capillary endotheliosis). Endotel yang membengkak ini seringkali
menyebabkan sumbatan pada lumen kapiler. Juga, terdapat deposit protein dan material seperti
fibrin pada subendotel. Penurunan GFR tersebut. juga terkait dengan penurunan volume plasma.
Namun, penurunannya biasanya tidak sampai lebih rendah dari wanita yang tidak hamil. Lebih
jauh lagi, preeklampsia juga dapat menyebabkan acute tubular necrosis. Sementara itu, kadar
sodium urine dan asam urat plasma meningkat.

Preeklampsia secara sistemik juga dapat menyebabkan gangguan pada hati berupa perdarahan
serta efek-efek peningkatan tekanan darah yang berlebih, termasuk pada otak. Gejala-gejala
seperti sakit kepala, skotomata, kejang, kebutaan hingga edema serebri yang luas menjadi efek
berbahaya yang mungkin terjadi.

Penalataksanaan Preeklampsia dan Eklampsia, Bagaimana


Menanganinya?
Preeklampsia

Pada preeklampsia yang ringan, yang penting untuk dilakukan adalah banyak istirahat seperti
berbaring dan tidur miring. Makan-makanan yang bergizi, terutama yang tinggi protein dan
rendah lemak. Jika diperlukan, dapat diberikan penenang seperti diazepam 3×2 mg atau
phenobarbital 3×30 mg. Kondisi pasien sebaiknya dievaluasi setidaknya setiap minggu.

Jika kehamilan masih belum mencapai 37 minggu, dilakukan pengontrolan terhadap tekanan
darah terlebih dahulu. Persalinan akan ditunggu hingga aterm apabila tekanan darah terkontrol
dengan baik. Namun, jika tekanan darah tetap tidak terkontrol, dapat dipertimbangkan untuk
melakukan persalinan pada usia kehamilan 37 minggu. Sementara itu, jika usia kehamilan sudah
lebih dari 37 minggu, ditunggu persalinan spontan. Induksi dapat dipertimbangkan apabila sudah
sesuai dengan hari perkiraan lahir.

Untuk preeklampsia berat, terdapat dua kriteria tatalaksana yaitu tatalaksana ekspektatif atau
konservatif dan tatalaksana aktif. Tatalaksana ekspektatif atau konservatif dilakukan apabila usia
kehamilan belum mencapai 37 minggu tanpa adanya gejala impending preeklampsia. Pasien
sebaiknya dirawat inap. Kadar protein urin diperiksa setidaknya dua hari sekali. Pemeriksaan
USG untuk menentukan atau memastikan usia kehamilan, pertumbuhan janin terganggu,
kesejahteraan janin, plasenta dan air ketuban, perlu dilakukan.

Pasien mendapatkan terapi berupa infus ringer laktat atau bisa diganti dengan dekstrosa 5%.
MgSO4 dapat diberikan untuk mencegah atau menangani kejang. Dosis awal diberikan 4 gram
secara IM maupun IV. Pemberian secara IV dilakukan secara bolus pelan dalam 15 menit. Pasien
biasanya akan merasa sedikit panas sehingga kita perlu memberitahukan terlebih dahulu pada
pasien kemungkinan efek tersebut. Selanjutnya dosis dilanjutkan sebesar 1 gram setiap jam
hingga 24 jam pasca pasien selesai persalinan. Antihipertensi dapat dipertimbangkan apabila
tekanan darah >180/110 mmHg. Obat yang rutin diberikan antara lain adalah nifedipin dosis 10
mg. Diuretik hanya diberikan apabila pasien mengalami edema paru, gagal jantung kongestif,
edema anasarka). Jika usia kehamilan sekitar 32-34 minggu, dapat diberikan glukokortikoid
selama 2 hari untuk pematangan paru janin.

Persalinan wanita dengan preeklampsia berat dapat dilakukan secara pervaginam. Jika belum
inpartu dapat ditunggu hingga kehamilan aterm. Jika sudah inpartu, maka proses persalinan dapat
diteruskan. Pasien dapat pulang setelah dirawat selama sekitar 3 hari apabila gejala PEB sudah
reda.

Sementara itu, penatalaksanaan secara aktif/agresif dipertimbangkan apabila terapi


medikamentosa yang diberikan gagal, terdapat tanda dan gejala impending preeklampsia,
gangguan fungsi hati dan ginjal, terdapat kecurigaan akan solusio plasenta dan adanya gejala in
partu, perdarahan maupun ketuban pecah dini.

Kondisi janin juga perlu kita perhatikan, antara lain adalah jika usia kehamilan >37 minggu,
terjadi pertumbuhan janin terganggu (pada pemeriksaan USG), NST non reaktif dan profil
biofisik abnormal, oligohidramnion. Dari pemeriksaan laboratorium, hasil yang mengarahkan
pada trombositopenia progresif yang mengarah pada sindroma HELLP menjadi indikasi
tatalaksana aktif.

Cara persalinan tetap diutamakan pervaginam. Induksi dipertimbangkan jika belum in partu
dengan mempertimbangkan skor bishop >8. Pematangan serviks dapat dilakukan dengan
misoprostol. Induksi ini harus sudah dapat menghasilkan persalinan kala II dalam 24 jam. Jika
tidak, perlu dilakukan SC. Sementara jika pasien sudah inpartu, lakukan pemantauan dengan
partograf. SC dilakukan jika terdapat maternal distress dan fetal distress.

Penatalaksaan Eklampsia
Penatalaksaan eklampsia kurang lebih sama seperti preeklampsia. Hanya saja, pada kondisi ini
kita perlu melakukan manajemen kejang. Dosis MgSO4 diberikan sebagaimana pada
preeklampsia. Jika kejang berulang, dapat diberikan MgSO4 2 gr IV diberikan sekurang-
kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila masih kejang juga, dapat diberikan
amobarbital 3-5 mg/kgBB IV perlahan. Pasien sebaiknya ditempatkan pada ruang isolasi dengan
lampu terang. Posisi tempat tidur tidak boleh terlalu sempit yang mana dapat meningkatkan
resiko jatuh. Posisi pasien diubah dengan kepala lebih tinggi. Kemungkinan adanya aspirasi
harus diperhatikan. Jika perlu dilakukan aspirasi lendir dari orofaring.

Semua pasien yang mengalami eklampsia harus diterminasi kehamilannya, berapa pun usia
kehamilannya. Terminasi dilakukan setelah dilakukan penstabilan kondisi pasien, yaitu sekitar 4-
8 jam setelah pemberian obat anti kejang terakhir atau setelah pasien tidak kejang, atau setelah
pemberian obat-obatan antihipertensi terakhir atau pasien sudah sadar. Jika janin masih hidup,
SC dapat dipertimbangkan.

Referensi dan Bacaan Lebih lanjut

Cunningham FGet all. Williams Obstetrics. 23nd ed. USA: McGraw-Hill Comp. [e-book]

Kurniawati D, Mirzanie H. Obgynacea. Yogyakarta: Tosca Enterprise; 2009

You might also like