You are on page 1of 22

TUGAS REFERAT

COASS STASE MATA

Pembimbing:

dr. Minggaringrum, Sp.M

Disusun Oleh:

Wenna Valentine Puspitasari

(201710401011136)

SMF MATA RS BHAYANGKARA KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kornea dan konjungtiva merupakan bagian paling superfisial dari

mata yang rentan terhadap berbagai macam patogen dari lingkungan. Sel

epitel yang melapisinya membutuhkan perlindungan yang kuat untuk

mencegahnya. Pertahanan tubuh dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk

kedipan, aliran air mata dan kandungan musin. Salah satu penyakit yang

sering mengenai mata adalah konjungtivitis. Konjungtivitis merupakan

suatu peradangan konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi pembuluh

darah sehingga konjungtiva menjadi hiperemi, edema dan dapat disertai

adanya discharge (Azari & Barney, 2013).

Penyakit alergi telah meningkat drastis dalam beberapa dekade lalu.

Alergi okular merupakan kondisi mata yang paling umum ditemui dalam

praktik klinis (Rosa ML, et al 2013). Menurut Ramadhanisa A (2014),

insidensi konjungtivitis di Indonesia saat ini menduduki tempat kedua

(9,7%) dari 10 penyakit mata utama. Konjungtivitis alergi pada umumnya

bersifat self limited tetapi dalam perkembangannya bisa mengakibatkan

kehilangan penglihatan secara permanen atau kerusakan struktural dari

konjungtiva seperti pada atopik keratokonjungtivitis (American Academy

of Ophtalmology, 2013).

Konjungtivitis alergi melibatkan reaksi hipersensitifitas tipe 1

dimana terjadi ikatan silang antara antigen dan imunoglobulin E (IgE)

2
yang memicu aktivasi sel mast dan pelepasan mediator-mediator inflamasi.

Mediator yang turut teraktivasi dalam proses ini adalah sel goblet. Sel

goblet akan memicu produksi musin secara berlebihan yang bertugas

untuk menangkap alergen dan mengeluarkannya dari mata melalui sistem

lakrimal (Dartt DA, et al, 2011).

1.2 Tujuan Referat

Penyusunan referat ini bertujuan untuk membahas mengenai kelainan pada

konjungtiva, yaitu konjungtivitis alergi. Referat ini bertujuan untuk lebih

memahami tentang gambaran klinis, diagnosis dan tatalaksana. Selain itu

juga bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti

kegiatan Kepaniteraan Klinik (Koass) di RSUD Bhayangkara Kediri,

Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Malang.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mata

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Mata

Mata merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh

manusia. Mata dapat dibedakan menjadi tiga lapisan. Lapisan terluar

adalah kornea dan sklera yang masing-masing mempunyai fungsi yang

berbeda. Kornea berfungsi sebagai pelindung mata dari infeksi dan

kerusakan struktural serta membiaskan cahaya ke lensa dan retina. Sklera

merupakan mantel atau pelindung mata agar tetap mempertahankan

bentuknya saat ada tekanan dari internal maupun eksternal. Sklera tertutup

oleh selaput transparan yang disebut dengan konjungtiva. Kornea dan

sklera dihubungkan oleh limbus. (Willoughby CE, 2010).

Lapisan kedua terdiri dari iris, badan siliar dan koroid. Iris

berfungsi dalam pengaturan akomodasi pupil agar cahaya yang masuk

dapat tersampaikan ke retina dengan baik. Badan siliar berfungsi dalam

memproduksi aqueous humor dan terletak antara iris dan koroid (Borges,

AS, 2013). Koroid berfungsi dalam memasok oksigen dan nutrisi ke

bagian luar dan dalam retina. Fungsi lain dari koroid adalah menyerap

cahaya, termoregulasi dengan menghilangkan panas dari mata, dan juga

mengatur tekanan intraokuler dengan mengontrol vasomotor aliran darah

(Nickla, DL, 2010).

4
Lapisan terdalam dari mata adalah retina. Retina merupakan bagian

mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-sel kerucut dan sel

batang. Bila sel batang dan sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan

melalui sel saraf pada retina itu sendiri, ke serabut saraf optikus dan

diinterpretasikan oleh korteks serebri (Guyton,2013).

(Willoughby CE, 2010)


Gambar 2.1
Bentuk Anatomi Mata

2.2 Konjungtiva Manusia

2.2.1 Anatomi

Konjungtiva adalah membran mukus yang tipis yang melapisi

kelopak mata bagian dalam yaitu pada bagian tarsal atau palpebra dan

pada permukaan bola mata okular kita (bulbar). Konjungtiva berfungsi

5
sebagai proteksi dan juga membuat pergerakan mata lebih mudah atau

fleksibel. Konjungtiva palpebral dimulai dari mukokutaneus pada batas

kelopak mata hingga mencapai bagian tarsal. Konjungtiva ini pada bagian

tepi superior dan inferiornya akan melipat kearah posterior membungkus

jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris (Alena F, 2014).

Konjungtiva fornix strukturnya lebih longgar dan berlipat-lipat.

Konjungtiva ini mengandung jaringan lakrimal, duktus dari kelenjar

lakrimal utama dan folikel limfoid. Sementara konjungtiva bulbar melapisi

pada bagian permukaan anterior bola mata dengan struktur yang melekat

longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di limbus.

Sebuah plika semilunaris semacam daging (caruncle) yang merupakan

zona transisi sebagai modifikasi jaringan yang mengandung folikel rambut,

kelenjar aksesori lakrimal, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Alena F,

2014).

(Jeremy Hoffman, 2016).

Gambar 2.2
Bentuk Anatomi Konjungtiva

6
2.3 Respon Imun pada Konjungtiva

Imunologi pada permukaan mukosa bergantung pada peran

antibodi, sebagian besar berupa imunoglobulin A (IgA) yang terbentuk

sebagai sel plasma. Hal ini dibuktikan pada suatu penelitian ditemukan

banyak IgA sel plasma pada subepitelium konjungtiva dan komponen-

komponen sel antibodi yang disekresikan oleh epitelnya. Beberapa

penelitian mencoba menstimulasi konjungtiva untuk mengetahui respon

antibodinya salah satunya yaitu penelitian Pu Zhang et al (2016) dengan

memberikan antigen yaitu Cholera Toxin pada duodenum dan tepat pada

konjungtivanya untuk mengetahui bagaimana ekspresi antitoxin yang

mengandung sel-sel plasma tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa

pemberian toxin baik secara duodenum dan konjungtiva direspon baik

oleh sel-sel antibodi pada konjungtiva tikus (Pu Zang et al, 2016).

(Abbas A K, et al,2015)
Gambar 2.3
Reaksi alergi

7
Alergen yang masuk dan mengkontaminasi mata akan menginisiasi

APC (Antigen Precenting Cell) dan Th2 (T Helper 2) yang merangsang sel

B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE (Imunoglobulin

E). Molekul IgE yang dilepas akan diikat oleh FcεRI (Fc Epsilon Reseptor

I) pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen akan

menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast,

memacu pelepasan mediator farmakologi aktif (amin vasoaktif). Ikatan

silang alergen dengan minimal dua FcεRI akan mengaktifkan protein Fyn

dan Lyn. Aktivasi kedua protein ini memfosforilasi motif ITAM

(Immunoreceptor Tyrosine Activation Motif) dan FcεRIβ (Fc Epsilon

Reseptor I Beta) serta FcεRIγ (Fc Epsilon Reseptor I Gamma). Fosforilasi

ini juga akan mengaktivasi protein syk dan Gab2 (Grb-2 Associated

binding protein 2). Kemudian syk memicu fosforilasi NTAL (Non T Cell

Activation Linker) dan LAT (Linker for Activation Of T Cells) (Abbas A K,

et al,2015)..

Efek fosforilasi NTAL akan menarik Grb2 (Growth Factor

Receptor Bound Protein-2). Melekatnya Grb2 dengan NTAL akan

mengakibatkan Gab2 bergabung dengan NTAL dan membentuk kompleks

dengan Grb2 dan PI3K (Phosphatidylinositol 3 Kinase).Kompleks tersebut

akan mengaktifkan berbagai protein lain yang penting untuk degranulasi.

PI3K yang membentuk komplek akan menarik BTK (Buton Tyrosin

Kinase) menuju ke membran sel. BTK kemudian akan mengaktifasi PLCγ

(Phospolipase Cγ)untuk memecah Phosphatidylinositol biphosphate (PIP2)

menjadi IP3 (Inositol triphosphate) dan DAG (Diacyl Glyserol). Kedua zat

8
ini mempunyai fungsi yang berbeda. DAG mengaktifkan PKC (Protein

Kinase C) sedangkan IP3 memicu peningkatan kadar kalsium intrasel

(Abbas A K, et al,2015).

Ikatan antara IP3 dengan reseptornya akan memicu keluarnya ion

kalsium ke dalam sitoplasma. Retikulum endoplasma yang kekurangan ion

kalsium merangsang sensor kalsium STIM (Stromal Interaction Molecule)

pada reticulum endoplasma. STIM kemudian bergerak kearah membran

plasma untuk berikatan dengan kanal kalsium sehingga terbukalah kanal

kalsium sehingga kalsium masuk ke intrasel (Abbas A K, et al,2015).

PKC yang diaktifkan oleh DAG akan mempengaruhi degranulasi

sel mast dengan cara (1) memfosforilasi MARCK (Myristoylated alanine-

rich protein kinase C Substrate) dari PIP2. (2) PKC mempengaruhi MTOC

(Microtubule Organizing Centre). (3) PKC mempengaruhi Ras untuk aktif

sehingga terjadilah reorganisasi mikrotubulus (Abbas A K, et al,2015).

Kalsium dan Ras akan mengaktifasi enzim PLA2 (Phospholipase

A2) yang berfungsi dalam menginisiasi pelepasan mediator lipid yaitu

PGD2 (Prostaglandin D2) dan LTC4 (Leukotriene C4) (Abbas A K, et

al,2015). Tanpa kalsium, ras merangsang faktor transkripsi untuk

menstimulasi beberapa sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-9, IL-13 yang

semakin merangsang sel B memproduksi IgE) serta tumor necrosis (TNF).

Tidak hanya reaksi hipersensitifitas, bagian lokal yang mengalami

peradangan akan mengeluarkan neuromediator berupa neurogenic

inflamasi. Neurogenic akan berinteraksi dengan saraf, imunitas dan sistem

endokrin yang berkerja bersama-sama dengan innate immunity untuk

9
mengontrol dan menjaga permukaan mata. Neuromediator tersebut terdiri

atas neutransmitter, neuropeptida dan neurotropin (Sanchez MC, et al,

2011).

Neuropeptida terkandung dalam aqueous humor yang ikut

berperan dalam mempertahankan imunitas intraocular. Neuropeptida

sensorik seperti substansi P dan calsitonin gen related peptide (CGRP)

terlibat dalam tranmisi nyeri sementara neuropeptida Y diproduksi oleh

saraf simpatis dan sel-sel imun untuk mendesak kinerja natural killer sel

(NK). Hubungan antara neuropeptida sensorik dan simpatik/parasimpatik

ini akan mengontrol produksi air mata dan musin (Sanchez MC, et al,

2011).

2.4 Konjungtivitis

2.4.1 Definisi :

Konjungtivitis adalah tanda dari peradangan mata yang

menyebabkan mata merah. Penyebab umum dari mata merah lainnya

adalah blepharitis, abrasi kornea, benda asing, pendarahan subconjunctival,

keratitis, iritis, glaucoma, kimia, dan scleritis (Garratt S, 2013).

(Minarni & Ariani DN, 2013).

Gambar 2.4
Gambaran Klinis Konjungtivitis pada
Mata Manusia
10
2.4.2 Klasifikasi :

Konjungtivitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

2.4.2.1 Konjungtivitis noninfeksius :

- Alergi

Konjungtiva merupakan salah satu organ tubuh yang langsung

terpapar dengan lingkungan sehingga rentan terjadi reaksi alergi.

Reaksi alergi pada mata melibatkan reaksi hipersenstitifitas tipe

1 dimana terjadi ikatan silang antara antigen dan IgE yang

mengaktifkan sel mast melalui Fc€RI yang merangsang

degranulasi sel mast

Jenis-jenis konjungtivitis alergi :

1. Konjungtivitis sederhana

Terjadi karena paparan alergen berulang misalnya obat

mata atau pemakaian lensa mata. (Vichyanond P, 2013).

2. Konjungtivitas musiman

Konjungtivitis yang munculnya akibat pengaruh musim.

Konjungtivitis musiman ditandai dengan gejala berulang

namun bersifat sementara dan self limiting disease serta

disebabkan karena serbuk sari, bulu debu ataupun jamur

spora (Vichyanond P, 2013).

3. Konjungtivitis vernal

Inflamasi kronis pada mata yang sebagian besar terjadi

pada anak-anak laki-laki dibanding perempuan. Penyakit

ini paling banyak ditemukan pada daerah Afrika sub-Sahara

11
dan Timur Tengah sementara pada daerah-daerah yang

beriklim jarang atau hampir tidak ditemukan (Vaughan &

Asbury, 2015). Konjungtivitas vernal mengakibatkan

komplikasi mata seperti glaukoma, jaringan parut pada

kornea dan kebutaan. (Vichyanond P, 2013).

(Woodward MA, 2017).

Gambar 2.5
Gambaran Klinis Pada Konjungtivitis
Vernalis

4. Atopik keratokonjungtivitis (AKC)

Suatu keadaan kronis dari atopik dermatitis. Pada kasus

yang berat bisa menyebabkan seluruh kornea tampak kabur

dan mengalami vaskularisasi serta penurunan penglihatan.

(Vaughan & Asbury, 2015).

- Mekanikal/toxin/iritasi adalah konjungtivitis iatrogenik akibat

pemberian obat topikal, oleh bahan kimia dan iritan serta

konjungtivitis karena bulu ulat (oftalmia nodosum) (Vaughan &

Asbury, 2015)

- Immune mediated seperti keratokonjungtivitis sika pada sindrom

sjogren dan pemfigoid sikatrikal (Vaughan & Asbury, 2015).

12
- Neoplastik

2.4.2.2 Konjungtivitis infeksius

- Virus

- Bakteri

2.4.2.3 Akut, kronik dan rekuren (American Academy of

Ophtalmology,2013)

2.4.3 Patofisiologi konjungtivitis alergi :

Konjungtivitis alergi adalah suatu proses peradangan yang self

limiting. Peradangan disebabkan karena mekanisme kekebalan yang

diperantarai oleh IgE atau reaksi hipersensitivitas yang timbul sesudah

permukaan konjungtiva terpajan alergen. Reaksi tersebut akan memicu

aktivasi sel mast dan pelepasan berbagai mediator kimia. Selain itu

inflamasi juga melibatkan mekanisme neurogenik, molekul adhesi, dan

kekebalan sistemik lainnya yang memunculkan gejala-gejala radang.

(Sanchez MC, 2011)

Urutan reaksi hipersensitivitas tipe 1 terjadi ketika alergen yang

masuk dalam tubuh akan mengaktivasi APC (Antigen Presenting Cell) dan

Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang

memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel

mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan

silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan

mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif). Mediator-mediator tersebut

digunakan sebagai target pengobatan untuk menekan gejala-gejala

konjungtivitis (Baratawidjaja KG, 2013).

13
(Bratawidjaja,2013)
Gambar 2.6
Reaksi Hipersensitifitas Tipe 1

2.6.2 Gejala Klinis :

Gejala klinis akibat dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 dapat bervariasi dari

lokal, ringan sampai berat bahkan sampai mengancam nyawa seperti

anafilaktik. Reaksi lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang

melibatkan epitel tempat alergen masuk sehingga akan menimbulkan suatu

gejala gatal, kemerahan, sensasi benda asing seperti tergores atau terbakar,

fotofobia dan sekresi yang berlebihan dari air mata (Baratawidjaja KG,

2013).

14
2.6.3 Diagnosis Konjungtivitis

Dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis, seorang pasien harus

dievaluasi secara komprehensif, dimulai dari riwayat penyakitnya,

pemeriksaan fisik, bahkan dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.

a. Riwayat Penyakit

- Tanda dan gejala : gatal, discharge, iritasi, nyeri, fotofobia,

pandangan kabur

- Durasi munculnya gejala

- Faktor eksaserbasi

- Jenis discharge

- Paparan dengan lingkungan yang berpenyakit serupa dengan pasien

- Trauma : mekanik, kimia, uv

- Pemakaian kontak lensa

- Tanda dan gejala yang berhubungan dengan penyakit sistemik :

discharge urogenital, disuri, disfagia, ISPA, lesi pada kulit maupun

mukosa.

- Alergi, asma, maupun eksema

- Penggunaan obat topikal maupun sistemik

- Status imunitas : HIV, kemoterapi atau pasien dengan pengobatan

imunosupresan (Garratt S, 2013).

b. Pemeriksaan Fisik

- Pemeriksaan mata termasuk pengukuran ketajaman penglihatan,

pemeriksaan segmen luar mata, dan slit lamp biomikroskop.

15
- Pemeriksaan segmen luar mata ada beberapa hal yang harus

diamati :

o Regional limfadenopati

o Kulit : rosacea, eskema, seborea

o Abnormalitas dari palpebra dan adneksa

o Konjungtiva : pola injeksi vascularnya, pendarahan

subkonjungtiva, kemosis, simbleparon, discharge.

- Pemeriksaan slit lamp

o Batas palpebra : radang, nyeri, ulkus, discharge,

nodul/vesikel, keratinisasi

o Bulu mata : trichiasi, dll

o Punctum lakrimalis : tersumbat

o Konjungtiva tarsal dan bulbi : ukuran papil dan folikel,

siktatrik, perbesaran fornik, pseudomembran, ulserasi,

infiltrasi termasuk infiltasi subfiltrat, vaskularisasi,

presipitat keratitis.

o COA : reaksi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi

o Pola pewarnaan pada konungtiva dan kornea

c. Test pendukung

- Kultur

Diindikasikan untuk semua kasus yang dicurigai penyebabnya

adalah bakteri. Kultur juga membantu jika ada kekambuhan,

konjungtivitis yang berat, atau kronik purulenta, dan pada

peradangan yang tidak respon terhadap pengobatan

16
- Tes untuk mendeteksi virus

Kultur virus bukan kegiatan rutin dalam mendiagnosis penyebab

konjungtivitis. Karena pada imunoiagnostik pada mata tidak valid.

- Tes untuk mendeteksi klamidia

- Smears

Direkomendasikan untuk kasus-kasus yang dicurigai infeksi

konjungtivitis pada neonates, konjungtivitis kronis dan kambuhan,

serta pada kasus konjungtivitis gonokokkus di semua usia

- Biopsy

Membantu pada konjungtivitis yang tidak berespon terhadap

pengobatan. terutama jika ada tmor, karena biopsy pada kedua

mata lebih aman dan lebih akurat. Biopsy membantu mendiagnosis

penyakit seperti OMMP dan gejala paraneoplastik. Jika dicurigai

OMMP, maka biopsy bisa dilakukan di konjungtiva bulbi diambil

dari area yang mengalami inflamasi aktif

- Tes darah

17
(Garratt S, 2013).
Gambar 2.7
Bagan untuk Mendiagnosis Penyebab Mata
Merah pada Mata

2.6.4 Terapi

Langkah pertama dalam menangani konjungtivitis alergi adalah

dengan cara menghindari paparan alergen yang bisa menimbulkan gejala-

gejala klinis dari konjungtivitis dan menggunakan tetes mata. Penggunaan

antihistamin generasi kedua dan vasokontriktor juga efektif pada kasus

konjungtivitis alergi yang ringan. (Cronau H, 2010).

Untuk kasus yang akut dan eksaserbasi, kortikosteroid topikal

biasanya dibutuhkan untuk mengontrol tanda dan gejala berta yang muncul.

Topikal siklosporin 2% juga efektif sebagai terapi tambahan untuk

mengurangi efek kortikosteroid topikal. Pemberian antihistamin, kompres

18
dingin dan penstabil sel mas juga direkomendasikan dalam mengurangi

gejala klinis yang ada.

(Garratt S, 2013).
Gambar 2.8
Tabel obat untuk konnjungtivitis alergi

19
BAB 3

KESIMPULAN

Alergi okular merupakan kondisi mata yang paling umum ditemui

dalam praktik klinis, insidensi konjungtivitis di Indonesia saat ini

menduduki tempat kedua (9,7%) dari 10 penyakit mata utama.

Konjungtivitis alergi pada umumnya bersifat self limited tetapi dalam

perkembangannya bisa mengakibatkan kehilangan penglihatan secara

permanen atau kerusakan struktural

Konjungtivitis alergi melibatkan reaksi hipersensitifitas tipe 1

dimana terjadi ikatan silang antara antigen dan imunoglobulin E (IgE)

yang memicu aktivasi sel mast dan pelepasan mediator-mediator inflamasi.

Oleh karena itu pengobatan yang diberikan berfokus pada menghambat

mediator-mediator inflamasi hasil degranulasi sel mast. Namun langkah

pertama dalam menangani konjungtivitis alergi adalah dengan cara

menghindari paparan alergen kemudian disertai penggunaan antihistamin

generasi kedua dan vasokontriktor juga efektif pada kasus konjungtivitis

alergi yang ringan

20
DAFTAR PUSTAKA

Alena F, Jameel AA, Ivana K, et al, 2014, Pigmented Epibulbar Lesion: Overview,

Journal of Pigmentary Disorders, 1, pp. 2-8.

American Academy of Ophthalmology, 2013, Conjunctivitis, Preffered Practice

Pattern, pp.1-48.

Azari AA, & Barney NP, (2013), Conjunctivitis: A Systematic Review of

Diagnosis and Treatment. JAMA Clinical Review & Education , 310 (16),

pp. 1721 - 1729.Borges AS, 2013, Anatomy of Ciliary Body, Ciliary

Processes, Anterior Chamber Angle and Collector Vessels, INTECH, pp. 1-

13.

Baratawidjaja KG & Rengganis I, 2013, Imunologi Dasar, 10th edn, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp.375-378.

Borges AS, 2013, Anatomy of Ciliary Body, Ciliary Processes, Anterior Chamber

Angle and Collector Vessels, INTECH, 3, pp. 3-13.

Cronau H, Kankanala RR, Mauger T, 2010, Diagnosis and Management of Red

Eye in Primary Care, American Family Physician, 81, pp. 137-144.

Dartt, et al, 2011 DA, Hodges RR, Li Dayu, et al, 2011, Conjunctival Goblet Cell

Secretion Stimulated by Leukotrienes is Reduced by Resolvins D1 and E1 to

Promote Resolution of Inflammation, The Journal of Immunology, 186, pp.

4455-4466.

21
Minarni & Ariani DN, 2013, Perancangan Perangkat Lunak Diagnosa Penyakit

Mata Khusus Gangguan Konjungtiva dengan Metode Forward Chaining

Berbasis Web, Jurnal Teknologi Informasi dan Pendidikan, 6(1), pp. 36-44.

Nickla LD & Wallman J, 2010, The Multifunctional Choroid, Progress in Retinal

and Eye Research, 29, pp. 144-168.

Pu Zhang, Pierce NF, Silverstein AM, et al, 2016, Conjunctival Immunity:

Compared Effects of Ocular or Intestinal Immunization in Rats, Association

for Research in Vision and Ophthalmology, 24, pp. 1411-1412.

Ramadhanisa A, 2014, Conjunctivitis Bacterial Treatment in Kota Karang,

Medula Unila, 3, pp. 1-7.

Sanchez MC, Parra BF, Matheu V, et al, 2011, Allergic Conjunctivitis, Journal

Investigated Allergic Ophthalmology Clin Immunology, 21, pp. 1-19.

Vaughan & Asbury, 2015, Oftalmologi Umum, 17th edn, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 97-99.

Vicyanond P, Pacharn P, Pleyerz U, et al, 2013, Vernal Keratoconjunctivitis: A

Severe Allergic Eye Disease With Remodelling Changes, Pediatric Allergy

and Immunology, pp. 1-9.

Willoughby CE, Ponzin D, Ferrari S, et al, 2010, Anatomy and Physiology of The

Human Eye : Effects of Mucopolysaccharidoses Disease on Structure and

Function – a Review, Clinical and Experimental Ophthalmology, 38, pp. 2-

11.

22

You might also like