You are on page 1of 20

LAPORAN KASUS

CLOSED FRAKTUR FEMUR DEXTRA

Diajukan guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh


Program Internsip

Pembimbing :
dr. Esthi Wijayanti
dr. Slamet Suprihadi

Disusun Oleh :
dr. Kriski Regina Gaezani

RUMAH SAKIT Tk. III 04.06.01 WIJAYAKUSUMA


PURWOKERTO
2016
BORANG PORTOFOLIO KASUS
CLOSED FRAKTUR FEMUR DEXTRA

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh surat tanda selesai internship

Disahkan oleh :

Pendamping I Pendamping II

dr. Esthi Wijayanti dr. Slamet Suprihadi


Mayor Ckm (K) PNS
NRP. 1920010141263 NIP. 197106042007121001

Penyusun

dr. Kriski Regina Gaezani


Dokter Internsip
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny.N
Umur : 46 tahun
Alamat : Karang pucung
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Suku : Jawa
Status marital : Sudah menikah
Kelompok pasien : BPJS
Bangsal/bed : Antasena

I.2. DATA DASAR


I.2.1. Anamnesis (Subjektif)
Autoanamnesis tanggal 27 Agustus 2016
Keluhan Utama : Kaki sulit digerakkan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang post KLL dengan keluhan kaki kanan sulit
digerakkan. Pasien dalam keadaan sadar. Tidak terdapat luka
terbuka diseluruh tubuh. Nampak pada paha kanan terdapat
deformitas. Pasien tidak mengeluhkan pusing, mual, maupun
muntah. Ekstremitas lain dapat bergerak bebas.

Riwayat Penggunaan Obat


Alergi obat : -
Obat-obatan yang dikonsumsi sebelum kecelakaan : -
I.2.2. PEMERIKSAAN FISIK (Obyektif)
Tanggal 27 Agustus 2016
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg, Nadi: 92 x/menit, Suhu:
360C, RR: 24x/menit
Kulit : Sawo matang, ikterik (-)
Kepala : Normocephal, rambut putih, distribusi merata
Wajah : Simetris
Mata : Edema palpebra -/-, conjungtiva pucat -/-, sklera
ikterik -/-
Telinga : Bentuk normal, simetris, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-
Mulut : Mukosa bibir basah, faring tidak hiperemis, Tonsil
T1-T1
Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid,
tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran
KGB
Thorak :
Pulmo I : Otot napas tambahan (-)
P : ekspansi dada simetris
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (-/-), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor I : Tidak tampak ictus cordis


P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
P : Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS IV linea midclavicula
Batas kanan bawah ICS IV linea stemalis dextra
A : BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
Abdomen : I : Perut datar
A : Bising usus (+) normal
P : Dinding perut supel, turgor kulit baik,
hepatomegali (-), spleenomegali (-),nyeri tekan (-)
teraba kandung kemih penuh
P : Timpani

Ekstremitas :
Look : oedem (+), deformitas (+)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+)
Move : Range of movement terbatas

I.2.3. HASIL RONTGEN FEMORALIS DEXTRA AP/LATERAL

I.2.4. ASSESMENT
Closed fraktur femur dextra
I.2.4. PLANNING
1. Farmakologi
- Inf. RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxim 2x1 gr
- Inj. Ketorolak 3x1
- Inj. Ranitidine 2 x1
2. Non Farmakologi
- Pasang bidai
3. Usul
- Lab Darah Rutin
- Kimia darah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Femur
Femur atau tulang paha adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang itu
bersendi dengan asetabulum dalam formasi persendian panggul dan dari sini
menjulur medial ke lutut dan membuat sendi dengan tibia. Tulangnya berupa
tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan dua ujung yaitu ujung atas, batang
femur dan ujung bawah (Pearce, 1990).

Gambar 2.1. Tulang Femur

2.2 Fraktur
2.2.1. Defenisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan
otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis (Anonim,
a
2011).
2.2.2. Jenis jenis fraktur
1. Fraktur komplit: garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang.
2. Fraktur tidak komplit: garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.

3. Fraktur terbuka: bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.

4. Fraktur tertutup: bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan
udara luar atau permukaan kulit (Rahmad, 1996).

5. Oblik /miring Kominuta Spiral Majemuk

Gambar 2.2. Jenis - jenis fraktur

2.2.3 Fraktur Femur


Fraktur Femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot , kondisi-kondisi tertentu
seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Batang Femur dapat mengalami fraktur
akibat trauma langsung, puntiran, atau pukulan pada bagian depan yang berada
dalam posisi fleksi ketika kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000).

2.2.4. Etiologi
Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian,
kecelakaan kerja, cidera olah raga. Trauma bisa terjadi secara langsung dan tidak
langsung. Dikatakan langsung apabila terjadi benturan pada tulang dan
mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik tumpu
benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan (Rahmad, 1996 ).
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga
yaitu :

a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
i. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.

ii. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula.
iii. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.

b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai
keadaan berikut :
i. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
ii. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri.
iii. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya
disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau
fosfat yang rendah.
c. Secara spontan :

Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

2.2.5 Patofisiologi
Tulang yang mengalami fraktur biasanya diikuti kerusakan jaringan
disekitarnya, seperti di ligamen, otot tendon, persyarafan dan pembuluh darah,
oleh karena itu pada kasus fraktur harus ditangani cepat, dan perlu dilakukan
tindakan operasi.
Tanda dan Gejala :
a. Nyeri hebat ditempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah,
bengkak, sepsis pada fraktur terbuka dan deformitas

2.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus
diperinci kapan terjadinya, di mana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah
trauma, dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme
trauma). Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma di tempat lain secara
sistematik dari kepala, muka, leher, dada, dan perut (Mansjoer, 2000).

b. Pemeriksaan Umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel,
fraktur pelvis, fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang
mengalami infeksi (Mansjoer, 2000).
c. Pemeriksaan Fisik
Menurut Rusdijas (2007), pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk fraktur
adalah:
Look (inspeksi): bengkak, deformitas, kelainan bentuk.
Feel/palpasi: nyeri tekan, lokal pada tempat fraktur.
Movement/gerakan: gerakan aktif sakit, gerakan pasif sakit krepitasi.

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk dilakukan adalah “pencitraan”
menggunakan sinar Rontgen (X-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi
yaitu antero posterior (AP) atau AP lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) atau indikasi untuk memperlihatkan patologi yang
dicari, karena adanya superposisi. Untuk fraktur baru indikasi X-ray adalah untuk
melihat jenis dan kedudukan fraktur dan karenanya perlu tampak seluruh bagian
tulang (kedua ujung persendian).

2.2.7 Penatalaksanaan Fraktur


Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari
patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar
tulang tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan
waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu
yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi
(Corwin, 2010).
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing), dan sirkulasi (circulating), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah
dinyatakan tidak ada masalah lagi , baru lakukan amnesis dan pemeriksaan fisik
secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk
mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam , bila
lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan amnesis dan
pemeriksaan fisis secara cepat , singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto
radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain
memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan fraktur telah banyak mengalami perubahan dalam waktu
sepuluh tahun terakhir ini. Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai
banyak kerugian karena waktu berbaring lebih lama, meski pun merupakan
penatalaksanaan non-invasif pilihan untuk anak-anak. Oleh karena itu tindakan ini
banyak dilakukan pada orang dewasa (Mansjoer, 2000).
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat
dimobilisasi dengan salah satu cara dibawah ini:
a. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah
untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk
memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan
beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya. Tapi sekarang sudah jarang
digunakan. Traksi longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk
mengatasi spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang di
posterior untuk mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur
femur harus kurang dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban
yang lebih besar.
b. Fiksasi interna
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan
piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna
merupakan pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang
disertai komplikasi (Djuwantoro, 1997).
c. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/ trauma
sistem muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita
yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang
ditempatkan di daerah sekeliling tulang (Anonim, 2010).
d. Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif
Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus
secara keras daerah yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan
untuk menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga
dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang
b
yang patah tersebut (Anonim, 2010).
e. Penyembuhan Fraktur
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang ,
sehingga dianjurkan untuk melakukan aktifitas otot dan penahanan beban secara
lebih awal. Tujuan ini tercakup dalam tiga keputusan yang sederhana : reduksi,
mempertahankan dan lakukan latihan.
Menurut (Carter, 2003) jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak di
sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang
cukup berat dan bekuan darah akan terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan darah
akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang
primitif (osteogenik) dan berdiferensiasi menjadi krodoblas dan osteoblas.
Krodoblas akan mensekresi posfat, yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk
lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan
meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen tulang dan menyatu.

Penyatuan dari kedua fragmen terus berlanjut sehingga terbentuk trebekula


oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.

2.2.8 Neglected

Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam. sering


terjadi akibat penanganan fraktur pada extremitas yang salah oleh bone setter
Umumnya terjadi pada yang berpendidikan dan berstatus sosioekonomi yang
rendah. Neglected fraktur dibagi menjadi beberapa derajat, yaitu:
a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari -3 minggu
b. Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu -3 bulan
c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan ± 1 tahun
d
d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari satu tahun (Anonim , 2011).

2.3 Tinjauan Obat


2.3.1 Ceftriaxon
Cefriaxon adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas
bakterisidal yang luas dengan cara menghambat sintesis dinding sel, dan
mempunyai masa kerja yang panjang. Secara in vitro memiliki aktivitas luas
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif, memiliki stabilitas yang tinggi
terhadap β-laktamase baik penisilase maupun sefalosporinase yang dihasilkan
bakteri gram positif dan gram negatif. Secara struktural cefriaxon ditunjukkan
pada Gambar 2.3 berikut ini.

Gambar 2.3.1 Struktur Cefriaxon

Cefriaxon diindikasikan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh


bakteri yang sensitif terhadap cefriaxon antara lain: infeksi saluran pernafasan
bawah (pneumonia), infeksi kulit dan struktur kulit, infeksi tulang dan sendi,
infeksi intraabdominal, infeksi saluran kemih dan meningitis.
Ceftriaxon memiliki waktu paruh 7-8 jam dapat diinjeksikan sekali tiap 24
jam pada dosis 15-50 mg/kg/hari. Dosis harian tunggal 1 g ceftriaxone cukup
untuk mengatasi infeksi yang serius, dengan dosis 4 g sekali perhari dianjurkan
untuk pengobatan meningitis (Katzung, 2007). Ceftriaxon yang terikat pada
protein plasma umunya sekitar 83-96%, diekskresikan sebesar 33–67% melalui
ginjal dan sebesar 35–45% melalui feses. Ceftriaxon dapat menembus sawar darah
otak sehingga dapat mencapai kadar obat yang cukup tinggi dalam cairan
cerebrospinal. Pemberian cefriaxon bersamaan dengan aminoglikosida dapat
meningkatkan efek nefrotoksik. Pemberian bersama diuretik kuat seperti
furosemida dapat mempengaruhi fungsi ginjal (Mc Evoy, 2004).
Serbuk steril cefriaxone dalam vial dapat disimpan pada suhu tidak kurang
0 0
30 C dan larutan cefriaxone natrium disimpan pada suhu -20 C. Serbuk steril
untuk injeksi dan larutan cefriaxone harus dikemas dalam wadah yang gelap dan
terhindar dari cahaya matahari. Larutan dapat tahan selama 24 jam jika disimpan
0
pada temperatur ruang dan 5 hari jika disimpan di lemari es suhu 5 C dan 13
minggu jika dibekukan (Mc Evoy, 2004).

2.3.2 Ketorolak
Ketorolak adalah salah satu dari obat anti inflamasi non steroid (NSAID),
yang biasa digunakan untuk analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Obat ini
menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi
PG2 terganggu. Ketorolak merupakan penghambat siklooksigenase yang non
selektif.
Ketorolak dikontraindikasikan terhadap pasien angioedema atau
bronkospasme, pasien yang menderita tukak peptik aktif, perdarahan
gastrointestinal, dan pasien yang menggunakan NSAID yang lain, pasien yang
menderita gangguan ginjal.
Secara struktural ketorolak ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut ini.

Gambar 2.3.2 Struktur Ketorolak

Ketorolak diserap dengan cepat dan lengkap. Bioavaibilitasnya mencapai


100 %. Ketorolak dimetabolisme di hati dengan waktu paruh plasma 3.5-9.2 jam
pada dewasa muda dan 4.7-8.6 jam pada orang lanjut usia (usia 72 tahun). Kadar
steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari.
Ketorolak diekskresikan melalui ginjal rata-rata sebesar 91.4% dan sisanya rata-
rata sebesar 6.1% diekskresikan melalui feses .
Ketorolak akan berinteraksi bila diberikan bersamaan dengan warfarin
yang dapat menyebabkan pendarahan, ACE inhibitor dapat menyebabkan semakin
tingginya resiko gagal ginjal, diuretik dapat berkurang efeknya (ISFI, 2008).

2.3.3 Ranitidin
Ranitidin merupakan antagonis histamin reseptor H2 (antagonis H2) menghambat

kerja histamin pada semua reseptor H2 yang penggunaan klinisnya ialah

menghambat sekresi asam lambung, dengan menghambat secara kompetitif ikatan


histamin dengan reeseptor H2, zat ini mengurangi konsentrasi cAMP intraseluler

sehingga sekresi asam lambung juga dihambat (Mycek, 2001).


Secara struktural ranitidin ditunjukkan pada gambar 2.3.3 berikut:

Gambar 2.3.3 Struktur Ranitidin


Ranitidin diabsorbsi 50% setelah pemberian oral. Pada ginjal normal,
volume distribusi 1,7 L/Kg sedangkan klirens kreatinin 23-25 ml/menit.
Konsentrasi puncak plasma dicapai 2-3 jam setelah pemberian dosis 150 mg.
absorbsi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh makanan dan antasida. Waktu
paruhnya 2,5 – 3 jam pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan iv dan 30% yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal (Mc Evoy, 2004).
2.3.4 Parasetamol
Parasetamol merupakan metabolit fenacetin yang berkhasiat sebagai
analgetik dan antipiretik tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran
serta tidak menyebabkan ketagihan.
Daya antipiretik parasetamol didasarkan pada rangsangan pusat
penghantar kalor di hipotalamus, menimbulkan vasodilatasi perifer (di kulit)
sehingga terjadi pengeluaran panas yang disertai banyak keringat (Tjay, 2007).
Parasetamol diindikasikan untuk pengobatan demam (selesma, pilek), dan
nyeri ringan hingga sedang. Parasetamol tidak diberikan kepada pasien yang
mengalami kerusakan fungsi hati dan ginjal serta dengan ketergantungan akohol
(ISFI, 2008).
Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, kadar
plasma tertinggi dicapai dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, dengan waktu
paruh plasma 1,2-5 jam (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Parasetamol diabsorpsi secara cepat dan sempurna di saluran gastro
intestinal pada pemberian oral. Parasetamol terdistribusi secara cepat dan merata
pada kebanyakan jaringan tubuh. Sekitar 25% parasetamol di dalam darah terikat
pada protein plasma, dimetabolisme oleh sistem enzim mikrosomonal di dalam
hati. Memilki waktu paruh plasma 1,25-3 jam, dan mungkin lebih lama pada
pasien dengan kerusakan hati.
Sekitar 80-85% parasetamol di dalam tubuh mengalami konjugasi
terutama dengan asam glukoronat dan asam sulfat. Dieksresi melalui urin kira-kira
sebanyak 85% dalam bentuk bebas dan terkonjugasi.
Efek samping yang timbul akibat penggunaan parasetamol antara lain,
reaksi hipersensitifitas, ruam kulit dan kelainan darah, kerusakan hati. Dalam
keadaan overdosis, mual, muntah dan anoreksia .
BAB III
ANALISA KASUS
S (Subjektif)

Pasien datang post KLL dengan keluhan kaki kanan sulit digerakkan.
Pasien dalam keadaan sadar. Tidak terdapat luka terbuka diseluruh tubuh. Nampak
pada paha kanan terdapat deformitas. Pasien tidak mengeluhkan pusing, mual,
maupun muntah. Ekstremitas lain dapat bergerak bebas.

O (Objektif)
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg,
Nadi : 92 x / menit
Suhu: 360C
RR: 24x/menit
Thorax : Pulmo ; Cor (DBN)
Kulit : Warna sawo matang
Kepala : Normocephal, rambut putih, distribusi tidak merata
Wajah : Simetris, ekspresi gelisah
Mata : Edema palpebra -/-, conjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Ekstremitas : Ekstremitas dekstra sulit digerakkan, deformitas (+),
krepitasi (+)

ASSESMENT
Closed fraktur femur dextra

PLANNING
1. Farmakologi
- Inf. RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxim 2x1 gr
- Inj. Ketorolak 3x1
2. Non Farmakologi
- Pasang bidai
3. Usul
- Lab Darah Rutin
- Lab Serologi
- Kimia darah
DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery


8th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
2. Rahardjo, J. 2006. Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa aksara, Jakarta ; 161-
703.
3. Ramon P, Setiono, Rona,
Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas Padjajaran ; 2002:
203-75.
4. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 2002.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar
Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 2005; 1058-64.

You might also like