You are on page 1of 83

Jurnal Perburuhan ISSN 0852-

0852-1239

SEDANE
Vol. 3, No.2, 2005

Penanggung jawab
I Fahmi Panimbang
Fauzan Abschuetz
Fauzi Abdullah

Redaktur edisi ini


M. Darisman
Abu Mufakhir
Fitri Indra Harjanti

Alamat Redaksi dan Sirkulasi:


LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane)
Jl. Dewi Sartika No. 52F Bogor 16121
Jawa Barat - Indonesia

Tlp./Fax:
62-251-344473

Email:
lips@lips.or.id

Situs Web:
www.lips.or.id

No. Rekening:
BNI Bogor
7046379
a/n: Perkumpulan Sedane

© 2008 oleh LIPS, all rights reserved


Penyebaran Jurnal Perburuhan SEDANE ini untuk kepentingan bukan komersial sangat dianjurkan.
Pengutipan atas tulisan-tulisan dalam naskah ini harap mencantumkan sumber.

1
Daftar Isi
CATATAN PEMBUKA ...hlm

GAGASAN:
Membangun Pakta Sosial Berbasis Gerakan Buruh
Oleh Sofian M. Asgart ... hlm

Melakukan Pengukuran Kinerja Serikat Pekerja


Oleh Aryana Satrya … hlm

Pengadilan Perburuhan di Jerman: sekedar refleksi untuk PHI


Oleh Yasmine Soraya ... hlm

WAWANCARA:
WAWANCARA:
Firsching
“Serikat buruh merupakan pusat para orang revolusioner,tetapi di sebagian besar negara tidak
begitu ...” ...hlm

TOKOH:
Profil : Mansour Fakih “Jalan Panjang Transformasi Social”
Oleh Fitri Indra Harjanti ...hlm

TINJAUAN BUKU:
Mempertimbangkan Serikat Buruh Berwawasan Global
Resensi Globalisation and Labour; the New 'Great Transformation' karya Ronaldo Munck
Oleh Udoi Khoduri ...hlm

DINAMIKA:
DINAMIKA:
Dinamika Perburuhan Indonesia dalam tahun 2008 semester I ...hlm

INDEKS SEDANE, edisi 1-


1-6 ...hlm 62-65

2
Catatan Pembuka

“Dunia sedang mengalami krisis finansial yang parah dan apakah ini pertanda bahwa
sistem kapitalisme akan runtuh?” Pertanyaan ini muncul dalam sebuah forum diskusi
di Jakarta yang membahas tentang krisis finansial global dan dampaknya bagi gerakan
sosial di dunia termasuk di Indonesia. Tidak ada jawaban yang pasti atas pertanyaan
diatas tapi yang muncul adalah kesepakatan bersama bahwa untuk meruntuhkan
sistem kapitalisme harus di mulai dengan sebuah gerakan bersama antar elemen
gerakan sosial yang lintas sektoral bahkan lintas geografis dan menglobalkan gerakan
sosial.

Krisis finansial yang muncul di Amerika menjalar cepat ke berbagai negara di belahan
dunia lainnya, termasuk di Indonesia. Gempuran hebat dari para pemodal terhadap
daya tahan ekonomi domestik telah merontokkan pasar saham, melemahkan nilai tukar
rupiah, menurunkan nilai ekspor barang, memperlemah daya beli masyarakat dan
akibat lebih lanjutnya adalah ancaman PHK terhadap buruh.

Di tengah krisis yang semakin menjadi, pemerintah dengan semena-mena menerbitkan


Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Penetapan Upah yang intinya
melepaskan peran negara di dalam penentuan upah. Upah akan ditentukan dengan
sistem bipartit antara pengusaha dan buruh. Penetapan SKB ini bertentangan dengan
peraturan di atas nya yaitu UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mensyaratkan negara untuk terlibat di dalam penyusunan pengupahan. Pemerintah
berargumen bahwa penetapan SKB Empat Menteri ini hanya untuk sementara yang
bertujuan untuk melindungi pelaku usaha dari krisis financial global. Mengapa selalu
para pengusaha yang selalu dilindungi? Ketika para pengusaha untung mereka
menumpuk kekayaannya dan membawa uangnya keluar negeri dan mereka lupa untuk
membagi keuntungannya dengan para buruhnya, akan tetapi ketika mereka rugi maka
negara harus melindunginya dan para buruhnya diajak untuk turut menanggung
kerugian tersebut. Sungguh, keadilan sangat jauh dari negeri ini!!!

SKB Empat menteri yang mengasumsikan posisi buruh dan pengusaha yang setara
sangatlah naif. Padahal diakui atau tidak, posisi tawar buruh saat ini masih lemah dan
negara berkewajiban untuk melindungi warganya yang lemah bukan sebaliknya
melepaskan tanggungjawabnya dengan mennyerahkan mekanisme pengupahan pada
mekanisme “pasar”, antara si pemberi kerja dan si penerima kerja. Lagi-lagi negara
mangkir menjalankan kewajiban konstitusinya. Disisi lain peranan serikat buruh di
Indonesia semakin dituntut untuk bisa mengkonsolidasikan kekuatannya dalam
membendung segala ancaman yang berdampak buruk bagi buruh. Membangun dan
memperluas gerakan sosial yang lebih nyata membutuhkan tindakan proaktif dari
berbagai elemen gerakan sosial lainnya.

Dalam Jurnal Edisi ini, Sopian Asgart menawarkan sebuah strategi untuk
memperluas basis gerakan sosial dengan mengidentifikasi aliansi-aliansi yang lebih
luas dan strategis. Hal ini antara lain dapat ditempuh melalui pembentukan pakta
sosial (social pact) dengan mempolitisasi dan memperluas (scaling up) issu dan gerakan
buruh menjadi aksi publik pada level kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan kapasitas
negara. Social pact dapat diartikan sebagai sebuah hasil (outcome) yang didapat dari
proses dialog sosial (social dialogue). Dialog sosial pada tingkat nasional adalah dialog
mengenai issu-issu bersama yang berkaitan dengan masalah kebijakan sosial dan
ekonomi diantara para pihak: pihak pengusaha, pekerja (buruh), dan pemerintah. Pakta

3
sosial ini meliputi berbagai kegiatan seperti berbagi informasi, konsultasi, negoisasi dan
pengambilan keputusan bersama (concertation). Pada akhirnya pakta sosial ini
diharapkan dapat menghasilkan konsensus, setelah pihak-pihak yang terlibat
melakukan terobosan dan mendamaikan kepentingan-kepentingan yang berbeda untuk
mendapatkan titik temu (melting point) yang dapat disepakati bersama.

Membangun gerakan sosial yang lebih besar, khususnya di gerakan buruh saat ini
merupakan suatu peluang yang sangat besar. Paska runtuhnya kekuasaan Rezim
Soeharto, kebebasan berserikat yang sebelumnya di bungkam menjadi terbuka. Dalam
aturan yang baru, hanya dengan sepuluh orang, buruh bisa mendirikan serikat buruh di
perusahaannya. Mudahnya proses pendirian serikat buruh ini menjadi peluang
sekaligus ancaman bagi gerakan buruh secara menyeluruh. Jumlah serikat pekerja di
tingkat perusahaan telah berkembang dari 6.211 pada bulan Oktober 1999 menjadi
18,352 pada survey tahun 2005 setelah berlakunya Undang-undang Nomor 21 tahun
2000 mengenai Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Jika di bulan Juli 1998 hanya ada satu
federasi serikat pekerja, maka jumlahnya melonjak menjadi 64 di bulan Desember 2002,
dan 86 di bulan Januari 2005, dan belum berubah pada tahun 2008. Meningkatnya
jumlah serikat buruh yang sangat signifikan ini tanpa diimbangi dengan jumlah buruh
yang berpartisipasi dalam serikat buruh dari hasil verifikasi keanggotaan tahun 2005
hanya 6,2 persen atau 3,3 juta buruh yang menjadi anggota serikat buruh dari jumlal
buruh formal yang sekitar 55 juta jiwa (Depnaker, 2006).

Setelah berjuang membangun kebebasan berserikat dan melakukan pengorganisiran


termasuk melakukan perundingan dengan pengusaha dan menjalankan beragam
program kegiatan, proses evaluasi dari kinerja serikat buruh patut dilakukan. Proses ini
menjadi penting sebagai bagian dari proses demokratisasi di serikat buruh dan
memperkuat organisasi serikat buruh. Demokratisasi akan meningkatkan partisipasi
anggota dalam kegiatan organisasi. Anggota akan merasa ada dan diakui jika
dilibatkan dalam kegiatan organisasi tidak semata-mata hanya dalam kongres atau
pemilihan pengurusnya saja.

Kinerja organisasi serikat buruh sangat ditentukan oleh keterlibatan anggotannya di


dalam menjalankan program kerjanya. Aryana Satria melalui tulisannya memberikan
masukan bagaimana mengukur kinerja serikat buruh dalam pencapaian kebutuhan
anggota serikat pekerja pada situasi tidak menentu seperti dewasa ini. Meskipun
demikian, bahan rujukan mengenai serikat pekerja tidak memberikan tolok ukur
kinerja yang memadai. Artikel ini berupaya merintis kajian efektivitas serikat pekerja
dengan mengambil kondisi di negara berkembang.

Dalam Jurnal edisi kali ini Jurnal Sedane juga menawarkan pengalaman negara lain
dalam praktik perburuhan. Tulisan yang disajikan oleh Yasmine Soraya mengupas
tentang perbandingan sistem peradilan perburuhan di Indonesia dan Jerman.
Perbandingan ini bertujuan untuk saling belajar dan berbagi pengalaman antara satu
sistem peradilan di Indonesia dengan sistem di Negara lain, perbedaan atas identifikasi
yang terjadi pada tulisan ini tidak bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap
efektivitas PHI melainkan hanya untuk memberikan informasi dasar dan
memperlihatkan sketsa perbedaan diantara keduanya.

Pengalaman praktik lainnya disajikan dalam rubrik wawancara dengan ketua


Deutscher Gewerkschaftsbund (DGB) Region Man Rhoen.DBG merupakan organisasi
payung serikat buruh di Jerman. Wawancara ini membahas mengenai pola hubungan
DGD sebagai organisasi payung dengan serikat buruh dan organisasi lainnya, baik itu

4
partai politik, ormas ataupun media. Dalam wawancara ini juga membahas tentang
strategi yang dilakukan oleh DGB dalam menghadapi situasi yang menglobal saat ini.

Profil pada edisi ini memotret sosok almarhum Mansour Fakih yang ditulis oleh Fitri
Indra Harjanti, salah satu editor di Insist Press Yogyakarta. Mansour merupakan tokoh
gerakan sosial Indonesia yang secara Intelektual dan praktiknya sangat membumi.
Salah satu pemikiran Mansour Fakih yang sangat fenomenal dan berpengaruh di dalam
perjuangan sosial di Indonesia hingga kini adalah analisisnya mengenai gender dan
transformasi sosial. Seperti yang dituturkannya di dalam bukunya Analisis Gender &
Transformasi Sosial (1996). Dan pada rubric tinjauan buku, kami merekomendasikan
sebuah buku karya Rolando Munck yang berjudul Globalisation and Labour; the New
“Great Transformation” (2002). Tinjauan buku yang tulis oleh Udoi Khudori ini sangat
kontekstual dengan kondisi saat ini. Dalam buku ini memberikan perhatian mendalam
pada kompleksitas persoalan serikat buruh hingga bagaimana menciptakan prasyarat-
prasyarat bagi kemunculan globalisasi "dari bawah".

Berbagai tulisan di Jurnal ini dihadirkan bukan sebagai respon yang reaktif terhadap
kondisi perburuhan kekinian. Berbagai topik yang ada dimunculkan untuk dijadikan
ajang diskusi dan pembelajaran kolektif guna memperkuat serikat buruh yang lebih
demokratis.

Dan akhirnya, kami mengucapkan selamat membaca. Semoga Jurnal ini mengundang
diskusi yang berkelanjutan. Kami sangat mengharapkan kontribusi anda, baik berupa
komentar, saran, kritikan ataupun gagasan yang bisa membangun gerakan perburuhan
secara menyeluruh. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan
yang telah berkontribusi dalam penerbitan Jurnal Sedane ini, semoga kedepannya
kerjasama kita bisa terus terjaga dan ditingkatkan.

Salam

Redaksi

5
MEMBANGUN PAKTA SOSIAL BERBASIS GERAKAN BURUH
[Satu segmen laporan dari survey awal mengenai prospek social pact di Indonesia]

Sofian M. Asgart 1

Abstract

Though labour movement is deemed critical in democratisation constellation, it is


still difficult to map labour movement in Indonesia. Quantitatively labours are
great in number, but qualitatively their lives are often tossed about helplessly.
The weaknesses of labour union are also closely tied to the low support from the
government. Government is lacking the capability to act as mediator between
employee and employer. One of the indicators is the fact that many labour
disputes remains unsolved, leave alone elegantly, despite government’s long effort
to promote tripartite forum.

Unfortunately, the problem is because tripartite forum is oriented more for


advocating issues in case per case basis. Many experts and labour activist
observed that the tripartite model should be able to address a more systematic
approach In this way, tripartite forum becomes more effective because the impact
will be greater and wider. This model, at least, can refer to social pact model will
probably resembling in Scandinavian countries. As a tripartite model, such social
pacts is the ideal form for tripartite forum, where it will be truly effective to
discuss many issues, not only labour specific issues, but also other relevant issues
including national economy, problems of unemployment, competitiveness
enhancement, protection for domestic product, efficiency and effectiveness of
bureaucracy, and other crucial national problems.

It is possible that labour movement based social pact is applied in Indonesia? This
short paper attempts to describe the portrait and map of labour movement in
Indonesia, in relation with attempts to establish social pact.

Kata Kunci:

Pengantar
Hasil studi DEMOS tentang dimensi-dimensi penting dari demokrasi yang bermakna
(2005) menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih dihinggapi sejumlah persoalan,
antara lain: defisit demokrasi, representasi semu, bertahannya kelompok oligarkh, dan
kondisi para demokrat yang masih mengambang.2 Sebagai konsekuensi atas kondisi ini,
maka gerakan pro-demokrasi tidak hanya perlu mencari cara-cara untuk memperkokoh
lembaga-lembaga demokrasi dan memperkuat posisi para aktor demokrasi, tapi juga
harus berupaya secara aktif dan proaktif melakukan perluasan basis demokrasi dengan
mengidentifikasi aliansi-aliansi yang lebih luas dan strategis. Hal ini antara lain dapat
ditempuh melalui pembentukan pakta sosial (social pact) dengan mempolitisasi dan
memperluas (scaling up) issu dan gerakan buruh menjadi aksi publik pada level
kekuatan sosial-ekonomi, politik, dan kapasitas-kapasitas negara.

1 Peneliti Demos, Jakarta.


2 Tim Penulis DEMOS (2005). Menjadikan Demokrasi Bermakna. Jakarta: DEMOS.

6
Secara sederhana, social pact dapat diartikan sebagai sebuah hasil (outcome) yang
didapat dari proses dialog sosial (social dialogue). Dialog sosial pada tingkat nasional
adalah dialog mengenai issu-issu bersama yang berkaitan dengan masalah kebijakan
sosial dan ekonomi diantara para pihak: pihak pengusaha, pekerja (buruh), dan
pemerintah. Pakta sosial ini meliputi berbagai kegiatan seperti berbagi informasi,
konsultasi, negoisasi dan pengambilan keputusan bersama (concertation). Pada
akhirnya pakta sosial ini diharapkan dapat menghasilkan konsensus, setelah pihak-
pihak yang terlibat melakukan terobosan dan mendamaikan kepentingan-kepentingan
yang berbeda untuk mendapatkan titik temu (melting point) yang dapat disepakati
bersama.

Melalu penelitian bertajuk Broadening Base of the Democracy Movement, DEMOS


akan mencoba menggali kemungkinan pembentukan pakta sosial di Indonesia,
terutama berbasiskan gerakan buruh. Untuk itu telah diawali dengan mengadakan
Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan sejumlah expert yang kompeten.3
Wacananya terutama berfokus pada pertanyaan berikut: (i) Issu-issu apa saja yang
menjadikan semua pihak yang terlibat dalam pakta sosial (khususnya buruh dan
pengusaha) dapat bersepakat, dan issu-issu apa pula yang masih menimbulkan
ketidaksepakatan diantara mereka; Lalu, dari segmen masyarakat mana aktor-aktor
pro-demokrasi yang bisa menjadi bagian dari pembentukan pakta sosial tersebut? (ii)
Faktor-faktor utama apa saja yang menyebabkan kesepakatan tersebut bisa dicapai
pada awal-awalnya; Lalu apa saja dinamika dan prakondisi yang dibutuhkan untuk
mencapai kesepakatan sehingga semua pihak yang terlibat merasa mendapatkan
keuntungan dari kesepakan tersebut?

Mengingat luasnya spektrum dan gradasi gerakan buruh yang begitu variatif –mulai
dari yang apolitis hingga yang sangat politis, antara lain dieksplisitkan menjadi
beberapa partai buruh— maka menjadi penting untuk mengakomodasi varian-varian
itu. Untuk mengungkap variasi gerakan buruh dan melihat kemungkinan pembentukan
pakta sosial berbasis gerakan buruh dilakukan quick snowball survey dengan
pertanyaan kunci sebagai berikut:
1) Melalui cara pandang dan analisanya; apa rekomendasi kelompok buruh,
tentang bagaimana menentang hubungan simbiosis antara bisnis dan
negara/politik. Kemudian masih berkaitan dengan itu, juga ditanyakan tentang
sudut pandang para komunitarian berkaitan dengan hubungan antara negara
dan rakyatnya dalam konteks social walfare system. Dalam pandangan para
aktivis buruh, bagaimana seharusnya hal itu dilakukan?
2) Apa yang diinginkan dan apa yang telah dilakukan kelompok buruh dalam
upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja,
peningkatan upah dan kesejahteraan sosial? Bagaimana seharusnya kelompok
buruh yang terorganisir mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan
kerja dan peningkatan upah? Kemudian bagaimana seharusnya kelompok buruh
dapat mendorong peningkatan kesejahteraan sosial bagi masyarakat umum,
bukan hanya sebatas kesejahteraan komunitarian?
3) Bagaimana para buruh mengorganisir semua hal terebut? Inspirasi dari mana
saja yang lebih mereka sukai dalam aktivitas mereka, serta pilihan-pilihan dan

3 Selain para pemimpin serikat buruh, pada FGD ini hadir pula para aktivis perburuhan dan
akademisi yang punya konsen terhadap issu perburuhan, seperti Prof. Dr. Olle Tornquist (
University of Oslo, Norway), Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola (FISIP Universitas Indonesia), Dr. B.
Herry Priyono (STF Driyarkara), Dr. George Marthin Sirait (Universitas Atmajaya), Hari Nugroho,
MA (Universitas Indonesia), Teten Masduki (ICW), serta dari pihak pengusaha (APINDO) dan
pihak pemerintah (Komisi IX DPR-RI).

7
strategi apa saja yang menurut mereka merupakan upaya terbaik untuk
mendorong terbangunnya pakta sosial? Masih dalam konteks ini, kepada mereka
juga ditanyakan pilihan-pilihan yang pernah dilakukan oleh, misalnya, Eva
Morales, Hugo Chavez, atau pemimpin tokoh nasionalis gerakan rakyat dari
Amerika Latin serta gerakan buruh di Afrika Selatan sebagai bahan bandingan.

Dengan berpijak pada jawaban-jawaban informan4 atas pertanyaan-pertanyaan


tersebut, maka berikut akan dideskripsikan potret dan pemetaan gerakan buruh dalam
kaitannya dengan upaya pembentukan pakta sosial.

Potret Gerakan Buruh


Dalam konstelasi demokratisasi sejatinya buruh memiliki urgensinya tersendiri. Tidak
berlebihan jika Rueschemeyer menyatakan bahwa kelompok buruh merupakan
kekuatan pro-demokrasi utama.5 Setidaknya, ada tiga alasan penting mengapa buruh
memiliki potensi besar sebagai agen perubahan dibandingkan dengan kekuatan civil
society yang lainnya. Pertama, buruh memiliki kemampuan “lebih” untuk memobilisasi
massanya melakukan gerakan politik. Berbeda dengan kekuatan civil society lainnya,
mobilisasi buruh kerapkali digerakkan atas dasar kesadaran kolektif –bahkan
kesadaran kelas— setelah mengalami eksploitasi dalam hubungan produksi. Dalam
banyak kasus di berbagai negara, buruh memiliki identitas politik yang lebih jelas dan
militan yang berakar kuat pada sejarah yang dilaluinya. Kedua, gerakan buruh –
berbeda dengan gerakan mahasiswa misalnya— dapat menimbulkan dampak ekonomi
yang meluas baik bagi perusahaan maupun ekonomi makro suatu negara dalam bentuk
berhentinya produksi. Ketiga, gerakan buruh dapat memicu munculnya persoalan
sosial-politik baru terutama di daerah-daerah konsentrasi industri –bahkan dapat
memaksakan pergantian rezim atau perubahan struktur politik.6

Meskipun gerakan buruh dinilai sangat penting dalam konstelasi demokratisasi, namun
potret gerakan buruh di Indonesia masih sulit dipetakan secara jelas. Secara kuantitatif
buruh memang memiliki jumlah yang banyak, namun secara kualitatif nasib buruh
seringkali terombang-ambing di tengah ketidakpastian. Kondisi ini bahkan diperparah
lagi dengan persaingan bisnis global yang memunculkan fenomena baru hubungan kerja
yang semakin pendek dalam bentuk out-sourching dan fleksibilisasi. Hal ini berdampak
pada hubungan kerja yang semakin pendek, semakin berkurangnya industri padat
karya dan mendorong hadirnya kawasan industri “non-union zone” di beberapa kawasan
industri. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada
perubahan pola gerakan buruh secara signifikan. Lalu, bagaimana sesungguhnya potret
gerakan buruh di Indonesia saat ini?

Aktivis Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Dita Indah Sari
mengungkapkan bahwa gerakan buruh saat ini kondisinya sangat fragmented,

4 Informan survey ini adalah para aktivis buruh di Jabotabek yang berasal dari serikat pekerja yang
dinilai memiliki konstituen yang cukup besar. Mereka yang menjadi informan adalah: Dita Indah
Sari (FNPBI), Lilis Mahmudah (SPN), Dedi Fauzi (SBTPI), Felikson Silitonga (KOPBUMI), Ulin
Ni’am Yusron (AJI), Rekson Silaban (KSBSI), dan Yanuar Rizky (ASPEK).

5 Rueschemeyer, D., Stephens, E.H., & Stephens, J.D. (1992). Capitalist Development and
Democracy. Cambridge, UK: Polity Press.

6 Donni Edwin, “Politik Gerakan Buruh: Kasus FNPBI dan KPS” dalam AE. Priyono, et all., (2003).
Gerakan Demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto. Jakarta: DEMOS.

8
terfragmentasi secara sangat dalam, secara sangat luas. Fragmentasi itu bisa
berdasarkan orientasi dan afiliasi politiknya, programnya, figurnya, dan macam-macam.
Problem ini menurutnya yang menjadi masalah utama buruh sehingga tidak memiliki
posisi tawar-politis yang kuat, baik dengan pengusaha maupun dengan penguasa.
Problem kedua adalah rendahnya kesadaran berorganisasi di kalangan buruh dan ini
terkait dengan warisan depolitisasi Orde Baru yang cukup lama. Pada saat itu hampir
semua sektor di-depolitisasi, termasuk sektor buruh sehingga para buruh cenderung
menghindari persoalan-persoalan politik konkret. Kondisi ini akhirnya menjebak aktivis
buruh untuk terlibat hanya pada persoalan-persoalan spesifik buruh semata. Mereka
hanya sibuk dengan urusan-urusan sektornya saja dan jarang terlibat dalam persoalan-
persoalan kebangsaan yang lebih luas. “Dua hal inilah soal fragmentasi dan rendahnya
kesadaran yang menjadi problem utama yang mengakibatkan gerakan buruh belum
menjadi kekuatan yang signifikan sebagai kekuatan politik,” ujar Dita Sari.7

Sejalan dengan itu, aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ulin Ni’am Yusron
melihat fragmentasi di kalangan buruh itu sebagai persoalan kronis. Menurutnya,
dalam sejarah gerakan buruh di Indonesia, persatuan itu masih merupakan sesuatu
yang mahal. Kondisi ini bahkan lebih parah lagi terjadi di kalangan buruh kerah putih
(white collar) seperti kelompok buruh sektor keuangan dan perbankan, buruh sektor
perhotelan, juga buruh industri media (pers). Di kalangan buruh kerah putih bukan saja
terjadi fragmentasi, namun kesadaran untuk berserikat pun masih menjadi barang
mewah.

Dalam kasus industri pers, Ulin menuturkan bahwa sebenarnya serikat pekerja pers itu
belum menjadi mainstream di kalangan jurnalis. Masih banyak wartawan yang
menganggap serikat pekerja bukan sesuatu hal yang penting bagi mereka. Sejak tahun
1996 sebenarnya AJI telah mengkampanyekan pentingnya serikat pekerja wartawan,
tapi memang sangat sulit. Padahal, disamping sebagai seorang professional, wartawan
juga harus menyadari bahwa mereka sangat rentan terhadap persoalan konflik
ketenagakerjaan, seperti terjadi pemecatan atau medianya bangkrut, dan sebagainya.
Umumnya mereka baru menyadari itu setelah punya masalah-masalah seperti itu.
“Seingat saya, sebelum kampanye AJI tentang pentingnya serikat pekerja pada tahun
1996 itu kesadaran berserikat di kalangan jurnalis sangat rendah. Kalau sekarang
mungkin ada peningkatan terutama pasca 1998 dimana kran demokrasi dibuka lebar
dan organisasi wartawan pun tidak tunggal, tidak hanya PWI saja. Yang penting
ditumbuhkan sebetulnya kesadaran di kalangan wartawan bahwa mereka itu adalah
kelompok pekerja atau buruh juga,” ujarnya.8

Padahal, menurut Ulin, kesadaran berserikat itu tidak akan menghambat


profesionalitas mereka sebagai jurnalis. Bahkan, hal itu justru akan meningkatkan
profesionalismenya. Bagaimana mungkin seorang wartawan yang secara profesional
bisa bekerja 24 jam, menembus sumber informasi yang tak terhingga, tapi dibayar
dengan upah sangat rendah. Kalau hal ini terus dibiarkan maka dia tidak akan
profesional lagi, tapi ia akan mencari peluang-peluang, seperti mencari amplop dan
meminta sesuatu dari nara sumber. Ini tentu akan menggangu independensi ketika dia
menulis. Tapi seandainya dia punya serikat, dia punya barganing dengan perusahaan,
misalnya untuk mendapatkan hak cuti, asuransi, dan hak-hak lainnya yang pada

7 Wawancara dengan Dita Indah Sari, Jakarta: 22 November 2006.

8 Wawancara dengan Ulin Ni’am Yusran, Jakarta: 8 Desember 2006.

9
akhirnya juga akan memacu dia untuk bekerja secara profesional. Tapi sayangnya, di
media-media besar seperti Kompas, Jawa Pos, serikat pekerja itu dianggap sebagai
ancaman bagi perusahaan sehingga di sana ada kesan anti union dan manajemen
mengeluarkan surat semacam referendum, silahkan memilih untuk berserikat atau
keluar. Hal ini yang membuat wartawan menjadi takut untuk berserikat sehingga
‘gerakan buruh’ di kalangan pers ini menjadi lamban gerakannya.9

Fragmentasi serupa juga terjadi di kalangan buruh kerah biru (blue collar). Namun
begitu, menurut aktivis Serikat Pekerja Nasional (SPN) Lilis Mahmudah, konflik seperti
itu tidak menjadi soal sepanjang serikat buruh memiliki code of conduct yang dapat
disepakati bersama. ”Sebetulnya konflik itu jelas ada, saya kira itu rasional dan sangat
wajar. Kalau ada persaingan diantara organisasi buruh menurut saya itu tidak apa-apa
yang penting persaingannya sehat dan tetap memperhatikan ‘rambu-rambu’ yang
disepakati bersama,” ujar Lilis.10

Lilis juga menuturkan bahwa persaingan diantara organisasi buruh lebih banyak dalam
hal perebutan pengaruh, seperti kompetisi menjaring anggota. Sebetulnya diantara
organisasi buruh pernah ada semacam konsensus untuk menyepakati agar tidak
“rebutan” anggota. Dengan kata lain, jika seseorang telah menjadi anggota suatu
organisasi buruh diharapkan tidak diterima menjadi anggota buruh di organisasi buruh
lainnya. Ini penting untuk disadari bahwa sebetulnya lebih banyak buruh yang belum
tergarap dari pada buruh yang telah berorganisasi. Namun sayangnya, organisasi buruh
cenderung lebih bersemangat untuk ‘menggarap’ pabrik-pabrik yang sudah ada
organisasi buruhnya. Sementara pabrik yang belum ada organisasi buruhnya malah tak
tergarap atau justru tidak ada yang menoleh. Sebagai contoh, misalnya, di Kota
Tangerang saja ada sekitar 3000-an pabrik. Dari jumlah itu, yang terorganisir atau
yang memiliki organisasi buruh baru sekitar 200-an pabrik, jadi masih banyak yang
belum terorganisir. Ini baru di Kota Tangerang saja, di Kabupaten Tangerang
jumlahnya lebih banyak lagi. Namun ironisnya, organisasi buruh justru lebih banyak
bersaing memperebutkan anggota di 200-an pabrik yang sudah ada serikatnya itu
sementara pabrik lainnya yang belum ada serikatnya malah justru tidak digarap!11

Deretan persoalan tersebut tentu dapat diperpanjang lagi. Namun menurut Ketua
Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Rekson Silaban,
sejumlah persoalan perburuhan itu bersumber dari tiga kelemahan utama yang dimiliki
serikat buruh.12 Pertama, minimnya tingkat representasi organisasi buruh (low trade
union density). Tingkat representasi keanggotaan serikat buruh di Indonesia hanya
berkisar 12% saja dari total buruh formal (43 juta) atau hanya 8% dari total angkatan
kerja (102 juta). Sebagai perbandingan, di negara-negara Eropa tingkat representasi
keanggotaan serikat buruh rata-rata di atas 40%. Bahkan, di negara-negara
Skandinavia mencapai 80%. Rendahnya tingkat representasi keanggotaan serikat buruh
di Indonesia menjadi salah satu penyebab ketidakberdayaan gerakan buruh untuk
menjadi katalisator penting dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.

9 Ibid.

10 Wawancara dengan Lilis Mahmudah, Jakarta: 24 November 2006.

11 Ibid.

12 Wawancara dengan Rekson Silaban, Jakarta: 8 Desember 2006.

10
Kedua, kelemahan dalam pendanaan organisasi yang berdampak pada masalah
independensi. Minimnya perolehan dana iuran yang didapat dari anggota menjadi
persoalan tersendiri. Upah minimum yang kecil ditambah dengan minimnya anggota
dan tidak jalannya sistem pungutan langsung (check of system), membuat serikat buruh
kelihatan miskin. Banyak serikat buruh bahkan sulit memenuhi kebutuhan standar
minimum infrastruktur gerakan seperti: kantor, media, honor pegawai penuh waktu,
administrasi, pelatihan, dan pos-pos lainnya. Akibatnya, banyak serikat buruh yang
hanya menjadi organisasi “papan nama”, bahkan memperburuk citra gerakan buruh
karena menjadi makelar kasus. Berlakon sebagai mediator atau kuasa buruh, tetapi
berakhir dengan negosiasi yang merugikan buruh. Pola ini memang dalam beberapa
waktu masih mendapat tempat, tetapi seiring perjalanan waktu, buruh pada akhirnya
akan menjauhi serikat buruh seperti ini. Karena bagaimana pun serikat buruh hanya
akan eksis jika mereka mampu menjadi representasi kepentingan buruh secara jujur.

Ketiga, kelemahan yang berasal dari kesalahan internal serikat buruh sendiri. Ada
kesan bahwa gerakan serikat buruh saat ini terjebak menjadi hanya mengurusi
masalah teknis. Hampir keseluruhan waktu mereka habis untuk mengurusi aktivitas
internal, seperti: masalah iuran distribusi jabatan kepengurusan serikat, administrasi,
advokasi di pengadilan, dan rapat-rapat seremonial. Kondisi ini menyebabkan
hubungan serikat buruh dengan anggotanya berubah dalam bentuk patron client.
Buruh hanya bertemu dengan serikat buruh bila sedang mengalami masalah pekerjaan,
setelah masalahnya selesai tidak ada lagi komunikasi. Pergeseran inilah yang
seringkali disebut sebagai ”gerakan tanpa ideologi kelas”. Aktivis serikat buruh
seringkali menjadi kehilangan kepekaan terhadap analisis ketidakadilan yang bersifat
sistemik. Gerakan buruh akhirnya gagal mencari akar kemiskinan, ketimpangan
ekonomi, dan alpa dalam memberikan solusi alternatif. Hasil akhirnya, perlawanan
buruh terjadi hanya di wilayah-wilayah teknis, tidak ideologis. Kader yang tersedia di
serikat buruh pun tidak lagi kader yang ideologis dan militan, tapi kader yang gampang
tergoda dengan jabatan dan uang atau posisi-posisi untuk mobilitas sosial.

Kondisi serikat buruh yang lemah juga tidak lepas dari rendahnya dukungan dan
apresiasi pemerintah terhadap keberadaan serikat buruh. Pemerintah yang seharusnya
menjadi mediator antara pengusaha dan buruh belum mampu memerankan fungsi
mediasinya secara memadai. Ini terbukti dengan masih banyaknya perselisihan
perburuhan yang tidak terselesaikan secara elegan meskipun pemerintah sudah sejak
lama mempromosikan forum tripatrit.

Tripatrit: Wacana dan Praksis


Martinussen memberikan dua tipologi besar peran negara dalam hubungannya dengan
pandangan-pandangan tentang peran yang dimainkan negara dalam konteks ekonomi
dan masyarakat. Menurutnya, secara teoretis dapat dipilah kepada dua gugus gagasan,
yaitu: (i) negara sebagai arena bagi interaksi dan konflik antara berbagai kekuatan
sosial; (ii) negara sebagai aktor yang bertindak mandiri dan menentukan serta
sekurang-kurangnya berpengaruh kepada masyarakat dan pasar. (Martinussen, 1999).13

Dalam hubungannya dengan konteks tersebut, model tripatrit mengandaikan negara


sebagai mediator sekaligus sebagai pihak yang aktif dan proaktif merancang dialog

13 John Martinussen (1977). Society, State and Market, A Guide to Competing Teories of
Development, Guide to Competing Theories of Development, London, New Jersey: Zed Book Ltd.

11
yang produktif bersama pihak pengusaha dan buruh. Lalu, apakah model tripatrit ini
cukup efektif menjadi solusi bagi persoalan perburuhan saat ini?

Menurut aktivis Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI), Felikson


Silitonga, tripatrit dari sisi konsep sudah cukup ideal, tapi dengan catatan jika kondisi
serikat buruh itu sendiri memiliki posisi tawar yang baik dan equal. Namun demikian,
menurutnya serikat buruh yang ada masih belum mandiri dan belum bisa menghidupi
organisasinya. Ketergantungan organisasi buruh ini yang menjadikan posisinya
menjadi underdog di depan pengusaha dan pemerintah. Dalam kondisi seperti ini maka
pola tripatrit menjadi tidak efektif. Misalnya, peran dari serikat buruh yang tampak
masih bisa didikte, kadang, serikat buruh menempatkan orang dalam forum tripatrit
hanya sebatas formalitas. Keterlibatan serikat buruh dalam forum tripatrit seringkali
hanya menjadi alat legitimasi saja. Karena itu, menurutnya serikat buruh harus bisa
menjaga kemandirian. Tidak tergantung dengan pemerintah, tapi bisa menghidupi
organisasinya secara mandiri. Seperti serikat buruh di Jerman, misalnya, bargaining
position-nya tinggi karena mereka bisa menjaga independensinya. Karena itu, apapun
yang dibuat pemerintah, mereka tidak khawatir. “Kalau di Indonesia, mungkin
tripatrinya bagus, tapi yang dilihat selama ini soal lemahnya kondisi internal serikat
buruh. Apalagi, misalnya jika suatu persoalan mau dibawa ke pengadilan lebih susah
karena perlu biaya yang banyak. Jadi tripatrit itu akan berjalan dengan baik jika
kondisi serikat buruh juga sehat,” ujarnya.14

Selain mensyaratkan serikat buruh yang sehat, forum tripatrit juga membutuhkan
kejelasan komitmen pihak pemerintah dan pengusaha. Menurut aktivis Serikat Buruh
Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI), Dedi Fauzi, pemerintah tidak punya
kejelasan orientasi dalam mempromosikan forum tripatrit itu. “Paling hubungannya
ketika terjadi kasus, ketika ada persoalan, baru pemerintah mau turun tangan dan itu
pun setelah dipaksa oleh kita agar mereka turun tangan,” ucapnya.15 Dedi juga
mengkritik peran pengusaha yang menurutnya tidak serius dalam mengupayakan
dialog secara terbuka dan transparan. “Pengusaha hanya setengah hati, mereka mau
berdialog dengan buruh jika ada maunya saja,” tambah Dedi.16

Karena itu, menurut Dita Indah Sari, model tripatit itu sebetulnya secara formal saja
sudah sulit dipakai, karena sesungguhnya dalam formulasi tripatrit itu sendiri buruh
sudah diposisikan pada pihak yang lemah karena kecenderungan kolaborasi antara
pengusaha dengan penguasa. “Jadi, kalau kita mengandalkan tripatrit untuk
menangani persoalan ketenagakerjaan saya pikir mustahil. Menurut saya, akan lebih
baik dan realistis jika buruh membekali diri dengan kekuatan politik agar punya daya
tawar saat berhadapan dengan pengusaha dan penguasa,” ujarnya.17 Untuk itu,
menurutnya buruh perlu memperluas sekutunya, tidak hanya menyandarkan pada
tripatrit karena itu bukan solusi yang ideal untuk penyelesaian persoalan perburuhan.

Senada dengan itu, Lilis Mahmudah juga memberi penilaian yang sama mengenai tidak
efektifnya forum tripatrit yang ada. Karena itu menurutnya SPN sudah sejak lama
menarik diri dari keikutsertaannya pada forum tripatrit nasional (tripatritnas). Namun

14 Wawancara dengan Felikson Silitonga, Jakarta: 5 Desember 2006.

15 Wawancara dengan Dedi Fauzi, Jakarta: 27 November 2006.

16 Ibid.

17 Wawancara dengan Dita Indah Sari, Jakarta: 22 November 2006.

12
begitu, Lilis juga menuturkan bahwa sebetulnya keputusan SPN untuk menarik diri
dari tripatritnas itu bukanlah keputusan yang permanen. Negosiasi dengan pemerintah
dan juga dengan pengusaha dalam forum tripatritnas itu sebetulnya masih
memungkinkan, namun dengan prasyarat tertentu. “Hanya saja prasyarat itu sekarang
belum tampak sehingga kita lebih memilih untuk menarik diri, tapi bukan berarti
selamanya kita akan menutup diri untuk berdilaog dengan pemerintah. Kami juga
berharap akan ada saatnya dimana kita bisa duduk bersama dengan mereka untuk
membicarakan persoalan ketenagakerjaan secara bersama, terbuka dan transparan,”
ujarnya.18

Lilis juga menambahkan bahwa idealnya semua pihak harus menghargai


kedudukannya masing-masing dan jangan saling memperalat satu sama lain. Yang
terjadi sekarang serikat buruh seringnya hanya diperalat, hanya dijadikan alat
legitimasi oleh pengusaha atau penguasa atau oleh kedua-duanya. Sepanjang derajat
hubungannya tidak sejajar, maka pola tripatrit ini tidak akan sehat. Karena itu perlu
dibangun pola hubungan yang sehat, yaitu sebuah hubungan yang sejajar antara ketiga
pilar itu. Buruh punya hak yang sama untuk bicara, hak yang sama untuk
menyampaikan pendapatnya, untuk turut menentukan kebijakan. Jadi, buruh
seharusnya diberi porsi dan kedudukan yang sama bukan hanya dijadikan alat
legitimasi. “Ketika prasyarat ini sudah ada, maka sudah seharusnya kita membuka diri,
kita tidak bisa lagi ada di luar, kita harus masuk ke dalam sistem untuk mengupayakan
tripatrit ini sebagaimana mestinya, bukan hanya untuk basa-basi saja,” tambah Lilis.19

Aktivis AJI, Ulin Ni’am Yuron punya pandangan lain. Menurutnya, konsep tripatrit itu
lebih banyak diorientasikan untuk menghadapi issu-issu yang bersifat advokatif dan
kasuistik saja. Menurutnya, Depnaker seharusnya meng-create forum itu tidak sebatas
kasuistik, tapi lebih dari itu forum tripatrit juga perlu diorientasikan pada upaya-upaya
sistemik yang lebih makro, seperti menjawab persoalan pengangguran, memproteksi
dan melindungi produksi dalam negeri. Dengan begitu, forum tripatrit menjadi efektif
karena impaknya akan lebih besar dan lebih luas. “Mungkin persisnya seperti model
pakta sosial di Negara-negara yang sudah maju itu, seperti yang terjadi di beberapa
Negara Skandinavia,” ujarnya.20 Menurut Ulin, pakta sosial seperti itu merupakan
model ideal tripatrit dimana sebetulnya forum itu benar-benar efektif untuk
membicarakan banyak hal, bahkan mungkin tidak terbatas pada issu-issu perburuhan
secara spesifik, tapi juga persoalan ketenagakerjaan pada umumnya, termasuk juga
persoalan-persoalan ekonomi nasional secara kontektual, seperti penanggulangan
pengaguran, memperkuat daya saing, melakukan proteksi terhadap industri dalam
negeri, efisiensi dan efektifitas birokrasi, dan persoalan krusial lainnya yang bersifat
nasional.

Prospek Social Pact


Olle Tornquist menyebutkan bahwa gagasan mengenai social pact sejatinya bukanlah
sesuatu yang asing dalam konteks sosial-politik di Indonesia. Menurutnya, upaya ini
setidaknya dapat dirujuk pada pengalaman politik dari tahun 1945 hingga 1948 dimana
telah terjadi kesepakatan yang luas diantara sejumlah kelas dan kelompok yang
modern, plural, dan berdasarkan atas hak, demokrasi, dan berdasar pada konsep

18 Wawancara dengan Lilis Mahmudah, Jakarta: 24 November 2006.

19 Ibid.

20 Wawancara dengan Ulin Ni’am Yusron, Jakarta: 8 Desember 2006.

13
negara-bangsa yang independen. Hal yang sama juga pernah terjadi antara tahun 1952
dan 1965 dimana ”kaum borjuis nasional” (national bourgeoisie), membangun
kesepakatan bersama diantara para kelompok buruh dan kaum tani. 21

Pakta sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah hasil yang didapat dari
proses dialog pada level nasional mengenai issu-issu bersama yang berkaitan dengan
masalah kebijakan sosial dan ekonomi diantara pihak pengusaha, pekerja (buruh), dan
pemerintah. Pada tataran praksisnya, pakta sosial ini dapat mewujud dalam beragam
aktivitas, seperti negoisasi dan pengambilan keputusan bersama (concertation). Pada
akhirnya pakta sosial ini diharapkan menghasilkan konsesus, setelah pihak-pihak yang
terlibat melakukan terobosan dan mendamaikan kepentingan-kepentingan yang
berbeda untuk mendapatkan titik temu yang dapat disepakati bersama. Jika mengacu
pada pengalaman di beberapa negara, pada dasarnya semua model pakta sosial yang
ada secara fundamental berbasis pada kepentingan ekonomi bersama dari aspek yang
sangat penting dan strategis, baik dari sudut modal atau pengusaha maupun dari sudut
organisasi buruh.22

Apakah pengalaman itu dapat dieksplorasi kemungkinannya untuk diterapkan dan


dikontekstualisasikan di Indonesia ? Dalam konteks ini, Olle Tornquist mengajukan dua
pertanyaan utama, (i) Apa pilar-pilar yang dipromosikan, dinamika yang terjadi, dan
masalah-masalah yang dihadapi oleh pakta-pakta sosial yang ada?; (ii) Bagaimana itu
semua di-’de-contextualised’, sehingga kita dapat mengidentifikasi berbagai pra-kondisi
dan faktor-faktor ’minimum’ yang umum, dan untuk kemudian dieksplorasi
kemungkinannya bila ini dikembangkan dalam konteks Indonesia.23
Aktivis ASPEK Indonesia, Yanuar Rizky menilai bahwa wacana pakta sosial di
Indonesia seringkali sangat reduksionis. Artinya, dipersempit (just a small part)
menjadi masalah industrial semata dengan memposisikan pengusaha di satu sisi dan
buruh di sisi lainnya secara diametral. Padahal, menurutnya, pakta sosial harus dilihat
dalam kerangka yang lebih besar sebagai transaksi negara dalam konteks triangle:
pemerintah, sektor bisnis dan society. Hal ini secara sederhana dapat divisualisasikan
sebagai berikut:

Pemerintah

Corporate Sector Society

21 Pandangan Olle Tornquist ini disampaikan dalam Focus Group Dsicussion mengenai Social Pact
yang diselenggarakan DEMOS di Jakarta 5 Oktober 2006.

22 Nur Iman Subono dan Sofian Asgart (2006), “Menimbang Sosial Pact Sebagai Model Alternatif
Perluasan Gerakan Demokrasi di Indonesia,” draf makalah untuk Konferensi Rethinking Popular
Representation, The CPD Workshop, Oslo, October 26-27, 2006.

23 Ibid.

14
Dalam kerangka seperti itu, maka buruh tidak bisa diberi beban yang lebih berat untuk
bertarung vis a vis dengan dunia usaha. Namun tugas ini harus dipikul secara bersama
oleh society at large dimana buruh sendiri hanya salah satu bagiannya. Menurutnya,
semua permasalahan tersebut tidak bisa semerta-merta dibebankan kepada kelompok
atau serikat buruh semata. Justru kelompok buruh-lah yang harus mendapatkan
dukungan dari berbagai kalangan, termasuk para ekonom, akademisi, dan kelompok
masyarakat lainnya, terutama media.

Yanuar mencontohkan, misalnya, dalam hal tuntutan peningkatan upah. Ketika buruh
meminta upahnya ditingkatkan, seharusnya pihak-pihak lain turut mendukung, dan
bukannya melihatnya sebagai keegoisan sikap buruh. Karena apa? Karena kalau buruh
medapatkan kenaikan gaji, maka perputaran uang itu juga akan kembali ke
masyarakat. “Bukan hanya buruh yang diuntungkan, tapi juga kelompok masyarakat
lain seperti tukang bubur atau tukang bakso di sekitar pabrik, pemilik kontrakan
rumah, jasa transportasi, dan kelompok masyarakat lainnya. Demikian juga ketika
terjadi PHK massal, semua juga terkena dampaknya. Jadi, ekonomi itu harus dilihat
sebagai bagian dari solidaritas. Sistem ekonomi hanya dapat berjalan apabila ada
solidaritas diantara semua kelompok masyarakat,” ujarnya.24

Dalam konteks pakta sosial, kelompok pengusaha juga harus “meluruskan” pola
pikirnya bahwa dia bukan saja membuat job market, tapi juga membutuhkan market
region. Karena itu, pengusaha tidak hanya melihat buruh sebagai pekerja semata, tapi
juga sebagai bagian dari masyarakat yang menjadi target market (pembeli) dari
produknya. Karena itu, ketika pengusaha menaikkan upah buruh, sejatinya ia sedang
meningkatkan daya beli masyarakat agar masyarakat sanggup membeli barang
dagangannya. “Jadi itulah yang namanya transaksi negara yang sekaligus juga
transaksi social multiflier effect dimana sesungguhnya kenaikan upah buruh juga akan
berimplikasi terhadap dunia usaha secara timbal balik,” tambah Yanuar.25 Dalam
kerangka inilah pakta sosial menjadi hal yang penting untuk dibangun secara bersama
antara pemerintah, corporate sector, dan buruh sebagai bagian tak terpisahkan dari
society.

Menurut Rekson Silaban, salah satu kegagalan tidak mulusnya hubungan industrial di
Indonesia adalah karena rendahnya rasa saling percaya antara buruh dengan
pengusaha. Buruh selalu melihat pengusaha adalah pembohong yang selalu
mendeklarasikan kerugian sementara pengusaha memandang serikat buruh sebagai
lembaga yang tahunya hanya menuntut tanpa peduli dengan kesulitan pengusaha.
Selain itu, hukum perburuhan di Indonesia tidak mengharuskan kedua belah pihak –
buruh dan majikan– bersedia melakukan perundingan bila ada masalah. UU
perburuhan hanya menulis mekanisme perundingan bila kedua belah pihak mau
berunding, tapi tidak mengharuskan pihak-pihak untuk berunding. Jadi bila ada
masalah hubungan industrial, tidak ada kewajiban bagi kedua belah pihak untuk
berunding. “Pengusaha bisa menghindari perundingan dengan berdalih sedang sibuk,
begitu pula sebaliknya. Inilah kasus yang selama ini membuat hubungan industrial kita
buruk dan menjadi pemicu utama maraknya pemogokan,” ujarnya.26

24 Wawancara dengan Yanuar Rizky, Jakarta: 2 Desember 2006.

25 Ibid.

26 Wawancara dengan Rekson Silaban, Jakarta: 8 Desember 2006.

15
Karena itu, menurut Rekson, kunci utama bagi pembentukan pakta sosial adalah
diupayakannya social dialogue (dialog sosial). “Pakta sosial harus dimulai dari dialog
sosial, karena tidak mungkin ada pakta sosial tanpa didahului dengan dialog sosial,”
tambahnya. Namun justru budaya dialog inilah yang minim dimiliki serikat buruh
maupun pengusaha dalam konteks hubungan industrial. Bagi kalangan buruh sendiri
miskinnya budaya dialog ini mungkin sebagai akibat pengalaman buruk masa lalu,
dimana pemerintah dan pengusaha seringkali berkolaborasi merepresi buruh sehingga
banyak aktivis serikat buruh yang tidak mempercayai pengusaha maupun pemerintah.
Akibatnya, buruh dan serikat buruh dalam beberapa peristiwa lebih menghendaki
penyelesaian masalah melalui penekanan massa (presser group), seperti unjuk rasa dan
mogok kerja ketimbang melalui jalur dialog. Namun tanpa disadari, pola perjuangan
seperti ini menciptakan semacam “api dalam sekam” karena pengusaha yang dipaksa
menyetujui sesuatu melalui desakan massa hanya menunggu momentum lain untuk
melakukan pembalasan (lock out). Contoh nyata atas kasus ini, misalnya, hengkangnya
perusahaan Sony ke Malaysia pada tahun 2004. Sony memilih Malaysia sebagai tempat
beroperasi sekalipun upah buruh di sana 2/3 kali lebih mahal dari Indonesia.

Kendala lain yang menghambat dibangunnya pakta sosial adalah lemahnya peran
pemerintah. Aktivis SBTPI, Dedi Fauzi, menilai pemerintah tidak mampu
menjembatani kepentingan buruh dan pengusaha. Dalam banyak kasus, bahkan,
pemerintah cenderung membela kepentingan pengusaha dari pada kepentingan buruh.
Sementara itu, semangat pengusaha untuk membangun pakta sosial pun patut
dicurigai karena beberapa pengalaman menunjukkan bahwa mereka hanya
memanfaatkan momentum semata. ”Dulu kami pernah demontrasi bersama pengusaha
untuk menekan pemerintah agar membatalkan kenaikan BBM. Namun ternyata para
pengusaha itu hanya memanfaatkan kita saja,” ujarnya.27
Berbagai kendala itulah yang menjadi alasan beberapa aktivis serikat buruh
menyampaikan pesimismenya bagi upaya pembentukan pakta sosial. Aktivis gerakan
anti-korupsi yang pernah malang-melintang di dunia perburuhan, Teten Masduki, juga
merasa pesimis atas upaya pembentukan pakta sosial itu. Namun menurutnya bukan
berarti hal itu tidak mungkin. Hanya saja dibutuhkan beberapa prasyarat dan pra-
kondisi agar alternatif itu menjadi masuk akal. Prasyarat dan prakondisi itu terutama
adanya organisasi buruh yang solid, ”kedewasaan” para pengusaha, serta goodwill dan
political will dari pemerintah atas persoalan-persoalan ketenagakerjaan dan
kesejahteraan.28

Sejalan dengan itu, aktivis SPN, Lilis Mammudah, menyatakan bahwa meskipun
sangat sulit membayangkannya, namun upaya pembentukan pakta sosial bukanlah
sesuatu yang mustahil sejauh kita mampu menyiapkan berbagai pra-kondisi sebagai
prasyaratnya. ”Itu saya kira masih mungkin, bahkan, pakta sosial ke depan sangat
penting untuk terus diupayakan. Tapi ini pun bukan hanya sebatas basa-basi pula.
Artinya semua pilar harus merasa penting untuk membangunnya,” ujarnya.29

Untuk mewujudkan hal itu, Lilis menawarkan beberapa pra-kondisi sebagai syaratnya.
Pertama, organisasi buruh sendiri harus melakukan evaluasi dan introspeksi atas

27 Wawancara dengan Dedi Fauzi, Jakarta: 27 November 2006.

28 Pandangan Teten Masduki ini disampaikan dalam Focus Group Dsicussion mengenai Social Pact
yang diselenggarakan DEMOS di Jakarta 5 Oktober 2006.

29 Wawancara dengan Lilis Mahmudah, Jakarta: 24 November 2006.

16
gerakannya selama ini. Jangan-jangan posisinya yang underdog ini disebabkan karena
kapabelitas dan SDM buruh memang rendah sehingga sangat mudah dibodohi dan
dibohongi. Untuk itu menjadi penting bagi para aktivis buruh melakukan up-grading
kemampuannya sehingga ia akan memiliki posisi tawar yang baik.

Kedua, pengusaha kita juga harus punya komitmen dan nasionalisme yang tinggi untuk
membangun industri nasional, jangan hanya menjadi perpanjangan tangan kapitalisme
global. Sebetulnya, kalau mau jujur, di Indonesia itu belum ada pengusaha sejati. Yang
ada adalah mandor-mandor pabrik dari perusahaan-perusahaan multinasional. Contoh,
misalnya, pabrik sepatu di Tangerang. Mereka tidak punya kreativitas sendiri selain
menjalankan pesanan Adidas, Fila, Spech, dan lain-lain. Karena itu ketika terjadi
krisis, mereka tidak punya daya untuk melindungi para pekerja karena sesungguhnya
mereka merupakan korban juga. Karena itu, para pengusaha kita juga perlu dididik
agar menjadi pengusaha sejati yang memiliki tanggung jawab, komitmen, dan
nasionalisme, selain juga kreatifitas yang tinggi.

Ketiga, pemerintah jangan hanya membebek kepada kepentingan-kepentingan sempit,


seperti IMF, World Bank, atau kepentingan intrik elit politik, tapi harus lebih berpihak
kepada kepentingan rakyat. Yang terjadi sekarang justru sebaliknya, kepentingan
rakyat dikorbankan seperti pada kasus revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK).
Jadi, semua pihak harus membangun kesadaran yang sama, membangun komitmen
yang sama untuk tujuan bersama yang lebih luas.30

Sejalan dengan itu, Dita Indah Sari juga berkomentar bahwa kondisi perburuhan kita
saat ini memang sulit dan sangat memprihatinkan, tapi bukan berarti tertutup
kemungkinan bagi upaya pembangunan fakta sosial. Ia masih optimis bahwa upaya
pembentukan pakta sosial di Indonesia masih sangat memungkinkan. Untuk itu, perlu
upaya-upaya keras dari sejumlah tokoh buruh untuk meyakinkan unsur-unsur lain
tentang apa yang akan di-pakta-kan. Persoalan yang menjadi konsensus untuk di-
pakta-kan juga tidak terbatas pada kepentingan buruh dan pengusaha semata, tapi
pada kepentingan yang lebih besar, misalnya dalam rangka melindungi industri
nasional secara bersama-sama. “Kalau kepentingan yang lebih luas itu yang menjadi
basisnya, saya kira sangat bisa. Karena faktanya sekarang industri dalam negeri
sedang terdesak, para pengusaha juga banyak yang bangkrut dan tidak punya
perlindungan yang memadai sementara kapasitas produksinya rendah. Dalam kondisi
seperti ini saya kira semua pihak bisa duduk bersama dan berpikir bersama secara
jernih,” ujarnya.31

Dengan berbagai argumen tersebut sejatinya pakta sosial masih sangat mungkin
diupayakan di Indonesia. Hanya saja upaya ini jangan diorientasikan pada hal-hal yang
spesifik seperti batasan upah, meskipun itu juga penting. Hal-hal seperti itu cukuplah
diurus oleh serikat-serikat buruh sektor di tingkat pabrik, sementara dalam pakta
sosial lebih berorientasi pada kepentingan yang lebih luas dan longterm sehingga dapat
mengikat secara lebih umum dan secara nasional. Jika itu yang diupayakan, besar
kemungkinan pakta sosial akan mendapat dukungan luas dari banyak pihak, karena
mereka sama-sama diuntungkan.

30 Ibid.

31 Wawancara dengan Dita Indah Sari, Jakarta: 22 November 2006.

17
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah keseriusan dari semua pihak untuk terus
melakukan eksprimentasi termasuk juga dengan melakukan komparasi dengan
pengalaman-pengalaman di beberapa negara yang telah terbukti sukses
mempraktekkan model pakta sosial. Sebagai bahan bandingan, Rekson Silaban
mengusulkan untuk memperhatikan pengalaman beberapa negara Eropa, terutama
negara-negara Skandinavia yang telah berhasil membangun pakta sosial melalui
pengaturan perundingan yang didasarkan atas niat baik para pihak yang berunding
(good faith negotiation).32

Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan model pakta sosial dapat dilakukan di


Indonesia, tentu saja dengan mencoba dan terus bereksperimentasi secara bertahap.
Mungkin seperti yang diusulkan sosiolog Tamrin Amal Tomagola bahwa pakta sosial
dapat dimulai dari apa yang nyata, jangan dimulai dari apa yang mungkin!33
***

Bahan Pustaka

Donni Edwin, “Politik Gerakan Buruh: Kasus FNPBI dan KPS” dalam AE. Priyono, et all.,
(2003). Gerakan Demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto. Jakarta: DEMOS.

John Martinussen (1977) Society, State and Market, A Guide to Competing Teories of
Development, Guide to Competing Theories of Development London, New Jersey: Zed Book Ltd.

Rueschemeyer, D., Stephens, E.H., & Stephens, J.D. (1992). Capitalist Development and
Democracy. Cambridge, UK: Polity Press.

Tim Penulis DEMOS (2005). Menjadikan Demokrasi Bermakna. Jakarta: DEMOS.

Wawancara

Wawancara dengan Dita Indah Sari, Jakarta: 22 November 2006.


Wawancara dengan Lilis Mahmudah, Jakarta: 24 November 2006.
Wawancara dengan Dedi Fauzi, Jakarta: 27 November 2006.
Wawancara dengan Yanuar Rizky, Jakarta: 2 Desember 2006.
Wawancara dengan Felikson Silitonga, Jakarta: 5 Desember 2006.
Wawancara dengan Ulin Ni’am Yusron, Jakarta: 8 Desember 2006.
Wawancara dengan Rekson Silaban, Jakarta: 8 Desember 2006.

32 Model yang sama, menurut Rekson Silaban, pernah juga dipakai di Australia, New Zeland, dan
Amerika Serikat dimana ada keharusan pihak yang bertikai menghadiri perundingan untuk
menghentikan ketidakpastian dan situasi deadlock. Dalam kondisi itu, buruh tidak boleh
melakukan pemogokan, sementara pihak perusahaan juga tidak dibenarkan melakukan balas
dendam (lock out) selama masa perundingan. Semua pihak juga bersepakat untuk tidak
melakukan tindakan kekerasan.

33 Pandangan Tamrin Amal Tomagola ini disampaikan dalam Focus Group Dsicussion mengenai
Social Pact yang diselenggarakan DEMOS di Jakarta 5 Oktober 2006.

18
MELAKUKAN PENGUKURAN KINERJA SERIKAT PEKERJA
Aryana Satrya1

ABSTRACT

The success of a labour union is measured by its effectiveness .


In the literature on unions, the concepts of union effectiveness
generally focus on goals-oriented measures. For example, the
success of unions to retain members (Fiorito dan Jarley, 1995,
Gahan dan Bell, 1999) or to win elections (Bronfenbrenner,
1997). Those research did not proprerly measure the process of
achieving goals and the quality of acquired resources. This
article explores the application of a
comprehensive, multidimensional, measures of union
effectiveness at workplace. I use spatial model of Quinn and
Rohrbaugh (1983) that employs complete and balanced
indicators of effectiveness. Empirical data is provided from a case
study of union in Indonesian services company.

Kata kunci: serikat pekerja, kinerja serikat buruh, pengukuran,


efektivitas.

PENDAHULUAN

Setelah berjuang membentuk serikat pekerja, merekrut anggota, melakukan negosiasi


dengan pengusaha, dan menjalankan beragam program kegiatan, maka sudah saatnya
kita melakukan pengukuran kinerja serikat pekerja. Efektivitas serikat pekerja menjadi
hal yang penting dalam pencapaian kebutuhan anggota serikat pekerja pada situasi
yang tidak menentu seperti dewasa ini. Hasil pengukuran akan memberikan masukan
demi peningkatan kinerja di masa mendatang. Meskipun demikian, bahan rujukan
mengenai serikat pekerja tidak memberikan tolok ukur kinerja yang memadai. Artikel
ini berupaya merintis kajian efektivitas serikat pekerja dengan mengambil kondisi di
negara berkembang.

KAJIAN LITERATUR

Daft (2004: 66) menjelaskan bahwa efektivitas adalah kemampuan suatu organisasi
untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut, Cherrington dan Dyer (2003: 10)

1
Aryana Satrya adalah kandidat PhD di School of Political Science, University of Queensland,
Australia. Dia menyelesaikan pendidikan sarjananya dari jurusan Teknik industri, Institut
Teknologi Bandung, dan pendidikan masternya di bidang manajemen dari Universitas Indonesia.

19
mendefinisikan bahwa suatu organisasi dapat disebut efektif jika dapat memperoleh
sumber daya yang diperlukan dari lingkungan, mengolahnya menjadi produk yang
bermanfaat, dan melakukan adaptasi sesuai perubahan tuntutan lingkungan. Rujukan
membedakan cara mengukur efektivitas organisasi ke dalam pendekatan berbasis
sumber daya, pendekatan proses internal, dan pendekatan tujuan (Daft, 2004: 66).
Pendekatan berbasis sumber daya atau pendekatan adaptasi menggambarkan
kemampuan suatu organisasi untuk memperoleh dan mengelola sumber daya yang
vital, atau beradaptasi sesuai perubahan lingkungan. Harrison (2005) mengusulkan
untuk menggunakan indikator kualitas dan kuantitas sumber daya atau daya
penyesuaian dan inovasi organisasi. Perguruan Tinggi sering menggunakan standar
nilai masuk, tingkat akreditasi, dana riset yang dimenangkan, atau peringkat di antara
institusi sejenis untuk menunjukkan reputasi mereka.

Proses transformasi yang mulus, yang melibatkan pekerja dan kerja sama tim akan
meningkatkan produktivitas organisasi. Organisasi dapat menerapkan ukuran efisiensi
jika ada hubungan yang jelas antara masukan dan keluaran. Contohnya, kita dapat
membandingkan antara jumlah pasien yang dirawat terhadap kapasitas rumah sakit,
atau jumlah publikasi perguruan tinggi (Robbins dan Barnwell, 1994: 67). Meskipun
demikian, ukuran tersebut tidak selalu mudah diterapkan, terutama pada organisasi
nirlaba. Oleh karena itu, ukuran subyektif yang sukar dikuantitatifkan lebih sering
dipakai, antara lain kepuasan pekerja, rendahnya tingkat perselisihan, komunikasi
terbuka antara pekerja dan manajemen, dan partisipasi pekerja dalam pengambilan
keputusan (Daft, 2004; Harrison, 2005).

Model berorientasi tujuan memiliki ukuran yang jelas. Oleh karena itu, model ini sesuai
untuk organisasi bisnis yang memusatkan perhatian kepada indikator pencapaian yang
mudah diukur dan jelas, mosailnya tingkat keuntungan, pertumbuhan, pangsa pasar,
mutu produk, maupun tanggung jawab sosial (Shetty, 1979 dikutip dari Daft, 2004: 67).
Sayangnya, perspektif pencapain-tujuan ini sukar diterapkan untuk organisasi nirlaba
dan di bidang jasa karena pada umumnya organisasi-organisasi tersebut merupakan
entitas yang kompleks, serta memiliki beragam tujuan, yang dapat saja bersifat
abstrak, tidak konsisten, bahkan bertolak belakang, sehingga sukar untuk diukur
(Kanter dan Summers, 1987 dikutip dari Courtney, 2002: 124; Harrison, 2005).
Menerapkan multi-indikator atau ukuran subyektif merupakan alternatif solusi (Daft,
2004: 68).

Fiorito et al. (1993b: 114) berpendapat bahwa ada beberapaa aspek yang saling
melengkapi dari pendekatan-pendekatan tersebut, mengingat tiap pendekatan memiliki
penekanan yang berbeda namun penting terhadap fenomena kompleks suatu organisasi.
Cameron dan Whetten (1983: 263) juga menganjurkan penggunaan multi kriteria untuk
mengukur efektivitas organisasi. Selain itu, Courtney (2002: 42) mengungkapkan bahwa
beberapa studi mengenai organisasi nirlaba mengombinasikan beragam metode
pengukuran, termasuk reputasi atau tingkat kepuasan dari manajemen/ pekerja/
penyumbang dana, penerimaan masyarakat, pencapaian target, dan pertumbuhan
keanggotaan. Pendekatan nilai-nilai bersaing (competing-values) menawarkan kerangka
kerja yang lengkap untuk organisasi yang memiliki beragam tujuan yang sukar diukur
(Robbins dan Barnwell 1994: 67).

Quinn dan Rohrbaugh (1983: 371-73) membahas beberapa elemen efektivitas dari studi-
studi terdahulu. Mereka berpendapat bahwa ada elemen-elemen yang sama dari
kriteria efektivitas studi-studi tersebut. Elemen-elemen tersebut dapat dikombinasikan
untuk membentuk kumpulan nilai-nilai yang bersaing. Pendekatan ini dibedakan atas

20
dua tingkatan: (a) model rasional yang membahas mengendai pengendalian, formalisasi,
dan konsolidasi, dan (b) model sistem alami (natural) mengenai kelenturan dan daya
adaptasi. Pada tingkatan berikutnya, model rasional dibedakan menjadi model tujuan
rasional yang membahas produktivitas, perencanaan, evaluasi, dan aspek eksternal,
serta model proses internal yang membahas pengendalian, kestabilan, dan aspek
internal seperti komunikasi dan informasi. Adapun model sistem alami terdiri atas
model sistem terbuka mengenai pemerolehan sumber daya, dukungan eksternal, dan
kelenturan menyesuaikan dengan lingkungan, serta model hubungan manusia yang
berkaitan dengan moral, kohesi, dan penghargaan atas sumber daya manusia. Kajian
mereka menunjukkan bahwa hanya 25 persen dari studi terdahulu yang menggunakan
keempat jenis model secara bersama-sama. Model nilai-nilai bersaing itu dapat dilihat
pada Gambar 1.

Quinn dan Cameron (1983) memberikan contoh penerapan model tersebut. Pada tahap
awal daur hidupnya, suatu organisasi cenderung menerapkan model sistem terbuka
agar dapat memapankan dirinya beradaptasi dengan lingkungan untuk memperoleh
sumber daya yang memadai. Pada tahap ini struktur organisasi relatif sederhana,
memungkinkan berkembangnya kreativitas dan inovasi, dan tidak menekankan pada
produktivitas dan pencapaian yang terukur. Pada tahap selanjutnya, organisasi
mengadakan pelatihan dan pengembangan struktur untuk menumbuhkan komitmen
dan kerja sama anggotanya, sebagai tanda semakin diadopsinya model hubungan
manusia. Sejalan dengan pertumbuhan organisasi, diperlukan langkah-langkah
formalisasi untuk menciptakan kestabilan karena perhatian utama adalah pada upaya
efisiensi dan penciptaan profit. Pada tahap ini, model tujuan rasional dan model proses
internal mendominasi kriteria-kriteria pengukuran kinerja.

21
General Middle-range Conceptual
Orientation Orientation Orientation

Productivity, efficiency

Ends
Rational goal model

Means
External
Planning, objective
evaluation

Stability, control
Rational Model

formalization,

Internal

Ends
Integration,

Internal process model


control

Means
Information
communication
Organizational
analysis
spontaneity, flexibility

Resource acquisition,
Natural System Model

Ends
external support
Open system model
Differentiation,

Means
External

Flexibility, readiness

Value of human
Internal

Ends

Human relations model


Means

Cohesion, morale

Gambar 1 Pendekatan Competing-Values Approach (dari Quinn dan Rohrbaugh, 1983: 374)

Pada kajian mengenai serikat pekerja, konsep efektivitas serikat pekerja diterjemahkan
menjadi beragam variabel operasional untuk menggambarkan seberapa baik upaya
serikat pekerja dalam mencapai tujua organisasi. Contohnya adalah kapasitas serikat
pekerja untuk menjaga kesinambungannya (Boxall dan Haynes, 1997: 568; Frege, 2002:
68, Kuruvilla, Das, Kwon, dan Kwon, 2002: 42), untuk mempertahankan anggotanya
(Fiorito dan Jarley, 1995: 614, Gahan dan Bell, 1999: 3), atau memenangkan
pemungutan suara untuk menentukan hak representasi serikat pekerja atas tempat
kerja tertentu (Bronfenbrenner, 1997: 197). Di Indonesia, SMERU (2002: 48) dan
Sutanto (1998: 191-94) menjelaskan bahwa serikat pekerja dianggap efektif apabila
dapat mempertahankan hak-hak anggotanya, memperoleh hasil yang memuaskan
dalam perjanjian kerja bersama (PKB), dapat menyelesaikan perselisihan, melakukan
komunikasi yang baik, dan mampu memberdayakan anggotanya.

Indikator efektivitas dapat digolongkan menjadi dua kategori: (a) variabel subyektif
berdasarkan hasil penilaian sendiri, misalnya persepsi pemimpin serikat pekerja
terhadap kinerja serikat pekerjanya, sebagaimana dipakai oleh Fiorito, Jarley, dan
Delaney (1995); dan (b) variabel obyektif seperti hasil pemungutan suara dan
pertumbuhan jumlah anggota seperti yang dipakai pada studi Bronfenbrenner (1997)
dan Gahan & Bell (1999). Indikator subyektif dipakai untuk mengukur konsep yang

22
tidak dapat dicakup oleh indikator obyektif. Dalam hal ini Gahan dan Bell (1999: 16)
menyarankan penggunaan yang berhati-hati karena pengukuran berdasarkan penilaian
sendiri memiliki potensi untuk menciptakan ketidakkonsistenan statistik.

Selain itu, Fiorito et al. (1995: 629) menyarankan pemakaian skala komposit yang
terdiri atas beberapa pernyataan sehingga dapat menawarkan keandalan dan
kesahihan konseptual yang lebih tinggi bila dibandingkan pemakaian ukuran tunggal.
Dengan demikian, skala komposit ini memberikan kesempatan untuk memadukan
indikator subyektif dan obyektif.

Para peneliti di bidang hubungan industrial pada umumnya lebih banyak menggunakan
indikator model tujuan dari pada model-model lainnya yang mengukur proses dan
operasi internal. Contohnya adalah indikator pada studi Bronfenbrenner (1997) dan
Gahan dan Bell (1999) yang memakai ukuran pertumbuhan anggota dan perubahan
densitas serikat pekerja, Boreham dan Hall (1994) yang memakai tingkat
pengangguran. Bahkan hanya tiga dari 16 indikator efektivitas dari Fiorito et al. (1995)
yang dapat dikategorikan ke dalam model proses.

Selain itu, hanya sedikit penelitian yang menggunakan tolok ukur dimensi ganda untuk
efektivitas serikat pekerja, misalnya Fiorito et. al (1993a) serta Boxall dan Haynes
(1997). Beberapa kajian terkini memang menyarankan pemakaian pengukuran dimensi
ganda. Contohnya Pyman (2002: 6) yang menyarankan pemakaian enam dimensi
efektivitas serikat pekerja, yaitu peningkatan syarat dan kondisi kerja, pertumbuhan,
demokrasi internal, stabilitas organisasi, aktivisme, dan aktivitas serikat pekerja yang
berorientasi gerakan sosial (social movement unionism). Burchielli (2004:339)
menggolongkan efektivitas serikat pekerja ke dalam dimenis administratif,
representatif, dan ideologi. Secara keseluruhan, kedua kajian ini agak membingungkan
karena beberapa indikator pada model Pyman saling tumpang tindih dipakai pada
berbagai dimensi, misalnya variabel budaya, ideologi, dan sumber daya. Indikator
Burchielli, misalnya nilai-nilai sosial dan lingkungan politik, masih memerlukan
tahapan pengoperasionalan. Selain itu, kedua model juga mencampuradukkan antara
kriteria efektivitas serikat pekerja dan variabel penentu efektivitas. Beberapa
indikators, misalnya strategi serikat pekerja dan kepemimpinan, merupakan variabel
penentu efektivitas serikat pekerja pada kajian lainya, misalnya pada studi
Bronfenbrenner (1997) dan Nissen (2003). Kajian lain oleh Satrya (2006) meneliti
hubungan antara strategi serikat pekerja dengan efektivitas serikat pekerja pada 100
serikat pekerja di industri jasa Indonesia.

METODOLOGI PENELITIAN
PENELITIAN

Metodologi penelitian studi ini berdasarkan pendekatan studi kasus kualitatif yang
memakai beragam metode dengan melakukan wawancara, pengamatan, dam studi
dokumen (Kelly, 1999; Yin, 2003). Studi ini memakai kerangka kerja Quinn dan
Rohrbaugh (1983), yang dituangkan ke dalam kuesioner memakai indikator subyektif
dan obyektif. Respon dari tiap pernyataan dituangkan menjadi variabel dikotomi (“ya”
atau “tidak”), yang mengindikasikan ada tidaknya indikator tersebut dalam praktek
serikat pekerja bersangkutan (lihat Tabel 1).

Model rasional diukur dengan: (1) pencapaian instrumental atau ekonomi: efisiensi
(adanya perjanjina kerja bersama (PKB), mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK),
memenangkan kasus perselisihan), distribusi pendapatan (peningkatan gaji atau

23
tunjangan, proghram kepemilikan saham oleh pekerja); (2) proses audit terhadap
kinerja serikat; (3) penilaian-sendiri, indikator subyektif pada studi ini berdasarkan
persepsi pemimpin serikat pekerja terhadap keberhasilan serikat pekerja dalam
merekrut dan mempertahankan anggota, serta keberhasilan keseluruhan dalam
mencapai tujuan; dan (4) adanya saluran komunikasi untuk dialog dengan anggota atau
masyarakat umum.

Model sistem alami diukur dengan: (1) pertumbuhan keanggotaan; (2) akuisisi sumber
daya berupa dukungan dari pengusaha dan pihak luar; dan (3) peningkatan mutu
anggota melalui survei kepuasan anggota dan anggota yang sudah mengikuti pelatihan
serikat pekerja.

Tabel 1 Variabel Efektivitas Serikat Pekerja

24
LATAR BELAKANG SINGKAT
SINGKAT STUDI KASUS

Iklim hubungan industrial yang lebih demokratis tercipta di Indonesia sejak jatuhnya
pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Jumlah serikat pekerja di tingkat perusahaan
telah berkembang dari 6.211 pada bulan Oktober 1999 menjadi 18,352 pada survey
tahun 2005 setelah berlakunya Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 mengenai Serikat
Buruh Serikat Pekerja. Jika di bulan Juli 1998 hanya ada satu federasi serikat pekerja,
maka jumlahnya melonjak menjadi 64 di bulan Desember 2002, dan 86 di bulan Januari
2005, dan belum berubah pada tahun 2008. Meskipun demikan, jumlah anggota serikat
pekerja di Indonesia masih relatif rendah. Hasil verifikasi keanggotaan tahun 2005
memberikan angka 6,2 persen atau 3,3 juta anggota (Depnaker, 2006). Negara ASEAN
lainnya adalah Singapura 14 persen, Filipina 12 persen, serta Vietnam dan Malaysia
sekitar 10 percent. Hanya Thailand yang lebih rendah yaitu 6 persen (Parasuraman dan
Satrya, 2008: 15).

Perusahaan tempat SPP beroperasi memiliki lebih dari 26.000 pekerja yang tersebar di
lebih dari 4.000 kantor. Didirikan pada tahun 1906, perusahaan ini dinasionalisasi pada
tahun 1945. Meskipun perusahaan ini masih mendominasi segmen pasar tertentu
karena adanya regulasi pemerintah, namun pesaing dari dalam dan luar negeri memilik
pangsa pasar yang lebih besar pada layanan yang tidak dibatasi oleh regulasi.

Serikat pekerja di perusahaan ini telah ada sejak tahun 1905 (Ford, 2003: 347). Pada
masa kemerdekaan terdapat beberapa serikat pekerja, baik yang independen, maupun
yang mengacu ke partai politik tertentu (Cahyono, 2003: 139). Pada masa Soeharto,
sebagaimana BUMN lainnya, para pekerja menjadi anggota Korps Pegawai Negeri
Indonesia (KORPRI). Pada tahun 2000, SPP didirikan setelah keluarnya Peraturan
Pemerintah No. 12/ 1998 diikuti surat S-19/MSA-5/PBUMN/1999 dari Kementrian
BUMN yang mendorong pembentukan serikat pekerja di tiap BUMN. Anggota SPP
mencapai lebih dari 24.000 orang atau 95 persen dari total pekerja. Sebuah serikat
pekerja lain yang didukung oleh manajemen didirikan pada tahun 2002 dan memiliki
anggota sekitar 4 persen dari total pekerja (wawancara dengan Ketua Dewan Pimpinan
Nasional SPP, 18 April 2005).

HASIL PENELITIAN

Model Rasional

Produktivitas.

SPP telah mencapai sebagian dari tujuan ekonomi atau instrumentalnya melalui
penetapan PKB dan memenangkan beberapa kasus perselisihan. Sejak tahun 2000, SPP
telah mencapai PKB-nya yang ke-4. Pada tahun 2002, SPP berhasil meningkatkan gaji
secara signifikan, dan memasukkan klausul kenaikan gaji otomatis dalam PKB-nya.
Meskipun demikian, ada pengurangan pekerja di tahun 2003 karena jumlah pekerja
yang terlalu banyak di tingkat penyelia. Dalam hal itu, SPP berhasil menegosiasikan
program pensiun dini yang cukup memuaskan untuk 1.400 anggotanya. SPP belum
memperjuangkan program kepemilikan saham karena perusahaan tersebut adalah
BUMN yang belum melakukan privatisasi.

25
Efektivitas Organisasi.

Pimpinan SPP berpendapat bahwa serikat pekerja cukup efektif dalam mewujudkan
tujuan organisasi. Mutu rekrutmen diperlihatkan dengan adanya keterlibatan aktif
anggota, di mana mereka selalu memberikan dukungan pada tiap program SPP,
termasuk dalam aksi industrial seperti memakai tanda khusus pada hari solidaritas,
memperlambat kerja, dan demonstrasi. SPP memakai taktik pengorganisasian dan
pemberian layanan dalam perekrutan anggota. Selain mengangkat isyu kesejahteraan,
SPP juga membawa isyu efisiensi, produktivitas, dan pengelolaan perusahaan secara
baik (good corporate governance). Contohnya adalah tanggapan kritis atas inisiatif
perusahaan untuk membuka sistem waralaba (wawancara dengan Dewan Pimpinan
aerah SPP, 4 April 2005). Selain itu, SPP menyediakan dukunagn advokasi, penyediaan
skema kepemilikan rumah, pinjaman, dan diskon belanja (wawancara dengan Dewan
Pimpinan Nasional SPP, 18 April 2005).

Pengendalian.

SPP belum melakukan audit secara rutin terhadap kegiatan dan keuangannya. SPP
juga belum memiliki departemen terpisah yang melakukan fungsi pemeriksaan
internal. Penilaian kinerja sper dilakukan melalui laporan pertanggungjawaban pada
musyawarah nasional.

Komunikasi.

SPP menyebarkan informasi melalui pertemuan anggota, publikasi, surat edaran, dan
lain-lain. Para anggota bertemu sekitar sebulan sekali di tingkat lokal atau cabang
membicarakan kebijakan perusahaan, aktivitas sper, dan isyu lainnya. Pimpinan
mengelola pengurus daerah melalui telepon, pesan singkat (SMS), faksimili, dan surat
elektronik. Publikasi aktivitas sper dilakukan melalui buletin internal perusahaan.

Model Sistem Alami

Pertumbuhan.

SPP berhasil menarik minat pekerja untuk menjadi anggotanya hingga mencapai 95
persen dari total pekerja. Pada tahun 2002 jumlah tersebut berkurang karena program
pensiun dini.

Akuisisi Sumber Daya dan Dukungan Pihak Luar.

SPP berhasil memperoleh simpati dan dukungan dari perusahaan, sper lain, dan
parlemen. Perusahaan memberikan bantuan dana bulanan, ruang beserta alat kantor,
sistem pemungutan iuran otomatis, dan izin bagi SPP untuk menghadiri pertemuan
penyusunan anggaran dan program perusahaan. Melalui lembaga kerja sama bipartit,
SPP dan pengusaha bertemu rutin untuk membicarakan berbagai isyu ketenagakerjaan
dan pengelolaan perusahaan. SPP juga telah melobi Departemen Perhubungan dan
Departemen Keuangan dalam upayanya meningkatkan gaji mereka di tahun 2001, serta
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat di tahun 2002 dan Presiden di tahun 2005
dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan perusahaan. Selain itu, SPP juag

26
memperoleh dukungan pelatihan dari serikat pekerja lain dan federasi serikat pekerja
dalam dan luar negeri.

Pengembangan Anggota.

Peningkatan kualitas anggota dilakukan melalui kesertaan anggota SPP dalam


pelatihan, lokakarya, dan seminar yang diselenggarakan federasi serikat pekerja. Topik
pelatihan misalnya mengenai keserikatpekerjaan, pemberian bantuan hukum, pekerja
perempuan, dan topik lainnya. SPP juga telah melakukan pelatihan internal dengan
mendayagunakan pengurus sebagai instruktur pelatihan. Meskipun demikian, jumlah
peserta pelatihan masih kurang dari lima persen dari total anggota.

DISKUSI DAN KESIMPULAN


KESIMPULAN

Hasil kuesioner menunjukkan bahwa kerangka kerja nilai-nilai bersaing dari Quinn dan
Rohrbaugh (1983) dapat diterapkan untuk mengevaluasi kinerja serikat pekerja di
Indonesia. Tolok ukur yang dikembangkan mencakup semua pendekatan pengukuran
efektivitas organisasi, termasuk pendekatan berbasis sumber daya (contoh: perolehan
sumber daya dan dukungan pihak luar), pendekatan proses internal (contoh:
pemberdayaan anggota melalui pelatihan, adanya saluran komunikasi), dan pendekatan
berorientasi hasil (contoh: pertumbuhan anggota dan efektivitas organisasi), Selain itu,
tolok ukur telah memakai indikator obyektif dan subyektif. Oleh karena itu, tolok ukur
ini merupakan peningkatan dari tolok ukur terdahulu, yang biasanya hanya memakai
ukuran tunggal dan didominasi oleh tipe indikator berorientasi hasil (contoh: Boreham
dan Hall, 1994; Bronfenbrenner, 1997; Fiorito et al., 1995). Studi ini juga memberikan
indikator yang lebih jelas jika dibandingkan usulan indikator ganda Pyman (2002) dan
Burchielli (2004).

Hasil kuesioner dapat juga dikuantitaifkan dengan menghitung jumlah jawaban “ya”
lalu menjumlahkannya menjadi skala komposit. Pada kasus ini, serikat pekerja
memberikan sebelas jawaban “ya” untuk indikator adanya PKB, pemenangan kasus
perselisihan, efektivitas organisasi (perekrutan, pelayanan, dan secara keseluruhan)
mekanisme komunikasi, pertumbuhan anggota, dukungan dari pengusaha dan pihak
luar, serta jumlah anggota yang mengikuti pelatihan. Dengan melakukan pengukuran
yang sama terhadap serikat pekerja lain, dapat diperoleh hasil yang dapat
dibandingkan dengan SPP.

SPP telah melewati masa-masa awal daur hidupnya. SPP telah memperoleh sumber
daya yang memadai, baik dari dalam berupa iuran anggota dan dukungan aktivitas
anggota, maupun dari pihak luar berupa dukungan dana dan fasilitas dari pengusaha,
serta dukungan dari serikat pekerja lain. Struktur organisasi yang jelas sudah ada dari
tingkat nasional, daerah, hinggga kantor cabang. Dengan demikian, tujuan rasional dan
efisiensi organisasional menjadi perhatian utama. Hasilnya adalah adanya PKB,
epningkatan gaji dan tunjangan, dan beberapa hak istimewa serikat pekerja, termasuk
hak untuk memberikan pendapat pada pertemuan penyusunan anggaran perusahaan.
Dengan demikian, pada tahap ini SPP akan memantau lebih cermat lingkungan
sekitarnya, sehingga dapat menyesuaikan dengan tuntutan dari pemakain model sistem
terbuka. Meskipun demikian, SPP tetap memakai model hubungan manusia melalui
upaya penguatan moral dan kesatuan anggota.
Kajian berikutnya dapat dikembangkan berupa penerapan pada serikat pekerja lain di
industri yang sama, industri lain, atau melakukan studi perbandingan dengan negara-
negara lain.

27
DAFTAR RUJUKAN

Amante, M. S. V. (2003). ASEAN Industrial Relations: Is a Regional Framework Possible?


Philippines: University of Philippines School of Labor and Industrial Relations.
Boreham, P. and Hall, R. (1994) Trade-Union Strategy in Contemporary Capitalism - the
Microeconomic and Macroeconomic Implications of Political Unionism. Economic and
Industrial Democracy, 15(3), 313-353.
Boxall, P. and Haynes, P. (1997) Strategy and Trade Union Effectiveness in a Neo-Liberal
Environment. British Journal of Industrial Relations, 35(4), 567-591.
Bronfenbrenner, K. (1997) The Role of Union Strategies in NLRB Certification Elections.
Industrial & Labor Relations Review, 50(2), 195-212.
Burchielli, R. (2004) 'It's Not Just Numbers': Union Employees' Perceptions of Union
Effectiveness. Journal of Industrial Relations, 46, 337-344.
Cahyono, E. (2003). Perburuhan dari masa ke masa: Jaman kolonial Belanda sampai Orde Baru
(1998). In H. D. Oey (Ed.), Gerakan Serikat Buruh. Jakarta: Hasta Mitra.
Cameron, K. S. and Whetten, D. A. (1983) Organizational Effectiveness : A Comparison of
Multiple Models. Academic Press, New York
Charlwood, A. (2004) Influences on Trade Union Organizing Effectiveness in Britain. British
Journal of Industrial Relations, 42, 69-93.
Cherrington, D. J., & Dyer, W. G. (2003). Organizational Effectiveness (3rd ed.). Provo, UT, USA:
Creative Works Office, Brigham Young University.
Connolly, T., Conlon, E. J. and Deutsch, S. J. (1980) Organizational Effectiveness: A Multiple-
Constituency Approach. Academy of Management Review, 5(2), 211-217.
Courtney, R. (2002) Strategic Management for Voluntary Nonprofit Organizations. Routledge,
New York.
Daft, R. L. (2004). Organization Theory and Design (8th ed.). Mason, Ohio: South-Western,
Thomson Learning.
Depnakertrans. (2006). Survei Serikat Pekerja. Jakarta.
Fiorito, J. and Jarley, P. (1995) National Union Effectiveness in Organizing: Measures and
Influences. Industrial & Labor Relations Review, 48(4): 613-634.
Fiorito, J., Jarley, P. and Delaney, J. T. (1993a) National Union Effectiveness. Research in the
Sociology of Organizations, 12, 111-137.
Fiorito, J., Jarley, P. and Delaney, J. T. (1993b) Organizing Effectiveness among U.S. National
Unions. Academy of Management Proceedings, 111-115.
Fiorito, J., Jarley, P. and Delaney, J. T. (2002) Information Technology, U.S. Union Organizing
and Union Effectiveness. British Journal of Industrial Relations, 40(4), 627-658.
Ford, M. T. (2003). Labour NGO as Outside Intellectual: A History of Non-Governmental
Organisations' Role in the Indonesian Labour. Unpublished PhD Dissertation, University of
Wollongong, Wollongong.
Frege, C. M. (2002) Understanding Union Effectiveness in Central Eastern Europe: Hungary and
Slovenia. European Journal of Industrial Relations, 8(1), 53-76.
Gahan, P., & Bell, S. (1999). Union Strategy, Membership Orientation and Union Effectiveness:
An exploratory analysis. Labour & Industry, 9(3), 5-30.
Gardner, M. (1989). Union Strategy: A Gap in Union Theory. In G. W. Ford, and D. Plowman
(Eds), Australian Unions: An industrial Relations Perspective (2nd ed.) (pp. 49-73). South
Melbourne, Vic: Macmillan.
Harrison, M. I. (2005). Diagnosing organizations : methods, models, and processes (3rd ed.).
Thousand Oaks, Calif.: Sage Publications.
Hammer, T. H., & Wazeter, D. L. (1993). Dimensions of Local Union Effectiveness. Industrial &
Labor Relations Review, 46(2), 302-319.
Kelly, D. (Eds.) (1999). Researching Industrial Relations. NSW: The Federation Press.
Kuruvilla, S., Das, S., Kwon, H. and Kwon, S. (2002) Trade Union Growth and Decline in Asia.
British Journal of Industrial Relations, 40(3), 431-461.
Nissen, B. (2003). Alternative Strategic Directions for the U.S. Labor Movement. Labor Studies
Journal, 28(1), 133-155.
Ostroff, C., & Schmitt, N. (1993). Configurations of Organizational Effectiveness and Efficiency.
Academy of Management Journal, 36,1345-1361.

28
Parasuraman, B. & Satrya, A. (2008). Relaciones Laborales en ASEAN: Una Vision General.
Analisis Laboral, XXXII(374):14-15.
Pyman, A. (2002) Union Effectiveness: Theorising a Set of Dimensions. Paper Presented to the
16th Conference of the Association of Industrial Relations Academics of Australia and New
Zealand (AIRAANZ) Conference, Queenstown.
Quinn, R. E., & Cameron, K. (1983). Organizational Life Cycles and Shifting Criteria of
Effectiveness: Some Preliminary Evidence. Management Science, 29(1), 33-51.
Quinn, R. E. and Rohrbaugh, J. (1983) A Spatial Model of Effectiveness Criteria: Towards a
Competing Values Approach to Organizational Analysis. Management Science, 29,363-377.
Robbins, S.P. & Barnwell. N. (1994). Organization Theory in Australia. (2nd ed.). New York;
Sydney: Prentice Hall.
Satrya, A. (2006). Union Strategy and Union Effectiveness in Indonesia. Paper Presented to the
20th Association of Industrial Relations Academics of Australia and New Zealand (AIRAANZ)
Conference, Adelaide, 4-6 February.
SMERU. (2002). Industrial Relations in Jabotabek, Bandung, and Surabaya during the Freedom
to Organize Era. Jakarta: SMERU Research Team.
Sutanto. (1998). The Impact of Industrial Relations on Worker's Welfare in Indonesia.
Unpublished PhD, University of Glamorgan, Glamorgan.
Yin, R. K. (2003). Case Study Research: Design and Methods. 3rd ed. London: Sage Publication.

29
Pengadilan Perburuh
Perburuhan
uruhan di Jerman:
sekedar refleksi untuk PHI
Yasmine MS Soraya
1

ABSTRACT

Industrial Relations Court (PHI) is considered as a newly established


institution in Indonesia since it began to be effective in 2006. Even
though so, as a new court, there were already occured a lot of problems
and critics from all parties. The issues toward PHI which have been
internally and externally occured are such as the quality of the judges,
the corruption issue, the cost issue, the law itself and the like. Also, the
labours themselves found some difficulties and obstacles in accesing and
processing their demands in the court. It happens since they have less
legal capability compared to the employer who can afford legal experts as
attorney. All problems could affect the existence and the effectivity of
PHI. Without any improvements, PHI which was expected as the
answer to settle the issues between labour and employer could become
the part of the issues itself.
In its improvement, PHI shall learn from the same institution in other
country such as in Germany for the example. The Labour Court in
Germany was established since 1926 and became the role model of
Labour Court in some other countries. Perhaps, PHI could take some
lessons from German Labour Court and could improve itself to be more
humanized and fair. Article below describes PHI and the German
Labour Court also the comparative study among them with note that the
comparative study in here is not to judge the effectiveness of PHI but
only to provide information and to evince the contrast among them.
Kata Kunci : Hubungan Industrial, Pengadilan, Hukum Perburuhan,
Indonesia, Jerman

1. Pendahuluan
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Indonesia didirikan pada tanggal 14 Januari
2006 berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Pendirian PHI tersebut diawali dengan berlakunya tiga Undang-
undang perburuhan yang dibentuk berdasarkan tuntutan “reformasi hukum
perburuhan” di Indonesia.2 Ketiga Undang-undang perburuhan tersebut dianggap
sebagai usaha untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan pengusaha
mengingat asumsi bahwa undang-undang dianggap berperan ‘netral’ dalam mengatur
kepentingan semua pihak, sementara para hakim merupakan penegak hukum dan
sebagai penengah diantara kepentingan semua pihak (atau dalam hal ini kepentingan
pengusaha dan buruh).

1
Staf riset Trade Union Rights Centre (TURC) Jakarta, 2006-2007; Master hukum bidang studi
Hukum Perburuhan Eropa dan Internasional (Universitas Tilburg, Belanda), 2008
2 Tiga Undang-undang tersebut adalah Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan
Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

30
Meskipun begitu, proses perundang-undangan perburuhan sesungguhnya tidak terhenti
dengan tersedianya peraturan perundang-undangan khusus. Aspek selanjutnya dari
peraturan perundang-undangan adalah pelaksanaan dan penyelesaian perselisihan
apabila terjadi sengketa. Pada aspek ini, ideologi negara memiliki peranan penting
sebab peranan negara tidak hanya untuk memberikan hukuman melainkan juga
sebagai penegak hukum.3

Artikel berikut mendeskripsikan pelaksanaan PHI dan perbandingan terhadap


Pengadilan Perburuhan di Jerman. Semenjak berdirinya, PHI telah diteropong dari
berbagai sudut: atas hakim-hakim, biaya, infrastruktur, dan juga prosedural
beracaranya. Berbagai kritik atas PHI menunjukkan bahwa lembaga baru ini masih
membutuhkan pengawasan dan pengembangan. Sementara itu, Pengadilan Perburuhan
di Jerman telah didirikan sejak tahun 1926 dan memiliki kompetensi yurisdiksi yang
luas dalam sistem peradilan.

Satu hal yang harus diingat dalam melakukan studi perbandingan,4 artikel ini tidak
bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap efektivitas PHI melainkan hanya
untuk memberikan informasi dasar dan memperlihatkan sketsa perbedaan diantara
keduanya. Apabila terdapat hal-hal yang dapat dipelajari antara satu dan lainnya dari
perspektif perbandingan ini, hal tersebut merupakan keuntungan besar bagi kedua
sistem agar dapat berfungsi semaksimal mungkin.

2. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)


PHI merupakan pengadilan khusus di bawah Pengadilan Negeri (PN).5
Sebagaimana dijelaskan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan, bahwa
definisi dari ‘pengadilan khusus’ ini tidak hanya mengacu kepada jenis dari kasus yang
ditangani, melainkan juga dari komposisi hakim yang terdiri dari hakim karir dan
hakim ad-hoc, dan juga prosedural beracara yang khusus mengingat tidak tersedianya
prosedur ‘banding’ atas putusan PHI dan juga tersedianya jangka waktu penyelesaian
perselisihan.6

Sebagai pengadilan khusus, PHI berwenang untuk memeriksa, mengadili dan


memberi putusan atas perselisihan hubungan industrial, yang sebagaimana
didefinisikan dalam undang-undang sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.7

Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa perselisihan yang ditangani oleh PHI
terbagi menjadi empat macam: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh

3 LIhat: Bob Hepple, The Making of Labour Law in Europe: A Comparative Study of Nine Countries
Up To 1945 (London: Mansell Publishing Ltd, 1986), hal. 27-30.
4 Lihat: Kahn-Freud, "On the Uses and Misuses of Comparative Law," Modern Law Review, vol. 37,
no. 1.(1974), hal. 1-27.
5 UU No. 2 tahun 2004, pasal 55.
6 Lihat: ”Ketua MA Resmikan 33 Pengadilan Hubungan Industrial,” Tempo Interaktif, 14 Januari
2006.
7 UU No. 2 tahun 2004, pasal 1 angka (1).

31
dalam satu perusahaan.8 Meskipun demikian, terdapat beberapa langkah atau
penyelesaian alternatif sebelum perkara/ kasus diajukan ke pengadilan, yaitu langkah
bipartit,9 yang harus diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.10 Apabila
lembaga bipartit gagal untuk menyelesaikan sengketa, para pihak mencatatkan perkara
ke divisi ketenagakerjaan daerah dengan menyertakan bukti bahwa usaha penyelesaian
perselisihan melalui bipartit telah dilalui.11 Divisi ketenagakerjaan daerah lalu akan
mengajukan perkara kepada mediator (pemerintah), atau konsiliator (swasta) dan atau
kepada arbitrase (lembaga swasta yang ditunjuk oleh pengusaha dan serikat
pekerja/buruh untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Ketentuan sebelum
mengajukan perkara ke PHI ini berlaku untuk semua jenis perkara. Apabila usaha
penyelesaian perselisihan melalui bipartit gagal maka untuk perselisihan hak akan
langsung diajukan mediasi. Untuk perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat
diajukan mediasi maupun konsiliasi, sedangkan untuk perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan, dapat diajukan
mediasi, konsiliasi maupun arbitrase.

Setelah melalui langkah pendahuluan tersebut, perkara baru dapat diajukan ke PHI.
PHI akan melakukan penyidikan dan memberikan putusan tingkat pertama untuk
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. PHI merupakan tingkat
pertama dan tingkat akhir untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.12 Prosedur yang dipakai dalam PHI
merupakan prosedur perdata sesuai dengan Pengadilan Negeri.13

Selanjutnya, Undang-undang No.2 tahun 2004 menyatakan bahwa penyelesaian


perselisihan melalui PHI tidak dikenakan biaya apapun untuk perkara dan putusan
dibawah 150 juta rupiah. 14

Serikat Pekerja/buruh dapat mewakili pekerja/buruh dan organisasi pengusaha dapat


mewakili pengusaha di depan PHI.15 Ketentuan ini terdapat pula dan didukung oleh
Undang-undang No 21 tahun 2001 mengenai Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.16

Jangka waktu penyelesaian satu perkara terhitung sejak penyidikan hingga putusan
kurang lebih 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama.17 Panitera akan
mengeluar salinan putusan maksimum 14 (empat belas) hari sejak ditandatangani,18
yang lalu akan dikirimkan ke semua pihak dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.19

8 UU No.2 tahun 2004, pasal 2.


9 UU No. 2 tahun 2004, pasal 3 ayat (1).
10 UU No. 2 tahun 2004, pasal 3 ayat (2).
11 UU No. 2 tahun 2004, pasal 4 ayat (1).
12 UU No. 2 tahun 2004, pasal 56.
13 UU No. 2 tahun 2004, pasal 57.
14 UU No.2 tahun 2004, pasal 58.
15 UU No. 2 tahun 2004, pasal 87.
16 UU No. 21 tahun 2001, pasal 25 angka 1(b).
17 UU No. 2 tahun 2004, pasal 103.
18 UU No. 2 tahun 2004, pasal 106.
19 UU No. 2 tahun 2004, pasal 107.

32
Seperti yang telah disebut di atas bahwa tidak terdapat prosedur ‘banding’ atas putusan
PHI. Putusan PHI dapat diajukan langsung ke Pengadilan Kasasi dengan mengajukan
pendaftaran tertulis kepada panitera yang akan mengajukan dokumen perkara pada
Kepala Pengadilan Kasasi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaan
pendaftaran tersebut.20 Proses penyidikan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja diputus dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari oleh Pengadilan
Kasasi.21

Komposisi hakim dalam PHI terdiri dari satu orang hakim karir dan dua hakim ad-hoc
yang mana masing-masing merupakan perwakilan dari pengusaha dan serikat
pekerja/buruh. Komposisi yang sama berlaku pada Pengadilan Kasasi. Hakim ad-hoc
ditunjuk oleh serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha dan diangkat
berdasarkan Keputusan Presiden. Hakim ad-hoc memiliki masa bekerja selama lima
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun berikutnya.

3. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Jerman


Jerman memiliki sistem penyelesain perburuhan yang menjadi contoh bagi beberapa
negara lainnya. Pengadilan Perburuhan di Jerman memiliki kompetensi eksklusif
untuk menangani perselisihan hubungan kerja, dengan pengecualian soal jaminan
sosial.22 Terdapat dua jenis prosedur yang berbeda bagi Pengadilan Perburuhan di
Jerman: “Urteil” dan “Beschluss”. Perbedaan antara “Urteil” dan “Beschluss” terletak
pada penyedian fakta/ bukti. Dalam prosedur “Urteil”, adalah merupakan tanggung
jawab para pihak untuk menyediakan informasi dan bukti-bukti yang diperlukan
Pengadilan untuk membuat suatu putusan, sedangkan pada prosedur “Beschluss”,
adalah tanggung jawab pengadilan untuk membuat fakta-fakta dari sengketa yang
ada.23

Prosedur “Urteil” pada Pengadilan Perburuhan digunakan dalam perselisihan


hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, termasuk tersedia atau tidak
tersedianya kontrak kerja, negosiasi dalam kontrak kerja dan kesinambungannya,
tindakan-tindakan yang tak dapat diterima dalam hubungan kerja dan dalam kontrak
kerja. Semua mencakup segala tuntutan dan kasus sehubungan dengan hubungan
kerja, contohnya mengenai kompensasi dan keuntungan, uang pesangon, referensi kerja
dan dokumen lainnya, kompensasi kerugian, kerusakan atau pelanggaran dalam
persaingan usaha, uang pensiun, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak adil,
pemutusan kontrak dan keberlakuan kontrak. Jadi, Pengadilan perburuhan tidak
hanya memutuskan perkara antara pekerja dan pengusaha mengenai hak mereka,
tetapi juga mengenai perkara yang timbul dari hubungan kontraktual pekerja,
sukarelawan dan pekerja-pekerja cacat.

Juga, pengadilan perburuhan yang menggunakan prosedur “Urteil” menangani perkara


hak antar para pihak dalam perjanjian bersama (semacam Perjanjian Kerja Bersama
atau “PKB”) atau antara salah satu pihak dan pihak ketiga yang timbul dari perjanjian
bersama, atau dalam perkara sehubungan dengan ada atau tiadanya perjanjian
bersama. Selanjutnya, prosedur “Urteil” juga digunakan dalam perkara yang timbul

20 UU No. 2 tahun 2004, pasal 112.


21 UU No. 2 tahun 2004, pasal 115.
22 Lihat: Roger Blanpain, ed. Comparative Labour Law and Industrial Relations in
Industrialized Market Economic (Kluwer Law International, 2007), hal. 715.
23 Lihat: Bundesarbeidgericht (www.bundesarbeitgericht.de/englisch/general.html), diakses
Oktober 2007.

33
dari tindakan-tindakan yang tak dapat diterima sehubungan dengan hubungan
industrial atau kebebasan berserikat (hak untuk berserikat) dan hak sehubungan
dengan perwakilan pengusaha maupun buruh. 24

Prosedur “Beschluss”, di sisi lain, digunakan untuk perkara yang timbul dalam Works
Constitution Act (sehubungan dengan ruang lingkup dalam hal partisipasi dewan kerja
dan pertanggungjawaban pengusaha mengenai biaya kegiatan dewan kerja) - dengan
kata lain semacam “Dewan Perusahaan”. Juga, prosedur “Beschluss” digunakan untuk
perkara dalam Senior Management Representatives Committee Act dan juga perkara
sehubungan dengan pemilihan perwakilan buruh dalam lembaga pengawasan di
perusahaan, kemampuan untuk membuat perjanjian bersama (“PKB”) dan persetujuan
bersama serikat buruh dan organisasi pengusaha.25

Sistem pengadilan perburuhan di Jerman terdiri dari tiga tingkat yaitu pengadilan
perburuhan tingkat daerah (Arbeitsgerichte) dan pengadilan tinggi perburuhan
(Landersarbeitsgerichte). Keduanya merupakan pengadilan negeri (state institutions).26
Tingkat ketiga adalah pengadilan perburuhan tingkat Federal (Bubdesarbeitsgericht).
Ini karena Jerman adalah negara berbentuk federal.

Jerman memiliki sistem penyelesaian perkara dimulai dari tingkat konsiliasi, yang
bertujuan untuk membantu para pihak untuk menyelesaikan perkara secara sederhana
tanpa berbelit-belit.27 Selain merupakan persyaratan formal sebelum pengajuan
perkara ke pengadilan perburuhan, konsiliasi juga mengurangi kerja pengadilan.
Konsiliasi dilakukan secara oral dan dilaksanakan oleh hakim karir pada pertemuan
pertama dan putusan diberikan pada hari yang sama.28 Apabila konsilisasi gagal, maka
perkara diajukan ke pengadilan, yang biasanya memakan waktu beberapa bulan
setelahnya. Kurang lebih dua pertiga perkara yang diajukan ke pengadilan perburuhan
diselesaikan dalam jangka waktu tiga bulan, dan juga hampir 97 persen kasus PHK
dapat diputuskan dalam jangka waktu kurang dari satu tahun.29

Komposisi hakim dalam pengadilan perburuhan di Jerman menggunakan sistem


tripartit yang terdiri dari Hakim karir dan Hakim ad-hoc. Pada pengadilan perburuhan
tingkat daerah dan pengadilan tinggi perburuhan, hakim ad-hoc merupakan perwakilan
dari pengusaha dan buruh, dan hakim karir berperan sebagai ketua. Pada pengadilan
perburuhan Federal, tiga hakim karir ditambah dengan dua hakim ad-hoc. Hakim ad-
hoc dipilih dari daftar yang diajukan oleh serikat buruh dan organisasi pengusaha
tetapi tidak bertanggung jawab kepada serikat buruh maupun organisasi pengusaha
atas peran mereka sebagai anggota kehakiman. Hakim karir pada pengadilan
perburuhan tingkat daerah dan pengadilan tinggi perburuhan ditunjuk atas partisipasi
mereka dalam komite penasehat tripartit yang didalamnya duduk perwakilan serikat
pekerja dan perwakilan organisasi pengusaha. Pada tingkat federal, serikat buruh dan
organisasi pengusaha tidak secara formal berperan dalam pemilihan hakim. Semua

24 Ibid.
25 Ibid.
26 Weiss, Labour Law and Industrial Relations in the Federal Republic of Germany (Deventer: 1987),
hal. 96.
27 Lihat: Surya Tjandra dan Jafar Suryamenggolo, ”Sekadar Bekerja? Analisis UU No. 2 tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Perspektif Serikat Buruh.” Jakarta:
TURC, 2004.
28 Ibid.
29 Lihat: Gladstone, “Settlement of Disputes over Rights”, dalam Comparative Labour Law and
Industrial Relations in Industrialized Market Economies (Kluwer Law International, September
2007), hal. 716.

34
hakim, ad-hoc maupun karir, memiliki peran untuk memberikan putusan yang
dilaksanakan dengan suara terbanyak. Hal ini memberikan kemungkinan bagi hakim
ad-hoc dalam tingkat pengadilan negeri untuk out-vote (tidak memberikan suara)
kepada hakim karir. Meskipun demikian, dalam prakteknya, hakim karir biasanya
mendominasi prosedur dan proses pemberian putusan.30

Para pihak yang bersengketa dapat mewakili diri mereka sendiri atau diwakili oleh
perwakilan dari serikat buruh maupun dari organisasi pengusaha ataupun pengacara di
pengadilan perburuhan tingkat daerah dan pengadilan tinggi perburuhan. Sementara,
pada tingkat Federal, perwakilan oleh pengacara adalah wajib.31

Banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi perburuhan untuk menangani perkara


hukum dan fakta-fakta. Duapuluh lima persen dari total putusan pengadilan
perburuhan diajukan banding ke pengadilan tinggi perburuhan.32 Banding yang
diajukan ke pengadilan perburuhan Federal hanya diijinkan apabila putusan
pengadilan tinggi berlawanan dengan alasan pemikiran (decisis) putusan yang
sebelumnya ada di pengadilan perburuhan Federal. Pengadilan perburuhan Federal
membatasi kerja mereka yaitu hanya meninjau isu hukum sehubungan dengan fakta-
fakta dalam pengadilan perburuhan tingkat awal.33 Pada umumnya, apabila perkara
diajukan ke tingkat banding, jangka waktu untuk memberikan putusan bertambah.
Perkara yang diajukan ke pengadilan perburuhan tingkat Federal membutuhkan waktu
lebih dari satu tahun untuk diputuskan. Dan jangka waktu total sebuah kasus yang
diajukan ke ketiga tingkat pengadilan tidak akan kurang dari tiga tahun.34

Prosedur pengajuan tuntutan secara formal tampaknya bukan merupakan satu-satunya


jalan di Jerman. Dalam berbagai kesempatan, tersedianya prosedur pengajuan tuntutan
secara formal tidak membuat pihak yang dirugikan untuk mengajukan perkara mereka
langsung ke pengadilan perburuhan. Dalam prakteknya, perkara hak yang timbul
dalam perusahaan, apabila tidak diselesaikan melalui negosiasi informal maupun ad-
hoc, baru akan diselesaikan dalam pengadilan perburuhan.

Prosedur pengadilan perburuhan tingkat awal bertujuan untuk menjamin risiko biaya
agar tetap murah bagi kedua pihak. Biaya dalam pengadilan perburuhan adalah
termasuk murah apabila dibandingkan dengan biaya dalam pengadilan perdata. Dalam
prosedur "Beschluss", tidak dikenakan biaya sama sekali. Yang harus membayar biaya
perkara adalah pihak yang kalah (dengan pengecualian bahwa biaya hanya untuk
prosedur “Beschluss”). Meskipun begitu, biaya atas kerugian ataupun biaya perwakilan
para pihak dalam pengadilan tidak dapat diganti. Terdapat kemungkinan untuk
meminta bantuan hukum. Pihak yang kalah dapat mengajukan banding terhadap
putusan pengadilan perburuhan tingkat awal, khususnya apabila banding terbuka
dalam putusan pengadilan perburuhan tingkat awal dan biaya banding tidak lebih dari
600 Euro (sekitar 7,5 juta rupiah). Untuk yang satu ini, pertemuan pendahuluan antara
para hakim pengadilan perburuhan diadakan untuk dapat mencapai penyelesaian tanpa
melalui tahapan formal. Apabila perkara di selesaikan pada tingkat pertemuan awal ini,
maka pada umumnya dalam pengadilan tidak dikenakan biaya (selain biaya berkas).

30 Ibid.
31 Weiss, op cit, hal. .98.
32 Lihat M. Weiss, et.al., “The Settlement of Labour Disputes in the Federal Republic of Germany”,
dalam Hanami and Blanpain (ed.), Industrial Conflict Resolution in Market Economies (Deventer,
1989).
33 Ibid.
34 Ibid.

35
Meskipun para pihak harus membayar biaya perwakilan hukum mereka sendiri dalam
pengadilan perburuhan, pihak yang kalah juga wajib membayar biaya perkara
ditambah biaya saksi-saksi.35

Skema sederhana Pengadilan Perburuhan di Jerman

Perkara

Konsiliasi

Pengadilan Perburuhan tingkat
daerah

Pengadilan Tinggi Perburuhan

Pengadilan Perburuhan tingkat
Federal

4. Analisa Studi Perbandingan


Berikut ini beberapa butir perbandingan antara PHI dengan Pengadilan Perburuhan di
Jerman.

Prosedur Pengadilan
PHI menggunakan sistem yang sama dengan Pengadilan Negeri yaitu sistem perdata.
Sistem ini sesungguhnya kurang sesuai dengan jiwa Hukum Perburuhan yang
merupakan perpaduan antara hukum perdata dan hukum publik. Hukum Perburuhan
tidak sepenuhnya dibawah lembaga yudikatif tetapi juga tidak dibawah lembaga
eksekutif.36 Pengadilan perburuhan di Jerman dalam hal ini memiliki prosedur sendiri
yang tidak tergantung kepada pengadilan lainnya. Nampak jelas bahwa jiwa Hukum
Perburuhan yang dualistik itu tercermin dalam model prosedur Pengadilan Perburuhan
di Jerman.

Dari banyaknya laporan kasus, hakim karir dalam PHI menerapkan prosedur perdata
secara kaku daripada hakim ad-hoc (khususnya dari pihak buruh). Sesungguhnya,
untuk beberapa peraturan yang dianggap akan merugikan buruh, seharusnya dapat
diberikan keringanan. Contohnya, dalam penerapan ’dwangsom’ (denda untuk eksekusi
putusan pengadilan). 37 Hakim karir dari Pangkal Pinang, Kepulauan Riau,
menyatakan bahwa dalam putusan pengadilan, dwangsom tidak dapat diterapkan
karena dalam peraturan dinyatakan untuk kasus yang mencakup uang (pembayaran)
tidak dapat diterapkan ’dwangsom’. Sementara hakim ad-hoc dari pihak buruh

35 Labour Courts and Court System, (www.fedee.com/labcourts.html), diakses Oktober


2007.
36 Surya Tjandra and Jafar Suryomenggolo, Makin Terang Bagi Kami: Belajar Hukum Perburuhan
(Trade Union Rights Centre, 2006), hal.142.
37 Lihat: Surya Tjandra, ”Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, Quo Vadis? Beberapa
catatan dari Ruang Sidang”, makalah dalam Current Issues on Indonesian Laws Conference,
School of Law, University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, 28 Februari 2007.

36
menganggap bahwa dwangsom dapat diterapkan sejak beberapa tuntutan dalam
perselisihan perburuhan tidak hanya mengenai uang, seperti dipekerjakan kembali
dalam kasus PHK. Disadari bahwa dwangsom dapat diterapkan untuk memaksa
pengusaha yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan.

Dari beberapa laporan juga diketahui bahwa kebijakan prosedur PHI di satu daerah dan
daerah lainnya terkadang berbeda dalam menerapkan prosedur perdata. Contohnya,
untuk masalah perwakilan pengusaha yang dapat diwakili oleh kepala personalia.
Dalam PHI di kota Bandung, misalnya, perwakilan oleh kepala personalia tidak dapat
diterima, alasannya karena kepala personalia tidak memiliki kartu advokat. Sedangkan
di PHI di Jakarta, kepala personalia dapat mewakili pengusaha dengan alasan untuk
mempermudah proses dan hal ini telah dipertimbangkan sebagai penerapan prosedur
perdata.38

Pengadilan perburuhan di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya tidak


menggunakan hukum dan peraturan secara kaku seperti pengalaman di PHI. Sudah
lama disadari bahwa penerapan prosedur perdata secara kaku dapat menimbulkan
masalah. Hal ini menunjukkan betapa uniknya perselisihan perburuhan, karena harus
mempertimbangkan segala aspek dalam penyelesaian persengketaan dan tidak hanya
fokus pada hukum dan peraturan saja. Selain itu juga, sudah menjadi asas hukum di
Eropa bahwa apabila terdapat kontradiksi antara hukum perdata dengan hukum
publik, maka harus Pengadilan perburuhan mesti mendahulukan aturan hukum yang
menjamin jiwa hukum perburuhan.39

Dari survei yang diadakan oleh Trade Union Rights Centre (TURC) Jakarta tahun 2007
terungkap bahwa masalah utama yang dihadapi hakim ad-hoc adalah pada saat mereka
memeriksa tuntutan dari buruh, karena dalam tuntutan tersebut banyak terdapat
kelemahan dalam melengkapi persyaratan, seperti soal kuasa hukum, fakta-fakta
hukum dan tuntutan hukum, teknik sidang (bukti, saksi, dan sebagainya). Hal-hal
tersebut menjadi halangan bagi pihak buruh, sehingga pada akhirnya kebanyakan
tuntutan mereka dinyatakan “tidak dapat diterima” (Niet Ontkvankelijk).

Di Jerman, Pengadilan Perburuhan merupakan pengadilan yang mandiri, lepas dari


Pengadilan Umum sehingga tidak berada dibawah kontrol dari pengadilan lain seperti
yang terjadi di Indonesia. Hakim Pengadilan Perburuhan juga lepas dari sistem kerja
hakim Pengadilan Umum.

Sementara di PHI, banyak kepala PHI merupakan kepala Pengadilan Negeri. Hal ini
juga berlaku bagi hakim karir yang juga bekerja di Pengadilan Negeri. Hal ini pada
akhirnya menimbulkan ketidakefisienan, khususnya dalam hal menetapkan putusan
dan melakukan langkah-langkah administrasi karena harus menunggu kepala
Pengadilan maupun hakim karir yang bekerja di Pengadilan Negeri dahulu sebelum ke
PHI.

Biaya
UU No. 2 tahun 2004 pasal 58 menyebutkan bahwa para pihak tidak dikenakan biaya
pengadilan termasuk biaya pelaksanaan putusan untuk tuntutan dibawah 150 juta
rupiah. Sesuai dengan pertimbangan analogi, untuk tuntutan diatas 150 juta rupiah
akan dikenakan biaya. Seberapa besar biaya yang dikenakan tidak dijelaskan dalam

38 Ibid.
39 Lihat: Jean-Michel Servais, “Labour Conflicts, Courts and Social Policy,” dalam Roger Blanpain,
Labour Law, Human Rights and Social Justice ( Kluwer Law International , 2001), hal. 81.

37
Undang-undang. Dalam praktek, ketiadaan besarnya biaya ini menimbulkan masalah.
Sesuai dengan petunjuk praktis UU No. 2 tahun 2004, besarnya biaya ditentukan oleh
Kepalla Pengadilan yang mana sesuai dengan pengamatan, besarnya biaya berkisar
sekitar 1 hingga 1,8 juta rupiah.

Selain itu, terdapat juga masalah untuk kasus diatas 150 juta rupiah. Penggabungan
tuntutan dalam kasus PHK atas ratusan buruh termasuk merupakan satu tuntutan,
dan ini termasuk tuntutan diatas 150 juta rupiah sehingga buruh diwajibkan untuk
membayar biaya perkara. Apabila kita melihat kasus PHK tanpa penggabungan dan
merupakan kasus pribadi, maka kasus tersebut tidak akan termasuk dalam tuntutan di
atas 150 juta rupiah dan tidak dikenakan biaya apapun.

Selain masalah diatas, terdapat pula biaya-biaya siluman yang harus dibayar. Jumlah
biaya ‘informal’ tersebut bervariasi dari 500 ribu rupiah ke atas. 40

Selain adanya biaya-biaya informal diatas, UU juga menyatakan bahwa tuntutan harus
didaftarkan ke PHI yang hanya ada di ibukota propinsi. Peraturan ini jelas
memberatkan. Untuk buruh di Bekasi contohnya, harus mendaftarkan tuntutan di
Bandung (karena masuk dalam wilayah propinsi Jawa Barat) sementara Bekasi-
Bandung berjarak kurang lebih 180km dan jarak ini lebih jauh dibandingkan apabila
tuntutan tersebut dimasukkan ke PHI Jakarta karena jarak Bekasi-Jakarta hanya
kurang lebih 90km. Lebih lanjutnya, kurang lebih sidang akan diadakan hingga 9-10
kali, biaya transportasi dan kerugian waktu akan terjadi lebih daripada apabila
persidangan diadakan di Jakarta. Walau UU menyatakan bahwa akan didirikan PHI
disetiap wilayah yang merupakan wilayah industrial, 41 hingga sekarang tidak ada
pendirian PHI di wilayah industrial.

Kondisi beratnya biaya yang harus ditanggung buruh ini tidak terjadi di Jerman.
Pengadilan perburuhan di Jerman memiliki biaya yang telah ditetapkan, termasuk
biaya atas pengacara. Selain itu juga, belum ada laporan soal biaya-biaya informal /
siluman.

Kasus
Dalam PHI, perselisihan PHK merupakan kasus yang dominan.41 Di Jerman, sekitar
650 ribu kasus ditangani oleh pengadilan setiap tahunnya, dan 90% dari jumlah kasus
tersebut merupakan kasus individual dan bukan kasus kolektif (serikat buruh maupun
dewan pekerja). Setengah dari kasus diselesaikan pada tahap pra-sidang, tetapi hanya
sekitar seribu kasus per tahun diselesaikan hingga proses banding.4221

Perwakilan
Di dalam Pengadilan perburuhan di Jerman, para pihak dapat mewakili diri mereka
sendiri di pengadilan –tanpa perlu ada perwakilan dari serikat buruh atau organisai
pengusaha, sehingga persoalan kuasa/ perwakilan ini tidak begitu menjadi persoalan
yang berbelit-belit seperti yang terjadi di PHI.

40 Tjandra, Op Cit.
41 UU No.2 tahun 2004, pasal. 59 ayat (2).
41 Tjandra, Op Cit.
42 Labour Courts and Court System, (www.fedee.com/labcourts.html), diakses Oktober 2007.

38
UU No. 2 tahun 2004 pasal 87 menyatakan bahwa serikat buruh dan organisasi
pengusaha dapat mewakili anggota mereka di PHI. Dalam prakteknya, untuk mewakili
anggota, serikat buruh wajib memenuhi persyaratan lainnya seperti keharusan adanya
kartu anggota, yang menjadi bukti bahwa benar buruh merupakan anggota dari serikat
buruh bersangkutan. Dari banyak laporan kasus, terlihat persyaratan ini menjadi
penghambat dan menimbulkan masalah untuk buruh di pengadilan. Walaupun tujuan
dari persyaratan di atas adalah untuk menghindari perwakilan yang tidak sah, tetapi
pada dasarnya hal tersebut dianggap sebagai persyaratan yang rigid (kaku). Juga dari
sisi organisasi pengusaha, PHI akan menolak perwakilan mereka apabila organisasi
pengusaha tidak dapat menunjukkan kartu advokasi.

Sejauh ini belum ada kasus di dalam PHI yang membolehkan buruh mewakili dirinya
sendiri –tanpa perlu ada perwakilan dari serikat buruh. Selama ini aturan pasal 87
ditafsirkan sedemikian rupa dengan asumsi bahwa serikat buruh dan/atau organisasi
pengusaha telah memiliki kemampuan hukum untuk mewakili anggota mereka di
pengadilan. Peraturan tersebut memaksa serikat buruh dan /atau organisasi pengusaha
untuk belajar menjadi pengacara bagi anggota mereka, sementara dalam kenyataannya
kekuatan sosial antara buruh dan pengusaha tidaklah sama: pengusaha lebih
mempunyai akses dan kemampuan untuk menyewa pengacara –dan ini akhirnya
menjadi tekanan bagi serikat buruh yang masih belum punya cukup pengalaman dalam
bersidang.

Hakim
Komposisi hakim dalam PHI terdiri dari satu orang hakim karir dan dua hakim ad-hoc
yang masing-masing mewakili pengusaha dan serikat buruh. Komposisi yang sama
berlaku pada pengadilan Kasasi. Hakim ad-hoc ditunjuk oleh serikat buruh dan
organisasi pengusaha, dan diangkat dengan Keputusan Presiden dan memiliki jangka
waktu kerja hingga 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 5 tahun selanjutnya.
Walaupun hakim ad-hoc berasal dari buruh dan pengusaha, mereka harus adil dalam
mengambil putusan dan tidak berpihak ke salah satu pihak. Hal terakhir ini
merupakan tantangan yang sulit bagi banyak hakim ad-hoc.43

Di Jerman, komposisi hakim juga terdiri dari hakim karir dan hakim ad-hoc meskipun
jumlahnya berbeda dengan di Indonesia. Hakim ad-hoc pun dipilih dari daftar yang
diajukan oleh serikat buruh dan organisasi pengusaha, tetapi tidak bertanggung jawab
kepada serikat buruh maupun organisasi pengusaha atas peran mereka.

Hukum atas Pengadilan Perburuhan


Sejak tahap penyusunannya, UU No. 2 tahun 2004 telah menimbulkan berbagai
masalah. Dari lemahnya konseptual pertanggungjawaban negara atas perlindungan
buruh oleh Departemen Ketenagakerjaan dalam institusi yudikatif (PHI) dan juga
konsep bipartit yang tidak dilaksanakan dengan itikad baik dan hanya merupakan
langkah formalitas sebelum menuju pengadilan. Di Jerman, banyak perkara
diselesaikan pada tahap pra-pengadilan (tahap konsiliasi) .

UU No. 2 tahun 2004 hanya mengenal empat macam jenis perselisihan, dan PHI tidak
memiliki wewenang atas kasus yang terjadi antara buruh dan negara dan/ atau perkara
antara organisasi pengusaha dan kasus lainnya. Sementara Pengadilan perburuhan di

43 Masalah serupa pernah juga terjadi di Swedia di tahun 1940-an. Lihat: General Report
by Judge Michael Koch, President of the Labour Court of Sweden, at the eight Meeting of
European Labour Court Judges, Jerusalem, 3 September 2000.

39
Jerman memiliki wewenang yang luas atas berbagai perselisihan, termasuk juga antara
para peserta pelatihan kerja.44

UU No. 2 tahun 2004 juga tidak mengatur dan tidak membedakan perselisihan
individu maupun perselisihan kolektif seperti yang diterapkan dalam Pengadilan
Perburuhan di Jerman. Kondisi ini terkadang menimbulkan masalah seperti kasus PHK
atas ratusan buruh: apakah merupakan kasus individu atau kasus kolektif.

5. Kesimpulan
PHI merupakan Pengadilan yang relatif baru di Indonesia, sehingga efektivitas atas
PHI belum bisa ditentukan. Meskipun begitu, semenjak PHI menimbulkan berbagai
masalah dan kritik, ada baiknya diadakan analisa mendalam atas PHI. Dalam PHI,
masalah-masalah yang timbul terjadi secara internal and eksternal, seperti kualitas
hakim dan panitera, sistem korupsi dalam pengadilan di Indonesia, biaya dan hukum
perburuhan itu sendiri. Masalah lainnya timbul dari sisi buruh, karena kurangnya
akses dan kemampuan serikat buruh untuk melakukan proses pengadilan dan
sebagainya. Masalah-masalah tersebut dapat membawa pengaruh besar akan
keberadaan dan daya kerja pengadilan. Tanpa adanya penyelesaian dari masalah-
masalah tersebut, PHI yang diharapkan merupakan jawaban untuk menyelesaikan
masalah perburuhan, malah akhirnya menjadi masalah perburuhan itu sendiri.

Sebagai pengadilan khusus yang relatif baru, PHI masih membutuhkan pengembangan,
dan mungkin pula, amandemen/ perbaikan atas UU No. 2 tahun 2004. Pengalaman
Pengadilan perburuhan di Jerman yang relatif sukses sebagai cermin kondisi sosial-
ekonomi-politik dari negara maju, bukan serta-merta dapat ditransfer begitu saja untuk
kondisi Indonesia.45 Pengadilan perburuhan di Jerman dapat menjadi bahan refleksi
awal untuk membangun PHI menjadi lebih humanis dan adil terhadap buruh. Pada
titik ini jelas terlihat bagaimana dan ada dimana posisi negara dalam memandang
buruh. Ideologi negara yang menunda keadilan bagi buruh adalah suatu bentuk
ketidakadilan. Disinilah peran krusial pengawasan dari berbagai pihak lain atas kinerja
PHI.

44 Halbach et.al, Labour Law in Germany: An Overview (The Federal Ministry for Labour and Social
Affairs, 1994), hal.568.
45 Roger Blanpain dalam Comparative Labour Law and Industrial Relations in Industrialized Market
Economies (Kluwer Law International, September 2007), hal.16, mengingatkan akan soal
“transplantasi hukum” dalam konteks negara maju-negara berkembang.

40
”Serikat buruh merupakan pusat para orang revolusioner,
tetapi di sebagian besar negara tidak begitu...”

Wawancara dengan Firsching, ketua Deutscher Gewerkschaftsbund (DGB)1 Region Man


Rhoen, Jerman. DGB merupakan organisasi payung yang terdiri dari delapan
serikat buruh sektoral, diantaranya yang terbesar IG Metall2 dan Ver.di3.
Wawancara ini mencoba mengupas berbagai tema yang tentang relasi DGB
dengan serikat buruh, partai politik, Ormas dan media massa serta strategi DGB
dalam menghadapi tantangan kedepan. Wawancara ini dilakukan oleh Fauzan
Abschuetz di Sekretaiat DGB region Man Rhoen, Schweinfurt, Jerman pada
tanggal 23 Juni 2008. Berikut adalah petikan wawancarannya.

Bagaimana hubungan antara DGB dan serikat buruh dan apa perbedaan peran
antara organisasi payung dan serikat buruh?

Secara teoretis serikat buruh mengurus dua bidang kerja, di satu sisi
pendampingan anggota, jadi perwakilan langsung di dalam perusahaan dan
perwakilan anggota terhadap pemberi kerja, di sisi lain politik perundingan.
Tugas DGB adalah mewakili semua serikat buruh di ruang publik, di hadapan
ormas, politik, dan media. Inilah distribusi peran yang secara teoretis memang
mudah dan terdapat di tingkat berbeda, di tingkat federal, negara bagian
maupun regional.

Bagaimana ini diwujudkan


diwujudkan di dalam konstitusi? Apakah konstitusi DGB dan
serikat buruh (federasi) di bawahnya hampir sama ataukah ada perbedaan?
Apakah serikat buruh otonom kalau persoalan politik?

Secara konstitusi mereka berdiri sendiri. IG Metall mempunyai konstitusi


sendiri sama dengan Ver.di dan juga serikat buruh yang lain, karena tugas dan
struktur yang berbeda dari masing-masing federasi tersebut.

Sebagai contoh, anggota IG Metall membayar iuran kepada IG Metall dan DGB
mendapat persentase yang ditentukan di dalam konstitusi DGB dari pendapatan
iuran serikat buruh untuk melaksanakan tugasnya. Setiap serikat buruh
(Federasi) bersifat otonom, dan bukannya tidak terjadi masalah dalam
praktiknya. Misalnya mengenai gaji minimum, ada keputusan DGB, tetapi IG
BCE4 – serikat buruh di sektor pertambangan, kimia dan energi – menolak gaji
minimum, walaupun mereka adalah anggota DGB. Jadi di beberapa bidang ada
posisi serikat buruh sendiri yang nampak negatif di depan umum kalau tidak
bersatu sebagai serikat buruh. Politik menuntut kesepakatan dulu. Dalam
praktek DGB mengambil sikap mengenai sesuatu dan serikat buruh otonom,
tetapi ada distribusi tugas yang tidak selalu diperhatikan. Itu masalahnya.

1 Deutscher Gewerkschaftsbund, Federasi Serikat Buruh Jerman.


2 Industriegewerkschaft Metall, Serikat Buruh Industri Metal.
3 Vereinte Dienstleistungsgewerkschaft, Serikat Buruh Jasa Bersatu.
4 Industriegewerkschaft Bergbau, Chemie und Energie, Serikat Buruh Industri Pertambangan,
Kimia dan Energi.

41
DGB berwenang untuk perwakilan politik, misalnya untuk politik sosial, politik
ekonomi dan sebagainya. Tetapi IG Metall juga memiliki bagian politik sosial
yang lebih besar daripada DGB atau Ver.di memiliki bagian politik ekonomi
yang lebih besar daripada DGB. Bagian-bagian tersebut ingin menonjolkan diri.
Maka kesannya tidak selalu homogen. Itu terlihat dengan contoh gaji minimum.

Pertama-tama ada diskusi tentang mau akan ada gaji minimum. Wakil Ver.di
yang mewakili anggota pada sektor yang tidak dibayar dengan baik, yang paling
kena dampak oleh gaji minimum, seperti di bidang jasa, pelayan, penata rambut
dan lain sebaginya, akan mendukung gaji minimum. IG Metall tidak
membutuhkan gaji minimum, mungkin hanya di beberapa bidang saja, karena
gaji di bidang tersebut tinggi kalau dibandingkan secara internasional. Mereka
perlu waktu yang lebih lama untuk mendekati tema semacam itu. Untuk IG
BCE mirip. Di industri kimia atau energi gajinya lumayan bagus karena
perjanjian kolektif. Mereka takut akan tekanan terhadap gaji, kalau gaji
minimum diberlakukan. Terjadi konflik internal serikat buruh dan perlu waktu
beberapa tahun sampai bersatu. Badan-badan tertentu harus menyibukkan diri
dengan itu, dibicarakan di internal serikat buruh. Tetapi pada waktu yang sama
diskusi tidak hanya terjadi di internal serikat buruh, melainkan di publik.
Perbedaan pandangan yang muncul di publik mengenai upah minimum
misalnya Schmolt4 dari IG BCE mengatakan: ”ketololan, gaji minimum“,
Bsirske6 dari Ver.di: ”sangat vital“, dan ketua umum IG Metall mengatakan:
”kita harus lihat dulu“. Dan DGB berada di antara mereka semua dan tidak tahu
harus mengucapkan apa. Perlu waktu beberapa tahun sampai jelas dan kami
kehilangan kekuatan politik, karena tidak pantas dipercayai lagi. Tetapi itulah
praktik nyata, mereka memposisikan diri dan DGB mencoba untuk mencapai
konsensus dengan mereka semua atau memilih di kongres federal seperti kali
terakhirnya tiga tahun yang lalu.

Setelah berdiskusi bertahun-tahun jari yang dihitung. Hasilnya tuntutan DGB


gaji minimum 7,50 Euro/jam. IG BCE menolak itu, tetapi sekarang begitu.
Setiap serikat buruh mau menonjolkan diri, juga di bidang politik yang
sebenarnya menjadi wewenang DGB. DGB terkadang berada di antara mereka
dan itu tidak memberikan kesan yang baik.

Apakah pengurus di DGB dan orang-


orang-orang yang menggerakkan itu, mereka
anggota
anggota serikat buruh/pekerja?

Ya, tentu saja mereka berasal dari buruh. Badan yang tertinggi adalah kongres
federal dengan 400 utusan yang berasal dari serikat buruh secara proporsional
berdasarkan prinsip utusan. Mereka mengambil keputusan tentang DGB, tetapi
mereka tidak berada di atas DGB, karena DGB merupakan konfederasi dari 8
federasi serikat buruh yang ada. Di mana-mana ada konferensi, konferensi
federal, negara bagian atau regional. Kongres federal (nasional) dilaksanakan

4 Ketua umum IG BCE.


6 Ketua umum Ver.di.

42
setiap empat tahun sekali dan terdiri dari anggota federasi serikat buruh, pada
umumnya pengurus di tingkat perusahaan atau orang menempati jabatan
utama dalam serikat yang didelegasikan. Mereka menentukan konstitusi,
pertanyaan yang berhubungan dengan konstitusi dan permohonan politik.
Karena itu pemisahan antara DGB dan serikat buruh tidak ada, melainkan DGB
sebenarnya bertugas ganda.

DGB adalah kumpulan dari federasi serikat buruh dan di sisi lain DGB yang
mewakili serikat buruh terhadap pihak luar. Serikat buruh memilih dewan
ketua federal di DGB berdasarkan prinsip perwakilan. Pada Kongres terakhir,
Michael Sommer7 dipilih oleh para delegasi, hal ini juga sama halnya dengan
ketua regional. Saya sendiri dipilih oleh serikat buruh setempat.

Apa persisnya peran dari semua badan tersebut?


tersebut?

Kongres federal bisa menentukan konstitusi dan politik. Kongres federal


dilaksanakan setiap empat tahun sekali dan memilih dewan ketua. Dewan ketua
federal terdiri dari 8 ketua serikat buruh sektoral ditambah lima orang yang
dipilih di kongres federal. Di bawah kongres federal ada Panitia federal, yang
berfungsi mengambil keputusan politik, karena sering perlu diambil keputusan.
Panitia federal tersebut bertemu empat kali setahun, tetapi tidak boleh memilih
siapapun dan tidak boleh mengubah konstitusi. Di tingkat daerah seperti di
Schweinfurt atau Main Rhön, mirip. Setiap serikat buruh mengirim perwakilan
dan selain itu ketua dipilih dari struktur regional DGB, jadi campuran antara
serikat buruh dan struktur DGB.

Misalnya gaji minimum tidak hanya


hanya dituntut di tingkat nasional, tetapi juga di
tingkat negara bagian atau regional dan mungkin tuntutan itu berbeda. Apakah
misalnya IG BCE kadang-
kadang-kadang menyetujui gaji minimum di tingkat yang
berbeda-
berbeda-beda, atau terkadang terjadi konflik internal serikat buruh, karena di
tingkat lokal mendukung gaji minimum sedangkan di tingkat nasional tidak?

Jarang terjadi begitu. Ada beberapa contoh untuk kasus ini misalkan, IG BCE
serikat buruh yang konservatif dan relatif menunduk di hadapan atasan. Kalau
ketua nasionalnya mengatakan ”langit berwarna merah“, langit memang merah
sampai di Schweinfurt (lokal-red). IG Metall lebih progressif, tetapi kalau langit
berwarna merah menurut IG Metall di tingkat nasional, di 80% daerah berwarna
merah juga, hanya di beberapa daerah masih berwarna biru. Di Ver.di tidak
penting apa yang dikatakan ketua, setiap pengurus bertindak semaunya saja.
Jadi serikat buruh masing-masing sangat berbeda. Konsep persatuan serikat
buruh yang menjaga keutuhan DGB dan tidak mau ada serikat buruh yang
beraliran politik tertentu, semuanya setuju di situ. IG BCE misalnya merupakan
sosial-demokrat secara konservatif, mereka sangat fokus kepada SPD. Ver.di
campur-aduk yang didirikan oleh lima serikat buruh dan DAG8, jadi mempunyai
struktur yang sangat berbeda. Ver.di itu seperti DGB kecil yang memiliki 13

7 Ketua umum DGB.


8 Deutsche Angestellten-Gewerkschaft, Serikat Buruh Karyawan Jerman.

43
bidang dan setiap bidang berdiri sendiri. Di Ver.di semua delegasi memberi
suara semaunya. Di IG BCE tidak ada yang berani mendukung gaji minimum,
kalau ditentukan maka IG BCE akan melawan gaji minimum dan mereka selalu
bersatu memberi suara. Di kongres terakhir IG Metall, ada perselisihan internal
tentang konstitusi, tentang DGB dan lain sebagainya. Di IG Metall mungkin
terjadi bahwa 30% delegasinya bisa mengubah keputusan ketua dengan
argumentasi yang baik di beberapa bidang.

Perbedaan pendapat tidak terdapat pada setiap tema. Gaji minimum adalah
contoh di mana terjadi perbedaan. Jadi selalu bergantung pada karakater dan
perilaku setiap serikat buruh itu sendiri. Tetapi keputusan DGB adalah 7,50
Euro/jam seperti gaji minimum yang harus dicantumkan di peraturan
perundang-undangan. Kalau ada aksi, IG BCE tidak ikut, karena mereka tidak
setuju.

Jadi tuntutan gaji minimum di tingkat regional tidak berbeda dengan 7,50 Euro?

Tepat sekali.

Kita beralih ke tema lain, apa pendapat DGB tentang fleksibilisasi pasar tenaga
kerja?

Sebuah seminar bisa dipenuhi dengan tema itu. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja
merupakan istilah yang luas. Semua serikat buruh ingin mempertahankan hak
perlindungan buruh, tidak ada pengecualiaan di situ. Pasar tenaga kerja sangat
berubah sejak ”Agenda 2010“9. Akibatnya, sektor gaji rendah meluas, pekerjaan
yang rentan semakin bertambah, mulai dari pembatasan jangka waktu kontrak
yang dapat dilonggarkan menurut hukum sampai penyewaan buruh. Semua
serikat buruh memberantas itu bersama-sama di dalam DGB. Pasar tenaga
kerja sebelumnya sudah fleksibel, tetapi pekerja masih dilindungi. Perlindungan
tersebut sekarang terendam. Kalau pekerjaan yang rentan, saya berbicara
tentang pembatasan jangka waktu kontrak, tentang penyewaan buruh
(outsorcing dan kontrak), tentang gaji sangat rendah yang dimungkinkan Hartz
IV10. Orang yang kena Hartz IV sekarang harus menerima pekerjaan apapun,
tanpa memperhatikan gaji.

Sebelumnya, orang dilindungi batas kelayakan. Hanya sedikit orang tahu, tetapi
di situ orang dirugikan Hartz IV. Orang harus menerima pekerjaan apapun dan
hanya mendapat gaji 3 Euro per jam, kalau yang bersangkutan mendapat Hartz
IV atau penganggur sebelumnya. Kalau tidak, mereka tidak mendapat
tunjangan atau uang pengangguran lagi. Sebelumnya ada batas kelayakan yang
juga diberlakukan untuk kualifikasi, seperti contoh seorang insinyur tidak harus
membersihkan jendela. Kedua, ada batas pendapatan. Kalau saya mendapat

9 Istilah untuk reformasi sistem sosial dan pasar tenaga kerja. Syarat perolehan tunjangan sosial
diperketat dan pasar tenaga kerja difleksibilisasi.
10 Sebutan untuk kebijakan Pemerintah Jerman tentang tunjangan sosial yang isinya tentang dan
mengurangi jaminan sosial. Kebijakan ini terdiri dari empat seri, Harzt I-IV. Nama ”Harzt” di
ambil dari nama ketua komisi yang memberikan rekomendasi kebijakan ini, Peter Harzt.

44
2000 Euro/bulan misalnya sebelum menjadi penganggur, gaji di bawah 1600
Euro sebulan menjadi tidak layak. Semua itu tidak ada lagi sejak Hartz IV atau
sejak ”Agenda 2010“ diberlakukan. Akibatnya, tingkat gaji secara keseluruhan
turun, karena tekanan dari perubahan batas kelayakan. Itulah yang
mefleksibilisasi pasar tenaga kerja. Sebenarnya perjanjian kolektif dan
perjanjian perusahaan yang ditawar-menawar oleh serikat buruh sudah sangat
fleksibel. Spektrum waktu kerja misalnya sangat beranekaragam. Industri di
Schweinfurt misalnya ada pola shift yang berbeda-beda, ada pola empat shift,
ada yang bekerja dari minggu malam sampai sabtu malam. Ada macam-macam
pola yang memungkinkan mengambil keputusan secara fleksibel.

Untuk melawan pasar tenaga kerja, serikat buruh harus bersatu dan menuntut
bahwa fungsi perlindungan harus dijamin. Justru karena batas kelayakan itu
dihilangkan, tidak ada perlindungan terhadap buruh dan karena itulah
perubahan yang paling penting di sini. Kemudian penyewaan buruh dulu
terbatas, sekarang tidak dibatasi lagi. Pembatasan jangka waktu dulu maksimal
enam bulan, sekarang dua tahun dan ada caranya lagi untuk memperpanjang
itu juga. Berarti pemberi kerja sudah semakin diberi ruang yang lebih luas dan
memiliki banyak kesempatan dan sekarang bisa melakukan apa saja.

Perlindungan pekerja tetap harus dijamin kalaupun ada fleksibilisasi dan


semuanya setuju bahwa perlindungan tersebut tidak dijamin lagi, setidaknya
tidak untuk yang berada di luar perjanjian kolektif yang jumlahnya bertambah.
40% pekerja tidak dilindungi lagi lewat perjanjian kolektif.

Strategi apa yang diambil DGB untuk menghadapi fleksibilisasi pasar tenaga
kerja atau membatasi akibatnya?

Beberapa kampanye sedang dilakukan, misalnya melawan penyewaan buruh


(outsoucing dan buruh kontrak-red.) atau penyalahgunaan penyewaan buruh.
Penyewaan buruh harus terbatas, pembatasan jangka waktu harus terbatas dan
kami ingin mengubah soal kelayakan untuk Hartz IV dan di dalam peraturan
perundang-undangan sosial. Hal itu merupakan tuntutan politik yang penting
yang diputuskan bersama-sama di kongres federal. Ada cukup banyak bahan
dan keputusan mengenai itu. Pertanyaannya adalah bagaimana
implementasinya?. Kalau gaji minimum, tidak boleh di bawah 7,50 Euro, berarti
6 juta orang akan mendapat gaji yang dua kali lipat dari yang sekarang. Dengan
kebijakan itu masalah gaji rendah tidak bisa diberantas, karena 7,50 Euro tidak
banyak juga kalau mau bertahan hidup ditambah tunjangan kemiskinan juga
hilang, setidaknya secara teoretis.

Jadi tuntutan politik harus jelas dan melalui kegiatan kami, saya mencoba
untuk mendekati politik. Partai Kiri (Die Linke) memainkan peran di situ juga,
karena lewat partai tersebut kami bisa menekan partai yang lain, terutama
SPD11, juga CSU12 di Bavaria. Kalau peringanan pajak buat pekerja yang

11 Sozialdemokratische Partei Deutschlands, Partai Sosial-Demokrat Jerman.


12 Christlich-Soziale Union, Uni Kristen Sosial.

45
pulang-pergi misalnya: setengah tahun yang lalu, CDU13-CSU masih menolak
usulan dari Partai Kiri di parlemen federal, (sekarang malah mereka yang
mendukungnya lagi). Ada yang berubah, tentunya pelan-pelan, karena di dalam
sebuah demokrasi perlu waktu sampai partai berubah pendapat atau posisi,
tetapi DGB menggunakan alat-alat yang berbeda untuk mencapai tujuannya.
Debat politik dilaksanakan dengan partai di belakang layar dan didampingi
kampanye publik. Tuntutannya buruh kontrak mendapat gaji dan kondisi kerja
yang sama dengan buruh biasa. Akibatnya, penyalahgunaan buruh kontrak
tidak akan terjadi lagi, karena tidak bisa memaksimalisasi keuntungan melalui
penyewaan buruh lagi. Jadi kampanye publik dilakukan untuk menguatkan
tuntutan yang penting sekaligus pembicaraan di semua tingkat politik untuk
mengubah pikiran politik.

Bagaimana hubungan DGB dengan partai? Ada anggota partai yang sekaligus
anggota serikat buruh seperti Bapak sendiri. Apakah ada keputusan politik bisa
dipengaruhi?

Kekuatan DGB adalah konsep persatuan serikat buruh, berarti DGB netral
secara politik partai, tetapi tidak netral secara politis. Kami sebagai serikat
buruh tidak mendukung partai apapun, setidaknya secara resmi. Meski
demikian selama 50 atau 100 tahun DGB cenderung mendukung SPD, karena
kebanyakan pengurus dan pengurus perusahaan aktif di SPD. Kesamaan
pengurus sangat menonjol. Semua ketua federal adalah anggota SPD, tetapi
salah seorang ketua selalu berasal dari CDU. Ingrid Sehrbrock, wakil ketua
umum DGB, anggota CDU. Satu dari lima ketua yang dipilih di kongres federal
selalu anggota CDU.

Apakah juga ada ketua independen ataukah mereka selalu anggota partai?

Pada umumnya anggota partai. Secara politik partai kami netral, tetapi kami
mau bahwa aktivis buruh bergerak di dalam sebuah partai untuk membawa
tuntutan serikat buruh ke dalam partai, ke dalam CSU, ke dalam SPD, ke dalam
Partai Kiri dan ke dalam Partai Hijau, ke mana saja, hanya dengan FDP14 agak
susah. Ketua dewan pengurus di perusahaan terbesar di Schweinfurt, ZF Sachs,
adalah anggota CSU. Dia juga mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPRD
kota. Hubungan pengurus yang paling menonjol tetap dengan SPD, selain juga
dengan Partai Kiri. Tingkat pengurus yang kedua, yang regional seperti saya,
lebih terdapat di Partai Kiri, tidak lebih daripada di SPD, tetapi jumlah
pengurus perusahaan dan ketua regional yang di Partai Kiri bertambah. Di
tingkat atas belum begitu, tetapi banyak yang berubah. Di CSU atau CDU juga
ada sayap pekerja yang terdiri dari aktivis serikat buruh dan kami
membutuhkan mereka di CSU, di CDU, di setiap partai. Masalahnya, kekuatan
mereka berbeda-beda. Sayap pekerja di CSU relatif lemah. Di SPD tidak begitu
kuat lagi juga, dulu sangat kuat. Di situ terlihat pembelahan dari SPD,
perpecahan yang ada.

13 Christlich demokratische Union Deutschlands, Uni Kristen Demokrat Jerman.


14 Freie Demokratische Partei, Partai Liberal Jerman.

46
Perpecahan tersebut terjadi karena SPD berorientasi lain dan karena itu aktivis
serikat buruh ke luar dari partai?

Ya. Mulai kira-kira tahun 2000 dan sejak itu erosi anggota di SPD menakutkan.
Saya juga tidak ingin partai itu tidak ada lagi, tetapi harus diorientasikan lagi.
Tentu saja orang kami yang aktif di SPD setempat memainkan peran penting di
situ. Pertanyaannya bagaimana mereka dapat berhasil untuk menentukan
politik di dalam SPD lagi. Belum sampai di situ, orang-orang seperti
Steinbrück15 dan Steinmeier16 yang sedang berkuasa.

Menurut Bapak struktur organisasi dan strategi yang mana paling cocok untuk
menghadapi tantangan sekarang ini atau yang akan datang, kalau
memperhatikan globalisasi, liberalisasi dan lain-
lain-lain, Sudah optimal
optimal belum?
ataukah ada visi masa depan DGB tentang bagaimana semuanya dapat
dibentuk dengan lebih baik?

Firsching: Pada tahun 1991, waktu masih kuliah, saya menulis makalah tentang
keperluan bertumbuh menjadi satu untuk serikat buruh di Uni Eropa. Yang
saya tulis waktu itu, belum terwujud hari ini juga.

Apa yang Bapak tulis?

Saya meneliti bagaimana kerja serikat buruh di Eropa harus dijaringkan


sehingga lebih kuat dan berhasil. Saya berkesimpulan bahwa kompetensi yang
lebih luas dibutuhkan di tingkat Eropa. Saya belum mau berbicara tentang
tingkat dunia, kalau belum terjamin di tingkat Eropa. Di Uni Eropa, struktur
organisasi dan kompetensi dari serikat buruh harus dibentuk sehingga petunjuk
bisa diperoleh misalnya tentang politik perundingan. Gaji minimum misalnya
terdapat hampir di seluruh negara Uni Eropa selain di Jerman dan Finlandia. Di
Finlandia dan juga di Swedia tidak menjadi masalah, karena hampir tidak ada
buruh yang tidak dilindungi perjanjian kolektif. Serikat buruh begitu kuat
sehingga di mana-mana ada perjanjian kolektif, maka tidak perlu ada gaji
minimum. Tetapi di sini berbeda dan yang dibutuhkan adalah pedoman se-Eropa
tentang persoalan masing-masing, mengenai gaji atau kondisi kerja. Pekerja
sering dipermainkan, baik di perusahaan maupun di tingkat nasional.

Kalau kami menuntut kenaikan gaji 5%, katanya orang Itali hanya menuntut
2%. Setahun yang lalu terjadi konflik di perusahaan mobil Opel antara pabrik di
Brüssel dan pabrik di Rüsselsheim, waktu orang Belgia (di Brüssel) kehilangan
pekerjaannya. Pekerja antar pabrik diadu domba dengan sangat pandai, Maka
tingkat jaringan harus dinaikkan. Sudah banyak yang berubah di tingkat dewan
pengurus perusahaan, tetapi belum di tingkat federasi serikat buruh. Kalau
EGB, federasi serikat buruh Eropa, memiliki jumlah cabang yang sama dengan
DGB di München untuk mengurus semua yang berhubungan dengan Uni Eropa,

15 Menteri Keuangan Jerman.


16 Menteri Luar Negeri Jerman.

47
maka dia lemah. Masalahnya sama dengan yang dihadapi DGB di Jerman.
Serikat buruh sektoral atau nasional harus menyerahkan sebagian
wewenangnya dan banyak ketua berpikir bahwa mereka akan menjadi lemah
kalau mereka harus menyerahkan kewenangannya. Dan siapa yang suka
menjadi ketua yang lemah? Jadi manusiawi saja menolak memberikan
wewenangnya kepada institusi yang lain, itulah dilema kami. Serikat buruh mau
tampil kuat di lokasinya; mereka tidak kuat secara internasional, karena
mereka tidak mau memberikan ’kewenangannya kepada instansi yang lebih
atas’ tetapi tetap membutuhkan cabang untuk dapat dipercayai, untuk bisa
bergerak. ”Pedoman jasa Eropa” merupakan contoh yang sangat baik untuk
keberhasilan bergerak bersama-sama di tingkat internasional: kami berhasil
membatalkannya untuk buruh pelabuhan dan memberlakukan standar
minimum untuk pekerja pelabuhan di seluruh Eropa. Dan kalau berfungsi,
memang sukses, bukan hanya karena Ver.di melakukan sesuatu di Jerman dan
serikat buruh Perancis melakukan sesuatu.

Poin-poin penting ”Pedoman Jasa Eropa” dapat diubah, karena buruh Eropa
berdemonstrasi bersama-sama di Brüssel, di Straßbourg, di mana saya ikut juga.
50 sampai 80 ribu anggota serikat buruh dari seluruh Eropa datang,
berdemonstrasi, melakukan aksi. Susahnya, bukan semua serikat buruh di
Eropa mempunyai titik tolak atau tujuan yang sama. Di Perancis atau di Itali
ditambah masalah serikat buruh yang beraliran politik. Serikat buruh sosialis,
sosial-demokrat, kommunis atau serikat buruh gereja terdapat di satu
perusahaan.

Jadi di antara kepentingan yang berbeda-beda yang juga bersifat perorangan,


harus menemukan kesamaan dulu. Pemberi kerja tidak menghadapi masalah
itu. Arus keuangan berjalan global, laba yang menentukan, wewenang tidak ada
artinya. Yang penting penggunaan modal dan hasilnya, bukan standar sosial.
Hal tersebut hanya bisa menjadi pertimbangan kalau mencoba mempengaruhi
konsumen. Secara singkat, kami harus menyerahkan wewenang kepada tingkat
yang lebih atas, dan kami harus mencoba membentuk strategi perundingan.
Kalau jam kerja 35 jam seminggu dituntut di Jerman dan diimplementasikan di
Perancis, tetapi di negara lain waktu kerja diperluas lagi. Sekarang waktu kerja
riil berada di atas 40 jam, walaupun jam kerja 35 jam seminggu masih
tercantum di dalam perjanjian kolektif di industri metal, karena lembur dan
shift ekstra dan lain-lain. Karena itu negara yang lain ditekan. Tetapi di mana-
mana begitu: kalau harus memberikan wewenang, ada orang yang menolak.
Menurut mereka benar saja, tetapi misalnya IG Metall tidak memerlukan
keputusan tersebut untuk menguatkan organisasinya. Dan kalau harus memilih
pabrik mana yang ditutup, yang di Brüssel atau yang di Rüsselsheim, orang
Rüsselsheim tidak akan bersedia kehilangan pekerjaannya. Itu merupakan
masalah nyata. Jadi, harus menyerahkan kewenangan, dalam ukuran yang
wajar, tetapi tidak ada yang bersedia untuk itu.

Jadi memulai semacam gerakan serikat buruh Eropa.

48
Tepat sekali. Internasionalisasi, walaupun mudah dikatakan, tetapi lebih susah
daripada untuk Modal.

Bagaimana hubungan gerakan serikat buruh dengan gerakan sosial yang lain
asosiasi
seperti misalnya di bidang lingkungan atau dengan asosi asi konsumen?

Ada hubungan tradisional antara serikat buruh dengan organisasi buruh gereja,
misalnya dengan gerakan buruh katolik dan protestan. Pada umumnya itu
aktivis buruh yang aktif di gereja. Kemudian ada banyak organisasi yang
dibentuk selama 20 tahun terakhir seperti Attac dan Greenpeace. Kami
bekerjasama mereka di beberapa titik, dengan ”Amnesty International“
misalnya, tetapi intensitas kerjasama tergantung pada aktivis di tempat
tersebut. Kerjasama dilakukan dengan sekutu tradisional di semua tingkat, di
tingkat federal sampai ke daerah. Dan dengan organisasi dan asosiasi yang lain
yang dibentuk lama-kelamaan kerjasama dilakukan di beberapa titik, tetapi
kualitasnya berbeda-beda. Tergantung kekuatan organisasi di tempat – Attac
tidak kuat di mana-mana, di sini Attac tidak ada, di Nürnberg Attac kuat, di
sana kerjasamanya dengan serikat buruh dan DGB. Kelompok ”Amnesty
International“ di sini sangat aktif, jadi kadang-kadang kami melaksanakan
kegiatan bersama atau kami melakukan aksi surat dan sebagainya kalau
”Amnesty International“ mau membantu aktivis buruh di luar negeri. Di tingkat
Federal pada prinsipnya terbuka, tetapi temanya berbeda-beda. Tidak mungkin
misalnya menjodohkan IG BCE yang mempunyai anggota di industri obat-
obatan dengan kelompok ”Korban industri obat-obatan“, akan terjadi konflik.
Atau politik nuklir, sebagian Ver.di berada di E.ON17, tetapi DGB melawan
energi nuklir, selalu terjadi pertentangan. Di beberapa titik ada masalah, karena
mewakili kepentingan orang yang bertentangan dengan kepentingan
organisasi...

Tetapi secara umum betapa pentingnya hubungan serikat buruh dengan


organisasi sosial yang lain?

Memang penting, tetapi terus terang tidak menentukan keberhasilan serikat


buruh. Kekuatan serikat buruh tergantung dari jumlah anggota yang cukup
banyak di sebuah perusahaan. Serikat buruh yang paling hebat, yang hanya
berbaik hati tidak akan berhasil mewujudkan tujuannya kalau memiliki sedikit
anggota saja. Struktur anggota, kekuatannya di dalam perusahaan dan apakah
orang mau menjadi anggota serikat buruh tersebut yang menentukan
keberhasilannya. Di mana-mana begitu, bukan sesuatu yang baru. Saya sering
ditanyakan mengapa gaji seorang pelayan sangat rendah, tetapi gaji buruh
metal sangat tinggi, ini dianggap tidak adil. Alasannya 50 tahun politik
perundingan, kalau gaji naik di perusahaan industri metal setiap tahun dan
kenaikan gaji tersebut mengikuti inflasi, maka selama 50 tahun gaji akan
meninggi.

17 Perusahaan energi yang juga mendagangkan energi nuklir.

49
Di sisi lain, di bidang di mana ada sedikit anggota serikat buruh dan dilepaskan
dari perkembangan gaji, karena kenaikan gaji hanya terjadi setiap 2, 3 atau 4
tahun sekali, sebab pemberi kerja tidak mau membayar lebih banyak karena
merugikan. Tuntutan kenaikan gaji tidak terwujud dan orang mendapat
kenaikan gaji kecil setiap 3 atau 4 tahun sekali, tetapi tidak bisa mogok untuk
itu. Orang harus puas dengan 2%, tetapi selama 5 tahun kehilangan 5, 8, 10%
dan setelah 50 tahun gajinya dekat batas kemiskinan, mungkin masih
tercantum dalam perjanjian kolektif – ada juga, gaji 5 Euro yang dijanjikan
secara kolektif – di sisi lain terdapat gaji 30 Euro (per jam). Gaji segitu tidak ada
tiba-tiba, tetapi prosesnya lama.

Sekali lagi, kekuatan serikat buruh tidak bergantung dari banyaknya hubungan
dengan organisasi lain. Kerjasama penting untuk berhasil mewujudkan tuntutan
tertentu, tetapi ini bukan kriteria yang menentukan keberhasilan serikat buruh.
Katanya, kami memerlukan hubungan dengan organisasi lain, tetapi buat saya
itu tidak menentukan. Mungkin sikap begini agak keras, tetapi memang harus
begitu, kalau dilihat tanpa emosi.

Menurut Bapak, apakah gerakan serikat buruh bisa menjadi gerakan


revolusioner yang dapat mengubah struktur sosial ataukah terbatas pada
perlindungan, hak dan kondisi kerja saja? misalkan di Venezuela, banyak yang
berubah di dalam gerakan buruh, di mana ada buruh yang mengurus pabriknya
sendiri dan lain sebagainya

Kita harus selalu memperhatikan keadaan setiap negara. Pasti bisa dinyatakan
bahwa serikat buruh merupakan pusat para orang revolusioner, tetapi di
sebagian besar negara tidak begitu. Serikat buruh adalah stabilisator yang
mendukung sistem di Republik Federal Jerman. Seharusnya dimengerti begitu,
mau tidak mau. Serikat buruh jelas bergerak di dalam rangka undang-undang
dasar dan mencoba memperbaiki kondisi kerja di sini. Serikat buruh di negara
industri bersahabat dengan sistem dan hidup di dalamnya. Mereka mencoba
mewujudkan distribusi tertentu dari kekayaan yang diperoleh. Di negara
industri 60-70% perkerja baik-baik saja.

Kalau saya melaksanakan survei tentang tugas serikat buruh dengan 37.000
anggota di daerah Main-Rhön yang berada di bawah DGB melalui serikat buruh
sektoral, dengan pilihan pertanyaan adalah perbaikan kondisi kerja, kenaikan
gaji, perwakilan hukum kerja, perbaikan kondisi pekerjaan dan pelatihan serta
salah satunya adalah penggulingan sistem demi dunia yang lebih adil, tidak ada
5%pun yang akan memberi tanda silang di bagian terakhir. Sebagian besar
anggota serikat buruh, setidaknya yang baik-baik saja, mau hidup di sistem ini.
Kalau mayoritas di dalam sebuah demokrasi baik-baik saja, paling yang tidak
baik-baik saja menolak demokrasi dan golput.

Beda dengan orang yang tinggal di negara yang sedang berkembang di mana
perlawanan antara modal dan buruh sama keras dengan di sini 150 tahun yang
lalu dan menjadikannya lagi untuk kalangan tertentu, tetapi mereka merupakan
20%, 25% atau 30% saja, memang naik angkanya untuk golput. Jadi sekarang

50
tidak mungkin ada serikat buruh yang revolusioner di negara industri, karena
akan kehilangan anggota kalau menuju ke situ. Kalau diskusi yang mungkin
dilakukan Partai Kiri dibawa ke dalam serikat buruh, maka serikat buruh akan
melemah, saya yakin. Dan revolusi tidak berhasil kalau lemah. Hanya kalau
kondisi terus berubah dan semakin banyak pekerja yang rentan terdapat di
negara industri, kalau perpisahan antara kaya dan miskin tetap dikuatkan,
mungkin 20 tahun lagi, kalau mayoritas menghadapi masalah besar, mungkin
situasi bisa berubah, tetapi sekarang ini saya tidak melihat peluang untuk itu.
Maka dalam jangka menengah serikat buruh tidak akan mampu mewujudkan
perubahan di negara industri, kalaupun menginginkannya, dan mereka memang
tidak menginginkannya. Coba ajukan permohonan begitu di kongres DGB. Kalau
begitu, saya harus mencari pekerjaan baru.

Bagaimana
Bagaimana pendapat Partai Kiri (Die Linke) tentang situasi fleksibilisasi pasar
tenaga kerja?

Yang tak terduga, posisi sosial politik dari Partai Kiri dan serikat buruh agak
sama. Alasannya sejarah pembentukan Partai Kiri yang sebagian berasal dari
WASG18 di Barat dengan Oskar Lafontaine, Klaus Ernst, orang yang kuat yang
berpengaruh di luar PDS19. Pengaruh serikat buruh di Partai Kiri memang
bertambah. Di PDS tidak terdapat sama sekali, ini tidak boleh dilupakan. Bekas
PDS tidak ada kesamaan besar dengan serikat buruh baik secara personil,
secara isi hanya sebagian yang sama. Secara historis –FDBG20 juga merupakan
institusi negara waktu itu – PDS mencurigai serikat buruh dan serikat buruh
sebaliknya mencurigai PDS. Lewat sejarah pendek WASG dan karena pengaruh
aktivis buruh– karena sebagian besar WASG terdiri dari anggota serikat buruh
yang kecewa– ini berubah demi kebaikan Partai Kiri dan serikat buruh, karena
transfer posisi serikat buruh ke dalam partai masih berfungsi. Selalu tergantung
orang. Kalau di konferensi partai apapun utusan 543 memberi alasan untuk
sebuah permohonan dan berargumentasi baik mengapa perlu ada gaji minimum,
efeknya berbeda kalau ketua Bavaria melakukan hal yang sama dan ketua
tersebut berasal dari serikat buruh dan mewakili posisi serikat buruh.

Sementara itu kedudukan serikat buruh di dalam Partai Kiri relatif baik dan
karena itu posisinya diterima. Kedekatannya karena orientasi sosial Partai Kiri,
tidak ada kontradiksi di situ. Karena itu posisi serikat buruh dapat didesak
dengan baik. Di partai lain lebih susah, hanya kadang-kadang berfungsi. Pada
dasarnya saya berpikir bahwa banyak kesamaan di bidang itu. Tidak ada serikat
buruh yang akan mengungkapkan pendapat mengenai politik luar negeri,
mengenai pentingnya keberangkatan dari Irak atau Afghanistan misalnya,
karena tidak merupakan tema serikat buruh. Untuk kelompok tertentu di dalam
serikat buruh mungkin penting, untuk aktivis perdamaian misalnya, tetapi

18 Wahlalternative Arbeit und soziale Gerechtigkeit, Pilihan Alternatif Pekerjaan dan Keadilan
Sosial.
19 Partei des Demokratischen Sozialismus, Partai Sosialisme Demokratis. Pengganti partai kesatuan
dari Republik Demokrasi Jerman.
20 Freier Deutscher Gewerkschaftsbund, Federasi Serikat Buruh Jerman Liberal. Federasi serikat
buruh di Republik Demokrasi Jerman.

51
bukan tema yang paling penting, tidak mungkin juga. Maka tergantung tema,
tetapi di bidang politik sosial atau politik pajak ada banyak kesamaan. Partai
Kiri kadang-kadang lebih radikal dan serikat buruh lebih berhati-hati, karena
mereka membutuhkan partai pemerintah kalau ingin mengubah peraturan
perundang-undangan. Dan Partai Kiri bukan partai pemerintah.

Bagaimana dengan Bapak sendiri? Bagaimana menjadi anggota serikat buruh


dan jadi bekerja untuk DGB? Bapak juga anggota Partai Kiri. Apakah
sebelumnya mungkin juga anggota SPD yang kecewa?

Orang tua saya sosial-demokrat. Ibu saya anggota DPRD untuk SPD. Maka
sosialisasi sangat berorientasi pada serikat buruh dan sosial-demokrat. Terus,
saya dilatih sebagai juru gambar teknis di perusahaan SKF di mana saya masuk
karir serikat buruh yang klasik sebagai wakil remaja. Kemudian saya kuliah
lagi dan setelah kuliah saya melamar di serikat buruh, bekerja sebagai
sekretaris muda di DGB, setelah itu bekerja di IG Metall di Kempten. Kemudian
saya ditawarkan jabatan di sini. Jadi karena alasan pribadi saya kembali ke sini,
karena saya berasal dari Schweinfurt. Bukan keputusan melawan IG Metall dan
untuk DGB. Karena sosialisasi saya dulu anggota SPD, setelah 13 atau 14 tahun
pemerintahan Kohl, saya ikut berkampanye melawan Kohl21, menjadi wakil
ketua SPD di Schweinfurt selama 3 atau 4 tahun sampai tahun 1998. Terus saya
ke Kempten, maka saya harus menghentikan fungsi saya di Schweinfurt. Dan
pada tahun 2000 saya keluar dari SPD. Setelah 2 tahun pemerintah Schröder,
setelah reformasi pajak perusahaan saya tahu arahnya. Waktu Lafontaine
berhenti, saya juga menghentikan keterlibatan saya. Waktu itu saya yakin saya
tidak pernah akan masuk politik lagi dan itu 8 tahun yang lalu. Beberapa orang
sosial-demokrat langsung bertanya kepada saya apakah saya mau melakukan
sesuatu, mau mencalonkan diri untuk sesuatu, untuk parlemen negara bagian
misalnya. Saya menyahut bahwa saya bukan anggota SPD lagi, saya tidak akan
aktif secara politik lagi.

Pada bulan Maret tahun 2003 ”Agenda 2010“ diberlakukan dan saya sangat
marah seperti banyak orang lain. Diskusi mulai tentang apa artinya Agenda
2010, bukan semua orang langsung sadar. Orang yang berkesadaran politik
mengerti dengan relatif cepat atau sudah tahu sebelumnya. Pertanyaannya
apakah kami akan melakukan sesuatu melawan itu di dalam SPD sendiri untuk
memperbarui SPD dari dalam atau lebih berhasil mewujudkan nilai yang kami
anggap penting kalau menyerang SPD dari luar. Setelah diskusi yang panjang
kami berkesimpulan bahwa harus menyerang SPD dari luar karena hanya
dengan demikikian SPD akan berubah. Di internal partai kami menulis
permohonan untuk menghibur diri, tetapi tidak akan mengubah politik, karena
pemimpin SPD di Berlin atau di dalam pemerintah sering tidak mengindahkan
keputusan partai. Karena mengerti itu, kami memulai inisiatif ”Pekerjaan dan
Keadilan Sosial“ pada tahun 2004 dan pada musim panas tahun 2004 pada hari
minggu pada bulan Juli kami mendirikan WASG.

21 Kanselir dari partai CDU dari 1982 sampai 1998.

52
Setelah itu semuanya berkembang dengan cepat sekali. Setahun kemudian
WASG masuk parlemen lewat daftar PDS. Belum pernah terjadi begitu satu
tahun setelah pendirian sebuah partai. WASG sebagai partai –sebelumnya
bentuknya perkumpulan– didirikan pada bulan Januari tahun 2005. Pada
Oktober 2005 partai masuk parlemen. Konsekuensinya saya menjadi salah satu
ketua WASG di tingkat negara bagian dan bertanggungjawab terhadap proses
penyatuan (WASG dan PDS setelah bergabung menjadi Partai Kiri) dengan
semua masalah yang masih ada, dengan ideologi yang berbeda-beda, karena PDS
di Bavaria sangat elitis. PDS di Bavaria tidak pernah mengikuti pilkada Bavaria
dan tidak populer di tingkat lokal. Beberapa kelompok ”K“, kelompok komunis
dari tahun 70an bergabung dengan PDS di Bavaria atau di Jerman Barat, tetapi
PDS tidak pernah berhasil di Barat. Memang perlu semacam pendirian kembali,
karena aktivis DKP22 misalnya yang tidak berhasil selama 20, 30 atau 40 tahun
di Bavaria tidak dipercayai, tidak dipilih. Karena itu perlu membentuk partai
baru, dan kualitas Partai Kiri adalah spektrum yang lebih luas dari pusat
sebelah kiri masyarakat sampai kiri ekstrim. Dengan begitu, dapat memobilisasi
lebih banyak pemilih yang potensil. Tetapi kembali ke pertanyaan aslinya: itulah
riwayat hidup saya sendiri, mulai dari orang sosial-demokrat yang kecewa. Nilai
yang saya dukung masih sama dengan 10 tahun yang lalu waktu saya
berkampanye untuk Schröder23.

Jadi Bapak tidak menganggap nilai tersebut terwujud di dalam SPD lagi?

Tidak sama sekali. Pada 1999 saya ragu, pada 2000 dengan reformasi pajak
perusahaan jelas arahnya lain. Tesis kami adalah bahwa seandainya CDU-CSU
yang berkuasa waktu itu, reformasi tersebut tidak dapat dilaksanakan seperti
Schröder mewujudkannya pada 2003. Suatu pemerintah CDU-CSU-FDP harus
menghadapi perlawanan dari serikat buruh bersama SPD. Seandainya SPD
dalam oposisi pada tahun 2003, dia akan melawan skandal itu berdampingan
dengan serikat buruh. Apa yang dilakukan serikat buruh? Waktu itu pemerintah
terdiri dari SPD, kesamaan personil sangat jelas. Mereka kaget waktu pada 3
April 2004 tiba-tiba setengah juta orang turun ke jalan. Waktu pulang, ketua
kami, Bapak Sommer, mengatakan di bus bahwa protes diberhentikan.
Hubungan antara DGB dan SPD begitu kuat sehingga perlawanan terhadap
SPD tidak diteruskan secara konsekwen. Sebabnya, reformasi sosial dan
penurunan sosial dapat terjadi.

Suatu pemerintah CDU tidak bisa melaksanakannya begitu. Kemungkinan


perlawanan jauh lebih banyak atau perlawanan akan bertahan lebih lama.
Kalau SPD berada di oposisi serikat buruh tidak hanya berdemonstrasi sekali
saja, tetapi akan protes sampai hal-hal tertentu dihilangkan. Tetapi waktu itu
ada janji gencatan senjata. Aktivis di tempat dikendalikan. Hasilnya, sekarang
ini kami menghadapi akibat dari tidak melakukan sesuatu pun waktu itu.
Sekarang kami berkampanye yang mungkin tidak harus dilakukan kalau waktu
itu tetap terus melawan rencana pemerintah. ***

22 Deutsche Kommunistische Partei, Partai Komunis Jerman.


23 Kanselir dari partai SPD dari tahun 1998 sampai 2005.

53
MANSOUR FAKIH
“JALAN PANJANG TRANSFORMASI
TRANSFORMASI SOSIAL”
SOSIAL”

Oleh Fitri Indra Harjanti

Mansour Fakih, sebuah nama yang sudah tidak asing


lagi bagi para aktivis gerakan sosial di Indonesia
bahkan di dunia. Mansour adalah sosok orang biasa
yang lahir dari keluarga biasa di Bojonegoro, Jawa
Timur, pada tanggal 10 Oktober 1953. Sama seperti
orang biasa lainnya, ia bisa melihat ketidakadilan
dengan kasat mata di kesehariannya dan membuatnya
sangat marah. Sebagai orang biasa, Mansour
menyadari bahwa ia adalah orang yang lemah,
sehingga membutuhkan kawan dan organisasi untuk
mewujudkan apa yang diinginkannya. Mungkin itulah
sebabnya kenapa Mansour begitu bersemangat
merintis organisasi dan komunitas. Mansour selalu
berpikir bahwa organisasi merupakan tempat
pembelajaran berkelanjutan atas dasar pengalaman
bersama bagi orang-orang yang selalu gelisah seperti
dirinya. Bagi Mansour dan orang-orang seperti dia,
hanya ada dua hal yang menjadi batu pijakan agar
tetap kokoh: belajar dari pengalaman kebersamaan,
dan konsisten dalam menetapkan pilihan.

Perjalanan intelektual Mansour Fakih dimulai ketika ia mengenyam bangku


kuliah di Jurusan Teologi & Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (lulus tahun
1978). Pada masa itu, IAIN Jakarta adalah lahan yang subur bagi berbagai
pemikiran pembaharuan keagamaan dalam Islam, khususnya rasionalisme
teologi yang diprakarsai oleh rektornya masa itu, Harun Nasution. Mansour
mulai menggumuli wacana rasionalisme Islam dengan serius. Ia waktu itu
berkesimpulan bahwa banyak orang di Indonesia beragama dengan pemahaman
teologis yang keliru. Agama yang berkembang menjelma menjadi sesuatu yang
dogmatis. Mansour merasa tidak ada korelasi antara ajaran agama dengan
persoalan yang tengah dihadapi oleh manusia. Agama benar-benar menjadi
setumpuk wahyu dan tata tertib yang jatuh dari langit. Bahkan, agama dapat
menjadi alat bagi kekuasaan untuk melakukan penindasan dengan diam-diam.
Pada fase itulah, Mansour menjadi seorang pemuda yang terpesona dan teguh
meyakini pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, aliran teologi rasional yang sangat
fenomenal dalam sejarah Islam.

Lulus dari IAIN, Mansour bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan


Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sebagai seorang petugas lapangan
dan peneliti. Ketika ia melakukan tugas pendampingan bagi kelompok

54
masyarakat perajin di kawasan Sukabumi Udik, Jakarta Selatan, ia
menyaksikan bagaimana kelompok perajin itu telah bekerja keras dan rajin,
barang-barang hasil kerajinan mereka pun cukup laku di pasaran, tetapi mereka
tetap saja miskin. Hal tersebut sangat mengganggu pikiran Mansour sehingga
membuat Mansour sibuk bertanya dan berdiskusi dengan beberapa orang
seniornya di LP3ES. Mansour kemudian mulai mengenal pemikiran-pemikiran
strukturalisme dalam kajian politik ekonomi sebagai suatu pisau analisis
terhadap berbagai permasalahan rakyat. Pendekatan struktural ini semakin
diyakini oleh Mansour ketika ia mulai terlibat dalam kerja-kerja pendidikan
masyarakat melalui kegiatan-kegiatan pelatihan di Lembaga Studi
Pembangunan (LSP) yang didirikan oleh beberapa aktivis senior saat itu.

Berbekal alat analisis sosial struktural dan metodologi pelatihan partisipatif,


Mansour kemudian malang melintang dalam dunia pendidikan masyarakat.
Dalam perjalanan intelektual sekaligus praktik politik semacam itulah ia
kemudian bertemu dengan berbagai kelompok maupun perseorangan yang aktif
melakukan proses-proses pendidikan kerakyatan sekaligus kerja-kerja advokasi.
Mansour bertemu dengan orang-orang seperti Toto Rahardjo, Erwin Panjaitan,
Simon Hate, Ahmad Mahmudi, dan Roem Topatimasang. Sederet nama ini
adalah orang-orang yang telah cukup lama bergerak di lapisan akar rumput
melakukan kerja-kerja pengorganisasian rakyat.

Pertemuan antara pendekatan analisis sosial struktural dengan metodologi


pendidikan kritis itulah yang merekatkan kembali pemikiran-pemikiran kritis
teologi Islamnya Mansour selama ini. Kesempatan untuk mewujudkannya
secara lebih terpadu dan sistematis dalam aksi nyata diperoleh Mansour ketika
LP3ES dan LSP kemudian mendirikan Perhimpunan Pengembangan Pesantren
& Masyarakat (P3M).

Pada akhir 1980an, Mansour Fakih berangkat ke Massachusetts, Amerika


Serikat, untuk melanjutkan sekolahnya di Centre for International Education,
University of Massachusetts, Amherst. Sebelum berangkat, terjadi semacam
“kesepakatan tak tertulis” dengan kawan-kawan seperjuangan Mansour, yaitu
bahwa Mansour mendapat semacam tugas untuk “meneorikan” semua kerja-
kerja praksis yang dilakukan kawan-kawannya selama ini. Hal ini adalah suatu
kesepakatan sinergis antara “orang-orang yang tidak sekolah” yang berguru
langsung pada pengalaman dan kehidupan, dengan seseorang yang kelak akan
masuk ke dalam gelanggang intelektual karena legitimasi gelar akademisnya
hasil sekolah formal.

Mansour tidak menyia-nyiakan kepercayaan kawan-kawannya itu. Pada tahun


1990, ia meraih gelar Master of Education (M. Ed) dari University of
Massachusetts dengan tesis berjudul: Participatory Research on Economic
Development: A Source Book for Practitioners. Karena kemampuan
intelektualnya, almamaternya di Amherst itu memberinya kesempatan
melanjutkan terus sekolahnya untuk meraih gelar doktor. Pada mulanya,
Mansour merasa sungkan dan setengah hati menerima tawaran beasiswa
tersebut, karena ia merasa dunia akademik bukanlah dunianya. Dia hampir saja

55
menolak tawaran tersebut, namun setelah “dipaksa” oleh salah seorang
sahabatnya yaitu Roem Topatimasang, Mansour akhirnya menerima beasiswa
tersebut. Pada tahun 1994, ia menyandang gelar Doctor of Education (D. Ed)
dari University of Massachusetts dengan disertasi berjudul: The Role of Non
Governmental Organizations in Social Transformation: A Participatory Inquiry
in Indonesia. Penyusunan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan kawan-kawan
lamanya yang membantunya menyusun beberapa pertemuan reflektif dan
rekolektif dengan berbagai kalangan yang sekaligus dimanfaatkan Mansour
sebagai proses penelitian disertasi doktornya.

Di sela-sela kesibukannya menyusun disertasi, Mansour dipercaya menduduki


jabatan sebagai Country Representative OXFAM-UK/I di Indonesia. Mansour
benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk mendukung munculnya
“gerakan-gerakan baru perubahan sosial” di berbagai wilayah dan dalam
berbagai isu strategis di Indonesia. Mansour melanjutkan diskusi intensifnya
dengan S. Indro Tjahjono dan Hira Jhamtani yang memiliki keresahan yang
sama dengan gejala kemunculan “neo-liberalisme”. Dengan penguasaan yang
sangat baik mengenai teori pemikiran dan gerakan feminisme, Mansour juga
memanfaatkan sumber daya OXFAM-UK/I saat itu untuk memperkenalkan
pendekatan dan analisis gender secara lebih holistik dan mendalam, khususnya
di kalangan para aktivis ORNOP di Indonesia. Boleh dikata, inilah karyanya
yang paling fenomenal, memperkenalkan dan mengembangkan analisis gender
sebagai suatu pisau analisis sosial secara holistik dan sistematik, bahkan
sampai ke tingkat implementasi programatik dan metodologi praksisnya. Para
aktivis gerakan perempuan di Indonesia berutang padanya dalam hal ini.
Sebelumnya, banyak aktivis memahami teori dan analisis gender tersebut secara
parsial, fragmentatif, atau hanya sebatas “wacana teoritis” saja.

Selama di Amerika Serikat (1988-1994), pemikiran Mansour diperkaya oleh


pemikiran Antonio Gramsci dan juga pandangan-pandangan serta teori-teori
gerakan feminisme. Salah seorang profesor penyelianya adalah Arturo Escobar,
seorang pakar antropologi dari Amerika Latin yang “memperkaya” teori
dependensia –yang paling sering digunakan untuk menjelaskan masalah
kemiskinan dan keterbelakangan di Amerika Latin— dengan unsur-unsur dan
analisis kebudayaan dan teori gerakan sosial. Karena teori dependensia saat itu
memang masih sangat kental diwarnai oleh analisis klasik Marxian yang terlalu
struktural dan dan deterministik. Selain itu, Mansour juga semakin mendalami
pemikiran Paulo Freire dan sejarah perubahan sosial di negara-negara Amerika
Latin dengan beberapa kali kesempatan berdiskusi langsung dengan Freire
maupun William Smith, seorang mahasiswa senior di Amherst yang disebut-
sebut sebagai “murid langsung” Freire yang pernah terlibat beberapa tahun
dalam kerja-kerja lapangan bersama Freire di Amerika Latin.

Gelar doktor yang dibawanya pulang dari Amerika Serikat tidak membuat
Mansour melirik ranah lain untuk meneruskan perjalanan hidupnya. Ia tetap
setia pada ranah pendidikan kerakyatan bersama kawan-kawan lamanya. Pada
tahun 1994, ia bergabung dengan sembilan kawan lamanya (Roem
Topatimasang, Zumrotin K. Susilo, Wardah Hafidz, Abdul Hakim Garuda

56
Nusantara, Fauzi Abdullah, Mahendro, August Rumansara, Roy Tjiong, Sugeng
Setiadi, dan Wilarsa Budiharga) mendirikan Resources Management &
Development Consultants (REMDEC) di Jakarta, suatu lembaga pelayanan
fasilitasi dan konsultasi pengembangan kemampuan (capacity building)
organisasi-organisasi nonpemerintah dan masyarakat. Melalui berbagai
kegiatan pelatihan dan konsultasi oleh REMDEC inilah, dia tetap memelihara
kontak langsungnya dengan berbagai organisasi gerakan sosial dan para aktivis
pengorganisasian rakyat di seluruh Indonesia. Di REMDEC ini juga, Mansour
bersama Wilarsa Budiharga, Sylvia Tiwon, dan Ayi Bunyamin, merintis suatu
divisi khusus pengkajian dan pengembangan dengan nama “Praxis”.

Hingga tahun 1997, saat rezim Suharto sedang ganas karena suhu politik
semakin meninggi, Mansour kembali mengajak beberapa kawan lamanya
memikirkan suatu wadah baru yang bersifat “lebih longgar” disbanding
REMDEC yang berbadan hukum resmi Perseroan Terbatas (PT). Seperti biasa,
awal dari suatu gagasan baru semacam ini terlahir dan digodok bersama dengan
“tandem abadi”nya Roem Topatimasang. Mereka kemudian mengajak beberapa
kawan lama seperti Rizal, Sri Kusyuniati, Sita Aripurnami, Fauzi Abdullah, dan
Wilarsa Budiharga) mendirikan Institute for Social Transformation (INSIST) di
Yogyakarta. Segera setelah INSIST resmi terbentuk, beberapa kawan lainnya
segera ikut bergabung, di antaranya adalah Toto Rahardjo, Saleh Abdullah,
Amir Sutoko, Simon Hate, Noer Fauzi, dan Yando Zakaria. INSIST, hingga kini
berkembang menjadi suatu organisasi terbuka bagi banyak aktivis gerakan
sosial dan intelektual dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, Mansour
sendiri suka sekali menyebut INSIST sebagai “sekolahnya para aktivis gerakan
sosial di Indonesia”. Banyak aktivis terkemuka dari berbagai tempat di
Indonesia juga selalu menjadikan INSIST sebagai “tempat singgah dan refleksi”
mereka. Puluhan aktivis muda telah dilahirkan INSIST melalui program
Indonesian Volunteers for Social Movement (INVOLVEMENT) yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia dan Timor Lorosae, juga puluhan penulis,
sastrawan, dan budayawan muda yang berwawasan transformasi sosial melalui
Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Bersama Roem Topatimasang, Anu
Lounela, dan Eko Prasetyo, Mansour memimpin Dewan Redaksi Tetap Jurnal
INSIST, Wacana,
acana yang hingga kini menjadi salah satu jurnal pemikiran yang
diperhitungkan di Indonesia, suatu jurnal yang lebih bermaksud mewadahi
pergulatan wacana transformasi sosial, bukan sekedar menyalurkan kegenitan
intelektual.

Beberapa buku telah ditulis oleh suami dari Nena Lam’anah serta ayah dari
Farabi Fakih dan Fariz Fakih ini. Buku-buku tersebut adalah Masyarakat Sipil
untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia (1996);
Analisis Gender & Transformasi Sosial (1996), Runtuhnya Teori Pembangunan
dan Globalisasi (2001); Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (2002); dan
Bebas dari Neoliberalisme (2003).

Selain itu, Mansour juga menulis karya bersama dengan kawan-kawan


seperjuangannya, seperti Belajar dari Pengalaman: Panduan Metodologi
Metodologi
Pelatihan Partisipatif untuk Pengembangan Masyarakat (1985, bersama Roem

57
Topatimasang, Russ Dilts, dan Utomo Dananjaya); Biarkan Kami Bicara:
Panduan Pelatihan Media Komunikasi Kerakyatan untuk Pengorganisasian
Masyarakat (1987, bersama Roem Topatimasang dan Mufid Aziz); Menggeser
Neraca Kekuatan: Panduan Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat Konsumen
(1990, bersama Roem Topatimasang dan Widjanarko ES); Pendidikan Politik
untuk Rakyat: Panduan Pelatihan (1999, bersama Roem Topatimasang, Saleh
Abdullah, Noer Fauzi, dan Toto Rahardjo); Pendidikan Popular: Panduan
Pelatihan (2000, bersama Roem Topatimasang dan Toto Rahardjo); Mengubah
Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi (2001, bersama Roem
Topatimasang dan Toto Rahardjo); Menegakkan Keadilan & Kemanusiaan:
Kemanusiaan:
Pegangan untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia (2003, bersama
Antonius M. Indriarto dan Eko Prasetyo); Community Integrated Pest
Management in Indonesia: Institutionalising Participation and People Centred
Approaches (2003, bersama Toto Rahardjo dan Michel Pimbert).

Mansour yang telah mengikuti dan mengadakan berbagai pelatihan dan


lokakarya, khususnya dalam bidang metodologi pelatihan, pendidikan, dan
penelitian partisipatif, serta kajian kebijakan di dalam dan luar negeri sejak
awal 1980an ini telah malang melintang terlibat di dalam berbagai macam
pekerjaan dan kesemuanya berkaitan dengan perjuangan sosial, yaitu sebagai
peneliti dan petugas lapangan di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta (1979-1981); fasilitator
utama dan peneliti di Lembaga Studi Pembangunan (LSP), konsultan Pan Asia
Research, Jakarta (1982-1984); fasilitator utama dan kordinator program di
Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat (P3M), Jakarta (1985-
1987); konsultan senior di Indeco de Unie, Bandung (1992); country
representative di OXFAM-UK/I Indonesia, Yogyakarta dan anggota Dewan
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Jakarta (1993-1996),
konsultan senior di Resources Management & Development Consultants
(REMDEC), Jakarta dan direktur Institute for Social Transformation (INSIST),
Yogyakarta (1997-2002); pengajar pascasarjana di IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, dan peneliti tamu pada
Institute for Development Studies (IDS), University of Sussex, Inggris (2000-
2004); anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Jakarta
dan anggota Pengurus Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP),
Solo (2002-2004).

Mansour Fakih juga adalah salah satu orang yang menolak penggunaan istilah
“penyandang cacat” atau “tidak mampu” (disable) dan mengajukan suatu istilah
tandingan yaitu diffable (different ability) atau “memiliki kemampuan yang
berbeda”. Hal tersebut diperjuangkannya ketika organisasi “penyandang cacat”
di Yogyakarta meminta bantuannya memfasilitasi proses perjuangan menuntut
hak-hak mereka. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman Mansour ketika ia
masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di kampungnya. Ia mengalami suatu
peristiwa yang cukup membekas dalam ingatannya dan membawa dampak
panjang dalam pandangan poitiknya. Sebagai lazimnya anak-anak waktu itu,
Mansour hendak ikut meramaikan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Di
Bojonegoro saat itu, bila ada peringatan kemerdekaan, diadakan lomba baris

58
berbaris tingkat kecamatan dan kabupaten. Mansour sudah jauh hari berpesan
kepada ibunya agar dipersiapkan pakaian terbaiknya untuk ikut ambil bagian
dalam lomba baris-berbaris tersebut. Tetapi ternyata, dia tidak terpilih, hanya
karena tubuhnya dianggap terlalu pendek. Mansour kecil sangat kecewa, dan
sejak saat itun ia selalu merasa punya ikatan emosional dengan orang-orang
yang bertubuh “kurang atau tidak sempurna” menurut anggapan umum.
Perasaan itu semakin menguat ketika ia terserang stroke pertama kali pada
tahun 1998, dengan akibat melemahnya beberapa fungsi organik tubuhnya. Tak
heran Mansour selalu bersemangat membahas masalah ini sebagai bagian
integral dari keseluruhan perjuangan hak-hak asasi manusia. Dilatari oleh
perjalanan intelektualnya yang sarat dengan pergolakan pemikiran tentang
penentangan ketidakadilan dan gerakan sosial untuk mengubahnya, dapat
dimaklumi jika Mansour kemudian sangat menonjolkan masalah hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya, ketika ia mulai terlibat dalam gerakan hak asasi
manusia, antara lain melalui KOMNASHAM.

Di kalangan kawan-kawan dekatnya, Mansour yang sangat menggemari film


The Burning Season dan Apocalypse Now, lagu-lagu Pink Floyd dan George
Santana, serta roman-roman Pramoedya Ananta Toer ini dikenal sebagai
seseorang yang memiliki selera humor tinggi. Selain itu, menurut kawan-
kawannya, Mansour memiliki sebuah kekurangan yaitu paling tidak bisa
mengatakan “Tidak!” sehingga banyak hal yang sebetulnya sederhana akan
menjadi rumit di kepala Mansour, hanya karena ia tak tega untuk menolak,
mengecewakan, dan menyakiti orang lain. Tetapi kekurangan itu tetap bisa
digeser menjadi kelebihan. Sebab, dengan sikap seperti itu, menjadikan Mansour
lebih gampang diterima oleh banyak pihak dan karena itu pula, pemikiran-
pemikirannya dapat bergerak bergerilya di forum-forum maupun kelompok-
kelompok yang lebih majemuk. Begitulah manusia biasa, setiap kekurangan
selalu punya potensi menjadi kelebihan, dan demikian pula sebaliknya. Mansour
adalah pribadi yang tidak pernah berhenti bergolak untuk membela keadilan,
namun tetap dikenal santun dan rendah hati dalam pergaulan.

Mansour Fakih, sosok yang terus selalu konsisten berada pada garis perjuangan
transformasi sosial bahkan hingga akhir hayatnya ketika stroke kedua yang
dialaminya pada bulan Februari 2004 telah merengutnya dari perjuangan sosial
di Indonesia. Di tahun-tahun terakhir sebelum kepergiannya untuk selamanya,
Mansour dipercaya menjadi anggota Komite Nasional untuk Hak Asasi Manusia
(KOMNASHAM). Ia kemudian dipilih sebagai anggota “Helsinki Process”, suatu
forum internasional yang diprakarsai oleh Kementerian Luar Negeri Finlandia,
beberapa Negara Selatan dan organisasi nonpemerintah (Ornop) internasional,
untuk mengupayakan jalan keluar terhadap berbagai masalah globalisasi. Di
“Helsinki Process”, wakil dari Asia hanya ada dua orang, dan salah satunya
adalah Mansour Fakih dari Indonesia.

Demikianlah Mansour Fakih –berbeda dengan kebanyakan kaum intelektual di


Indonesia— tidak tumbuh dari laboratorium sepi dan menara gading intelektual
yang angkuh. Ia tumbuh dari dialektika teori dan praktik. Dua gelar (master
dan doktor) yang diraihnya di University of Massachusetts, Amerika Serikat,

59
tidak membuatnya besar kepala dan sibuk dengan kemewahan intelektualnya.
Ia menyikapi gelar dan jabatan sebagai alat untuk memperjuangkan apa yang
diyakininya.

Salah satu pemikiran Mansour Fakih yang sangat fenomenal dan berpengaruh
di dalam perjuangan sosial di Indonesia hingga kini adalah analisisnya
mengenai gender dan transformasi sosial. Seperti yang dituturkannya di dalam
bukunya Analisis Gender & Transformasi Sosial (1996), gender berbeda dengan
seks. Jika seks berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, manusia jenis lelaki memiliki
penis, jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma, sedangkan manusia
jenis perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, uterus, memproduksi
telur, memiliki vagina dan payudara. Alat-alat tersebut secara biologis melekat
pada manusia jenis perempuan dan lelaki selamanya secara permanen dan tidak
dapat saling dipertukarkan. Hal tersebut merupakan ketentuan biologis dari
Tuhan atau kodrat. Sedangkan gender adalah sifat-sifat yang dilekatkan pada
jenis kelamin tertentu akibat dari konstruksi sosial maupun kultural. Misalnya,
perempuan dianggap lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara
lelaki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat tersebut
sebenarnya sangat bisa dipertukarkan. Artinya, lelaki juga bisa emosional,
lemah lembut, keibuan, dan perempuan juga bisa kuat, rasional, perkasa.
Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut terjadi dari waktu ke waktu dan dari satu
tempat ke tempat lainnya, serta dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda.

Sebenarnya perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak


melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Persoalannya, perbedaan
gender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki
dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender
termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu: marginalisasi
atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting
dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Sebagai contoh, bagi kaum perempuan di pedesaan, program swasembada


pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara ekonomis telah
menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan
mereka. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan
jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan
sistem tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi panenan dengan
ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan.
Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di desa termaginalisasi, semakin
miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada
musim panen. Artinya, program revolusi hijau dirancang tanpa
mempertimbangkan aspek gender.

60
Sedangkan bagi kaum perempuan buruh di perkotaan, analisis mengenai hak
asasi serta nasib mereka dapat diletakkan dalam dua kerangka perspektif yakni
yang bersifat kondisional dan struktural. Analisis kondisional terhadap buruh
perempuan menyangkut analisis terhadap nasib kaum buruh secara
keseluruhan (buruh lelaki dan buruh perempuan), dari mulai upah minimum,
diskriminasi upah antara buruh lelaki dan perempuan, kondisi kerja yang
menyangkut keselamatan kerja, hak untuk berorganisasi, hingga kekhususan
bagi buruh perempuan berkaitan dengan kodrat biologisnya, seperti hak untuk
cuti haid, cuti hamil, dan cuti melahirkan.

Analisis struktural lebih menekankan pada posisi buruh perempuan dalam


keseluruhan struktur formasi sosial yang ada. Pada dasarnya, kedua analisis
tersebut tidak bisa dipisahkan, artinya analisis terhadap kondisi buruh
perempuan harus diletakkan pada perspektif struktural dalam kerangka jangka
panjang. Developmentalism atau pembangunanisme telah menempatkan kaum
buruh secara struktural dalam suatu posisi yang sangat penting sekaligus kritis.
Posisi buruh yang secara struktural dalam aspek ekonomi adalah sebagai
penghasil nilai lebih, secara tidak langsung menjadi penentu kelangsungan
hidup sektor-sektor lain seperti pemerintahan, keamanan, pendidikan, media
massa, dan lain-lain. Oleh karena itu, sektor-sektor lain berkepentingan
terhadap langgengnya status quo posisi struktural kaum buruh. Dinamika
kontradiksi antara kaum buruh dengan sektor lainnya inilah yang seringkali
menimbulkan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga,
pelanggaran hak-hak buruh dan nasib buruh tidak bisa hanya dipusatkan
kepada hubungan buruh dengan pengusaha belaka. Persoalan kaum buruh
adalah akibat dari posisi struktural yang tidak menguntungkan antara kaum
buruh sebagai suatu entitas dari masyarakat sipil berhadapan dengan
keseluruhan sektor dalam negara, seperti pemerintah, universitas, media massa,
partai politik dan sebagainya. Oleh karena itu, pelanggengan posisi struktural
kaum buruh menjadi tanggung jawab semua aparat sistem yang saling
berkaitan tersebut. Artinya, posisi kelas buruh tergantung pada teori dan visi
pembangunan yang diterapkan dan mereka yang mendukung dan
memperjuangkan agar teori dan visi tersebut dilanggengkan.

Lebih lanjut, seperti dijelaskan oleh Mansour Fakih di dalam bukunya


Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (2001), developmentalism atau
pembangunanisme sebagai salah satu paradigma dan teori perubahan sosial
dewasa ini berada pada masa krisis dan mengalami kegagalan penerapan di
berbagai negara Dunia Ketiga. Kegagalan model pembangunan Dunia Ketiga
justru terjadi pada negara-negara yang dianggap paling sukses dan yang paling
banyak dijadikan contoh pembangunan bagi negara-negara penganut
pembangunan lainnya, yaitu negara kapitalisme model NIC (Newly Industrialist
Countries) seperti Korea Selatan dan Taiwan. Kegagalan pembangunan juga
terjadi di negara-negara NIC baru seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Banyak penjelasan yang coba dikemukakan berkaitan dengan krisis tersebut.
Ada penjelasan yang menyalahkan faktor korupsi rezim negara-negara tersebut
sebagai argumen untuk menjelaskan krisis dan kejatuhan kapitalisme di Asia
yang terjadi secara cepat tersebut.

61
Meskipun demikian, suatu diskursus baru sebelum kejatuhan kapitalisme Asia
ini terjadi telah mulai dibangun dengan percobaan untuk memperbaiki atau
mereformasi sistem kapitalisme. Sebagai suatu proses reformasi dan bukan
transformasi, maka pendekatan, ideologi, dan struktur diskursus baru itu tidak
jauh berbeda dengan sistem, struktur, dan ideologi yang dijadikan landasan teori
pembangunan. Diskursus baru itulah yang dikenal dengan nama globalisasi.

Sumber:

1. E.A., Puthut. 2004. “Mansour Fakih: Kitab Yang Selalu Terbuka”.


Obituari memperingati 40 hari wafatnya Mansour Fakih. Yogyakarta:
INSIST, OE, REMDEC.

2. Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender & Transformasi Sosial.


Yogyakarta: INSISTPress. (pertama kali diterbitkan Pustaka Pelajar,
1996)

3. Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.


Yogyakarta: INSISTPress & Pustaka Pelajar.

62
Mempertimbangkan Serikat
Serikat Buruh
Berwawasan Global
Oleh Udoi Khudori

Judul : Globalisation and Labour;


the New 'Great Transformation'
Penulis : Ronaldo Munck
Penerbit : Zed Books Ltd, London, 2002
Tebal : xiii+216

Pada 1933, saat pelantikannya sebagai presiden dari era Depresi Besar (Great
Depression), Franklin D. Roosevelt membuat kebijakan-kebijakan yang disebut
Persetujuan Baru (New Deal), sebuah restrukturisasi paling liberal dan paling besar
yang pernah dibuat pemerintahan Amerika Serikat dalam sejarahnya. New Deal
berkaitan dengan program-program domestik Franklin D. Roosevelt yang
diimplementasikan pada periode sejarah dari 1933 hingga Perang Dunia II pada 1939.
Krisis keuangan yang melanda sektor finansial global yang ramai diberitakan media-
media massa beberapa pekan terakhir ditengarai sebagai krisis keuangan terburuk
sejak Great Depression.

Sebagai respon atas krisis finansial global tersebut aneka argumentasi diurai para
analis, langkah-langkah praktis-strategis dikemukakan pelaku-pelaku bisnis, formula-
formula dalam rupa kebijakan dan sejenisnya digelontorkan birokrat. Uniknya dari
beragam argumentasi yang ditawarkan hampir tidak ada satu argumen pun yang
mengambil sudut pandang kepentingan buruh sebagai salah-satu tulang punggung
bergeraknya sektor produksi. Dalam konteks ini lah penulis menempatkan buku Ronald
Munck, Globalisation and Labour, the 'New Great Transformation'. Buku yang
diterbitkan pertama kali pada 2002 ini mendapatkan momentumnya di 2008.

Ronaldo Munck penulis buku ini, Profesor Sosiologi Politik dan Direktur Unit Eksklusi
Sosial dan Globalisasi pada Universitas Liverpool, memulai uraiannya dengan kata-
kata "dalam kelajuannya, dunia postmodern yang kita hidupi telah menjerumuskan kita
ke dalam suatu era yang penuh ketidakpastian dan terus-menerus berubah—
singkatnya, sebuah zaman transformasi.” (Hal. xi). Transformasi, tulis Munck, “bukan
sekadar proses melepas tali perubahan berikut daya-daya ekonomisnya yang sangat
kuat melainkan juga cerminan suatu peningkatan perkembangan sosial tentang
kontestasi." (Ibid, hal. xi).

Waktu yang terus-menerus berubah, ketak-pastian, era transformasi, adalah beberapa


istilah kunci untuk memahami buku ini. Betul bahwa banyak buku yang mengambil
salah satu atau beberapa pokok tersebut namun yang unik—dan untuk itu—menarik
dari buku ini adalah sudut pandang yang diambil penulisnya yang memberikan
perhatian mendalam pada kompleksitas persoalan serikat buruh hingga menciptakan
prasyarat-prasyarat bagi kemunculan globalisasi "dari bawah."

63
Skema Buku

Buku yang berupaya menyuguhkan kisah tentang para pekerja dengan organisasi-
organisasi di era globalisasi kapitalis berikut potensi mereka untuk membangun suatu
alternatif demokratis ini terdiri dari delapan bab yang diperkaya dengan tabel-tabel,
dan sumber-sumber informasi dari internet.

Bab pertama, menjelaskan serangkaian pengujian terhadap transformasi-transformasi


paling menonjol, meliputi membubarnya negara-bangsa (deterritorialisasi) dan
Brazilianisasi (atau "Thirdwordisation") negara Barat sebagai dunia yang menjadi lebih
terintegrasi. Pada bagian ini Munck juga mempertimbangkan peranan daya buruh
global sebagai gerakan sosial global.

Untuk memahami kapitalisme global, menurut Munck, perlu menengok kembali "Era
Keemasan" dari kapitalisme pasca-perang. Di sini Munck menganalisa Fordisme yang
bukan sekadar suatu mekanisme produksi barang-barang melainkan juga berfungsi
sebagai tatanan sosial yang bertujuan meregulasi kapitalisme. Mengarah pada ahir
1960an model ini memasuki fase krisis yang berujung pada ambruknya kapitalisme
tetapi segera hadir kembali pada 1980an dalam rupa 'globalisation.'Pokok-pokok
tersebut dibahas pada bab dua.

Bab tiga berisi klarifikasi-klarifikasi Munck atas kekeliruan-kekeliruan dalam


mamahami kompleksitas dan kontradiksi-kontradiksi yang terdapat di balik globalisasi
yang disebutkan Munck sebagai "wacana baru tentang dominasi." Bab empat meliputi
rangkaian pengujian Munck terhadap aspek-aspek utama baik keadaan buruh maupun
dinamika-dinamika sosial di negara-negara yang relatif makmur. Bab lima Munck
mengidentifikasi terjadinya pergeseran naratif dan analisis terhadap bagian Selatan
global, yakni belahan bumi yang pada mulanya lazim diketahui sebagai Dunia Ketiga.
Pokok ini, bagi Munck, merupakan situs utama dari apa yang disebut sebagai
'informalisasi' (atau Brazilianisasi).

Bab enam mencakup pengujian-pengujian yang dilakukan Munck terhadap aspek-aspek


internasionalisme pra-globalisasi 'lama' yang jejaknya dapat ditelusuri pada
kemunculan paham internasionalisme sebagai dunia negara-bangsa di belahan dunia
Barat. Di samping itu juga dijabarkan pengujian kritis Munck terhadap praktik-praktik
negatif kaum imperialis dalam rupa serikat buruh vis-à-vis para buruh di Selatan. Bab
tujuh berisi paparan Munck tentang internasionalisme 'baru' atau praktik-praktik
solidaritas global, di mana kita, kata Munck, dapat mengambil langkah menentukan
melampaui batas-batas negara-bangsa. Bab delapan memuat hasil-hasil yang layak
dipertimbangkan buruh dalam keterlibatannya dalam proses globalisasi berikut
prospek-prospeknya dalam periode yang sekarang terbuka luas.

Globalisasi sebagai Transformasi Besar

Istilah Transformasi Besar baru bersumber pada gagasan Karl Polanyi tentang
Transformasi Besar. Frasa tersebut digunakan Polanyi untuk menjelaskan dislokasi,
diskontinuitas, kekacauan-kekacauan secara massif yang disebabkan oleh munculnya
kapitalisme indutri. Munck mengambil alih konsep Ploanyi dengan meambubuhkan
kata 'baru'. Aspek baru yang diintrodusir Munck mencakup munculnya formasi-formasi
atau pranata-pranata sosial seperti deterritorialisasi dan Brazilianisasi.

64
Bagi Polanyi gagasan tentang pasar yang dapat meregulasi-dirinya sendiri adalah
dystopia (kebalikan dari utopia); karena "ia tidak akan berada dalam jangka waktu
yang lama kecuali dengan membinasakan manusia dan substansi sosial alamiah. Jika
tidak dikendalikan "akan menghancurkan manusia secara fisik dan
mantransformasikan lingkungan sekitar ke dalam suatu keliaran-keliaran. (hal, 2).
Bagi Polanyi untuk menyiasatinya ialah dengan membentuk gerakan sosial-tandingan
berbasis prinsip proteksi sosial yang bertujuan pada konservasi manusia dan alam.

Dalam pandangan Munck gagasan Polanyi tersebut menyisakan persoalan serius yang
disebutnya sebagai 'Polanyi problem' yakni bahwa rekonsiliasi antara pasar-pasar bebas
dengan kebutuhan untuk kepaduan sosial minimal nyatanya telah diklaim pihak-pihak
global. 'Polanyi problem' ini melahirkan sikap pesimistik di kalangan para penentang
globalisasi. Revolusi industri yang direfleksikan Polanyi dikembangkan lebih jauh oleh
Munck dengan menggantinya dengan revolusi globalisasi yang dianggapnya sebagai
perkembangan menakjubkan dari kapitalisme. (hal. 2)

Globalisasi dalam bentuk pelaku ekonomi utama dari korporasi besar, dengan demikian
memangkas perlintasan yang menjadi tapal-batas politis yang berujung pada terjadinya
deterritorialisasi (hal. 4). Menurut Munck proyek globalisasi telah mengganti proyek
modernisasi pasca-Perang Dunia II dalam sebuah pergeseran paradigmatik dengan
implikasi-implikasi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang sangat besar. (hal. 6)

Globalisasi dari 'Bawah' v.s Globalisasi dari 'Atas'

Merujuk hasil-hasil penelitian sebelumnya, Munck berkesimpulan bahwa globalisasi


dari bawah dipahami sebagai suatu gerakan-tandingan yang bermuasal dalam bagian-
bagian yang beragam dalam kemasan isu-isu yang berbeda. Globalisasi dari bawah
terfokus pada persoalan strategi-strategi hirarkis dengan menempatkan kwalitas
khusus untuk tindakan-tindakan dari bawah. Sebaliknya globalisasi dari atas adalah
pola globalisasi yang memungkinkan adanya intervensi pihak-pihak seperti WTO dan
sejenisnya.(hal. 19)

Argumen yang menjadi asumsi di balik globalisasi dari bawah adalah bahwa para
pelaku kunci akan menjadi gerakan-gerakan sosial 'baru' sekitar lingkungan, gender,
isu-isu perdamaian. Gerakan-gerakan sosial baru ini lah yang kelak merepresentasikan
suatu bentuk perbedaan politis kwalitatif yang transformatif dan menjadi embrio bagi
paradigma sosietal baru. Menurut Munck pemahaman lebih baik tentang perspektif
globalisasi dari 'bawah' di antaranya dapat dilakukan dengan pertama kira harus
mempersoalkan daya tahan (durability) atau bahkan kedalaman dari lingkungan-
lingkungan buruh yang dapat berpengaruh pada peningkatan integrasi
politk/sosial/ekonomi dunia yang berdampak pada penciptaan prospek-prospek bagi
proses-proses pemberdayaan dan demokratisasi transnasional. Hal ini, kata Munck,
tidak hanya berlaku pada gerakan buruh melainkan juga pada cakupan yang lebih luas
meliputi gerakan-gerakan partikularis, misanya kaum 'fundamentalis' yang kerap
diposisikan sebagai lawan dari globalisasi (hal. 23)

Sebagai perbandingan Robert H. Imam (2006:163-169) pernah mengemukakan


argumentasi serupa seputar globalisasi baik dari bawah maupun dari atas. Merujuk
pada karya Jeremy Bechner et al, Globalization from Below, The Power of Solidarity
(2000) Robert H. Imam mengungkapkan bahwa globalisasi kapitalis-dari-atas menjadi
kondisi-kondisi yang memungkinkan munculnya "subkultur resistensi," yang kelak
mendorong proses "globalisasi-dari-bawah."

65
Menurut Robert munculnya 'globalisasi-dari-bawah sebagai respon terhadap globalisasi-
dari-atas memperlihatkan adanya ketidakpuasan terhadap proses globalisasi yang
didominasi oleh kepentingan kapital kuat yang bermuasal pada negara-negara kapitalis
lanjut. "Globalisasi," tutur Robert mengahiri uraiannya, "tetap merupakan suatu ajang
pertarungan untuk merumuskan dan mewujudkan suatu dunia yang lebih baik."

Bertolak dari paparan di atas, kaitannya dengan gagasan Munck dalam buku ini,
pertama, sebagai sebuah konsep, globalisasi memiliki kompleksitasnya sendiri. Suatu
kompleksitas yang bermuara pada adanya kontradiksi-kontradiksi internal di dalam
globalisasi sendiri. Kedua jika globalisasi diposisikan sebagai suatu panggung
konstestasi, dalam posisi bagaimanakah buruh dan serikat buruh? Munck menjawab
pertanyaan tersebut pada bagian-bagian akhir bukunya.(hal. 89-194).

Mewujudkan Serikat Buruh Globalizing

Menurut Munck keterlibatan gerakan buruh internasional, dengan kata lain


transformasi gerakan buruh internasional, dalam globalisasi dari bawah meliputi
beberapa level. Tetapi sebelum sampai pada taraf pelibatan tersebut buruh harus
terlebih dulu menemukan kembali dirinya (reinventing itself) karena sekian lama
menderita terutama saat dihadapkan dengan baik korporasi maupun serikat buruh
transnasional. Level pelibatan buruh tersebut antara lain pertama, level serikat buruh.
Pada level ini Munck merujuk pada model kronologis yang diberikan Alain Touraine
tentang paham serikat buruh; (1) bisnis perserikatan-isme (unionism) terfokus pada
tujuan-tujuan ekonomis; (2) sebuah tahapan kesadaran kelas yang jauh lebih radikal;
(3) arus balik pada daya tawar politik berdasarkan pada sukses yang pernah dicapai
sebelumnya; (4) tahap defensif mutakhir berdasarkan pada de-industrialisasi dan krisis
dalam kelas pekerja. Untuk model ini keberatan Munck adalah bahwa halnya
kapitalisme, serikat-serikat buruh yang melibatkan gerakan buruh internasional buruh
dapat berperan sebagai suatu gerakan sosial yang dapat bermutasi, bertransformasi dan
berregenerasi.

Perspektif lain diajukan Peter Fairbrother melalui tesisnya tentang 'pembaruan serikat-
buruh'. Perspektif ini, tegas Munck, mengikutsertakan proses-proses buruh ke dalam
fokus pamahaman bahwa para pekerja dapat menjadi pelaku-pelaku aktif. Asumsi Peter
Fairbrother adalah bahwa setiap gerakan menuju pembaruan serikat buruh harus dan
akan muncul secara bottom-up tetapi, kata Munck, pola ini dapat dengan mudah
menjadi komoditas politik. Level kedua adalah level nasional sudut pandang yang
diambil Munck adalah dari Peter Meiksins yang hendak mengatasi pembagian-
pembagain dalam kelas pekerja untuk mencapai suatu 'model' alternatif bagi organisasi
produksi. Model yang diajukan Meiksins tidak lain adalah suatu model reformasi
organisasional atau sturktural sementara Roberto Unger menganggap reformasi
semacam ini lebih sebagai muslihat dalam transformasi politik. Reformasi, kata Roberto
Unger, akan menjadi radikal saat diamanatkan dan melakukan perubahan-perubahan
susunan dasar sosial. Ketiga level internasional. Pada level ini isu utama dalam term-
term pembaruan buruh adalah kemunculan dari suatu makna baru tentang solidaritas
global.

Terhadap keseluruhan level tersebut pertanyaan Munck adalah apakan proses-proses


pembaruan/penemuan kembali serikat buruh dapat menciptakan kemampuan suatu
gerakan buruh global baru dalam hal konfrontasi dengan dampak-dampak dari
globalisasi?

66
Jawab Munck gerakan serikat buruh internasional diwaktu yang sama merupakan
suatu gerakan sosial transnasional dan suatu organisasi perwakilan lebih dari sekadar
kelompok-kelompok advokasi internasional, promosi kesadaran gender, lingkungan dan
isu-isu HAM. Sebaliknya gerakan serikat buruh internasional dapat menjadi motivasi
bagi terwujudnya gerakan "to global" berikut kecakapan teknologi bagi para pelaku
gerakan buruh global tersebut.

Dari uraian di atas nampak bahwa pada mulanya globalisasi adalah perkara yang
berhubungan langsung dengan teknologi yang kemudian mentransformasikan diri pada
perubahan revolusioner pada level yang lebih luas seperti politik, budaya, dan terutama
ekonomi-politik.

Sekedar Tanggapan

Rupanya Munck menyadari betul apa yang dipaparkan Fredric Jameson dalam salah
satu tulisannya Globalization Political Strategy (New Left Review 4 Jul Aug 2000).
Seseorang kata Jameson, "dapat berbicara tentang globalisasi, misalnya saja, dalam
istilah-istilah teknologis: teknologi-teknologi komunikasi baru dan revolusi di bidang
informasi—di mana inovasi tidak sekadar menetap pada level komunikasi dalam arti
yang sempit melainkan juga pada dampak yang dimilikinya pada produksi industri dan
organisasi serta pada barang-barang pasar."

Akan tetapi, pada ahirnya diskursus tentang globalisasi melibatkan apa yang
dikemukakan Leslie Skalir dalam Sociology of the Global System (64-69:2000) sebagai
mekanisme yang digerakan oleh pertama, praktik-praktik lintas negara dalam bentuk
transaksi atau interaksi transnasional. Kedua, (a) para pelaku bisnis transnasional, (b)
para politisi, birokrat yang "globalizing," badan-badan internasional. Dan ketiga,
kebudayaan, ideologi, dan konsumerisme. Dengan kata lain, suatu pamahaman
komprehensif tentang isu seputar ekonomi-politik di satu pihak dan dinamika pasar
global di lain pihaknya. Tanpa adanya pemahaman pada kedua level tersebut hasrat
mewujudkan buruh dan atau serikat buruh yang globalizing hanya akan menjadi
harapan hampa tanpa makna. Tanpa suara...

67
DINAMIKA PERBURUHAN INDONESIA
TAHUN 2008 SEMESTER I

Pengantar

Badan Pusat Statistik belum lama ini mengeluarkan data inflasi bulan Mei 2008
sebesar 1,41 persen dan kondisi inflasi terjadi di semua kota besar. Maka, untuk periode
Januari hingga Mei 2008, laju inflasi mencapai 5,47 persen dan inflasi tahunan (Mei
2007 hingga Mei 2008) mencapai 10,38 persen. Atas kenyataan ini, tampaknya
Indonesia harus kian bersiap diri memasuki era inflasi tinggi yang akan menggerus
daya beli konsumsi dan memukul perekonomian masyarakat miskin atau yang
berpendapatan tetap. (Maxensius
Maxensius Tri S Sambodo,
ambodo, dalam Kompas, Jumat, 13 Juni 2008)

Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada Jumat malam 23 Mei, keesokan
paginya pengemudi angkutan kota langsung menaikkan tarif.

Pada bulan Mei tahun ini setidaknya ada dua peristiwa besar bagi buruh Indonesia,
pertama adalah mobilisasi massa buruh dalam May Day, dan kemudian kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7 persen. Peristiwa kedua akan dibahas lebih
dulu. Pemerintah tetap menaikkan harga BBM walaupun banyak reaksi keras
penolakan dari berbagai kalangan, termasuk demonstrasi ribuan buruh dari berbagai
Serikat Buruh dan aliansi Serikat Buruh.

Kenaikan harga BBM sebesar 28,7 persen yang sudah menggerus daya beli buruh dan
membuat kehidupannya semakin miskin, ternyata belum dinilai cukup oleh pemerintah
dengan adanya sinyalemen rencana untuk menaikan kembali harga BBM paling lambat
tahun depan karena belum sesuai dengan harga keekonomian dan melonjaknya harga
minyak mentah dunia mendekati US$ 150 perbarel jauh dari asumsi US$ 110 perbarel
yang digunakan pemerintah untuk menaikan harga BBM 28,7 persen.

Salah satu dampak dari kenaikan harga BBM, menurut hasil kajian Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang liput oleh Suara
Pembaruan, tanggal 28 Mei 2008, adalah membengkaknya jumlah penduduk miskin
pada tahun 2008 menjadi 41,7 juta jiwa atau sekitar 21,9 persen dari penduduk
Indonesia. Dengan demikian jumlah penduduk miskin tahun ini bertambah 4,5 juta
jiwa. Pembagian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 25.000 per bulan per orang
(Rp 100.000 per bulan dibagi 4 anggota keluarganya), sangat tidak memadai. Mereka
yang tidak dapat BLT pun dengan penghasilan Rp 165.000 per bulan akan makin
melonjak akibat kenaikan harga yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM tersebut.

Kenaikan harga BBM pada realitasnya selalu diikuti oleh kenaikan harga kebutuhan
pokok, kendati Menteri Perdagangan melalui media menjamin, kenaikan harga BBM
28,7 persen tidak akan berpengaruh besar terhadap kenaikan harga pangan, kalaupun
ada kenaikan, maksimum hanya tiga persen. Pernyataan Menteri ini bertentangan
dengan banyak fakta di lapangan, salah satunya data survey yang dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI) Semarang, yang mengatakan bahwa kebutuhan pokok di Jawa Tengah
diperkirakan naik antara 10-40 persen. Pemerintah juga melalui Menakertrans hanya

68
menghimbau pengusaha untuk melakukan penghitungan kembali arus kas untuk
menaikan tunjangan transport buruh, sedangkan komoditas yang terpengaruh cukup
signifikan dari adanya kenaikan harga BBM ini bukah hanya ongkos transportasi buruh
dari rumah ke tempat kerja, tapi juga meliputi, beras, angkutan dalam kota, minyak
goreng, tarif listrik, biaya pendidikan, angkutan antar kota, elpiji (LPG), dan gula pasir.

Kenyataan ini (sekali lagi) semakin menggerus daya beli buruh, membuat
kehidupannya semakin miskin. Buruh terus dipaksa untuk semakin mengetatkan ikat
pinggangnya, karena upah yang diterima setiap bulan jelas sangat tidak seimbang lagi
dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang tinggi. Walaupun Kenaikan Upah
Minimun Propinsi (UMP) tahun 2008 rata-rata nasional mencapai 10 persen dari rata-
rata tahun lalu, selain tetap saja tidak layak, inflasi tahunan yang tinggi terutama pada
bulan membuat upah riil buruh semakin turun. Dan rata-rata kenaikan komoditas
kebutuhan pokok mencapai 40 persen jauh di atas angka rata-rata nasional kenaikan
upah minimum, 10 persen.

Dan ketika penolakan kenaikan BBM tidak digubris oleh pemerintah, Serikat Buruh
terus melakukan perjuangannya dengan menuntut revisi Upah Minimum, baik propinsi
maupun kota/kabupaten. Revisi Upah Minimum merupakan hal yang sangat mendesak
dilakukan agar buruh tidak semakin menderita karena Upah Minimum saat ini
mengacu pada angka kebutuhan hidup layak (KHL) hasil survey tahun 2007 (sebelum
kenaikan harga BBM) yang sebenarnya juga menuai banyak protes. Gejolak tuntutan
revisi upah minimum ini terjadi diberbagai daerah, dimana ribuan buruh melakukan
unjuk rasa, beberapa diantaranya seperti di Jawa Timur, sekitar enam ribu buruh yang
tergabung dalam SPSI Jawa Timur yang datang dari lima kota, yaitu Surabaya,
Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan, mereka mendatangi DPRD agar
memberikan rekomendasi kepada gubernur untuk merevisi Ketetapan Upah Minimun
tahun 2008.

Ratusan buruh dari sejumlah Serikat Buruh di Kabupaten Kawarang, Jawa Barat juga
melakukan unjuk rasa menuntut revisi upah minimum kabupaten (UMK) tahun 2008,
di depan gedung DPRD Karawang. Dalam parade aksi, mereka ada yang berjalan
mundur dan sebagian mendorong sepeda motornya, disepanjang jalan sebagai aksi
protes terhadap kenaikan BBM. Selain menuntut revisi UMK mereka juga menolak
program Bantuan Langsung Tunai (BLT) karena dinilai tidak mendidik masyarakat.
BLT sebagai kompensasi kenaikan BBM sekaligus sebagai bagian dari kebijakan
penanganan kemiskinan yang ditempuh pemerintah merupakan kebijakan yang tidak
menyentuh akar persoalan, parsial dan hanya bersifat sementara. Karena itu
dampaknya tidak bersifat jangka panjang sehingga kemiskinan akan semakin sulit
diatasi.

Ekonom Ihksan Modjo mengingatkan, “dampak lain dari kenaikan harga BBM 28,7
persen, adalah menciptakan pengangguran baru sebanyak 3 juta orang”. Hal ini karena
kenaikan harga BBM selain semakin memperburuk daya serap tenaga kerja melalui
industri-industri padat karya, juga mengakibatkan munculnya PHK massal yang
dilakukan oleh industri-industri padat karya akibat biaya produksi yang meningkat.
Persoalan munculnya ledakan pengangguran baru merupakan persoalan yang serius
karena akan berdampak luas pada kehidupan sosial. Hal ini menuntut strategi
kebijakan yang tepat dari pemerintah. Namun para ekonom pemerintah dan pengambil
kebijakan di Negara ini terjebak pada kerangka berpikir Neoliberalisme, sehingga
penanganan pengangguran melalui penyediaan lapangan kerja sangat bergantung pada
minat investor dan menghindar dari upaya penanganan langsung melalui sektor

69
Negara. Pemerintah kemudian bekerja keras untuk menciptakan situasi yang kondusif
bagi investor untuk menanamkan modalnya dan lebih sibuk melayani kepentingan
investor daripada kepentingan rakyat banyak. Dan angka pengangguran yang tinggi ini
tidak berlebihan jika kemudian dinilai banyak dimanfaatkan oleh para investor untuk
menaikan posisi tawarnya dengan tujuan untuk memperkecil biaya untuk produksi,
salah satunya adalah dengan menekan upah buruh. Investor terutama investor asing
jelas dimanjakan dengan hal ini, para investor asing tersebut mendirikan atau
memindahkan pabriknya di Indonesia karena faktor upah buruh yang murah, dan
seperti dimuat di Suara Pembaruan, 20 Juni 2008, bahwa 60 persen kawasan industri di
Tanah Air dikuasai oleh investor asing.

Meningkatnya ancaman PHK massal

Dampak lain dari kenaikan harga BBM adalah PHK massal. Walaupun pemerintah
melalui Menakertrans Erman Suparno, meminta pihak pengusaha untuk melakukan
efisiensi dan tidak melakukan PHK. Pertanyaannya, bisakah permintaan menteri itu
menjadi kenyataan?

Banyak pengamat yang pesimis terhadap permintaan menteri tersebut. Dan apa yang
terjadi dilapangan, PHK massal sudah dialami oleh ribuan buruh dan menjadi ancaman
bagi ribuan buruh lainnya. Seperti diungkapkan oleh ketua Asosiasi Pertekstilan
Indonesia Jawa Barat Dedi Wijaya, bahwa kenaikan harga BBM 28,7 persen berimbas
pada peningkatan biaya produksi, setidaknya 10 persen, dan bisa berpeluang terjadi
PHK terhadap sekitar setengah juta buruh. Karena bagi pengusaha menengah ke
bawah BBM merupakan komponen penting bagi operasionalisasi perusahaan dan
konsumsinya bisa mencapai 30-50 persen total biaya. PHK massal juga diakui akan
memiliki dampak negatif bagi perusahaan, namun tidak melakukan PHK juga beresiko.
Karena ketika biaya produksi naik, ongkos distribusi juga bertambah, dan ketika harga
dinaikan ketika daya beli masyarakat melemah maka perusahaan akan merugi. Dan
bagi pengusaha, tak ada cara yang lebih baik dalam rangka efisiensi, kecuali
mengurangi jumlah buruhnya.

Ketika pemerintah menghimbau agar pengusaha tidak melakukan PHK walau beban
produksi meningkat akibat kenaikan harga BBM langkah perusahaan untuk mem-PHK
buruhnya sudah lebih dulu terjadi. Seperti yang terjadi di Tangerang, 200 buruh PT Ara
Putra Perkasa di PHK. Di Tangerang saja, pada pertengahan tahun ini jumlah PHK
yang tercatat oleh Disnaker sudah mencapai angka 1300 orang dan berpeluang untuk
terus meningkat, dan angka itu hanya merupakan catatan PHK tengah tahun, artinya
angka PHK akibat kenaikan harga BBM hanya ada pada bulan Juni, dimana kenaikan
harga BBM berlangsung pada bulan Mei. Tengah tahun kedua angka PHK dapat
dipastikan meningkat.

Menurut catatan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), pada pertengahan


tahun ini ada sekitar 14800 buruh yang ter-PHK, angka yang dikeluarkan oleh LIPS
hanyalah kasus PHK yang terekam dari beberapa media. Dalam grafik 1 terlihat, dari
jumlah buruh yang ter-PHK tersebut presentase terbesar terjadi di sektor Pertanian
dan Perkebunan (30,28%), dan ini merupakan dampak dari pemerintah yang kebijakan
industrinya mengabaikan sektor pertanian dan perkebunan. Padahal dilihat dari porsi
penyerapan tenaga kerja secara total sektor pertanian merupakan yang terbesar dalam
menyerap tenaga kerja, yaitu 40-45 persen. Presentase PHK kemudian disusul oleh
sektor Tekstil, Sandang, Kulit (TSK) sebesar 20,87%, sektor TSK memang merupakan
sektor yang paling rawan PHK massal sebagai dampak dari kenaikan harga BBM,

70
karena konsumsi BBM dari total biaya produksi di sektor ini bisa mencapai 50%. Faktor
turunnya produktivitas juga ditambah dengan membanjirnya import tekstil dan produk
tekstil (TPT) dari Tiongkok menjadi salah satu alasan di sektor TSK untuk mem-PHK
buruh.

Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G Ismi yang dimuat
Suara Pembaruan, 16 Juni 2008, jika biaya energi (listrik dan BBM) naik 10 persen,
perusahaan TSK terpaksa mengurangi produksinya sebanyak 0,5 persen. Artinya
15.560 buruh akan dirumahkan dari total buruh di perusahaan yang tergabung di API
sebesar 3 juta lebih. Tetapi, jika kenaikannya 30 persen, produksinya akan berkurang
1,5 persen atau 46.681 buruh berpotensi di rumahkan. Dengan kenaikan biaya listrik
dan BBM yang cukup tinggi, industri TPT kecil dan menengah tidak akan sanggup
bertahan dan terpaksa mengistirahatkan mesinnya. Kondisi ini ditambah dengan
dengan makin maraknya gempuran TPT ilegal di pasar domestik. Dampaknya industri
TPT kecil (rumahan) dan menengah yang orientasi pasarnya di dalam negeri menjadi
kehilangan pangsa pasarnya. Akibatnya industri tersebut mati dan buruh kehilangan
pekerjaannya.

Grafik 1

PHK massal tidak hanya terjadi sebagai dampak dari kenaikan harga BBM, karena
faktanya PHK massal selalu terulang tiap tahunnya, namun kenaikan BBM
meningkatkan ancaman PHK massal. Persoalan paling mendasar (sekali lagi) adalah
kebijakan ekonomi pemerintah yang menganut paham neoliberal hanya
mensejahterakan segelintir orang dan semakin menciptakan kesenjangan ekonomi, dan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak turut menyumbang terhadap peningkatan
penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan rakyat banyak.

Dalam laporan ILO mengenai trend ketenagakerjaan dan sosial di Indonesia tahun
2008, yang dimuat di harian Kompas, 21 Agustus 2008, terungkap bahwa tren positif
pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2006 sampai sekarang ternyata tidak dinikmati oleh
pekerja. Dan sedikitnya 52,1 juta buruh masih menerima upah kurang dari 2 dollar AS
per hari. Dan upah sekitar 18.500 per hari itu jelas membuat pekerja hidup dalam

71
kemiskinan. Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini ada 102,5 juta
orang yang bekerja. Artinya satu dari dua orang yang bekerja menerima upah 2 dollar
perhari. Namun buruh tersebut terpaksa untuk tetap bertahan dengan pekerjaan dan
upahnya itu karena tidak punya pilihan lain.

May Day dan Aksi Buruh

Pada satu Mei puluhan ribu massa buruh turun ke jalan untuk memperingati Hari
Buruh atau lebih dikenal dengan sebutan May Day. Selain di Jakarta yang merupakan
pusat aksi, 23 kota lainnya dipastikan telah menjadi ajang perayaan kaum buruh
Indonesia. Dalam setiap aksi May Day, kita semua seharusnya diajak kembali untuk
mengingat kondisi buruh yang semakin buruk, terus mengalami PHK massal, dipaksa
menerima upah murah, lingkungan kerja yang buruk, dicengkram oleh sistem kerja
outsourcing, sehingga kondisinya- buruh semakin termiskinkan. Namun seperti ditulis
oleh Hilmar Farid:

“May Day 2008 tergolong istimewa bagi gerakan buruh. Untuk pertama kalinya kaum
elite mulai bermain mata, berusaha merayu gerakan buruh dengan memberi tempat di
"pekarangan politik" dengan merayakan Hari Buruh. Pesta itu digelar di Istora Senayan
dengan tajuk May Day Fiesta, yang sedianya dihadiri sejumlah besar pejabat, tokoh
masyarakat dan juga pengusaha yang sebenarnya ikut bertanggung jawab atas
kemelaratan hidup rakyat pekerja. Kehadiran Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan
Anggota DPR Suripto saya kira memberi warna politik yang jelas bagi perayaan itu.
Dari perspektif pemenangan pemilu, May Day Fiesta adalah langkah yang pas. Bagi
politisi, bukan kaum buruh.”

Mengutip apa yang dikatakan oleh Fauzi Abdullah dalam sebuah diskusi, bahwa Buruh
dan politik sebenarnya memiliki sejarah yang sangat panjang, gerakan politik dan
buruh sudah dimulai sejak lama, sejak zaman sebelum kemerdekaan. Dan jika pada
awal kemerdekaan buruh memliki posisi tawar yang sangat baik dihadapan kekuasaan,
dengan kata lain berhasil menjadi subjek politik sedangkan pada era Orba sampai saat
ini buruh cenderung hanya menjadi objek politik saja. Karenanya pas ungkapan Hilmar
Farid: Langkah yang pas, bagi politisi, bukan kaum buruh.

Kerja sama elite tiga Serikat Buruh dan Parpol dalam May Day Fiesta di Istora
Senayan dengan menghadirkan Band Nidji, sepertinya ingin mengajak massa buruh
yang memadati sepertiga tribun Gelora Bung Karno sejenak melupakan nasib
ketertindasan mereka dan berjoget mengikuti beat-beat lagu pada saat Hari Buruh
Sedunia, bukannya justru untuk mengingatkan kembali ketertindasan buruh dan
menggelorakan kembali semangat perubahan.

Selain dalam peringatan May Day, ribuan buruh turun ke jalan memperjuangkan
nasibnya, menentang kebijakan Negara yang semakin melemahkan buruh dan
kesewenang-wenangan pengusaha. Jika sebelumnya aksi buruh mendapatkan kritik
karena jarang sekali ada aksi yang dilakukan bersama-sama oleh berbagai sektor, pada
pertengahan tahun ini kritik tersebut sepertinya mulai dijawab dengan presentase aksi
buruh yang digalang oleh aliansi menduduki peringkat pertama dan hampir
setengahnya, walaupun aksi-aksi bersama lintas sektor yang dibangun oleh aliansi
serikat buruh tersebut didorong oleh kenaikan harga BBM, namun ini adalah sebuah
gambaran yang menarik dimana banyak aksi-aksi buruh dilakukan oleh beragam sektor

72
dan beberapa serikat buruh yang mengusung isu-isu yang mengarah kepada kebijakan
Negara, seperti penolakan BBM dan penolakan terhadap sistem kerja outsourcing.
Sedikitnya pada pertengahan tahun ini ada 228 aksi buruh yang melibatkan 230.000
massa buruh dari berbagai sektor. Dan sektor pendidikan pada pertengahan tahun ini
kembali menjadi presentase buruh berunjuk rasa paling dominan sekitar 11 persen
setelah aksi yang dilakukan bersama beberapa sektor (aliansi) (Lihat Grafik 2, 3, dan 4).
Dan pada tahun lalu, dinamika akhir tahun 2007 mencatat sektor pendidikan
menduduki urutan pertama jumlah buruh beraksi berdasarkan sektor sebesar 40,58%.

Grafik 2

Grafik 3

Grafik 4

73
Satu Mei ribuan buruh memadati Jakarta lewat peringatan May Day, dan keeseokan
harinya sekitar 5000 guru bantu dan pekerja sekolah se-Indonesia yang tergabung
dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) menggelar aksi di
depan Istana Negara. Seperti halnya buruh kontrak dan outsourcing yang menuntut
kejelasan status hubungan kerja mereka, ribuan guru bantu dan pekerja sekolah se-
Indonesia tersebut menuntut presiden untuk memperjelas status guru bantu setidaknya
menjadi Calon Pengawai Negeri Sipil (CPNS) sebelum tahun 2009. Aksi itu digelar
berkaitan dengan hari pendidikan nasional, 2 Mei. Neoliberalisme terus menggerus
sektor pendidikan, persoalannya akan semakin rumit ketika melihat komposisi
anggaran pendidikan dalam APBN yang terus ikut dibebani oleh pembayaran cicilan
hutang hingga tidak kunjung cukup untuk mendanai persoalan pendidikan secara
memadai dan salah satu korban dari kondisi tersebut adalah para guru bantu honorer
dan pekerja sekolah yang tidak kunjung memiliki kejelasan status.

Buruknya kondisi dan lingkungan kerja

Dalam upaya maksimalisasi keuntungan, kebanyakan cara yang ditempuh pengusaha


adalah dengan menekan biaya produksi dengan menekan biaya sampai serendah-
rendahnya untuk kesehatan dan keselamatan buruh, selain dengan upah murah.
Tersedianya buruh murah yang berlimpah (karena faktor tingginya pengangguran)
membuat pengusaha menjadi lebih mudah untuk mengganti buruh yang sakit atau
cedera dibandingkan harus berinvestasi di kesehatan dan keselamatan kerja. Dan
buruh tidak memiliki pilihan lain, bekerja di kondisi yang sangat berbahaya atau
menjadi pengangguran.

Pemerintah melalui Menakertrans Eman Suparno baru-baru ini, mengklaim bahwa


pada tahun 2006 jumlah kecelakaan kerja mencapai 95 ribu kasus, pada 2007 turun
menjadi 65 ribu kasus. (Lihat: Tempo Interaktif, 12 Maret 2008). Kemudian, menurut
Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Depnakertrans I Gusti Made Arka,
data pengawasan norma ketenagakerjaan Depnakertrans tahun 2007 menunjukkan,
terdapat 21.386 pelanggaran, serta 65.474 kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja. Hal itu mengakibatkan jatuhnya korban 1.451 orang meninggal, 5.326 orang
cacat, dan 58.697 orang sembuh tanpa cacat. (Lihat: Jawa Pos, Selasa, 29 Juli 2008)
Namun prihal data dan angka mengenai K3 selalu menjadi persoalan, angka statistik
hanya merupakan apa yang muncul ke permukaan dan sangat kental dengan
kepentingan politis suatu rezim, pencatatan kasus kecelakaan dan penyakit akibat
kerja juga sangat bermasalah. Singkatnya, tidak ada satupun yang tahu berapa banyak
buruh yang mati, mengalami sakit atau cedera akibat kerja.

74
Kemudian hanya ada klaim. Karena hanya ada angka dari Pemerintah yang muncul di
beberapa media dan tidak ada penjelasan sama sekali mengenai metode penghitungan
dan mekanisme pelaporan seperti apa yang kemudian menghasilkan angka tadi. Angka
statistik yang dibuat oleh pemerintah hanya terdiri dari laporan kecelakaan kerja
secara umum, belum lagi penyakit akibat kerja dan pada kenyataannya banyak dari
kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang tidak terlaporkan.

Data lain yang dimuat oleh Medan Bisnis, tanggal 12 Februari 2007,, memaparkan
bahwa, secara nasional dilaporkan ada 38 orang per hari meninggal dunia akibat
kecelakan kerja. Menggunakan data ini, jika ada 38 orang per hari yang meninggal
dunia akibat kecelakaan kerja. Angka tersebut jika dikalikan satu tahun, artinya lebih
dari sepuluh ribu buruh mengalami kematian akibat kecelakaan kerja di Indonesia
pertahunnya, berbeda jauh dengan data yang di ungkapkan diawal.

Sementara Pemerintah Pusat menyatakan semakin menurunnya jumlah kecelakaan


kerja, Banjarmasin Post pada 17 Juni 2008, memuat bahwa Kecelakaan kerja di
sejumlah perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Tabalong mengalami peningkatan
pada tahun 2007. Dari sejumlah kasus, paling banyak menimpa buruh di perusahaan
tambang batu bara. Walaupun data ini bukan data Nasional, tapi hal itu menambah
keyakinan bahwa pernyataan pemerintah mengenai menurunnya jumlah kecelakaan
kerja memang patut untuk dipertanyakan.

Kecelakaan kerja yang masih sering terjadi umumnya karena lingkungan kerja yang
tidak aman, dimana perusahaan tidak berusaha mengidentifikasi potensi bahaya, tidak
menerapkan standar kerja yang aman, serta tidak melakukan sosialisasi dan latihan
K3. Selain itu sistem kerja di industri-industri padat karya seperti sektor garmen,
banyak yang mengharuskan buruhnya mengejar target-target produksi yang tinggi
(sistem target) sehingga membuat buruh semakin beresiko mengalami kecelakaan kerja.
Semua itu dilakukan untuk memaksimalisasi keuntungan.

Ketika Pemerintah mengumumkan pernyataannya mengenai jumlah kecelakaan kerja


diberikan juga penghargaan atas keberhasilan suatu perusahaan mencapai Zero
Accident. Padahal jika kita melakukan analisa dengan detil soal angka kematian buruh
akibat kerja, banyak dari buruh yang mati akibat kanker dan penyakit lain yang
muncul akibat kerja (lihat grafik 5). Hal ini bertentangan dengan anggapan umum
bahwa kematian yang berkaitan dengan pekerjaan kebanyakan disebabkan oleh
kecelakaan kerja seperti juga yang selalu terekam oleh media massa. Fakta lainnya
adalah banyak tempat kerja yang yang menganggap K3 hanya sebagai cara untuk
mencegah terjadinya kecelakan kerja tanpa memperhatikan penyakit yang muncul
akibat kerja. Itu artinya tempat kerja yang berhasil menerapkan Zero Accident (Nol
Kecelakaan) bukan berarti tempat kerja yang aman.

75
Grafik 5

Kematian yang disebabkan oleh


kerja

Kerusakan Mental, 1%
Penyakit saluran
pernapasan 7 %
Penayakit sistem pencernaan 1%

Kanker, 32%
Tertular oleh
penyakit kerja
lainnya, 17 %

Kecelakaan dan Gangguan Peredaran, 23%


kekerasan, 19%

Sumber: AMRC (Asia Monitoring Resouce Centre), Hong Kong

Idealnya sebuah lingkungan tempat kerja yang aman harus memiliki sistem
pencegahan yang baik dan peraturan ganti rugi yang dijamin oleh sistem hukum yang
ketat, otoritas pengawasan yang berjalan baik, penelitian medis yang sebagaimana
mestinya untuk membuat syarat-syarat dan situasi kerja yang aman dari penyakit
akibat kerja, serta melatih dokter-dokter di klinik pabrik. Tapi bagaimanapun,
masalahnya adalah implementasi.

Kata kuncinya adalah ‘Penegakkan hukum yang lemah’. Seperti yang dipaparkan oleh
Wartawan Suara Pembaruan, Budi Laksono:
“Setelah ditetapkan 17 tahun lalu, UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek
(Jaminan Sosial Tenaga Kerja) belum diterapkan dengan baik. Akibatnya, jutaan
tenaga kerja belum mendapat perlindungan dasar. Ancaman penjara maksimal enam
bulan atau denda maksimal Rp 50 juta bagi perusahaan yang melanggar, pun hanya
seperti "macan ompong''. Di satu sisi, pengawasan tidak berjalan sebagaimana
mestinya, di sisi lain para buruh tak berani frontal menuntut haknya, karena sering
kalah oleh kekuasaan pengusaha”.

Praktik-praktik seperti di atas bisa berjalan lancar karena lemahnya pengawasan


pemerintah. Terbukti, tidak ada pengusaha yang diseret ke pengadilan karena
melanggar UU Jamsostek, meskipun secara kasat mata banyak sekali terjadi
pelanggaran UU 3/1992 itu. Depnakertrans-pun saat ini hanya memiliki 2.608 pegawai
pengawas ketenagakerjaan. Menurut Menakertrans Erman Suparno, Depnakertrans
masih membutuhkan 3.400 orang lagi untuk mengawasi kepatuhan pengelola 200.000
perusahaan terhadap peraturan (Kompas, 24 Juni 2008). Jumlah tenaga dinas
pengawasan sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang ada, jadi
hampir mustahil untuk dinas pengawasan bisa mengunjungi semua perusahaan tadi
secara regular.

76
Pembatasan Informasi. Kebanyakan informasi yang tersedia pada persoalan K3 ini
sangat kompleks dan di percaya hanya yang ‘ahli’ yang bisa berbicara tentang persoalan
ini, dan hanya ada beberapa yang orang yang ahli dalam soal ini.

Selain itu informasi mengenai K3 tidak tersosialisasikan ke buruh-buruh diperusahaan.


Hal ini diakui sendiri oleh Dirut PT Jamsostek, Hotbonar Sinaga, bahwa sosialisasi
Jamsostek selama ini belum menyentuh langsung ke basis buruh, melainkan lebih
tertuju pada dataran pengusaha. (Lihat: Suara Pembaruan, 11 Maret 2008).

Era keterbukaan tidak kemudian lantas membuat buruh menjadi tahu mengenai hak-
haknya, di sisi lain banyak realitas menunjukan di mana para pengurus Serikat Buruh
ketika memperjuangkan hak-hak normatif buruh termasuk menuntut hak dasar K3 dan
Jamsostek justru mengalami intimidasi dari perusahaan. Padahal realitas lainnya
menunjukkan bahwa banyak pihak perusahaan yang tidak mengimplementasikan
sistem manajemen keselamatan kerja, baik dari segi pencegahan, pengobatan dan
rehabilitasi sehingga posisi serikat buruh untuk memperjuangkan soal ini sangat
dibutuhkan. Masih banyak buruh yang belum terdaftar keikursertaanya dalam program
jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga tidak mendapatkan jamsostek saat
mengalami kecelakaan kerja. Bahkan masih ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang belum menyertakan buruhnya yang tidak berstatus pegawai negeri dalam program
Jamsostek, seperti PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Kereta Api
Indonesia (Persero). (Kompas 24 Juni 2008).

Beberapa Catatan
Serikat Buruh yang kuat adalah suatu kemungkinan untuk memperjuangkan
keamanan di tempat kerja. Dan ini adalah masa-masa yang sulit untuk Serikat Buruh
sebagai lawan dari neoliberal yang terus menerus mengurangi jumlah anggota serikat
buruh dan merubah status hubungan kerja sebagai cara untuk melemahkan Serikat
Buruh (mempekerjakan buruh kontrak dengan masa kerja yang pendek). Sulit untuk
bicara soal K3 pada saat ini, ketika manajemen seringkali mengancam akan
memindahkan pabrik (produksi) daripada melakukan investasi di K3. Hanya ada
segelintir PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang memasukkan ketentuan soal K3, dan
dari yang segelintir itupun kebanyakan permintaannya hanya sebatas fasilitas
perlengkapan K3 personal, seperti Helm, sepatu safety, dlsbnya, dibandingkan
penghapusan atas penggunaan zat-zat berbahaya.

Serikat Buruh memegang peranan kunci dimulai dari mengangkat isu ini dengan lebih
serius dan bukan hanya sebagai pilihan selanjutnya setelah isu upah atau isu lainnya.
PKB seharusnya memasukan perjanjian mengenai ketentuan kondisi kerja yang lebih
baik, yang tidak dihartikan sebagai penyediaan fasilitas kelengkapan K3 personal saja.
Menghilangkan potensi-potensi bahaya dari tempat kerja agar buruh bisa terlindung
dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja- harus menjadi salah satu tuntutan
dalam PKB dan menjadi prinsip paling awal dalam penerapan K3.
Memang sulit untuk bicara soal K3 pada kondisi dimana kebanyakan pengusaha
mengancam akan memindahkan pabrik daripada melakukan perbaikan kondisi kerja.
Tapi bagaimanapun, pada waktu yang sama persoalan ini tidak bisa diabaikan, dalam
kelanjutannya mungkin persoalan K3 bisa digunakan sebagai alat untuk melakukan
pengorganisasian. Suatu waktu nanti ketika kita mencari cara baru untuk melakukan
pengorganisasian, persoalan buruknya kesehatan dan keselamatan kerja bisa dijadikan
sebagai pilihan.

77
Buruh dan Politik. Catatan ini merujuk pada apa yang disampaikan oleh Fauzi
Abdullah dalam sebuah diskusi. Catatan ini tidak diniatkan untuk memaparkan secara
menyeluruh dan mendalam mengenai sejarah dan kondisi kekinian dalam kaitan
dengan posisi buruh dan politik, karena buruh dan politik merupakan tema yang sangat
luas dan memiliki sejarah yang sangat panjang. Catatan ringkas ini hanya pengantar
untuk diskusi yang lebih mendalam lagi.

Gerakan politik dan buruh memiliki sejarah yang panjang, sejak zaman sebelum
kemerdekaan dan pada awal kemerdekaan buruh mempunyai posisi tawar yang baik,
dengan kata lain buruh bisa menjadi subjek politik dan mempengaruhi kebijakan-
kebijakan Negara dengan efektif. Lalu ketika era Orde Baru, buruh hanya jadi objek
politik, dan ketika reformasi muncul, buruh mulai terlibat dalam isu-isu kebijakan
publik, seperti anti privatisasi, anti korupsi, anti kenaikan BBM, dan hal itu sebenarnya
menunjukan bahwa politik dalam Serikat Buruh bukanlah hal yang asing.

Namun yang menjadi catatan adalah keterlibatan Serikat Buruh dalam ranah politik
saat ini dinilai sangat tidak efektif padahal potensinya besar. Potensi itu meliputi,
pertama, jumlah buruh itu banyak walaupun kecil dibandingkan dengan sektor
informal, dan yang sektor formal itupun sebagian besar tidak terorganisir, tapi
bagaimanapun jumlah buruh secara politik besar jika saja tidak terfragmentasi secara
karak seperti saat ini. Kedua, dalam sejarahnya serikat buruh adalah tempat
pembelajaran bagi lahirnya pemimpin-pemimpin nasional yang memiliki integritas.
Ketiga, Serikat Buruh secara ekonomi juga memiliki potensi apabila terorganisir
dengan baik, seperti mogok. Selanjutnya jaringan dengan sistem pendukung yang saat
ini belum juga terbangun dengan baik. Dan apabila keempat hal ini dibangun maka
buruh memiliki potensi untuk terlibat di ranah politik secara efektif.

Soal strategi dan pilihan arena, beberapa hal seperti Serikat Buruh yang mulai
mengangkat isu tolak privatisasi menunjukan adanya pergeseran arena, jika pada masa
Orba cenderung ke pabrik (pasar) sekarang mulai pindah ke Negara (kebijakan-
kebijakan publik), karena itu Serikat Buruh perlu kembali mempertimbangkan
kekuatannya. Bagaimana Serikat Buruh mempertimbangkan kekuatan di jalur
parlementer dan ekstra-parlementer. Dan ketika pilihannya adalah masuk ke jalur
Parlementer melalui Pemilu maka potensi di ekstra parlementer perlu dibenahi dan
dibangun. Pembenahan potensi-potensi itu harus dimulai dengan proses demokratisasi,
membangun relasi yang lebih dialogis dengan anggota. Dan membangun pendidikan di
Serikat Buruh yang menumbuhkan kesadaran politik dalam pengertian nilai-nilai.
Sehingga kemudian anggota bisa menjadi kontrol atas pimpinan-pimpinannya. Jika
potensi-potensi tadi tidak mulai untuk dibangun maka sulit bagi Serikat Buruh untuk
bisa terlibat di ranah politik secara efektif. Hal lain yang kemudian perlu diingat
adalah, pilihan politik Serikat Buruh dalam proses elektoral saat ini dalam pengertian
pilihan untuk merapat ke Partai Politik tertentu cenderung menimbulkan fragmentasi
baru, karena adanya ketidaksepakatan internal atas pilihan Partai Politik tersebut.

78
INDEKS JURNAL SEDANE
EDISI 1 – 9
SEDANE 1
Vol.1, No. 1, 2002

GAGASAN:
Hukum Sebagai Perangkap Gerakan Buruh
Marsen S. Naga

Pengorganisasian Buruh Di Masa Krisis:Membangun Basis Gerakan


Iman Rahmana

Radikalisme FNPBI: Membangun Kesadaran Politik Kaum Buruh


Raymond J. Kusnadi

DEBAT:
Wawancara dengan DR ARIEF BUDIMAN
Arif Ruba’i

Butuh Perubahan Mainset Perjuangan Buruh


Nur Fuad

TINJAUAN BUKU:
Sedjarah Pergerakan Buruh Indonesia
Sri Wulandari

SEDANE 2
Vol.1, No. 2, 2003

GAGASAN:
UntukApa Serikat Buruh?
Allan Flanders

Peranan Pekerja Dalam Pembangunan Nasional


M. Dawam Rahardjo

Dana Asing, LSM, dan Serikat Buruh : Sebuah Tinjauan Kritis


Marsen S. Naga

DEBAT:
Gerakan Buruh adalah Gerakan Kebangsaan
Wawancara dengan M. Rodja

Serikat Buruh adalah Organisasi Runding


Wawancara dengan Rustam Aksam

TINJAUAN BUKU:
"Poor People's Movement: How They Succeed, Why They Fall"
Jessica Champagne

TOKOH:
Tan Malaka: Pejuang Revolusioner Sejati
Bernard Lubis

79
SEDANE 3
Vol. 1, No. 3, 2003

GAGASAN
Kaum Buruh dan Politik Elektoral
Wilson

Tinjauan Al-Quran atas Etika Relasi Buruh-Majikan


Umnia Labeba

Tinjauan Literatur Hukum Perburuhan di Indonesia


Gregor Samsa

Buruh di Cina
I. Wibowo

DEBAT:
Serikat Buruh adalah Sekolah Politik bagi Seorang Revolusioner
Wawancam dengan seorang pengurus SOBSI tahun 60-an

FBSI sebagai Alat Kontrol Golkar dan Militer atas Buruh


Wawancara dengan Sutanto

TOKOH:
Chun Tae-il: Cahaya Inspirasi untuk Gerakan Buruh
Marsen Sinaga

TINJAUAN BUKU:
"Profit Over people. Neoliberalism and Global Order" (Noam Chomsky)
Marsen S Naga

SEDANE 4
Vol. 2, No. 1, 2003
GAGASAN
Industri Tekstil Indonesia dalam Multi-Fibre Agreement (MFA) dan Perdagangan Bebas
Ismail Fahmi

Runtuhnya Industri Tekstil Indonesia


Fauzan

Runtuhnya Industri Tekstil: Tantangan Baru Bagi Gerakan Buruh Indonesia


Ismail Fahmi

DEBAT:

"Negara Ini Tidak Memiliki Kebijakan Industri Yang Jelas"


Wawancara dengan Bambang Sujagad (Ketua Bidang Investasi KADIN)

"Sulit Berharap Gerakan Buruh Kuat Saat Organisasi Buruh Tercerai-berai"


Wawancara dengan Dr. Vedi R. Hadiz (Pengajar di National University of Singapore)

TINJAUAN BUKU
Perempuan: Potensi Kekuatan Gerakan Yang Lumpuh
Iman Rahmana

TOKOH
Sekilas Tentang Semaoen
Iskandar Zulkarnain

80
SEDANE 5
Vol. 2 No.2, 2004

GAGASAN
Demokrasi dan Oligarki di Serikat Buruh
SM Lipset, MA Trow dan JS Coleman

Buruh, Serikat Buruh dan Demokrasi


Arief W Djati

“Taxes to the Rich, Welfare to the Poor”: Gerakan Buruh dan Politik Progresif di Korea
Wilson

DEBAT
“Kondisi Obyektif Menyulitkan Serikat Buruh Menjadi Aktor Demokrasi”
Franz Magnis-Suseno

“Labor Bureaucracy Menghambat Potensi Politik Serikat Buruh”


Ken Budha Kusumandaru

“Menjadi Demokratis Merupakan Kerja Panjang Serikat Buruh”


Rostinah

”Kebanyakan Anggota Serikat Buruh Tidak Melakukan Kontrol atas Kegiatan Serikat”
Ragil Sukarti

TINJAUAN BUKU
”Economic Development and Political Change in a Workers’ Community in Jakarta, Indonesia”
Raymond J Kusnadi

TOKOH
Komunisme Islam H Misbach
Happy Susanto

SEDANE 6
Vol. 3, No.1, 2005

GAGASAN:
Demokrasi Serikat Buruh: Sebuah Tinjauan Teoretis
Michele Ford

Serikat Buruh Demokratis dalam Perubahan Situasi Perburuhan 1997-2004


Maria Dona

Perihal Pendanaan Serikat Buruh: Refleksi Seorang Buruh


Rizal A. Hidayatullah

DEBAT:
“Perjuangan Serikat Buruh Tingkat Nasional Tidak Mesti Menunggu Semua Tingkat Bawahnya
Kuat”
Beno Widodo

“Orientasi Jabatan dan Praktek Oligarki Sekarang ini Membahayakan Gerakan Buruh”
Saepul Tavip

TINJAUAN BUKU:
BUKU:
Jalan Tak Berujung: Sejarah Perlawanan Buruh dan Perkotaan Masa Kolonial
Miming Ismail

81
TOKOH:
Keberaniannya Menggugah Kesadaran Bersama: Profil Agus Wahyuni
Evy Nurmilasari

Sedane 7
Vol. 3,
3, No 2,
2, 2006

GAGASAN
Politik Gerakan Buruh di asia Tenggara
Vedi R Hadiz

Relasi kelas Buruh, kuasa dan Kapital dalam Kontestasi Perpolitikan Lokal
S Aminah

WAWANCARA
“seharusnya aktivis LSM perburuhan berintegrasi dengan buruh”
Eli Salomo

“LSM berperan penting dalam pembangunan kembali gerakan buruh di Indonesia”


Michele Ford

TINJAUAN BUKU
Peran NGO dalam Gerakan Buruh Indonesia

TOKOH
Profil Munir “Perjuangan awalnya dalam mendukung kebangkitan gerakan buruh di JawaTimur dan
perjuangan akhirnya dalam melawan impunity diIndonesia”
Poengky Indarti

DINAMIKA
DINAMIKA
Dinamika Perburuhan Indonesia dalam Tiga Tahun Terakhir

SEDANE 8
Vol 4, No 1, 2007

GAGASAN
Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara
Indra Tjandraningsih dan Hari Nugroho

Kontrak dan Outsourcing: Adakah Jalan Keluar bagi Serikat Buruh


Jafar Suryomenggolo dan Timboel Siregar

Konflik Antar Serikat Buruh


Endang Rokhani

WAWANCARA
Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dan Politik Upah Murah
Anwar “sastro” Ma’ruf

TINJAUAN BUKU
Dinamika kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto

TOKOH
Profil Budhy Prahatmo
Khotib Oe Sunhaji

DINAMIKA
Dinamika Perburuhan tahun 2007 Semester I

82
SEDANE 9
Vol 4, No 2, 2008

GAGASAN
Sistem Jaminan Sosial Indonesia : Tunjangan Untuk Siapa?
Dinna Wisnu, Ph.D

Catatan Reflektif Kebebasan Berserikat


Fauzi Abdullah

Perdebatan tentang Negara : Tanggapan atas Tulisan “Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dan
Tanggung jawab Negara”
Coen Husain Pontoh, I Fahmi Panimbang, dan Muslimin Abdilla

WAWANCARA
“Mendukung Serikat Buruh Independen”
Yoon Youngmo (Koordinator Internasional Korea Labour & Society Institute (KLSI), Seoul, Korea.

TOKOH
Mengenang Oey Hay Djoen (1929-2008)
Hilmar Farid

TINJAUAN BUKU
Peta Gerakana Buruh dalam Sebuha Direktgori
Resensis “Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia”
Penyusun : Kosuke Mizuno, dkk.
I Fahmi Panimbang

DINAMIKA
Dinamika Perburuhan Tahun 2007

Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) adalah organisasi non-pemerintah yang memfokuskan
kerjanya pada penyediaan informasi tentang dinamika keserikatburuhan di Indonesia, tentang pola
pengembangan organisasi, tentang modul-modul pendidikan, dan informasi untuk keperluan serikat
buruh dalam melakukan advokasi dan kampanye.
LIPS memposisikan diri sebagai wadah komunikasi antaraktivis serikat buruh, aktivis Organisasi
Non- Pemerintah bidang perburuhan, intelektual dan akademisi dalam rangka merumuskan
pemikiranpemikiran inovatif untuk mewujudkan lahirnya gerakan buruh yang demokratis dan
independen. LIPS bercita-cita untuk mencapai kondisi di mana buruh yang merupakan satu elemen
sosial dapat hidup sejahtera, bebas dari sistem kerja eksploitatif dan tidak adil, baik dalam hubungan
jender maupun klas. Buruh mendapatkan kebebasan berorganisasi sebagai ekspresi politiknya yang
hakiki dan mampu terlibat dalam proses pengambilan keputusan negara yang mempengaruhi nasib
mereka.

83

You might also like