You are on page 1of 4

Grup Djarum: Raksasa Rokok yang Kian Menggurita

Posted By Taufik Hidayat On January 21, 2010 @ 10:24 am In Sajian Utama, Swa Majalah

Dalam daftar orang terkaya di Indonesia tahun 2009 yang dirilis Majalah Forbes
beberapa waktu lalu, keluarga Djarum berada di urutan teratas. Kekayaan (baik berupa
aset maupun uang tunai) konglomerat asal Kudus ini ditengarai mencapai US$ 7 miliar
atau Rp 70 triliun. Angka tersebut jauh di atas Martua Sitorus yang menduduki peringkat
kedua dengan kekayaan “cuma” US$ 3 miliar atau Rp 30 triliun.

Selama bertahun-tahun, keluarga Djarum memang tidak pernah absen dari daftar orang
terkaya di Indonesia. Pasalnya, grup perusahaan yang cikal bakalnya sudah ada sejak
1880 ini memang sangat agresif dalam mengembangkan bisnis.

Djarum tercatat sebagai perusahaan rokok pertama di Tanah Air yang memproduksi
rokok keretek filter, yaitu Djarum Filter pada 1976. Walau produk itu akhirnya harus
kandas, produk penggantinya Djarum Super yang diluncurkan tahun 1981, dapat diterima
pasar dengan baik dan hingga saat ini menjadi salah satu merek rokok paling digemari.

Dari sekadar menggeluti industi rokok, gurita bisnis Grup Djarum berkembang ke
berbagai lini bisnis lainnya. Berdasarkan catatan Pusat Data Business Indonesia (PDBI),
saat ini Grup Djarum memiliki 65 unit usaha yang tersebar di 13 sektor industri, seperti
agribisnis, elektronik, perbankan, properti, kimia, dan lainnya.

Dari sekian banyak industri yang digeluti itu, menurut Thomas Wibisono, Direktur PDBI,
bisnis rokok dan perbankan masih menjadi sumber pemasukan utama bagi Grup Djarum.
“Selain rokok, mereka punya BCA sebagai mesin uangnya yang baru,” ujarnya.

Di industri rokok, Djarum tercatat sebagai pemain terbesar ketiga dengan penguasaan
pasar sebesar 17,2%. Total produksinya mencapai lebih dari 20 miliar batang setahun.

Salah satu faktor yang membuat Djarum dapat terus bertahan sebagai salah satu pemain
terbesar di industri rokok adalah karena Djarum rajin melakukan riset. Bahkan, sejak
tahun 1970, Djarum sudah mendirikan Research & Development Center. Selain itu,
Djarum rajin melakukan akuisisi perusahaan rokok kecil dan menengah, seperti Prima
Tobacco Harum, PT Wikatama Indah, dan PT Filasta. Djarum juga memiliki Bukit Muria
Jaya, yang memasok kebutuhan kertas untuk bungkus rokok. Untuk kepentingan
pendistribusian rokok, Djarum mengembangkan perusahaan transportasi Djarum
Nekajasa. Untuk melayani pasar rokok di Benua Amerika, Djarum memiliki pabrik rokok
di Brasil.

Memasuki tahun 2000-an, Djarum melakukan diversifikasi usaha. Tahun 2001, Djarum
bersama konsorsium Grup Wings, membeli Salim Oleochemicals di Surabaya, produsen
palm & coconut oil untuk sampo. Kiprah teranyarnya, Djarum tengah menjajaki bisnis
kelapa sawit (CPO) PT Hartono Plantations Indonesia di Kalimantan dan Sumatera.
Djarum memasang target minimum 100 ribu hektare hingga akhir 2009 dan akan terus
meningkat menjadi 500 ribu ha pada 2011. Di bisnis ini, Djarum harus merogoh kocek
investasi sebesar Rp 15 triliun dengan asumsi rata-rata nilai investasi kebun sawit
tersebut seharga Rp 30-40 juta/ha. Tidak berhenti sampai di situ, perseroan juga tengah
merencanakan pembangunan sejumlah kilang pengolahan CPO.

Tahun 2002, Djarum menjadi pemegang saham mayoritas (51%) di BCA lewat Faralon
Capital Management. Akuisisi senilai Rp 5,3 triliun itu kini terbukti memberi kontribusi
sangat signifikan bagi Grup Djarum.

Di tahun yang sama, Djarum melalui anak perusahaannya, PT Cipta Karya Bumi Indah
(CKBI), meluncurkan kompleks niaga World Trade Center di Mangga Dua, Jakarta. Nilai
proyek ini, menurut konsultan properti Pro Lease, diperkirakan sekitar Rp 600 miliar.
Tahun 2004, CKBI memenangi tender pengelolaan Hotel Indonesia dan Hotel Inna
Wisata selama 30 tahun. Pola yang dipakai adalah build, operate & transfer (BOT). Di
proyek ini Djarum menyediakan dana sekitar US$ 154,76 juta atau Rp 1,3 triliun guna
peremajaan kedua hotel yang akan disulap menjadi satu hotel plus mal bernama Grand
Indonesia.

Djarum juga melebarkan sayap ke berbagai industri lain, seperti industri pengolahan kayu
dan rotan (Kudus Istana Furniture), tekstil & garmen (Busana Rama), plastik (Ardi Jaya
Karya), optik (PT Supra Visi Optic), dan elektronik (Hartono Istana
Elektronika/Teknologi).

Menurut Theodore S. Pribadi, Direktur Andrew Tani & Co., keinginan Djarum
menjalankan diversifikasi usaha dipicu oleh isu sadar kesehatan mengenai tembakau,
khususnya kandungan tar dan nikotin tinggi dalam sigaret keretek. Selain itu,
pertumbuhan pasar industri rokok juga mulai melambat. “Tapi semua itu bisa dilakukan
karena mereka memiliki sumber dana yang melimpah,” ujarnya.

Ungkapan Theodore dibenarkan Philip Purnama. Menurut Direktur Spinnaker Capital ini,
kuatnya permodalan Djarum, salah satunya dikarenakan bisnis rokoknya yang sangat
kuat. Dia mengatakan, industri rokoklah yang menjadi tulang punggung keuangan
Djarum. “Setidaknya 10 tahun ke depan industri rokok akan tetap menjadi tulang
punggung grup ini,” papar Philip.

Thomas menambahkan, saat ini konglomerat lebih pragmatis dan realistis dalam
membaca peluang bisnis. Dengan semakin banyaknya grup konglomerat mulai dipegang
oleh generasi kedua dan ketiga, maka reenjiniring finansial mereka sudah lebih canggih.
Karena, generasi penerus itu punya pendidikan jauh lebih tinggi dan lulusan dari luar
negeri.

Menurut Managing Partner The Jakarta Consulting Group A.B. Susanto, sebagian besar
bisnis yang digeluti Djarum memberikan kontribusi positif. Hanya di industri properti
langkah Djarum sedikit terhambat. “WTC Mangga Dua belum bisa dibilang sukses,
sementara Grand Indonesia masih terlalu baru,” ujarnya.

Ke depan, lanjut Susanto, Grup Djarum masih punya potensi terus berkembang.
Pasalnya, grup ini memiliki perhitungan yang tajam, hati-hati, dan tidak neko-neko, tidak
banyak terdengar melakukan gebrakan atau mencari nama. Apalagi, generasi ketiga dari
keluarga Hartono sudah mulai bergabung, yaitu Arman Budi Hartono (BCA) dan Victor
Rahmat Hartono (rokok Djarum). “Saya rasa dengan masuknya generasi ketiga, mereka
akan lebih profesional lagi cara kerjanya,” ucapnya.
Theodore menyebutkan, faktor kepemimpinan juga menjadi poin plus bagi Grup Djarum.
Duet Budi Hartono dan Bambang Hartono yang kini menduduki pucuk pimpinan
perusahaan sangat kental mewarisi nilai yang dikembangkan oleh orang tuanya, yaitu
disiplin tingkat tinggi. Nilai itu pula yang kini diwariskan pada generasi ketiga, yang
mulai diberi kepercayaan menduduki posisi penting di perusahaan.

Susanto menambahkan, dengan kepemimpinan seperti itu, Grup Djarum memiliki potensi
tidak sekadar menjadi jago kandang. Grup ini menurut Susanto juga memiliki peluang
menjadi pemain regional. “Tapi mereka harus mempunyai visi yang diikuti dengan
perencanaan strategi perusahaan yang bagus,” katanya.

Selain itu, Susanto menyarankan pula agar Djarum membentuk holding company. Karena
holding ini ibarat orang tua yang melihat kekuatan anak-anak usahanya. “Tidak ada
artinya punya banyak perusahaan. Yang penting adalah punya perusahaan yang baik.
Banyak orang yang keliru, yang penting punya portofolio perusahaan yang
menguntungkan. Daripada membuat banyak perusahaan tetapi sebagian rugi, yang lain
belum tahu dan yang cash cow terus digerogoti. Mungkin melihat perusahaan mana yang
proven perlu dimerger. Dalam hal ini holding-lah yang menjadi motornya,” papar
Susanto.

Reportase: Eddy Dwinanto Iskandar, Kristiana Anissa, Siti Ruslina dan Tutut Handayani

Riset: ………..

You might also like