You are on page 1of 17

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-

5 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H /


7 September 1930 M. Lihat halaman : 56-57.

Pertanyaan : Bagaimana hukumnya mengadakan pesta


dan perayaan guna memperingati Jin penjaga desa
(Mbaureksa: jawa). Untuk mengharapkan kebahagiaan
dan keselamatan dan kadang terdapat hal-hal yang
mungkar. Perayaan tersebut dinamakan "Sedekah
Bumi" yang biasa dikerjakan penduduk desa
(kampung), karena telah menjadi adat kebiasaan sejak
dahulu kala ?
Jawab:
Adat kebiasaan sedemikian itu H A R A M.
___________________________________________
Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil
Muktamar/Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri
dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua
Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan
Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang, Kata
Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni.
___________________________________________
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah
diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini
untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak
sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada
berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.(QS. Al An Aam : 136)

Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik. (QS. Al Maidah : 49)

PANDANGAN ISLAM
Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
"Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena
seekor lalat pula." Para sahabat bertanya: "Bagaimana hal itu, ya Rasulallah. Beliau menjawab: "Ada
dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorangpun
melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu, berkatalah
mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut: "Persembahkanlah kurban kepadanya". Dia
menjawab: "Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya."Merekapun
berkata kepadanya lagi: "Persembahkan, sekalipun hanya seekor lalat. Lalu orang tersebut
mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankan dia untuk meneruskan
perjalanannya. Maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang
yang lain: "Persembahkanlah kurban kepadanya."Dia menjawab : Aku tidak patut
mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah 'Azza wa Jalla." Kemudian mereka
memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga." (HR. Ahmad dengan sanad yang lemah)

QS. A L - B A Q A R A H

2:170. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"

QS. A L - M A A I D A H

5:104. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan
mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?
QS. A L - A ' R A F

7:28. Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek
moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.
Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa
kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?

7:71. Ia berkata: "Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu".
Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan
nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujah untuk itu?
Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga termasuk orang yang menunggu bersama kamu".

QS. Y U N U S

10:78. Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang
kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan
di muka bumi? kami tidak akan mempercayai kamu berdua."

QS. Y U S U F

12:40. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu
dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang
nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

QS. I B R A H I M

14:10. Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan
bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan
menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain
hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan)
kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti
yang nyata.

QS. A L - K A H F I

18:5. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang
mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan
(sesuatu) kecuali dusta.
012. SEDEKAH Bumi
Difirmankan dalam Al Quran, bahwa Allah SWT memberikan rejeki melalui bumi milik Nya. Tetapi
orang melakukan Sedekah Bumi, dengan alasan sebagai tanda syukur kepada bumi. Mereka
meyakini, persedekahan ini sebagai ajaran Islam, karena dibalut nuansa Islami, yaitu dimulai
dengan lantunan ayat Al Quran dan diakhiri doa berbahasa Arab yang dianggap sebagai ciri Islam.

Sesampai di kampus, Narima bersama kawan-kawannya ingin menemui


dosennya; saat di Ruang Dosen, yang dicari tidak ada. Mereka menunggu sambil
membaca-baca koran yang tersedia. Tidak lama kemudian, yang ditunggupun datang.
Setelah saling berkabar, Narima bertanya, “Pak semalam ada tayangan wayang kulit di
tv dengan dalang yang sudah bertitel haji. Pak Dalang mengajak untuk melestarikan
sedekah bumi sebagai bentuk ucapan syukur. Bagaimana menurut Bapak?”; suasana
menjadi hening.

Sesaat kemudian, Banas menjelaskan, “Kebetulan, bapak juga menonton


wayang itu; dan berulang-kali Pak Dalang menganjurkan sedekah bumi dan
menyatakan bukan perbuatan haram. Sedekah bumi, dilaksanakan sebagai tanda
syukur kepada dewi penguasa bumi yang telah memberi rejeki kepada manusia; tetapi
betulkah dewi penguasa bumi memberi rejeki?”; tanpa menunggu jawaban,
diteruskan, “Untuk menyampaikan pandangan berdasar Hukum Islam, bukan
pendapatku, marilah kita cermati QS Al Baqarah (2):22, yang memuat firman Nya,

‫ت ذررزقْاَ ا للمكرم فنلن تنرجنعملوُرا ذللذ نأنَنداداا نونأنَتمرم‬


‫سنماَذء نماَاء فنأ نرخنرنج بذذه ذمنن الثلنمنرا ذ‬
‫سنماَء بذنناَء نونأنَنزنل ذمنن ال ل‬ ‫اللذذيِ نجنعنل لنمكمم النرر ن‬
‫ض فذنراشاَ ا نوال ل‬
٢٢﴿ ‫تنرعلنمموُنن‬

Artinya, Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu; karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. Melalui ayat ini,
Dia menegaskan, sesungguhnya bumi telah dijadikan Nya terhampar luas; lalu
diturunkan air dan dari air itu ditumbuhkan tanaman. Ini bermakna, Dia saja yang
memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tanaman. Kemudian dalam QS Al An`am
(6):99, difirmankan,
‫ضراا ننَرخذرمج ذمرنهم نحبلاَ ا نمتننراذكباَ ا نوذمنن النلرخذل ذمن ن‬
َ‫طرلذعنها‬ ‫شريءء فنأ نرخنررجنناَ ذمرنهم نخ ذ‬ ‫ت مكلل ن‬ ‫سنماَذء نماَاء فنأ نرخنررجنناَ بذذه نَننباَ ن‬ ‫يِ نأنَنزنل ذمنن ال ل‬ ‫نومهنوُ اللذذ ن‬
‫ت للقنروُءم‬ َ‫يا‬‫ل‬ ‫م‬‫ك‬‫م‬ ‫ل‬‫ذ‬‫ن‬ ‫في‬
‫نن نن ذ ذ ذ ذ ذ ر ن ء‬‫ن‬
‫ل‬ ‫إ‬ ‫ه‬ ‫ع‬ ‫ر‬
‫ن‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫م‬‫ث‬‫ر‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ن‬
‫ذا‬ ‫إ‬ ‫ه‬ ‫ر‬ ‫م‬‫ن‬ ‫ث‬
‫م ذذ ن ذ ذ ذ‬ِ‫لى‬‫إ‬ ‫ر‬
‫ا‬ ‫رو‬ ‫م‬ ‫ظ‬َ‫ان‬ ‫ه‬ ‫ب‬ َ‫شا‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫ت‬‫م‬ ‫ر‬‫ي‬‫ر‬ ‫ن‬
‫غ‬
‫ن ن ل م ذ ن ن م ذء‬ ‫و‬ ‫ا‬ َ‫ا‬ ‫به‬‫ن‬ ‫ت‬‫ش‬‫ر‬ ‫م‬ ‫ن‬
‫ن‬ َ‫ما‬ ‫ر‬ ‫وال‬ ‫ن‬‫ن‬ ‫م‬
ُ‫تو‬ ‫ي‬
‫ر‬ ‫ل‬
‫ز‬ ‫وال‬‫ء ن‬‫ب‬ ‫ن‬
َ‫نا‬ ‫ع‬
‫ر‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ن‬
‫ر‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ل‬
َ‫نا‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ة‬
‫قْذرننوُاةن ندانَذ ن ن ن ء ل‬
‫ة‬ ‫ي‬
٩٩﴿ ‫يمرؤذممنوُنن‬

Ayat ini diawali dengan firman Nya, Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari
langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka
Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Sekali lagi,
terdapat penegasan, Dia sajalah yang menumbuhkan tanaman di bumi setelah
diturunkannya air hujan; terusan ayat ini mengandung makna, Kami keluarkan dari
tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai
tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula)
zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di
waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Dalam bagian
ayat ini ditegaskan, Dia saja yang memperbanyak bulir buah tanaman itu, dengan
contoh kurma, zaitun dan delima; dan Dia saja yang menjadikan buah itu matang
untuk menjadi makanan mahluk Nya. Pada akhir ayat ini, berisi firman Nya,
Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang beriman”; berhenti sejenak.
Lalu diteruskan, “Rejeki buah-buahan yang dihasilkan dari tanaman,
merupakan karunia Ilahi bagi mahluk Nya; bukan saja untuk manusia, tetapi dapat kita
saksikan, burung-burung juga memperoleh rejeki dari tanaman”; berhenti bicara,
karena Narima ingin bertanya; lalu katanya, “Tetapi, Pak, bukankah sedekah bumi itu
diawali dengan bacaan Al Quran dan doa yang dilantunkan dalam bahasa daerah dan
Bahasa Arab?”. Mendapat pertanyaan ini, Banas mengemukakan, “Betul, dalam
upacara itu diawali dengan bacaan Surah Al Fatikhah dan diakhiri dengan doa; tetapi
dalam doa yang dilantunkan dengan bahasa daerah dikatakan, terima kasih dan syukur
kepada dewi ini, dewi itu, yang telah memberi kemurahan sehingga bumi
menghasilkan panen yang baik, terbabas dari hama, dan sebagainya. Ucapan terima
kasih dan syukur inilah yang menjadikan upacara semacam ini, tidak mencerminkan
keyakinan Islami. Bukankah bumi ini ciptaan Allah SWT?; bukankah Dia saja yang
menurunkan air hujan sehingga dari bumi bisa ditumbuhkan tanaman?; bukankah Dia
saja yang menggandakan butir-butir buah dari setiap tanaman?”; mendengar
penjelasan ini, teman Narima ingin bertanya; setelah Banas mengangguk, ditanyakan,
“Kalau begitu, siapa yang bersalah dalam memulai upacara semacam ini?”.

Banas diam sejenak, lalu dikatakan, “Pada masa pengenalan Islam dahulu, para
Ulama Islam mendakwahkan agama secara persuasif; artinya memasukkan ajaran
dengan cara yang tidak mendobrak ajaran yang sudah ada, misalnya ritual sedekah
kepada dewa-dewi atau disebut sedekah bumi. Para Ulama Islam masa dahulu
membiarkan upacara sebagaimana telah dilakukan, dengan memasukkan unsur Islami,
antara lain bacaan ayat-ayat Al Quran dan doa-doa dalam Bahasa Arab. Meski begitu,
terlalu sulit untuk menelusuri sejarah, siapa yang memulai memasukkan unsur Islami
dalam upacara seperti ini”; berhenti sejenak, lalu katanya, “Barangkali, bukan
masanya lagi untuk mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana kita meluruskan
budaya sedekah bumi agar tidak menyimpang dari keberimanan Islam”.

Mendengar penjelasan ini, Narima dan teman-teman pamit untuk kuliah, tak
lupa mereka mengucap terima kasih; terpancar kepuasan memperoleh pengayaan
ilmu, mungkin dalam hatinya tumbuh semangat bagaimana cara terbaik untuk
menghilangkan, setidak mengurangi upacara sedekah bumi dan bentuk-bentuk
sedekah semacam itu.
SEDEKAH BUMI BOLEH ?
Suatu hari di majelis taklim MAQITA al-Hikmah, Abu Mubarrok pernah ditanya jamaahnya
tentang hukumnya mengikuti acara sedekah bumi

Abu Mubarrok bertanya pada jamahnya, “di berbagai desa maupun daerah sering diadakan
sedekah bumi, namanya sedekah bumi tapi kenapa ritualnya maupun waktunya berbeda antar
satu daerah dengan daerah lainnya? Para jamaah pun terdiam tidak ada yang bisa jawab.
Namun ada salah satu jamaah yang menjawab “seje deso mowo coro ustadz (beda daerah
beda budaya ustadz)”

Abu Mubarrok pun bertanya lagi, sedekah bumi itu masuk dalam hal ibadah atau adat
istiadat? Seluruh jamaah serentak menjawab adat istiadat. Kalo begitu meninggalkan adat
istiadat termasuk dosa tidak? Serentak jawabannya tidak! Kenapa? Karena adat istiadat bukan
ibadah

Abu Mubarrok pun kemudian menguraikan tentang bab sedekah bumi kepada para
jamaahnya. Ia mengatakan bahwa ritual-ritual zaman dulu yang selalu berkait erat dengan
siklus hidup dan keseharian yang mereka jalani seperti upacara adat menyangkut kelahiran,
perkawinan, kematian dan mata pencaharian. Maka, di masyarakat kita pun ada satu upacara
adat yang berkait dengan mata pencaharian mereka yang mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani dan nelayan. Untuk para nelayan, mereka rutin menggelar upacara sekaligus
pesta rakyat yang disebut nadran, larungan dan sebagainya. Sedangkan bagi para petani
mereka biasanya menggelar berbagai upacara dan ritual yang berhubungan dengan tanah
yang salah satunya sedekah bumi.

Upacara adat sedekah bumi ini berkait erat dengan kepercayaan orang-orang zaman dulu
akan adanya dewa-dewa dan mereka percaya bahwa pada tiap-tiap segala sesuatu yang
menyangkut hajat hidup manusia dikuasai dan dijaga oleh dewa-dewa. Dengan keyakinan
atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang
mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka
dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya.

Kemudian Islam masuk ke wilayah Jawa. Tapi meskipun tradisi sebelum masuknya Islam ini
adalah sebuah ritual untuk menyembah dewa-dewa, Islam tidak serta merta menghapuskan
ritual ini dari tengah-tengah masyarakat Jawa, dan malahan memanfaatkan kearifan lokal ini
sebagai media dakwah yang efektif. Pendekatan budaya seperti inilah yang pada
kenyataannya memang membuat Islam lebih mudah diterima di kalangan masyarakat Jawa.
Karena menyembah kepada selain Allah merupakan hal yang diharamkan oleh agama Islam,
maka sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali, tetapi diubah
substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk upacara baru,
sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng
Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482-1568 M), tempatnya di Puser Bumi.

Puser Bumi sendiri merupakan sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali
Songo. Konon, setelah Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, pusat pemerintahan atau
Puser Bumi yang semula berada di Ampel oleh anggota Wali Songo yang tersisa sepakat
dipindahkan ke Cirebon yang tepatnya di Gunung Sembung. Gunung Sembung ini sekarang
lebih dikenal dengan sebutan Astana Gunung Jati.

Upacara adat Sedekah Bumi sendiri dibuka dengan acara Srakalan, pembacaan kidung yang
dilakukan oleh pemuka adat. Kemudian acara berikutnya adalah ritual pencungkilan tanah
sebagai simbol bahwa mereka mencintai tanah sebagai tempat penghidupan sekaligus juga
sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah menganugerahi tanah yang
subur. Dan menjelang siang, acara dilanjutkan dengan arak-arakan yang melibatkan seluruh
lapisan masyarakat. Araka-arakan ini sendiri berfungsi sebagai ajang pesta rakyat di mana
segala lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dengan berbagai pertunjukan kesenian yang
beragam. Dan seperti lazimnya sebuah pesta rakyat, maka segala jenis pertunjukan kesenian
ditampilkan di sini oleh rakyat dan untuk rakyat. Kemudian pada pagi berikutnya barulah
dilaksanakan upacara ruwatan sebagai acara inti sekaligus juga sebagai penutup dari seluruh
rangkaian upacara Sedekah Bumi.

Dari gambaran tersebut, ternyata dewasa ini masih banyak diantara kalangan kaum muslimin,
tidak saja di daerah kita tetapi juga di daerah-daerah lainnya di Nusantara ini berkeyakinan
bahwa pemberian sesaji dalam ritual pesta sedekah bumi atau sedelah laut merupakan hal
biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula
apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu saat tidak
diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan
ataupun bencana).

Apa yang dikemukakan berkenaan dengan upacara tahunan sedekah bumi di sekitar kita
tersebut diatas menggambarkan bahwa masyarakat setempat sepertinya tidak merasa bahwa
apa yang mereka lakukan sebenarnya telah melanggar syari’at islam. Mereka melakukan
ritual sedekah bumi tersebut tanpa merasa telah berbuat dosa besar yang tidak akan diampuni
sebelum mereka bertaubat.

Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme serta
dari agama Hindu dan Budha ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman
modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya
manusianya secara naluri/fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas
dijadikan tempat meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Fitrah
inilah yang mendorong manusia terus mencari Penguasa yang maha besar? Pada akhirnya ada
yang menemukan batu besar, pohon-pohon rindang, kubur-kubur, benda-benda kuno dan lain-
lain, lalu di agungkanlah benda-benda tersebut.

Pengagungan itu antara lain diekspresikan dalam bentuk sesajen yang tak terlepas dari unsur-
unsur berikut: menghinakan diri, rasa takut, berharap, tawakal, do’a dan lainnya. Unsur-unsur
inilah yang biasa disebut dalam islam sebagai ibadah.

Sesungguhnya seorang muslim telah mempunyai tuntunan syari’at yang bersumber dan al-
Qur’an dan as-Sunnah, yang mewajibkan kepada seluruh hamba Allah hanya tunduk, ta’at
dan sujud kepada Allah melalui ibadah yang telah digariskan yang hanya boleh ditujukan
kepada Allah yang Maha Esa yang Tidak ada Sekutu bagi-Nya, sehingga apabila seorang
muslim masih mempunyai rasa takut kepada selain Allah, meminta pertolongan dan
perlindungan kepada selain Allah yang diwujudkan dengan memberikan persembahan berupa
sesaji, maka berarti yang bersangkutan telah menyekutukan ( mensyarikatkan ) Allah dengan
selain Dia, ini namanya syirik dan pelakunya disebut sebagai musyrik.

Ritual mempersembahkan sesaji kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai penunggu
atau penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik (menyekutukan Allah dengan
makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat. Mereka meyakini makhluk
halus tersebut punya kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka
kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan sesajen tersebut mereka berharap
dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka
dipenuhinya.

Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah mengutus Rasul-Nya untuk
menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allah semata) dan memerangi
syirik dalam segala bentuknya.

Allah berfirman, “Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi
mereka dosa dan kesalahan.” (QS. al-Jin: 6).
Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan
mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti
menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain.

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan
mereka semuanya, (dan Dia berfirman), ‘Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu
telah banyak (menyesatkan) manusia,’ lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari
golongan manusia (para dukun dan tukang sihir), ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian
dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah
sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman, ‘Neraka
itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah
menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
(QS al-An’aam:128).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan


manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya
(berbuat syirik dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan manusia
mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab
bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan
diri pada jin, (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.”

Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian
dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan
persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian
yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian
yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka .
Amat buruklah ketetapan mereka itu”. ( QS.Al An’am : 136 )

Sedangkan mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah.
Sebagaimana dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku
(kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu
baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. al-An’aam: 162-163).

Dalam ayat lain, Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-
mu (Allah) dan berkurbanlah.” (Qs. al-Kautsar: 2).

Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena
melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah dan pemurnian agama
bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota
badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai
jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah SWT.

Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah (baik itu jin,
makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri
kepadanya, yang dikenal dengan istilah sesajen sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan orang dalam ritual sedekah bumi, adalah perbuatan dosa yang sangat besar,
bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari
agama Islam (menjadi kafir).

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,


daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. al-Baqarah:
173)
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada
sembahan (selain Allah) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih),
atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya.”

Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,: “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.”

Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk
selain-Nya, dengan laknat Allah yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini
termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, sehingga
pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya.

Perlu sekali untuk diingatkan dalam hal ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya
keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang
dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan
dalam hati orang yang mempersembahkan tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini
merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah semata. Oleh
karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor
lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-
Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar.

Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi beliau berkata, “Ada orang yang masuk
surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang
yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka
dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini
kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita).’
Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala
kami)!’ Tapi, orang itu enggan –dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak akan
berkurban kepada siapapun selain Allah, maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga).
Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala
kami)!’, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu untuk
dikurbankan.’ Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor
lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan), ‘Apalah artinya seekor lalat,’, lalu diapun
berkurban dengan seekor lalat, dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat,
kemudian (di akhirat) dia masuk neraka.’”

Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar,
bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-
Nya,
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya),
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-
Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
sangat besar.” (QS an-Nisaa’: 48).

Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Sedekah Bumi

Maka sejalan dengan itu bagi orang-orang yang ikut berpartisipasi dan membantu
terselenggaranya acara ritual pemberian sesaji pada sedekah laut atau sedekah bumi dalam
segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk tolong-menolong
dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik. Allah
berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maaidah: 2).

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-
Nya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan
baik, yang ini adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar,
yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam
kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.”

TRADISI SEDEKAH BUMI PERBUATAN


YANG DIHARAMKAN DALAM ISLAM

Dalam Portal Cirebon kami membaca sebuah artikel yang mengulas tentang tradisi sedeqah
bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat secara beramai-ramai di Cirebon. Mengingat
sedekah bumi tersebut merupakan sebuah ritual mempersembahkan sesaji kepada sesuatu
yang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga perbuatan
tersebut dikatagorikan sebagai suatu bentuk ibadah, sedangkan yang melakukannya adalah
kebanyakan orang-orang muslim, sehingga kami terdorong untuk mengingatkan kepada
sesama saudara muslim bahwa perbuatan yang mereka lakukan tersebut bertolak belakang
dengan keyakinan seorang muslim yang mentauhidkan Allah.

Sebelum membahas lebih jauh tentang tradisi sedekah bumi ditinjau dari aqidah Islam, maka kami
terlebih dahulu menyajikan artikel tentang sedekah bumi di Cirebon yang kami copy paste dari Portal
Cirebon.

Seperti halnya ritual-ritual zaman dulu yang selalu berkait erat dengan siklus hidup dan
keseharian yang mereka jalani seperti upacara adat menyangkut kelahiran, perkawinan,
kematian dan mata pencaharian. Maka, di Cirebon pun ada satu upacara adat yang berkait
dengan mata pencaharian mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan
nelayan. Untuk para nelayan, mereka rutin menggelar upacara sekaligus pesta rakyat yang
disebut nadran, larungan dan sebagainya. Sedangkan bagi para petani mereka biasanya
menggelar berbagai upacara dan ritual yang berhubungan dengan tanah yang salah satunya
akan Portal Cirebon bahas kali ini yakni sedekah bumi.

Upacara adat sedekah bumi ini berkait erat dengan kepercayaan orang-orang zaman dulu
akan adanya dewa-dewa dan mereka percaya bahwa pada tiap-tiap segala sesuatu yang
menyangkut hajat hidup manusia dikuasai dan dijaga oleh dewa-dewa. Dengan keyakinan
atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang
mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka
dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya.

Kemudian Islam masuk ke wilayah Cirebon. Tapi meskipun tradisi sebelum masuknya Islam
ini adalah sebuah ritual untuk menyembah dewa-dewa, Islam tidak serta merta
menghapuskan ritual ini dari tengah-tengah masyarakat Cirebon, dan malahan memanfaatkan
kearifan lokal ini sebagai media dakwa yang efektif. Pendekatan budaya seperti inilah yang
pada kenyataannya memang membuat Islam lebih mudah diterima di kalangan masyarakat
Cirebon. Karena menyembah kepada selain Allah merupakan hal yang diharamkan oleh
agama Islam, maka sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama
sekali, tetapi diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah
terbentuk upacara baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada
pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482-1568 M), tempatnya di
Puser Bumi.

Puser Bumi sendiri merupakan sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali
Songo. Konon, setelah Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, pusat pemerintahan atau
Puser Bumi yang semula berada di Ampel oleh anggota Wali Songo yang tersisa sepakat
dipindahkan ke Cirebon yang tepatnya di Gunung Sembung. Gunung Sembung ini sekarang
lebih dikenal dengan sebutan Astana Gunung Jati.

Tradisi Sedekah Bumi ini pada perjalanannya kemudian dilaksanakan pada bulan ke empat
tiap tahunnya mengikuti siklus panen padi di setiap desa yang masuk ke dalam wilayah
Cirebon. Pada saat ini yang masih kuat memegang tradisi Sedekah Bumi adalah Desa Astana
Gunung Jati. Pelaksananya adalah Ki Penghulu serta Ki Jeneng Astana Gunung Jati berikut
para kraman. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu mengambil ikan dari
balong milik keraton di beberapa daerah (masih ada di desa Pegagan) oleh Ki Penghulu
bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi
Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata dan para pemuka adat lainnya, dalam
Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah bumi.

Setelah hari H untuk menggelar upacara Sedekah Bumi itu resmi ditetapkan, maka kemudian
disebarkan kepada seluruh penduduk bahwa pada hari yang telah ditentukan itu akan
diadakan upacara adat Sedekah Bumi. Melalui para pemuka adat penduduk mengirimkan
"Gelondong Pengareng-areng". Gelondong Pengareng-areng adalah penyerahan secara
sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya. Biasanya berupa
hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah seperti ubi kayu,
kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil tanaman di atas tanah seperti buah-
buahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak seperti Ayam, Itik, Kambing, Kerbau, Sapi, dsb. Juga
bagi mereka yang yang berusaha sebagai nelayan, mengirimkan hasil tangkapannya dari laut
sebagai rasa syukur dan berbakti kepada kanjeng sinuhun. Penyerahan-penyerahan itu terjadi
bukan karena paksaan atau peraturan tertentu, tetapi karena kesadaran penduduk itu sendiri
dan kemudian dijadikan hukum adat yang aturan-aturan tidak tertulis.

Upacara adat Sedekah Bumi sendiri dibuka dengan acara Srakalan, pembacaan kidung yang
dilakukan oleh pemuka adat. Kemudian acara berikutnya adalah ritual pencungkilan tanah
sebagai simbol bahwa mereka mencintai tanah sebagai tempat penghidupan sekaligus juga
sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah menganugerahi tanah yang
subur. Dan menjelang siang, acara dilanjutkan dengan arak-arakan yang melibatkan seluruh
lapisan masyarakat. Araka-arakan ini sendiri berfungsi sebagai ajang pesta rakyat di mana
segala lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dengan berbagai pertunjukan kesenian yang
beragam. Dan seperti lazimnya sebuah pesta rakyat, maka segala jenis pertunjukan kesenian
ditampilkan di sini oleh rakyat dan untuk rakyat. Kemudian pada pagi berikutnya barulah
dilaksanakan upacara ruwatan sebagai acara inti sekaligus juga sebagai penutup dari seluruh
rangkaian upacara Sedekah Bumi.
Tradisi Leluhur Yang Syirik
Dari gambaran tersebut diatas ternyata dewasa ini masih banyak diantara kalangan kaum muslimin,
tidak saja di daerah Cirebon tetapi juga di daerah-daerah lainnya di Nusantara ini berkeyakinan bahwa
pemberian sesaji dalam ritual pesta sedekah bumi atau sedelah laut merupakan hal biasa bahkan
dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat
atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang
yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).

Apa yang dikemukakan berkenaan dengan upacara tahunan sedekah bumi di Cirebon tersebut diatas
menggambarkan bahwa masyarakat setempat sepertinya tidak merasa bahwa apa yang mereka
lakukan sebenarnya telah melanggar syari’at islam. Mereka melakukan ritual sedekah bumi tersebut
tanpa merasa telah berbuat dosa besar yang tidak akan diampuni sebelum mereka bertaubat.

Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme serta dari
agama Hindu dan Budha ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang
serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/fitrah
meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat meminta, mengadu,
mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Fitrah inilah yang mendorong manusia terus mencari
Penguasa yang maha besar? Pada akhirnya ada yang menemukan batu besar, pohon-pohon rindang,
kubur-kubur, benda-benda kuno dan lain-lain, lalu di agungkanlah benda-benda tersebut.
Pengagungan itu antara lain diekspresikan dalam bentuk sesajen yang tak terlepas dari unsur-unsur
berikut: menghinakan diri, rasa takut, berharap, tawakal, do’a dan lainnya. Unsur-unsur inilah yang
biasa disebut dalam islam sebagai ibadah.

Sesungguhnya seorang muslim telah mempunyai tuntunan syari’at yang bersumber dan al-
Qur’;an dan as-Sunnah, yang mewajibkan kepada seluruh hamba Allah hanya tunduk, ta’at
dan sujud kepada Allah melalui ibadah yang telah digariskan yang hanya boleh ditujukan
kepada Allah yang Maha Esa yang Tidak ada Sekutu bagi-Nya, sehingga apabila seorang
muslim masih mempunyai rasa takut kepada selain Allah, meminta pertolongan dan
perlindungan kepada selain Allah yang diwujudkan dengan memberikan persembahan berupa
sesaji, maka berarti yang bersangkutan telah menyekutukan ( mensyarikatkan ) Allah dengan
selain Dia, ini namanya syirik dan pelakunya disebut sebagai musyrik.
Ritual mempersembahkan tum sesaji kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai
penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik (menyekutukan
AllahSubhanahu wa Ta’ala dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di
masyarakat. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk memberikan
kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan
mempersembahkan sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk
halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.
Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus
Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid
(peribadatan/penghambaan diri kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala semata) dan memerangi
syirik dalam segala bentuknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ً‫س يههعوُهذوُهن بججرهجاًلل جمهن اَملججنن فههزاَهدوُههمم هرههققا‬
‫هوُأهننهه هكاًهن جرهجاًلل جمهن اَ م جلمن ج‬
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa
dan kesalahan.” (Qs. al-Jin: 6).
Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan
mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti
menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain.
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ً‫ض هوُبهلهمغهناً أههجلههنا‬
‫ضهناً بجبهمع ل‬ ‫ِ هوُهقاًهل أهموُلجهياًهؤههمم جمهن اَلمن ج‬،‫س‬
‫س هربنهناً اَمستهممتههع بهمع ه‬ ‫موُهم يهمحهشهرههمم هججميقعاً هياً هممعهشهر اَملججنن قهجد اَمستهمكثهمرتهمم جمهن اَلمن ج‬
‫ك هحجكيلم هعجليلم‬ ‫اه إجنن هربن ه‬‫ِ هقاًهل اَلنناًهر هممثهوُاَهكمم هخاًلججديهن جفيههاً جإلِ هماً هشاًهء ن‬،ً‫ت لههنا‬
‫اَلنجذيِ أهنجمل ه‬

“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia
berfirman), ‘Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan)
manusia,’ lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun
dan tukang sihir), ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan
kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang
telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman, ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian,
sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).’
Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’aam:128).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan
manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat
syirik dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan
kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para
jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin, (sebagai
imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.”[2]
Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

‫ال عوُعماِّ عكاِّعن ل ل ل‬


ُ‫ل عفلهعو‬ ‫صلل إلعلىَ ل‬ ‫ل لبعزاعلملهام عوُعهـَعذا لل ل‬
‫شعرعكآَلئعناِّ عفعماِّ عكاِّعن لل ل‬
‫شعرعكآَلئلهام عفلع عيِ ل‬ ‫ث عوُالعانععاِّلم عن ل‬
‫صيِبباِّ عفعقاِّللوُاا عهـَعذا ل ل ل‬ ‫ل لممِماِّ عذعرأع لمعن االعحار ل‬ ‫عوُعجععللوُاا ل ل ل‬
‫شعرعكآَلئلهام عساِّء عماِّ عيِاحلكلموُعن‬
‫صلل إلعلىَ ل‬ ‫عيِ ل‬

Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan
Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk
berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak
sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada
berhala-berhala mereka [508]. Amat buruklah ketetapan mereka itu. ( QS.Al An’am : 136 )

[508] Menurut yang diriwayatkan bahwa hasil tanaman dan binatang ternak yang mereka
peruntukkan bagi Allah, mereka pergunakan untuk memberi makanan orang-orang fakir, orang-orang
miskin, dan berbagai amal sosial, dan yang diperuntukkan bagi berhala-berhala diberikan kepada
penjaga berhala itu. Apa yang disediakan untuk berhala-berhala tidak dapat diberikan kepada fakir
miskin, dan amal sosial sedang sebahagian yang disediakan untuk Allah (fakir miskin dan amal sosial)
dapat diberikan kepada berhala-berhala itu. Kebiasaan yang seperti ini amat dikutuk Allah.

Keterangan-keterangan diatas menunjukkan bahwa acara ritualis memberikan sesaji ( sesajen )


bertentangan dengan syariat Islam yang murni. Sebab didalamnya mengandung pengagungan,
penghambaan, pengharapan, takut yang semestinya hanya diperuntukkan kepada Allah semata.
Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari segala bentuk kesyirikan.

Hukum Mempersembahkan Sesaji ( Sesajen ) Untuk Sedekah Bumi


Mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala[3], adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas
ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
‫ك أهجممر ه‬
‫ت هوُأههناً أهنوُهل اَملهممسلججميهن‬ ‫ب اَملهعاًلهجميهن هلِ هشجري ه‬
‫ك لههه هوُبجهذلج ه‬ ‫يِ هوُهمهماًجتيِ جنلج هر ن‬ ‫قهمل إجنن ه‬
‫صلَجتيِ هوُنههسجكيِ هوُهممحهياً ه‬

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).’” (Qs. al-An’aam: 162-163).
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
‫ك هوُاَمنهحمر‬ ‫فه ه‬
‫صنل لجهربن ه‬

“Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanla.”
(Qs. al-Kautsar: 2).
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena
melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan
dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta
yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan
dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah sesajen sebagaimana yang
dilakukan oleh kebanyakan orang dalam ritual sedekah bumi, adalah perbuatan dosa yang
sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya
keluar dari agama Islam (menjadi kafir).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
‫إجننهماً هحنرهم هعلهميهكهم اَملهمميتهةه هوُاَلندهم هوُلهمحهم اَملجخنزيجر هوُهماً أهجهنل بججه لجهغميجر ن‬
‫اج‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173)
.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada
sembahan (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya
(ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya.”
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,:
“Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.”
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk
selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya.
Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya.
Perlu sekali untuk diingatkan dalam hal ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya
keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang
dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan
dalam hati orang yang mempersembahkan tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini
merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala semata-mata.
Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan
seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada
selain-Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar.
Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada
orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat,
ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah)
berhala mereka dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati
(daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal
untuk berhala kita).’ Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, ‘Kurbankanlah
sesuatu (untuk berhala kami)!’ Tapi, orang itu enggan –dalam riwayat lain: orang itu berkata,
‘Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala’–, maka
diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua,
‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku
tidak mempenyai sesuatu untuk dikurbankan.’ Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah
sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan), ‘Apalah
artinya seekor lalat,’, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, –dalam riwayat lain: maka
merekapun mengizinkannya lewat– kemudian (di akhirat) dia masuk neraka.’”
Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Sedekah Bumi
Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar,
bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-
Nya,
ً‫ك لجهممن يههشاًهء هوُهممن يهمشجرمك جباًنلج فهقهجد اَمفتههرىَ إجمثقماً هعجظيقما‬ ‫اه لِ يهمغفجهر أهمن يهمشهر ه‬
‫ك بججه هوُيهمغفجهر هماً هدوُهن هذلج ه‬ ‫إجنن ن‬

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya),


dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-
Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
sangat besar.” (Qs an-Nisaa’: 48).
Maka sejalan dengan itu bagi orang-orang yang ikut berpartisipasi dan membantu
terselenggaranya acara ritual pemberian sesaji pada sedekah laut atau sedekah bumi dalam
segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk tolong-menolong
dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,


‫اه هشجديهد اَملجعهقاً ج‬
‫ب‬ ‫هوُتههعاًهوُهنوُاَ هعهلىَ اَملبجنر هوُاَلتنمقهوُىَ هوُلِ تههعاًهوُهنوُاَ هعهلىَ اَلمثجم هوُاَملهعمدهوُاَجن هوُاَتنهقوُاَ ن‬
‫اه إجنن ن‬

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Qs. al-Maaidah: 2).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam melakukan
perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-
perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan)
saling membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.”
Dan dalam hadits shahih tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta
mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang
mengusahakannya, orang yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya,
mereka semua sama (dalam perbuatan dosa).” Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini
(terdapat dalil yang menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya
perbuatan) batil (maksiat).”

Islam Adalah Agama Tauhid Menghapus Syirik.

Tauhid menurut ulama salafus shalih (dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah,
uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan
konsekuensi dari kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim.
Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah penting,seorang muslim wajib meyakini bahwa
tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan
merupakan salah satu syarat merupakan syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus
sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Dalam Al-Qur’an disebutkan tentang keagungan tauhid sebagaimana yang disebutkan dalam
firman Allah subahanahu

Wa Ta'aalaa:

‫ض‬ ‫ضـَـَلعللة عفلسـَـَيِلروُاا لفـَـَيِ العار ل‬ ‫ت عععلايِـَـَله ال م‬ ‫ت عفلمانلهم ممان عهعدىَ ل‬


‫ال عوُلمانلهـَـَم ممـَـَان عحمقـَـَ ا‬ ‫عوُعلعقاد عبععاثعناِّ لفيِ لكمِل أ لممةَّة مرلسوُلب أعلن ااعلبلدوُاا ل‬
‫اع عوُااجعتلنلبوُاا المطاِّلغوُ ع‬
‫ف عكاِّعن ععاِّلقعبلة االلمعكمِذلبيِعن‬ ‫عفاِّن ل‬
‫ظلروُاا عكايِ ع‬

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul). ( QS. An Nahl : 36 )
Firman Allah subhanahu wa ta’alan :

‫ا عوُاالعملسيِعح اابعن عمارعيِعم عوُعماِّ أ للملروُاا إللم للعيِاعلبلدوُاا إلعلـَبهاِّ عوُا ل‬


‫حبدا لم إلعلـَعه إللم لهعوُ لسابعحاِّعنله ععمماِّ ليِاشلرلكوُعن‬ ‫امتعخلذوُاا أعاحعباِّعرلهام عوُلراهعباِّعنلهام أعارعباِّبباِّ مِمن لدوُلن ل ل‬

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan
(juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan. (QS.At Taubah : 31 )

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

‫صاِّ لمله المِديِعن‬ ‫ب لباِّالعحمِق عفاِّاعلبلد م‬


‫اع لماخلل ب‬ ‫إلمناِّ عأنعزالعناِّ إلعلايِ ع‬
‫ك االلكعتاِّ ع‬

‫ا عيِاحلكلم عبايِعنلهام لفيِ عماِّ لهام لفيِله عيِاخعتلللفوُعن إلمن م ع‬


‫اـَـَ عل‬ ‫ص عوُالملذيِعن امتعخلذوُا لمن لدوُلنله أعاوُللعيِاِّء عماِّ عناعلبلدلهام إلمل للليِعقمِرلبوُعناِّ إلعلىَ م‬
‫ال لزالعفىَ إلمن م ع‬ ‫أععل ل م ل‬
‫ل المِديِلن االعخاِّلل ل‬
‫ب عكمفاِّبر‬‫عيِاهلديِ عمان لهعوُ عكاِّلذ ب‬

Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quraan) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang
mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan
sangat ingkar. ( QS. Az-Zumar : 2-3 )

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

‫ك لديِلن االعقمِيِعملة‬
‫صعلعة عوُليِاؤلتوُا المزعكاِّعة عوُعذلل ع‬ ‫عوُعماِّ أ للملروُا إلمل للعيِاعلبلدوُا م‬
‫اع لماخلل ل‬
‫صيِعن علله المِديِعن لحعنعفاِّء عوُليِلقيِلموُا ال م‬

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus [dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus ( QS. Al Bayyinah : 98 ).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: "Orang yang mau mentadabburi
keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid
dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa serta taat kepada Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah,
musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati
kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya" (Majmu' Fatawa 15/25)
Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan
adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya.
Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini
siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil.
Jika syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus
asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang
diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam
berbagai bid'ah dan khurafat. (Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293,
lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali
Furayaan, hal 4)
Tauhid Rububiyah adalah beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki,
merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan
manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana
terdapat dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 62 :

‫م‬
‫ال عخاِّلللق لكمِل عشايِةَّء عوُلهعوُ عععلىَ لكمِل عشايِةَّء عوُلكيِبل‬

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. ( QS. Az-Zumar : 62 )

Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka
menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di
dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi
kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati
mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah :

‫أعام لخلللقوُا لمان عغايِلر عشايِةَّء أعام لهلم االعخاِّلللقوُعن‬

‫ت عوُاالعار ع‬
‫ض عبل مل ليِوُلقلنوُعن‬ ‫أعام عخلعلقوُا المسعماِّعوُا ل‬

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak
meyakini (apa yang mereka katakan).(QS.Ath-Thuur : 35-36 )

Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang
beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi
Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana
firman Allah, :

‫ش االععلظيِلم‬
‫ب االععار ل‬
‫ت المسابلع عوُعر ب‬ ‫قلال عمن مر ب‬
‫ب المسعماِّعوُا ل‬

‫ل قلال أععفعل عتمتلقوُعن‬


‫عسعيِلقوُللوُعن ل م ل‬

‫ت لكمِل عشايِةَّء عوُلهعوُ ليِلجيِلر عوُعل ليِعجاِّلر ععلعايِله لإن لكنلتام عتاععللموُعن‬
‫قلال عمن لبعيِلدله عملعلكوُ ل‬

‫ل قلال عفأ عمنىَ لتاسعحلروُعن‬


‫عسعيِلقوُللوُعن ل م ل‬

“Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang
besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak
bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu
mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan
manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89).
Tauhid Uluhiyah/Ibadah ialah Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah,
tidak ada sekutu bagiNya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Firman Allah
subhanahu wa ta’ala

‫ال أعمنله لع إلعلـَعه إللم لهعوُ عوُاالعملعلئعكلة عوُأ لاوُللوُاا االلعاللم عقآَلئعماِّ ب لباِّاللقاسلط لع إلعلـَعه إللم لهعوُ االععلزيِلز االعحلكيِلم‬
‫عشلهعد ل‬
"Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang orang yang berilmu (juga menyatakan demikian).
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Maha
Bijaksana" (Al Imran: 18).

Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap


rububiyahNya. Mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti
salat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai
macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu
hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rosul dan
merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana
yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu . Allah azza wa jalla berfirman :

‫أععجعععل االللعهعة إللعبهاِّ عوُا ل‬


‫حبدا إلمن عهعذا لععشايِبء لععجاِّ ب‬
‫ب‬

Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan. ( QS. Shaad : 5 )

Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah
hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka
dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah
satu-satunya Pencipta alam semesta.
Islam yang dibawa oleh Rasululluh shalallahu’alaihi wa sallam datang untuk menegakkan
tauhid dan menghapus semua praktek-praktek jahiliyah dalam beraqidah, karena perilaku
masyarakat jahiliyah dalam beraqidah lebih bersifat syirik,
Berkaitan dengan itu maka untuk tegaknya tauhid wajib bagi setiap muslim untuk
mengingkari dan meninggalkan kebiasaan memberikan sesaji ( sesajen ) sebagaimana
kelaziman yang banyak dilakukan orang-orang. Tidaklah sepatutnya seorang muslim untuk
melestarikan tradisi warisan leluhur yang syirik dan bertentangan dengan aqidah.
( Wallaahu’alam bish-shawab)

You might also like