Professional Documents
Culture Documents
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji penulis haturkan kepada Allah SWT. yang telah
pada Terumbu Karang”. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Dr. Ir. Efriyeldi, M.Si., selaku dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan juga teman-teman yang sudah membantu penulis dalam
karang, bagaimana cara mencegah kerusakannya dan hal-hal apa saja yang dapat
dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca sangat penulis harapkan guna untuk kesempurnaan dalam penulisan
makalah selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Isi Halaman
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.2. Tujuan.......................................................................................................... 2
RINGKASAN ...................................................................................................... 13
1
I. PENDAHULUAN
Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut
Indonesia seluas 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7
km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas tersebut belum termasuk landas
kontinen. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Pada daerah pesisir juga terdapat persebaran biota pantai dan persebaran
vegetasi. Biota pantai dan vegetasi tersebut saling memberikan timbal balik antara
satu dengan yang lain sehingga membentuk sebuah ekosistem. Ekosistem pesisir
merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dengan ekosistem laut, yang
mana organisme penghuni ekosistem darat dan laut berkumpul dan saling
hingga saat ini masih jauh dari harapan. Padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dan lautan kepulauan Indonesia disimpan potensi sumber daya alam dan jasa
Banyaknya keragaman terumbu karang menjadi habitat yang baik bagi berbagai
macam biota laut. Selain itu, terumbu karang juga bermanfaat sebagai pemecah
terumbu karang tetap dijaga dan tidak dirusak keberadaannya akan mendatangkan
lebih banyak profit. Hingga saat ini, kerusakan terumbu karang di Indonesia dilansir
1.2. Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk melengkapi tugas individu mata
kuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir, selain itu makalah ini ditulis dengan tujuan
1.3. Manfaat
Makalah ini ditulis dengan harapan dapat membuka wawasan para pembaca
Adapun topik terkait yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
geologi seperti Shepard (1971), Kuenen (1960), Bird (1976) dan Mather & Benneth
(1984) berbeda-beda, namun intinya serupa yaitu menyatakan bahwa 75% dari
seluruh terumbu karang terbentuk pada masa Pleistosen. Menurut Mather &
Benneth (1984) saat itu terjadi "tectonic subsidence” (penurunan lapisan kerak
bumi di dasar samudra akibat letusan gunung berapi) dan fluktuasi paras muka laut
akibat terjadinya perubahan massa es mulai jaman Pleistosen hingga perioda resen
berkesinambungan.
Menurut teori Darwin baik atol maupun barrier reef berasal dari gunung
berapi bawah laut, dengan demikian terbentuknya terumbu karang erat hubungan-
nya dengan proses pemekaran kerak bumi. Model sederhana yangdisebut teori titik
panas (hotspot teori) adalah sebagai berikut: (1) terjadi aktivitas magmatik pada
suatu titik panas (hotspot); (2) titik panas tersebut kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi gunung berapi yang berada di dasar samudra; (2) setelah
gunung berapi dasar samudra itu meletus dan menjadi tidak aktif; (3) dalam
beberapa juta tahun gunung berapi tersebut berubah menjadi pulau yang kemudian
mengalami pergeseran dari posisi semula oleh pergerakan kerak bumi; (4) pulau
yang kemudian berkembang menjadi barrier reefs, atol dan terakhir menjadi sebuah
gunung kecil di laut (guyot). Secara garis besar perkembangan gunung berapi
menjadi atol adalah demikian, dan proses tersebut akan terulang kembali pada
Terumbu karang di Indonesia menempati luas hingga 7500 km² dari luas
(ZEEI) 7,1 juta Km². Namun, keberadaan ekosistem terumbu karang di Indonesia
saat ini telah banyak mengalami degradasi yang mengkhawatirkan. Hal ini
ditunjukkan dari persentase penutupan karang hidup dalam kondisi rusak dan
memuaskan dan baik masing-masing hanya tinggal 5,3% dan 21,7% (Dahuri 1999).
kondisi sangat baik, 24 % berada dalam kondisi baik, 29 % dalam kondisi sedang
terumbu karang dikatakan buruk apabila mempunyai karang hidup sebesar 0 – 24,9
tutupan karang hidup 50 – 74,9 % dan dikatakan sangat bagus apabila mempunyai
oleh proses-proses alam terbagi atas dua bagian, yaitu kerusakan yang disebabkan
oleh proses-proses fisik (physical processes) dan kerusakan yang disebabkan oleh
Terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan kaya akan makanan.
Struktur fisiknya yang rumit, membuat ekosistem ini merupakan habitat yang
menarik bagi banyak jenis biota laut. Oleh sebab itu penghuni terumbu karang
dan Juwana 2001). Biota-biota laut penghuni terumbu karang secara alami dapat
secara biologis dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu perumputan (grazing),
Perumputan (grazing)
echinoids dan berbagai jenis ikan terumbu. Mereka merumput (graze) substrat-
substrat karang hidup atau mati, hamparan algae koralin, algae berjumbal (tufted)
kehilangan CaCO3. Pada proses perumputan, material digores atau dilubangi dari
permukaan matriks terumbu atau dari karang hidup dan diubah menjadi sedimen
(Choat 1991).
Penggoresan (etching)
substrat karang yang keras (Golubic dkk. 1975 dalam Hutchings 1986).
Pengeboran (boring)
karang yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, diantaranya adalah seperti kegiatan
antara lain: (1) penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan
dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) penangkapan yang
dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu (Westmacott et al. 2000; Coremap,
oleh manusia akan lebih bersifat kronis, tidak bersifat sementara seperti halnya
karang secara besar-besaran, sebagai akibat dari perairan yang memanas yang
dapat membuat karang lemah atau mati, telah terjadi di setiap kawasan
terumbu karang. Ini semakin sering terjadi ketika suhu yang agak tinggi
berulang.
kerangka karang.
terumbu karang yang terancam diprakirakan akan naik menjadi lebih dari 90% pada
tahun 2030 dan menjadi hampir menimpa semua terumbu karang pada tahun 2050.
Ancaman terhadap terumbu karanag kian hari semakin serius. Oleh karena itu
diperlukan suatu pengelolaan yang baik agar kelestarian terumbu karang tetap
terjaga yang pada akhirnya generasi mendatang untuk dapat juga menikmati
sumberdaya terumbu karang tersebut. Prinsip dasar yang harus dikedepankan dalam
generasi mendatang.
pemerintah daerah, antar daerah dan antar instansi dalam perencanaan dan
Terdapat dua hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam mengelola
pemulihan terhadap terumbu karang yang telah mengalami kerusakan baik akibat
Rencana pemulihan pada terumbu karang yang rusak dapat dilakukan dengan
Zonasi
yang sudah rusak. Pada prinsipnya wilayah pesisir dipetakan untuk kemudian
Pembagian zonasi pesisir dapat berupa zona penangkapan ikan, zona konservasi
dengan zona penyangga karena sulit untuk membatasi zona-zona yang telah
Rehabilitasi
rekruitmen, yaitu membiarkan benih karang yang hidup menempel pada permukaan
benda yang bersih dan halus dengan pori-pori kecil atau liang untuk berlindung;
sebagai pelindung bagi ikan-ikan kecil, meningkatkan migrasi atau menambah stok
III. KESIMPULAN
sejarah terbentuknya terumbu karang berasal dari penurunan lapisan kerak bumi di
dasar samudra akibat letusan gunung berapi) dan fluktuasi paras muka laut akibat
hanya sekitar 5% dari terumbu karang yang ada berada dalam keadaan memuaskan.
Salah satu penyebab kerusakan terumbu karang selain faktor fisik dan
upaya atau pengelolaan yang dapat menyembuhkan kerusakan tersebut serta upaya
memulihkan terumbu karang dapat digolongkan sulit karena memakan biaya yang
tinggi serta menghabiskan waktu yang cukup lama. Upaya pemulihan terumbu
karang dapat dilakukan dengan membuat zonasi dan merehabilitasi terumbu karang
tersebut.
11
DAFTAR PUSTAKA
Burke, L., E. Selig and M. Spalding. 2002. Reef at risk in South East Asia.
www.wri.org/reefatrisk. Dikunjungi tanggal 01 Maret 2018.
Choat, J.H. 1991. The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reefs. Dalam P.F.
Sale, (eds) The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, Inc. USA.
6:120-155.
Cousteau, J. 1975. The Ocean World of Jacques Cousteau: Pharaohs of the Sea
Volume 9. The Danbury Press. USA. 144 Hal.
Fagerstrom, J.A. 1987. The Evolution of Reef Communities. John Wiley & Sons,
Inc. USA. 600 Hal.
Guille, G.. G. Goutiere. J.F. Sornein, D. Buigues. A. Gachon and C. Guy 1996. The
Atolls of Mururoa and Fangataufa (Geology-Petrology-Hydrogeology) : 172
pp.
Kuenen, H. 1960.Marine Geology. John Wiley & Sons. Inc. New York: 423 -453.
Mather. P. and I. Benneit (eds.) 1984. A Coral Reef Handbook. The Australian
Coral Reef Society: 4- 12.
Shepard. F.P. 1973, Submarine Geology. Harper & Row Publisher: 342 - 366.
RINGKASAN
menyatakan bahwa 75% dari seluruh terumbu karang terbentuk pada masa
Pleistosen. Pada saat itu terjadi "tectonic subsidence” (penurunan lapisan kerak
bumi di dasar samudra akibat letusan gunung berapi) dan fluktuasi paras muka laut
akibat terjadinya perubahan massa es mulai jaman Pleistosen hingga perioda resen
berkesinambungan.
Saat ini, keberadaan ekosistem terumbu karang di Indonesia saat ini telah
persentase penutupan karang hidup dalam kondisi rusak dan sedang masing-masing
39,5% dan 33,5%, sedangkan yang menunjukkan kondisi memuaskan dan baik
pemutihan pada karang. Peningkatan kadar CO2 di lautan mengubah kimia lautan
dan menyebabkan air menjadi lebih asam dan berdampak pada pengasaman laut
karang antara lain melakukan rehabilitasi terhadap terumbu karang dan membuat