You are on page 1of 9

1

PEMANFAATAN LIMBAH STYROFOAM UNTUK MEMBRAN


SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL)
Nida Mariam, Indah Dewi Puspitasari, Ali Syari’ati.
Pembimbing: Prof. Dr. I Made Arcana. Institut Teknologi Bandung. 2011

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Styrofoam merupakan trademark dari Dow Chemical Co. untuk


polystyrenea foam. Styrofoam adalah suatu polystyrene yang sudah dipadatkan
dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat biasanya menggunakan
styrofoam sebagai pembungkus makanan, hiasan, pelindung elektronik, dan
lainnya. Salah satu kekurangan dari styrofoam adalah sulitnya bahan tersebut
terurai di alam.
Selain sulit terurai di alam, limbah styrofoam memiliki masalah apabila
penanggulangannya kurang tepat. Apabila pengolahan limbah styrofoam
dilakukan dengan cara dibakar maka akan berakibat buruk bagi kesehatan dan
apabila dibuang ke laut secara langsung akan merusak kehidupan ekosistem laut.
Penelitian sebelumnya telah memanfaatkan limbah styrofoam untuk hiasan daur
ulang, batako (Wancik, 2008), dan koagulan polinzer. Namun, upaya pemanfaatan
limbah tersebut masih memerlukan energi yang cukup tinggi. Hal ini karena
polystyrene sebagai penyusun styrofoam memiliki titik leleh 240 oC.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih baik dan efisien dalam
penanggulangan. Cara yang diajukan untuk mengurangi limbah styrofoam adalah
dengan memanfaatkan styrofoam sebagai membran penukar proton untuk
keperluan membran fuel cell. Fuel cell merupakan salah satu solusi energi massa
depan selain bahan bakar nabati. Sebagai sistem pembangkit listrik, fuel cell
menghasilkan energi yang diperoleh dari reaksi kimia antara gas hidrogen dari air
dengan oksigen di udara. Penggunaan fuel cell dalam skala luas akan memangkas
konsumsi bahan bakar minyak. Dengan adanya pemanfaatan limbah styrofoam
tersebut, diharapkan dapat menciptakan lingkungan lebih bersih dan dapat
menjadi bahan untuk energi alternatif baru.

Tujuan

1. Mencari informasi terkini tentang penelitian dan pengembangan pemanfaatan


limbah styrofoam di Indonesia.
2. Mencari informasi terkini mengenai penelitian dan pengembangan sel bahan
bakar (fuel cell) di dunia.
3. Mengidentifikasi potensi pemanfaatan limbah styrofoam di Indonesia.
4. Mencari alternatif pengembangan dan pemanfaatan limbah styrofoam untuk
membran sel bahan bakar (Fuel Cell).
2

Metode

1. Studi literatur melalui buku dan diktat kuliah.


2. Pencarian data informasi melalui media internet.
3. Wawancara dengan dosen bidang terkait.
4. Observasi lapangan mengenai membran dan limbah stryrofoam.

URAIAN GAGASAN

Tentang Styrofoam

Styrofoam berasal dari kata stiren (zat kimia bahan dasar), dan foam
(busa/buih). Styrofoam adalah polimer turunan plastik. Styrofoam dibuat dari
monomer stirena yang dipolimerisasi suspensi pada suhu dan tekanan tertentu.
Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan styrofoam ini terdiri dari 90-95%
polystyrene dan 5-10% gas n-butana.
Polystyrene bersifat sangat amorphous dan tembus cahaya, mempunyai
indeks refraksi tinggi, sukar ditembus oleh gas kecuali uap air. Dapat larut dalam
alkohol rantai panjang, kitin, dan ester hidrokarbon yang mengikat khlorin.
Polimer ini mudah rapuh sehingga banyak dikopolimerisasikan dengan batu diena
atau akrilonitril.
Cara pembuatan styrofoam dimulai dengan pembentukan polystyrene dari
styrene (monomer) kemudian dihembuskan udara ke dalam polystyrene dengan
menggunakan CFC (Cloro Fluro Carbon) sebagai blowing agent. Sifat stiren dapat
larut dalam panas, lemak, alkohol/aseton, toluene, dan susu. Oleh karena itu,
styrofoam tidak baik untuk pengemas makanan karena zat stiren (bersifat
neurotoksik (menyerang syaraf)) dapat mengkontaminasi tubuh.

Limbah Styrofoam

Penggunaan styrofoam ternyata memiliki dampak yang tidak baik terhadap


lingkungan. Pengunaan styrofoam yang berlebih akan menghasilkan limbah yang
bertumpuk. Styrofoam merupakan limbah yang sulit terurai secara alamiah karena
perlu waktu yang sangat lama, hampir seribu tahun lamanya. Selain itu, styrofoam
bukan hanya mencemari lingkungan darat saja. Apabila terbawa ke laut,
styrofoam pun dapat merusak ekosistem dan biota laut. Disamping itu, styrofoam
merupakan salah satu peyebab banjir, styrofoam yang tersangkut tersebut menjadi
pemicu sampah lain ikut tersangkut pula. Akibatnya, sampah akan menumpuk dan
menutup aliran air sehingga apabila musim hujan datang, dan debit air cukup
besar, maka kemungkinan besar untuk banjir di atas 50%. Data dari EPA
(Environmental Protection Agency) menyebutkan bahwa styrofoam ini adalah
limbah berbahaya terbesar ke-5 di dunia.
Beberapa perusahaan memang mendaur ulang styrofoam. Namun
sebenarnya, yang dilakukan hanya menghancurkan styrofoam lama,
3

membentuknya menjadi styrofoam baru dan menggunakannya kembali. Selain itu,


pengolahan styrofoam dapat dilakukan dengan menjadikannya sebagai salah satu
bahan pembuatan batako, yaitu dengan mencampurkan styrofoam dengan semen
(Wancik, 2008). Namun, pengolahan tersebut belum mendayagunakan limbah
styrofoam secara signifikan. Selain itu, proses-proses tersebut memerlukan energi
yang cukup tinggi pula. Oleh karena itu, diperlukan usaha pemanfaatan limbah
yang memiliki manfaat besar dan dapat mengefisiensikan energi.

Pemanfaatan Limbah Styrofoam sebagai Membran Sel Bahan Bakar

Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

Pada dekade mendatang sektor energi akan menghadapi kompleksitas


masalah yang saling terkait antara tantangan perekonomian, geopolitik, teknologi
dan lingkungan. Pertambahan penduduk yang terus meningkat di negara-negara
berkembang memerlukan pasokan energi yang cukup besar.

Gambar 1. Permintaan Energi per Sektor

Pada saat ini, 85 persen dari produk komersial energi masih berbasis bahan bakar
fosil.

Panas Tenaga Air


Bumi 4%
Batu Bara 2%
18%

Minyak
Bumi
Gas Bumi 54%
22%

Gambar 2. Komposisi Konsumsi Energi di Indonesia


4

Meskipun peranannya cukup penting, namun pengaruhnya akan diambil


alih oleh sumber-sumber energi baru dan terbarukan. Oleh karena itu, diperlukan
suatu proses pemanfaatan energi baru lain, salah satunya sel bahan bakar (Fuel
Cell).
Teknologi sel bahan bakar (Fuel Cell) telah berkembang secara cepat
dalam beberapa tahun belakangan ini. Teknologi sel bahan bakar bersifat dasar,
yang memanfaatkan suatu proses elektrokimia yang menggabungkan hidrogen
dan oksigen untuk menghasilkan energi listrik.

Gambar 3. Skema Fuel Cell

Saat ini, ada tiga jenis sel bahan bakar (Fuel Cell) yang sedang giat-
giatnya dikembangkan, yaitu Phosporic Acid Fuel Cell (PAFC), Molten-
Carbonate Fuel Cell (MCFC), dan Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Pada umumnya
beberapa keuntungan potensial dapat diperoleh apabila sel bahan bakar (Fuel
Cell) dipergunakan sebagai sistem pembangkit, diantaranya mempunyai efisiensi
yang tinggi sekitar 40-60 %, sistem pembangkit ini berwawasan lingkungan,
memiliki potensi cogeneration (plant efficiency sebesar 80 %), dapat ditempatkan
secara fleksibel (penempatan langsung pada tempat yang diinginkan tanpa
perantara transmisi), penggunaannya luas (dari mulai skala kecil hingga skala
yang sangat besar), dan inovasi yang digagas adalah membuat membran fuel cell
dari limbah styrofoam.

Membran Fuel Cell Penukar Proton

Membran fuel cell penukar proton, yang lebih dikenal dengan polimer
elektrolit membran, merupakan tipe fuel cell yang diciptakan untuk aplikasi
transpor dan fuel cell statis serta fuel cell portabel. Membran penukar proton dapat
mengubah energi kimia (dilepaskannya hidrogen dan oksigen selama reaksi
elektrokimia) menjadi energi listrik.
5

Gambar 4. PEM Fuel Cell


Sebelum membran penukar ion (PEM) ditemukan, terdapat fuel cell yang
hanya dapat diaplikasikan pada kondisi ekstrim, yaitu solid oksida fuel cell.
Namun fuel cell tersebut membutuhkan material yang mahal dan ukurannya
terlalu besar. Beberapa tahun kemudian, PEM yang berbahan polystyrene
tersulfonasi (PSS) ditemukan. Namun PSS memiliki kelemahan tersendiri, yaitu
dibutuhkannya tingkat derajat sulfonasi yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
penggembungan membran dan berkurangnya stabilitas dimensi. Disinilah penulis
melihat adanya peluang untuk menciptakan suatu PSS yang berasal dari limbah
styrofoam dan mengatasi kelemahannya.

Upaya Untuk Mengatasi Kelemahan PSS

Untuk mengatasi kelemahan PSS, PSS dapat dipolyblend dengan polimer


tertentu atau crosslink dengan senyawa lain. Polyblend merupakan pencampuran
dua polimer untuk menghasilkan sifat yang diinginkan. Sementara crosslink
(ikatan silang) adalah penggabungan rantai polimer satu dengan yang lain atau
sesama jenis melalui ikatan silang. Crosslink merupakan cara umum dan efektif
untuk meningkatkan properti mekanik, mengurangi penggembungan dan
meningkatkan durabilitas membran.
Telah banyak penelitian mengenai crosslink PS (Polystyrene), salah
satunya penelitian mengenai PS dan DVB. Divinil benzen merupakan senyawa
yang memiliki dua gugus vinil (-HC=CH2). Sementara styrene, monomer
polystyrene, hanya memiliki satu gugus vinil. Aktivasi gugus vinil pada DVB dan
styrene menyebabkan adanya crosslink. PS yang telah tercrosslink inilah yang
direaksikan dengan gugus sulfonat kemudian menghasilkan membran penukar
proton. Crosslink ini dapat terjadi jika bahan baku yang digunakan adalah styrene,
crosslink tidak dapat terjadi jika DVB direaksikan dengan PSS. Selain DVB,
terdapat senyawa lain yang dapat membantu terjadinya ikatan silang. Senyawa
tersebut adalah SiO2 dan PPMA (phosporous pentaoxide methasulfonic acid) .
6

PSS yang Berikatan Silang Dengan PPMA

PSS yang dicrosslink dengan PPMA merupakan hal yang baru dicoba oleh
peneliti Cina (Jing Xu, 2009). Dalam jurnal, “A New Crosslinked Sulfonated
Polystyrene For Proton Exchange Fuel Cell’, crosslink PPMA belum tentu
menaikkan tingkat konduktivitas pada membran. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian mengenai seberapa banyak PPMA yang di-crosslink dan berapa waktu
efektif crosslink tersebut. Berikut variasi waktu crosslink PPMA dan PSS yang
telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Gambar 5. Variasi waktu crosslink PPMA dan PSS

Tabel 1. Hubungan waktu crosslink dengan kualitas PSS membran

Semakin banyak gugus sulfonic yang tertempel pada rantai polimer maka
hidrofolitas akan meningkat dan menyebabkan penggembungan. Dari tabel diatas
diketahui bahwa, semakin lama waktu crosslink, IEC (kapasitas penukaran ion)
dari PSS membran semakin menurun. Hal ini dikarenakan gugus sulfonic
termakan saat crosslink berlangsung. Walaupun crosslink PPMA menurunkan
konduktivitas ion, tetapi sifat fisik dari membran seperti penggembungan dan
penyerapan air dapat berkurang. Selain itu, crosslink ini juga meningkatkan
stabilitas termal dari membran.
7

Gambar 6. Hubungan waktu crosslink dengan Stabilitas Termal

Gagasan yang diusulkan adalah polystyrene yang digunakan berasal dari


limbah styrofoam. Polystyrene tersebut disulfonasi menjadi PSS dan akhirnya
membran PSS di-crosslink dengan PPMA. Kemudian, membran yang diperoleh
akan diuji kualitasnya dan dibandingkan dengan membran yang berasal dari jurnal
penelitian sebelumnya. Kualitas dan perbandingan membran dapat dilihat dari
karakterisasinya. Selain itu, dalam pula dilakukan beberapa modifikasi untuk
menaikkan nilai IEC dan konduktivitas.

Pembuatan Limbah Styrofoam sebagai Membran Sel Bahan Bakar

Isolasi Polystyrene

Sejumlah styrofoam dilarutkan dalam kloroform. Polystyrene yang terlarut


dalam kloroform disaring kemudian dipanaskan sampai setengah volume.
Setengah volume polystyrene tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah dan
diteteskan metanol. Polystyrene yang larut dalam kloroform tersebut dipanaskan
sehingga metanol dapat menguap dan yang tersisa hanyalah polystyrene.

Proses sulfonasi polystyrene

Polystyrene dilarutkan terlebih dahulu kedalam kloroform, dimana


sebelumnya asetil sulfat telah dibuat. Proses sulfonasi ini harus berjalan dalam
keadaan inert sehingga perlu dialirkan gas N2 dalam keadaan vakum. Reaksi ini
berlangsung pada suhu 50oC selama 24 jam. Endapan yang didapat disaring
kemudian dicuci dengan heksana sampai mencapai pH 6-7. Padatan yang telah
disaring dibiarkan pada ruang vakum selama 12 jam pada suhu 50oC.
8

Persiapan membran dan Crosslink

Membran kering PSS dicelupkan kedalam PPMA 1:10 (w:w) dalam


jangka waktu tertentu. PSS crosslink dicuci dengan air bebas ion sampai mencapai
pH 7. Dibiarkan selama 24 jam pada keadaan vakum untuk menghilangkan air
pada membran.

Karakterisasi Membran

Sejumlah gram sampel dari PSS dipersiapkan untuk karakterisasi dengan


menggunakan FTIR, sedangkan hasil membran PSS yang di-crosslink PPMA
dikarakterisasi sifat termal, sifat mekanik, dan hantarannya.

Implementasi

Dalam penelitian ini, pemanfaatan limbah styrofoam dilakukan dengan


cara yang ramah lingkungan. Beda halnya dengan penanggulangan styrofoam saat
ini yaitu melalui pembakaran yang dapat menyebabkan meningkatnya emisi CO2
di udara. Disamping itu, penelitian ini pun menghasilkan suatu tujuan yaitu
dihasilkannya energi alternatif. Penelitian ini sangat prospektif untuk terus
dikembangkan. Semua pihak dapat turut berperan dalam kemajuan penelitian ini,
seperti perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga sosial, dosen, peneliti, bahkan
mahasiswa atau pelajar pun dapat turut mengembangkan penelitian ini. Berikut
skema prosedur pengolahan limbah hingga menghasilkan energi:

Lilmbah Styrofoam Proses Sulfonasi Membran dan crosslink

Produk Sel Bahan Bakar

Gambar 7. Skema Prosedur Pengolahan Limbah Styrofoam


9

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Limbah styrofoam merupakan salah satu masalah bagi lingkungan. Hal ini
dikarenakan susah terurainya limbah styrofoam tersebut di alam. Pengelolaan
limbah styrofoam dengan cara dibakar atau dibuang begitu saja memberikan
dampak yang buruk bagi lingkungan. Saat ini, pemanfaatan limbah styrofoam
masih memerlukan energi tinggi dan kurang bernilai ekonomi. Karya tulis ini
menyajikan gagasan lain, yakni pemanfaatan limbah styrofoam sebagai membran
yang digunakan untuk fuel cell. Limbah styrofoam dilakukan proses sulfonasi
kemudian dimodifikasi menjadi membran penukar proton yang nantinya dapat
digunakan sebagai sel bahan bakar (fuel cell). Mengingat krisis energi yang
sedang marak dewasa ini, penelitian ini dapat terus dikembangkan sehingga dapat
menjadi alternatif energi selain energi yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil.

Saran

Beberapa hal yang penulis sarankan adalah pengembangan yang lebih luas
dari penelitian ini, mengingat manfaatnya yang begitu luas dan berdampak besar.
Selain itu, dengan pemanfaatan energi alternatif baru diharapkan dapat mencukupi
kebutuhan energi nasional tanpa terfokus pada bahan bakar fosil saja. Selain itu,
perlu adanya sosialisasi dan pemberian wawasan bagi masyarakat luas sehingga
upaya-upaya untuk pemanfaatan energi alternatif yang ramah lingkungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih baik serta menumbuhkan kesadaran
masyarakat akan manfaatnya.

You might also like