You are on page 1of 10

Definisi

Status epileptikus menurut International league against epilepsy (ILAE) adalah kejang yang
berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang. Batasan waktunya adalah selama 30menit atau lebih.

Patofisiologi

Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan neuron
yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi
neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan
neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal.
Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin,
norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid.
Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric
Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal
ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan
membran neuron .

Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal
Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+
banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau
yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi
sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi
menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf.
Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA
(alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-
methil D-aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+
dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat
(antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor
glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini
adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang
teraktivasi. Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan
instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.

Etiologi

Tabel II. Etiologi Kejang Berdasarkan Kelompok Umur Pediatrik


Penyebab Terjadinya Kejang Berdasarkan Umur
Neonatus Hipoksia dan iskemia pada perinatal
(<1 bulan) Trauma dan hemoragi intrakranial
Infeksi akut pada SSP
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesia, defisiensi piridoksin)
Gejala putus obat
Gangguan perkembangan
Penyakit genetik
Bayi dan Kejang karena demam
Anak-anak Penyakit genetik
(>1 bulan, Infeksi SSP
<12 tahun) Gangguan perkembangan
Trauma
Idiopatik
Remaja Gangguan perkembangan
(12-18 tahun) Infeksi
Tumor otak
Penggunaan obat terlarang
Trauma
Idiopatik
Faktor resiko

Klasifikasi
Kriteria diagnosis

- Terdapat minimal 2 bangkitan atau lebih


- Tipe bangkitan tipikal
- Tidak terdapat provokasi

Terapi

Indikasi terapi OAE

1. OAE diberikan setelah diagnosis epilepsi ditegakkan, minimal 2x bangkitan dalam 1 tahun.
2. Ditemukan lesi organik
3. Jika serangan pertama merupakan status epileptikus

Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2007
merekomendasikan untuk memulai memberikan OAE setelah kejang pertama pada keadaan
sebagai berikut :
a. Kejang parsial dan kejang umum tonik klonik, termasuk kejang berulang dalam 1 hari
dan status epileptikus.
b. Kejang berikut biasanya datang dengan keluhan sering kejang, seperti absence,
mioklonik, atau atonik.
c. Kejang yang memerlukan penanganan khusus, seperti kejang neonatus.

Pedoman pemilihan OAE dapat dilihat pada Tabel III dan IV berikut:

Tabel III. Pemilihan OAE Berdasarkan Jenis Epilepsi


Jenis Kejang Lini Pertama Lini Kedua
Karbamazepin, Lamotrigin,
Parsial sederhana
Fenitoin Gabapentin
Karbamazepin, Lamotrigin,
Parsial kompleks
Fenitoin Gabapentin
Karbamazepin,
Tonik-klonik
Fenitoin, Fenobarbital
(grand mal)
Asam Valproat
Etosuksimid, Klonazepam,
Absence
Asam Valproat Acetazolamide
Fenitoin, Primidone,
Mixed seizure Fenobarbital+Etosuksimid Karbamazepin+Klonazepam,
Atau Asam Valproat Acetazolamide
Mioklonik, Fenobarbital,
atonik, Klonazepam Benzodiazepin,
infantile spasms Acetazolamide
(Gidal dan Garnett, 2005)

Tabel IV. Pemilihan OAE yang Disarankan ILAE untuk Pasien Pediatrik
General
Tipe Kejang Parsial
Absense Tonik-klonik
Lini pertama - - Oxcarbazepine
Carbamazepin, Carbamazepin,
Ethosuximide, Fenobarbital, Fenobarbital,
Alternatif Lamotrigin, Fenitoin, Fenitoin,
Asam Valproat Topiramat, Topiramat,
Asam Valproat Valproat
(Wells, 2009)

Penggolongan obat antiepilepsi

(1) Hidantoin

Fenitoin

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan
pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf.

Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang, dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap
6 jam.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP,
sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda),
disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin
terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga
mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia

(2) Barbiturat

Fenobarbital

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik .

Mekanisme aksi fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan


Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap
reseptor GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor
GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga
menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition.

Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg
1kali sehari.

Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek
samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi.
Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital
juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome.

(3) Deoksibarbiturat

Primidon

Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik.

Mekanisme aksi Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori . Efek anti
kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh
primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA).
PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal.

Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah
pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan
impotensi.
(4) Iminostilben

(a) Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin


digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik.

Mekanisme aksi Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk


(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial
aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.

Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12
tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan
pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan
penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat
berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan usia.

(b) Okskarbazepin

Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug


yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-
monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk
pengobatan kejang parsial.

Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin.

Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari
sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari.

Efek samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare,
konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki
efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin.
Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.

(5) Suksimid

Etosuksimid

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari
beberapa obat antiepilepsi.
Mekanisme aksi Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam
pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens,
sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens.
Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari
untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan
dewasa 500 mg/hari.

Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan
etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan,
goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

(6) Asam valproat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik.

Mekanisme aksi Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi
nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon
GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal
kalium.

Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11).

Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual,
muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin
ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam
valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari
penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme
yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi
tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.

Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan
dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan.
Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan
karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme
valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5%
saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.

(7) Benzodiazepin

Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang.

Mekanisme aksi Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor


benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA.
Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg,
anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari.

Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas,
kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.

(8) Obat antiepilepsi lain

(a) Gabapentin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun
kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji double-blind dengan
kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa
penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada
plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27%
dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin
(900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi
karbamazepin (600 mg/hari).

Mekanisme aksi Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui


mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks
saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe
T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-
menerus.

Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-
35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan
ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa
pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan.

(b) Lamotrigin

Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki
efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat
metabolisme obat anti epilepsi lain.

Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+
serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat.

Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada
pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri.

Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda),
sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan
kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson
syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.

(c) Levetirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-
pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens,
kejang mioklonik, kejang tonik-klonik.

Mekanisme aksi levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada
suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N dan
mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori (atau meningkatkan
inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik belum diketahui.

Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari.

Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP.
Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam.

(d) Topiramat

Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik,
dan kejang tonik-klonik.

Mekanisme aksi Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+),
meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan
menghambat karbonat anhidrase yang lemah.

Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari.

Efek samping utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit
berkonsentrasi, sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau
abnormal). Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan
penurunan berat badan.

(e) Tiagabin

Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak ≥16 tahun.

Mekanisme aksi Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA, antagonis neuron atau


menghambat reuptake GABA .

Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari.


Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan
energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi. Penggunaan tiagabin bersamaan dengan
makanan dapat mengurangi efek samping SSP.

(f) Felbamat

Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan
bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia
aplastik.

Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA.
Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari.

Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia,
mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan
penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori
yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang
mempunyai riwayat penyakit cytopenia.

(g) Zonisamid

Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid yang digunakan sebagai terapi tambahan
kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa.

Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe T.

Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari.

Efek samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual,
dan agitasi. Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal.

Prognosis

You might also like