You are on page 1of 13

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN

IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK

Livestock and Meat Trade: Import Policy Reconciliation and Domestic


Marketing Revitalization

I Wayan Rusastra

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A.Yani No. 70, Bogor 16161
E-mail: wrusastra@yahoo.com

Naskah diterima: 26 Maret 2014; direvisi: 23 Mei 2014; disetujui terbit: 2 Juni 2014

ABSTRACT

For the last decade, average national consumption of beef increases by 4.5 percent/year, with a high trend of
import i.e. 21.6 percent/year compared to that of domestic beef production rate of 2.6 percent/year. Development
of beef cattle need long-term investment, therefore disincentive of import policy will give substantial impact,
psychologically and economically, to the farmers. The objective of this paper is to formulate the harmonization of
import policy and domestic marketing in order to support the development and sustainability of beef cattle
agribusiness. In the context of the Food Law No.18/2012, the import policy of feeder cattle and beef cattle is the
last resort policy and should be conducted with the principle of cautiously. Coordination and consolidation
between the logistic institution (Bulog) and the importer association is needed in relation to implementation of
price stabilization policy effectively and efficiently. The implementation of import policy based on price reference
have to be conducted in conjunction with the powerful logistic system development. The respective policy should
be complemented with the enhancement of domestic marketing efficiency for the benefits of increasing beef cattle
population, beef production, and the welfare of the farmers. Policy direction of livestock and beef cattle domestic
marketing is to maintain meat consumption diversification, deregulation of retribution and marketing system,
enhancement of the institutional and bargaining position of the farmers, as well as gradual reducing of beef cattle
inter-regional trade quota complemented with production development policy of beef cattle farming.

Keywords: beef cattle trade, import policy, domestic marketing, policy reconciliation

ABSTRAK

Dalam satu dasa warsa terakhir ini, rataan konsumsi nasional daging sapi meningkat dengan laju 4,5
persen/tahun, tetapi dengan laju impor yang tinggi yaitu 21,6 persen/tahun vs laju peningkatan produksi domestik
hanya 2,6 persen/tahun. Pengembangan sapi potong membutuhkan investasi jangka panjang, sehingga
disinsentif kebijakan impor akan memiliki konsekuensi psikologis dan ekonomi yang besar bagi peternak. Tujuan
tulisan ini adalah merumuskan harmonisasi kebijakan impor dan pemasaran domestik untuk mendukung
pengembangan dan keberlanjutan agribisnis sapi potong. Dalam konteks UU Pangan No.18 Tahun 2012
kebijakan impor ternak dan daging sapi adalah pilihan terakhir dan harus dilakukan dengan prinsip penuh kehati-
hatian. Dibutuhkan koordinasi dan konsolidasi antar institusi parastatal (Bulog) dan asosiasi importir dalam
eksekusi kebijakan stabilisasi harga secara efektif dan efisien. Kebijakan impor berbasis harga referensi harus
dalam satu paket kebijakan dengan kebijakan pengembangan sistem logistik yang handal dan perbaikan efisiensi
pemasaran domestik, sehingga memberikan insentif yang memadai bagi peningkatan populasi, produksi, dan
kesejahteraan peternak. Arah kebijakan pemasaran ternak dan daging sapi domestik adalah menjaga
diversifikasi konsumsi daging, deregulasi sistem retribusi dan tataniaga, penguatan kelembagaan dan posisi
tawar peternak, dan pelaksanaan penghapusan kuota perdagangan sapi antar pulau secara terpadu dengan
penguatan kebijakan pengembangan produksi usaha ternak sapi potong.

Kata kunci: perdagangan ternak sapi, kebijakan impor, pemasaran domestik, rekonsiliasi kebijakan

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK I Wayan
Rusastra

59
PENDAHULUAN mengalami kompleksitas kebijakan pengem-
bangan yang relatif besar (Yusdja dan Ilham,
2004), sebagai berikut: (a) restrukturisasi spa-
Pilihan kebijakan pengembangan ekonomi sial pengembangan sapi potong dengan fokus
daging sapi nasional adalah strategi substitusi daerah sentra produksi dengan sasaran pe-
impor (inward-looking strategy) dengan sa- ningkatan efisiensi dan dayasaing; (b) revitali-
saran mencegah ketergantungan impor yang sasi infrastruktur fisik dan kelembagaan pema-
tinggi melalui pengembangan sumber-sumber saran dengan sasaran percepatan pertumbu-
produksi dan penawaran dalam negeri. Opsi han populasi; (c) pemantapan pola pengem-
strategi ini dilandasi pemikiran bahwa pertum- bangan spesifik lokasi sejalan dengan potensi
buhan ekonomi dapat dicapai dengan pengem- sumber daya dan kelembagaan pengemba-
bangan industri domestik yang memproduksi ngan; (d) penyatuan aktivitas agribisnis dan
komoditas pangan pengganti produk impor agroindustri sapi potong dengan sasaran pe-
(Todaro and Smith, 2009). Menurut Kusriatmi ningkatan dayasaing terhadap produk impor;
(2013) beberapa motif yang mendorong pene- dan (e) rekonsiliasi dan harmonisasi kebijakan
rapan strategi substitusi impor dalam pengem- daerah dan pusat dengan menekan semak-
bangan ternak/daging sapi potong adalah simal mungkin ekonomi biaya tinggi.
ketersediaan sumber daya alam dan faktor
produksi, potensi permintaan yang tinggi, dan Usahaternak sapi potong di beberapa
penciptaan lapangan kerja di dalam negeri. daerah sentra produksi memiliki keunggulan
komparatif, namun tetap membutuhkan upaya
Pemerintah telah mencanangkan pro- keras untuk meningkatkan keunggulan kompe-
gram swasembada daging sapi dengan sasa- titifnya melalui upaya perbaikan kapasitas pro-
ran untuk memenuhi kebutuhan daging sapi duksi, pengembangan teknologi, dan pening-
dalam negeri secara mandiri dengan menggu- katan produktivitas dan efisiensi usaha
lirkan Program Swasembada Daging Sapi dan (Adnyana dalam Ilham dan Rusastra, 2010).
Kerbau Tahun 2014 (PSDSK 2014). Program Patut disadari bahwa dalam konteks globalisa-
pengembangan sapi potong ini mencakup lima si ekonomi, dibutuhkan sinergi dan integrasi
kegiatan pokok (Ditjen Peternakan, 2011) yang peran pemerintah dalam pemanfaatan kapasi-
dalam derajat tertentu akan bersinggungan de- tas dan potensi keunggulan komperatif dan
ngan rekonsiliasi kebijakan impor dan revitali- tindakan masyarakat (swasta) untuk mencapai
sasi pemasaran ternak sapi di dalam negeri. keunggulan kompetitif dengan sasaran meng-
Kelima kegiatan pokok tersebut adalah: (a) hasilkan produk peternakan sapi potong yang
penyediaan bakalan/daging sapi lokal; (b) pe- berdayasaing tinggi (Yusdja dan Ilham, 2004).
ningkatan produktivitas dan reproduktivitas ter- Pemerintah tetap berkewajiban membangun
nak sapi lokal; (c) pencegahan pemotongan
optimalisasi kerjasama antara swasta dan
sapi betina produktif; (d) penyediaan bibit sapi
peternak dalam membangun model pengem-
lokal; dan (e) pengaturan stok daging sapi
bangan agribisnis sapi potong yang memberi-
dalam negeri yang juga mencakup stok sapi
kan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
bakalan, distribusi, dan pemasaran sapi dan
pengembangan usaha peternakan rakyat.
daging.
Pengembangan agribisnis sapi potong
Rekonsiliasi atau sinergi kebijakan
yang mampu meningkatkan produksi, penda-
impor dan revitalisasi pemasaran domestik di-
patan, dan pengembangan usahaternak seca-
harapkan akan mampu memantapkan penca-
ra berkelanjutan membutuhkan kebijakan per-
paian PSDSK 2014. Reorientasi kebijakan im-
dagangan yang kondusif. Kebijakan perdaga-
por yang perlu dilakukan adalah terkait dengan
ngan (impor ternak sapi bakalan dan daging
pemantapan dayasaing usahaternak sapi,
sapi) yang tidak sejalan dengan upaya mem-
struktur pasar dan pembentukan harga daging
berikan insentif yang memadai dan berkesi-
sapi, dan efisiensi pemasaran sapi lokal vs
nambungan kepada peternak akan berdampak
sapi impor. Revitalisasi pemasaran yang patut
negatif terhadap upaya peningkatan produksi
dipertimbangkan adalah kebijakan kuota per-
dan pencapaian swasembada daging sapi.
dagangan sapi antarpulau dan kebijakan
Pengembangan sapi potong membutuhkan
pemasaran ternak dan daging sapi domestik.
investasi jangka panjang, sehingga disinsentif
Memasuki dekade pertama abad ke 21, kebijakan perdagangan akan memiliki kons-
pembangunan agribisnis sapi potong nasional kuensi jangka panjang yang sulit untuk

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 59 – 71

60
dipulihkan kembali karena beban psikologi dan daya alam dan sumber daya pangan yang be-
ekonomi yang besar bagi peternak. ragam, sehingga diyakini mampu memenuhi
Dalam konteks perumusan kebijakan kebutuhan pangan secara berdaulat dan
pengembangan agribisnis sapi potong dibutuh- mandiri. Kedaulatan pangan dimaknai sebagai
kan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan hak negara dan bangsa secara mandiri dalam
impor yang kondusif dengan penguatan perda- menentukan kebijakan pangannya sendiri,
gangan dan pemasaran domestik menjadi menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya,
sangat penting dalam memantapkan pengem- dan memberikan hak bagi rakyatnya untuk
bangan dan keberlanjutan agribisnis sapi po- menentukan sistem pangan yang sesuai
tong nasional. Tujuan dari penulisan makalah dengan potensi sumber daya lokal. Sementara
ini adalah menganalisis kinerja dan perspektif itu, kemandirian pangan didedikasikan untuk
perdagangan dalam konteks ketahanan pa- memproduksi pangan yang beraneka ragam
ngan dan perdagangan bebas, kebijakan dari dalam negeri, kemampuan pemenuhan
impor ternak dan daging sapi, kebijakan kuota kebutuhan pangan rumah tangga dan perse-
perdagangan sapi antarpulau, dan pemasaran orangan, dan pemanfaatan sumber daya alam,
domestik ternak dan daging sapi. pangan, dan kearifan lokal secara ber-
martabat.
Indonesia sebagai negara besar de-
PERDAGANGAN DALAM KONTEKS ngan kapasitas produksi dan pasar pangan
KETAHANAN PANGAN domestik yang sangat besar wajib memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi secara berdaulat
Pembangunan ketahanan pangan pada hake- dan mandiri melalui peningkatan produksi
katnya merujuk pada pencanangan Revitali- domestik yang berdayasaing. Pengembangan
sasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan produksi dan dayasaing sangat ditentukan
(RPPK) oleh Presiden RI pada 11 Juni 2005 di oleh kebijakan perdagangan yang mampu
Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat memberikan insentif terhadap peningkatan
(Basuki, 2010), dengan tujuan: (a) mem- produksi pangan dan kesejahteraan petani/
bangun ketahanan pangan dengan mengopti- peternak secara berkelanjutan. Terkait dengan
malkan pemanfaatan meningkatkan kapasitas kebijakan perdagangan, semangat yang ter-
sumber daya pertanian; (b) meningkatkan daya kandung dalam UU No.18 Tahun 2012 tentang
saing, produktivitas, nilai tambah, serta ke- Pangan menyebutkan bahwa ekspor pangan
mandirian produksi dan distribusi; dan (c) me- pokok hanya dapat dilakukan setelah terpe-
lestarikan lingkungan hidup dan memanfaat- nuhinya kebutuhan konsumsi dan pengadaan
kan sumber daya alam secara berkelanjutan. cadangan pangan nasional. Impor pangan
Nampak bahwa RPPK secara tegas meng- pokok hanya dapat dilakukan bila produksi
garisbawahi urgensi kemandirian produksi dan pangan dalam negeri dan cadangan pangan
distribusi melalui optimalisasi pemanfaatan nasional tidak mencukupi, tidak dapat dipro-
sumber daya lokal secara berkelanjutan. Hal duksi di dalam negeri, dan untuk mengatasi
ini sejalan dengan semangat UU No.18 Tahun masalah darurat pangan. Dalam konteks
2012 tentang Pangan yaitu membangun keta- perdagangan pangan, pemerintah tetap ber-
hanan pangan secara mandiri dan berdaulat, peran dominan, di mana ekspor dan impor
dimana kebijakan impor merupakan pilihan pangan merupakan kebijakan pemerintah pu-
terakhir (import at the last resort). sat, pengaturannya oleh Menteri yang menye-
lenggarakan urusan pemerintahan bidang per-
Kerangka pikir dan filosofi kebijakan dagangan, dan secara khusus terkait dengan
pangan yang terkandung dalam UU No.18 pengelolaan cadangan pangan (pusat dan
Tahun 2012 tentang Pangan pada hakekatnya daerah) tidak diserahkan kepada swasta.
mencakup beberapa prinsip dasar (Suryana,
2013), yaitu: (a) pangan merupakan kebutuhan
dasar manusia dan bagian dari hak azasi KETAHANAN PANGAN DALAM KONTEKS
manusia yang dijamin oleh UUD 1945; (b) PERDAGANGAN BEBAS
negara berkewajiban mewujudkan ketersedia-
an, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi
pangan di tingkat nasional, daerah, dan perse- Dalam bahasan ini, ketahanan pangan dalam
orangan; dan (c) Indonesia memiliki sumber- konteks perdagangan bebas, terdapat tiga hal

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK I Wayan
Rusastra

61
yang perlu di bahas (Erwidodo, 2013), yaitu: kebijakan perdagangan dan pengelolaan stok
(a) perlindungan dari banjir impor dan sistem penyangga (Erwidodo, 2013). Perusahaan
perdagangan yang tidak adil, (b) program swasta harus didorong untuk beroperasi di
stabilisasi harga pangan, dan (c) pembelajaran pasar internasional dan pasar domestik. Pene-
dari negara lain. Perlindungan terhadap rapan kombinasi kebijakan ini, dengan sema-
petani/industri/pasar domestik dari banjir impor ngat stok publik tidak seharusnya mengganti-
dan praktek perdagangan yang dinilai tidak kan stok swasta, maka stok penyangga masih
adil dapat dilakukan dengan menerapkan tetap diperlukan tetapi dengan jumlah yang
applied tariff pada tingkat optimum atau yang lebih kecil. Otoritas badan penyangga agar
lebih tinggi, jika diperlukan mendekati atau dapat berfungsi efektif harus didukung dengan
sama dengan tingkat bound tariff. Selama ini, sistem keuangan yang kuat dan manajemen
penetapan applied tariff jauh di bawah bound yang handal.
tariff untuk produk ternak sapi, yaitu untuk sapi
Dalam tataran operasional masih men-
bakalan 3,5 persen vs 40,0 persen; dan untuk
jadi pertanyaan apakah kebijakan stok pe-
daging sapi 5,0 persen vs 50 persen.
nyangga dapat diterapkan untuk mengatasi
Kebijakan lainnya adalah memberlakukan
permasalahan gejolak harga daging sapi yang
trade remidies sesuai aturan WTO seperti anti
terjadi belakangan ini. Dalam jangka panjang
dumping, safeguard, anti subsidy; serta
perlu dipertimbangkan beberapa permasala-
mengeksplor berbagai trade defence instru-
han operasional terkait mekanisme stok pe-
ments dengan tetap mengacu pada prosedur
nyangga dan pencapaian sasaran stabilisasi
dan aturan WTO yang berlaku.
harga (Harianto, 2013) sebagai berikut: (a)
Aturan WTO tidak melarang negara stok penyangga dinilai tepat untuk komoditas
anggota untuk melaksanakan stabilisasi harga dengan karakteristik dapat disimpan dalam
pangan, namun instrumen kebijakan yang waktu lama, biaya penyimpanan rendah, dan
dipergunakan dalam pengelolaan produksi, tidak kamba; (b) kemudahan pengadaan stok
stok, impor, dan ekspor harus sejalan dengan penyangga yang bersumber dari impor, khusus-
aturan WTO. Dalam konteks ini terdapat dua nya pada saat harga komoditas tinggi; (c)
pilihan kebijakan yang dapat dilakukan dengan pembiayaan pengoperasian stok penyangga
deskripsi (Erwidodo, 2013) sebagai berikut: (a) membutuhkan pembiayaan tinggi, sehingga
eksistensi badan penyedia stok penyangga dibutuhkan sistem dan akses pembiayaan
(seperti Bulog), yang difasilitasi dengan akses yang baik; (d) penetapan harga harus mampu
keuangan yang memadai, kapasitas menyim- mengakomodasi kepentingan produsen dan
pan dan menangani stok, dan akses impor; konsumen secara adil dan optimal, sehingga
kebijakan harga dasar dan harga atas harus mampu mendorong perbaikan efisiensi dan
realistik, serta pilihan komoditas juga harus menjamin distribusi pendapatan; (e) penye-
tepat dan rasional agar efektif dan tidak mahal; lenggara stok penyangga, dalam kondisi sur-
dan (b) kebijakan perdagangan tanpa stok plus produksi, dikawatirkan tidak mampu men-
penyangga, dengan deskripsi dan persyaratan jamin stabilisasi harga, sehingga dalam kondisi
yaitu mengizinkan perdagangan sektor swasta seperti ini manajemen ekspor akan lebih
umum; pelaksanaan impor bila terjadi defisit efektif; dan (f) pilihan pengelola stok penyangga
untuk mencegah kenaikan harga; pelaksanaan (pemerintah dan/atau swasta), dengan mem-
ekspor jika terjadi surplus untuk mencegah pertimbangkan sifat komoditas dan tujuan
jatuhnya harga; sektor swasta dapat mela- stabilisasai harga, serta menghindari trade-off
kukan impor, tarif realistik, dan jaringan impor antara stok publik dan yang dikelola swasta.
tersedia. Pilihan kebijakan terakhir ini bisa Mengacu karakteristik komoditas ter-
efektif dan tidak membebani pemerintah, tetapi nak dan daging sapi, kapasitas dan akses
dibutuhkan fasilitasi yang tepat dan optimal swasta dalam perdagangan (impor) ternak/
terkait dengan prakondisi atau persyaratan daging sapi, dan pengalaman panjang Bulog
tersebut diatas. dalam operasional stok publik, maka perlu
Pembelajaran dari negara lain terkait dibangun optimalisasi kerjasama antara Bulog
dengan stabilisasi harga pangan melalui ke- dan swasta. Bulog diharapkan dapat meman-
giatan perdagangan pangan dapat memper- faatkan kapasitas dan pengalaman swasta
timbangkan prinsip dasar agar diperoleh rumu- dalam penanganan impor ternak/daging sapi
san kebijakan yang kondusif yaitu kombinasi dengan sasaran kepentingan produsen dan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 59 – 71

62
konsumen domestik secara berimbang dan (peringkat ke 16) dan Korea Selatan (peringkat
adil. Peran pemerintah dinilai sangat menen- 21), sementara peringkat teratas dalam keta-
tukan dalam perumusan kebijakan impor dan hanan pangan adalah Amerika Serikat. Terda-
perdagangan, disamping revitalisasi peningka- pat sedikitnya lima faktor utama penyebab le-
tan populasi dan produksi di dalam negeri un- mahnya dayasaing global ekonomi Indonesia,
tuk mengamankan investasi dan keberlanjutan yaitu inefiensi birokrasi, kelangkaan infrastruk-
usaha ternak sapi potong skala kecil/mene- tur, instabilitas kebijakan pembangunan, eksis-
ngah yang memegang peran dominan dalam tensi korupsi, dan lemahnya akses terhadap
agribisnis sapi potong (Arifin, 2012; Fauziah, sumber daya permodalan, yang secara total
2013; Rizky, 2013; Rahman, 2013; Rahman, menyumbang sekitar 60,0 persen terhadap
2014). kinerja GCI industri nasional (WEF, dalam
Daryanto, 2009). Kinerja GCI yang lemah
berimbas terhadap kurang mantapnya
KEBIJAKAN IMPOR TERNAK pencapaian GFSI nasional.
DAN DAGING SAPI
Kinerja dayasaing usahaternak sapi
potong nasional menunjukkan adanya variasi
Terdapat tiga aspek yang dibahas terkait antarwilayah, teknologi pengembangan, dan
dengan kebijakan impor ini, yaitu daya saing pola perdagangan. Kisaran nilai DRCR (Do-
ekonomi dan usahaternak sapi, struktur pasar mestic Resource Cost Ratio) adalah antara
dan pembentukan harga daging sapi, dan 0,40-0,85 (Ilham dan Rusastra 2010; Rusastra,
efisiensi pemasaran sapi lokal vs sapi impor. 2011). Pada beberapa daerah sentra produksi
Dari hasil pembahasan ketiga aspek ini akan dayasaingnya relatif tinggi dan stabil, semen-
dapat dirumuskan antisipasi kebijakan impor tara terdapat daerah yang menunjukkan indi-
ke depan. Keberlanjutan pengembangan kasi stagnasi, bahkan penurunan dayasaing.
agribisnis sapi potong tidak dapat sepenuhnya Penurunan dayasaing ini dimungkinkan oleh
diserahkan pada perumusan kebijakan impor adanya kendala diseminasi dan adopsi tekno-
yang dinilai tepat. Pertama dan yang utama logi, hambatan peningkatan produktivitas dan
perlu diupayakan adalah revitalisasi pengem- efisiensi, ketersediaan dan akses permodalan
bangan di dalam negeri, khususnya terkait de- dan sarana produksi, kendala infrastruktur fisik
ngan perbaikan kinerja dan efisiensi pemasa- dan kelembagaan. Penurunan dayasaing akan
ran ternak/daging sapi. Perbaikan struktur dan berimbas terhadap penurunan populasi dan
efisiensi pemasaran memegang peranan pen- produksi, di samping karena faktor keterbata-
ting karena akan menentukan bagian harga san program pengembangan, di mana duku-
yang akan diterima peternak, yang pada akhir- ngan pendanaan terhadap PSDSK (Program
nya akan menentukan tingkat adopsi teknologi, Swasembada Daging Sapi dan Kerbau) yang
produktivitas dan efisiensi, serta pendapatan nilainya hanya 10,0 persen dari total populasi
dan kesejahteraan peternak. (Muladno, 2013). Dalam konteks ini sangat
Pemantapan dayasaing pertanian, ter- dibutuhkan kebijakan impor dan pemasaran
masuk usahaternak sapi potong, tidak dapat yang kondusif untuk mencegah kemerosotan
dilepaskan keterkaitannya dengan kinerja daya- populasi, produksi, dan dayasaing daging sapi
saing industri dan ketahanan pangan nasional di dalam negeri.
pada tataran global. Indeks dayasaing global Struktur pasar dan pembentukan har-
(Global Competitive Index/GCI) industri Indo- ga daging sapi domestik ditentukan oleh struk-
nesia tahun 2012 menempati posisi ke-50 dari tur pasokan dan permintaan (Husodo, 2013).
130 negara, yakni berada di bawah Malaysia Sumber pasokan daging sapi nasional ditentu-
(peringkat 25) dan Thailand yang menempati kan oleh 6,4 juta peternak kecil tradisional, 96
peringkat 38. Indek ketahanan pangan global importir sapi bakalan, dan 67 importir daging
(Global Food Security Index/GFSI) Indonesia sapi. Proporsi pemenuhan kebutuhan daging
pada tahun yang sama (2012) juga menempati sapi domestik bersumber dari produksi daging
posisi marginal, yaitu peringkat ke-64 (nilai lokal (70,0 persen) dan sisanya (30,0 persen)
GFSI 50,0 dari nilai maksimum 100,0) dari 105 dari impor sapi bakalan dan impor daging sapi.
negara (WEF, 2013; EIU, 2013., dalam Disebutkan juga bahwa struktur konsumsi da-
Rusastra, 2014). Posisi Indonesia sebagai ging sapi nasional tahun 2013 dengan total
negara agraris berada jauh di bawah Jepang konsumsi 550 ribu ton didominasi oleh kon-

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK I Wayan
Rusastra

63
sumsi masyarakat langsung dengan proporsi antisipatif kedepan adalah: (a) impor sapi
76,8 persen, kebutuhan industri 14,7 persen, bakalan dengan berat sekitar 250 kg, sehingga
dan pangsa konsumsi konsumen lembaga dimungkinkan untuk mendapatkan nilai tam-
seperti hotel, restoran, dan katering mencapai bah yang maksimal bagi peternak dan pelaku
8,5 persen. usaha penggemukan; (b) impor sapi betina
Komparasi margin pemasaran sapi sehat dan produktif untuk kepentingan jangka
lokal dan sapi impor dinilai penting dalam panjang; (c) impor daging sapi ditekan semak-
perumusan kebijakan antisipatif perdagangan simal mungkin dalam rangka mencegah distor-
ternak dan daging sapi kedepan. Analisis si pasar, yang tidak sejalan dengan upaya
margin pemasaran sapi lokal vs sapi impor peningkatan kesempatan kerja dan produksi
tahun 2013 (Husodo, 2013) menunjukkan bah- daging sapi di dalam negeri; dan (d) kebijakan
wa harga hidup sapi lokal di Jawa adalah impor berbasis referensi harga, agar dikom-
Rp38.000/kg (setara dengan Rp76.000/kg da- plemen dengan sistem logistik yang handal,
ging). Berdasarkan pertimbangan biaya potong dengan sasaran peningkatan dayasaing sapi
dan transportasi sampai di Jakarta Rp14.000/ lokal. Kebijakan impor ini merupakan kebijakan
kg dan harga daging sapi eceran Rp100.000/ temporer yang harus dikomplemen dan didedi-
kg, maka margin keuntungan pemasaran kasikan untuk mendukung konsistensi kebija-
mencapai Rp10.000/kg. Sementara itu, harga kan peningkatan populasi dan produksi jangka
daging impor sampai di Jakarta adalah panjang melalui pengembangan insentif harga
Rp45.000/kg; dan harga sapi bakalan sampai dan usaha bagi peternak dalam negeri.
di Jakarta mencapai Rp28.000/kg berat hidup.
Mengacu pada harga daging sapi eceran KEBIJAKAN KUOTA PERDAGANGAN
Rp100.000/kg, maka importir daging sapi dan SAPI ANTARPULAU
sapi bakalan memperoleh keuntungan yang
sangat besar.
Analisis struktur pasar dan pemben- Pada awalnya kebijakan kuota perdagangan
tukan harga serta komparasi margin pemasa- sapi potong antarpulau di beberapa daerah
ran di atas dapat disimpulkan bahwa penentu sentra produksi seperti Bali dan NTT di-
harga daging sapi adalah harga daging lokal. arahkan untuk mencegah penurunan populasi
Dalam konteks ini perlu ditentukan harga hidup dan produksi lokal. Berdasarkan hasil analisis
sapi ideal dengan mempertimbangkan insentif terkait dengan kebijakan kuota dan dikaitkan
yang memadai bagi peternak, perbaikan efi- dengan semakin terbukanya program dan
siensi pemasaran melalui pengembangan ko- teknologi pengembangan populasi, serta per-
nektivitas dan sistem transportasi ternak yang kembangan segmentasi daerah pemasaran
handal, dan kebijakan tarif impor yang tepat, baru yang lebih prospektif, maka perlu dilaku-
sehingga harga tetap terjangkau konsumen kan reorientasi terhadap kebijakan kuota, na-
dan semua pelaku usaha memperoleh keuntu- mun tetap sejalan dengan upaya revitalisasi
ngan yang layak. produksi dan peningkatan kesejahteraan
peternak.
Sesuai dengan semangat UU No.18
Tahun 2012 tentang Pangan, impor adalah Analisis kinerja kuota perdagangan
pilihan terakhir dan harus dilakukan dengan sapi antarpulau dari Bali dan NTT ke Jakarta
penuh kehati-hatian. Dalam kondisi adanya memberikan petunjuk penting (Sukanata,
penurunan pupulasi sapi dan kerbau dalam 2008; Lole, 2013), sebagai berikut: (a) pena-
dua tahun terakhir ini (2011-2013) sebesar waran sapi tidak responsif terhadap perubahan
15,0 persen dari 14,8 juta ekor (SP 2011) harga di Jakarta, sehingga tidak berdampak
menjadi 12,25 juta ekor (SP 2013), maka positif terhadap peningkatan populasi; (b) inte-
impor merupakan pilihan kebijakan yang tidak grasi pasar dan transmisi harga antara daerah
bisa dihindari. Kelangkaan pasokan dan lonja- konsumen dan produsen relatif rendah, se-
kan harga daging sapi diluar batas kewajaran hingga tidak memberi insentif yang positif ter-
(sekitar Rp100.000/kg), maka kebijakan jang- hadap peningkatan produksi; (c) eksistensi
ka pendek yang ditempuh pemerintah adalah kebijakan kuota yang telah berlangsung relatif
impor ternak dan daging sapi. Beberapa lama, berpengaruh negatif terhadap harga dan
pemikiran dan instrumen kebijakan yang dapat pendapatan peternak di daerah produsen; dan
dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan (d) pedagang berperan ganda sebagai oligop-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 59 – 71

64
sonist (di daerah sentra produksi) dan sebagai dan peningkatan kesehatan ternak; (d) perba-
oligopolist di daerah sentra konsumsi, sehing- ikan kesehatan ternak dan keberhasilan pro-
ga berdampak negatif terhadap struktur pasar, gram IB berpengaruh terhadap produksi anak
pembentukan harga, dan efisiensi pemasaran. sapi dan penawaran sapi dewasa; (e) peru-
Konskuensinya adalah hanya pedagang ternak bahan kesejahteraan petani karena kebijakan
yang menikmati kenaikan harga di Jakarta teknologi lebih besar daripada kebijakan inves-
(bukan petani peternak), dan penawaran lebih tasi dan kebijakan bibit; (f) kebijakan terpadu
dipengaruhi oleh faktor produksi dari pada penghapusan kuota secara gardual yang di-
harga ternak sapi. Pada akhirnya disparitas komplementasi dengan kebijakan bibit, tekno-
harga tinggi dan pembatasan ketat penawaran logi, investasi, dan harga berdampak positif
(sistem kuota) akan memicu penyelundupan, terhadap produksi, populasi, penawaran sapi,
sehingga berpotensi menurunkan populasi. dan kesejahteraan petani dengan derajat yang
lebih besar dibandingkan dengan kebijakan
Berdasarkan pada hasil analisis terse-
kuota tetap ataupun kuota naik.
but perlu dilakukan reorientasi kebijakan kuota
perdagangan ternak sapi antarpulau, yaitu Pengembangan sapi bali memegang
penghapusan kuota secara gradual dan di- peranan sentral untuk pemenuhan kebutuhan
komplemen dengan instrumen kebijakan pe- konsumsi daging nasional dan dalam posisi-
ningkatan produksi. Sedikitnya terdapat tiga nya sebagai daerah pemurnian ternak bibit
opsi kebijakan peningkatan produksi yang untuk pengembangan ternak sapi di luar Pulau
dapat dipertimbangkan (Sukanata, 2008; Lole Bali. Pengembangannya di Pulau Bali masih
2013), yaitu: (a) pengurangan pemotongan in- memiliki potensi dan peluang untuk ditingkat-
duk produktif sejak ternak masih di tangan kan dengan deskripsi dan dukungan kebijakan
petani melalui insentif tunai, daripada sesudah strategis (Diwyanto dan Mahendri, 2013; Suwitri
ternak di RPH (rumah potong hewan) melalui et al., 2013; Praharani, 2013; Saka et al., 2013;
pembelian dan pendistribusian kembali; (b) pe- Sukanata et al. 2013) sebagai berikut: (a)
ningkatan angka kelahiran dan populasi ter- pengembangan usahatani-ternak secara terpa-
nak dengan revitalisasi IB (inseminasi buatan) du (crop-livestock system) dengan memanfaat-
melalui perbaikan manajemen dan keterampi- kan sumber daya lokal; (b) peningkatan pro-
lan insminator, penyediaan paket semen mu- duktivitas melalui penterapan good farming
rah, dan perbaikan manajemen pemeliharaan practice dan peningkatan bobot potong (lebih
(vaksinasi dan pakan berkualitas); (c) pengu- dari 50 persen) dengan melakukan tunda po-
rangan retribusi perdagangan ternak sapi dan tong atau meningkatkan average daily gain; (c)
revitalisasi kredit program KUT (kredit usaha membangun sistem kelembagaan pengemba-
ternak) melalui penurunan suku bunga, pe- ngan pembibitan dengan sasaran peningkatan
ningkatan plafon minimum, perpanjangan gra- mutu genetik dan produksi ternak bibit serta ke-
ce periode, dan peringanan agunan KUT. Ke- sejahteraan peternak, dimana BPTU Sapi Bali
tiga pilihan kebijakan ini perlu dilakukan secara berperan sebagai inti dan peternak di village
sinergi, terintegrasi, dan bersifat inklusif. breeding center (dalam kelompok SIMANTRI/
Berdasarkan hasil analisis simulasi Sistem Pertanian Terintegrasi) berperan seba-
historis dan/atau peramalan dampak kebijakan gai plasma; (d) peningkatan produksi dan mutu
terhadap pengembangan populasi dan produk- daging karkas sapi bali dengan pelaksanaan
si ternak sapi di NTT (Lole, 2013) diperoleh program seleksi yang tepat dan benar dengan
beberapa temuan penting, yaitu: (a) kebijakan sasaran pembentukan galus sapi bali tender-
investasi ternak sapi melalui penurunan suku ness dan kualitas daging sejenis wagyu untuk
bunga dan peningkatan realisasi KUT berpe- memenuhi kebutuhan wisatawan mancane-
ngaruh terhadap pengembangan populasi ter- gara; (e) pemantapan pengembangan kredit
nak sapi; (b) kebijakan pengendalian bibit me- program (KUPS/Kredit Usaha Peternak Sapi)
lalui penundaan pemotongan induk produktif di dalam mendorong usaha pembibitan ternak
RPH dan pemberian insentif tunai untuk induk sapi bali dengan skala usaha yang layak (di
produktif berpengaruh terhadap pengurangan atas 37 ekor), harga umur pedet umur 6 bulan
pemotongan induk produktif; (c) kebijakan du- diatas Rp 1,76 juta/ekor, dan tingkat suku
kungan teknologi melalui peningkatan realisasi bunga skim kredit dibawah 18,0 persen/tahun.
dosis IB dan vaksinasi berpengaruh terhadap Kebijakan terpadu penghapusan kuota
angka bersih kebuntingan (Net Calf Crop/NCC) (kasus Bali dan NTT), di samping mempertim-

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK I Wayan
Rusastra

65
bangkan dukungan kebijakan peningkatan pro- 40,5 persen, dan pedagang daging 35,7
duksi juga perlu difasilitasi dengan akurasi persen. Sementara itu, proporsi biaya pemasar-
data populasi dan produksi, akurasi kebutuhan an yang ditanggung blantik adalah relatif be-
daging sapi lokal, pengawasan pemotongan sar, yaitu 63,3 persen di Bali dan 43,3 persen
dan pengeluaran sapi (ilegal) secara ketat di Nusa Tenggara Barat. Di kedua lokasi pene-
(Sukanata, 2008; Lole, 2013). Di samping itu litian, dapat dipahami jika persepsi peternak
yang juga dinilai strategis adalah pengem- terhadap urgensi eksistensi blantik adalah
bangan segmentasi pasar baru seperti Kali- sangat tinggi yaitu 90-95 persen di Bali dan
mantan Barat, Kalimantan Selatan, dan daerah 85-90 persen di NTB.
lainnya, selain pasar potensial di Jawa (Sura- Hasil analisis pemasaran dan perda-
baya dan Jakarta). Kebijakan peningkatan/ gangan ternak dan daging sapi di Bali dan
penghapusan kuota terpadu diprediksi akan NTB menunjukkan beberapa indikasi (Kariyasa
mampu meningkatkan populasi, penawaran, dan Kasryno, 2004) sebagai berikut: (a) tidak
dan pendapatan peternak sapi. Munculnya terdapat azas keadilan dalam pembagian mar-
segmen baru pasar ternak ke Kalimantan me- gin pemasaran di antara pelaku tataniaga,
rupakan indikasi efisiensi pemasaran yang khususnya terhadap peran blantik dengan
lebih efisien dibandingkan dengan ke Jakarta kontribusi terhadap biaya pemasaran yang
dan Jawa Barat, sehingga diharapkan dapat dominan; (b) jagal dan pedagang daging
menekan kekuatan pasar yang dinilai oligop- dengan kontribusi terhadap biaya pemasaran
sonistik selama ini (Lole, 2013). Indikasi pema- yang relatif kecil (46,7%) mendapatkan margin
saran ternak sapi yang lebih efisien untuk pemasaran yang relatif tinggi yaitu sekitar 82,6
daerah Kalimantan diduga terkait dengan har- persen; (c) jagal dinilai memegang peranan
ga ternak yang lebih tinggi, margin petani lebih sentral terkait dengan pembelian ternak dan
besar, rantai pemasaran lebih pendek, waktu juga penjualan daging sehingga sangat me-
tempuh lebih pendek, penyusutan bobot lebih nentukan struktur pasar dan pembentukan
kecil, kematian dalam perjalanan lebih sedikit, harga; (d) eksistensi dan jumlah pejagal perlu
dan biaya pemasaran yang lebih rendah. mendapatkan perhatian dari pemerintah dae-
rah agar pasar ternak dan daging sapi menjadi
lebih kompetitif, sehingga bagian harga yang
PEMASARAN DOMESTIK TERNAK DAN
diterima pelaku tataniaga dan khususnya
DAGING SAPI
peternak dapat menjadi lebih proporsional.
Hasil kajian rantai pasok ternak dan
Dalam bahasan ini terdapat tiga aspek yang daging sapi di NTT dalam kurun waktu 2010-
perlu dibahas yaitu: (a) kinerja pemasaran 2011 (Hadi, 2012) menunjukkan beberapa
ternak dan daging sapi, (b) permasalahan informasi penting, yaitu: (a) alur pemasaran
pemasaran ternak dan daging sapi, dan (c) ternak dan daging sapi dinilai cukup singkat
permintaan dan konsumsi daging sapi. Dari dengan margin pemasaran yang cukup efisien;
ketiga aspek bahasan tersebut dapat diru- (b) berkembangnya diversifikasi pemasaran
muskan antisipasi kebijakan pemasaran ternak ternak antarpulau, khususnya ke Kalimantan,
dan daging sapi kedepan. Dalam konteks karena adanya moda transportasi dan insentif
dinamika ekonomi pemasaran terdapat dua ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan
kajian yang dilakukan oleh Kariyasa dan ke Jakarta; (c) penanganan terhadap ternak
Kasryno (2004) dan Hadi (2012) di tiga daerah sepanjang rantai pasok belum sesuai dengan
sentra produksi sapi potong yaitu di Bali, NTB kaidah-kaidah kesejahteraan hewan (animal
dan NTT. Hasil kajian pertama (Bali dan NTB) welfare); dan (d) pemotongan ternak sapi
menunjukkan bahwa rantai pemasaran di ke- betina produktif di RPH resmi milik pemerintah
dua daerah tersebut (Kariyasa dan Kasryno, mencapai lebih dari 60 persen. Dalam rangka
loc.cit.) adalah peternak-blantik-jagal-pasar/ memenuhi standar kesejahteraan hewan
pedagang daging-konsumen. Distribusi margin dibutuhkan fasilitasi penyediaan bongkar muat
pemasaran dari tiga pelaku utama pemasaran di pasar hewan, RPH, karantina hewan, pela-
ternak/daging sapi di Bali adalah blantik 11,0 buhan laut, tempat ternak di kapal, serta per-
persen, jagal 68,0 persen, dan pedagang da- baikan fasilitas RPH dan teknik pemotongan
ging 21,0 persen. Distribusi margin untuk ka- ternak dengan menggunakan alat pemingsan
sus di NTB adalah blantik 23,8 persen, jagal (stunning gun) sebelum ternak di potong.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 59 – 71

66
Terdapat sejumlah permasalahan struktur pendukung seperti pasar hewan, ru-
struktural terkait dengan pemasaran ternak mah potong hewan, kapal khusus pengangkut
dan daging sapi domestik (Soedjana, 2011; ternak, kamar berpendingin (cold storage). Se-
Purba dan Hadi, 2012) yang mencakup masa- cara ringkas dapat dinyatakan bahwa pening-
lah infrastruktur pemasaran, struktur pasar dan katan efisiensi transportasi ternak dan daging
pembentukan harga, dan eksistensi kebijakan sapi antarpulau dan/atau antarprovinsi mem-
serta regulasi pemasaran dalam negeri. butuhkan penataan moda transportasi dalam
Permasalahan infrastruktur meliputi keterse- satu jaringan konektivitas, sehingga tercipta
diaan sarana dan prasarana transportasi sapi sistem multimoda yang dikelola dalam satu
potong, penyediaan kapal khusus pengangkut- manajemen untuk menurunkan biaya transaksi.
an ternak antar pulau, dan fasilitas bongkar Dalam konteks permintaan dan kon-
muat di pasar hewan dan pelabuhan. Perma- sumsi perlu dipetakan dinamika penyediaan
salahan infrastruktur ini berdampak terhadap
dan konsumsi daging sapi. Dalam sepuluh
lemahnya konektivitas dan integrasi pasar se-
tahun terakhir ini laju konsumsi daging sapi
cara spasial antardaerah. Permasalahan
meningkat 4,5 persen/tahun, namun dengan
struktur pasar dan pembentukan harga dire-
laju peningkatan impor yang sangat tinggi yaitu
fleksikan oleh proses transaksi yang kurang
adil dalam penetapan bobot badan dan harga 21,6 persen/tahun. Sementara itu, laju produk-
jual. Biaya pemasaran yang tinggi serta sistem si domestik hanya 2,6 persen/tahun (Ditjen Pe-
pemasaran yang tidak adil berdampak terha- ternakan dalam Kusriatmi, 2013). Patut disa-
dap bagian harga yang diterima produsen ter- dari bahwa ketergantungan impor yang sema-
nak sapi potong. Permasalahan kebijakan dan kin meningkat adalah kosekuensi dari keterba-
regulasi diindikasikan oleh belum mantapnya tasan peningkatan produksi daging sapi di-
pengendalian impor sapi bakalan dan daging dalam negeri, di lain pihak terjadi peningkatan
sapi, disamping relatif tingginya beban pajak konsumsi daging sapi sebagai akibat dari
dan retribusi perdagangan ternak sapi antar peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan
pulau. Ketiga permasalahan struktural tersebut masyarakat. Dalam kondisi struktur pasar
pada akhirnya berdampak pada pengendalian daging saat ini perlu dirumuskan kebijakan
volatilitas harga daging sapi di Jabodetabek, impor yang kondusif, dikomplemen dengan re-
tidak selalu efektif meredam kenaikan harga di vitalisasi peningkatan produksi dan pemasaran
daerah sentra konsumen lainnya. domestik, sehingga mampu memberikan jamin-
Kajian terkait dengan sistem dan moda an tingkat dan stabilitas harga yang layak bagi
transportasi dalam mendukung efisiensi distri- konsumen dan tetap memberikan insentif yang
busi dan pemasaran ternak dan daging sapi pantas bagi peternak.
(Ilham dan Yusdja, 2004; Ilham et al., 2013) Informasi penting lainnya terkait de-
dapat dipetik beberapa informasi menarik, ngan permintaan dan konsumsi daging sapi
sebagai berikut: (a) sepanjang rantai pasok adalah daya substitusi komoditas daging lain-
ternak dan daging sapi, konektivitas antar
nya dan status diversifikasi konsumsi daging
moda transportasi belum optimal sehingga
nasional serta implikasinya terhadap pengem-
tidak berdampak maksimal terhadap efisiensi
bangan ternak sapi (Soedjana,2011; Madelan,
distribusi; (b) biaya transportasi merupakan
2013). Dinyatakan bahwa substitusi daging
komponen biaya terbesar dalam distribusi
sapi dengan daging lainnya tidak bersifat
ternak sapi dari sentra produksi ke sentra
konsumsi; (c) berdasarkan asas efektivitas dan sempurna, dimana daya substitusinya lebih
efisiensi skala prioritas pemanfaatan moda kuat pada golongan berpendapatan menengah
transportasi daging dan ternak sapi adalah ke bawah. Bagi golongan masyarakat berpen-
kereta api, angkutan darat, dan terakhir adalah dapatan tinggi, tingginya harga daging sapi
angkutan laut; (d) secara finansial transportasi tidak akan mengurangi tingkat konsumsinya,
laut layak dikembangkan dan mampu berperan sehingga akan berdampak terhadap inflasi.
positif, namun perlu dikomplemen dengan fa- Sedangkan bagi golongan berpendapatan
silitas pendukung di pelabuhan; (e) pengemba- menengah kebawah, kenaikan harga daging
ngan moda transportasi membutuhkan cam- sapi akan diikuti oleh penurunan konsumsi
pur tangan pemerintah dalam bentuk infra- secara nyata. Elastisitas permintaan daging

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK I Wayan
Rusastra

67
ayam ras terhadap harga daging sapi adalah daging babi 10,0 persen, dan daging kambing
sebesar 0,56 yang menunjukkan bahwa ke- dan domba 6,0 persen. Sejalan dengan struk-
naikan harga daging sapi 1,0 persen akan di- tur pendapatan dan karakteristik konsumen
ikuti oleh kenaikan permintaan daging ayam diversifikasi ini perlu dipertahankan. Eksistensi
sebesar 0,56 persen. Kenaikan permintaan da- diversifikasi konsumsi ini dapat dipakai seba-
ging sapi akan diikuti oleh kenaikan harga da- gai acuan strategi pengembangan ternak
ging ayam, sehingga akan berdampak negatif penghasil daging, sesuai dengan potensi dan
terhadap konsumsi daging ayam golongan kapasitas sumber daya ekonomi pengemba-
berpendapatan menengah kebawah. Dari ilus- ngan ternak. Jika dapat dibangun padu-padan
trasi ini menjadi jelas bahwa harga daging sapi pengembangan diversifikasi konsumsi dan
yang tidak terkendali akan berdampak terha- diversifikasi produksi, maka pengendalian vo-
dap inflasi dan juga status gizi masyarakat, latilitas harga daging akan dapat dilakukan
dengan lebih mudah. Namun demikian, dalam
khususnya golongan berpendapatan rendah.
jangka panjang perubahan diversifikasi kon-
Selain perbaikan efisiensi pemasaran sumsi secara gradual sebagai implikasi dari
ternak dan daging sapi, pengendalian harga perubahan struktur pendapatan dan preferensi
dapat dilakukan dengan perubahan arah per- konsumen tetap perlu dipertimbangkan dalam
dagangan dari ternak sapi menjadi daging sapi kebijakan pengembangan berbagai jenis ter-
(Ilham, 2009). Disadari bahwa perubahan arah nak penghasil daging.
perdagangan dari daerah sentra produksi ter-
Berdasarkan pada kinerja dan perma-
nak ke daerah sentra konsumen di kota-kota
salahan pemasaran ternak dan daging sapi
besar di Jawa dari ternak menjadi daging sapi
serta eksistensi permintaan dan konsumsi da-
membutuhkan adaptasi perubahan perilaku
ging sapi, antisipasi kebijakan yang dapat di-
konsumen, sehingga keberhasilannya membu-
pertimbangkan (Soedjana, 2011; Tawaf, 2013),
tuhkan waktu dan bertahap. Beberapa kebija-
di antaranya adalah: (a) Pemantapan diversifi-
kan strategis yang dapat dilakukan adalah: (a)
kasi konsumsi daging dengan mempertahan-
meningkatkan peran dan fungsi RPH di daerah
kan proporsi konsumsi daging sapi sebesar
sentra produksi sebagai unit pengolah daging
21,0 persen dalam jangka pendek. Pilihan
sapi dan ikutannya secara efektif dan efisien;
kebijakan ini dinilai rasional dengan mengacu
(b) menekan ekonomi biaya tinggi dalam aspek keseimbangan dari sisi produksi, inves-
pemasaran daging dengan perbaikan sarana tasi dan akses. Syarat kecukupannya adalah
transportasi daging dan menjamin efisiensi perlu dicegah substitusi artifisial dengan mela-
pemasaran dengan deregulasi retribusi dan kukan koreksi kebijakan harga daging impor
kebijakan yang menghambat kelancaran arus murah yang bersifat mendistorsi harga daging
barang dan jasa; (c) memfungsikan RPH dan di pasar domestik; (b) Fasilitasi sistem distri-
perusahaan daerah dengan fasilitasnya seba- busi-transportasi yang handal, deregulasi pa-
gai bagian dari sistem distribusi daging dan jak dan retribusi, serta deregulasi sistem tata-
membangun jaringan pemasaran di daerah niaga sapi potong dalam negeri. Deregulasi
sentra konsumsi; (d) fasilitasi kebijakan pema- sistem tataniaga sapi potong yang perlu diper-
saran (harga, infrastruktur, dan kelembagaan) timbangkan di antaranya adalah jaminan harga
sehingga dimungkinkan harga daging beku sesuai kualitas, penjualan dengan sistem
domestik lebih murah dari harga daging sapi lelang, penyediaan informasi harga, pember-
segar, dan memberlakukan penjualan dengan dayaan RPH dan pemasaran dalam bentuk
segmentasi harga dan konsumen sesuai kua- daging, pemanfaatan sapi bakalan lokal de-
litas potongan daging sapi; dan (e) memonitor ngan sistem kontrak dalam usaha penggemu-
dayasaing daging sapi domestik dengan da- kan; (c) Konsolidasi pemeliharaan melalui
ging impor dan mengendalikannya dengan kelompok dan/atau koperasi dengan orientasi
kebijakan tarif impor. usaha produktif dan menjadikan usaha ternak
Status diversifikasi konsumsi daging sebagai sumber pendapatan utama dalam
nasional dipetakan dengan baik oleh Soedjana rangka memacu tingkat produktivitas, efisiensi,
(2011), di mana proporsi konsumsi daging dan daya saing usaha ternak sapi potong; dan
unggas bersifat dominan (59,0 persen), diikuti (d) Kebijakan impor berbasis referensi harga,
oleh daging sapi dan kerbau 21,0 persen, harus dikomplemen dengan sistem logistik

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 59 – 71

68
yang handal, dengan sasaran keberpihakan tataniaga; (c) penguatan kelembagaan dan po-
kepada peternak skala kecil dan revitalisasi sisi tawar peternak sapi potong, dengan sasa-
peternakan sapi nasional. ran memposisikan usaha ternak sebagai sum-
ber utama pendapatan peternak; dan (d) peng-
hapusan kuota perdagangan sapi antar-pulau
PENUTUP secara gradual, yang dilakukan secara terpadu
dengan kebijakan peningkatan populasi ternak
Dalam konteks dan semangat yang terkan- dan produksi daging sapi.
dung dalam UU No.18 Tahun 2012 tentang
Pangan, kebijakan impor ternak dan daging DAFTAR PUSTAKA
sapi sebagai komoditas pangan strategis
(termasuk padi, jagung, kedelai dan gula) ada-
lah kebijakan jangka pendek, yang dilaksana- Arifin, B. 2012. Ancaman Krisis Pangan dan Respon
kan sebagai pilihan terakhir dengan penuh Kebijakan. Harian Kompas, Edisi 3
September 2012. Jakarta.
pertimbangan dan prinsip kehati-hatian. Dalam
jangka menengah dan panjang, kebijakan im- Basuki, C.E. 2010. Menyemai Benih-Benih Kehidu-
por harus sejalan dengan prinsip kedaulatan pan, Menapaki Revolusi Hijau III: Rekon-
dan kemandirian pangan. struksi Pembangunan Pertanian dan Keta-
hanan Pangan. Penerbit Buku Ilmiah Popu-
Kebijakan perdagangan dalam kon- ler, PT Sarana Komunikasi Utama, Desem-
teks perdagangan bebas membutuhkan koor- ber 2010. Bogor.
dinasi dan konsolidasi antarinstitusi parastatal
Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri
(Bulog) dan asosiasi importir bersama-sama
Peternakan. IPB Press, Kampus IPB
dengan masyarakat (asosiasi perternak dan
Taman Kencana. Bogor.
organisasi profesi terkait lainnya) di bawah ken-
dali pemerintah dalam eksekusi kebijakan sta- Ditjen Peternakan. 2011. Blue Print Program Swa-
bilisasi harga yang efektif dan efisien. Di sam- sembada Daging Sapi 2014. Direktorat
ping itu, dibutuhkan optimalisasi instrumen ke- Jenderal Peternakan, Kementerian Perta-
nian. Jakarta.
bijakan impor agar tetap sejalan dengan tujuan
revitalisasi pembangunan industri sapi potong. Diwyanto, K. dan IGAP Mahendri. 2013. Peran Sapi
Bali dalam Mewujukan Swasembada Da-
Kebijakan impor ternak dan daging
ging Nasional Berkelanjutan. Program dan
sapi berbasis harga referensi harus dalam satu
Abstrak Seminar: Peran Sapi Bali dalam
paket kebijakan dengan pengembangan sis- Mewujudkan Swasembada Daging Nasio-
tem logistik ternak dan daging sapi. Selain itu, nal Berkelanjutan. Pusat Kajian Sapi Bali
adalah penting untuk memasukkan aspek (PKSB), Universitas Udayana. Denpasar,
monitoring, evaluasi, serta pengawasan dalam 24 September 2013.
implementasinya, sehingga dapat memberikan
Erwidodo. 2013. Aturan WTO, BUMN, dan Program
insentif yang memadai bagi peningkatan popu-
Satabilisasi Harga Pangan. Seminar Pem-
lasi dan produksi peternakan rakyat. Pelaku
bangunan Petanian dan Pedesaan. Pusat
industri sapi potong (akademisi, pengusaha, Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
pemerintah, dan masyarakat/ABGC) harus Bogor, 10 April 2013.
bersatu padu untuk mencegah ketergantungan
Fauziah, M. 2013. Bulog Beli Daging Mahal. Harian
impor dan mencegah penurunan populasi ter-
Republika, Edisi 20 Juli 2013. Jakarta.
nak dan produksi daging sapi secara persisten
dan tidak terkendali (proses desapinisasi). Hadi, P.U. 2012. Manajemen Rantai Pasok Ternak
dan Daging Sapi di Nusa Tenggara Timur.
Arah kebijakan pemasaran ternak dan Hlm. 265-292. Dalam E.M. Lokollo (Ed).
daging sapi domestik ke depan agar memper- Bunga Rampai: Rantai Pasok Komoditas
timbangkan sejumlah instrumen kebijakan se- Pertanian Indonesia. PT. Penerbit IPB
cara inklusif, yaitu: (a) menjaga diversifikasi Press. Bogor.
konsumsi daging dan mencegah substitusi
Harianto. 2013. Stok Penyangga Pangan. Staf Khu-
konsumsi yang bersifat artifisial; (b) mencegah
sus Presiden Bidang Pangan dan Energi.
marketing inefficiency by-laws dengan melaku-
Harian Republika, Edisi 22 Juli 2013.
kan deregulasi sistem retribusi dan sistem Jakarta.

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK I Wayan
Rusastra

69
Husodo, S.Y. 2013. Krisis Manajemen Pangan. Purba, H.J. dan P.U.Hadi. 2012. Dinamika dan
Harian Kompas, Edisi 27 Juli 2013. Kebijakan Pemasaran Produk Ternak Sapi
Jakarta. Potong di Indonesia Bagian Timur. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian, 10 (4): 361-
Ilham, N. 2009. Kebijakan Pengendalian Harga 373.
Daging Sapi Nasional. Jurnal Analisis Ke-
bijakan Pertanian 7(3): 211-221, Septem- Rahman, M.T. 2013. Swasembada Daging Sapi:
ber 2009. Ternyata Impor Tetap Dibutuhkan. Harian
Bisnis Indonesia, Edisi 23 Desember 2013.
Ilham, N. dan IW. Rusastra. 2010. Daya Saing Jakarta.
Komoditas Pertanian: Konsep, Kinerja, dan
Kebijakan Pengembangan. JPIP 3 (1), Rahman, M.T. 2014. Pembibitan Ternak: Pengem-
bangan Sapi Lokal Didorong. Harian Bisnis
2010. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Indonesia, Edisi 15 Januari 2014. Jakarta.
Ilham, N. dan Y.Yusdja. 2004. Sistem Transportasi
Rizky, D. 2013. Gejolak Harga Komoditas Pangan:
Perdagangan Ternak Sapi dan Implikasi
Tataniaga Impor Dirombak. Harian Bisnis
Kebijakan di Indonesia. Jurnal Analisis
Indonesia, Edisi 15 Juli 2013. Jakarta.
Kebijakan Pertanian 2(1): 37-53.
Rusastra, IW. 2011. Kinerja Industri Peternakan: Isu
Ilham, N., E. Basuno, B. Winarso, A.K. Zakaria, Tj.
dan Kebijakan Antisipatif Peningkatan Pro-
Nurasa, dan T.S. Wahyudi. 2013. Kajian duksi dan Daya Saing. Materi disampaikan
Efisiensi pada Transportasi Ternak dan dalam Loka Karya RPJP Puslitbang
Daging Sapi dalam Mendukung Program Peternakan, 27 Januari 2011, Puslitbang
Swasembada Pangan. Pusat Sosial Eko- Peternakan. Bogor.
nomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rusastra, IW. 2014. Sistim Inovasi Nasional dan
Kariyasa, K. dan F.Kasryno. 2004. Dinamika Pema- Dampak Sosial Ekonomi Kegiatan Peneliti-
saran dan Prospek Pengembangan Ternak an. Materi Diklat Fungsional Peneliti, Pusat
Sapi di Indonesia. Sistem dan Kelemba- Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan
gaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan (Pusbindiklat), LIPI, Cibinong. Bogor.
Litbang Pertanian. Jakarta.
Saka, IK., S. Putra, INT Ariana, NP.Sriyani, dan
Kusriatmi. 2013. Dampak Kebijakan Swasembada AA.Oka. 2013. Potensi Hasil dan Mutu
Daging Sapi Terhadap Kinerja Ekonomi Daging Karkas Sapi Bali Jantan sebagai
Subsektor Peternakan di Indonesia. Diser- Ternak Potong. Program dan Abstrak
tasi Doktor. Sekolah Pasca Sarjana, Insti- Seminar: Peran Sapi Bali dalam Mewujud-
tut Pertanian Bogor. Bogor. kan Swasembada Daging Nasional Berke-
Lole, U.M. 2013. Dampak Kebijakan Produksi dan lanjutan. Pusat Kajian Sapi Bali (PKSB),
Perdagangan Sapi Terhadap Produksi dan Universitas Udayana, Denpasar, 24 Sep-
tember 2013.
Kesejahteraan Petani di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Disertasi Doktor. Sekolah Soedjana, TJ. D. 2011. Meningkatkan Posisi Tawar
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Industri Sapi Potong Dalam Negeri. Policy
Bogor. Brieft, FKPR, Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Lubis, A.M. 2013. Government to Launch Female
Catlle Import to Boost Local Population. Sukanata, IW. 2008. Dampak Kebijakan Kuota
Jakarta Post, September 7, 2013. Jakarta. Perdagangan Terhadap Penawaran dan
Populasi Sapi serta Kesejahteraan Pe-
Madelan, S. 2013. Menstabilkan Harga Pangan ternak di Bali. Thesis Magister Sain.
Pokok. Harian Kompas, Edisi Agustus Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian
2013. Jakarta. Bogor. Bogor.
Muladno, 2013. Sapi Indonesia vs Sapi Australia. Sukanata, IW. dan BRT. Putri, dan Suciani. 2013.
Harian Kompas, Edisi 27 Juli 2013. Uji Kelayakan Finansial Pemanfaatan Skim
Jakarta. Kredit KUPS pada Pengembangbiakan
Praharani, L. 2013. Peluang Peningkatan Mutu Sapi Bali. Program dan Abstrak Seminar:
Daging Sapi Bali Melalui Teknologi Seleksi Peran Sapi Bali dalam Mewujudkan Swa-
Sifat Keempukan Daging. Program dan sembada Daging Nasional Berkelanjutan.
Abstrak Seminar: Peran Sapi Bali dalam Pusat Kajian Sapi Bali, Universitas Uda-
Mewujudkan Swasembada Daging Nasional yana, Denpasar, 24 September 2013.
Berkelanjutan. Pusat Kajian Sapi Bali, Suryana, A. 2013. Sosialisasi UU No.18 Tahun
Universitas Udayana, Denpasar, 24 2012 Tentang Pangan. Badan Ketahanan
September 2013. Pangan, Kementan. Jakarta.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 59 – 71

70
Suwitri, NK., P. Suastika, IBN. Swacita, dan W. Tawaf, R. 2013. Kebijakan Sistem Logistik Daging
Piraksa. 2013. Tingkat Kesukaan Wisata- Sapi. Harian Kompas, Edisi 13 September
wan Asing di Bali terhadap Daging Sapi 2013. Jakarta.
Bali dan Wagyu. Program dan Abstrak Todaro, M.P. and S.C.Smith.2009. Economic
Seminar: Peran Sapi Bali dalam Mewujud- Development. Tenth Edition. Pearson
kan Swasembada Daging Nasional Berke- Education Inc., Boston.
lanjutan. Pusat Kajian Sapi Bali (PKSB), Yusdja,Y. dan N.Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan
Universitas Udayana, Denpasar, 24 Sep- Pengembangan Agribisnis Sapi Potong.
tember 2013. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 2 (2):
183-203.

PERDAGANGAN TERNAK DAN DAGING SAPI: REKONSILIASI KEBIJAKAN IMPOR DAN REVITALISASI PEMASARAN DOMESTIK I Wayan
Rusastra

71

You might also like